Anda di halaman 1dari 7

Hitam dalam Putih

Oleh: Hilma Varasma

Tungkai terus meniti. Berusaha meraih chandra bertabur asterik dalam kelamnya gemilau
jumantara.

Tapi, diri sadar akan kekosongan yang 'tak mampu terisi. Tangan ini, hanya bertumpu pada
tangkai yang rapuh.

Hingga anika berdesir, mematahkan satu-satunya pondasi 'tuk menopang.

Jarinya berhenti menulis. Netra menatap bait-bait tulisan yang telah selesai terangkai di atas
putih. Roman terlukis sendu di dalam sana. Pikiran itu menggegau benaknya kembali.

'Aku memang tidak berguna.'

'Apa yang harus kulakukan?'

 Isi kepala bersifat negatif, menumbuhkan rasa cemas dan overthinking yang mampu mematahkan
diri atas kendali.

'Tak lama, air mata turun menelusuri kedua pipinya yang memerah. Lantas, jari-jemari menyeka
guna menghapus jejak yang takutnya akan tertinggal. Namun, hasil tetap sia-sia. Semakin diseka, air mata
itu kian deras mengalir. Sampai, isakan terdengar di tengah sunyinya sepetak tempat kurungan.

Berat.

Sungguh berat rasanya berpaling.

Bagai dua sisi mata pisau, kapan saja bisa menikam dari berbagai arah.

Bukan menikam benda yang mampu rasanya indra untuk menyentuh.

Bukan pula hal yang bisa terlihat dengan mata telanjang.

Ini, datang dari diri sendiri.

Menyatu dalam satu jiwa dan raga yang sama.

'Tak kasat mata, hanya mampu dirasakan oleh atma.

Namun sekalinya berulah, maka habislah sudah.

Tubuh terdiam, sedang sanubari terguncang. Mengacaukan tatanan tubuh terdalam. Mensabotase
cerebrum. Menghancurkan pikiran.
Sungguh mengerikan.

Anin dengan cepat menutup kedua rungunya rapat-rapat. Rasa cemas dan gelisah memenuhi
dadanya dalam sekejap. Sesuatu tiba-tiba mencoba mengambil alih tubuhnya, namun, berusaha ditepis
oleh dirinya di dalam sana.

Sakit, rasanya sungguh sakit.

"Aku 'tak sanggup. Kumohon, hentikan."

Rasa panas menghantam punggungnya. Pun, dengan ketakutan yang ikut singgah, coba untuk
menekan perasaan negatifnya dengan kuat.

Ingin coba untuk terbuka pada sang ibu tentang dirinya yang sedang berada dalam kubangan
penuh warna hitam, namun, apa daya saat semua bantahan diterima sebagai jawaban.

Benar, Anin sudah mencoba jujur tentang apa yang ia rasakan, akibat berbagai trauma yang
menyelubungi jiwa. Tetapi, semesta seperti 'tak pernah berpihak padanya.

Ia teringat sekilas akan ucapan ibunya waktu itu. Saat di mana, keteguhan mentalnya diuji.

"Jangan mengada-ada, Anin. Kamu tahu kenapa kamu seperti itu? Karena kamu menjauhi
Tuhan. Itu artinya, kamu harus meningkatkan ilmu rohani dengan lebih baik lagi. Ingat dengan Tuhan,
jangan terus berkutat dengan hal yang tidak berguna.'

“Dan jangan menambah beban pikiran Ibu, karena uang Ibu sudah habis untuk menyembuhkan
penyakit kamu. Tahu dirilah, untuk tidak menciptakan penyakit yang lain lagi.”

“Jika bisa disembuhkan sendiri, maka lakukan.”

Hari itu, mutlak menghancurkan keberanian yang sudah dikumpul sejak lama. Kepingan demi
kepingan, 'tak mampu lagi ia sambungkan dengan utuh.

Sejak kecil, Anin memang sudah dirundung oleh beberapa masalah yang besar.

