Anda di halaman 1dari 14

SEJUJURNYA KUCINTA

Cerita Sashmyta Wulandari

Ma airmataku menetes juga. Mitha butuh kawan, MaMitha butuh tempat berbagi. Mitha butuh bahu untuk berkeluh kesah dan satu hal yang pasti, MaMitha butuh surga. Surgaku untuk berbakti pada suami. Tidakkah Mama pahami itu, Ma?
Dik..laki-laki yang ada di hadapanmu ini sudah hampir 50 tahun. Sudah banyak rambut yang hilang, sudah banyak gigi yang tanggal. Tapi aku laki-laki, dik. Tak perlu kau khawatirkan tentang tanggungjawab lahirbathinku. Aku hanya ingin kau pikirkan kembali lalu yakinkan hatimu bahwa kau bersedia menjadi istriku dan bersedia menerima segala kekurangan kelebihanku. Kata-kata itu selalu terngiang di telingaku sejak bangun hingga menjelang tidur lagi. Tak pernah ada ragu sekalipun lelaki itu berusia 50 tahun atau bahkan lebih. Bukan usia yang kucari namun hati. Ku ingat kecewanya kala bercerita tentang ibu dari anak-anaknya. Sungguh ingin memeluk lara itu, menjadikan kelammu menjelma bahagia bersamaku. Tapijagoan-jagoanmu bagaimana?Putriku bagaimana? Pernikahan tak hanya kau dan aku. Kita..punya anak-anak kini, kita harus berbagi tawaran dengan mereka. Dan kala kuutarakan niat itu pada MamaMama berkata Jangan Sekali lagi, bukan karena usia yang berbeda jauh, tapi karna anak-anaknya belum tentu bisa menerima kamu sebagai pengganti ibunya, Mitha Tapi Mitha cinta, Ma bisikku menyimpan isak. Kau belum lama mengenalnya, Mitha. Lagian dia jauh di sana. Laki-laki bisa melakukan hal apa saja di luar sana bukan? Dia bukan laki-laki seperti itu, MaMitha yakin itu Mithakau..perempuan dewasa di mata Mama. Maka jadilah hebat di mata Mama, jadilah perkasa di mata Clara putrimu. Mama lebih senang melihatmu hidup hanya bersama Clara daripada mama harus melihatmu gagal lagi, nakucap Mama lirih. Ma airmataku menetes juga. Mitha butuh kawan, MaMitha butuh tempat berbagi. Mitha butuh bahu untuk berkeluh kesah dan satu hal yang pasti, MaMitha butuh surga. Surgaku untuk berbakti pada suami. Tidakkah Mama pahami itu, Ma? Mama memelukku dengan penuh kasih. Mengusap rambutku seperti waktu lalu, waktu yang hampir kulupa. Mama hanya tak ingin kau gagal lagi, Mithaitu saja desahnya penuh getar. Pikirkan lagi pintanya. Mama melepas pelukan, mencium keningku lalu beranjak pulang meninggalkan aku yang masih terisak dengan sisa tangis dan bimbang.

Beri jawaban padaku, Tuhan

kerendahan hati" puisi oleh Taufik Ismail


Selasa, 21/09/2010 - 11:47 ARZapata

Puisi | Taufik Ismail | Puisi Kerendahan Hati

"kerendahan hati" puisi oleh Taufik Ismail


Kalau engkau tak mampu menjadi beringin Yang tegak di puncak bukit Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, Yang tumbuh di tepi danau

Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang Memperkuat tanggul pinggiran jalan Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya Jadilah saja jalan kecil, Tetapi jalan setapak yang Membawa orang ke mata air Tidaklah semua menjadi kapten Tentu harus ada awak kapalnya. Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi Rendahnya nilai dirimu Jadilah saja dirimu. Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri dengan kerendahan hati, jujur kukatakan aku suka puisi ini dengan kerendahan hati, akan kukatakan bahwa puisi ini membuatku sadar kini diriku bak burung yang sanggup hinggap di atas kotoran sekalipun.... karena sejatinya aku adalah tong tai (maaf!: meminjam istilah dari Almarhum kyai besar KH. Ghoffar Ismail). terimakasih om Taufik Ismail.....

