Anda di halaman 1dari 27

"Aku Takut"

Oleh: Ajeng, dkk

Setiap orang mungkin memiliki firasat tentang terjadinya sesuatu. Entah itu benar atau tidak,
nyatanya firasat itu datang begitu saja. Aku mungkin termasuk orang “beruntung” bisa
merasakan firasat yang hampir akurat kalau sesuatu hal buruk akan terjadi, termasuk kematian
orang terdekatku. Ya, hampir setiap orang yang memiliki hubungan dekat denganku akan
mengalami kecelakaan, sakit, bahkan meninggal, aku memiliki firasat untuk itu semua. Aku
tidak tau apakah itu kebetulan atau tidak. Tetapi nyatanya tiba-tiba aku teringat seseorang,
orang yang membawa perubahan dalam hidupku.

Hujan turun dari langit bersamaan dengan guntur. Terdengar suara gelas jatuh, aku
mengeceknya, ternyata kucing ku yang menjatuhkannya. Aku coba membersihkannya, dan tak
sengaja aku terkena serpihan itu. Nasib sial hari ini, menambah kekhawatiranku. Aku mencoba
untuk menelponnya menanyakan kabarnya. Setelah hitungan menit, dia kemudian
mengangkatnya. Terdengar suara batuk ditahannya, dia mengatakan kepadaku bahwa dia baik-
baik saja dan menutupnya begitu saja. Aku mengenalnya sedari kecil, aku yang penakut dulu
selalu dibawanya keluar dari zona itu.

Tok tok tok , kuketuk pintu berulang kali namun tidak ada jawaban. Alhasil kucoba buka pintu
dan ternyata tidak terkunci.

Samar samar ku dengar suara memanggil nama ku, aku langsung berlari menghampiri suara itu.
Kulihat ia tergeletak di lantai, wajahnya yang teramat pucat . benar dugaanku

Ku gendong menuju mobil lalu bergegas pergi ke rumah sakit terdekat, wajah ku mulai panik
saat melihat dia dibawa menuju ruangan ugd aku hanya bisa menunggu sambil berdoa
berharap dia akan baik baik saja

Setelah menunggu lebih dari 2 jam, dokter keluar dan memberitahu bahwa dia telah sadar,
tanpa berpikir panjang aku langsung masuk untuk menemui nya, terlihat wajah yang masih
pucat dan tubuh yang terbaring lemas "apa kamu baik baik saja?" ucapku, dia hanya
mengangguk dan melempar senyum , kugenggam tangan nya sambil ku tatap lekat kedua mata
nya.
Ingin sekali marah dan meluapkan segala kekecewaanku karna dia tidak mau memberitahu
tentang rasa sakitnya itu, tapi setelah melihat wajahnya, rasanya seakan semua amarahku ini
padam.

Setelah itu aku pergi untuk mengurus administrasi, ku telpon bibi untuk mengabari bahwa dia
berada di rumah sakit.

Keesokan harinya setelah pulang kuliah ku sempat kan diri menjenguknya dengan membawa
buah kesukaannya. Aku pun lantas bertanya sakit apa yang dideritanya, dia membalas dengan
senyum lemah tapi ada sedikit kesedihan di dalam sorot matanya. Lantas berkata "aku tak apa-
apa, hanya anemia biasa, mungkin karena kecapekan akhir-akhir ini" aku pun sedikit curiga
karena dia selalu berkata tidak apa-apa atau bilang baik-baik saja.

5 hari lamanya dia masih berbaring di rumah sakit, ah dia benar benar membuatku sangat
takut, setiap hari aku selalu menyempatkan waktu untuk menemaninya disana, sekedar
menghibur atau bergurau walaupun hanya sebentar.

Setelah seminggu lamanya dirawat dia akhirnya diperbolehkan pulang.

Tak terasa sebulan pun berlalu, hari ini ini adalah hari ulang tahunnya. Semilir angin senja
berhembus kencang membuatku merasa kedinginan, firasatku tiba-tiba buruk. Tak lama
kemudian, telponku berdering ternyata bibi meneleponku. Bibi bilang bahwa dia dilarikan ke
rumah sakit lagi, mendengar hal itu aku langsung bergegas menuju ke sana.

Ini kedua kalinya dia masuk rumah sakit, kali ini bukan UGD lagi tapi ICU, tubuhku gemetar,
bahkan untuk mengucapkan sepatah katapun aku tidak bisa, yang sedang aku pikirkan kali ini
adalah bagaimana dia nantinya, aku hanya duduk dengan tanganku yg sangat dingin ini, jika
bisa ditukar posisi biarlah aku yang berada diruangan itu.

Deg! Dokter yang menanganinya keluar dari ruangan itu, dengan reflek aku langsung berdiri
dan lari menuju hadapannya. Kulihat sosoknya yang semakin kurus , bibirnya yang pucat, dan
matanya masih tertutup erat. Aku tidak tahu bagaimana keadaanya menjadi seperti ini padahal
baru tiga hari yang lalu dia masih baik-baik saja.

Suara adzan pun berkumandang, sudah memasuki waktu maghrib. Ku langkah kan kaki ke
kamar mandi mengambil air wudhu untuk segera melaksanakan ibadah sholat magrib, setelah
selesai sholat aku pun berdoa agar dia segera sembuh, ku luapkan segala keluh kesah perasaan
dan harapan dalam doaku.
Seusai itu pamit pulang karena sudah malam dan tidak enak dengan keluarganya. Tiga hari
kemudian dia sudah dipulangkan, aku pun ikut menjemputnya pulang, tapi dia hanya terdiam
seolah-olah menghindariku.

Hari-hari terus berlalu, tanpa sadar sebulan lebih dan aku baru tersadar bahwa dia memang
berusaha menghindari ku akhir-akhir ini, aku tidak tahu apa yang menyebabkannya, hal itu
membuatku galau.

Besoknya terdengar kabar bahwa ia masuk rumah sakit lagi, kali ini aku benar-benar merasa
ada yang salah dengan kondisinya. Sebenarnya saat terakhir kali di ICU aku memang bertanya-
tanya tentang sakit yang dideritanya sehingga sampai masuk ke ruangan itu, tapi ia hanya
menjawab bahwa itu hanya penyakit biasa saja, keluarganya pun sepertinya ikut
menyembunyikan hal itu dariku.

Aku segera menuju kesana, entah kenapa firasat ku bertambah buruk, pikiran buruk
menguasaiku tetapi segera kutepis, aku tidak boleh berfikir yang tidak-tidak. Sesampainya
disana kulihat seluruh anggota keluarganya menangis, hal itu membuatku tidak bisa berfikir
jernih. Pintu ruangan pun terbuka kulihat dokter yang telah keluar ditanyai bagaimana
keadaanya, kulihat dokter hanya menggelengkan kepala. Dokter bilang kondisinya sangat
buruk, setelah itu memanggil namaku dan berkata dia ingin menemui ku.

Aku pun segera memasuki ruangan itu, bau desinfektan yang kuat menyeruak melalui lubang
hidungku, kulihat tubuhnya yang terbaring lemas, ditambah dengan gaun rumah sakit serta
masker oksigen yang menupi wajahnya membuatku sadar bahwa dia memang dalam kondisi
yang buruk. Kulihat tubuhnya yang kurus, dan wajahnya yang pucat membuatku sangat sedih.
Dia berkata dengan terbata-bata, meminta maaf dan terima kasih. Aku membalasnya dengan
berkata bahwa aku akulah yang harusnya berterima kasih kepadanya karena selama ini telah
menjadi cahaya dalam hidupku, membuatku keluar dari zona nyamanku dan mengajariku untuk
membuat hidupku bermakna.

