Anda di halaman 1dari 7

DALAM GELAP

pada langit kelabu sore itu, pada sajak yang pilu mengabu

ada sebuah memori yang terus mengusik hati

menggores kenangan pahit dalam gelap, membiaskan kenyataan sendu menyayat nadi.

---

Sunyi menyelimuti aku. Suram, dingin, dan hampa menusuk-nusuk kulit. Ruangan gelap yang sangat
mengerikan berukuran 2 x 2 m menghantui aku. Aku lelah, aku ingin mengakhiri semua ini, aku bahkan
berharap agar Tuhan mengambil nyawaku detik ini juga. Jeritan hati yang takkan pernah terbalas, suara
isakkan tangis yang takkan pernah di dengar membuatku hanya bisa pasrah kepada sang Maha Kuasa.

“Lepasin gw! Gw benci sama lo! Tolongggg!!” aku berteriak dengan lirih, meronta penuh kesakitan
dengan setitik asa yang masih tersisa.

Bayangan hitam berkelebat di depanku, suara langkah kaki terdengar begitu jelas. Di ujung ruang gelap
ini, aku tertunduk tak berdaya, jeritan hatiku terus meminta, mengharapkan belas kasihan.

“HAHAHAHA”

Seorang pria bertubuh tinggi, memakai hoodie hitam, tertawa senang melihat kondisiku yang sangat
memprihatinkan. Dia mendekatkan wajahnya kearahku. Sumpah, rasanya aku ingin mati!

Bau apek dari ruangan tua ini sirna oleh ketakutanku. Perlahan tapi pasti, pria itu semakin mendekat
membuat air mata mengalir deras membasahi pipiku. Apa yang akan dia lakukan padaku? Dia sedang
mabuk bukan? Aku takut, sungguh…

“Lo mau bebas?”

Aku menggangguk cepat.

“Hmmmm” dia membalikkan badannya, berkacak pinggang, sombong sekali gayanya, “Kalau gitu lo
harus nurutin semua perintah gw dan gw jamin lo akan hidup bahagia!” ancamnya seenak jidat.

Aku memberontak, berusaha melepaskan tali tambang yang sedari tadi mengikat tangan dan kakiku.
Aku ketakutan setengah mati. Aku hanya bisa berdoa agar dia tidak melakukan hal yang aneh padaku.

“Kenapa? Kenapa gw harus nurutin semua perintah lo? Emang lo siapa?”

Rupanya Tuhan memberiku sedikit keberanian untuk melawan pria berandal itu.

“ARGH”

Aku menjerit kesakitan, tanpa banyak basa-basi dia mencekik leherku. Matanya menatap tajam bola
mataku, berapi-api, dan sangat mengerikan.

Dia mendekatkan bibirnya kearahku, membuat bahuku bergetar hebat. Pria itu membuka hoodienya
dan….

Deg!
Aku membulatkan mataku, menatap dalam manik matanya yang ada di depanku saat ini. Aku mundur
beberapa inci, tanganku menggenggam erat sebuah tiang yang ada dalam ruangan itu.

Jantungku berdegup tak karuan, aku semakin gemetar dan ketakutan. Sedetik kemudian dia membelai
rambutku dengan senyuman buayanya.

“Jadi gimana? Mau nurut sama gw kan?” tanya pria itu yang semakin membuatku larut dalam
ketakutan.

Aku membeku.

“JAWAB GW!” dia membentakku, meminta jawaban

Dengan terpaksa, walaupun sebenarnya aku tak mau, aku akhirnya menuruti perintahnya.

>>><<<

Siang itu, cuaca begitu terik. Matahari berada tepat di atas kepala, membuatku semakin pusing dan
mual. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku, entah mengapa belakangan ini aku merasakan
sesuatu yang amat berbeda. Setiap pagi aku selalu mual dan hampir seharian ini kepalaku pusing.

Hari ini adalah hari Senin, hari yang sangat menyebalkan sekaligus membosankan bagi anak kelas X IPA5,
kelasku.

“Silahkan berbaris dengan rapi. Kita akan mulai pemanasan. 1 baris di isi oleh 2 orang, laki-laki dan
perempuan!” perintah Coach Jonathan, guru olahraga kami yang biasanya kami panggil Coach Jojo.

Mataku terbuka sempurna, aku mengeryitkan dahi kebingungan. Mengapa harus begitu? Laki-laki dan
perempuan? Ah sudahlah, kepalaku sangat pusing dan kurasa hal semacam itu tidak perlu kupikirkan.

“Apaan sih lo?!”

Aku terkejut setengah mati ketika teman sekelasku yang bernama Daniel Bagaskara menarik
pergelangan tanganku dengan kasar. Aku merinding, aku ingin melepaskan diri darinya, namun sungguh
aku tak berdaya di hadapannya.

