Anda di halaman 1dari 2

SEMUA RASA YANG ADA, AKU MEMILIH BAHAGIA

Aku tak lagi mudah untuk percaya. Karena setia dan rasa yang pernah aku bangun
dengan tulus di balas dengan dusta dan bahagia yang aku kira nyata ternyata hanya
fatamorgana. Sendiri terdengar lebih baik dari pada terjebak lagi dalam permainan. Apakah
aku siap untuk kembali jatuh cinta? Untuk saat ini aku sudah tak mampu lagi mendefinisikan
apa itu cinta. Rasa, cinta, bahagia, setia semuanya seperti ilalang yang mengering dan lalu
terbakar dusta. Bukan karena aku masih mencintai dia dari masa lalu atau pun terjebak dalam
drama nostalgia. Aku hanya tahu bahwa hati ini jauh lebih berharga dari sebuah rasa dan aku
takut kembali menyerahkan hatiku pada orang yang salah.
Cinta memang indah, tapi tidak lebih berharga dari pada bahagia. Entahlah terkadang
hidup ini bukan tentang benar atau salah, bukan melulu tentang menjadi apa yang mereka
pikir semestinya. Hidup ini adalah tentang bagaimana kita menentukan pilihan yang
membawa kita pada sukacita. Dan bila pilihannya antara cinta dan bahagia, pada akhirnya
aku memilih untuk bahagia. Ya, bahagia.
Memang benar berdua lebih baik dari pada sendiri, tapi bukankah berdua itu butuh
percaya? Dan bila saat ini rasa percaya ku sudah tergantung tinggi diujung bianglala, rasanya
berdua hanya akan menjadi seperti retorika. Berdua bukanlah sekedar “kau dan aku
bersama”, namun ini tentang bagaimana membangun “kita” yang mampu tertawa bersama
sekalipun begitu banyak masalah, yang saling setia tanpa ada dusta, yang mampu
menyangkal diri dan saling menerima, yang tetap ada meski penuh airmata, dan itu tidaklah
mudah.
Sendiri ini mungkin akan jadi akhir cerita, mungkin juga tidak untuk selamanya. Ah,
rasanya akan lelah bila menerka-nerka dan terlalu berdaya bila menentukan sendiri jalan
ceritanya, sedangkan aku hanya lah pelaku, dan sutradaranya adalah yang Maha kuasa. Mari
mainkan saja perannya, dan akhir kisah biarlah menjadi rahasi. Kata mereka, saat usia
beranjak menua sudah seharusnya menikah. Tapi, bukankah keharusan tidak akan pernah
menjadi pondasi yang kokoh dalam pernikahan?!

Pernikahan itu ibarat mendirikan sebuah bangunan, dan dasarnya adalah cinta. Terlalu
naif rasanya bicara menikah, bila apa itu cinta dan bagaimana memaknai cinta saja aku sudah
lupa atau berpura-pura lupa. Ah sudahlah, terserah apa kata mereka, aku memilih bahagia..
Bukankah rasa tidak dapat dipaksa, dan bukankah bahagia juga tidak akan nyata bila hati
hanya setengah dan berpura-pura. Pernikahan ibarat perahu untuk menuju ke pulau bahagia,
tapi bukan satu-satunya cara menuju kesana. Saat ini aku sudah memilih cara untuk sampai
kesana, pulau bahagia karena semua orang berhak bahagia, namun dengan cara yang berbeda.
Dan pada akhirnya, waktulah yang akan berbicara. Mungkin, waktu akan melukis cinta
menjadi sebuah diorama, dan aku mampu menemukan makna, atau mungkin juga selamanya
akan menjadi ada dan tiada.
Sudah jalani saja, sekali lagi rasa tidak akan bisa dipaksa. Rasa adalah suara yang
berasal dari jiwa, dan bukankah jiwa adalah lentera yang memberi cahaya. Percayalah, kata
hati pasti akan menuntun kita. Sendiri atau berdua, dengan atau tanpa cinta, pada akhirnya
bahagia itu adalah bagaimana kita menerima, mensyukuri dan memaknai cerita yang sudah
ditulis sang maha kuasa. Sama seperti ketika kita sedang terjebak dalam hujan deras,
pilihannya adalah mengutuki hujan dalam diam sampai tubuh mengigil dan beku atau
menikmati suasana dan menari bersama setiap derainya.

Anda mungkin juga menyukai