Dia pun hanya tersenyum dan berkata bahwa dia mencintaiku, ah kata kata yang keluar dari
bibir mungil nya terasa sangat menyayat entah mengapa perasaan ini membuat hati ku pilu ku
genggam tangannya, kulihat ia memejamkan mata masih dengan senyum di bibirnya.
Tanpa kusadari air mata mulai menetes mengalir di wajah ku. Tangannya mulai terasa dingin,
kupanggil namanya berulang kali namun dia tak kunjung membukanya. Ku berteriak panik
memanggil dokter, ku lihat dokter segera memasuki ruangan dan memetiknya. Setelah itu
menggelengkan kepala dan berkata bahwa ia sudah tiada. Aku masih tidak percaya, masih
kupanggil-panggil namanya, air mata pun mengalir lebih deras, tubuh ku mulai melemas aku
jatuh terduduk tak bisa menerima kenyataan.

Seketika duniaku terasa gelap lagi, cahaya satu-satunya dalam hidupku telah menghilang.
Mengapa dia harus meninggalkanku, aku rela menukar hidupku dengannya, aku rela dia tidak
harus bersamaku, aku hanya ingin dia bahagia, mengapa kau harus membalas cintaku tetapi
juga menghilang dari hadapanku. Ini sebabnya aku rela memendam perasaanku dan ketakutan
ku pun terwujud. Kau telah telah menghilang selama-lamanya dariku dan dari dunia ini.
Aku Tidak Tertinggal

Oleh : Abda, dkk

Aku berdiri di lorong ini. Sendirian. Kulihat sekeliling. Semuanya menghilang, hanya gelap
yang terlihat. Sekujur tubuhku gemetar, aku takut. Aku mencoba menemukan jalan keluar,
tetapi potongan memori-memori lampau berputar dikepalaku. Tubuhku meluruh, aku memeluk
lutut. Air mataku turun tanpa permisi. Potongan memori-memori itu menghantuiku. Aku
menutup telinga dengan tanganku. Mencoba meredam suara-suara itu.

Terlambat. Aku terlambat.

Ribuan kalimat sesal keluar dari mulutku. Aku memukul keras kepalaku. Menghukum
diriku dalam kehancuran. Aku..., telah melenyapkan mimpi-mimpiku.

Tangisku semakin pecah. Kurasakan angin menamparku semakin kencang. Aku memaksa
bangkit ketika melihat gumpalan kabut hitam datang. Air mataku turun semakin deras.
Nyatanya, aku hanya bisa terdiam, tubuhku seakan membeku.

Aku jauh tertinggal.

Aku merangkak, mencoba menyeret tubuhku sejauh mungkin sebelum kabut hitam itu
benar-benar memakanku. Aku meraung, kakiku mati rasa. Aku tidak bisa lagi. Aku terjebak.
Ketika kabut hitam itu sampai pada kakiku, aku pasrah. Aku memejamkan mata erat-erat
sembari merasakan tubuhku sepenuhnya tenggelam dalam gulita yang lebih kelam.

Aku terbaring di tengah rerumputan, memandang sendu langit fajar di atas sana. Awan-
awan itu, mirip dengan kabut hitam dalam mimpiku semalam.

"Kau tidak akan memakanku bukan?"

Rasa takut telah menggerogoti kewarasanku. Aku belum bisa memahami apa arti dari
mimpi burukku, tetapi aku bisa merasakan rasa takut yang sama. Rasanya aku bisa gila.

Aku bangun, lalu berdiri. Sekilas menepuk-nepuk bagian tubuh belakangku guna
membersihkan rumput kering yang menempel. Matahari telah muncul seutuhnya, bulatannya
sungguh indah. Aku terus memperhatikan bulatan oranye itu, lama-kelamaan terlihat angka
satu di tengahnya. Aku mengerjapkan mata, matahari itu berubah menjadi sebuah medali.
Aku menunduk, mengucek kedua mataku, lalu kembali mendongak. Tidak ada medali, itu
hanya matahari biasa. Aku pun berlalu pergi.

Aku mendengar sorakan kebahagiaan dari arah selatan. Kuikuti suara itu, pandanganku
tertuju pada benda berkilau yang mereka genggam. Medali, emas, perak, perunggu, beberapa
anak-anak usia sekolah dasar menggenggamnya dengan bangga. Aku menatap medali itu
dengan tatapan iri. Sorak sorai lain semakin terdengar. Bola mataku dengan cepat bergulir,
memeta sekeliling. Aku terhimpit, aku terjebak diantara anak-anak pemegang medali.
Mendadak, hatiku sesak. Melihat mereka yang bahkan hanya setinggi pinggangku, telah
membawa banyak kemenangan.

Lihatlah anak-anak itu! Mereka sampai sempoyongan membawa beban pada piala juga
medali yang mereka menangkan.

Sebuah suara berbisik tepat di telingaku membuatku merinding. Aku semakin terhimpit.
Tubuhku menggelap, sedangkan mereka semua bercahaya. Aku ingin menyentuh benda
berkilauan itu. Aku harus menyentuhnya. Jika pun bisa, aku ingin mencurinya.

Ketika aku menjulurkan tangan, tubuhku tiba-tiba terpental. Aku melayang dan melesat
jauh entah kemana. Kakiku kembali menginjak tanah. Aku mengelus dada.

"Yang tadi itu apa?"

Kepalaku penuh tanda tanya saat ini. Aku mulai mengedarkan pandangan ketika
mendengar suara ketikan pada papan ketik. Tepat di sebelah kanan, ada meja-meja berjejer
sejajar dengan puluhan..., atau mungkin ratusan pekerja. Jemari mereka dengan lihai menari-
nari di atas papan ketik. Penampilan mereka formal dan rapi, harum tubuh mereka dapat
tercium jelas.

Aku terdiam ketika melihat lembar demi lembar uang tersusun di atas meja mereka.
Senyuman bahagia terukir jelas, dan uang-uang itu semakin menumpuk.

Mereka menghasilkan uang di usia muda. Apa kabar denganku?

Tidak. Tidak. Tidak. Suara sialan itu kembali berbisik. Kepalaku mulai terisi dengan bisikan-
bisikan aneh yang seakan mengolok diriku. Berat, bahuku semakin memberat. Rasanya seperti
ditahan oleh beton-beton besar. Mendadak, memori-memori lampau terputar di kepala.
Menampilkan aku di masa muda yang banyak menghabiskan waktu di ranjang, aku yang sedang
tertidur, juga aku yang sedang melamun.

Apa aku benar-benar telah banyak membuang waktu?


Aku jatuh dan berlutut, air mataku mengalir tanpa bisa ditahan. Kedua tanganku menutup
telinga, mencoba menghalau bisikan menyakitkan itu. Kupejamkan mata erat, enggan melihat
apapun. Namun, tidak lama setelah itu, aku merasakan tepukan kecil di bahu. Aku membuka
mata dan menoleh.

"Hai? Kakak kenapa duduk di sini?"

Seorang gadis muda dengan kacamata tebal sedang duduk di kursi roda. Aku mengusap
mataku kasar dan kembali mengedarkan pandangan. Ada anak-anak, remaja, juga orang
dewasa di tempat ini. Mereka semua tidak sepertiku. Mereka istimewa. Beberapa dari mereka
terlihat sedang berbincang menggunakan bahasa isyarat. Ada pula penderita autis yang
berusaha berbicara dengan lancar.

