Anda di halaman 1dari 8

Karya : Fanny Yulia Purwanti

Tema : Realita kehidupan

Kenang Penyesalan
(Karya : Fanny Yulia Purwanti)

Kabarmu sangat ku rindukan, sudah puaskah engkau mendiami diriku yang lemah tak
berdaya. Hidupku sudah hancur bagaikan piring yang dilempar tak bisa menyatu lagi. Sehari, dua
hari bahkan seribu hari pun sangat aku tak berdaya melihatmu tanpa kehadiranku. Aku tau
kebencianmu sudah sangat mendalam, masih pantaskah aku kau sebut ayah?. Hidupku
terpontang panting kesana kemari tak tentu arah tuk jalan pulang. Anakku, bagaimana kabarmu
hari ini? Apakah kamu baik-baik saja? Kau tak pernah memberikan sedikit kabar kepadaku.
Rinduku setiap hari tak pernah terbalaskan walau hanya dengan sedetik kata dari suara kasihmu.
Segala penyesalanku belum cukup untuk membalas kebahagiaanmu didunia anakku.
Cuaca terik hari ini ditemani dengan segelas kopi hitam tanpa gula menambah rasa pahit
didalam kehidupanku. Di teras rumah, ku ambil gergaji tajam yang ada disampingku lalu potong
menjadi 4 bagian setelah itu dibelah menjadi 2 terakhir ku raut secara perlahan potongan bambu
menggunakan pisau tajam. Yaa.. keseharianku adalah membuat irig atau bisa disebut dengan
kalo sangat familiar bagi masyarakat yang hidup di pedesaan. Tak pernah ku sangka pekerjaanku
yang dulu sangat jauh berbeda dengan hari ini, dulu tidak pernah lepas dengan keadaan jalan
ramai, kemacetan selalu menghantui, singgah di beberapa kota.
Hadirku hanya membuat luka lama yang membekas dihati istri dan anak-anakku.
Kehidupan dulu sungguh sangat indah, tidak seperti saat ini kegelisahan selalu mengikutiku.
Hidupku hancur semenjak kehadiran penyakit hati dikehidupanku. Berawal dari sebuah
ketidaksengajaan saat hari itu aku mengantarkan anak gadisku ke sekolah dasar.
“Hari ini aku mau ayah yang mengantarku ke sekolah ya bu?”.
“Gadis kecilku ini sangat manja sekali ya sama ayah, kenapa tidak ibu saja yang mengantar?”.
“Yaah.. ibu, akukan anak ayah”. Sambil meneguk susu di meja makan.
“Ooo.. begitu sekarang ya, mulai sekarang ibu tidak mau membuat susu untukmu lagi”.
“Sudah bu, gadis kecil kita ini hanya satu-satunya ada didunia”. Dengan kecupan manis dipipi.
Setiap pagi ku nyalakan motor buntut, sembari menghisap rokok. Betapa indah saat hari-
hari bersama keluarga kecilku, setiap aku membuka mata kulihat wajah-wajah indah yang
menghiasi pagi, wajah-wajah mungil yang setiap hari memeluk dan mencium mesra serta raut
wajah kesal istriku sayang. Ku kira dua orang malaikat kecil dan satu bidadari surga mungkin
sudah lebih dari cukup bagiku, namun seiring berjalannya waktu tak kusadari apa yang telah ku
lakukan kepada mereka.
*
Hari itu diadakan acara memperingati hari Kemerdekaan Indonesia, hari dimana paling
menyesatkan bagiku. Disinilah muncul seseorang wanita cantik berambut panjang dan memiliki
body yang menawan, membutakan mataku seakan-akan melihat seorang bidadari. Bagaimana
mungkin seorang laki-laki sepertiku sampai terlewatkan dari mata tajam dari seorang wanita
berbaju kuning itu. Dimataku tiada wanita cantik selain dia, bibir yang tipis diselimuti warna
merah tua, rambut panjang ikal dengan poni, dan body Gitar Spanyol . Sungguh setiap malam
terbayang-bayang wanita itu, sehingga aku tak sadar sudah berapa waktu yang ku lewatkan untuk
memikirkan dirinya.
Lusa aku berniat untuk berkenalan dengan wanita itu, sembari mengantarkan Ana.
“Halo”. Badanku gemetar seperti orang yang sedang jatuh cinta pada pandangan pertama.
Wanita itu menoleh kepadaku sembari mengibaskan rambut panjangnya. Buseeet..
tatapannya. Bulu mata lentik menghiasi tatapan manis seakan-akan membuatku ingin lari dari
kenyataan.
