Kali ini aku berteduh di kerumunan daun dekat taman bunga. Kurasakan
dingin malam menelusup di balik lengan bajuku. Di sampingku terpampang
lampu taman yang bersinar menerangi keindahan di mataku, membuat kerling
dalam kilauan rumput hijau. Sejuk sinarnya sedikit menghangatkanku. Dalam
saat itu kurasakan kemegahan romantisme hujan. Ah, mengapa aku jadi
sesentimentil ini?
Apakah ia menerima gundahku malam ini yang kukirim lewat dingin malam
tadi?
Tunggulah aku, Silmi! Kemilau hujan ini akan aku bingkai demi perserahanku padamu!
Aku sendirian di taman ini. Kurasa aku terjebak dalam suasana hening,
meski jalan raya terlihat tepat sepuluh meter di hadapanku. Sekedar untuk
mengenang awal perjumpaanku dengan seorang ukhti yang bernama Silmi.
Sudah lebih dari dua tahun aku mengenalnya. Sejak pertemuan yang
menyimpan rasa tersendiri di lubuk ini. Yaa…ukhti, sejak acara mentoring itu
aku tak bisa mengenyahkan bayangmu dari pikiranku. Yaa…Allah, mengapa
aku harus terjerat virus merah jambu dikala aku tengah berjuang mensyiarkan
agamaMu dalam jalan dakwah ini?
Silmi adalah rekan kerjaku saat acara mentoring siswa SMA di kampusku.
Entah sengaja atau tidak, aku yang pada saat itu memangku jabatan sebagai
koordinator lapangan terkesima hati memandang ciptaan Allah yang agung.
Kulihat ia begitu anggun dengan gamis merah jambu khas kaum Hawa.
Jilbabnya yang lebar sampai ke pinggang serta gaya bicaranya yang santun
membuatku benar-benar kagum padanya. Astaghfirullaah…Entah rasa kagum
atau apa yang ada dalam hati ini? Yang jelas, maafkan aku, Yaa..Rabb!!
Sejak saat itulah rohis kampusku mulai mengeratkan silaturahmi dalam
setiap kegiatan yang bernafaskan Islam dengan rohis di kampus Silmi. Berbagai
kegiatan dan acara kami adakan. Ah, betapa indah semangat ukhuwah dulu!
Selama dua tahun itu aku terus memendam perasaan ini. Tak ada yang
tahu, kecuali Allah. Dalam setiap rapat kegiatan, entah mengapa aku ingin selalu
dekat dengannya, hingga mata ini selalu terlirik padanya. Rupanya aku sudah
terjebak dalam CBSA (Cinta Bersemi Sesama Aktivis). Yaa…Allah, sekali lagi
aku telah mengotori jalan dakwah ini.
“Ada apa, Akhi? Sepertinya antum tidak semangat menjalani rapat ini?”
Tanya Silmi padaku, sambil memandang dengan mata yang membuatku ge-er.
“Cinta itu fitrah, Akh. Jangan kau bunuh cinta itu, tapi bingkailah ia
dengan cahaya. Jangan sampai dalam hati kita terdapat dua cinta. Allah akan
murka dan cemburu,” jelasnya padaku.
Entah dari mana ia tahu aku sedang terjerat virus ini, tapi ia mengatakan
sering melihatku melamun. Aku sendiri merasa hatiku sejuk setelah
mendengarkan perkataan hikmahnya. Tapi bagaimanapun, rasa itu semakin kuat
tertanam dalam sanubariku.
Silmi, tunggulah isyarat dariku! Pesan itu yang kuhunjamkan dalam hati ini
dua tahun yang lalu. Kini aku akan melaksanakannya.
Aku hanya ingin sedikit bernostalgia melihat kampus yang belum lama
kutinggalkan. Malam ini banyak sinar lampu di jalan-jalan. Entah berapa
banyak. Yang penting semakin memperindah pemandangan malam ini. Kutatap
arloji, sudah pukul sembilan. Tak terasa, seiring lamunanku selama satu jam,
hujan pun turun deras.
Sudah empat bulan semenjak kelulusan, aku tak lagi bertatap muka
dengannya. Rinduku tertahan. Namun aku masih menyimpan alamatnya yang
ada pada buku agenda akhir tahun rohis kepengurusanku, bersama dengan
aktivis-aktivis lainnya. Sekali waktu aku bisa mampir ke rumahnya.
