Anda di halaman 1dari 5

Dunia Lamaku

Langit yang berawan melindungi kami dari terik matahari saat upacara
bendera dilaksanakan. Seluruh peserta upacara menatap lurus sambil memberi
hormat kepada sang merah putih. Aku bersiap untuk menyanyi. Perlahan suara
anggota paduan suara mulai terdengar, begitu harmonis. Semua nada yang kami
pelajari untuk hari ini tidak sia-sia. Suara mezo, alto, dan juga sopran peserta
paduan suara tercampur dengan baik, sehingga ketika udara mulai
menghantarkannya terdengar indah di telinga kami.
Seseorang di sampingku tiba-tiba menyikutku. Aku menatapnya, ‘Shifa’
sahabatku. Dia tersenyum lalu mengulurkan tangannya mengajakku high five.
Ternyata dia merasakan sensasi yang kurasakan saat mendengar suara paduan
suara. Kami melakukan high five kecil sambil tersenyum.
Kami sangat bekerja keras untuk hari ini, karena kami tahu pembina
upacara untuk kali ini adalah walikota Tasikmalaya. Kerja keras kami terbayar
semua ketika sang walikota memuji paduan suara.
Ketika upacara bendera selesai, aku dan Shifa beranjak ke kelas yang
berada di lantai dua. Sepertinya kami yang pertama datang ke kelas, karena jarak
paduan suara dekat dengan kelasku. Aku merebahkan diriku di kursi tempatku.
Shifa mengikutiku dan duduk di sampingku.
Perlahan semua bangku di kelasku terisi. ‘Irma’ sahabatku juga,
menghampiri kami yang terduduk.
“Apa kau tahu, Sekarang ulangan matematika?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.
“Kau juga tahu?” Irma menoleh ke arah Shifa.
“Ya” jawabnya singkat.
“Kan ada Amel si juara kelas yang mengingatkan” godanya sambil
menyikutku.
“Apa sih” ucapku, mereka tertawa melihat tingkahku.
Terdengar suara pintu terbuka. Kepalaku menoleh ke arah pintu. ‘Guru
Matematika’. Seketika suasana ricuh menjadi hening. Irma langsung beranjak ke
tempat duduknya. Sang ketua kelas menyiapkan kelas dan memerintah kami
untuk memberi salam kepadanya.
Sesuai janjinya minggu lalu, hari ini ulangan. Dengan sigap dia
memberikan lembar demi lembar soal kepada siswa yang berjumlah 30 orang ini.
Aku membaca sekilas soal-soal itu, lalu mengerjakannya dengan yakin dan
semampuku.
Ruang kelasku benar-benar hening, bahkan suara seseorang menghapus
pun terdengar di telingaku. Sepertinya semua siswa di kelasku sangat serius
mengerjakan. Mereka hanya menunduk dan sesekali mencoret-coret di soal.
Pukul 10.00, waktu istirahat bagi kami. Seperti biasa kami bertiga beranjak
pergi ke kantin. Langkahku terhenti ketika seseorang memegang lenganku. Aku
menoleh ke belakang, menatap sang pemilik tangan itu. ‘Vannesa’. Dia balas
menatapku sambil tersenyum.
“Aku ingin bicara sesuatu” ucapnya.
“Tapi tidak di sini” lanjutnya.
Aku berpikir sejenak lalu menyuruh Shifa dan Irma pergi ke kantin duluan.
Merekapun bergegas ke kantin tanpa diriku. Vannesa mengajakku ke kelas. Di
sana tidak ada orang satu pun, karena semua siswa keluar untuk istirahat. Vannesa
adalah sekertaris di kelasku dan dia lumayan terkenal di sekolah ini.
“Ada apa?” tanyaku.
“Kau mau tidak berganti bangku denganku?” dia menatapku.
Aku mengernyitkan dahiku “Memangnya kenapa?”
