Anda di halaman 1dari 3

Kisahku dengan Laila : Kesetiaan Laila

Oleh : Zamzam Qodri

Kamis malam jumat adalah malam kesukaan Laila. Ia selalu datang dengan membawa hal yang
istimewa kepadaku di malam jumat. Desiran angin yang sangat sejuk. Beriringan dengan syahdu
yang menusuk hingga ke rusuk-rusuk hati. Telah aku sadari ia datang dengan senyum
menyeringah. Dia siap menemaniku sampai fajar tiba. Laila... Ohh Laila.. Malam ku, kekasihku.

Terkadang aku bingung dengannya. Mengapa ia tetap peduli denganku. Padahal jika di akal
akulah yang selalu nakal. Aku yang selalu melanggar. Bukankah itu memalukan? Aku pernah
bilang kepadanya

" Hei, Laila! Kumohon jangan datang kepadaku terlalu lama. Aku tak pernah membuatmu
bahagia. Aku selalu menyakitimu dengan segala kebodohanku. Aku tahu bahwa setiap kamu
datang aku selalu bermaksiat kepada Tuhanmu. Itu kan yang membuatmu sakit. Mengapa kau
tahan? Mengapa kau tetap datang? "

Ia hanya tersenyum setelah sesenggukan menahan air matanya jatuh. Lalu ia berkata dengan
lirih dan penuh perhatian

" Aku tahu jika aku akan kau sakiti. Aku tahu jika aku akan terluka. Tuhanku selalu kau
campakkan dengan kemaksiatan yang kau lakukan. Tapi aku masih berharap kepadamu, Zam.
Kau masih bisa berubah. Kau bisa mengikis maksiatmu dan giat beribadah. Kau tahu apa yang
membuatku yakin hingga aku tak peduli jika aku harus terus menerus kau sakiti? Jawablah,
Zam"

Mendengar ucapan sekaligus pertanyaan Laila aku sangat sesak juga kebingungan. Hatiku
terasa sakit dengan rasa bersalah yang besar. Pikiranku juga panas karena mencari jawaban dari
pertanyaannya yang sukar.

Lama sekali diriku bergulat dengan jiwaku di dalam ragaku. Dalam kegelapan antara pikiran,
hati, nafsu semua bergulat. Ketiganya berkompetisi untuk mendapatkan jawaban untuk
pertanyaan untuk Laila.
Si pikiran memaksa dirinya dengan mengeraskam tubuhnya. Ia tak peduli bahwa urat kepalaku
sangat rentan sakit saat ia sedang melakukan pengerasan pada tubuhnya. Begitu pula dengan
nafsu. Ia tak mau kalah dengan pikiran. Ia berusaha dengan meminta bantuan kepada sifat
angkuh, sombong, congkak dan sifat jahat lainnya. Ambisinya lebih kuat dari pikiran sampai ia
tergopoh - gopoh dan akhrinya tak sengaja terbentur dengan hati.

Ia melihat hati terlalu lemah. Beban sakit yang membuat dirinya lemah. Ia tak bisa bergerak
secepat nafsu dan pikiran. Melihat hati yang sakit, nafsu semakin jengkel. Ia merasa jika
kejadian dirinya yang terbentur dengan hati adalah salah satu sebab terlambat nya ia mencari
jawaban. Ia pun akhirnya memukul hati dan membuat hati sekarat. Ia hampir membuat hati
mati.

Tapi untunglah pikiran segera menghentikan perbuatan nafsu. Ia menjelaskan pada nafsu
bahwa dirinya harus sportif. Boleh progresif tapi tidak boleh agresif apalagi diskriminatif.
Mendengar ocehan si pikiran, si nafsu mengendus jengkel terhadap si pikiran.

Merekapun kembali bersaing dengan sengit. Mereka sangat gigih mencari jawaban. Hingga
pada akhirnya ada sifat yang muncul dari ketiga elemen diatas (pikiran, hati dan nafsu) yaitu
sifat sadar diri yang menjadi mediasi atas pergulatan ketiga elemen tadi. Sifat sadar dirilah yang
menyadarkan kepada ketiga elemen yang ada pada diriku bahwa kau tak mampu mencari
jawaban atas pertanyaan Laila.

Hingga pada akhirnya ketiga elemen tersebut berdamai dan meminta bantuan kepada lisanku
untuk mengucapkannya sebagai jawaban pengakuan. Dari dorongan inilah kemudian aku
dengan bantuan lisan mengaku seraya berkata pada Laila.

" Aku tidak tahu, La. Apa yang membuatku yakin? Jawablah? "

" Karena aku tahu, Zam, jika tuhanku punya keluasan ampunan yang tak terhingga. Karena
itulah aku berpikir untuk terus mengunjungimu, menemanimu, memelukmu meski apapun yang
selama kau lakukan padaku. Aku tidak perlu merasa terlukai. Aku memaafkanmu, Zam. Aku
memaklumimu. Dan aku... Sangat menyayangimu. "
Kali ini ia membuatku sangat terharu. Ia membuat dada ini semakin sesak. Hingga aku tak bisa
mengucapkan sesuatu selain air mata kebahagiaan. Ini sudah menunjukkan kejujuran daripada
ucapan yang keluar dari lisan.

Melihat air mata menggenangi mataku. Ia langsung mengusapnya dengan angin malamnya.
Seakan ia mau menunjukkan bahwa ia tak mau selebay para bucinners. Aku pun segera
mengusap air mataku dan berterimakasih kepadanya karena tetap setia menemaniku. Ia pun
mengangguk tanda mengiyakan. Lalu ia memelukku sangat erat dan berkata

" Apa yang kau inginkan saat ini dariku? Aku akan menuruti keinginanmu! "

"Aku ingin menulis kisah ini dan aku ingin kau temani aku! Setujukah engkau? "

" Apa yang tidak aku berikan untukmu selama aku bisa? Menulislah! Aku akan menemanimu.

Dan akupun menuliskan kisahnya hingga akhir.

Anda mungkin juga menyukai