Aku terenyuh, mereka terlihat bahagia. Lama aku memperhatikan, satu orang dewasa
terlihat memukul-mukul lonceng. Mereka semua pun berkumpul, sedangkan aku masih
terpaku, di tempat yang sama. Kulihat mereka memejamkan mata, beberapa ada yang
mengadahkan tangan. Mereka berdoa.

Apa yang sudah kamu lakukan sepanjang hidupmu? Kamu tertinggal jauh.

Suara itu kembali terngiang, membuat pening kepalaku. Potongan-potongan memori terus
berdatangan, mengacaukan pikiranku. Bahuku semakin memberat, mataku kian memanas.

Aku tidak tertinggal, aku tidak tertinggal, aku tidak tertinggal.

Aku..., masih bisa bangun dan mengejar semua.

Aku terus bergumam, mencoba menyingkirkan bisikan brutal di kepalaku. Namun, hatiku
kembali sakit, fokusku pecah. Rentetan kejadian terus terbayang. Aku seakan terjebak,
sendirian, menjadi kecil, dan sangat kecil. Sedangkan mereka semua memiliki hal yang bisa
mereka tunjukkan. Aku... Apa yang bisa kutunjukkan?

Mereka sukses, mereka telah sukses. Aku jauh tertinggal.

Bisikan dalam kepalaku berubah menjadi seruan. Seruan penuh ejekan yang menjatuhkan.
Rasanya tubuhku terseret jauh, kembali melayang, namun kini terhempas begitu saja membuat
seluruh tulangku sakit. Aku membuka mata, hanya lorong gelap yang sepertinya tidak berujung.
Aku tidak bisa lagi merasakan tubuhku, semua sakit. Hanya air mata yang dapat terus mengalir
dengan rintihan kecil dari bibir bergetarku. Aku ketakutan. Aku ingin memperbaiki semua. Apa
tidak bisa? Tubuhku menggigil, dapat kulihat di depan sana terdapat kabut hitam yang datang.
Aku memejamkan mata lelah, bersiap akan semua kemungkinan yang akan terjadi.
Suara dalam kepalaku semakin berseru lantang. Aku menutup mata, menarik napas, lalu
menghitung mundur.

Tiga... Dua... Satu?

Hening. Sontak aku membuka mata, memastikan apakah kabut hitam itu berhasil
menelanku. Namun, nyatanya yang kulihat hanya langit-langit kamarku. Dengan panik, aku
bangun dan mengecek tubuhku.

"Tadi itu mimpi?"


Kau yang tak hilang dalam pikiranku

Oleh : Ais, dkk

Aku terduduk di sebuah taman yang indah sembari ditemani oleh langit malam yang sunyi. Lalu
mataku terpaku melihat sepasang kekasih yang dengan mudahnya tertawa lepas seolah mereka
tidak peduli dengan sekitarnya "Apakah aku juga masih bisa seperti mereka, tertawa lepas
bersamanya dengan mudahnya tanpa perlu terus berpikir hari esok akan seperti apa," suaraku
yang hanya bisa ku sampaikan lewat batin dan aku pun kembali terdiam dalam kenyataan.
Mata ini terus terpaku melihat mereka yang tertawa lepas hingga mereka beranjak pergi hilang
dari pandangan dan lagi-lagi aku hanya bisa bersuara dalan batinku, "kenapa setiap kali aku
merasa bahagia bersamamu, seolah tanpa komando pikiranku bekerja memikirkan hal yang
tidak-tidak, seolah semesta sangat tidak mengizinkan aku bisa bahagia dengan lepas."

Ingatanku kembali pada hari kemarin, saat aku dan kamu tertawa bahagia di sebuah taman
bermain. Tapi hari ini perasaan bahagia itu telah sirna digantikan perasaan kesepian dan sedih
yang datang secara tiba-tiba. Apabila bisa bertemu dengan Tuhan, aku akan berkata kepada-
Nya bahwa hidup ini adalah secangkir kopi hitam yang tak pernah aku minta.

Hari demi hari ku lalui tanpa ada canda tawamu. Aku menjalani hidup ini seperti pada hari-hari
biasanya. Suasana sepi yang tenang seringkali membuatku memikirkan hal-hal tentang
kehidupan. Lagi dan lagi aku memikirkan kehidupanku yang sekarang. Air mata ini mulai
membasahi pipiku. Orang yang menangis bukan karena mereka lemah. Tapi, mereka menangis
karena telah berusaha untuk kuat dalam kurun waktu yang lama. Ya sama sepertiku yang saat
ini hanya bisa menangis dibalik selimut yang membuatku nyaman sembari memeluk sebuah
bantal.

Dan semua itu aku nikmati sepanjang hari dengan dihiasi kesabaran. Ingatanku membayang
hantu tentangmu. Tersiksa dengan suasana sunyi, membuatku ingin menghilang dari dunia.
Kegelapan yang hanya bisa menemani kesedihanku. Aku kehilangan arah tujuan untuk hidup.
Barang yang sudah tua rusak akan menjadi tidak berguna sama seperti kehidupanku yang tidak
berguna. Pagi hari aku membuat secangkir kopi panas lalu aku meminumnya "srup srup srup."
Ternyata aku sedang menghibur diri sendiri yang sudah hancur. Kopi itu rasanya pahit, sama
seperti hidupku.

Sampai petang hari ini, aku hanya terdiam merebahkan tubuhku. Sampai akhirnya aku berfikir
"kenapa aku tidak keluar saja untuk mencari udara segar". Dan ya aku memutuskan untuk
mengambil tas selempangku dan memakai sepatu sneakers yang biasaku pakai. Mengendarai
sepeda motor menuju tempat tujuanku. Tempat tujuan itu adalah sebuah pantai yang cukup
sepi pengunjung. Duduk diatas pasir putih sambil melihat matahari terbenam dan itu
membuatku merasa cukup bahagia. Saat ku menikmati suasana seperti ini, ya aku menghirup
bau yang sangat tidak asing bagiku lewat begitu saja. Bau parfum yang selalu dia pakai. Aku
menghadap belakang dan ya benar, ada seorang lelaki yang baru saja melewatiku. Hanya
punggung saja yang bisa ku lihat, dan aku tidak berani untuk menegurnya. Pertanyaan-
pertanyaan dipikiranku mulai muncul " Apakah dia orang yang selama ini ada dipikiranku. "

Lama kumemandang pada punggung lebarnya, aku coba untuk memutar seluruh badanku
menghadapnya. Namun rasa bahagia yang hampir saja aku dapatkan kembali itu ternyata
hanyalah sebuah imajinasi yang ada dipikiranku. Bau parfum yang mengingatkanku akan dirinya
itu membuat imajinasiku menggambarkan siapapun yang aku lihat menjadi dirimu, sosok yang
pernah mengisi hari-hariku dengan kebahagiaan. Lagi dan lagi, dadaku terasa sesak, namun tak
ada lagi air yang bisa menetes dari mataku. Rasa sesak di dada ini berangsur menghilang seiring
terbenamnya matahari. Aku pun beranjak pergi dari pantai itu. Mencari tempat untuk
beribadah, dan kembali kepada-Nya setelah sepanjang hari hanya menangisi tentangmu.

