Anda di halaman 1dari 9

Lengannya Lebih Kuat dari Dahan Flamboyan

“Di kedua bahunya nampak pikulan amanat batu gunung raksasa. Di mataku,
ketulusannya tiada tara. Di benakku, dialah pahlawan sesungguhnya.”

Korea, 2013

Bisikan angin senja dan gesekan dedaunan hijau telah berhasil mengusik kusutnya
akal. Mereka seakan melagu, menghasilkan melodi indah yang menenangkan
jiwa.
Disana, ketika kepalaku menengadah. Tampak nyata sebuah bentangan yang amat
mengagumkan, biru lazuardinya seketika meleburkan keraguan. Hampir setiap
pekan kusempatkan untuk menikmati keindahan suasana Taman Yurim selama di
Daejon.

Tugas kuliah pasca sarjana yang menumpuk dan pekerjaanku yang belum
terselesaikan terus terngiang dipikiranku. Belum lagi pesan dari adikku, Hana
yang terus membujukku pulang di saat yang kurang tepat. Kak Hanif akan
menikah bulan ini. Berharap hadir sepercik keyakinan untuk menjawab pesan dari
Hana.

Kukantungi ponsel bergantungan kunci huruf ‘N’ dan kukeluarkan buku catatan
harian dari ranselku. Lembaran demi lembaran kutelusuri dan tanpa sadar air telah
menelaga di pelupuk mataku. Hingga membawaku kembali mengeja kenangan
delapan tahun silam.

Jakarta, 2005

Sepulang sekolah kutemui ayah yang keluar dari rumah dengan tatapan kosong
dan terburu-buru. Tak sempat kuucap salam karena tingkahnya yang entah pura-
pura atau memang sedang tidak melihatku. Dengan penuh penasaran
kulangkahkan kaki memasuki ruang tamu dan kudapati kak Hanif sedang duduk
di sofa sambil memijat keningnya.

“Ada apa, Kak?” Ia tampak memikirkan hal serius dan begitu ragu menjawab
pertanyaanku. Sekedar menoleh ke wajahku lalu menunduk dan menghela nafas.
“Ada apa sih, Kak? Oh.. udah ngga mau cerita nih sama Nafla? Hm, ya udah”
Ujarku merayunya, berharap kak Hanif akan bercerita. Namun nihil, ia seakan tak
mendengarku. Percuma, batinku. Akhirnya aku memilih beranjak ke kamar dan
mengganti pakaian. Hana yang pulang tiga jam lebih awal sedang bermain barbie
di atas tempat tidur.

“Dek, tadi Ayah cerita apa sih sama Kak Hanif?”

“Ga tau, emangnya kenapa Kak?”

“Yah.. malah balik nanya..”

Seperti awal dugaanku, Hana yang masih duduk di bangku SD membuatnya acuh
dengan percakapan ayah dan kak Hanif yang terlihat serius.

***

Hari berganti malam, Hana sudah tidur, kak Hanif masih sibuk dengan tugasnya
dan ayah yang belum juga pulang membuatku sedikit cemas.

Jarang-jarang aku terbebas dari tugas sekolah seperti malam ini. Duduk manis di
balai-balai bambu kolom ditemani secangkir kopi carrebian nut hangat. Di atas
sana, di balik si orange flamboyan, langit bak bentangan sajadah biru tua yang
membuatku merasa damai.

“Belum tidur, Naf?” kak Hanif tiba-tiba duduk di sebelahku dan membuatku
sedikit kaget.

“Belum.” Jawabku datar, jujur aku masih kesal dengan tingkah kak Hanif tadi
siang yang tidak seperti biasanya.

Ia hanya terdiam lalu ikut memandangi langit malam dengan tatapan sedu, diam-
diam aku memperhatikannya. Sungguh bukan kak Hanif yang ceria seperti
biasanya.

Kami saling diam beberapa menit, hanya krik-krik jangkrik yang terdengar.
Dan “Lusa….” Ujarnya dengan wajah canggung. Aku hanya membisu dan
mendengarkan.

“…Ayah akan menikah lagi”.

Aku tersentak. Seketika kopi yang kuseruput menjadi hambar, aku merasakan
debaran jantungku menjadi lambat namun detakannya teramat keras. Perpaduan
shock dan kecewa mendalam dari keluk hati. Bagaimana tidak? Ayah akan
menikah lagi. Ya, aku berharap muncul mimik gurau dari wajah kak Hanif.
Namun ekspresinya menampakkan kekecewaan yang sama denganku, membuatku
semakin tak mampu menerima kenyataan.