Karya tulis ilmiah (khasiat madu) Tugas no.1 Bahasa Inggris bisnis II

Karangan (Cerpen Persahabatan)


PERSAHABATAN Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan temanku sudah menunggu diluar rumah kakekku dia mengajakku untuk bermain bola basket.Ayo kita bermain basket ke lapangan. ajaknya padaku. Sekarang? tanyaku dengan sedikit mengantuk. Besok! Ya sekarang! jawabnya dengan kesal.Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!, Iya tapi cepat ya pintanya.Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.Wah dingin ya. kataku pada temanku. Cuma begini aja dingin payah kamu. jawabnya.Setelah sampai di lapangan ternyata sudah ramai. Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai. ajakku padanya. Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!, Kita ikut main saja dengan orang-orang disini. paksanya. Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini nanti aku nyusul. jawabku malas. Terserah kamu aja deh. jawabnya sambil berlari kearah orang-orang yang sedang bermain basket.Ano! seseorang teriak memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seorang gadis menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat. Bella? tanya dalam hati penuh keheranan. Bella adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana. Hai masih ingat aku nggak? tanyanya padaku. Bella kan? tanyaku padanya. Yupz! jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan. Van! Sini panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain basket. Apa lagi? tanyanya padaku dengan malas. Ada yang dateng jawabku. Siapa?tanyanya lagi, Bella! jawabku dengan sedikit teriak karena di lapangan sangat berisik. Siapa? Nggak kedengeran!. Sini dulu aja pasti kamu seneng!. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya. Bela? tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah. Kenapa kok tumben ke Jogja? Kangen ya sama aku? tanya Ivan pada Bela. Ye GR! Dia tu kesini mau ketemu aku jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah berbeda dari 3 tahun lalu. Bukan aku kesini mau jenguk nenekku. jawabnya. Yah nggak kangen dong sama kita. tanya Ivan sedikit lemas. Ya kangen dong kalian kan sahabat ku. jawabnya dengan senyumnya yang manis.Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur 4 tahun. Bell, ini siapa? tanyaku kepadanya. Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku. jawabnya. Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.. Dasar pikun! ejek Ivan padaku. Emangnya kamu inget tadi? tanyaku pada Ivan. Nggak sih! jawabnya malu. Ye sama aja!. Biarin aja!. Udah-udah jangan pada ribut terus. Bella keluar dari rumah membawa minuman. Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke mall nggak? tanyanya pada kami berdua. Kalau aku jelas mau dong! Kalau Ivan tau! jawabku tanpa pikir panjang. Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi kalau aku yang ajak susah banget. ejek Ivan padaku. Maaf banget Bell, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band. jawabnya kepada Bella. Oh gitu ya! Ya udah no nanti kamu kerumahku jam 4 sore ya! kata Bella padaku. Ok deh! jawabku cepat.Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk. Eh ano sini masuk

dulu! Bellanya baru siap-siap. kata beliau ramah. Iya tante! jawabku sambil masuk kedalam rumah. Ibu Bella tante Vivi memang sudah kenal padaku karena aku memang sering main kerumah Bella. Bella ini Ano udah dateng panggil tante Vivi kepada Bella. Iya ma bentar lagi teriak Bella dari kamarnya. Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona melihatnya. Udah siap ayo berangkat! ajaknya padaku.Setelah pamit untuk pergi aku dan Bella pun langsung berangkat. Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari Bella. Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh? tanyanya kepadaku. Eh nggak apa-apa kok! jawabku kaget.Kami pun sampai di tempat tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan Bella. Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun memtuskan untuk langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh tante Vivi. Ayo Ano mampir dulu pasti capek kan? ajak tante Vivi padaku. Ya tante. jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta ijin pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju. Setelah aku ganti baju aku makan malam. Kemana aja tadi sama Bella? tanya ibuku padaku. Dari jalan-jalan! jawabku sambil melanjutkan makan. Selesai makan aku langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Bella. Kayanya aku suka deh sama Bella. Nggak! Nggak boleh aku masih kelas 3 SMP, aku masih harus belajar. bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap kepikiran Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung lagi. Aku dan Ivan datang kerumah Bella. Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat. Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada Bella.Bella aku suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi pacarku kataku gugup.Maaf ano aku nggak bisa kita masih kecil! jawabnya padaku. Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu lagi aja!Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.

