Anda di halaman 1dari 4

Mau Kamu Ulangi atau Tidak?

Aku hidup bersama setan. Setan ini seperti yang kalian semua mungkin bayangkan.
Bertanduk, memiliki kulit merah yang terkesan kasar. Yang berbeda dari imej yang sering
diceritakan adalah bahwa setan ini tidak menyakitiku atau menghasutku melakukan hal-hal yang
akan kusesali. Setan ini muncul pertama kali saat aku SMA ketika ibuku tiba-tiba meninggal
dunia karena serangan jantung. Aku saat terpukul saat itu dan mengalami masa di mana aku
sudah tidak peduli akan hidup itu sendiri. Saat aku mengunci diriku di kamar sendirian, setan itu
muncul. Terdengar bunyi ribut dari dalam lemari pakaianku, kemudian lemari tersebut terbuka
secara perlahan. Tangannya menahan pintu lemari, tangan dengan kuku panjang yang tajam.
Kemudian dia keluar secara perlahan, meletakkan kaki telanjangnya ke lantai kamarku. Aku
tidak terkejut sama sekali. Setan itu menyeringai, kemudian berkata kepadaku.
“Mau kamu ulangi atau tidak?”
Saat itu aku tidak memahami pertanyaan tersebut dan masih berusaha untuk memproses
apa yang sedang muncul di depanku. Aku tidak menjawab pertanyaan tersebut dan berbalik
bertanya.
“Kau itu apa?”
“Seperti penampilanku, aku setan. Tetapi, tenang saja, aku tidak akan menyakitimu. Aku
datang kesini hanya ingin bertanya kepadamu. Bagaimana, mau kamu ulangi atau tidak?”
Setelah akhirnya menyadari situasi ini sepenuhnya, panik menghampiriku dan aku
langsung berlari keluar membawa ayahku ke kamarku untuk memastikan apa yang kulihat ini
nyata. Aku masih melihat setan tersebut, tetapi ayahku tidak dapat melihatnya. Aku mulai
meragukan diriku. Ayahku kembali ke bawah dan aku kembali duduk di kasurku.
“Kau tidak nyata, kan?” tanyaku tanpa mengharapkan apapun. Karena aku pikir setan ini
hanyalah imajinasiku.
“Entahlah. Yang nyata itu apa? Yang tidak nyata itu apa? Apa kau nyata? Apa nama yang
kau miliki nyata? Apa ayahmu nyata?”, Perkataan setan tersebut terhenti seakan-akan dia ragu
untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan selanjutnya. Tetapi akhirnya dia tetap
mengatakannya.
“Apakah ibumu yang baru saja meninggal itu nyata?” pertanyaan tersebut memicu
emosiku. Aku mencoba melemparkan pukulanku kepadanya tetapi tubuhku hanya menembus
setan tersebut. Kemudian setan tersebut berkata sambil tertawa.
“Tenang. Kalau kau semarah itu karena perkataanku, berarti kau yakin bahwa ibumu itu
nyata. Dan kau sangat menghargai ibumu sehingga sekarang kau begitu tersakiti sekarang. Nyata
atau tidaknya mah itu tergantung dirimu sendiri. Dengan kau melihatku, bukankah itu berarti kau
yakin bahwa aku nyata.” Kemudian dia tertawa dengan lebih nyaring. Tawanya mengisi seluruh
kamarku. Aku masih memandangnya dengan penuh amarah. Itulah pertemuan pertamaku
terhadap setan tersebut. Sekarang sudah berlalu 15 tahun sejak hari tersebut.
Aku sudah memiliki pekerjaan kantoran biasa. Aku menemukan banyak cinta, dan
banyak juga cinta tersebut yang tidak berhasil. Tetapi akhirnya, aku menemukan seorang wanita
bernama Zoya, yang sekarang menjadi istriku. Zoya adalah psikiter yang bertanggung jawab
atasku ketika aku berusaha mengobati masalah mental dan trauma. Setelah banyak yang terjadi,
aku juga merasa aku telah menjadi lebih dewasa meski masih membawa beban mental di dalam
diriku. Banyak hal yang berubah sejak itu. Tetapi, setan yang tinggal berasamaku itu tidak
berubah sama sekali. Pertanyaan yang dia lontarkan kepadaku pun masih sama.
