Anda di halaman 1dari 3

PENGALAMAN ROHANI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

1) Bacalah kisah di bawah ini dengan cermat, “Aku Benci Istriku Berdoa”. Temukanlah bahwa
pengalaman rohani itu bersifat personal, subjektif (pengalaman individual/kolektif),
transformative (membarui hidup), dan rasional (bisa dimengerti dengan akal sehat).

2) Tiap kelompok dimohon membuat video singkat (maksimal 7 menit). Pemeran: semua
anggota kelomppok; inti cerita: seperti dalam bacaan.

3) Kelompok 1-3 mengisahkan persis cerita dalam kisah; Kelompok 4-7 membuat kisah yang
intinya sama dengan bacaan.

4) Video diupload di Medsos, tulislah link-nya pada lembar laporan. Isi Laporan/Jawaban:
menjelaskan pada bagian mana sifat-sifat rohani (personal, subjektif, transformative, rasional)
ditampilkan. Tulislah nama-nama mahasiswa yang berperan.

KISAH “AKU BENCI ISTRIKU BERDOA”

Pada saat awal menikah, aku ingat, aku masih mempunyai setumpuk hutang setelah harus membiayai
pesta pernikahan kami. Gajiku saat itu pun pas-pasan saja. Hal itu tidak terlalu mengkhawatirkan
karena aku yakin dapat menyicilnya pelan-pelan. Namun sebulan setelah pernikahan, istriku
memberitahukan bahwa ia telah mengandung anak kami. Mulailah proses penghitungan dan
pengiritan yang luar biasa. Walaupun berasal dari keluarga berada, istriku kini dengan sabar
mengikuti kemampuan keadaan ekonomi bersama aku. Dari naik-turun mobil pribadi saat masih
belum menikah denganku, kini ia dengan tenang naik-turun kendaraan umum dalam keadaan hamil,
sebab aku harus memakai mobil jika bekerja. Tidak pernah sekalipun istriku mengeluh tentang hal itu.

Beberapa bulan hidup dengan istriku, aku melihat kebiasaannya yang sebenarnya menurutku agak
aneh yaitu berdoa menyalakan lilin di depan salib dan pernak-pernik patung orang kudus dengan
intensitas yang menurutku adalah ‘sering’. Aku pun berasal dari keluarga Katholik, tapi jujur saja,
keluargaku memang morat-marit dalam hal iman. Kami tidak berdoa bersama apa lagi memiliki
pernak-pernik Katholik yang terlalu bertele-tele.

Istriku semakin sering terlihat berdoa. Jika aku pulang kerja memang terlihat ia buru-buru menyudahi
doanya, tapi kutahu dia pasti habis berdoa. Setelah kelahiran anak pertama kami, mulai terasa sekali
ada perbedaan besar akan pandangan hidup antara aku dan istriku. Jika berkumpul dengan keluarga
istriku, agak mengesalkan juga bagian berdoa bersamanya, terutama berdoa Rosario mereka lalu
ditambah doa spontan dan bernyanyi pujian. “Ah!” Pikirku. Di dunia yang sibuk ini, ada saja orang-
orang yang rela berdoa begitu lama tak jelas tujuannya. Tuhan pasti tahulah apa yang dibutuhkan,
tidak usah berlama-lama begitu. Masih banyak hal yang harus dilakukan.

Hampir setiap saat, kutegur istriku, dari cara menyindir tertawa-tawa, sampai sering menjadi
bertengkar juga dengannya karena kurasa dia terlalu banyak berdoa.
“Ada banyak rahmat Tuhan yang kita terima. Harus kita syukuri.” Kata istriku.
“Kerja dong, kerjaaaa... Doa-doa melulu nggak ada gunanya.” Sahutku.
“Aku menjalankan bagianku, masak, bersihkan rumah, antar anak sekolah.” Sahut istriku lagi.
“Kayak orang gendeng aja berdoa melulu, cari dong kegiatan lain!” Jawabku sengit.
“Oh! Belanja-belanja? Arisan? Nge-gosip? Boleh gitu? Kalau boleh.. mana uangnya, sini, bagi uang
yang banyak!” Sanggah istriku.
Jujur saja, kalau sudah bagian ditagih tentang uang yang banyak, aku sering mati langkah. Nyatanya,
aku dan istriku memang selalu berhemat. Istriku pun tidak pernah mengeluh dengan pengeluaran yang
harus diirit-irit. Hmm, yah, harus apa dia ya? Sebenarnya, baik juga kan dia ada di rumah, mengurus
rumah. Dan jika tidak tahu apa lagi yang harus dikerjakannya, yah, biar saja dia berdoa. Kataku dalam
hati. Secara logika, rasanya tidak apalah dia berdoa. Tetapi mengapa selalu tampaknya aku harus
mengajak dia ribut jika aku melihat dia berdoa. Berdoa berdoa saja, aku melihat istriku mirip seperti
orang tolol dibandingkan perempuan-perempuan di kantor tempat kerjaku.

