Anda di halaman 1dari 3

Antara Hati Dan Iman

“Namun ternyata, pada akhirnya tak mungkin bisa kupaksa

restunya tak berpihak pada kita.”

Sungguh! Tak mampu aku selesaikan lagu yang aku nyanyikan dengan petikan senar
yang menciptakan nuansa pilu dalam hatiku. Seolah- olah ingin rasanya aku bersama dengan
sosok gadis yang belum sepenuhnya aku lupakan. Andai saja, pertemuan terakhirku dengannya
tak membuat paras indahnya menjadi murung. Mungkin karena keputusan yang tercipta dengan
bibir gemetar, ketika aku dan dia masih belum bisa menerima dari hati ke hati. Tapi lainnya juga
atas keputusan orang tuanya yang tak memberi restu menjadi alasan mengapa aku dengannya
berpisah. Lantas, aku memilih untuk berdamai dengan diri sendiri dan menerima keadaan serta
memberi ruang pada hati yang dengannya pernah aku merasa bahagia.

* **
Langit jingga telah mewarnai cakrawala. Udara segar segera menghempas tanaman di
sekitar taman kampus. Baru saja aku keluar dari kelas yang membuat diriku lengah dan bosan.
Aku pun menghampiri kursi panjang yang berada di sekitar taman kampus dengan tas gitar yang
berada di pundakku. Aku raih gitar itu dan mulai menyanyikan lagu kesukaanku, yaitu Blue
Jeans yang diciptakan oleh Gangga. Kelelahanku pun perlahan memudar dengan adanya udara
sejuk dan keramaian mahasiswa yang berkumpul sambil bermain musik, tatkala senja sejenak
hendak menjemput malam.
Sesaat jemariku memetik senar gitar, ada suara gadis yang berteriak kesakitan dan
membuatku untuk bergegas menghampirinya. Saat aku berdiri di hadapannya, gadis itu merasa
kesakitan akibat kakinya tergilir dan buku- buku yang berserakan di atas rumput taman. Tanpa
berpikir panjang, aku bergegas membantunya berdiri dan membereskan buku-buku bawaannya.
Lalu, aku mengajaknya duduk bersama di kursi panjang yang sebelumnya aku tempati. Aku
mengeluarkan sebungkus roti pisang dan minuman teh dari tas gitarku dan memberikannya
kepada gadis itu.
“Makasih ya..” ucapnya kepadaku dengan senyuman manis. Tangannya pun terulur
dan aku juga tak menolak uluran tangannya itu.
“ Salam kenal ya, aku Fani”, ucapnya dengan senyuman manis.
“ Salam kenal juga, aku Boby”, balasku dengan wajah semringah ria.
Fani adalah sosok mahasiswa di kampusku dan dia baru saja mengikuti OSPEK. Namun, aku
dengannya berbeda fakultas. Aku sudah memasuki semester lima di fakultas seni, sedangkan
Fani adalah mahasiswa baru dan mengambil fakultas hukum. Tak butuh waktu lama, aku dan
Fani usai menciptakan percakapan. Kembali aku raih gitarku dan mulai menyanyikan lagu dari
Rizky Febian yang berjudul Kesempurnaan Cinta, tatkala Fani pun memandangku dengan mimik
yang terkagum. Selang sesaat,
“ Aku merasa nyaman ketika kamu bermain gitar sambil bernyanyi yang alunanya
merdu seaakan itu sedang terjadi pada kita”, ucap Fani serupa bisik kepadaku.
“ Makasih ya, aku pun senang ketika kebersamaaan kita tercipta dengan nuansa yang
indah”, balasku kepadanya. Seketika itu wajahku pun tersenyum lebar dan hatiku mulai tersayat.
Bulan pun telah beranjak menerangi cakrawala dan lampu kuning sebagai penerang
taman. Aku mengajak Fani untuk kembali pulang dan bergegas mengendarai vespa tuaku untuk
mengantar Fani ke rumahnya. Akhirnya kami tiba di sebuah rumah yang bercat hijau telur asin