“Kakak tahu kamu kecewa, tapi kakak harap jangan sampai masalah ini membuat
konsentrasi belajar kita ikut terganggu..”

“Tapi kenapa Ayah ngga pernah membicarakan hal ini ke kita? Apa persetujuan
dari kita tidak lagi berharga, Kak?” Kurasakan titik air mengalir membasahi
pipiku, mataku tak mampu lagi membendungnya.

Kak Hanif hanya mengehela nafas panjang mendengar ketusku, pelukannya yang
penuh kasih sayang sedikit menenangkanku. Aku mencoba untuk tegar.

***

“Dek kayaknya ada yang ngetok pintu deh, kamu yang buka dulu yah.
Ngegorengnya nanggung nih..” Pintaku kepada Hana yang tengah menggambar.
“Ok, Bos!” ia mengangguk dengan pipi bakpaonya yang menggemaskan.

“Assalamua’alaikum..”

“Wa’alaikum salam.. kak Nafla! Ayah pulang, Kak!”

Ayah? Apalagi yang ayah inginkan? Aku membatin dengan penuh rasa tanya. Kak
Hanif yang sedang tadarrus segera keluar dari kamarnya dan mencium tangan
ayah. Kutinggalkan dapur dan ikut mencium tangan ayah. Namun tidak dengan
wanita di sebelahnya. Aku tercengang melihatnya, yang kumaksud bukan wajah
atau warna kulitnya, melainkan pakaian yang dikenakannya terlihat senonoh.
Kami duduk di sofa ruang tamu, ayah membuka pembicaraan dan menjelaskan
mengenai rencana pernikahannya besok. Ternyata benar wanita berpakaian minim
itu adalah calon istrinya, jauh berbeda dengan cara berpakaian ibu yang anggun.
Ayah berharap kami hadir di acara pernikahannya. Kak Hanif terlihat canggung
dan hanya menundukkan pandangannya. Hana menangis sambil memelukku
sedangkan aku hanya menunjukkan wajah gusar.

***

Hari ini hari pernikahan ayah yang kedua kalinya, tak satu pun dari kami yang
hadir. Aku tak habis pikir dengan jalan pikiran ayah. Bagaimana mungkin ia
mampu menghapus jejak ibu yang bahkan tanah kuburannya pun masih basah.
Aku rindu ibu, aku rindu senyuman ibu yang tulus dan ampuh melenyapkan bad
moodku. Ibu yang pergi sebulan silam meninggalkan kami ke tempat yang lebih
indah dari pada tempat kami sekarang. In syaa Allah.

Setelah hari pernikahannya, ayah tidak lagi tinggal bersama kami. Istrinya tidak
ingin tinggal di perumahan kompleks sederhana seperti rumah kami. Mereka
pindah ke kota kelahiran istrinya di Balikpapan dan tak ada lagi kabar dari ayah.
Ia bak terdampar di lautan hiu.

Kak Hanif putus kuliah dikarenakan biaya dan lebih memilih untuk kerja demi
membiayai sekolahku dan Hana. Alhamdulillah, setelah beberapa minggu mencari
kerja, ia di terima di salah satu perusahaan swasta. Aku merasa tak enak hati
dengan kak Hanif yang banting tulang sendirian, aku pun memutuskan ikut
membantu dengan menjadi guru les privat bahasa Inggris dengan kemampuanku
yang lumayan.

Setahun kemudian, aku pun lulus SMA dengan nilai yang cukup memuaskan. Aku
tak ingin kuliah dan memilih kerja sebagai guru bimbel bahasa Inggris saja. Tapi
kak Hanif tidak mengizinkan, ia memintaku untuk kuliah. “Kamu dan Hana harus
lebih baik dari kakak!” ujarnya.

Jakarta, 2006
Alhamdulillah. Allah tak henti-hentinya menebarkan nikmat kepada hambanya
yang bersungguh-sungguh. Aku lulus di salah satu universitas negeri jurusan
sastra Inggris. Belajar dengan serius demi mendapatkan beasiswa tanpa harus
membayar uang kuliah adalah impianku sejak awal, aku tak ingin membebani kak
Hanif lagi dengan membiayai kuliahku.