Setelah hati ini tenang akupun beranjak pulang. Mengingat hari juga sudah mulai malam.
Ditengah perjalanan tiba-tiba hujan turun. Aku melihat sebuah halte dan akupun memutuskan
untuk meneduh sembari menunggu hujan reda. Tanpa aku sadari, ternyata halte ini adalah
saksi bisu pertemuan pertamaku dengan dia. Hati yang tenang pun kembali menjadi kacau,
pikiranku kembali dipenuhi olehmu, membuat imajinasiku kembali menampilkan sosokmu yang
sedang berdiri tepat di sampingku. Ya, persis sama seperti 2 tahun yang lalu, ketika aku
bertemu denganmu. Lamunanku tersadar ketika ada kakak beradik yang menepuk tanganku
sambil memanggil sembari menawarkan dagangannya berupa tisu. Lalu aku membelinya.
Sebelum mereka beranjak pergi aku bertanya kepada mereka.

"Dek kok masih jualan? kan ini sudah malam," Tanyaku.

"Iya kak dagangan kita masih banyak, kita harus menghabiskan semuanya hari ini juga" Jawab
salah seorang dari mereka.

"orang tua kalian dimana?"

"Ibu kami sedang sakit lalu ayah kami meninggalkan kita sewaktu kami masih kecil. Aku dan
adikku harus mencari uang lebih untuk membeli obat buat ibu" Jawab sang kakak. Setelah itu
mereka langsung pergi melanjutkan majajahkan dagangannya.

Hatiku berkecamuk, ternyata ada yang lebih jauh menderiita dari pada aku, selama ini aku
merasa hidupku lah yang paling menderita. Betapa malunya aku yang selalu mengeluh karena
hal sepele. Batin ini semakin tak menentu, rasanya semakin kacau. Diriku merasa malu dengan
kakak beradik itu. Tapi apalah daya, aku tidak setegar dan sekuat mereka. Aku sudah tidak kuat
dengan keadaan ini, akhirnya aku memutuskan untuk pulang kerumah dan tertidur sampai esok
hari, berharap saat bangun nanti batin ini sudah membaik.

Tapi nyatanya itu hanyalah angan-anganku saja, saat bangun pun batin ini masih merasa kacau
dan kalut memikirkan semua hal yang terjadi selama ini, apalagi kejadian semalam yang
membuat diriku merasa teramat malu.

"Bagaimana aku mengatasi ini? Rasanya kepalaku ingin pecah karena terus memikirkannya"
ujarku dengan lirih

Cerpen adaptasi dari puisi berjudul wajah-wajah

Karya Kahlil Gibran


HILANG

Oleh : Anisa, dkk

Langit tampak muram sore ini. Hujan baru saja reda, tetapi gerimisnya masih tersisa
untuk menemani langkah seorang gadis yang terdengar berkecipak membelah genangan air
hujan. Tak lama, terdengar suara tabrakan layaknya adu banteng yang saling seruduk. Rupanya
sebuah mobil avanza yang menghantam keras tubuh mungil seorang gadis bernama Annabel
Lee. Gadis itu terjepit, kepalanya bersimbah darah segar dengan pita merah yang masih
mengikat rambutnya.

Seseorang datang menghampiri rumahku dengan berkata "Annabel Lee tewas ditempat,
setelah mengelami kecelakaan yang menimpanya. Dia sudah tenang, dia sudah aman, dia akan
bahagia dengan kehidupannya yang baru disana dan senantiasa akan ada ribuan malaikat yang
akan menjaganya"

"APA MAKSUDMU? Kalian pasti berbohong, Annabel Lee tidak mungkin secepat itu
meninggalkanku! Kita sudah saling berjanji untuk senantiasa bersama dalam kurun waktu yang
lama. Hal itu tidak mungkin terjadi pada Annabel Lee"

Tanpa berpikir panjang, aku berlari menerobos dinginnya udara, yang kian lama kian
petang. Sesampainya di lokasi, seseorang datang menghampiriku, menepuk tipis bahuku
sembari menenangkanku. Seluruh tubuhku bergetar, air mataku terus mengalir membanjiri
pipiku.

Mulutku tak bisa berkata-kata ,Mataku tak sanggup melihatnya, siapa yang menyangka
Anabel akan meninggal tiba-tiba dengan cara mengenaskan seperti ini. Suasana penuh haru
disepanjang malamnya, kini dirumah duka Anabel sudah dirias begitu cantik, luka di kepalanya
dijahit begitu rapih walau masih terlihat jelas bekas jahitannya, melihat anabel membuat air
mataku tak henti-henti menetes, kerabat banyak berdatangan, mereka mencoba
menenangkanku dan menyuruhku untuk tegar dan ikhlas, tapi bagaimana bisa? Hatiku begitu
hancur dan aku yakin siapapun tak akan siap menerima semua ini secepat itu, kupandangi terus
wajahnya sambil berharap ia bisa hidup kembali dan menemani hari-hariku lagi seperti
sebelumnya.

Aku terus terjaga semalaman disamping petinya sampai waktu fajar tiba, tapi semua
yang kuharapkan tidak juga terjadi, tak lama waktu kotbah dan penghiburan dimulai, ini sedikit
bisa membuatku lebih tenang. Sekarang semua sudah bersiap menghantarkan Anabel ketempat
terakhirnya, seseorang mendekatiku dan menyuruhku untuk beristirahat saja dan tak usah ikut,
sebab mataku terlihat sembab dan juga sangat kelelahan karena menangis dan tidak tidur
sepanjang malam, tapi aku menolak dan bersikeras untuk ikut.

Ambulance pun tiba, kami segera mengangkat petinya masuk kemobil, aku duduk
dikursi belakang karena tak ingin jauh dari Anabel, supir mengangkat rem dan mulai menginjak
gas, dalam perjalanan aku terus melamun melihat keluar kaca dengan penuh tatapan kosong.
Tak lama kami sampai, Anabel akan segera dikubur, petinya mulai masuk ke dalam lubang
galian, tanahnya mulai menutupi peti, tak sadar kini air mataku mengalir lagi, dan sekarang
semua sudah rata tertutup oleh tanah, aku mulai menaburi bunga diatas peristirahatan
terakhirnya, keadaan ini sangat sulit kupercaya walau nyata, tapi semua terasa seperti mimpi.

Sulit. Beberapa hari tanpa kehadiran Annabel membuatku seperti mayat hidup.
Makan tak nafsu, suka melamun dan lebih parahnya lagi aku sering mengigau tentang Annabel.
Kerabat dan teman sudah memberi semangat dan motivasi kalau tanpa Annabel pun aku bisa
melanjutkan hidupku. Aku tahu tapi tidak semudah itu, aku sudah bersama Annabel dari kita
masih kanak-kanak dan aku sangat mencintainya. Aku muak mendengar celotehan mereka yang
menyuruhku untuk melupakan Annabel. Akan aku lakukan tapi tidak untuk sekarang, aku masih
berduka atas perginya Annabel.

Jelang beberapa Minggu, akhirnya aku memutuskan untuk berusaha mengikhlaskan


kepergian nya dengan cara pergi ke luar kota. Setelah 2 tahun diluar kota, aku pergi ke
pemakaman Annabelle dan aku duduk termangu disamping tempat peristirahatan terakhir
Annabelle. Awan yang berarak siang ini seolah memunculkan gambaran wajahnya yang sama
dengan 2 tahun yang lalu. Aku tersenyum berusaha mengikhlaskannya. Mungkin ini pilihan
Tuhan yang terbaik untuknya, dia pasti sudah bahagia dan tenang di tempat peristirahatan nya
sekarang. Aku meletakkan buket bunga mawar putih dimakamnya, sambil berbisik dibatu
nisannya, berharap angin ini menyampaikan salamku untuknya.