“Hai. Perkenalkan saya Heni”.
Wanita itu cepat membawa sihir cinta yang menghantuiku setiap hari, Heni perusak
angan malamku. Bagaimana mungkin bisa kenal dengan wanita secantik dia, kubanding-
bandingkan dengan wajah istriku masih mending Heni yang berparas bidadari saat itu dimataku.
Gila, aku tergila-gila sampai menjadi gila rasa, gila harta dan gila cinta. Tak pernah luput dari
ingatanku wajah yang sexy dan menggoda itu, membuat hatiku jatuh sejatuh-jatuhnya.
Harapanku saat itu akan terus bisa berkenalan dan berteman baik dengan Heni, tapi tidak
kusangka akan menjadi sebuah bumerang didalam rumah tanggaku.
Saat ini malamku semakin dingin hanya diselimuti harapan yang telah pupus, apalagi
dosaku kepada istri dan anakku kudaki seribu gunung pun tak akan ada kata maaf untukku.
Tuhan telah menghukumku dengan berbagai cobaan yang menimpa diriku saat ini, cobaan yang
harus aku hadapi sendiri tanpa seorang penyemangat satupun. Harga diriku sudah tidak ada lagi
untuk menjadi penyokong martabat dihadapan mantan istri dan malaikat kecilku.
“Tuhan.. jika ini semua balasan dari apa yang telah kuperbuat, aku ridho dan aku ikhlas”.
Sembari menatap langit cerah malam itu.
Menangis batinku, semua hanya percuma untuk disesali dan kembali pun aku tak bisa.
Beribu penyesalan hanya bisa aku ikhlaskan dari sebuah kehilangan dan tersenyum dari suatu
kesakitan. Baru terasa saat ini, Tuhan menciptakan penyesalan biar aku tahu bahwa tidak semua
hal bisa diulang kembali. Jika ini memang jalan hidupku entah sampai kapan berakhir hanya kata
“maaf” yang bisa terucap dari bibir ini.
Semenjak Heni sudah merasuki batin dan perasaanku, pada saat itulah benih-benih cinta
mulai berkembang menjadi siksaan anak dan istriku. Dengan waktu yang sangat singkat aku bisa
lebih dekat dengan Heni, bahkan kami keluar bersama sampai ku ajak tidur bersama. Lebih
parahnya kita menjalin sebuah hubungan bak asmara suami istri, hidup berdampingan, bahkan
kumpul kebo. Saat itu anak dan istriku tidak mengetahui apa yang telah terjadi, suasana rumah
tangga seperti biasa dan justru sangat harmonis. Betapa cerdik diriku menyembunyikan seorang
perempuan nakal yang saat itu menjadi prioritas utama kesenanganku. Tanpa berpikir panjang,
sempat ku ajak Heni untuk menikah secara diam-diam namun hal itu ditolak halus dengan alasan
dia masih punya seorang suami. Kupikir hal ini bisa membuatku akan terus bersama Heni sampai
akhir hayat tanpa diketahui oleh istri atau keluarga besarku.
“Semakin bangkai itu tersimpan maka aroma busuknya akan tetap tercium”, ya pesan terindah
dari istriku masih terngiang-ngiang sampai saat ini. Caci dan makian tak luput dari mulut-mulut
tetangga bahkan mantan mertuaku sekalipun. Aku tidak menyangka akan serusak ini
kehidupanku, angan-angan hidup mewah, tentram, harmonis itu hanya menjadi bunga tidurku
saja. Istriku yang malang, rela bertatih-tatih mengurus rumah tangga, rela mengorbankan segala
waktu untuk mengurus anak dan suami, bahkan nyawa sekalipun dia taruhkan demi kedua
malaikat kecilku. Aku tidak tau lagi apa yang meracuni hati dan pikiranku hingga semua
pengorbanan mereka untukku semua terlihat tidak ternilai.
Hari demi hari aku lewati dengan Heni tanpa sepengetahuan istriku. Ku nikmati waktu
bersama dia untuk pergi berlibur keluar kota bersama dengan anaknya. Sebuah kebohongan
besar yang pernah kulakukan pada saat itu, dengan santainya aku mengajak mereka pergi
berlibur dan menikmati hari liburan yang menyenangkan. Kuberikan segala waktuku untuk Heni
dan buah hatinya tanpa sedikitpun memikirkan malaikat kecilku yang sedang menungguku
pulang, hanya untuk mendapat sebuah kasih sayang dan kecupan manis dariku. Telepon
berdering, tercantum jelas di wallpaper hp foto keluarga kecilku terlihat oleh Heni seketika
dirampas karena rasa cemburu yang menggebu-gebu.
