Anda di halaman 1dari 5

CAHAYA IMAN SEORANG SUAMI

OLEH : WILYA ADISA

Sudah cukup lama aku merasa ada yang berbeda dari diriku, sejak pertemuan pertama dengan
pegawai baru itu beberapa minggu yang lalu. Tubuhku terasa gerah dan panas jika menjelang
malam. Keringat dingin selalu bermunculan jika terbayang wajahnya. Rasa rindu pada istri
dan anak-anakku seakan hilang dibawa angin malam. Ingin rasa hati menemuinya di mess
wanita, tapi buat apa? Bisa terguncang dunia persilatan, jika aku menemui pegawai
administrasi malam-malam, padahal status sudah ada yang punya.

Oh, Ayu, pesonamu memudarkan duniaku, apakah aku jatuh hati padamu? Tapi kenapa
rasanya seperti ini? Ada sisi lain diriku yang mengatakan, ini tidak benar. Tapi sisi lain diriku
berkata, dia sangat menggoda. Seandainya sedikit saja merasakan belaian darinya saat sepi
melanda seperti ini, mungkinkah tak apa-apa? Astaga, hasrat seperti ini sungguh terasa nyata.
Bagaimana aku bisa mencegahnya?

“Astagfirullah, astagfirullah,” ucapku berkali-berkali. Sepertinya imanku sedang berperang


dengan rayuan setan dalam pikiranku. Hingga di sekian detik, alhamdulillah, aku masih
diberi kesadaran dari niat buruk. Kutanamkan dalam diri, aku harus kuat, dia hanya
sementara. Ada Ratna, istriku yang menunggu. Kutepuk-tepuk dada yang berdebar-debar,
kuusap kepala dengan air dingin, kuambil wudu untuk menyingkirkan keringat dan pikiran
kotor, kutunaikan sujud pada sang khalik untuk menyingkirkan aura buruk yang
mengelilingiku. Kue dan nasi kiriman Ayu yang mengunggah selera, kusingkirkan jauh-jauh,
biarlah cuma makan telur ceplok, asal aku merasa nyaman dan tenang saat menelannya. Tak
gelisah memikirkan dia yang bukan muhrimku.

Orangnya sebenarnya biasa saja, tapi entah kenapa terlihat menarik di mata. Banyak yang
memuja karena dia satu-satunya pegawai wanita yang dikirim dari kantor pusat untuk
mengisi bagian administrasi. Tapi ada seorang pegawai kantor bilang, dia tak secantik itu.
Konon katanya, pegawai itu bisa melihat hal gaib dan berpesan padaku untuk berhati-hati
karena terlihat nyata cara dia menarik perhatianku.

Kebetulan jabatanku cukup mentereng di perusahaan ini. Sudah hampir lima tahun lamanya
aku menduduki jabatan ini. Ingin rasa hati keluar dan membuka usaha di rumah agar dekat
dengan istri dan anak-anakku, tapi niat masih niat belum berani bertindak. Jadilah kami
berjauh-jauhan antar pulau, memendam rindu, agar dapur tetap mengepul. Minimal sebulan
sekali aku selalu menyempatkan pulang untuk meluapkan rasa kangen pada istri dan anak-
anakku. Tapi entah kenapa, sejak bertemu Ayu si pegawai baru, aku sedikit malas untuk
pulang.

Ketika akan berangkat kerja, muncul perasaan yang timbul tenggelam. Tubuh gemetar dan
tangan berkeringat dingin. Terlebih detik-detik saat akan memasuki ruangan. Seperti pagi ini.

“Pagi Pak Arya, ini kopinya, tumben awut-awutan, semalam gak bisa tidur ya?” sapa Ayu
sambil membawa nampan berisi kopi dan gorengan seperti biasa ke meja di depanku.

“Ah, kamu bisa saja,” Aku hanya terkekeh kecil menanggapi sapaannya dengan jantung
yang berdetak tak karuan tanpa melihatnya. Entah kenapa aku merasa, dia bisa mendengar
degup jantungku. Sorot matanya tajam, menusuk sampai ke dalam dada, sambil memiringkan
bibir membentuk seutas senyum menggoda, aku bisa merasa, Ayu memandangiku dari balik
mejanya.

Dering gawaiku berbunyi, tak biasanya Ibuku menelepon di jam-jam seperti ini. Apakah
karena ada yang mengganggu pikiranku sehingga Ibu merasa ada yang tidak beres denganku?
Insting seorang ibu memang sangat kuat terhadap anaknya. Apalagi kondisiku yang sangat
jauh dari rumah.