“Aku tidak nyaman dengan Hilma, kau tau dia kan? Mau ya mel” matanya
menatapku memohon.
Hilma adalah teman sebangku Vannesa. Memang akhir-akhir ini hubungan
mereka sedang tidak baik, itu karena sikap Hilma yang egois, berbanding terbalik
dengan Vannesa yang lembut. Semua siswa di kelasku tahu bagaimana sikap
Hilma dan mereka tidak menyukainya. Entah bagaimana aku berpikir, aku
menyetujuinya begitu saja.
Keesokan harinya aku sudah duduk dengan Vannesa. Shifa saat itu
menyutujuinya juga. Sebagian hatiku tenang. Hari pertama duduk dengan
Vannesa menyenangkan bagiku. Sampai akhirnya hari ini full aku habiskan
bersama Vannesa. Saling berbincang, bercerita dan yang lainnya selayaknya anak
SMP.
Hari berganti minggu, selalu sama seperti biasa. Tapi kali ini, aku
merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Hari ini aku lebih banyak
diam, mungkin sibuk dengan pikiran yang memenuhi otakku. Sebuah pikiran,
tidak lebih tepatnya sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Bodohnya
aku yang menyadari keganjalan itu namun tak berani untuk mengerti fakta itu.
‘Sekarang aku jauh dari mereka’ batinku.
Seminggu ini aku benar-benar melupakan mereka. Bahkan aku menolak
ketika mereka mengajakku ke kantin saat itu. ‘Irma dan Shifa’. Aku menggigit
bibir bawahku. Saat duduk pertama kali dengan Vannesa, aku merasakan diajak
ke sebuah dunia baru yang belum pernah aku rasakan. Aku terlalu asyik dengan
dunia itu. Mengabaikan mereka yang selalu setia menungguku untuk kembali
berkumpul dengan dunia lamaku. Dunia lama yang nyaman, meskipun tidak
setenar dunia baruku.
Kucoba untuk mendekati dunia lamaku yang kutinggalkan. Tapi sepertinya
dunia itu benar-benar menjauh. Irma dan Shifa bahkan sering mengabaikanku
ketika aku berbicara. Aku tahu mereka enggan untuk hanya menatapku. Tapi aku
ingin kembali ke dunia itu, aku merindukannya. Rindu akan suara tawa riang
kami, perhatian mereka dan waktu yang selalu kami habiskan dengan gila ketika
menunggu jam les. Sebuah kenyamanan yang aku sadari jauh berkali-kali lipat
dengan dunia baruku. Begitu bodohnya aku. Ini salahku, sudah sepatutnya mereka
bersikap seperti itu.
Sudah genap dua minggu aku jauh dari mereka. Aku menatap mereka dari
kejauhan. Rindu akan kenyamanan itu semakin memuncak pada diriku. Kuhela
napasku panjang. Sebuah helaan penyesalan.
“Kau sakit?” Vannesa menatapku.
Aku hanya menggeleng seraya tersenyum. Ku tatap langit-langit kelas,
mengutuk langit-langit itu, melampiaskan semuanya. ‘Penyesalan memang datang
terlambat’, kalimat itu kini aku rasakan. Beberapa kali aku mencoba sekaligus
beberapa kali aku gagal mendekati dunia itu. Mereka pasti membenciku sekarang.
Aku ingin kembali. Sangat tipis kesempatan yang kupunya untuk kembali ke
dunia itu. ‘Kesempatan’ apalah arti kata itu sekarang bagiku.
Langit yang mendung. Kulirik lenganku, pukul 16.30. Kakiku melangkah
ke luar, sekolah sudah mulai hening saat ini. Lelah, aku bergegas pulang,
kupercepat langkahku menuju gerbang.
“Amel” seseorang memanggilku.