“Sayang… lumayan kan kita bisa berduaan gini?” dia mengelus pipiku, membisikkan ucapan yang
semakin membuatku mual.

Aku mendorong tubuhnya dengan cepat, aku takut, aku gemetaran, aku jijik.

“Shania, Daniel!!! Jangan main sendiri! Perhatikan Coach!” Coach Jojo menaikkan nadanya beberapa
oktaf, dia menyuruh kami berbaris dengan rapi.

“COACH JOJOO, TOLONGGGG!”

Sedetik kemudian, aku tak bisa mengontrol teriakkanku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku benci dia. Aku
sangat membenci Daniel yang baru saja memelukku dari belakang.

Sungguh menjijikan dan tidak tahu malu!

“DANIEL KAMU NGAPAIN? KAMU APAKAN SHANIA?” Coach Jojo terlihat tak santai dengan kejadian yang
baru saja menimpaku.
“Ah… enggak kok Coach. Aku ga ngapa-ngapain. Ga tau tuh Shania tiba-tiba teriak sendiri. Ga jelas kayak
orang gila” pria titisan setan itu mengangkat bahunya, menampilkan ekspresi tak berdosa.

Mendengar ucapannya aku ingin menjerit, mengatakan pada dunia kalau Daniel sedang berbohong.

Berbagai kata sumpah serapah telah kuumpat dalam hatiku. Bagaimana bisa pria itu berlagak tidak tahu
apa-apa setelah kejadian tadi yang membuat memori lama itu kembali terbesit dalam benakku?

“Shania kamu kenapa teriak?” Coach Jojo kini mengintrogasi diriku.

Aku menggeleng samar. Aku tak mampu berkata-kata, kurasa hanya air mata yang mampu
mengutarakan semua rasa yang ada dalam hatiku sekarang.

Semua mata memandang kearah kami, sementara aku? Aku memilih untuk pergi, kabur dari gedung
sekolah yang paling kubenci ini. Aku berusaha mengadu pada langit yang bediri teguh, melepaskan
semua luka yang mengikat diriku.

“Lihat aja lo Shania, tunggu tanggal mainnya!” Daniel menatap Shania dengan sinis, ia tersenyum penuh
kemenangan.

>>><<<

Aku berjalan mondar-mandir, berusaha mengatasi kepanikan yang membuatku insomnia belakangan ini.
Tanganku bergetar, bulu kudukku berdiri saat memegang benda kecil ini. Aku berusaha mengendalikan
emosiku.

Aku memejamkan mataku, menarik napas panjang, meyakinkan diriku kalau semua akan baik-baik saja.
Setelah lumayan tenang, aku memberanikan diriku untuk mengangkat benda kecil itu dan sedetik
kemudian aku seakan dikagetkan oleh petir yang menggelegar di siang bolong.

Tubuhku luruh ke lantai, mulutku komat-kamit, aku tak sadarkan diri selama beberapa detik.

Tangan kananku membekap mulutku agar suara teriakanku tak terdengar sampai keluar ruangan.
Namun apalah daya, aku tak sanggup menerima kenyataan ini, secara spontan aku berteriak sekencang
mungkin, menampar pipiku sekeras mungkin, merutuki kebodohan yang sangat fatal yang pernah
kuperbuat dalam hidupku.

Sorot mataku menatap tajam benda itu, menggambarkan rasa penyesalan, ketakutan, kekecewaan, dan
kebencian. Tespack bergaris dua kulemparkan begitu saja dengan emosi yang meluap-luap. Tangisan
dan teriakkanku semakin menjadi. Aku semakin brutal.

Ketakutanku selama ini menjadi nyata, semenjak kejadian hari Senin kemarin, saat pelajaran olahraga,
aku sudah mulai merasakan sesuatu yang sangat aneh dalam tubuhku. Kepanikan itu semakin menjadi
ketika aku sadar kalau aku sudah telat satu minggu.

“Terus apa yang harus aku lakukan sekarang?” lirihku putus asa.

Bagaimana reaksi mama papa? Bagaimana reaksi teman temanku? Dan bagaimana masa depanku nanti?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui kepalaku, membuatku semakin cemas dan frustasi.
Aku mencengkram perutku dengan begitu keras. Menangis penuh penyesalan. Aku tak menyangka kalau
sekarang aku sedang hamil.

Otakku terus memikirkan satu nama: Daniel Bagaskara. Aku yakin, dialah pelaku dibalik semua ini, dialah
orang yang telah menghancurkan hidupku.

Aku langsung teringat kejadian 3 minggu lalu, kejadian yang takkan pernah kulupakan seumur hidupku.

Aku kehilangan arah, aku kehilangan semangat hidup detik ini juga.

>>><<<

“Sorry gw telat, tumben lo ngajak ketemuan?”

