planet beredar, dan dengannya pula semua gerak mencapai tujuannya serta
bersambung awal dan akhirnya. Dengan cinta semua jiwa meraih harapannya dan
mendapatkan idamannya serta terbebaskan dari segala yang meresahkan.”(Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah)
Masih ku ingat jelas cape dan cerianya mengayuh sepeda di kawasan Sleman, naik
motor keliling Malioboro bersama sang “Hero” sampai episode malam membawa
kresek gede yang isinya juga coklat-coklatku! He-eum… Senangnyaaa… Seolah
oksitosin masa itu begitu meruah tak tertampung. Tak ada masalah yang ada hanya
canda. Tak ada gelisah yang ada hanya tawa.
Tiba-tiba di tengah keasyikan mengulang sejarah 10th lalu, diriku luluh tergoda
untuk melihat notif di layar. Wah… Tante nge-tag-in note, sesuatu banget terutama
pas liat judulnya. Tanpa dikomando lebih lanjut jemari tangan yang dah
“terakreditasi” langsung eksekusi on the way the Note.
Istriku,
Perpisahan sebenar bukanlah karena jarak tetapi oleh retaknya hati. Perpisahan ini
sesungguhnya mendekatkan hati dan menyuburkan cinta kita. Kita akan semakin
rapat oleh perpisahan ini… insya Allah.
Kita dipaksa berpisah untuk “dijemput” ke daerah tauhid dan syariat-Nya dengan
bersungguh-sungguh. Selama ini kita terlalu banyak berperan dan bermain-main
dengan berbagai alasan dan kemalasan. Aku gembira dengan “paksaan” ini
walaupun suntikannya sakit dan obatnya pahit.”Hadapilah kenyataan yang sudah
termaktub sejak azali ini. Kesedihan dan air mata tidak akan meredakan hati
apalagi menyelesaikan masalah. Aku senantiasa berdoa untukmu:
“Ya Allah… Ampunilah dosa-dosa istriku sebagaimana aku telah ridha dan
memaafkan semua kesalahannya. Kuatkanlah iman dan taqwanya… dengan Kau
suburkan selalu di hatinya rasa hina, berdosa, jahil, lemah, miskin dan berharap
terhadap-Mu.“Ya Rahim… Berilah dia kekuatan dan kesabaran dalam mendidik
anak-anakmu. Agar di tangannyalah nanti zuriat-zuriatku menjadi shalih dan
shalihah. Bimbinglah kemarahannya, kebijaksanaannya, kesabarannya,
kelembutannya, hukumannya dan segala-galanya dengan seimbang, agar dia
terdidik untuk mendidik.”
“Ya Rabbi… Lembutkan hati istriku agar mudah dia mengadu-ngadu pada-Mu.
Lenturlah jiwanya agar ia mudah merayu-rayu dan meminta-minta pada-Mu.
Haluskanlah perasaannya agar dia mampu menangis dan merintih-rintih pada-Mu.
Sayang, Hikmah ujian yang menimpa kita terlalu banyak. Ia obat dan baja rumah
tangga yang telah kita bina sekian lama. Cinta kita sesungguhnya tidak pernah
berubah… tetapi ia perlu kemanisan dan hiasan baru supaya serinya bertambah.
Cinta kita kuat getarannya, namun kurang matang. Kita terlalu menurutkan
perasaan. Baik aku maupun kau terkadang tersasar karena “terlalu” cinta.
“Terlalu” menjerumuskan kita ke jurang “melulu”. Bila melulu kita akan lepas
dari kendali cinta sejati – Allah!
Ramai pasangan berpisah karena putus cinta. Namun ada juga yang terpisah
karena terlalu cinta. Bila cinta telah terputus dari cinta Allah, maka cinta itu akan
kehilangan daya untuk bercinta dengan cinta-cinta yang lain. Ia akan layu,
kesepian dan keseorangan. Pada yang begini… pertemuan pun masih perpisahan.
Tapi bila cinta itu diikat oleh cinta Allah, maka perpisahan pun berarti pertemuan.
Allah telah selamatkan kita dari perpisahan karena terlalu cinta. Dan perpisahan
itu tak akan boleh kita cari-cari atau rancang-rancang kecuali dengan satu
peristiwa yang kita tidak sangka. Itulah rahmatnya perpisahan yang tidak diminta
dan dijangka ini pada cinta dan perkawinan kita. Ia menguatkan kembali ikatan
perkawinan kita.