Dengarkan Bisikanku Ibu! | contoh cerpen karangan Anak bangsa Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh saudara saudariku sobat asa blog yang kucintai karena Allah subhanawataalla. Asa blog sendiri ingin menjawab keinginan sahabat untuk membaca cerpen cerpen buatan anak bangsa Indonesia, Berikut cerpennya selamat membaca kawan . J Dengarkan bisikanku ibu! Ibu kini Engkau jauh dariku.. Ingin kurengkuh dalam pelukanmu Rengkuhlah aku dalam pangkuanmu Adalah naluriku sebagai seorang anak, meski sudah tergolong usia dewasa, tergerak perasaan dan pikiran ini, melayang jauh kepada sosok yang pernah akrab dengan dengan kehidupan masa kecilku. Mungkin bagi orang lain tidak pernah akan menjadi masalah. Tapi bukan bagi diriku. Karena itu, air mataku menetes tak terasa, saat kudengar alunan lagu tentang ibu. Sosok yang amat sangat kurindukan keberadaannya. Sosok yang selalu berada dalam ingatan dan ingin kurasakan sentuhan lembut tangannya pada kulitku. Sudah setahun terakhir ini aku dan temanku memang tinggal di rantau dalam rangka studi. Ada masa-masa dimana aku dan temanku bertemu, berbagai rasa, suka dan duka. Obrolan kami tanpa sadar kembali mengungkit keberadaan peran seorang ibu dalam kehidupan kami. Ada yang sempat membuat aku tertegun, ketika ku dengar sahabatku bercerita tentang kerinduannya pada ibunya di tanah air yang sudah satu tahun ditinggalkannya karena harus menuntut ilmu di negeri Sakura. Kulihat air matanya pun menetes mengingat kerinduan itu. Dia bercerita tentang betapa mengagumkan ibunya saat beliau membuatkan makanan kesukaannya yang sangat lezat. Kebanggaan itu diperkaya dengan status ibunya sebagai seorang peneliti dengan karir yang sangat cemerlang di salah satu instansi pemerintah. Namun betapapun sibuk ibunya, beliau masih menyempatkan diri untuk selalu memeluk tubuh sahabatku saat dia akan memejamkan mata. Betapapun sibuk ibunya menyiapkan pakaian yang pantas saat sahabatku hendak wisuda di akhir kuliahnya adalah bagian lain yang tidak pernah dia lupakan. Sahabatkupun selalu meminta nasehat ibunya saat dia tengah dirundung masalah. Bagi sahabatku, ibunya adalah sosok wanita yang pantas ditirunya. Sedangkan bagiku, ibu adalah sosok yang tidak pernah kurasakan kehadirannya. Saat aku kedinginan dan ketakutan, aku hanya mampu berdiam di kamar dan memeluk tubuhku sendirian. Bahkan saat ku terima dua buah undangan khusus yang diberikan universitas saat wisuda istimewaku, aku tidak tahu siapakah yang harus turut merasakan kebahagiaanku saat itu. Aku hanya terdiam saat itu tanpa tahu apa yang hendak kulakukan. Atau saat aku merasa sedih di negeri Sakura inipun, aku tidak tahu harus menceritakannya pada siapa. Lagilagi aku hanya bisa menuliskan untaian kalimat yang melukiskan perasaanku di laptopku. Akupun tidak tahan untuk menahan rasa kerinduan yang teramat dalam atas ibuku. Rasa rindu itu semakin membara terasa saat ku harus menuntut ilmu di negeri Sakura ini. Entah sudah berapa cara yang kucoba tuk menemukan ibuku tercinta. Tapi Allah mungkin belum menakdirkan pertemuan kami berdua. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan ibuku sebagai seorang hamba Allah, mungkin ibuku bukanlah seorang yang istimewa seperti ibu sahabatku. Beliau hanyalah seorang wanita biasa yang bahkan tidak bisa membaca dan menulis karena memang tidak pernah mengenyam pendidikan. Beliau adalah seorang wanita yang harus menjalani liku-liku kehidupan dengan