Jakarta, 2009

Tiga tahun telah kujalani dan setiap semesternya aku selalu mendapatkan IPK
yang memuaskan, sehingga aku terbebas iuran kuliah. Aku bersyukur dapat
meraih impianku sehingga membebaskan kak Hanif dari biaya kuliah yang mahal.

Namun hidup bagaikan roda yang berputar, bahwasanya kehidupan akan terus
berputar dan akan selalu ada cobaan di dalamnya. Tiba-tiba telpon rumah
berdering dan ternyata dari sekolah Hana. Aku mendapat kabar bahwa Hana jatuh
pingsan di saat melaksanakan rapat OSIS. Aku khawatir bukan main.

Setelah membawa Hana ke dokter, ternyata gadis kecil itu mengidap usus buntu.
Tak ingin tinggal diam dan sekedar melihat kak Hanif bersusah payah membayar
biaya rumah sakit, aku terus merengek agar diizinkan bekerja paruh. Tapi Kak
Hanif menyuruhku untuk fokus pada kuliah. Tak apa-apa dan semuanya bisa ia
tangani sendirian, ia terus menenangkanku dan tak pernah mengeluh sekalipun.
Suatu hari pertolongan-Nya datang, entah siapa dan kenapa seseorang berhati
mulia telah melunasi biaya rumah sakit Hana sehingga ia mendapatkan
penanganan yang baik.

Agustus, 2010

Perjuanganku selama empat tahun terbayar lunas, aku lulus dan menjadi salah satu
siswa terbaik di kampus. Sehingga memudahkanku mendapat tawaran beasiswa
ke luar negeri. Aku mendapat kesempatan untuk melanjutkan S2 di negeri
impianku, negeri ginseng.

Jujur, tak tega rasanya meninggalkan Kak Hanif dan Hana. Tapi mereka terus
meyakinkanku untuk mengejar mimpi. Hana yang sewaktu-waktu bisa jatuh sakit
membuatku tak sanggup pergi jauh. Kami telah hidup bertiga tanpa orang tua
bertahun-tahun dan tumbuh dewasa. Setelah shalat istikharah aku kini mantap
untuk mengejar mimpi itu. Kak Hanif yang kini bukan lagi karyawan biasa berkat
keuletannya membuat kekhawatiranku menipis.

Juli, 2013

Aku rindu Kak Hanif, aku rindu Hana..

Kuhitung-hitung uang yang kudapat dari albaku[i] untuk pulang ke Jakarta sudah
cukup, sudah setahun enam bulan juga aku tak berjumpa dengan mereka. Lagi
pula tahun ini adalah tahun berkesan untuk kak Hanif, tak sampai hati jika aku
harus melewatkan momen bahagia pahlawan hidupku itu.

Ahh, di saat penerbangan menuju bandara Soekarno-Hatta, udara panas Jakarta


sedang terangan-angan dibenakku, begitupun suasana rumah yang nyaman. Aku
rindu..

Aku pun terkikik mengingat kejadian di Bandar Udara Internasional Incheon tadi..

“Pulanglah Naf, memangnya kamu tidak rindu dengan kami?” Bujuk Kak Hanif
yang beberapa hari belakangan ini tak pernah absen menghubungiku. “Pengantin
baru masih sempat nelpon tiap hari aja, hihi..” Aku mengalihkan pembicaraan,
rasanya pasti seru memberi surprise kepada mereka. Kak Hanif terus
membujukku namun aku hanya diam dan tersenyum menahan tawa.

Welcome To Jakarta

Aku segera meninggalkan bandara dan menuju rumah dengan taksi tanpa
memberi kabar siapa pun. Hingga sampailah aku di depan rumah yang
sederhananya mendamaikan dan tak hentinya kurindukan. Balai-balai bambu di
bawah pohon flamboyan itu tak bergeser sedikit pun.

“tok..tok..tok.. Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikum salam. Masha Allah! Kak Nafla! Ayo masuk, Kak!” Gadis kecil itu
semakin dewasa saja, namun pelukan hangatnya tak pernah berubah.
“Wa’alaikum salam warahmatullah. Wah.. ada yang pulang ngga bilang-bilang
toh!” kak Hanif seketika menghampiriku dan mengacak-acak jilbabku yang
sebelumnya sudah berantakan. Kami bertiga tertawa lepas.

Tapi hanya beberapa detik, tawaku musnah ketika kulihat ayah ikut
menghampiriku. Apa yang ayah lakukan di sini? Kenapa tak ada yang
membertitahuku bahwa ayah mampir ke rumah?

