Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

Aku sedang berbaris di barisan cewek saat Sofyan datang kepadaku. Dia
tersenyum menatapku.
“Ngapain kamu di sini? Balik ke barisan kamu, nggak?!” aku menatapnya
bingung. Dia seharusnya berada di barisan cowok di depan.
“Kamu kurusan deh, tambah cantik! Kamu diet ya?” Sofyan bertanya padaku
menatapku dari atas sampai bawah. Aku merasa jengah ditatapnya seperti itu.
“Kamu kayak nggak pernah ketemu aku aja! Kita kan tiap hari bareng!” aku
mendengus kesal kepadanya.
Sofyan malah tertawa dan menggosok kepalaku. “Entar pinjemin aku PR mu ya!”
Aku menghela napas dan mengangguk. Sofyan selalu melupakan hal-hal kecil
seperti itu. Lupa ngerjain PR misalnya. Biasanya dia minta tolong padaku untuk
meminjamkan PR-ku padanya. Aku sebenarnya keberatan. Jadinya kan dia
bergantung terus kepadaku. Tapi, aku tak bisa menolaknya. Dia sahabatku sejak kecil.
Sofyan kembali ke barisan cowok di depan. Upacara bendera di mulai.
Aku menatap lurus ke depan saat bendera di naikkan dan anak-anak paduan suara
bernyanyi. Cuaca terasa panas walau hari masih pagi. Aku merasa sedikit kehausan.
Entah mengapa tiba-tiba pandanganku kabur. Badanku terasa lemas. Aku mulai
berdiri dengan oleng.
“Aku kayaknya mau pingsan deh, Lir!” aku berkata pada teman sebelahku, Lira.
“Aku anterin kamu ke belakang ya!” Lira berkata.
Aku mengangguk.
Lira memegang lenganku dan menuntunku keluar barisan. Kami berjalan ke arah
anak-anak PMR. Aku segera ditangani oleh mereka.
“Kamu pucet banget. Duduk dulu gih di bawah pohon, aku bawain teh ya!” Roy,
anak PMR yang kukenal langsung berlari menuju kantin.
Aku duduk di bawah pohon seperti yang Roy suruh. Setelah beberapa saat
lamanya aku merasa lebih baik. Roy datang membawakan teh. Aku mengucapkan
terima kasih kepadanya dan dia kembali ke tempatnya. Aku menatap anak-anak yang
sedang upacara sambil menyeruput teh hangatku.
Setelah beberapa lama, upacara selesai. Aku melihat Fendi dan teman-temannya
berlari ke arahku. Sial. Anak itu lagi. Aku hendak berdiri dan pergi dari tempatku
hanya saja Fendi keburu memanggil namaku.
“Nensi!” Dia mulai memelankan kakinya setelah dekat dengan tempatku duduk.
Teman-temannya, Firdaus dan Ican, menyusul di belakangnya.“Kamu nggak apa-apa?
Katanya kamu hampir pingsan ya?”
“Hehe, iya aku nggak apa-apa” aku mencoba basa-basi. Dalam hati sebenarnya
aku ingin cepat-cepat pergi dari situ.
“Kamu sih kurang olahraga! Kamu jarang jogging ya akhir-akhir ini?” Fendi
bertanya padaku.
“Iya kali, hehe” aku menjawab singkat.
“Kamu, beneran nggak apa-apa? Mau digendong nggak sama Fendi ke kelas?
Hahaha” Firdaus berkelakar. Dia memang suka menjodoh-jodohkanku dengan Fendi.
“Yang bener aja!” aku berkata.
Kulihat muka Fendi memerah. Mungkin dia malu. “Nen, gue….”
“Nensi!” Virda, teman sekelasku memanggilku. Dia berjalan ke arahku. “Kamu
dipanggil Bu Wardah!”
“Ngapain?” aku bertanya. Bu Wardah guru kesenianku. Aku sudah ge-er aja
jangan-jangan aku diikutkan lomba lukis. Aku memang jago melukis.