Setelah anak kedua, istriku lebih aneh lagi. Setiap hari dia pergi ke gereja. Dia menghadiri Misa
Kudus katanya. Wong edan!!! Tuhan itu beristirahat di hari ke-7. Itulah waktunya untuk manusia
menyembah Tuhan, di hari ke-7. Di hari Minggu. Bukan setiap hari. Habis-habiskan waktu saja
istriku itu. Saat itu, aku sudah dapat membelikan istriku sebuah mobil, dengan menyicil, dengan
mobil itu dia selalu pergi misa harian. Habis-habiskan uang bensin saja pikirku.

Istriku tetap ‘ndablek’, dia tetap berdoa macam-macam, tetap misa harian; cara hidupnya pun strik,
selalu mengingatkanku jangan suka macam-macam, hati-hati dengan uang perusahaan, jangan
korupsi, jangan terima uang suap, jangan lihat film blue, jangan bakar persembahan berhala walaupun
boss dan kolega bisnis suka melakukan hal begitu. Dia sangat-sangat tidak mendunia. Dia benar-benar
Katholik fanatik, pikirku.

Sepuluh tahun aku menjalani pernikahan dengan istriku, hal yang memang selalu mengganjal di
hatiku hanyalah tentang masalah dia beribadah; hal yang lain-lainnya, ditambah dengan anak-anak
kami yang tampan dan cantik-cantik serta pintar-pintar di sekolah, sebenarnya membuat rumah
tanggaku aman saja.

Suatu hari aku pulang ke rumah memang seperti kesetanan melihat istriku belum sampai di rumah
karena katanya harus menghadiri Misa apalah itu dan hari itu acaranya sedikit panjang. Kutunggu
istriku pulang, dan kumaki habis-habisan dia, sehingga ia menangis keras sekali. Kami bertengkar
hingga mengeluarkan kata-kata cerai. Aku sudah tak mau tahu lagi. Sulit sekali perempuan ini
diberitahu. Setelah lama ia menangis akhirnya dia berkata, “Apapun keputusanmu, terserah saja! Kau
hanya selalu marah jika melihat aku berdoa atau beribadah. Coba ingat-ingat awal kita menikah, kita
dalam keadaan minus. Lihat sekarang, anak-anak kita begitu diberkati mereka bersekolah di sekolah
yang baik dan mereka pandai-pandai. Lihat kita sekarang, uang sudah tidak terlalu masalah lagi.
Apakah itu semua bukan berkat dan perlindungan Tuhan?” Tanya istriku.
“Kaupikir itu karena doa-doamu? Itu karena aku bekerja setengah mati, siang dan malam? Jangan
tolol!” Suaraku meninggi dan menyindir.
“Anak-anakmu pandai dan tak pernah menyulitkanmu, apakah itu karena kau bekerja? Kasus-kasus di
tempatmu bekerja yang sering kauceritakan padaku berulang-ulang, di saat kau tersudut, lalu muncul
orang yang membelamu; atau datang karyawan lama yang entah dari mana tiba-tiba muncul pas saat
engkau akan dipukuli orang, dan masih banyak lagi cerita dari mulutmu sendiri dan kau juga tak tahu
jawabannya. Pikirkanlah baik-baik, apakah itu karena usahamu semata-mata? Pikirkan baik-baik
sebelum menjawab. Karena aku khawatir jika kau dengan sombongnya menjawab itu adalah karena
usahamu sendiri, mungkin Tuhan akan menarik berkat-berkatNya saat ini.” Sanggah istriku mulai lagi
dengan teori berkatnya.