Dimulai dari perceraian kedua orang tua saat dirinya masih menginjak 5 tahun, pembulyyan yang
ia dapat selama 6 tahun dirinya menempuh pendidikan sekolah dasar, mendapat pelecehan saat ia masih
kelas 4, penyakit lambung akut yang diderita semenjak kelas 5 sampai 6 tahun lamanya, yang bahkan
harus mengorbankan awal tahun SMA-nya demi berobat.

Segala kemarahan dan makian dari keluarga, harus ia telan dengan terpaksa. Bagai sebatang kara,
dirinya benar-benar terkucilkan. Tidak ada yang memihak, walau itu adalah ibunya sendiri.

Ia ingat dengan jelas, ucapan dari sang sepupu yang membekas sampai hari ini ia diberi nafas,

"Kamu itu musibah di keluargamu sendiri, Nin."

Diberi perkataan yang sebegitu pedihnya, siapa yang tidak merasa terluka?
"Benar, aku hanya musibah. Pembawa sial."

Bagai tiang yang tercipta tanpa penyangga, begitu pula Anin yang terus berusaha kuat, di tengah
pahitnya madu yang dicecap.

Mencoba untuk tetap waras, walau hitam terus merengut. Berulang kali ingin mengakhiri hidup,
tetapi, digagalkan oleh diri sendiri. Kesekian kali memarahi alam bentala, atas ketidakadilan yang
diterima sebagai makhluk yang dilahirkan ke dunia. Tetap sama, kesemuan datang sebagai perantara dari
rasa penderitaan.

Warna hitam itu kian melebur bersama putih. Bukan menciptakan hitam yang sempurna, justru
meninggalkan corak yang serupa; putih tanpa bercelah. Namun, di balik bersihnya putih, hitam tersisip
dengan pekat tanpa mampu dilihat. Bersifat 'tak kasat kata. Tidak ada yang mampu menatap, jika tidak
dirasa.

Di tengah kekalutan yang memenuhi ruang hati, jelaganya memaku pada tumpukan kertas di meja
belajar. Tubuhnya lantas berdiri, membawa langkah menuju benda itu berada.

Digenggamnya kertas-kertas itu di tangan. Terlihat ukiran tinta merah berupa angka di beberapa
sisi kertas. Ini adalah hasil nilai UTS-nya yang dibagikan minggu lalu.

Seperti biasa, jauh dari kata memuaskan.

Hanya satu mata pelajaran yang pantas dibanggakan. Namun, tetap saja, belum mampu
membuatnya tersenyum sebagai bentuk tanda kesenangan.

"Anin, kamu begitu hebat karena terus mendapat nilai terbaik dalam mapel Bahasa Indonesia."

"Lihat kami, begitu payah."

"Aku iri, huh."

"Anin, kamu hebat!”

"Anin, 'kan, memang Ratunya pelajaran Bahasa Indonesia, tahu."

Dalam hati, sesungguhnya gadis itu ingin berteriak. Menertawai segala ucapan yang terlontar dari
teman-temannya.

Apa yang patut dibanggakan karenanya?

Rasanya semua orang dapat menggapai apa yang ia capai. Begitu mudah, tanpa harus bersusah
payah.

Sebenarnya manusia seperti apa dirinya?

Apa tujuan dilahirkannya ia ke dunia?


Mengapa ia dibiarkan hidup dengan bebas? Menatap keindahan sang pencipta dengan leluasa,
dan menghirup nafas dengan cuma-cuma.

Mengapa semua dibiarkan begitu saja?

Sampai hari ini, belum ada yang bisa Anin berikan kepada keluarga sebagai bentuk balas jasa.
Bukan bidang materi, melainkan hal yang sekiranya mampu membuat Ibunya tersenyum penuh bangga
padanya. Berkata kepada semesta, bahwa ia pantas sebagai 'manusia'. Bukan hanya datang sebagai
'hiasan' atau figur peramai alam bentala.

Selama nafasnya terus berhembus hingga hari ini, hanya masalah demi masalah yang terus
dirinya beri. Tiada hal bersifat membanggakan sebagai bentuk penunjang perkembangan diri. Walau
begitu, sang ibunda tetap membuka kedua tangan guna memberinya pelukan dan senyuman
menenangkan. Juga, kasih sayang yang sejatinya 'tak pernah berhenti datang.