“Aku lelah, berjam-jam di perjalanan membuat kepalaku terasa berat,” hanya


kucium punggung tangannya dan segera masuk ke kamar.

Kak Hanif menghampiriku, dia tahu kalau aku tidak benar-benar lelah. “Naf,
kakak tahu kamu masih belum menerima kelakuan ayah dulu. Tapi,
bagaimanapun juga ayah tetaplah seorang ayah. Kamu tak seharusnya bersikap
seperti tadi, Naf,” dia masih kak Hanif yang dulu. Kak Hanif yang tak pernah
lelah menasehatiku. Tak mampu kuabaikan jika dia yang berbicara, aku hanya
mengangguk.

“Kamu tahu tidak? Orang yang setiap membayar biaya rumah sakit Hana itu
siapa? Orang itu ayah, Naf. Itu membuktikan kalau ayah tidak sepenuhnya acuh
kepada kita anaknya! Bersikaplah dewasa, Nafla..,” ia menggenggam pundakku
dan beranjak.

Ini menggangguku. Kata-kata kak Hanif setiap saat terngiang di kepalaku.

***

Hari pernikahan kak Hanif tiba, akhirnya pahlawan kami itu menemukan belahan
jiwa yang sebentar lagi menjadi kekasih halalnya. Aku bertugas untuk menemani
pengantin wanita di kamar sebelum walimahan di mulai. Wanita berkulit putih
langsat, berwajah oval, dengan mata bulat dan perawakan sedang itu bernama kak
Aidah. Orangnya cerdas dan ramah dengan senyuman yang senantiasa
tersungging di bibirnya. Aku sudah sering mendengar mengenai kak Aidah namun
ini kali pertamaku berbincang-bincang dengannya.
“Rasanya gimana, Kak?,” tanyaku penasaran. “Campur aduk, Naf. Senang,
terharu, sekaligus gugup. Hehe,” ujarnya dengan ketawa mungil. Baru bertemu
namun rasanya sudah akrab betul. “Aku ngomong gini bukan karena adiknya kak
Hanif yah kak, tapi jujur kak Aidah beruntung! Kak Hanif itu orang yang
bertanggung jawab dan kuat, bahkan lengannya lebih kokoh dari dahan pohon
flamboyan loh kak,” tambahku sambil terkekeh bertujuan tuk menghilangkan rasa
nervous calon kakak iparku.

Setelah menikah, kak Hanif dan kak Aidah tinggal bersama kami. Waktuku di
Jakarta tinggal sehari, mengingat izinku yang hanya seminggu.

Tiba di bandara kak Hanif, kak Aidah, Hana, dan… Ya, juga ayah. Semuanya
mengantarku. Satu persatu memelukku dan berpesan sepatah kata.

“Jaga dirimu ya, dek. Semoga sukses,” kak Hanif memelukku erat, matanya
mengembun. Ahh, kak Hanif tak ingin rasanya berpisah lagi denganmu, kak.

Aku terkejut. Ayah seketika memelukku, pelukan hangat yang telah lama tak
kurasakan.

“Maafkan ayah yang tak pantas menjadi ayah, Nak. Ayah pikir, setelah menikah
kalian akan mendapatkan kasih sayang dari sosok ibu lagi. Namun ternyata tidak,
ayah terlalu bodoh untuk mencari pengganti ibumu yang tak pernah tergantikan.
Maafkan ayah, Nak. Kejarlah mimpimu, jaga kesehatanmu.”

Ia bercerai dengan istrinya, akibat kedapatan selingkuh dengan rekan bisnis ayah
sendiri.

“Maafkan Nafla juga, Ayah!,” kupeluk erat tubuhnya. Mataku basah, tangisku
pecah.

***

Enam bulan setelah peristiwa itu, aku mengajak keluarga kecilku menghadiri
wisudaku sekaligus mengajak mereka menikmati musim salju yang tak ditemui di
tanah kelahiranku.
Menjadi salah satu yang terbaik membuatku haru sekaligus bangga terhadap kerja
kerasku. “Without them I would not be standing here. Nae saranghanda oppa,
cheongmal gamsahamnida.[ii]” Di atas podium ku pandangi mereka dengan
senyum penuh cinta.

Catatan Kaki :

[i] Pekerjaan paruh.

[ii] “Tanpa mereka saya tidak akan berdiri di sini. Kakakku tercinta, terima
kasih banyak.”

Anda mungkin juga menyukai