Harusnya aku melupakan kenangan-kenangan tentang masa laluku,dan memang sudah


seharusnya aku tefokus pada masa depanku. Karena ini memang keinginanku, keinginan yang
tak sejalan dengan hatiku. Selang beberapa bulan, aku sudah menjalani aktivitas dengan
normal. Hingga akhirnya waktu memberiku ruang kosong untuk menikmati kebahagiaan yang
ku kecap bagaikan sedetik saja.

Teman-teman baru perlahan mulai hadir dalam hidupku. Kehadiran mereka seakan
memberikan warna dalam kanvas putih kosong. Hidupku yang semula abu-abu, perlahan kini
mulai memunculkan warna.

Bahagia, itu yang ku rasakan saat ini. Harapanku, rasa ini terus ada dalam hidupku. Meskipun
aku tau, pasti ada tantangan di setiap kehidupan. Namun untuk saat ini, aku hanya ingin
mendalami perasaan bahagia ini.
Suatu hari aku berkunjung menemui kerabat yang sudah lama tidak aku temui,
bermodalkan sepeda motor aku melintasi jalanan dengan perasaan suka cita. Ditengah
perjalanan ada suatu tempat yang menghentikanku, kuberhenti sejenak untuk menatap
pemandangan yang indah di ujung sana seraya mendengarkan lagu kerispatih mengenangmu.

Danau ini masih sama seperti saat aku dan Annabel berkunjung, menghabiskan waktu
seharian dengan canda tawa. Banyak sekali kenangan yang ku lewati bersamanya, apalagi pada
saat dia menatap mataku dan mencium keningku. Aku ingin itu terulang lagi dan aku ingin
anniversarry tahun ini dia ada. "Annabel Lee? Andai waktu ini bisa ku putar, aku akan nunggu
kamu di sini. Walaupun sampai kapan pun, tapi ku rasa itu tidak akan pernah bisa terjadi karena
dunia kita sudah berbeda. Meskipun begitu cintamu akan tetap abadi dan tetap bersemi di hati
ini" Saat itu terasa Annabel Lee ada di sampingku dan tersenyum padaku.

Hari terus berganti sampai pada malam itu aku sedang membersihkan kamarku, tak
sengaja saat sedang merapihkan berkas-berkas dalam laci, aku melihat sebuah album yang
berdebu, aku yang penasaran mulai membuka album itu, ternyata didalamnya berisi foto-foto
ku dengan annabel, dimulai dari foto 13 tahun yang lalu dimana awal kami bertemu.

Aku ingat anabel dulu tetangga baruku pindahan dari luar kota, kami mulai berkenalan
dan dia sangat cantik, setiap hari kami bermain bersama, aku beruntung pada saat itu ibuku
banyak mengabadikan momenku bersama Annabel, sampai beranjak remaja kami semakin
dekat, lama-lama hatiku mulai berdebar saat menatapnya, aku mulai bertanya pada diriku,
apakah aku sedang jatuh cinta? Tapi perasaan ini kenapa tiba-tiba muncul? Apa karena dia
selalu menemani hari-hariku, cukup lama untuk ku memendam perasaan ini pada akhirnya saat
itu aku memberanikan diri untuk menyatakan cinta pada Annabel, jawabannya membuatku tak
bisa berkata-kata, ternyata selama ini Annabel mempunyai perasaan yang sama kepadaku, aku
sangat senang mendengar hal itu. kami mulai menjalani hari dengan saling menyayangi, dan
aku mencoba untuk selalu melindungi nya.

Aku tersenyum mengingat hal itu, menjadi seseorang yang paling beruntung karena
telah memiliki Annabel. Hari berlalu begitu cepat karena aku melaluinya dengan Annabel, aku
masih bersamanya. Hubungan kita baik-baik saja sampai suatu hari kesalahpahaman pun mulai
terkuak diantara kita. Perdebatan kecil sering kita lalui dan salah satu dari kita pasti akan
langsung memutuskan untuk berdamai. Aku memang tidak suka pertengkaran, begitu juga
dengan Annabel.

Tetapi, aku ingat hari dimana Annabel mulai meraguiku. Aku yang sibuk bekerja keluar
kota dan tidak sempat untuk bertukar kabar dengan Annabel apalagi menemuinya
menimbulkan secercah keraguan Annabel. Dia meragui keseriusanku dengan hubungan kita,
dan mulai berpikir kalau aku akan meninggalkannya. Harusnya dia tau, aku hanya mencintai
dirinya dan alasan aku giat bekerja adalah untuk menikahinya. Rasa muak pun timbul dalam
diriku, keraguan Annabel masih saja berlanjut sampai aku memutuskan untuk meminta waktu
sebentar agar aku bisa berpikir bagaimana meyakinkan Annabel bahwa aku bersungguh-
sungguh dengannya.

Annabel mengiyakan dan kita tidak bertukar kabar selama beberapa bulan. Kenangan
itu masih membekas, berpisah dengan Annabel merupakan mimpi buruk tidak pernah aku
duga. Aku masih menjaganya dari jauh, hanya itu yang bisa aku lakukan saat itu.

Hingga saat aku rasa hasil dari kerja payahku membuahkan hasil, aku memutuskan
untuk menemuinya. Menjelaskan secara rinci dari aku yang berusaha keras mengumpulkan
uang untuk menikahinya. Annabel mulai mempercayaiku, dan dia setuju saat aku mengajaknya
untuk segera menikah.

Ku usap foto Annabel sambil tersenyum penuh arti. Aku sangat senang kala ituu. Hal
yg sangat aku nantikan untuk segera menikahinya. Raut wajahku tiba-tiba muram, mengingat
takdir yang dari awal tidak ingin menyatukan aku dengan Annabel. Hari dimana aku mendapat
kabar bahwa Annabel kecelakaan lalu meninggalkanku. Aku tidak pernah menduga kalau
Annabel akan pergi secepat itu namun akupun tersadar cepat atau lambat semuanya pasti akan
pergi. Aku menghela nafas panjang dan meyakinkan diri bahwa aku sudah baik-baik saja tanpa
Annabel. Aku hanya mengikuti alur kehidupan dan mempersiapkan diri untuk hal yang akan
terjadi nanti. Tuhanpun pasti sudah mempersiapkan sesuatu yang lebih baik untuk diriku nanti,
seorang wanita yang tulus akan mencintai diriku seperti Annabel.
AKU DAN KEMATIANKU

Oleh: Erisha, dkk

Kegelapan dan kesunyian menyelimuti tubuh. Sendirian. Tidak ada sehembus udara maupun setitik
cahaya. Telingaku masih bisa mendengar dan tubuhku masih bisa merasakan, akan tetapi mataku hanya
bisa melihat kegelapan. Pikiranku kelu, terus berusaha mencari skenario yang mungkin sedang kualami.
Kicauan burung memecah pikiranku yang sedang kalut. Burung sialan. Aku bahkan tidak tahu apakah
mataku terbuka atau tidak. Rasanya tubuhku mati rasa bahkan untuk berkedip sekalipun.

Terdengar suara langkah kaki bergemuruh dan sekempulan orang yang berkerumun sembari
membicarakan tentang upacara pemakaman. Tunggu, upacara pemakaman? Siapa yang meninggal? Aku
tidak tahu apa yang sedang terjadi sekarang dan kenapa mereka membicarakan tentang upacara
pemakaman. Yang ada dibenakku sekarang hanyalah, "apakah aku sedang bermimpi?"