“Mas, waktumu hari ini hanya untuk aku dan anakku tidak dengan mereka”. Dengan mata
melotot sambil merenggut hp dari tanganku.
“Iya sayang, maaf aku akan berikan seluruh waktuku bahkan hidupku untukmu Heni”. Ucapku
Aku sempat berfikir kalau ini hanya hayalan bagiku, ini bukan aku, seakan-akan badan
yang aku tempati bukan diriku yang sebenarnya. Kasih sayangku seharusnya jauh lebih besar
kepada istri dan malaikat kecilku bukan kepada pelakor itu yang hanya mau menikmati harta
kekayaanku saja. Sudah berapa pundi-pundi emas yang ku berikan pada pelakor biadab itu,
bahkan istriku sendiri tidak pernah sama sekali ku beri sebanyak itu. Semuanya habis tak tersisa
sepercikpun, semuanya lenyap ditelan mulut perempuan itu, lahan sekian hektar dan dua harta
kesayanganku hangus dibakar api-api asmaraku kepada Heni. Rasanya, hidup enggan mati tak
hendak, tidak tau dukun mana yang dia pakai hingga bisa menaklukkan hati ini. Entah aji-aji apa
yang dia pakai seakan-akan dia adalah wanita paling sempurna yang pernah ku gauli.
Dalam sedetik uang hasil jerih payah sampai banting tulang untuk masa depan keluarga
kecilku lenyap hanya untuk membahagiakan setan bejat itu. Demi kebahagiannya saat itu seluruh
hidupku pun aku rela memberikan secara cuma-cuma kepadanya. Sempat ku teringat ingin
membelikan buah tangan untuk gadis kecilku, dia sangat suka sekali dengan oleh-oleh yang ku
bawa tapi apalah daya saat itu aku melihat anak Heni yang sedang merengek meminta baju dan
tas baru. Tanpa berfikir panjang ku belikan semua keinginan anak Heni.
Dua minggu sudah berlalu, betapa rindu hatiku kepada istri dan anak-anakku di rumah.
Liburan pun telah usai.
“Ayaaaah..”. Suara manis yang selalu menyambutku dengan kehangatan.
“Ayah, aku kangen sama ayah. Kok ayah baru pulang sih? Ayah kerjanya sibuk banget ya?”.
Pertanyaan manis yang selalu dan selalu aku dengar.
Istri dan kedua malaikat kecil menyambutku dengan penuh kasih sayang, disambut
dengan makanan hangat yang sudah menyapa kekosongan perutku ini. Seketika melihat raut
wajah-wajah bahagia pagi ini membuatku seakan-akan lupa dengan Heni, hanya sempat terlintas
dipikiranku menghawatirkan keadaannya. Tanpa berlama-lama aku santap makanan kesukaanku
sayur tewel dengan sambal pedas dihiasi dengan ikan asin gorengan istriku tercinta membuat
pagi ini terasa sangat lezat.
*
Matahari cantik itu selalu ku rindukan, tidak seperti sekarang badai itu memporak-
porandakan kehidupan manisku. Sudah habis semua yang aku miliki sekarang, hanya tersisa
bagian-bagian baju lusuh yang masih menemani dan menutupi sebagian dari dosaku. Caci
makian itu seakan-akan membungkam mulutku saat ini. Aku sudah tidak berjaya seperti dulu,
hanya ibuku yang selalu berada di belakang untuk mendukung setengah hidupku ini.
Genap sudah umur 50 tahunku, usia yang dekat sekali dengan kematian, usia dimana
harus memperbanyak taubat, beribadah dan bersiap-siap bertemu dengan Sang Pencipta. Sampai
50 tahun ini aku tidak tau apa yang harus kulakukan, beribu maaf sudah ku ucapkan di depan
mereka semua, namun sampai detik ini luka itu masih belum sembuh. Teringat dulu sempat aku
merancang kehidupan dimasa tuaku nanti bisa berkumpul anak dan istriku, menghabiskan waktu
bersama sampai sisa umurku nanti, namun semua bagaikan pungguk merindukan bulan. Ada
secerca harapan kepada Tuhanku, semoga dimasa tuaku ini bisa membuat mereka tersadar betapa
aku merindukan seluruh kenangan manis yang dulu pernah kami jalani bersama.
