Anda di halaman 1dari 3

BAGIAN SATU

Ia terus menahan sesuatu yang kian memanas,menyesak dan serasa semakin


kuat ingin meledak disudut pelopak mata. Sedah lebih dua jam ia hanya diam.
Usianya kurang tiga tahun dari seperempat abad. Masih terlalu muda. Ia
menatap barisan pigura foto yang masih tertata rapi diatas menja belajar yang
terbuat dari pohon kayu jati. Di sebelahnya ada buku-buku dan alat tulis untuk
kuliahnya. “Ah, kenapa gini banget...” batinya. Ia mencoba bertahan agar
tetap bisa mengandalkan diri. Sekuat mungkin ia terus membangun batang
dalam dirinya. “Aku nggak gak boleh cengeng, ”bisiknya,”... perempuan harus
tangguh!”Ia terus menahan perasaan, ia berusaha agar tetap kokoh.

Sayang seribu sayang, rasa sakit sudah terlalu dalam menanam diri tubuh yang
mulai terlihat semakin kurus itu. Perasaan yang terus ditahan itu
mengumpulkan kekuatan menjadi satu gempulan recun mengerikan. Menumpu,
menggunung, hingga memburi menikam jantung. Akal sehat sudah hampir tidak
bermain dalam dirinya. Ia benar-benar lepas kendalinya. Emosi memberontak
akian tidak terbendung. Semua meluap semakin mengerikan. Ia menjadi seperti
sapi gila; mengamuk dan menyapu semua pigora, buku-buku, dan alat-alat tulis
yang tadinya tertata rapi dimeja belajar itu.

Lihatlah, semua berantakan. Buku-buku kulihndan alat tulis berserakan


dilantai.Beberapa kaca pigura pecah karena terhampas. Sebagian lagi massih
tertelungkap dimeja. Di ambil satu pigura. Kaca pigura yang ditangannya itu
hancur. Di pigura itu ada foto seorang lelaki memeluk mesra seorang
perempuan. Foto itu entah bagaimana caranya ikut robek, memisahkan
sepasang tokoh yang ada di dalam bingkainya.

Ia mengambil foto itu. ”Kamu!”ucapnya penuh emosi. Gigi-giginya saling


mengigil, semakin rapat. Tubunya masih gemeteran menahan emosi yang
belum juga reda.

Ia terus berusaha menahan diri. Mengatasi luapan emosi dalam dirinya.


Namun semakin ia menahan, semakin ia benci dengan apa yang kini ia
dapatkan. Rasa benci itu kian menggunung.menimbulkan rasa sesak yang
berlahan semakin menyakitkan. Rasa sakit yang sungguh tidak dapat ia tahan.
Ia sedang kecewa. Rasa kecewa itu lahir kerena sebuah pengkhianatan. Semua
perjuangannya pada bagian terdalam jurang perasaan. Ia ingin menesal atas
segala usaha keras di mana lampau. Semua keperlikan perasaan itu menumpuk
menjadi satu, bercampur aduk menjadi tetesan-tetesan bening yang mengaliri
pipinya. Hatinya sakit. Jiwa itu rapuh. Lelaki yang di cintai tidak lagi menjaga
apa yang ia titipkan. Tidak lagi memeluk hati yang ia dekapkan. Lelaki itu
mengepingkan harapannya. Mencapakkan impiannya. Namun, cinta itu tidak
semudah itu pergi dari hatinya. Bahkan saat hal terburuk ia dapatkan, ia tetap
saja tidak sepenuhnya mampu melepaskan. Ia menangis. Geram Kesal

“Kamu pernah mikir nggak sih, gimana susahnya ngejaga hati? Terus, kenapa
kamu malah pergi sama perempuan jalang itu, Arrrrrrrggggttt!”Ia mengepal
jamarinya,semakin keras.

“Kamu memang benar-benar cowok brengsek!” Ia merobek foto yang sudah


terbagi dua itu. Kertas bergambar dua orang berpelukan itu pun terbagi mejadi
semakin banyak. Menjadi sobekan kecil yang bertebaran

Emosinya masihbelum reda.

Direbahkan tubuhanya di atas kasur. Ingatan tentang lelaki itu masih saja
membuat dada sesak. Ia masih tak habis pikir apa yang membuat lelaki itu
berpaling dirinya. Bukanlah cinta yang ia berikan pada lelaki itu selama ini
adalah cinta yang ia miliki?Perasaan yang ia curahkan adalah perasaan yang
paling indah yang ia punya. Semua kesungguhan dengan sungguh ia tunjukan.
Pejuangan apa lagi yang bisa membuat lelaki itu meragukannya?Bahkan
selama ini ia selalu menunjukan lelaki itu hal paling penting. Bahkan,di
beberapa keempatan,ia mementingkan lelaki itu melebihi dirinya sendiri.

“...nggak akan ada yang mampu mencintaimu seperti aku,”ucapkan.

Dadanya semakin sesak oleh emosi yangh semakin tak terkendali. Air
matanya terus mengaliri lekuk pipi. Ada ribuan ketidak percayaan yang
menggambarkan di sana. Pertanyaan yang sampai saat ini masih menyiksa
dadanya. Kenapa kamu lakukan ini padaku?Ia masih belum bisa
mempercayai kenyataan; lelaki itu tega mengkhianati cintanya.

Tubuhanya lelah,hatinya patah. Wajah yang biasanya teduh,kini


memiasakan gerimis-gerimis kesedihan. Ia telentangkan tubuh ramping itu.
Terasa semakin lemah tak berdaya. Ia ingin tertidur. Mencoba melepaskan dari
segala rasa sakit untuk sejenak.m

Nama perempuan itu adalah arun. Ya, Aruna yang malang.


Setelah berhasil melewati kejadian tersulit itu. Makin belum mampu
menerima diri sepenuhnya. Ia mulai menghadapi bagian-bagian lebih sulit
lainnya dalam kehidupannya. Awal panjang dari semua kisah ini.

“Aruna, aku harus menjelaskan ini...”

“Udin diam!m cukup, Haga!”Aruna terpaksa menghardiksaat Haga


mencoba menjelaskan apa yang terjadi.Hati yang terlanjur sakit membuat ia
tidak bisa mengandalkan dirinya. Ia tidak bisa menjadi dirinya sendiri saat ia
belum terluka. Ia mengeluarkan suara keras, suara yang menolak rasa sakit itu,
sekaligus menolak melihat rapuh dihadapan lelaki yang membat sesak dan
ngelu.

Orang-orang disekitar, yang melihat adegan pertengkaran mereka hanya


bisa berisik-berisik sinis.Entah apa yang ada di benak mereka. Pertengkaran
sepasang kekasih memang selalu menjadi tontonan yang menarik, meski bukan
tontonan yang bagus untuk di tonton.

Haga.

Lelaki bertumbuh tegak, berkulit bersih, dengan rambut di sisir rapi. Dia
adalah lelaki paling penting dalam kisah ini, awalnya.Hingga ia
menghancurkan bingkaian

Anda mungkin juga menyukai