begitu kerasnya. Beliau juga harus berjuang mengais rezeki untuk sesuap nasi untuk anaknya dengan jalan meminta uang dari para pemilik kendaraan beroda empat. Sejak kecil hingga 22 tahun kini, aku hanya bisa menatap teduh wajah ibuku sebanyak tiga kali, yaitu saat aku duduk di taman kanak- kanak. Saat itu ibu masih memakaikan seragam sekolah TK ku dan juga masih menyisir rambutku. Tapi tiba- tiba dengan alasan yang tidak ku mengerti saat itu, ibu meninggalkanku. Aku menangis sambil memegangi kedua kaki ibuku dan memohon agar tidak meninggalkanku. Tapi ibu menepiskan kedua tanganku dan berlalu meninggalkan diriku yang masih kecil tanpa menoleh lagi ke arahku. Tanpa mengerti apa latar belakang pertengkaran antara ibu dan ayahku, kusadari itulah penyebab utama kepergian beliau. Setelah kepergian ibu, kakeklah yang memandikan dan memakaikan seragam sekolah juga menyisir rambutku. Sementara ayahku pun juga meninggalkanku sendirian. Beliau memilih menikmati hidupnya dengan seorang istri barunya tanpa berusaha mengerti betapa saat itu aku sangat membutuhkannya. Aku selalu berusaha menemui beliau di istana barunya, tapi beliau rupanya lebih mencintai kehidupan barunya dan melupakan sosok mungilku dari masa lalunya. Ayahku hanya terdiam tak mampu bergerak saat ku menangis meminta kehadiran beliau setiap minggu ke rumah kakekku. Akhirnya hanya sosok kakek dan neneklah yang bersamaku dan mengusap air mataku juga menemani tidurku. Masa kecilku kulalui tanpa mengerti sepenuhnya siapa sosok ibuku. Saat kutanya pada kakek tentang ibu, beliau selalu memintaku untuk senantiasa bersabar dan mendoakan ibuku. Entah di tahun ke berapa, aku kurang ingat betul tepatnya, suatu hari saat aku pulang dari sekolah, kudapati sosok wanita yang tengah mengendong seorang anak kecil. Wanita itu terlihat kurus dengan pakaian sederhana yang dikenakannya dan tidak kulihat goresan kosmetik sedikitpun di wajahnya. Namun kulit wajahnya masih memancarkan sisa kecantikan masa lalunya. Kulihat tangannya hanya memegang sehelai selendang lusuh yang sebagian dibelitkan ke tubuh mungil di dekapannya. Tiba- tiba sosok wanita yang terlihat asing di mataku itu memeluk tubuhku. Sebagai anak kecil yang kurang mengerti akan bagaimana harus menyikapi suasana ini, aku cuma tertegun diam tanpa bisa berkata apa-apa. Aku kemudian berlari mendekati kakekku yang segera merengkuhku dalam pelukannya. Saat itu kulihat air mata menetes di wajah kakekku yang segera kuhapus dengan tangan kecilku. Kakek kemudian berkata padaku, Nak, jangan takut dialah ibumu yang selama ini selalu kau tanyakan. Ayoo beri salam dan cium ke dua tangannya agar hidupmu selalu bahagia. Tapi aku tetap tak mampu menggerakkan tubuhku menghampirinya. Aku hanya tetap terdiam dalam pelukan kakekku seraya memandang wajah sosok wanita itu yang juga tengah memandangku sambil meneteskan air mata yang mengalir deras di kedua pipinya. Bahkan saat ibu harus pamit balik ke rumahnya di Ibukota setelah tiga hari lamanya berada bersamaku. Aku tidak sanggup meneteskan air mata. Aku tidak mampu memahami kenapa hal itu terjadi. Suatu hari, dua minggu setelah Lebaran, ketika memasuki perguruan tinggi di tahun pertama, Ibu datang kembali menemuiku. Saat itu kakekku pun telah tiada dan hanya seorang wanita