Langkahku terhenti mendengar suara itu. Suara melengking yang sangat
ku kenal ‘Shifa’. Aku membalikan badanku. Shifa dan Irma mendekatiku, sampai
akhirnya tepat berada di depanku. Mataku menatap mereka ragu. Aku terdiam
enggan untuk bertanya ada apa. Hanya menunggu sepatah kata yang keluar dari
mulut mereka. Beberapa detik kami hanya saling menatap bergantian.
“Makan yu” ucap Irma.
Aku mengikuti mereka tanpa banyak bicara. Ganjil, aku masih
merasakannya. Kuabaikan perasaan itu, saat ini aku hanya ingin bersama mereka.
Hanya perlu berjalan kaki sedikit untuk menuju ke tempat yang kami
duduki sekarang. Sebuah tempat di pinggir keramaian jalanan kota Tasikmalaya.
Sempat merasa aneh ketika aku sampai di tempat ini. ‘Bubur’ mereka mengajakku
memakan bubur di sore hari.
Semilir angin sore mengusap wajahku lembut, namun makin lama kurasa
makin menusuk kulit. Kuusap tengkukku di balik jilbab yang aku kenakan. Kami
masih membisu dari tadi.
“Amel”
“Kau tahu, kami mengajakmu ke sini untuk apa?” tanya Irma memecah
kebisuan kami.
Aku menggeleng. Tiga mangkuk bubur kini ada di hadapan kami. Kami
tersenyum kepada seorang bapak paruh baya ini. Mereka diam kembali. Mangkuk
bubur di hadapan kami belum kami sentuh sedikitpun.
“Maafkan aku” ucapku seraya menunduk. Mereka menatapku.
“Untuk apa?” Shifa bertanya. Aku yakin mereka tahu maksud dari
permintaan maafku.
“Segalanya” aku menatap mereka bergantian.
“Kau pasti mengira kami serius menjauhimu kan?” lanjut Shifa sambil
menambahkan 3 sendok sambal ke buburnya. Aku tidak bergeming.
“Kami hanya memberikanmu sebuah pelajaran, bukan menjauhimu” ucap
Irma.
“Kupikir kau tidak akan berubah saat duduk dengan Vannesa, tapi kau
malah berubah seolah kau tidak membutuhkan kami lagi” lanjutnya, lalu melahap
sesendok buburnya.
Aku masih belum menyentuh bubur yang ku pesan. “Maaf ya” kata itu
terulang kembali.
“Jangan berubah lagi ya Mel, meskipun kau duduk dengan Vannesa, janji”
Shifa tersenyum lebar ke arahku sambil menunjukkan kelingkingnya. Aku
tersenyum tipis ke arahnya, lalu menatap Irma yang memang sedang tersenyum
menatapku.
“Apa sih, kalian suasananya jadi aneh” irma berdecak sebal lalu melahap
lagi buburnya. Kami tertawa selepas itu.
“Dimakan Mel” ucap Shifa, tangannya menuangkan beberapa sendok
sambal ke buburku. Aku hanya tersenyum. Kulahap bubur itu sambil tersenyum.
“Tidak pedas ya?” tanya bapak itu ketika melihat kami menambah
beberapa sendok sambal untuk kesekian kalinya. Kami menggeleng sambil sedikit
tertawa. Kita memang sangat menggilai pedas.
Sore yang berarti bagiku. Awan abu ini menyelimuti kami. Hangat,
nyaman aku merasakan itu lagi sore ini. Aku sangat bersyukur, bisa kembali ke
dunia ini lagi. Tertawa bersama mereka, aku merindukan ini. Sesal di hatiku
memang masih ada, tapi aku akan memperbaikinya. Memperbaiki semuanya yang
pernah kurusak, terutama perasaan kecewa mereka padaku. Meskipun aku tau
mereka memaafkanku. Aku sangat berterima kasih kepada tuhan karena takdir
mempertemukanku dengan teman seperti mereka. Teman yang sangat setia.
Teman yang selalu memaafkan meskipun mereka tahu prosesnya menyakitkan.

Anda mungkin juga menyukai