“Nggak tau, aku cuma dibilangin suruh manggilin kamu. Beliau ada di ruang
guru.”
“Thanks Vir!, aku pergi dulu ya!” aku melambai pada Virda lalu tersenyum basa-
basi pada Fendi yang menatap kepergianku dengan tak ikhlas. Aku tahu dia sedang
PDKT padaku. Dia sudah melakukannya selama berminggu-minggu. Tapi, aku tak
suka padanya. Dia terlalu mengejarku.
Aku menemui Bu Wardah di ruang guru. Beliau tampak menungguku.
“Ibu yakin kamu bisa Nensi. Ibu memutuskan untuk menunjukmu jadi ketua tim
lomba mading SMA se-Malang bulan depan. Anggotanya udah ibu pilih jadi jangan
khawatir”
“Wah, makasih Bu. Saya tersanjung, hehe”
“Ibu sudah coba bikin konsep madingnya. Temanya ibu pilih tentang taman kota.
Coba kamu pikir lagi enaknya gimana ya. Nanti pulang sekolah sudah mulai membuat
madingnya”
“Oh, oke. Siap Bu, hehe”
Setelahnya Bu Wardah mengijinkanku untuk kembali ke kelas.
Aku memperhatikan penjelasan Bu Emi, guru bahasa inggrisku dengan terkantuk-
kantuk. Dia sedang menerangkan bahasa inggris anatomi tubuh. Aku sedang tak
tertarik dengan pembahasannya. Padahal biasanya aku senang dengan pelajaran
Bahasa Inggris tapi kalau itu membahas tentang cerita atau buku. Aku suka membaca.
Kadang aku juga menyisihkan waktuku untuk menulis.
Setelah pelajaran Bahasa Inggris adalah pelajaran olahraga. Sofyan dan aku
sekelas. Dia paling suka dan jago olahraga terutama bulu tangkis dan voli. Dia bisa
sangat macho sekali memainkan olahraga itu. Dia bisa men-smash lawannya dengan
gesit. Aku kadang kagum padanya kalau sudah begitu. Dia kelihatan cowok sekali.
Waktu itu di pelajaran olahraga kami sedang latihan kelenturan badan. Kami satu
per satu di suruh rolling dan split untuk dinilai. Saat giliranku, aku cukup berhasil
melakukan rolling. Yah setidaknya aku berhasil berputar dengan cukup lurus.
Herannya, aku begitu baik dalam melakukan split. Padahal aku hanya latihan sesekali.
Sofyan melakukan rolling dan split dengan payah. Dia memang kurang jago dalam
hal kelenturan badan.
Pada saat pelajaran olahraga usai, waktunya istirahat. Sofyan dan Ira mengajakku
ke kantin.
Aku dan Ira duduk di kursi kantin sementara Sofyan memesankan mie ayam
untuk kami bertiga. Ira adalah pacar Sofyan. Walaupun sudah pacaran, Sofyan sering
mengajakku untuk ikut kemana-mana bersama Ira.
Aku mencoba mengobrol dengan Ira. Ira bertubuh mungil, wajah kearaban dan
kulit hitam manis. Dia cukup cantik sebenarnya walau tak begitu tinggi. Sofyan dan
Ira dekat waktu mereka masih kelas satu sma. Mereka sempat sekelas di kelas satu
sma. Sekarang kami bertiga sudah kelas dua sma dan aku serta Sofyan sekelas
sementara Ira di kelas lainnya. Ira sering bertanya padaku mengenai Sofyan
khususnya karena aku sahabat Sofyan sejak kecil. Orang tua kami memang sahabat
karib. Papa yang notabene seorang Hakim sedangkan bapak Sofyan seorang guru
merupakan teman se-sma. Mereka berdua sangat dekat.