tua yang tidak kuasa berjalan yang ada bersamaku. Ibu terlihat amat kurus dan masih tetap mengenakan pakaian yang begitu sederhana tanpa polesan lipstik di bibirnya. Kulihat wajah beliau yang kusam seperti menangung banyak masalah kehidupan. Beliau terlihat lebih tua daripada sebelumnya. Saat itu ibu menangis memelukku sambil memberikan sepasang baju bermotif bunga kecil warna biru muda yang hanya dibungkus dengan plastik putih tipis dan berkata : Maafkan ibu nak, karena hanya baju ini yang bisa ibu berikan padamu, ucap ibuku sambil berkaca- kaca. Aku tidak mampu menggerakkan bibirku saat kuterima sepasang baju pemberian ibuku. Aku hanya bisa meneteskan airmata sambil ku usap air mata ibuku. Beliau kemudian bercerita tentang apa yang telah dilakukannya padaku sambil terus memeluk erat tubuh mungilku. Ya! ibuku ternyata seorang peminta-minta yang membawa kedua adik tiriku yang masih kecil untuk ikutan mengamen hanya untuk sekedar mencukupi kehidupan mereka di ibukota. Saat kutanyakan tentang sosok ayah adik tiriku, Beliau hanya bisa meneteskan air mata sambil mengatakan bahwa laki-laki itu telah meninggalkannya tanpa memberi nafkah sedikitpun dan Ibuku tidak pernah tahu di mana keberadaan laki-laki itu saat ini. Aku berulang kali memeluk beliau dan mengusap kedua air mata yang menetes di kedua pipi beliau. Semakin merasa hatiku kian teriris pedih saat kuajak beliau untuk menunaikan shalat. Beliau menggeleng sedih dan mengatakan bahwa beliau tidak bisa menunaikan shalat. Aku merasakan suatu goresan pisau tajam tengah menusuk hatiku saat ibu terbata-bata melafalkan beberapa bacaan shalat mengikutiku. Aku menyadari, hidup ini terkadang memang keras. Aku dibesarkan dalam lingkungan keluarga tanpa sosok ibu yang bagi kebanyakan mungkin telah banyak memberikan bahan pelajaran kewanitaan menyongsong kehidupan di masa mendatang. Aku kadang merindukan yang demikian. Entah itu soal jahit menjahit, memasak, arisan, pengajian, hingga dongeng sebelum tidur, dari seorang ibu terhadap anak perempuannya. Setelah seminggu lamanya di pertemuan kedua kami, ibu kembali pergi meninggalkan diriku lagi meski telah berulang kali kuminta agar ibu tinggal bersamaku dan nenek. Yaa.. saat itu nenek masih belum bisa menerima kehadiran ibuku kembali di tengah kebersamaan kami. Wajah nenek selalu memancarkan ketidaksenangan dan tak henti-hentinya melontarkan perkataan memarahi dan mengusir ibuku. Saat itu sambil menangis ibuku berlari meninggalkan rumahku tanpa sempat memberikan pesan apapun. Sesudah itu, tak pernah kudengar lagi kabar tentang ibuku. Aku telah berusaha menemukannya dengan menyusuri berbagai gang kecil di daerah terpencil Ibukota sebelum kutinggalkan negeri tercinta, namun hingga detik ini aku tidak pernah menemukan ibuku. Sementara di negeri Sakura, aku senantiasa bertanya pada hatiku, adakah ibuku masih meminta-minta? Adakah ibuku tengah menggeluti perihnya kehidupan di tengah kemiskinan ini padahal anak perempuannya nun jauh disana jauh lebih baik kondisinya? Ada rasa berdosa yang tidak dapat saya cari penyebabnya dalam diri ini. Kalau harus mengingat sepotong baju yang pernah diberikan kepadaku waktu itu, rindu pada beliau ini sulit untuk dikemukakan dengan kata-kata. Terkadang aku membayangkan, andai

saja aku diberi kesempatan mengenakan Kimono pada tubuh ibuku, sebagai hadiah kecil sang anak terhadap beliau, betapa bahagianya hati ini. Sementara Jepang dan manusianya sibuk menyongsong majunya teknologi dan pesatnya komunikasi, hanya sepotong doa dan air mata yang kuharapkan bisa mengurangi kerinduan ini pada ibuku. Yaa Allah. Dzat Yang Maha Menguasai segala sesuatu.. Bukanlah sesuatu hal yang sulit bagi Engkau duhai Allah Tuk pertemukan hamba dengan ibu hamba Duhai Allah Di bulan Ramadhan yang suci ini Kumohon sampaikan rasa kangen hamba kepada ibunda Kumohon bisikkan ke dalam hati ibunda Bahwa hamba sangat merindukannya