PLAKK

Tamparan itu mendarat mulus di pipi Daniel, membuat cowok itu meringis kesakitan. Dia menatapku
kebingungan

“Kenapa sih lo?” amuknya tak terima.

“LO YANG KENAPA DAN?!!”

Teriakan dan air mataku lagi-lagi spontan terjatuh tanpa kuperintah. Aku sangat hancur.

Daniel mengeryitkan alisnya setelah melihatku berteriak dan menangis keras, “Lo ada masalah?”

Aku mengepalkan tanganku dengan kuat. Sungguh aku tak tahu bagaimana untuk menjelaskan semua
ini. Kejadian ini terlalu sakit untuk kujelaskan, setiap mengingatnya aku hancur, hatiku terluka.

Dan yang lebih parahnya lagi apakah dia sudah melupakan semua kejadian itu? Secepat itukah?

10 menit berlalu, keheningan menimpa kita. Aku yang masih diam seribu bahasa sementara Daniel
masih terlihat kebingungan dengan sikapku.

“Lo sebenarnya sayang sama gw atau nggak?” aku akhirnya memberanikan diri untuk membuka suara,
memecah keheningan di antara kami.

Daniel menoleh kearahku yang masih menangis tersedu-sedan, menatapku dengan wajah bad boy
khasnya “Enggak sih, waktu kemarin gw ngancem lo di ruangan gelap itu….”

Daniel menggantungkan ucapannya, sementara aku tersentak mendengar pengakuannya. Aku


menatapnya penuh emosi dan kebencian.

“Terus? Terus apa maksud lo nyekap gw dan…” aku membuang mukaku ke samping, memori itu kembali
terlintas dalam benak, aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku.

“Ya, itu sih gw cuman mau muasin hawa nafsu gw aja” jawab Daniel santai dan cepat. Rupanya dia masih
ingat kejadian itu.

PLAKK

Tamparan kedua mendarat dengan lebih keras di pipi kanan Daniel.


“LO KENA-”

“LO TAU? SEKARANG GW LAGI HAMIL DAN SEMUA ITU GARA-GARA LO BANGSAT!” aku mengepalkan
tanganku, menatap Daniel yang masih meringis kesakitan. Aku meluapkan semuanya, semua emosiku,
semua rasa kekecewaan, penyesalan, kebencian, dan ketakutan yang bekecambuk menjadi satu.

“LO MAU NGGAK TANGGUNG JAWAB? LO MIKIR NGGAK GIMANA MASA DEPAN GW NANTI? LO
BERPIKIR SAMPAI SEJAUH ITU NGGAK SIH??!!” aku masih terbakar emosi, aku berteriak dengan sangat
kencang di depan wajahnya.

Muka Daniel tampak terkejut, ekspresinya berubah 180 derajat. Pria itu kebingungan, dia mengalihkan
pandangannya ke cahaya senja yang menenangkan hati. Seketika otaknya berputar cepat, mengingat
kembali kejadian 3 minggu lalu, di ruangan gelap itu, dan juga saat jam pelajaran olahraga.

>>><<<

Dengan terpaksa, walaupun sebenarnya aku tak mau, aku akhirnya menuruti perintahnya.

“Sini lo, ikut gw!” Daniel menarik tanganku dengan kasar, aku yang sudah sangat pasrah menghadapi
pria mabuk ini hanya bisa menuruti semua permintaannya.

Brakkk

Pintu di buka dengan begitu keras oleh Daniel dan betapa terkejutnya aku kala menyadari Daniel
membawaku ke dalam kamar yang gelap ini. Hanya kita. Berdua.

Pikiranku semakin tak karuan, napasku tak terkendali. Ditengah kegetiran yang amat menyiksa, aku
masih memohon keajaiban dari Tuhan.

“Daniel!! Jangan gini!!!” aku berusaha membentaknya, mengurungkan niat kejinya.

Namun, pria berandal itu tak mendengarkanku, mabuknya semakin parah. Sekejap kemudian, di luar
ekspetasiku, dengan secepat kilat, dia menggendong aku dan membiarkanku berbaring di ranjang itu.

Aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya yang erat itu dan sialnya dia tidak menyisakan satu celah
bagiku untuk kabur.

Aku tidak bisa diam saja. Aku bukan cewek murahan. Bagaimanapun caranya aku harus bisa bebas dari
sini.

“DANIELL!!!” aku tanpa sadar menampar wajahnya dan masih berusaha untuk mendorong tubuhnya.
Tapi apalah daya, tubuh Daniel terlalu kuat, aku tak punya cukup tenaga untuk menjatuhkan tubuhnya.

“Sayang…” panggilnya lembut.

Aku menggigit lidahku dengan kuat, berusaha untuk tenang walau itu mustahil.