“Halo Arya, gimana kabarmu Nak? Ibu semalam mimpi buruk. Kamu baik-baik saja di
sana?” tanya Ibu, suaranya lembut dan dalam, membuatku merasa tenang seperti masuk
dalam pelukannya.

“Baik Bu, Arya ada di kantor sekarang. Nyuwun doanya, segalanya baik-baik saja,” jawabku
singkat. Sejujurnya aku juga mau bilang ke Ibu tentang apa yang kurasakan dan tak bisa
diterima akal. Aku takut, ini hanya perasaanku saja yang terbuai karena pesona wanita
dengan kondisiku yang cukup lama berjauhan dengan istri di rumah.

“Ingat solat ya Le, solat lima waktu jangan lupa, sering wirid, Ibu bantu dari rumah. Ibu kok
punya firasat gak enak, Ibu mimpi kamu dikejar ular di sana.” Nasehat Ibu terdengar was-
was.

Dengan hati-hati akupun bercerita pada ibu tentang yang kurasakan.

“Di sini ada pegawai baru Bu, bukannya ge-er, tapi memang Arya merasa, dia menggoda
Arya, dia perhatian pada Arya, padahal semua sudah tahu kalau Arya sudah punya anak istri.
Tapi, dia suka memperhatikan dengan mengirim makanan dan pesan perhatian. Hanya
sebatas itu dan belum terlalu jauh Bu, Arya juga takut, karena jauh dari Ratna dan anak-
anak,” jelasku cukup panjang, tak mungkin kututupi terlalu lama, firasat seorang Ibu pasti
tahu dan tak bisa dibohongi oleh anaknya.

“Oalah Le, ingat selalu pesan Ibu ya, jaga solat, jaga wirid, jaga wudu, Ibu bantu dari rumah.”
Ibuku mengulangi nasehatnya sebelum menutup salam dari sambungan telepon. Kurasakan
kelegaan setelah aku mencurahkan beban dalam hati dan menginginkan adanya solusi.

Setelah menutup gawai, nasehat Ibu, terngiang-ngiang di telingaku, bahwa di manapun aku
berada, untuk selalu mengingat solat dan menjalankannya. Selalu melibatkan Dia di setiap
langkah yang akan diambil kemanapun diri ini berada. Hingga akhirnya, aku mulai
menyadari bahwa akhir-akhir ini aku memang seperti orang kacau yang cukup sering
melalaikan jam-jam ibadah dalam lima waktu itu, yang kurang fokus pada pekerjaan dan abai
memberi kabar pada istri tercinta.

Jadi setelah mendapat telepon dari Ibu, sebelum memulai pekerjaan kusempatkan untuk solat
duha dan menjaga wudu, agar terhindar dari pikiran kotor dan godaan setan terkutuk.
Kukirim pesan rindu pada istriku dan meminta doa darinya agar aku di sini selalu terjaga dan
secepatnya bisa pulang.

Hingga beberapa waktu setelah itu, ketika aku mendapat perjalanan dinas. Aku berhenti di
masjid tengah kota, ada seseorang yang mengajakku bicara. Seorang pria tua memakai peci
dan sarung yang sebelum aku datang, beliau sudah duduk di dalam masjid dengan membawa
tasbih.

“Assalamualaikum Nak, selalu jaga solat dan wirid dalam hati. Jangan lupa mengajilah jika
kau bisa membaca Al qur’an,” tuturnya tiba-tiba ketika aku berdiri setelah menuntaskan
salam pada sang pemberi kehidupan.

“Waalaikumsalam, insyaallah, Bah,” jawabku dengan menunduk hormat.

“Ada yang mau mengusikmu, berhati-hatilah dengan godaan setan yang menyerupai manusia.
Ingatlah selalu pada-Nya. Agar logikamu tetap berjalan, bisa memilah mana yang baik dan
menghindari yang buruk,” ucapnya lagi dengan menatapku tajam tapi menyejukkan. Aku bisa
merasakan adanya keikhlasan dalam kata yang diucap oleh seseorang yang tanpa sadar
kupanggil Abah ini.
“Kalau bisa, hindari makanan dan minuman serta pemberian dari orang yang tiba-tiba
perhatian padamu. Jaga selalu wudumu, dan wirid dalam hati tanpa putus,” ulangnya lagi,
membuat bulu kudukku sedikit meremang. Bagaimana Abah ini bisa tahu tentang kejadian
yang menimpaku di beberapa hari terakhir ini? Sungguh kurasakan sengatan air es
menyelemuti tengkukku.