Di balik hidupnya yang biasa saja, Karamel menyembunyikan luka. Selalu menyalahkan diri
sendiri atas segala hidup dan garis yang terjalani.

Lingkar suratan seperti apa yang terbentuk untuknya?

Apa berujung bahagia?

Atau hanya kesedihan sampai akhir nafasnya perlahan menghilang?

Kata mereka, semua bersifat seimbang. Ada baik dan buruk, ada suka dan duka. Sisi putih dan
hitam, 'tak luput menjadi bagian dari kehidupan.

Lalu bagaimana dengan dirinya yang terus merasakan kelam? Di mana cahaya yang kata orang-
orang merupakan salah satu alasan indahnya berjalan di atas bumi yang membentang?

Mana sisi putih itu? Di belahan mana sekiranya suka cita dapat dirasakan relung kalbu?

Jarinya perlahan bergerak, mengukir bagian belakang salah satu kertas yang diambilnya dari
tumpukan.

Sejatinya dinding gelap kian terbentuk, seiring langkah kaki yang terus mengetuk.

Mata semakin kelam, tertutupi kabut akan angan-angan yang tersimpan.

Bahagia itu kini tertelan, sebelum lidah rasanya bisa mencecap lebih dalam.

Hitam, kamu nyatanya datang menjadi bagian dari jiwa yang menjadi bayang-bayang.
Tercipta untuk satu sisi, bukan beriringan bersama putih yang kuidamkan.

Setelah selesai dengan kegiatannya, pena itu diletakkan begitu saja. Dengan perasaan cemas dan
gelisah yang menyerang hebat di dalam dada, kedua tungkainya mengukir langkah menuju balkon kamar.

Pintu itu dibuka perlahan, dengan berbekal bangku yang ia ambil dari meja belajar, Anin
kemudian duduk di atasnya.
Sepasang jelaga memaku pada langit yang berubah gelap. Sepertinya, hujan akan turun sebentar
lagi.

Kosong, itu yang tersirat di dalam netra hazelnya. Cuaca seakan mewakili betapa hampa perasaan
yang diderita. Tanpa bersuara, semesta juga ikut merasakan pilu yang mendera.

Tiada lagi senyum yang dapat tercipta di antara labium, seperti yang selalu ia lakoni sebagai
topeng pemalsu diri. Sukma serasa ingin berteriak, memberitahu pada dunia bahwa ia 'tak mampu lagi
untuk bangkit.

Tes

Air mata itu kembali menyapa kedua pipi. Tanpa ada berniat untuk menyeka, Anin lantas
mengambil jarum--yang selalu ia simpan--dari dalam saku bajunya.

Jarum itu adalah pengobat rasa sakit yang selalu membuatnya menjerit. Bagaikan permata air di
samudra sebagai penghilang dahaga, begitulah sang benda yang selalu datang sebagai pembersih luka.
Walau hanya sesaat, setidaknya Anin bisa merasa lebih tenang.

Dibukanya lengan baju sampai ke siku. Terlihat beberapa lukisan berbentuk garis kasar bercorak
kemerahan di kulit lengannya. Sebagian masih mengeluarkan darah, pertanda luka itu belum lama diukir.

Ini alasan yang selalu membuatnya mengenakan baju berlengan panjang. Luka-luka yang tercipta,
pastinya harus disembunyikan agar orang-orang disekitarnya 'tak mengetahui.

Dengan senyum, jarinya terus menyeret jarum itu di kulit putihnya. Membentuk goresan-goresan
yang mulai mengeluarkan darah.

Hal itu berlangsung selama beberapa menit, sampai kepalanya dihinggapi rasa pening yang hebat
hingga semua berubah gelap, dan Anin yang sudah tergeletak lemah di lantai. Bersamaan dengan itu,
rintik hujan beralih datang. Membasahi tubuh Anin dengan rintiknya yang kian deras.