Yang lebih penting lagi ujian ini sebagai satu “reaksi berantai” kepada semua yang
ada ikatan dengan kita supaya bergantung dengan Allah semata-mata. Jangan kita
bergantung dengan selain Allah. Makhluk yang terikat dengan kita atas nama –
suami, istri, ibu, bapak, anak, adik, abang, kakak, saudara, sahabat atau apa saja
akhirnya akan musnah jua. Musnah sementara dan akan musnah abadi. Tegasnya,
perpisahan ini adalah cara Allah “mencantas” pergantungan hati kita dengan
suami, istri, ibu, bapak, anak-anak dan sanak-saudara. Hakikatnya saat itu pasti
tiba. Mati boleh terjadi kapan saja datangnya
Ketika itu jika hati kita tidak bersedia… pedih dan sakitnya tentu terlalu. Mungkin
hilang kewarasan, mungkin luntur semangat untuk meneruskan hidup dan paling
khawatir terhakis atau tercabutnya iman.
Sayang… bergantunglah pada Allah karena hubungan kita dengan-Nya tidak akan
di celah istilah janda, duda dan yatim, sedangkan hubungan kita sesama manusia
tidak dapat tidak pasti akan diputuskan oleh mati. Justru itu… anggaplah
perpisahan ini satu persediaan untuk menghadapi saat mati yang sudah pasti.
Syukur … karena dahulu pernah aku terlintas, bagaimana nanti kalau kalau salah
seorang daripada kita dipanggil pulang oleh Allah? Ketika itu bukan saja hati benci
merasanya tetapi pikiran pun dikunci daripada memikirkannya…. Ya Allah, benci
betul rupanya kita kepada realita. Angkuh betul kita dengan pinjaman Allah.
Seolah-olah istri, suami, anak-anak dan lain-lain itu benar-benar kepunyaan kita.
Tidak sanggup kita “pulangkan” kembali bila tarikh pulangnya sudah tiba. Kini,
alhamdulillah, pinjaman itu dipinta kembali oleh Allah buat sementara… aku
diserahkan kembali olehmu, dan kau diserahkan kembali olehku kepada-Nya.
Didikan ini sangat mahal harganya… Inilah intipati iman kita kepada satu ayat
Quran yang sangat pendek: “Sesungguhnya kita milik Allah, kepada Allah kita
akan dikembalikan.”
Terimalah pertemuan yang hakiki itu nanti dengan menempah tiketnya sekarang…
tiket itu adalah perpisahan ini. Setiap peristiwa besar mesti ada ‘mukadimah’nya.
Tanpa ‘mukadimah’ lintang pukanglah jadinya jiwa kita nanti.
Bersedialah untuk menghadapi yang terburuk akibat perpisahan ini tetapi jangan
sekali-kali terputus dari berharap sesuatu yang terbaik. Berdoalah dengan rasa
bimbang takut-takut tidak diperkenankan tetapi imbangilah kebimbangan itu
dengan rasa yakin akan diperkenankan. Yang penting… Allah tambah kesabaran,
keimanan dan rasa tawakal kita kepada Allah.
Di daerah ini kendali diri mesti kuat. Bila lalai sahaja dari mengingati Allah,
deraan perasaan akan segera datang. Maka ketika itu terkial-kiallah kembali hati
ini mencari kekuatannya… iman. Prasangka, bimbang yang bukan-bukan mesti
dilontar jauh-jauh. Tawakal mesti dibina. Berserah dan pasrah sudah wajib,
mainan “kalau”, “jika”, “nanti” mesti dihentikan. Alhamdulillah… Allah setakat
ini telah mentakdirkan banyak perkara positif sedangkan sebelumnya aku diserang
oleh prasangka yang negatif.
Yang dirindu, Aku berdoa dan berharap kau begitu jua. Jangan di layan rasa dan
sangka yang bukan-bukan. Banyak tugasmu yang sedia ada dan bertambah lagi
akibat perpisahan ini. Jaga kesehatan hati dan badanmu. Masa keemasan ini
gunakanlah untuk memperkemaskan diri. Samada hubungan kita dengan Allah
dan dengan manusia.