“Mau kamu ulangi atau tidak?” Itu yang dia tanyakan setiap kali aku masuk ke kamarku.
Meski aku sudah pindah ke rumahku sendiri bersama istriku, tetapi dia mengikuti ke rumah
baruku. Menanyakan hal yang sama selama 15 tahun terakhir ini. “Mau kamu ulangi atau
tidak?”. Aku yang sekarang akhirnya mengerti maksud dari pertanyaan tersebut. Dan selama 15
tahun terakhir, aku selalu menjawab seperti ini “Tidak, aku rasa aku tidak akan sanggup.”
Meski aku telah hidup dengan cukup nyaman dengan istriku, semua ini kudapatkan
melalui banyak penderitaan dan kerja keras. Meski tidak semuanya buruk, 15 tahun terakhir
penuh akan hal-hal yang merusak jiwaku. Aku sekarang sedang menanti anggota keluarga kami
yang baru. Istriku telah hamil dan sedang dalam pengawasan di rumah sakit. Kecemasan akan
menjadi seorang ayah mengangguku beberapa minggu terakhir. Kecemasan dan rasa takut adalah
hal yang tidak asing bagiku. Anehnya, 15 tahun tinggal bersama seorang setan tidak membuatku
takut sama sekali. Hari-hariku berisi dengan pekerjaan kantor yang monoton dan percakapan
menyenangkan dengan istriku. Meski menyenangkan dan aku sangat mencintai istriku, kadang
kala semua ini terasa membosankan dan tidak berarti apa-apa.
Hari itu, siang itu. Di tengah pekerjaan membosankanku, teleponku berdering. Agar aku
segera menuju rumah sakit karena istriku sedang proses persalinan. Aku dengan paniknya
menuju rumah sakit. Sesampainya di sana, proses persalinan masih berlangsung. Aku sebenarnya
diperbolehkan masuk ke ruang persalinan, tetapi karena kondisiku, istriku menyuruhku untuk
tidak perlu ikut masuk, katanya aku hanya perlu percaya kepadanya.
Aku menunggu dengan cemas. Inilah hal yang paling menengangkan dalam hidupku.
Penderitaan yang paling berat dalam hidupku. Jika persalinan istriku tidak berjalan dengan
lancar, aku akan kehilangan dua keluarga tercintaku. Waktu terasa jauh lebih lambat. Di tengah
itu, aku teringat mendiang ibuku. Betapa traumatisnya kejadian 15 tahun itu. Betapa luka yang
timbul saat itu masih membekas di dalam diriku. Saat ini, luka ini terbuka kembali. Sakit,
mengapa untuk sekadar tetap hidup, aku harus mengalami semua rasa sakit ini. Saat aku telah
berada di batasku, aku mendengar suara pintu terbuka.
“Anak anda lahir dengan sehat. Seorang putri. Selamat, pak.” kata dokter itu. Aku
mengenggam tangan dokter tersebut dengan mengalir air mata yang sudah tidak bisa kutahan.
“Terima kasih banyak, dok. Aku sungguh berterima kasih.” kataku dengan histeris sambil
tetap menggegam tangan dokter tersebut, membuatnya menjadi canggung.
Aku masuk ke ruang persalinan. Di sana ada istriku sedang menggendong putri kami.
Mata kami saling bertemu. Tetapi dari mata kami, aku tahu apa yang ingin dikatakannya, dan
dari mataku juga mengatakannya yang sama. “Terima kasih.” Aku berjalan perlahan menuju
istriku yang sedang terbaring lemah. Meski setelah semua itu, istriku masih memiliki tenaga
untuk menggendong putri kami. Inikah yang dinamakan cinta seorang ibu.