“Eh, Nen. Kamu tau nggak pebulu tangkis favoritnya Sofyan?” Ira bertanya
padaku.
“Sapa ya? Jonatan Cristie kalo nggak salah”
“Makanan kesukaannya Sofyan apa?”
“Fuyung hai”
“Film favoritnya?”
“Dia suka serial sih, Game of throne”
“Orang yang paling deket dengannya selain aku dan kamu?”
“Ibunya”
Ira terkikik geli. “Kok lebih paham kamu sih daripada aku tentang Sofyan”
Aku balas tertawa. “Ya, secara lagi, aku kenal dia dari orok!”
Setelahnya, Sofyan datang dan duduk di samping Ira. Kami membicarakan
tentang Shireen, anak di kelas Ira yang tingkahnya itu tidak biasa. Ira tak suka
padanya. Menurutnya Shireen suka cari perhatian di kelas seperti menangis karena
diejek padahal teman-temannya hanya bercanda. Sofyan diam saja saat Ira
membicarakan keburukan Shireen. Aku mengerti. Sofyan memang tak suka
membicarakan aib orang lain. Dia memang sungguh-sungguh dengan hal itu. Pernah
suatu kali, saat kami SMP, aku bicara tentang tetangga kami yang bernama Siska. Dia
jorok sekali karena kamarnya begitu berantakan saat aku mampir ke rumahnya.
Sofyan banyak diam. Dia sedikit marah padaku karena membicarakan keburukan
orang lain. Tapi akhirnya hal itu berlalu dan kami berbaikkan lagi.
Aku masih lapar jadi aku memesan siomay. Saat aku memesan siomay, aku
bertemu dengan Rian. Dia sohib kental Sofyan.
“Hei, Yan! Kamu tambah ganteng aja deh” ujarku bercanda.
“Beneran?” Rian menggosok-gosok dagunya sambil tersenyum bangga.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk menanggapinya.
“Kamu jangan hampir pingsan gitu lah! Sofyan khawatir tau!”
“Iya?”
“Iya, dia ngomong ke aku abis upacara tadi. Dia panik tau. Untungnya kamu
nggak apa-apa”
“Dia biasa aja tuh tadi”
“Dia mah gitu orangnya!”
“Haha, oke deh…”
Setelahnya, pesenan siomayku selesai dan aku mengangguk ke Rian untuk
kembali duduk bersama Sofyan dan Ira.
Belum selesai aku menghabiskan siomayku, bel masuk berbunyi.
“Aduh, aduh. Aku belum selesai nih!” aku mempercepat makanku.
Sofyan terkekeh. “Kamu sih, makannya banyak banget!”
“Iya, emang napa?!” aku pura-pura marah ke Sofyan. “Bantuin gih! Kamu juga
Ra!”
“Gue kenyang banget nih Nen!” Ira mengelus perutnya.
“Yah…”
“Rasain!” Sofyan menjulurkan lidahnya kepadaku. Aku hanya tersenyum kecut.
“Aku balik duluan ya! Kebelet nih! Bye sayang!” Ira memeluk cepat Sofyan dan
menoleh padaku. “Duluan ya Nen!”
Aku mengangguk dengan mulut penuh.
Setelah aku menghabiskan siomayku, aku duduk dengan perut kekenyangan.
“Udah nih?”
“Udah!”
Sofyan mengambil bungkus siomayku dan membuangnya ke tempat sampah tak
jauh dari meja.
Aku tersenyum dengan tindakan kecilnya itu. Dia memang sering membantuku
untuk urusan-urusan kecil seperti itu.
“Aku balik nih, ikut nggak?” Sofyan mengerling kepadaku namun dia sudah
berjalan sebelum aku menjawabnya.
“Eh, eh…, tungguin!” aku berjalan menyusulnya.

***

Pelajaran selanjutnya adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Kami sedang membahas


tentang puisi. Sofyan ditunjuk untuk membaca ke depan. Dia bangkit berdiri, maju ke
depan dan mulai membacakan puisinya.