Sebenarnya, berdasarkan emosi dan ego-ku, aku ingin sekali segera menjawab asal untuk
menghantam kata-kata istriku. Namun sesuatu membuatku terdiam. Istriku pun diam. Sekitar 10 menit
kami sama-sama diam. Istriku memejamkan matanya, air matanya masih berderai. Entahlah, tiba-tiba
terlintas beberapa rumah tangga kenalanku; yang berantakan, yang bangkrut, yang penuh
pertengkaran antara ipar, hutang-piutang mereka terlilit rentenir. Tiba-tiba saja, tiba-tiba saja, aku
merasakan betapa rumah tanggaku diberkati dan betapa aku sendirilah yang mencoba menghancurkan
berkat-berkatku dengan berusaha mematahkan semangat doa istriku.

“Sedang apa kau?” Aku beranikan bertanya pada istriku setelah 10 menit kami berdiaman.
“Aku berdoa, minta Roh Kudus menerangi hati kita berdua. Agar kita tidak salah melangkah jika
memang kita harus mengambil keputusan berpisah.” Jawabnya tersedu-sedu. Malam itu kami tidak
bertegur sapa. Kami saling berdiaman. Dalam hatiku sebenarnya aku merasa aku telah melakukan
kesalahan terhadap istriku, namun egoku melarangku untuk meminta maaf kepadanya.
Keesokan harinya, kami masih berdiaman. Aku berangkat kerja, dengan berat hati, aku masih
mencium dahinya. Tapi egoku masih bergumul luar biasa. Aku masih seperti mencari-cari alasan
untuk meruntuhkan semangat doa istriku, padahal sedari kemarin aku mulai menyadari satu per satu
berkat-berkat yang diberikan Tuhan pada keluargaku dan juga pada pekerjaanku. Tapi aku masih
tidak ingin mengalah. Aku harus membuat istriku tunduk padaku, jika dia tidak berdoa lagi, aku akan
menang.“Wah! Hebat kau sekarang ya.” Kata teman lamaku. Kami bertemu saat makan siang.
“Hahaha.. ayolah, nanti malam kita ngobrol-ngobrol lagi di Kafe.” Jawabku ingin berbincang-bincang
lebih lama lagi dengan temanku itu.
“Nanti malam aku dan istriku akan menghadiri Misa.” Kata temanku itu.
“Kau? Apa sekarang kau rajin Misa?” Tanyaku heran. Temanku ini kukenal sebagai orang bebas.
“Yaaaa... Memang sudah waktuku bertobat. Sekarang ini aku sedang mencoba mengajak istriku untuk
rajin berdoa. Dia malas sekali. Biasalah.. perempuan kan sukanya yang shopping-shopping melulu.
Padahal, akan jauh lebih bagus kalau dia lebih banyak berdoa.” Jawabnya ringan.
“Haduh.. nggak usah terlalu fanatik begitulah. Biasa-biasa aja, nggak usaha terlalu ekstrim.” Kataku
lagi sengaja kuiringi dengan bercanda, tiba-tiba aku jadi teringat istriku.
“Jaman sekarang, iman itu penting banget. Berasa sekali kok. Sudah lama aku ingin sekali agar istriku
benar-benar mendalami imannya; kalau istri-istri berlaku saleh, akan sangat membantu kehidupan
rumah tangganya, juga memudahkan peruntungan suaminya.” Celoteh temanku itu.
“Ah! Sok tau kamu. Kata siapa?” Tanyaku.
“Baca1Petrus3:1-2. Sorryya,aku harus duluan.” Jawabnya.
Entah apa yang didoakan istriku kemarin saat kami berdiaman, tapi kuyakin, bertemu dengan temanku
hari ini dan mendapat ayat Kitab Suci ini, bukan suatu kebetulan, mungkin benar Roh Kudus
mengabulkan doanya.

Itulah kejadian 12 tahun yang lalu, saat dimana aku masih sangat membenci melihat istriku beribadah
dengan baik. Hari ini, aku telah lebih sering berdoa bersamanya walaupun aku tahu, iman dan
kesalehanku belumlah sepadan dengannya tapi aku menyadari apa arti pentingnya saleh beribadah.
Bukan hanya untuk mengharapkan berkat-berkat, tapi untuk memastikan bahwa aku dan keluargaku
selalu berada di jalan-Nya, selamat di dunia yang edan ini dan sangat berharap kami semua selamat
menuju Surga.
“Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka
yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya,
jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka itu.” (1 Petrus 3:1-2).

(Sumber: NN, via Media Sosial)

Anda mungkin juga menyukai