Kini aku tinggal bersama kerabat orang tuaku. Mereka sangat baik
padaku semenjak kedua orang tuaku meninggal tiga tahun lalu, karena
kecelakaan lalu lintas setelah menjengukku di rumah kost baru. Kini aku yatim
piatu. Kesedihan bisa saja merajai diriku, namun aku tak mau larut dalam itu.
Sayang, mereka tak sempat melihatku diwisuda. Aku merasa gelar S.T. di
belakang namaku terasa hambar. Sampai kini umurku dua puluh tiga tahun, aku
belum bisa membaktikan diri pada mereka. Maafkan aku, ayah! Maafkan aku,
ibu!
Kembali lagi pada Silmi. Sudah lama aku tak mendengar kabarnya. Tapi
menurut Salim, temanku, ia masih bertempat tinggal di alamat yang sama.
Sekarang ia bekerja di perusahaan pamannya sebagai accounting consultant,
sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya di universitas. Salim mengetahui kabar
itu dari adiknya yang menjadi binaan Salim dalam bimbingan belajar. Tentu saja
Salim sering ke rumah Silmi untuk mengajari les privat pada Afni, adik Silmi.
Sedikit aku bercerita mengenai Salim. Salim adalah orang yang pintar.
Waktu kami masih kuliah, aku sampai kagum setelah meengetahui IPK-nya 3,78.
Jadi tak heran kalau sekarang ia banyak memberi les pada anak-anak SMA.
“Setiap manusia itu diciptakan oleh Allah dengan kemampuan otak yang
sama. Hanya saja, bagaimana usaha kita untuk merangsang kinerjanya agar lebih
produktif,” jelasnya padaku, setelah aku bertanya padanya bagaimana resep
menjadi orang pintar. Lagi, aku mendapat ilmu dari lautan sejuta hikmahNya.
***
Suatu hari, aku ingin membicarakan hal penting dengan Salim. Yang
menggelitik hatiku selama dua tahun ini. Di pelataran taman kampus, kami
duduk berdua.
“Lalu apa yang bisa aku bantu untukmu, Akh?” Tanya Salim padaku.
“Sudah lama aku memendam perasaan ini. Hingga aku selalu terbayang
akan kehadirannya di hadapanku. Ialah Silmi yang selalu membuatku termangu.
Selama tiga tahun aku bergulat menahan rasa ini. Kini aku mau ceritakan
padamu : Aku ingin mengkhitbah Silmi. Aku mau menjadikannya sebagai
pendamping hidupku. Aku tak mau terjerat dalam maksiat. Kukira aku telah
mampu. Maukah kamu mengkhitbahkannya untukku, kawan?”
“Mau kan, Lim?” pintaku lagi. Ia belum juga membuka suara. Tak lama
kemudian, ia berkata dalam kegelisahannya,
“Kamu yakin Silmi orangnya? Bukan aku meragukanmu. Aku tahu kamu
telah memiliki segalanya. Dien yang kuat, penghidupan yang layak, dan zuhud
(penampilan lahiriyah) mu tak perlu aku ragukan. Tapi semua itu tergantung
pada keyakinan dan ketetapan hatimu. Apakah kamu sudah memikirkan hal ini
dengan matang? Apakah kau sudah berserah kepada Yang Mahakuasa? Siapkah
kamu menjalin ikatan rumah tangga dengannya?”
”Ya. Aku telah lama berkutat dengan hal ini. Aku telah siap!” jawabku
mantap.
“Lusa!”
***
Seminggu sudah aku menunggu kabar itu. Kemana kamu, Salim? Aku
menunggumu. Mengapa kamu tak jua muncul dan memberi tahu hasilnya
padaku?
Aku masih menunggu hasil itu dari Salim. Namun ia seperti jin,
menghilang entah kemana. Kutanyakan pada keluarganya, kata mereka Salim
sedang mengikuti training keislaman. Tapi dimana? Keluarganya pun tak tahu.
Salim…tolong jangan biarkan aku disini gelisah dan berharap cemas. Cepatlah
kembali, kawanku! Adakah kesalahanku sehingga membuatmu menghilang
seperti ini? Please, aku menunggumu!
***
Sesaat kemudian aku pun melangkah ke masjid itu. Masjid yang biasa
dijadikan tempat temu majelis setiap minggunya.