Otakku mendadak terpaku dan berhenti bekerja. Pikiran ini memaksaku untuk kembali menuju ke
waktu lampau dimana dalam bayangan tersebut mataku melihat sosok perempuan yang Aku yakini
adalah diriku. Ia tampak sangat kacau dengan wajah sendu, mata sembab, dan rambut hitam
panjangnya yang entah sudah berapa lama tak tersisir. Sosok itu berdiri di tepi jembatan dengan sungai
besar berada tepat dibawahnya. Iya, itu memang diriku.

Aku menangis tersedu-sedu sambil sibuk memukul dadaku yang terasa menyesakkan. Sekelebat
memori tentang masa lalu yang suram berkecamuk di pikiranku. Kepalaku semakin berdenyut
mengingat kejadian menyeramkan itu.

Hari itu, hari dimana semua pertahananku runtuh. Sesuatu yang aku jaga selama ini terenggut
begitu saja. Memang apa kesalahanku? Hari itu aku terbangun di sebuah ruangan bernuansa monokrom
dengan minim pencahayaan. Aku terduduk lesu di atas ranjang dengan pandangan menyisir seluruh area
ruangan yang aku yakini adalah sebuah kamar. Nafasku tercekat, dadaku berdegup kencang tatkala
pandanganku terpaku pada pakaianku yang berserakan di lantai. Apa yang baru saja terjadi? Mengapa
aku bisa berada di dalam kamar mewah ini yang bahkan besarnya melebihi rumahku. Dan mengapa aku
hanya sendirian? Tak sengaja pandanganku tertuju pada cermin besar di sisi kananku. Aku terkejut
melihat keadaan tubuhku. Rasa sakit disekujur tubuhku membuatku tersadar tentang apa yang baru saja
aku alami.
Aku tahu, sejak saat itu hidupku hancur. Kini hidupku seperti cangkang kosong yang tidak berharga.
Kucoba memahami keadaan karena aku begitu miskin dan tidak memiliki apapun selain harga diri.
Namun, hari menyeramkan itu membuat segala yang ada di tubuhku mati. Pikiranku kosong. Kubiarkan
rambut hitam panjangku terpotong oleh tajamnya pagar besi. Sakit. Tapi, sakitnya tidak seberapa
dengan rasa sakit yang meninggalkan lubang amat dalam di hatiku. Aku tidak peduli dengan perihnya
lambung ataupun tenggorokanku yang mengering. Aku adalah raga tanpa jiwa, berjalan kemanapun
tanpa tujuan. Melihat ke depan dengan mataku yang menghitam, mencari entah apapun yang bisa
membuatku aman. Tapi, tidak ada tempat aman untuk orang 'terbuang' sepertiku. Karena yang aku
tahu, dunia ini tidak begitu adil. Sangat tidak adil.

Aku berjalan dengan langkah terseok-seok tanpa arah. Kulihat kaki telanjangku yang berdarah-
darah. Mereka terlihat sama malangnya denganku. Kuamati kendaraan besar yang terus berlalu lalang di
sekitarku. Beberapa kali batinku berbisik agar raga ini berjalan menuju kendaraan itu dan membiarkan
tubuhku beradu dengan kerasnya benda itu. Aku menggeleng dan menyadarkan diri sembari menepuk
pipi. Tidak! Itu adalah skenario terburuk untuk mengakhiri hidup. Pandangku tertuju pada sebuah
jembatan dengan sungai besar di bawahnya yang terpaut 50 meter di depanku. Aku termenung sejenak,
lalu mencoba menggunakan sisa tenagaku untuk bisa sampai disana.

Kutatap sungai di bawah sana yang mengalir deras dengan raut wajah yang putus asa. Entah apa
yang ada dalam pikiranku, tanpa hitungan menit tubuhku tergoyah, lantas berdebur bersama derasnya
air sungai. Rasanya sangat menenangkan. Seolah semua beban yang kupikul hilang seketika. Mengalir
bersamaan dengan tubuhku yang lenyap dan karam dalam air. Sungguh menenangkan.

Aku tersentak tatkala mendengar suara nyanyian rohani kristen untuk perkabungan kedukaan dan
suara tangis dari orang-orang.

Ada waktu tuk berduka

Ada waktu tuk bersuka

Ada waktu tuk berdiam

Ada waktu tuk berkata


Namun di atas s'galanya

Ku tahu Allah ku bekerja

Mendatangkan kebaikan

Bagi yang mmengasihinya

Tidak! Aku menolak segala kemungkinan yang ada di pikiranku saat ini. Namun, suara keputusasaan
hatiku kala berada di tepi jembatan kembali menggema. Teringat lagi bagaimana Aku merasakan
kebebasan yang mengerikan. Dinginnya air sungai pun masih sangat terasa di tubuhku. Bayang-bayang
kematian, segala gambaran mengerikan tentang kematian kini berputar-putar di otakku. Lalu
pertanyaan semacam, "apakah aku sudah mati?" Terus memenuhi kepalaku.

Tidak! Tidak! Tidak! Aku kembali mengenyahkan segala kemungkinan yang terus memenuhi
kepalaku.

Aku terus mencoba memecahkan segala kemungkinan yang terjadi. Akan tetapi, semua hal itu
terasa tabu dan di luar akal manusia. Suara nyanyian rohani kristen yang mengiringi seakan membuat
jiwaku menerobos keluar dari tubuh dan hancur. Aku tersentak ketika merasakan tubuhku melayang
seiring dengan suara gesekan kayu dan tanah yang basah. Masih gelap yang kulihat dan ragaku tak
kunjung bisa kugerakkan. Semua hal yang terjadi sekarang membuatku merasa yakin bahwa semua yang
ada dipikiranku benar benar nyata.

Kematian.

Aku berada pada pemakamanku sendiri. Dalam sebuah peti mati yang terkubur, yang hampir tidak
memiliki ruang gerak. Apa yang bisa aku lakukan? Tidak. Semuanya telah usai. Aku hanya bisa
termenung dalam gelap dan kesunyian.

Lonceng berbunyi seiring dengan nyanyian rohani yang mulai menuju klimaksnya. Seberapa keras
Aku mengingat dan melihat, Aku tidak akan bisa melakukan hal itu karena Aku memang sudah mati. Dan
itu pilihanku. Tak ada gunanya Aku menyesal. Kurasakan tubuhku ringan dan nyanyian rohani sayup-
sayup menghilang. Kalau begitu, Aku harap Surga memiliki jam berkunjung agar Aku tidak kesepian.
Kini suara nyanyian rohani kristen telah sepenuhnya lenyap dari pendengaranku. Hanya ada
keheningan abadi yang mengelilingiku. Aku tersadar, Aku bukan lagi manusia. Aku bahkan tak bisa
mendefinisikan diriku saat ini. Aku menyebut diriku sebagai 'ras yang aneh'.
Lukaku

Adaptasi dari cerpen solitude / kesendirian

Malam ini aku terpaku di depan layar laptopku. Dengan setoples cemilan keripik kentang dan
minuman matcha hangat kesukaanku. Kucingku sudah kumasukkan ke kandang, lampu kamar
telah ku matikan, dan sekarang sudah setengah jam semenjak aku memposting foto di
Instagram-ku. Foto lama sebenarnya, fotoku saat liburan bersama kedua temanku bulan lalu.
Sebuah foto dimana terlihat 2 orang perempuan dan 1 orang laki-laki dengan senyum lebar di
tepi pantai.

Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur. Tiba-tiba atmosfer kesedihan itu datang lagi, begitu
sesak. Ingatan-ingatan buruk tentang hidupku terputar jelas di otakku.

Aku duduk di kursi paling belakang. Aku letakkan kepalaku di meja dengan posisi miring. Bahasa
Indonesia, pelajaran yang sangat membosankan. Getaran benda pipih yang ku taruh di saku
membuat aku mau tak mau melihat siapa yang menelepon. Bunda, nama bunda tertera di layar
ponselku.