dan terlihat tulisan Arab tepat di atas pintunya. Tapi yang lebih dari itu, ada seorang paruh baya
yang telah usai menyiram tanaman di halaman rumah. Lalu, Fani beranjak memasuki halaman
rumahnya,
“ Assalamualaikum, Ibu”, ucapnya.
“ Waalaikumussalam, nak” jawab ibunya..
Lalu, Sang Ibu mengajak Fani masuk ke dalam rumah dan menyuruhnya untuk mandi dan makan
malam. Sementara, aku pun membayangkan sosok Fani selama perjalananku pulang dari
rumahnya. Tak kusangka, bahwa hari ini berbeda dengan hari- hari sebelumnya. Hati kecilku
perlahan ingin membuat dirinya selalu tersenyum bersamaku. Fani adalah sosok gadis yang
ramah, tidak cantik namun tak bertampang buruk, dan sederhana. Menarik, Fani memiliki khas
bergaya metropolis dan bercita- cita menjadi seorang jaksa. Mengapa aku sulit menghalau
perbincanganku dengannya.
Keesokan harinya, aku terbangun dan segera bangkit dari tempat tidurku menuju
kamar mandi, karena hari ini ada mata kuliah pagi. Hampir sepuluh menit lamanya, aku sudah
rapi dengan pakaianku yang sudah aku sediakan. Aku segera meraih kunci vespa tuaku dan
beranjak menuju kampus. Setibanya di kampus, mataku menatap sosok gadis yang membuat
diriku tersenyum sendiri seperti orang gila.
“ Hai, Fani”, sapaku.
“ Hai juga Kak”, jawab Fani.
“Nanti siang pulangnya aku antar sekalian mau berbicara sesuatu”, tawarku.
“oh iya kak”, balasnya.
Setelah mengatakan seperti itu, Fani langsung menghilang ke dalam kampus. Memang aku sudah
merencanakan ini semua bahwa siang nanti aku akan akan mencoba perasaanku kepada Fani.
Langit masih cerah dan mentari masih bersinar terang membuat udara siang ini
sedikit panar. Aku masih menunggu Fani di depan kampus, dalam hatiku aku berharap Fani tak
lupa dengan perjanjian kami.
“ Kak!”, Fani mengejutkanku dari belakang.
“ Eh Fani, aku kira siapa. Ayo kita jalan sekarang”, ajakku.
Lima menit dalam perjalanan, akhirnya aku dan Fani tiba di taman yang usai aku tentukan. Aku
dan Fani berjalan menuju sudut taman itu dan menghampiri bangku yang sudah diletakan di
taman itu. Setelah aku dan Fani menempati bangku itu, aku bingung harus mulai dari mana.
Rasanya aku kehilangan pita suaraku saat berada dekat gadis itu. Akhirnya aku membuka suara
untuk memecah keheningan itu.
“ Fani”, sapaku.
“ Iya kak”, jawab Fani.
Kini tatapannya serius menunggu kata- kata lanjutan dariku.
“ Aku suka denganmu sejak pertama kita bertemu, aku ingin kita lebih dari sekedar
teman.”
“ Bukannya aku tidak suka dengan Kak Boby, tetapi ada pesan orang tuaku yang tak
bisa aku langgar karena itu menjadi masalah terbesar untuk hubungan kita. Aku mohon maaf,
karena orang tuaku tak akan memberi restu kepada kita karena kita berbeda kepercayaan”, ucap
Fani sambil mengarahkan pandangannya pada kalung salib yang aku kenakan.
Setelah Fani mengatakan hal itu, dia pun langsung pergi meninggalkan aku begitu saja. Lalu, aku
memutuskan untuk kembali ke taman kampus tempat dimana mampu melepas segala perasaan
dalam hatiku. Setibanya disana, aku meraih gitarku dan mulai menyanyikan lagu yang sesuai
dengan nuansa hatiku saat itu. Hingga kini, aku hanya seorang diri dan masuk ke dalam fase
kesepian.

Anda mungkin juga menyukai