“DAN!! PLEASE LEPASIN GW SEKARANG!!” teriakanku kini disertai dengan tangisan pasrah yang keluar
dari dalam relung jiwaku.

Pria itu masih tak sadarkan diri, kelakuannya semakin membuatku gemetaran.
“Shaniaa… gw mau ci-hmppftt” wajah Daniel kian mendekat ke wajahku, aku gemetar bukan main dan…
sedetik kemudian dia menciumku dengan kasar.

Aku menatap Daniel dengan sangat ketakutan. Tubuhku bergetar hebat menahan sakit yang amat perih.

Aku mendapati Daniel sedang tertidur pulas di dadaku, seolah kejadian tadi bukan apa-apa baginya.

Seketika itu juga aku kehilangan nyawaku, hatiku hancur, dan semuanya lenyap dalam malam itu.

>>><<<

“DANIEL JAWAB GW!!” aku menyenggol lengannya kasar, membuyarkan semua lamunannya.

Dia kembali menatapku dengan ekspresi yang berbeda, “Yaudah gugurin aja apa susahnya sih?”

Mulutku ternganga, emosiku sudah sampai di ubun-ubun, membara penuh kebencian.

Aku menarik kerah bajunya dengan kasar, membuat pria itu mendekat kearahku, “MAKSUD LO APA
DAN??”

Dia mendengus sebal, tapi jujur aku tak bisa menerima perkataannya, “Terus kalau lo nggak mau gugurin
emang lo mau ngejaga dia sampai lahir, emang lo mau tanggung jawab?”

Aku menggelengkan kepala tak percaya, aku tak menyangka Daniel sebejat ini, “Daniel, lo nggak ada
niatan buat tanggung jawab dikit gitu?” tanyaku melemahkan nada, aku kecewa.

Daniel menatapku sebentar, “Kalaupun gw mau tanggung jawab emang lo mau nerima kenyataan ini?
Emang lo nggak ada niatan buat gugurin kandungan lo?”

Aku terdiam, mencerna ucapannya baik-baik. Memang benar adanya, sejak hari itu, aku sudah berniat
menggugurkan kandunganku.

“Yaudah gw balik, udah nggak ada urusan lagi kan?” tanyanya jutek.

“Anjing lo Dan!” aku kembali terbakar emosi, aku sangat stress dan masih tak mengerti.

Bagaimana bisa dia tidak mau tanggung jawab dengan semua ini? Setelah semua yang dia lakukan
untukku? Semudah itukah dia menghancurkan aku dan pergi begitu saja? Dasar cowok pengecut!!

“Lo udah ngancurin hidup gw. Gw udah kehilangan semuanya dan sekarang lo main pergi begitu aja? LO
PUNYA HATI NGGAK SIH???” amarahku sudah berada di puncak tertingginya, aku tak peduli dengan apa
yang akan terjadi selanjutnya.

Daniel menghentikan langkahnya, dia berbalik kearahku dengan dingin. Pria itu tampak sangat marah
kepadaku “Terus lo mau apa Shan? LO MAU APA??!!”

Mengapa jadi dia yang emosi? Bukannya seharusnya aku yang lebih pantas untuk marah?

“Gw mau lo tanggung jawab Dan! Gw korban Dan!”

Aku masih teguh pada pendirianku, aku ingin dia membayar semua penderitaanku, dia yang telah
menyebabkan semua ini terjadi, aku takkan membiarkan dia bebas begitu saja.
Daniel menarik tubuhku dengan kasar, firasatku semakin buruk.

“GW NGGAK MAU TANGGUNG JAWAB SHAN! GW NGGAK SUKA SAMA LO!” Daniel semakin meluapkan
emosinya.

“DASAR PENGECUT!” balasku tak kalah emosi.

Daniel mengepalkan tangannya, sepertinya dia sangat tersinggung akibat ucapanku dan benar saja…

“Arghh” aku menangis, meringis kesakitan, perutku nyeri, sangat nyeri.

Daniel mendorong tubuhku, membuatku terjatuh dengan cukup keras.

“Dan, lo mau ngapain Dan? Perut gw sakit banget Dan…” lirihku berusaha menahan sakit yang teramat
sangat.

Pria berandal itu tidak mempedulikan aku, dia semakin menjadi, memaksaku untuk berdiri dan berjalan
mengikutinya.

Sumpah dia lebih menyeramkan dari sebelumnya. Dia seperti orang psikopat. Aku tak tahu apa yang
akan dia lakukan kepadaku.

“Dan, gw mohon…. lepasin gw sekarang, Dan” aku memohon putus asa, aku sudah tak punya tenaga
untuk melawannya.

Aku pasrah. Aku menyerahkan semuanya kepada Tuhan.

Brukkk

---

Anda mungkin juga menyukai