"Tumben bunda nelfon jam segini" ujarku lirih.

"Pak," ucapku angkat tangan

"Izin ke belakang." lanjutku

"Silahkan." jawab Pak Untung

Aku melangkahkan kaki keluar dari ruangan ini.

Lalu aku menekan tombol hijau di layar ponselku.

"Halo bunda, ada apa?" tanyaku

Hening. Bunda tidak merespon pertanyaanku. Sebentar, aku seperti mendengar suara
sesenggukan di sebrang telepon.

"Bunda kenapa? Bunda nangis?" tanyaku lagi, khawatir


"Bunda gapapa, Acha lagi ada pelajaran? Bunda ganggu ya?" tanya bunda

"Ini Acha izin keluar bunda, bunda mau ngomong apa?" Aku penasaran

"Bunda mau tanya. Kalau Acha disuruh milih antara ikut ayah atau bunda, Acha mau ikut
siapa?" tanya bunda

"Bunda ngomong apasih? Acha gangerti apa yang dimaksud omongan bunda" ucapku heran.

*Keesokan paginya, waktu sudah menunjukkan pukul 04.45 am.

kudengar adzan subuh berkumandang.

Sekarang saatnya dimana aku harus bangun dan memulai kegiatan shalat subuh sebelum ku
lanjutkan mandi dan siap-siap untuk pergi ke sekolah.

Sesampainya aku di gerbang sekolah terdengar suara teriakan heboh dari salah satu sahabatku
yang entah terdengar dari mana "achaaaa! tunggu aku dong!" ucapnya, Aku memicingkan mata
ke segala penjuru arah dari timur ke barat. "hah, dimana sih dia?" kataku sambil binggung. Lalu,
kurasakan tepukan di punggung hingga badan ku hampir terdorong ke depan "Dor! aku disini
hoy. liat kebelakang dong, teriak-teriak dari tadi kaya orang gila bukannya nengok." kata mike.

"lah bukannya emang gila?" kataku sembari kabur meninggalkan mike

"yeee kurang ajar, jangan kabur!" kata mike yang bersemangat mengejar acha sembari
bercanda tawa sambil memasuki lorong kesekolah bersamanya.

Namanya Mike, teman baik baik nya Acha. Tahun ini mereka sekelas, mereka selalu bersama di
mana pun dan apapun keadaanya. Tidak ada rahasia diantara keduanya, seperti anak kembar
yang lahir dari berbeda ibu. Apasih rahasia yang tidak diketahui diantara keduanya?

Ding dong , bel sekolah berbunyi menunjukan bahwa saat ini jam terakhir kelas sebelum
selesai, "makan siang apa ya hari ini mike?" tanya acha binggung.

"hmmm mie ayam bangjo belakang sekolah aja yuk? kangen banget jujur!" kata mike
bersemangat.
"iya juga, udah lama banget ya? yuk pulang sekolah kita cus." ucap mike

"asikk" jawab mike.

Saat aku sedang merapikan buku dan tempat pensil diatas meja dan bersiap untuk pulang,
tetapi tiba tiba Ting bunyi notifikasi di handphone ku yang berasal dari rumah sakit yang biasa
aku datangi. Isinya tentang peringatan untuk medical check up yang harus ku datangi pulang
sekolah nanti, mata ku membelalak. mampus, ujar ku dalam hati . Aku lupa bahwa hari ini ada
janji dokter untuk melakukan pemeriksaan rutin tiap minggu nya. aku binggung menjelaskan
kepada mike untuk mengagalkan janji makan siang kita di warung mie ayam kesukaan nya.

"Mike.. maaf banget yah, tapi aku ada janji mendadak banget hari ini, kita batalin jadi besok aja
ya makan mie ayam nya? kataku membujuk nya.

"Yah.. kok gitu cha? emang nya ada apa? serius nih? gabisa kalo kita makan dulu? " ujar mike
sedih, "Maaf banget mike.. besok deh yah? janji! aku duluan yaa telat banget nih, dadah! "
ucapku sembari berjalan cepat meningglkan mike di kelas dan bergegas pergi ke rumah sakit,
yang mana Mike belum tahu perihal sakitku yang ku rahasiakan selama ini, sendiri.

Hari pun terus berlalu. Aku menjalaninya seperti biasa. Aku yang selalu pulang telat karena
ekskul, aku yang tak pernah bosan menjaili mike, dan aku yang rutin check up ke dokter.

Aku dikenal sebagai gadis pintar, aktif, dan ceria. Beberapa kali aku memenangkan kejuaraan
tingkat nasional. Aku pun tidak sukar untuk mendapatkan banyak teman, bisa dibilang kalau
aku ini _friendly?_ .

Pagi ini, untuk kesekian kalinya aku tidak berangkat sekolah karena alasan yang sama. Ya, check
up ke dokter. Aku pun bergegas berangkat menuju rumah sakit.

*Kringg bel sekolah berbunyi tanda pembelajaran jam pertama segera dimulai. Sedari tadi Mike
menunggu kedatangan Acha tapi sobat karibnya itu sama sekali tak terlihat batang hidungnya
sampai detik ini. "Ish si Acha dah jam segini belum berangkat juga, pasti bolos lagi tuh anak",
gerutu Mike.
Sepulang sekolah, dari kejauhan Mike melihat seorang lelaki berbadan tinggi yang tak lain ialah
Dikta. Dikta, sahabat baik Acha dan Mike. Ia beda kelas dengan kedua sahabatnya itu.

"Dik! Diktaa!!," teriaknya. Dikta pun menoleh "Eh Mike, tumben sendirian. Mana Acha?," tanya
Dikta.

"Ngga tau tuh si Acha ga berangkat lagi," ujar Mike kesal.

"Loh Acha ga berangkat kenapa? Dia sakit?," tanya Dikta lagi.

"Ngga tau Dik, akhir-akhir ini Acha sering banget ga masuk sekolah. Aku jadi curiga deh," ucap
Mike.

"Hmm, apa besok kita tanya aja sama dia?,"ujar Dikta.

"Okelah," ucap Mike singkat.

Beberapa hari kemudian aku kembali cek up ke dokter. Namun kali ini fisikku sedang melemah.
Aku disarankan untuk istirahat dan tidak diperbolehkan banyak bergerak oleh dokter. Karena
itu, aku memutuskan untuk tidak masuk sekolah dalam beberapa hari kedepan sampai aku
kembali normal. Walaupun aku hanya berdiam diri dirumah, dan tidak bertemu degan teman-
teman, tetapi aku tak pernah merasa kesepian. Karena si belang kucing kesayanganku selalu
menemaniku dirumah. Ponselku bergetar, rupanya itu pesan dari Mike yang menanyakan
kenapa aku tidak berangkat hari ini. Namun pesan itu hanya aku baca karena aku bingung harus
menjawab apa, tidak mungkin jika aku mengatakan yang sebenarnya. Aku tak ingin membuat
teman-temanku khawatir dengan masalah yang menimpaku, aku tak ingin mereka tau apa
penyakit yang diderita aku selama Ini. Cukup aku saja yang merasakan, karena bagiku mungkin
Ini sebuah ujian dari Tuhan supaya aku menjadi manusia yang lebih kuat dari sebelumnya.