Dengarkan Bisikanku Ibu! | contoh cerpen karangan Anak bangsa Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh saudara saudariku sobat asa blog yang kucintai karena Allah subhanawataalla. Asa blog sendiri ingin menjawab keinginan sahabat untuk membaca cerpen cerpen buatan anak bangsa Indonesia, Berikut cerpennya selamat membaca kawan . J Dengarkan bisikanku ibu! Ibu kini Engkau jauh dariku.. Ingin kurengkuh dalam pelukanmu Rengkuhlah aku dalam pangkuanmu Adalah naluriku sebagai seorang anak, meski sudah tergolong usia dewasa, tergerak perasaan dan pikiran ini, melayang jauh kepada sosok yang pernah akrab dengan dengan kehidupan masa kecilku. Mungkin bagi orang lain tidak pernah akan menjadi masalah. Tapi bukan bagi diriku. Karena itu, air mataku menetes tak terasa, saat kudengar alunan lagu tentang ibu. Sosok yang amat sangat kurindukan keberadaannya. Sosok yang selalu berada dalam ingatan dan ingin kurasakan sentuhan lembut tangannya pada kulitku. Sudah setahun terakhir ini aku dan temanku memang tinggal di rantau dalam rangka studi. Ada masa-masa dimana aku dan temanku bertemu, berbagai rasa, suka dan duka. Obrolan kami tanpa sadar kembali mengungkit keberadaan peran seorang ibu dalam kehidupan kami. Ada yang sempat membuat aku tertegun, ketika ku dengar sahabatku bercerita tentang kerinduannya pada ibunya di tanah air yang sudah satu tahun ditinggalkannya karena harus menuntut ilmu di negeri Sakura. Kulihat air matanya pun menetes mengingat kerinduan itu. Dia bercerita tentang betapa mengagumkan ibunya saat beliau membuatkan makanan kesukaannya yang sangat lezat. Kebanggaan itu diperkaya dengan status ibunya sebagai seorang peneliti dengan karir yang sangat cemerlang di salah satu instansi pemerintah. Namun betapapun sibuk ibunya, beliau masih menyempatkan diri untuk selalu memeluk tubuh sahabatku saat dia akan memejamkan mata. Betapapun sibuk ibunya menyiapkan pakaian yang pantas saat sahabatku hendak wisuda di akhir kuliahnya adalah bagian lain yang tidak pernah dia lupakan. Sahabatkupun selalu meminta nasehat ibunya saat dia tengah dirundung masalah. Bagi sahabatku, ibunya adalah sosok wanita yang pantas ditirunya. Sedangkan bagiku, ibu adalah sosok yang tidak pernah kurasakan kehadirannya. Saat aku kedinginan dan ketakutan, aku hanya mampu berdiam di kamar dan memeluk tubuhku sendirian. Bahkan saat ku terima dua buah undangan khusus yang diberikan universitas saat wisuda istimewaku, aku tidak tahu siapakah yang harus turut merasakan kebahagiaanku saat itu. Aku hanya terdiam saat itu tanpa tahu apa yang hendak kulakukan. Atau saat aku merasa sedih di negeri Sakura inipun, aku tidak tahu harus menceritakannya pada siapa. Lagilagi aku hanya bisa menuliskan untaian kalimat yang melukiskan perasaanku di laptopku. Akupun tidak tahan untuk menahan rasa kerinduan yang teramat dalam atas ibuku. Rasa rindu itu semakin membara terasa saat ku harus menuntut ilmu di negeri Sakura ini. Entah sudah berapa cara yang kucoba tuk menemukan ibuku tercinta. Tapi Allah mungkin belum menakdirkan pertemuan kami berdua. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan ibuku sebagai seorang hamba Allah, mungkin ibuku bukanlah seorang yang istimewa seperti ibu sahabatku. Beliau hanyalah seorang wanita biasa yang bahkan tidak bisa membaca dan menulis karena memang tidak pernah mengenyam pendidikan. Beliau adalah seorang wanita yang harus menjalani liku-liku kehidupan dengan

begitu kerasnya. Beliau juga harus berjuang mengais rezeki untuk sesuap nasi untuk anaknya dengan jalan meminta uang dari para pemilik kendaraan beroda empat. Sejak kecil hingga 22 tahun kini, aku hanya bisa menatap teduh wajah ibuku sebanyak tiga kali, yaitu saat aku duduk di taman kanak- kanak. Saat itu ibu masih memakaikan seragam sekolah TK ku dan juga masih menyisir rambutku. Tapi tiba- tiba dengan alasan yang tidak ku mengerti saat itu, ibu meninggalkanku. Aku menangis sambil memegangi kedua kaki ibuku dan memohon agar tidak meninggalkanku. Tapi ibu menepiskan kedua tanganku dan berlalu meninggalkan diriku yang masih kecil tanpa menoleh lagi ke arahku. Tanpa mengerti apa latar belakang pertengkaran antara ibu dan ayahku, kusadari itulah penyebab utama kepergian beliau. Setelah kepergian ibu, kakeklah yang memandikan dan memakaikan seragam sekolah juga menyisir rambutku. Sementara ayahku pun juga meninggalkanku sendirian. Beliau memilih menikmati hidupnya dengan seorang istri barunya tanpa berusaha mengerti betapa saat itu aku sangat membutuhkannya. Aku selalu berusaha menemui beliau di istana barunya, tapi beliau rupanya lebih mencintai kehidupan barunya dan melupakan sosok mungilku dari masa lalunya. Ayahku hanya terdiam tak mampu bergerak saat ku menangis meminta kehadiran beliau setiap minggu ke rumah kakekku. Akhirnya hanya sosok kakek dan neneklah yang bersamaku dan mengusap air mataku juga menemani tidurku. Masa kecilku kulalui tanpa mengerti sepenuhnya siapa sosok ibuku. Saat kutanya pada kakek tentang ibu, beliau selalu memintaku untuk senantiasa bersabar dan mendoakan ibuku. Entah di tahun ke berapa, aku kurang ingat betul tepatnya, suatu hari saat aku pulang dari sekolah, kudapati sosok wanita yang tengah mengendong seorang anak kecil. Wanita itu terlihat kurus dengan pakaian sederhana yang dikenakannya dan tidak kulihat goresan kosmetik sedikitpun di wajahnya. Namun kulit wajahnya masih memancarkan sisa kecantikan masa lalunya. Kulihat tangannya hanya memegang sehelai selendang lusuh yang sebagian dibelitkan ke tubuh mungil di dekapannya. Tiba- tiba sosok wanita yang terlihat asing di mataku itu memeluk tubuhku. Sebagai anak kecil yang kurang mengerti akan bagaimana harus menyikapi suasana ini, aku cuma tertegun diam tanpa bisa berkata apa-apa. Aku kemudian berlari mendekati kakekku yang segera merengkuhku dalam pelukannya. Saat itu kulihat air mata menetes di wajah kakekku yang segera kuhapus dengan tangan kecilku. Kakek kemudian berkata padaku, Nak, jangan takut dialah ibumu yang selama ini selalu kau tanyakan. Ayoo beri salam dan cium ke dua tangannya agar hidupmu selalu bahagia. Tapi aku tetap tak mampu menggerakkan tubuhku menghampirinya. Aku hanya tetap terdiam dalam pelukan kakekku seraya memandang wajah sosok wanita itu yang juga tengah memandangku sambil meneteskan air mata yang mengalir deras di kedua pipinya. Bahkan saat ibu harus pamit balik ke rumahnya di Ibukota setelah tiga hari lamanya berada bersamaku. Aku tidak sanggup meneteskan air mata. Aku tidak mampu memahami kenapa hal itu terjadi. Suatu hari, dua minggu setelah Lebaran, ketika memasuki perguruan tinggi di tahun pertama, Ibu datang kembali menemuiku. Saat itu kakekku pun telah tiada dan hanya seorang wanita

