Anda di halaman 1dari 3

JODOH DIKEJAR WAKTU

Salju Biru

“Mengapa ibu membiarkan ayah menyakiti ibu? Kenapa..bu?” kata Dzaki putra
sulung kami.

“Ibu seharusnya tegas pada ayah. Jangan ibu biarkan ayah selalu mengulang kelakuan
bejatnya. Kami tidak masalah kalau ibu terpaksa harus berpisah dengan ayah” Kata Idham
putra bungsu kami.

Aku memeluk erat keduanya. Kutatap lekat mata mereka. Terbayang sudah dari kceil
mereka mendengar dan melihat pertengkaran kami seperti ini. Aku yang terbiasa dididik ayah
patuh pada aturan supaya terhindar dari dosa hanya bisa menangis sendiri.

Perkenalan singkat kami hingga menikah hanya berjalan satu bulan waktu itu. Di usia
kami yang sudah sama dewasa menyebabkan kami tidak pikir panjang untuk menjalani
perkenalan dan penjajakan dulu. Seolah jodoh kami dikejar waktu. Sayang di hati Fadli
suamiku tak pernah benih cinta itu tumbuh. Aku ada seolah sebagai topeng sifat
petualangnya. Seolah sebagai hiasan statusnya saja.

Sejak awal pernikahan Fadli menganggapku hanya sebagai penunggu rumah. Dia
tidak pernah menunjukkan kemesraan kalau hanya kami berdua di rumah. Dia berlaku mesra
padaku kalau kedua orang tuaku atau kedua orang tuanya sedang mengunjungi dan menginap
beberapa hari di rumah kami. Itu pun kalau kami berdua sedang di depan orang tua kami.
Tapi sikapnya kembali dingin padaku kalau kami hanya berdua saja.

“Kau tidak salah pilih, Nis. Fadli begitu perhatian padamu dan kami” Kata ibu padaku
sambil membantu membereskan meja makan.

“ya, bu. Mas Fadli memang suami yang baik” jawabku membalas kata ibuku seolah
apa yang dikatakan ibuku benar kenyataannya.

Ibuku tidak boleh tahu apa yang kualami sesungguhnya. Mas Fadli memang tidak
membedakan perhatiannya baik terhadap orang tuanya sendiri atau pun dengan orang tuaku.
Mas Fadli biasa mengajak orang tuaku jalan-jalan keliling kota tempat tinggal kami. Mas
Fadli biasa mengajak orang tuaku ke restoran favoritnya dengan teman sekantornya.
Begitupun sebaliknya dengan orang tuanya mas Fadli berlaku sama.

Kami bertemu dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh kantor pusat tempat kami
bekerja. Usiaku kala itu hampir 31 tahun. Kalau di negeri ini usiaku sudah dianggap
kadaluwarsa untuk disebut gadis. Setiap orang yang tahu usiaku sebagian orang pasti melirik
dan berbisik “perawan tua”.

Sebenarnya aku bukan perempuan tak laku. Aku pernah mengalami kisah kasih di
sekolah. Dulu aku pernah pacaran dengan rekan siswa kelas sebelah. Dengan wajah yang
lumayan tidak sedikit pria baik teman sekolah atau dari sekolah lain menaruh minat padaku.
Tapi aku pilih Satrio siswa ganteng kelas sebelah.
Pacaran masa SMA cukup seru. Setiap hari semangat pergi ke sekolah. Begitu sampai
di gerbang tidak langsung masuk halaman sekolah. Setelah terlihat pujaan hati tiba di sekolah
berjalan beriringan sepanjang koridor sekolah menuju ke kelas begitu berbunganya hati.

Masa kuliah juga memiliki pengalaman liku-liku asmara. Sebagai mahasiswi jurusan
Psikologi banyak mahasiswa dari lain jurusan yang mencoba mendekat. Bermacam modus
yang lancarkan dari yang pura-pura konsultasi masalah dengan teman sekelas, ada yang
mengaku bermasalah dengan kepribadian yang sangat pemalu, ada yang mengaku bermasalah
dengan selalu beda pendapat sampai ada yang minta saran bagaimana cara menarik perhatian
cewek yang diidamkan.

Dari semua pria yang melakukan tipuan dengan modus yang beragam untuk menarik
perhatian saya tersebut ada seseorang yang begitu melekat di hati saya. Pria hitam manis
dengan hidung mancung dengan rambut cepaknya dan berkumis tipis anak mahasiswa
kedokteran. Namanya Andra Alamsyah tapi sering dipanggil Aan.

“Aku tak pernah memaksa kau memilih aku sebagai pendamping hidupmu. Tapi
Tuhan memilihmu sebagai penyelaras kebahagiaan hidupku. Sekarang kalau kau merasa
pilihanmu salah kau boleh berdo’a meminta penggantiku yang lebih istimewa dariku. Yang
mungkin akan lebih memberi makna kisah hidupmu hingga diujung waktumu. Maafkan aku
kalau aku begitu membanggakanmu dan menaruh begitu banyak harapan padamu” kataku
sambil menatap mata pria yang kukagumi itu sambil tak terasa kristal-kristal air mata
membasahi pipiku.

“ya, aku memang selalu berdo’a pada Tuhan agar aku menemukan penyempurna
kebahagiaan hidupku. Aku sudah menyerah dengan sandiwara yang harus kuciptakan setiap
waktu bersamamu. Skenario yang salah yang tak semestinya ada di duniaku. Kita
dipertemukan karena jodoh sudah dikejar waktu. Maafkan aku kalau pilihanku sesungguhnya
bukan kamu” Fadli berbicara sambil membelakangi dan segera berlalu meninggalkanku tanpa
memperdulikan betapa beribu sayatan melukai hatiku.
“Tak seharusnya aku menangisi kebodohanmu, mas. Seharusnya kubiarkan saja kau
berbuat sesuka hatimu. Tapi ingat mas waktu datang tanpa pernah kita tahu. Mas tak muda
lagi. Pernikahan kita sudah cukup lama. Di usia kita sekarang seharusnya hidup kita harus
mawas diri. Kita harus sudah lebih meningkatkan ibadah bukan maksiat.” Kataku sambil
mencoba menahan air mata yang mencoba berlari di sudut mataku.

“Waktu tak memandang usia. Sekarang mas bisa bersenang-senang dengan pesona
mas yang ditebarkan pada wanita di luar sana. Tapi ingat waktu itu semakin dekat pada kita.
Mas boleh menyakitiku. Tapi ingat mas ada Dzaki dan Idham yang begitu membanggakan
dan menghormati mas sebagai ayah mereka. Aku tahu aku bukanlah pilihan kamu
sesungguhnya mas. Tapi aku adalah pilihan Allah untukmu mas. Aku sudah berusaha
memahami sikap mas selama ini. Tapi tidakkah mas kasihan melihat Dzaki dan Ilham?

Anda mungkin juga menyukai