Orang yang “duji” mudah melakukan perubahan. Tidak boleh sekali-kali digugat
kekesalan dan penyesalan masa lampau. Nanti akan timbullah “kalau tak begini
dulu… tak lah begini, kalau, kalau, kalau…. Ini akan menyebabkan kita putus asa
dan lemah menghadapi hidup. Apa yang penting, katakan, ini realita, ini takdir,
yang sudah ditentukan sejak azali.
Terima kasih istriku sudah membaca dan menemukan suratku yang tak mampu ku
berikan padamu kala itu karena tak mampu aku melihat air matamu, namun kini
aku yakin kau lebih kuat dari yang aku bayangkan….karena kau istri yang paling
sempurna untuk ku dan ibu yang tangguh untuk anak2 ku.
***
Hening… Tak ada suara, yang ada kini tetesan air mata saling berlomba untuk
tumpah. Sang “Hero” memang telah pergi, tapi tidak dengan cintanya. Cinta yang
bertransformasi menjadi energi. Energi itulah yang menampilkan mungilnya
tanteku menjadi sosok besar dengan ketegaran dan keoptimisan mengarungi hidup.
Dialah tokoh tangguh dengan dua jundi kecil dalam episode kali ini. Tak banyak
keluh kesah yang ia keluarkan. Baginya, cukuplah cinta kepada Dia yang
menjadikan setiap kerikil kehidupan menjadi kenikmatan. Cukuplah semua
bertumpu padaNya semata…
، ورجل قلبه معلق با لمساجد، مشاب نشأ في عبادة ربه، اإلمام العادل:سبعة يظلهم هللا في ظله يوم ال طل إال ظله
ورجل، إني أخاف هللا: ورجل طلبته امرأة ذات منصب وجمال فقال، اجتمعا عليه وتفرقا عليه،ورجالن تحابا في هللا
ورجلذكر هللا خاليا ففاضت عيناه،تصدق أخف حتى ال تعلم شماله ما تنفق يمينه.
“Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan
selainNya: (1) Seorang imam yang adil. (2). Seorang pemuda yang menghabiskan
masa mudanya dengan beribadah kepada Rabbnya. (3). Seorang yang hatinya
selalu terkait dengan masjid. (4) Dua orang yang saling mencintai karena Allah;
berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah. (5) Laki-laki yang diajak oleh
seorang wanita yang terpandang dan cantik untuk berzina lantas ia berkata:
“Sesungguhnya aku takut kepada Allah.” (6) Seorang yang menyembunyikan
sedekahnya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh
tangan kanannya. (7). Seorang yang berdzikir kepada Allah dengan menepi seorang
diri hingga bercucuran air matanya.” (Shahiih lighairihi, diriwayatkan oleh al-
Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (401). Dari jalur Sinan bin Sa’ad dari Anas)
Zuhud merupakan sebab kecintaan Allah kepada seorang hamba. Para ulama salaf
merupakan teladan terdepan dalam hal zuhud. Salah satu pembeda terbesar yang
melebihkan mereka di atas generasi sesudahnya adalah karena mereka lebih zuhud
kepada dunia dan lebih berhasrat kepada akhirat.
Pengertian Zuhud
Berikut ini, sebagian riwayat mengenai zuhud yang dibawakan oleh Imam Ibnu Abi
‘Ashim rahimahullah (wafat 287 H) dalam kitabnya az-Zuhd. Semoga
bermanfaat…
Dari Jabir radhiyallahu’anhu, dia menceritakan bahwa ada seorang lelaki menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah! Kaum
muslimin seperti apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Yaitu seorang
muslim yang bisa menjaga kaum muslimin yang lain dari gangguan lisan dan
tangannya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 21)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Demi Allah yang
tiada sesembahan yang benar selain-Nya. Tidak ada di muka bumi ini sesuatu yang
lebih butuh dipenjara dalam waktu yang lama selain daripada lisan.” (lihat az-
Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 26)
Dari Ibnu Abi Zakaria rahimahullah, beliau mengatakan, “Aku belajar untuk diam
setahun lamanya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 39)
Dari Malik bin Dinar rahimahullah, beliau mengatakan, “Setiap teman yang kamu
tidak bisa memetik kebaikan darinya maka jauhilah dia.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi
‘Ashim, hal. 49)