“Assalamu ‘alaikum!”
“Kemana saja kamu, Salim? Aku pernah mencarimu kesini, tapi waktu itu
kau tidak ada. Aku ingin mengetahui kabar itu!”
Ah, betapa possesifnya aku. Baru saja kutemukan Salim, aku sudah
langsung menanyakan keputusan Silmi terhadap pinanganku tanpa berbasa-basi
terlebih dulu.
Salim lebih banyak diam. Air mata terus mebasahi pipinya. Aku semakin
tak mengerti.
“Maukah kamu memaafkan aku, Man?” pintanya padaku, seraya air mata
kulihat bergelayutan di kedua kelopak matanya.
“Apa yang membuatmu harus meminta maaf padaku? Kamu tak salah
apa-apa, kawan!”
Aku mengangguk.
Salim kembali memelukku, namun kali ini lebih erat. Tangisnya semakin
lirih. Sementara itu, aku hanya termangu. Hati ini bergetar bagai dihempas
ombak. Lidahku kelu tak bisa berkata apa-apa. Salim terus saja meminta maaf
padaku, kemudian kulepas pelukannya. Kutatap ia lekat-lekat.
“Seharusnya aku yang minta maaf padamu, Lim! Aku tak bisa mengerti
bahwa sesungguhnya Silmi menginginkanmu. Betapa bodohnya aku tak
menyadari hal itu. Mungkin dengan memintamu menjadi guru les Afni, ada
maksud lain. Ternyata aku terlambat memahami maksud itu!”
“Percayalah, aku ikhlas menerima semua ini. Aku bangga padamu karena
kamu tak mau membuat luka di hatiku. Namun ia lebih pantas untukmu. Temui
dan pinanglah ia sesegera mungkin. Ataukah kamu ingin aku yang
meminangkannya untukmu?”
Air mata itu terus membanjiri pipinya. Salim, kuatkanlah hatimu, kawan!
“Sekarang tataplah aku! Biarlah hati seorang sahabat sakit, tapi apakah
kamu mampu mengobati sakit hati seorang wanita? Apakah kamu akan
menghancurkan impiannya terhadapmu? Ingat, Lim! Yang bermain dalam
wanita itu adalah perasaan. Sekali kamu mempermainkan perasaannya, maka ia
akan rapuh, lalu membencimu! Jangan kamu biarkan ia bermain dengan
pengharapan! Yakinkanlah Silmi bahwa kamu akan meminangnya. Buat ia
merasa terlindungi olehmu!”
“Kamulah yang paling pantas untuk Silmi! Kamu telah dekat dengan
keluarganya. Kamu telah sering bertemu dengannya, mungkin hampir tiap hari.
Sedangkan aku? Selama empat bulan ini pun aku belum menemuinya. Aku tak
begitu dekat dengan keluarganya. Aku bahkan baru tahu bahwa ia punya adik
bernama Afni. Selain itu, ia juga pasti punya pertimbangan mengapa ia
memilihmu ketimbang aku.”
Kulihat Salim menyeka air matanya, lalu ia berkata padaku dengan sorot
mata meyakinkan. Inilah Salim yang kuharap selama ini.
“Secepat itukah?”
“Akan kupegang janjiku itu!” ujar Salim dengan penuh percaya diri.
“Minggu depan. Soalnya pada saat itu aku gajian. Maklum, awal bulan!”
candanya.
Ah, Salim! Kamu bisa juga bercanda. Semoga gajimu sebagai staff
pengajar dalam program bimbingan belajar dapat mensejahterakanmu dan
keluargamu nanti. Aku hanya bisa merestui dan mendo’akanmu.
“Undangan pernikahan pertama padaku, ya!” godaku
“Oh, pasti!”
Kami berdua tertawa, padahal acara pernikahan itu belum tentu terjadi.
Bahkan peminangannya pun belum dilaksanakan. Kemudian kami berangkulan.
Di dalam hati, aku tak henti mengucap syukur.
Sementara itu, angin sepoi masih berhembus sejuk di pelataran masjid ini.
Di langit, mentari turun perlahan dengan menyibakkan warna jingga. Silmi…
berbahagialah engkau, karena telah memilih pendamping hidup sebaik Salim.
(xxx)
By DHIVAR