“Kalau boleh tahu, kenapa Abah tiba-tiba berkata seperti ini? Kita belum pernah bertemu,
tapi Abah sepertinya mengetahui banyak tentangku,” tanyaku dengan hati-hati pada beliau.

“Sesungguhnya pertolongan Allah itu nyata, percayalah pada doa ibu dan istrimu yang jauh
di sana. Mereka akan selalu bersamamu bersama doa-doa mereka yang menyertaimu,”
jawabnya singkat.

Sebelum aku mau bertanya lagi, Dani staffku yang selalu kuajak kemanapun perjalanan dinas
pergi, menepukku dari belakang.

“Pak, mari berangkat. Bapak sudah cukup lama ketiduran di dalam Masjid.”

Aku yang gelagapan, menoleh ke kanan dan ke kiri, kaget dan bingung. Abah yang berbicara
denganku tadi, kucari-cari tak ada. Aku seperti orang bodoh yang tampak linglung.
Percakapan dengan Abah tadi terasa nyata sekali. Mungkinkah tadi mimpi?

Aku langsung bertanya pada Dani,” Dan, kamu melihat orang tua yang duduk-duduk
denganku di sini dan berbicara denganku gak?”

Dani hanya menggelengkan kepala dan berkata,” Pak Arya tadi solat dulu, lalu saya
menyusul, setelah saya selesai, Pak Arya terlihat tidur di tempat selama hampir satu jam.
Saya lihat Pak Arya kelelahan, jadi saya tidak berani membangunkan.”

Penjelasan Dani, seakan menabokku, membawaku terhempas ke tanah setelah terbang


melayang tanpa sadar. Aku langsung beristigfar, “Astagfirullah, subhannallah, maafkan dosa-
dosaku ya Allah, lindungi aku.” Secepat kilat, terasa seperti terangkat kembali ke bumi
setelah terjun bebas ke dasar laut. Kuambil nafas besar, kuatur ulang agar diri tenang.
Kuyakinkan diri aku tak sendirian, ada Allah bersamaku, ada doa ibu dan istri yang
menyertaiku, bulu kudukku kembali meremang mengingat pesan Abah tadi.

“Sesungguhnya pertolongan Allah itu nyata, percayalah pada doa ibu dan istrimu yang jauh
di sana. Mereka akan selalu bersamamu bersama doa-doa mereka yang menyertaimu,”
Akupun bergegas menuju mobil yang sudah disiapkan Dani, untuk melaju pada kantor dinas
yang kutuju. Dalam perjalanan, tiba-tiba aku rindu istriku, sangat rindu, aku rindu tawa anak-
anakku, aku rindu mereka saling berebut dalam gendonganku. Kutelepon mereka, suara
renyah kangen di seberang membuatku meneteskan air mata. Rasa sejuk menyegarkan tiba-
tiba terasa dalam meleleh dalam dada. Aku bisa merasakan kembali cinta dan sayangku
hanya untuk mereka seutuhnya.

Kulihat kalender pada gawaiku. Alhamdulillah, akhir bulan ada tanggal merah yang panjang.
Aku harus bergegas menyelesaikan tugas ini agar bisa pulang dua minggu lagi. “I love you,
Suamiku,” Ucapan yang keluar dari bibir wanita sahku di ujung sana, membuat semangatku
bergelora, berpacu secepat roda mobil yang melesat di tanah Borneo.

Pesan singkat dari seseorang yang sempat membuatku resah beberapa waktu lalu, sekarang
berubah jadi suatu hal yang biasa saja, bahkan terasa aneh saat dibaca. Dengan tanpa beban
aku langsung menghapusnya, dan memberi tanda hapus notifikasi untuk pesan yang bukan
urusan kerja. Semoga kedatangan Abah tadi, memberiku tanda, sebagai pengingat, agar aku
harus menjadi laki-laki tangguh yang tegar dari godaan pesona wanita yang bukan muhrimku.
Harta yang paling mulia sudah kudapatkan dari istriku dan itu takkan kusia-siakan demi
rayuan setan yang terkutuk.

Anda mungkin juga menyukai