Pembelajaran di sekolah pun berlangsung. "Ayo anak-anak sekarang kumpulkan tugas yang ibu
beri kemarin". Ujar guru yang sedang mengajar di kelas Acha. Mike melipat tangannya di atas
meja dan berkata "aduh kenapa ya Acha ngga berangkat lagi". Tak lama kemudian bel istirahat
berbunyi *kringggg. Mike berjalan menuju kantin untuk membeli bakso yang biasanya ia santap
bersama Acha. Tak sengaja Mike bertemu dengan Dikta yang sama-sama sedang mengantri
bakso Pak Agus. "Kebetulan ni kita ketemu. Ada yang mau aku omongin soal ekskul." ucap Dikta
kepada Mike. Lalu mereka duduk berhadapan sembari menyantap makanan yang ada didepan
mereka. Dikta menyampaikan bahwa ekskul mereka akan mengadakan sebuah event di sekolah
dan harus membentuk beberapa kelompok terlebih dahulu. Acha salah satu anggota dari ekskul
tersebut. Tanpa pikir panjang Mike dan Dikta memasukan nama Acha kedalam list kelompok
ekskul nya. Mereka berunding untuk memutuskan kapan mereka akan mengerjakan tugas yang
diberikan ketua ekskul tersebut. "Aku setuju kalo hari sabtu waktu kita libur sekolah". Dikta tiba
tiba melontarkan kata-kata tersebut, dan si Mike menyutujui nya. "Namun bagaimana dengan
Acha? Apakah dia mau?" ucap Mike dengan ekspresi kebingungan. "Coba nanti kita hubungi dia
lewat telefon kalo ngga diangkat ya apa salahnya kita kerumah dia" jawab si Dikta. Namun Mike
langsung menimpa kata yang diucapkan Dikta dengan berkata "ah! aku sudah berkali kali
mengirim pesan tapi tetep ngga ada balesan sama sekali, ngga kaya biasanya."

Tiba dihari sabtu waktunya mereka bergegas untuk menemui Acha ke rumah nya. Mereka
berharap bisa menemui Acha agar bisa menyelesaikan tugas ekskul nya. Belum sampai di
rumahnya tiba-tiba Dikta melihat wanita berjalan terburu buru keluar dari gang menuju rumah
Acha. "Mika hey! Coba deh kamu liat wanita baju biru itu. Dari belakang mirip Acha. Iya kan?"
Dikta menepuk punggung Mike yang sedang duduk disebelahnya, dan bergegas mengikuti
wanita itu dengan mobil yang ia kendarai. Tak lama kemudian wanita itu memanggil tukang
ojek dan benar itu adalah Acha. "Kenapa dia gugup seperti itu ya dik?" tanya Mike tanpa ada
jawaban dari Dikta. Setelah beberapa menit perjalanan, Acha yang sedang diikuti oleh dua
sahabatnya pun turun dari motor dan menuju kesuatu tempat. Setau mereka itu adalah sebuah
klinik terapi. Mike dan Dikta memutuskan untuk tidak turun dari mobil. Mereka berencana akan
turun dan masuk ke tempat itu untuk mencari tau apa yang sebenarnya terjadi pada
sahabatnya, setelah Acha keluar dari klinik tersebut.

Setelah menunggu hampir 2 jam lamanya akhirnya Acha keluar dari klinik tersebut dan
membawa kantong plastik yang berisi obat obatan. Dikta dan Mike pun segera memasuki klinik
tersebut dan menanyakan kepada petugas di klinik itu "maaf saya ingin menanyakan rekam
medis pasien yang tadi periksa disini atas nama Acha" ucap dikta. "Mohon maaf apakah kalian
ada hubungan keluarga dengan pasien?". Mike dan Dikta saling bertatapan bingung. Lalu Mike
menjawab "saya teman dekat nya sus". "Maaf rekam medis pasien tidak dapat di tunjukkan jika
tidak ada persetujuan dari pasien". Dikta dan Mike sekarang sudah di depan gang rumah Acha
karna di klinik tadi mereka tidak berhasil mengetahui penyakit Acha. "Sebenernya apa yang
terjadi ya, Acha gak pernah sekalipun bilang ke aku dia ada riwayat penyakit" ucap Mike yang
menjadi sahabat dekat nya Acha. "Ayo lah kita kerumah nya dan tanyakan langsung supaya
semuanya jelas Mik". Setelah sampai di rumah Acha dikta mengetuk pintu rumah Acha *tokk
*tokk "Assalamualaikum". Acha yang sedang duduk di ruang keluarga pun segera menuju ke
pintu "Loh Mike Dikta, kalian ngapain kesini, ayo masuk" dengan perasaan gelisah Acha
mempersilahkan masuk "Cha kamu udah beberapa hari gak masuk, semua pesan gak kamu
balas, sebenarnya kamu kenapa cha, cerita ke kita". Acha dengan tatapan ingin menangis "Aku
ngga ada maksud untuk gak sengaja balas pesan pesan mu Mike, beberapa bulan yang lalu
bunda sama ayah memutuskan untuk berpisah, keadaan nya udah nggak kaya dulu lagi, aku
merasa berat menjalani semua nya, dan minggu ini penyakit lama ku kambuh yang
mengharuskan kontrol satu minggu sekali". Air mata Mike mengalir dengan mata yang menatap
Acha sahabat dekatnya itu, Mike tak menyangka sahabat dekatnya melewati semua ini dengan
sendirian. "Kamu dari awal harusnya cerita ke aku cha". "Aku nggak mungkin bilang ke kamu,
aku takut kamu khawatir aku nggak mau merepotkan orang lain".

Hatiku sesak saat mengatakan itu. Bukannya aku tidak mau terbuka dengan sahabat-sahabatku,
aku hanya tidak ingin mereka juga mendapat beban dari masalah-masalah dalam hidupku.

“Gapapa loh Cha kamu cerita kita ini kan udah sahabatan lama, kamu ga harus keras sama diri
kami sendiri. Kamu ga harus nanggung beban kamu sendirian. Ya its okay meskipun kita ga
mungkin bisa bantuin semua masalah kamu. Tapi seenggaknya cerita Cha, cerita. Dengan cerita
aja pasti bisa ngurangin beban yang ada di kepala kamu. Ya? “

Ucap Mike padaku dengan mata yang sembab, mati-matian menahan tangisnya.

“Cha kamu tahu ga apa gunanya ada sahabat di dunia ini, mereka ada bukan Cuma buat
nemenin kamu Cha, mereka lebih dari itu. Sahabat itu mereka yang selalu ada dalam keadaan
apapun. Kita ga Cuma nerima senengnya kami, cerianya kamu, kita juga mau dengerin masalah-
masalah kamu Cha. Dan jangan pernah nganggep kalau kamu itu bakal ngerepotin kita.”

Ucap Dikta dengan serius,

Aku baru pernah melihat dua temanku se serius ini, dan ini menyakiti hatiku. Aku tidak bisa
menahan tangisku lebih lama lagi.

“Maafin aku yang selama ini ga terbuka sama kalian, kualitas saat ini aku janji akan terus terang
kalau ada apa-apa. Terimakasih udah mau jadi sahabatku. Tetap gini sampai selamanya ya.”

Setetes, dua tetes, air mataku jatuh tanpa di komando. Aku, Dikta, dan Mike menangis dalam
pelukan kami bertiga. Pelukan paling hangat di dunia. Pelukan yang tidak bisa aku dapatkan di
manapun bahkan dari keluargaku sendiri.

Dari semua kemungkinan-kemungkinan bertemu orang di dunia ini. Bertemu dan bertumnuh
bersama mereka adalah salah satu hal yang paling aku syukuri di dunia.

Anda mungkin juga menyukai