***

Kelopak itu perlahan terbuka. Dahinya tampak mengerut, kala merasakan nyeri di kepalanya.

Sayup-sayup, rungunya dapat mendengar seseorang yang tengah memanggil namanya. Disusul
dengan kemunculan seorang pria berjas putih, lengkap dengan stetoskop yang menggantung di lehernya.
Pikirannya langsung menduga, jika orang itu ialah seorang Dokter. Tapi, mengapa?

"Anin? Kamu bisa mendengar saya?"

Dengan susah payah, ia menjawab, "Bisa, Dokter(?)"

Setelahnya, Dokter itu menjelaskan sesuatu kepada beberapa orang di sana. Matanya kemudian
menangkap presensi sang ibu yang tengah memperhatikan dokter tersebut.

Seketika hatinya berdenyut. Apa ia membuat masalah lagi?


Beberapa menit berlalu, Dokter dan beberapa perawat itu keluar dari ruangan. Menyisakan sang
ibu yang langsung menghampirinya.

"Sayang, ini Ibu. Katakan, apa yang sakit?" Lembut, sangat lembut nada yang ia tangkap. Pun,
dengan raut wajah penuh khawatir yang terhias di wajah senjanya.

"K-kepala Anin, Bu. S-sakit..."

Anin tersentak, ketika merasakan pipinya baru saja dijatuhi setetes air.

Tunggu dulu,

"I-ibu? Kenapa menangis?"

Ibunya menggeleng. "Kenapa kamu tidak pernah menceritakannya pada Ibu, hm?"

Gadis itu langsung merasakan firasat yang buruk. Jangan bilang-

"Ibu sudah tahu semuanya, Anin. Semua yang kamu derita dan sembunyikan selama ini. Dokter
yang memberitahu.”

Oh, tidak.

"M-maafkan Anin, Bu. Anin salah. Maaf, Bu. Maafkan Anin." Air mata Anin ikut jatuh
membasahi bantal yang ia tiduri.

"Tidak, Nak. Ibu yang seharusnya meminta maaf padamu. Ibu yang salah telah membantah
semua keluhan kamu selama ini."

"Padahal Ibu tahu, kamu sedang membutuhkan pertolongan."

Anin 'tak mampu menjawab. Memang itulah yang ia rasakan.

Gadis itu mendapati jemari sang ibu yang mengelus lengannya. "Semua luka ini akan Ibu
sembuhkan--tidak, maksudnya kita yang akan menyembuhkan."

"Kamu harus sembuh. Banyak impian yang ingin kamu capai, 'kan? Karena itulah, ayo
sembuhkan jiwa ini."

"Ibu di sini bersamamu. Akan selalu mendukungmu." Tangan wanita itu terangkat, mengelus
kepala putrinya.

"Kamu kuat, Nak. Sangat kuat. Terima kasih, karena telah bertahan dan tidak meninggalkan Ibu."

"Hanya kamu satu-satunya yang Ibu punya."

Anin mengangguk lemah di antara tangisnya. Senyuman tulus tanpa kepalsuan, terukir begitu
manis. Menunjukkan betapa tulusnya makna yang tertera di baliknya.
Perlahan, Anin bisa merasakan, hitam itu kini perlahan menghilang di balik putih. Segala kabut
yang menghalangi pandangan, perlahan mulai hilang. Duka yang selama ini tertelan, sedikit demi sedikit
dapat ia rasakan berubah menjadi cita penuh suka.

Hitam dan putih, dua dalam kesatuan yang 'tak dapat terpisahkan.

Putih, kamu bagaikan ‘sisi’ utama.

Dan, Hitam, kamu adalah pelengkapnya.

Karena sejatinya, begitulah hidup menjalankan perannya.

Melalui hitam dalam putih, sebagai pelengkap dalam cerita setiap insan yang bernafas.

Semesta, terima kasih, telah mengukir hitam dan putih dalam hidupku.

Dengan ini, usai sudah segala derita yang kuukir dalam aksara.

Anda mungkin juga menyukai