Selamanya Bersama

Aku menatapnya
Bibir ranumnya berkata kepadaku
Dia adalah canduku
Ku tak berarti tanpanya
Matanya mengingatkanku akan bidadari surga
Senyumnya menghipnotisku
Aku ingin terus bersamanya
Dalam suka dan duka
Menggenggam tangan putihnya
Menenggelamkannya dalam pelukan
Selamanya
Anak-anak di kelas bersorak saat Sofyan kembali ke tempat duduknya. Dia cuek
saja saat anak-anak mulai menyorakkinya. Aku tersenyum simpul. Pasti puisi itu
untuk Ira.
Saat pulang sekolah, aku segera menuju ke ruang guru untuk menemui Bu
Wardah. Ketika di depan ruang guru, aku melihat beberapa anak sedang duduk. Salah
seorang di antara mereka, Ovi, teman ekstrakulikuler melukisku, memanggilku.
“Nen, sini!”
Aku segera menuju ke arahnya.
“Kita sedang diskusiin tema madingnya”
Aku mulai duduk di samping Ovi dan berbisik kepadanya. “Siapa aja anggota
kelompoknya? Ini lomba mading yang dibilangin Bu Wardah kan?”
“Iya Nen, ini lomba mading itu. Temen-temen, kenalin, ini Nensi” Ovi
memperkenalkanku pada kedua anak itu. Sebenarnya aku kenal wajah-wajah mereka.
Tapi tak terlalu dekat. “Nen, ini Putra, ini Erzi dan satu lagi sebenernya ada Ega, dia
belum dateng”
Aku mengangguk pada mereka berdua seraya tersenyum.
“Kita nih lagi bingung mau milih tema apa. Bu Wardah kan bilang rencananya
kayak taman gitu. Tapi kita bingung konsepnya. Kamu kan ketua tim, kamu ada ide,
nggak?” Putra bertanya padaku.
Aku mencoba berpikir, aku teringat malam sebelumnya aku membacakan cerita
tentang biota laut pada adik keduaku, Nina. Kenapa nggak tentang itu saja? Pikirku.
“Gimana kalo tentang biota laut? Jadi kayak patung-patung di taman gitu”
Semua saling berpandangan.
“Boleh juga usulmu!” Putra menjawab.
“Iya, iya itu aja!” Ovi menyahut.
“Kita nggak ada konsep lain soalnya, hehe” Erzi menambahkan.
Setelah beberapa lama, Putra memutuskan kami untuk pindah ke ruang seni
karena lebih leluasa untuk berdiskusi daripada di depan ruang guru yang banyak lalu-
lalang orang. Putra menyuruh Erzi, teman sekelas Ega, untuk memberi tahu Ega
bahwa kami akan berkumpul di ruang seni. Erzi segera menelepon Ega. Setelahnya,
kami berempat menuju ke ruang seni.

***
Ruang seni sekolahku sempit. Memang tidak terlalu layak. Entah mengapa
sekolah tak menyediakan ruangan yang lebih besar seperti ruang biliard contohnya.
Mungkin karena tak banyak yang mengapresiasi kesenian. Itu sangkaanku saja.
Kami sedang berdiskusi apa saja yang akan kami buat di madingnya saat Erzi
berkata pada kami bahwa Ega untuk sementara tak bisa ikut diskusi kami kali ini
karena dia baru saja menelepon bahwa ia harus mengantarkan adiknya les.
“Ega itu yang mana sih Vi?” aku berbisik pada Ovi untuk sekedar mencari tahu
tentang Ega.
“Oh, dia anak IPS-2. Dia pernah nanyain tentang kamu ke aku”
“Hah? Kapan? Emang aku dan Ega pernah ketemu?”