Pagi ini menjadi pagi terakhirku bisa merasakan nikmatnya berkeluarga.
“Kring.. kringgg..” teleponku berbunyi 2 menit lamanya. Saat itu aku masih menikmati sarapan
pagiku bersama keluarga kecil. Telepon terus berbunyi, aku tidak tahu siapa yang mengganggu
pagi cerahku ini.
“Yah.. aku ambilkan teleponnya ya, mungkin saja itu urusan pekerjaan”. Kata istriku
Entah apa yang membuatku lupa seakan-akan tidak ada sesuatu yang sedang aku
sembunyikan. Raut wajah istriku sudah berbeda, beberapa menit lalu menggunakan wajah cerah
enak dipandang namun setelah dirinya memutuskan untuk mengambil teleponku semua menjadi
hening dan suram. Telepon itu sudah tidak berbunyi lagi awalnya aku mengira itu telpon dari
kerabat atau pekerjaan ternyata setelah aku baca itu dari Heni. Aku berusaha tidak menunjukkan
kegelisahan di depan anak dan istriku.
“Oh.. ini temanku, istri dari sahabat karibku”. Kataku, seakan-akan meyakinkan dan
menstrerilkan keadaan.
Aku kira pagi ini akan baik-baik saja tapi tidak perkiraanku saat ini benar-benar salah.
Waktu sudah menjelang petang, membuat perasaanku semakin tidak karuan karena teringat
kejadian tadi pagi. Aku masih bertanya-tanya apakah istriku tau? ataukah dia tidak tau? Karena
mulai dari pagi dia tidak mengajakku bicara sama sekali. Berusaha ku dekati dan seolah-olah aku
mengalihkan perasaanya dengan mengajak dia pergi keluar rumah dengan alasan mencari udara
segar pada malam itu. Akhirnya dia pun mengiyakan ajakanku dan anak-anak ku tinggalkan di
rumah. Malam itu ku ajak dia keliling sembari mencari camilan hangat di dekat sini. Aku
mencoba mencari topik pembicaraan agar tidak canggung.
“Dek, kamu pengen apa? aku sudah lama tidak mengajakmu jalan berdua”.
“Tidak mas, lebih baik kita pulang saja daripada bingung mau kemana. Aku mau kita bicara
malam ini, tapi tunggu anak-anak sudah tidur”.
Hatiku mulai kaca balau, aku memikirkan nasibku malam ini akan ku jawab apa jika dia
sudah tau semuanya, apa yang akan aku lakukan selanjutnya? bagaimana nasib anak-anak ku.
Aku pulang dengan perasaan yang ambyar, takut dan galau. Tanpa berlama-lama kuputar balik
sepedahku dan sudah hilang selera untuk membelikan camilan hangat.
Hambar dan ambyar menjadi lauk pauk untukku setiap hari. Hidup susah, cari kerja
banyak yang menolak, bingung mau kemana diam pun aku tidak berguna apalagi kebutuhan
semakin banyak. Afan anak ketigaku dengan istri kedua saat ini harus sekolah dan banyak biaya
yang harus aku keluarkan untuk memberikan masa depan untuknya. Selain membuat kalo aku
juga alih profesi menjadi “pengacara” yak pengangguran banyak acara. Setiap hari aku harus
pergi memancing, mencari keong di sawah untuk makan peliharaan di rumah. Aku sempat
berfikir betapa tidak bergunanya aku sebagai seorang ayah yang belum bisa mencukupi
kehidupan istri baru dan anakku. Dibalik itu semua, istri pertamaku sudah sangat sukses hari ini
dengan kegigihan dan keterpaksaan dia rela pergi jauh demi masa depan kedua malaikat kecilku.
Kehidupan mereka saat ini jauh lebih baik dari sebelumnya walaupun masih tersimpan kebencian
mereka kepadaku. Aku sangat bersyukur walaupun begitu mereka hidup dengan layak dan tidak
kekurangan apapun, hanya saja tidak mendapatkan cinta dari seorang ayah.