tua yang tidak kuasa berjalan yang ada bersamaku. Ibu terlihat amat kurus dan masih tetap mengenakan pakaian yang begitu sederhana tanpa polesan lipstik di bibirnya. Kulihat wajah beliau yang kusam seperti menangung banyak masalah kehidupan. Beliau terlihat lebih tua daripada sebelumnya. Saat itu ibu menangis memelukku sambil memberikan sepasang baju bermotif bunga kecil warna biru muda yang hanya dibungkus dengan plastik putih tipis dan berkata : Maafkan ibu nak, karena hanya baju ini yang bisa ibu berikan padamu, ucap ibuku sambil berkaca- kaca. Aku tidak mampu menggerakkan bibirku saat kuterima sepasang baju pemberian ibuku. Aku hanya bisa meneteskan airmata sambil ku usap air mata ibuku. Beliau kemudian bercerita tentang apa yang telah dilakukannya padaku sambil terus memeluk erat tubuh mungilku. Ya! ibuku ternyata seorang peminta-minta yang membawa kedua adik tiriku yang masih kecil untuk ikutan mengamen hanya untuk sekedar mencukupi kehidupan mereka di ibukota. Saat kutanyakan tentang sosok ayah adik tiriku, Beliau hanya bisa meneteskan air mata sambil mengatakan bahwa laki-laki itu telah meninggalkannya tanpa memberi nafkah sedikitpun dan Ibuku tidak pernah tahu di mana keberadaan laki-laki itu saat ini. Aku berulang kali memeluk beliau dan mengusap kedua air mata yang menetes di kedua pipi beliau. Semakin merasa hatiku kian teriris pedih saat kuajak beliau untuk menunaikan shalat. Beliau menggeleng sedih dan mengatakan bahwa beliau tidak bisa menunaikan shalat. Aku merasakan suatu goresan pisau tajam tengah menusuk hatiku saat ibu terbata-bata melafalkan beberapa bacaan shalat mengikutiku. Aku menyadari, hidup ini terkadang memang keras. Aku dibesarkan dalam lingkungan keluarga tanpa sosok ibu yang bagi kebanyakan mungkin telah banyak memberikan bahan pelajaran kewanitaan menyongsong kehidupan di masa mendatang. Aku kadang merindukan yang demikian. Entah itu soal jahit menjahit, memasak, arisan, pengajian, hingga dongeng sebelum tidur, dari seorang ibu terhadap anak perempuannya. Setelah seminggu lamanya di pertemuan kedua kami, ibu kembali pergi meninggalkan diriku lagi meski telah berulang kali kuminta agar ibu tinggal bersamaku dan nenek. Yaa.. saat itu nenek masih belum bisa menerima kehadiran ibuku kembali di tengah kebersamaan kami. Wajah nenek selalu memancarkan ketidaksenangan dan tak henti-hentinya melontarkan perkataan memarahi dan mengusir ibuku. Saat itu sambil menangis ibuku berlari meninggalkan rumahku tanpa sempat memberikan pesan apapun. Sesudah itu, tak pernah kudengar lagi kabar tentang ibuku. Aku telah berusaha menemukannya dengan menyusuri berbagai gang kecil di daerah terpencil Ibukota sebelum kutinggalkan negeri tercinta, namun hingga detik ini aku tidak pernah menemukan ibuku. Sementara di negeri Sakura, aku senantiasa bertanya pada hatiku, adakah ibuku masih meminta-minta? Adakah ibuku tengah menggeluti perihnya kehidupan di tengah kemiskinan ini padahal anak perempuannya nun jauh disana jauh lebih baik kondisinya? Ada rasa berdosa yang tidak dapat saya cari penyebabnya dalam diri ini. Kalau harus mengingat sepotong baju yang pernah diberikan kepadaku waktu itu, rindu pada beliau ini sulit untuk dikemukakan dengan kata-kata. Terkadang aku membayangkan, andai

