Anda di halaman 1dari 2

Rasanya aneh, begitu aneh. Tiba-tiba aku tak tau dengan siapa berbagi.

Tiba-tiba aku kaku dengan


semua keadaan ini. Tiba-tiba hanya aku yang bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Entah
darimana juga aku harus memulainya, karena yang ku alami begitu jauh dari kata runtut.

Semua yang terjadi benar-benar diluar harapan. Kejadian yang justru memberi celah bagi jawaban
setiap keraguanku. Bagaimana bisa aku menyadarinya setelah ini ? Tapi aku sadar, Tuhan kadang
menyadarkan hamba-Nya dengan kesakitan agar hamba-Nya benar-benar sadar.

Jauh di pikiran yang terlepas kendalinya, aku selalu mempercayai hal-hal indah yang sekedar
“semu”. Tentang cinta, janji, dan kesetiaan yang bahkan aku sendiri ragu.

Kejadian kemarin, tepatnya tanggal 10 Januari 2016, hal yang benar-benar menyakitkan dan
menyesakkan yang terjadi dalam hidupku. Berjuang melawan “kematian”. Sendiri. Tanpa ada yang
tau. Seumur hidupku, baru aku merasakan hal separah itu.

Karena kesalahanku, aku harus mengandung anak yang tidak berdosa dan karena
ketidakberdayaanku, dia harus ku “singkirkan” dari hidupku. Kejam memang yang ku lakukan, tapi
aku hanya bisa memilih pilihan itu.

Tiga bulan ku biarkan dia tumbuh dan berkembang di rahimku. Selama itu juga aku sering berbagi
kisah dengannya seperti orang gila yang kerap kallli berbincang sendiri. Pada kenyataannya ku
biarkan dia tetap disana bukan karena aku ingin, lebih benar karena aku menunggu ”sesuatu” yang
bisa membantuku berpisah darinya walau sebenarnya aku tak ingin berpisah. Beginilah mungkin
naluri seorang ibu, sesalah apapun keadaannya ibu tetaplah ibu. Aku menyayanginya selayaknya ibu
yang merindukan anak pertamanya. Jadi, ku nikmati keberadaannya. Mulai dari yang namanya
“ngidam” sampai hal-hal konyol yang bahkan tak pernah ku lakukan sebelumnya. Sayangnya, yang
kulakukan itu salah di sisi yang lain, karena yang seharusnya adalah aku menghentikan dia. Aku
menyayanginya dan aku juga berusaha membunuhnya sekaligus. Hari demi hari aku menyiksanya,
dengan hal-hal dan sesuatu yang sangat menyakitkan bagiku, dan juga lebih-lebih baginya. Bahkan
“ayahnya” sendiri mulai membicarakan dan menyarankan hal-hal gila yang tak masuk akal hanya
untuk menyingkirkan dia, bisa dibilang tanpa memikirkan keselamatanku. Tetap saja aku dengar dan
lakukan karena sesuatu yang ku sebut “cinta”.

Masalah ini membuat hubunganku tidak harmonis, perdebatan sering terjadi sampai tak jarang kata
perpisahan yang terucap saat emosi keluar dari batas stabil. Aku menyadari mungkin semua ini
hanya pengaruh dari sebuah “kebingungan” dan “tolakan dari keadaan”. Kadang aku merasa idak
dimengerti dengan keadaan yang sekarang dan kadang dia merasa aku tidak memikirkan “kebaikan”.
Pada akhirnya aku mulai mengerti, ya aku harus mengerti. Aku tidak berada di situasi saat seorang
wanita benar-benar sempurna dengan dirinya dan sebagai seorang istri sehingga pada saat itu
suaminya akan sangat memanjakannya dan berbahagia menanti buah cinta. Imajinasi yang sangat
indah jika aku berada di posisi itu.

Setelah penat dengan perdebatan, ku putuskan menenangkan diri dan pikiran di kampung
halamanku. Sekedar mencari banyak dukungan dan kehangatan dari yang menyayangi. Mencari
jketenangan dan jawaban dari apa yang telah menjadi kebimbangan. Aku pun mendapatkannya.
Setiap saat aku berdoa, shalat siang malam, duha dan tahajud tak ku lupakan. Memang naif,
bagaimana mungkin pendosa sepertiku masih berharap pertolongan dari Tuhan ? Bahkan selama ini
saja tak jarang aku melupakannya. Tapi, kepada siapa lagi aku meminta jika bukan kepada-Nya ? Di
malam itu, saat semua orang di rumah terlelap, aku masih tak bisa memejamkan mata. Aku benar-
benar tak sanggup lagi ada di dalam kebimbangan. Aku lelah ada di antara perdebatan perasaan,
logika, dan naluri. Shalat hajat pilihanku. Dengan seluruh rasa maluku, aku menunduk dan bersujud
di sajadah yang ku gelarkan. Aku menangis berharap pertolongan dari sang Kuasa. Menangis sampai
aku tertidur.

Keesokan harinya kabar yang tidak tau harus aku anggap kabar baik atau kabar buruk datang dari
ayahnya. Obat yang selama ini begitu sulit didapatkan akhirnya sudah di tangan. Aku sangat
bersyukur, mungkin inilah jawabannya.

Anda mungkin juga menyukai