“Siapa Heni.. ?” Tanya istriku. Aku tidak tau mau mulai bicara dari arah mana. Canggung, takut,
cemas, keringat dingin, kaku, seakan-akan semua anggota tubuhku mati rasa. Bagaimana
mungkin aku jujur kepada istriku tentang Heni, bisa-bisa terjadi perang ke-3 mana lagi
pertengkaran ini disaksikan secara langsung dihadapan Fajri anak sulungku. Memang jika
bertengkar di depan anak bisa berdampak mempengaruhi psikologisnya namun istriku tetap saja
melanjutkan pertengkaran ini tanpa menyadari disitu ada Fajri. Aku berusaha merendam
keadaan, mengalihkan topik pembicaraan namun tidak dihiraukan olehnya. Pertanyaan demi
pertanyaan dilontarkan semua secara cuma-cuma oleh istriku, hinaan, caci makian bahkan untuk
pertama kalinya dia menampar wajahku. Sontak aku sangat kesal dan ingin menampar balik
namun dihadang oleh anak sulungku.
“Ayaah!! Apa yang mau ayah lakukan? Mau menampar ibuku? Tampar saja aku!”.
“Masuk kamar! Berani-beraninya kamu ikut campur urusan orangtua”. Tanpa sadar sudah
kubentak anak sulungku, bahkan ini pertama kalinya dia melihat sifat kasarku padanya. Dia
berlari sambil menangis dan kata terakhir yang aku dengar dari anakku.
“Kau bukan ayahku lagi!”.
Seakan-akan jantungku berhenti berdetak, badanku menggigil mendengar kalimat yang
terlontar dari mulut Fajri. Pertengkaran ini masih berlanjut sampai tengah malam, sudah aku
jelaskan semua kepada istriku dengan setengah sadar. Tangisan yang keluar dan jatuh dipipinya
membuat hatiku hancur sehancur hancurnya, jujur tidak tega melihatnya seperti itu. Sungguh aku
sangat berdosa kepada istriku, telah merenggut kebahagiaanya dengan segelintir sifat bodohku
ini.
“Dek.. maafkan aku, aku tau ini sudah keterlaluan dan sangat bodoh. Namun aku tak menyadari
ini bisa terjadi kepadaku”. Ucapku sembari mehapus air mata yang mengalir sangat deras
dipipinya. Dia hanya membalas kata maafku dengan sebuah senyuman mengerikan yang
membuatku semakin takut dan tidak kuat menatap mata yang begitu tajam melihatku. Dia tidak
berkata apapun setelah aku mengakui semua kepadanya.
Mungkin tidak ada lagi laki-laki bejat sepertiku, yang hanya bisa memberikan sebuah
luka permanen kepada keluarga kecilku. Saat ini aku hanya bisa menyesali apa yang telah
kuperbuat tidak ada kata maaf sekalipun untukku, entah dimana hati nuraniku dengan mudahnya
aku menghabiskan segala yang aku miliki dengan sangat singkat. Setiap malam aku hanya bisa
merintih namun tidak ada gunanya lagi kesedihanku ini, sudah semua sudah berakhir
kebahagiaanku, pekerjaan, bahkan teman-teman kerjaku banyak yang menjauh dariku. Waktu itu
memang Tuhan sudah tidak memberikan aku kesempatan lagi untuk memperbaiki diri
membenahi segalanya yang telah rusak. Memang “karma” itu pasti bisa terjadi kepada kita
sebagai akibat atau balasan bagi mereka yang melakukan segala sesuatu entah itu baik atau buruk
tergantung bagaimana kita melakukannya. Aku percaya tentang karma, dan benar saat ini
sungguh terjadi padaku tidak pernah terlintas dipikiranku sebelumnya tentang ini, aku hanya
mementingkan kehidupan dunia sesatku tanpa memikirkan efek sampingnya. Karma itu setiap
detik menghantui dan mengejarku kemanapun langkahku berjalan, dimanapun aku pergi dan
selalu membuatku setengah hilang pikiran.
Subuh ini adalah subuh terakhirku mengijakkan kaki di lantai rumah yang sudah
dibangun dengan berbagai lika liku kehidupan bersama keluarga kecilku. Setelah kejadian
kemarin malam, istriku langsung pulang kepada kedua orangtuanya dan meninggalkan aku dan
anak-anakku. Pagi itu aku tidak melihat senyuman manis istriku lagi, aku tidak mencium bau
wangi masakan istriku lagi, aku tidak mendapat kecupan manis dari bibirnya lagi hanya tercium
bau busuk pada badanku yang kotor dan hina.
“Fajri, ibu dimana?” tanyaku kepada anak sulungku , namun dia sama sekali tidak merespon
pertanyaanku. Perubahan mulai terlihat pada sikap Fajri yang sangat dingin kepadaku, mungkin
ini efek dari kejadian tadi malam, dia melihat semua pertengkaran dengan istriku. Jujur aku jadi
kawatir dengannya, dia yang dikenal di lingkungan terlihat selalu ceria, namun sekarang aku
sudah merubahnya menjadi pribadi yang dingin dan suka murung. Tak tahu apa yang harus aku
lakukan demi mengembalikan keadaan hatinya.