saja aku diberi kesempatan mengenakan Kimono pada tubuh ibuku, sebagai hadiah kecil sang anak terhadap beliau, betapa bahagianya hati ini. Sementara Jepang dan manusianya sibuk menyongsong majunya teknologi dan pesatnya komunikasi, hanya sepotong doa dan air mata yang kuharapkan bisa mengurangi kerinduan ini pada ibuku. Yaa Allah. Dzat Yang Maha Menguasai segala sesuatu.. Bukanlah sesuatu hal yang sulit bagi Engkau duhai Allah Tuk pertemukan hamba dengan ibu hamba Duhai Allah Di bulan Ramadhan yang suci ini Kumohon sampaikan rasa kangen hamba kepada ibunda Kumohon bisikkan ke dalam hati ibunda Bahwa hamba sangat merindukannya

PITA HITAM PADA KARANGAN BUNGA

2 tahun semenjak kepergianmu, ya aku masih mengingat dengan jelas memori memori kita bersama. Pagi itu seperti biasa, kenny menjemputku dengan motor kesayangan itu, huh sepertinya dia lebih sayang pada motornya dari pada aku, ya itu katanya, walaupun aku tau itu sebenarnya hanyalah candaan nya. Kami bersekolah di sekolah yang sama, tapi ada yang aneh pagi itu, dia menjemputku dan di perjalanan pun dia tidak berbicara sepatah katapun, perasaan ku tidak enak, aku sempat bertanya, ada apa sih? namun dia hanya menjawab dengan tidak ada apa apa sayang lalu memberikanku senyuman yang hangat itu. Ketika istirahat pun tidak biasanya, kali ini dia tidak mengajakku ke kantin, aku datang ke kelasnya ketika sampai di kelasnya aku melihatnya duduk termenung di sudut kelas dekat jendela aku langsung menarik bangku ke sebelahnya kamu sakit sayang?, aku baik baik saja kok kenapa sikapmu dingin? aku tidak tau ceritalah sayang tidak ada yang perlu di ceritakan dengan perasaan yang campur aduk aku langsung pergi dari kelasnya, dan aku sempat mendengar dia memanggil nama ku dewi.. namun aku tidak menghiraukannya lagi. Ketika bel pulang berbunyi dia menghampiriku yuk aku menggeleng aku pulang naik taksi saja lalu aku berjalan cepat ke gerbang sekolah, dan segera memanggil taksi, dia menyusul dengan motornya sambil mengetuk kaca mobil taksi ku, cepat pak! akhirnya taksi ini berhasil melewati leo, tiba tiba aku mendengar suara braak yang cukup keras, segera aku menyuruh taksi untuk berhenti dan membayarnya. Langsung aku berlari ke arah suara itu, dan yang kulihat? leo dengan tubuh bersimbah darah terkapar di jalan, sontak aku menjerit, menangis dan pingsan di tempat, ketika kubuka mataku, yang kulihat hanya ibuku di samping, dia mengatakan leo sudah tenang nak langsung saja aku menangis histeris. Hari ini hari pemakaman mu, aku membawa karangan bunga yang kuikat pada pita hitam, aku tak dapat membendung tangisku ketika peti matimu telah dikubur di dalam tanah, malam malam aku terus bermimpi tentangmu yang mengatakan jagalah dirimu, aku sayang kamu. Hari ini tepat dua tahun kamu meninggalkanku, aku kembali datang ke kuburanmu dengan membawa karangan bunga yang kuikat pada pita hitam, aku masih saja berduka, dan aku masih belum bisa membuka hatiku pada pria lain, kalau saja aku pulang denganmu, aku hanya dapat menyesalinya. Namamu selalu dalam doaku.

Anda mungkin juga menyukai