Segalanya terlihat kecil. Lengannya, kakinya, wajahnya. Putriku terlihat sangat mungil.
“Bolehkah aku menggendongnya?” tanyaku kepada istriku. Dia langsung menyerahkan
putri kami kepadaku tanpa berkata apa-apa.
Setelah kugendong, ternyata putriku memang benar mungil. Aku terkejut betapa matanya
mirip sekali dengan mata mendiang ibuku. Biru yang dalam, sedalam laut bebas.
“Matanya persis seperti ibumu, ya.”
“Ya. Itu benar sekali.”, aku mengembalikan putri kami kepada istriku.
“Bolehkah aku kembali ke rumah sebentar? Ada hal yang harus kulakukan.” kataku
kepada istriku. Awalnya istriku bingung akan pertanyaanku, tetapi dia hanya tersenyum dan
berkata “baiklah, tapi yang cepat ya.” Aku juga balik tersenyum dan dengan segera bangkit
berlari menuju rumah kami.
Aku terus berlari layaknya dikejar setan, yang ironinya, aku berlari untuk menemui setan
itu sendiri. Aku akhirnya sampai ke rumahku dan langsung berlari menuju kamarku. Di sana dia.
Setan tersebut. Seperti biasa, dia bertanya pertanyaan itu.
“Mau kamu ulangi atau tidak?”
“Ya, akan aku ulangi. Akan ku ulangi mau berapa kali pun. Segala penderitaan,
kesedihan, kecemasan, dan rasa sakit yang kualami. Rasa sedih yang tidak tertahankan dari
kehilangan ibuku. Kecemasan akan masa depan yang tidak pasti. Rasa sakit yang dimunculkan
oleh pikiranku sendiri. Jika aku tidak kehilangan ibuku, aku tidak akan memiliki masalah
kejiwaan. Jika aku tidak memiliki masalah kejiwaan, aku tidak akan bertemu dengan Zoya. Jika
aku tidak hidup dengan Zi, aku tidak akan berada di sini. Jika aku menyerah dalam hidup aku
tidak akan sampai kepada hari ini. Hari di mana aku merasakan kebahagiaan yang sampai
menggetarkan jiwaku. Ya, aku rela, wahai setan. Aku rela kembali merasakannya. Demi, Zoya
dan putriku. Mereka adalah alasanku untuk mengulangi penderitaan tersebut selamanya. Aku
mencintai semua yang terjadi kepadaku dan aku bersyukur karena semua itu membentuk diriku.”
Setan itu tertawa terbahak-bahak. Lama dia tertawa. Tawanya mengisi seluruh ruangan.
Dia tertawa hingga terguling.
“Bagus. Setelah 15 tahun akhirnya kau menjawab apa yang kuharapkan. Selamat, kau
telah terbebas dari kutukanku. Ingat bahwa hari ini memang sangat membahagiakan,
membahagiakan sampai menggetarkan jiwamu seperti yang kamu katakan. Tetapi tidak ada
jaminan bahwa besok akan terus seperti ini. Aku akan memeringatkanmu, ke depannya akan ada
penderitaan yang jauh lebih berat dari apa yang kau alami sampai sekarang. Tetapi, aku yakin
kau bisa mengatasinya. Manusia yang menjawab “ya” pada pertanyaanku sudah melampaui diri
mereka. Mereka adalah para pecinta nasib. Sampai jumpa, temanku. 15 tahun yang
menyenangkan. Sedikit demi sedikit, keberadaan setan itu makin menipis dan akhirnya dia
menghilang tanpa jejak.
Terkadang apa yang kita anggap buruk merupakan keberkahan yang tersembunyi. Setan
itu pun juga. Setan yang sering dianggap sebagai musuhnya umat manusia ternyata adalah
sahabat dalam perjalanan menerima kehidupan ini. Dan kini, aku memiliki sahabat baru, seorang
putri cantik yang akan kucintai sepenuh hatiku.

Anda mungkin juga menyukai