“Kreeeek..” pintu kamar berbunyi. Ternyata itu gadis kecilku yang baru saja bangun dari
tidurnya.
“Ayah… ibu dimana?”. Tanyanya. Akupun bingung mau berkata apa kepadanya, sedangkan dia
tidak pernah tertinggal misal mau ikut istriku kemana saja. Gadis kecilku pun mulai merengek
dan minta bertemu dengan ibunya. Kugendong pun dia dan aku ajak jalan-jalan di sekitar
komplek untuk mengalihkan rindu kepada ibunya.
Waktu menunjukkan pukul 5 pagi. Aku mengajak gadis kecilku berolahraga pagi dengan
berjalan mengelilingi komplek rumah. Pagi ini juga menjadi pagi terakhir melihat anak gadisku
benar-benar sangat senang, dia meminta segala apa yang dia mau dan aku menurutinya. Betapa
sayang aku dengan kedua malaikat kecilku, senang sekali rasanya bisa melihat mereka bahagia
tapi tidak dengan Fajri. Kebahagiaan seorang anak adalah momen penting yang harus dilakukan
pada setiap keluarga, karena bagaimanapun juga mereka bagian dari kebahagiaan ku juga.
“Bu.. aku sudah tidak kuat menahan dengan mas Wanto, ku pasrahkan semua kepada ibu.” Air
mata itu menetes dengan derasnya.
“Ya sudah, aku nanti akan datang ke rumahmu dengan bapak”. Jawab Marni
Siang itu baru pulang ku membeli makanan di warung, karena istriku tidak masak hari ini
dengan membawakan 2 bungkusan untuk anak-anak di rumah. Kaget sekaget kagetnya aku
melihat ibu dan bapak mertuaku duduk di ruang tamu dan meneguk segelas teh hangat, dengan
tatapan yang sinis kepadaku.
“Assalamualaikum, ibu dan bapak sudah dari tadi?” Tanyaku kepada mereka, namun hanya
salam yang mereka jawab.
“Wanto kami ingin kamu duduk disini dan kami ingin mendengar kesaksian darimu”.
Saat itu istriku duduk di dekat ibu dan bapak mertuaku, aku di depan mereka bertiga sedangkan
anak-anak dibawa tetanggaku keluar agar mereka tidak mendengarkan apa yang kami bicarakan
dan ini kesaksianku.
Keputusan itu sudah tidak bisa diubah lagi, mereka sudah sangat sakit dan sangat
membenciku bahkan anak-anak pun mulai menjauh dariku. Mereka memutuskan kami dengan
sangat cepat, di usia pernikahanku yang ke-20 ya itu benar-benar waktu yang sangat pendek
untuk sebuah hubungan berkeluarga. Istriku langsung memutuskan untuk pergi jauh
meninggalkan Negara dan anak-anak, tidak hanya semata-mata ingin menghilang namun dia
berkata.
“Demi masa depan anak-anakku nanti, aku rela pergi jauh banting tulang demi kehidupan
mereka nanti, kelak mereka akan menjadi manusia yang sangat aku banggakan dan semoga
mereka tidak meniru semua perlakuan kedua orangtuanya”.
Aku tidak tau lagi bagaimana aku bisa menjalani hidupku tanpa mereka lagi, walaupun
saat ini aku sudah berkeluarga lagi dan punya buntut, tapi kebahagiaanku masih tetap bersama
mereka, ya kedua malaikat kecilku dan mantan istriku sayang. Ya Tuhan .. hari ini aku berusaha
Ridho dengan apa yang sudah terjadi, berikan aku kesehatan dan panjang umur untuk menebus
setidaknya seperempat dosa-dosaku Tuhan. Andai saja waktu bisa kuputar kembali, tidak akan
ku sia-siakan segala kesempatan baik untuk membahagiakan keluarga kecilku. Teruntuk istriku
tercinta, aku tidak pernah menganggap kau adalah mantan istriku, aku akan selalu
menganggapmu tetap sebagai istriku, aku disini akan terus mendoakan mu, berbahagialah saat ini
istriku sudah tidak akan ada lagi yang merenggut kebahagiaanmu lagi.
*Tamat*

Anda mungkin juga menyukai