“Kamu nggak inget? Waktu acara makan-makan di restoran waktu ulang
tahunnya Fairuz. Temen basket kita. Ega ada di situ. Dia temen deketnya Fairuz”
“Aku nggak tau tuh”
“Kamu aja yang nggak merhatiin atau lupa barang kali”
“Dia nanya apa aja ke kamu tentang aku?”
“Macem-macem. Rumahmu. Saudaramu. Kamu tau lah. Kayaknya dia naksir ke
kamu”
Aku terdiam setelah mendengarkan perkataan Ovi.
“Udah, entar aja senengnya. Fokus dulu manis!”
Aku tersadar dari lamunan dan mencubit lengan Ovi. Tapi aku kembali fokus
dengan rancangan gambar madingku.
“Kita punya masalah, aku nggak tau bakal ngisi apa di space kosong ini”
Putra meletakkan jarinya ke tengah papan yang rencanaya akan kami jadikan
pondasi mading. “Ada saran?”
“Kita bikin menara aja” Erzi memberi usul.
“Boleh tuh!” Ovi berkata. Aku mengangguk.
“Oke, trus gimana rencananya? Kita kumpul setiap pulang sekolah di sini?
Gimana Nen? Kamu kan ketuanya” Putra bertanya padaku.
“Oke, tapi kalo terlalu malam aku ada usul, gimana kalo kita ngerjainnya di
rumahku aja, buat yang kecil-kecil aja. Pondasinya biarin di sini” aku menjawab.
“Oke, aku pengin tau rumahmu” Erzi mengedip padaku. Aku cuma tersenyum
keki. Putra tertawa terbahak-bahak. Kurasa kami mulai akrab.
Selanjutnya kami melakukan pembagian tugas. Aku ditugaskan menyediakan cat
dan mengecat sedangkan Ovi dan Putra mencari sterofoam dan membentuknya
menjadi patung-patung biota laut. Erzi kebagian tugas membuat menaranya. Kami
masih menggunakan dana kami sendiri yang nanti akan diganti oleh pihak sekolah
jadi kami harus menyimpan kuitansi pembelian barang-barangnya.
Setelah lama berdiskusi dan konsep kami telah jadi, kami memutuskan untuk
pulang. Aku dan Ovi pulang bersama, rumah kami memang dekat. Kami pulang
dengan berjalan kaki. Aku masih memikirkan perkataan Ovi sebelumnya tentang Ega.
Aku memikirkannya sepanjang perjalanan pulang.
***
Setelah tiba di rumah. Aku langsung keki. Rumah dalam keadaan berantakan.
Aku melihat tumpahan kopi di lantai dan kebetulan adik pertamaku Nora sedang di
kamarnya mendengarkan mp3 dengan headphonenya. Dia sedang tengkurap dan tak
melihatku datang karena sedang asyik dengan komiknya. Aku melepas
headphonenya.
“Kamu kok nggak bantuin mama bersih-bersih rumah sih! Mama mana?” aku
bertanya padanya.
“Ih, apaan sih Kak! Aku udah bantuin mama jemur kain tau! Mama lagi ke
supermarket, belanja!”
“Ya, tapi kamu bantuin juga dong yang lainnya. Lantai kotor nih! Nina mana?”
“Tidur”
Aku membaringkan tubuhku di samping Nora.
“Apaan sih, Kak! Kakak kan punya kamar sendiri!”
“Ngga apa-apa, aku pengin di sini aja” aku terkekeh.
Nora mendengus.
“Nor?”
“Hmm?”
Aku menatap langit-langit kamar Nora. “Gimana kalo kamu disukai cowok?
Kamu bakal nanggepin apa?”
Nora menghentikan semua kegiatannya dan menoleh padaku cepat. “Kakak
ditembak, Kak?”
“Nggak sih”
“Ealah kirain” Nora kembali dengan komiknya.
“Tapi, dia tertarik sama aku. Aku aja nggak kenal dia”
Nora menaruh komiknya. Sepertinya dia menyerah untuk berkonsentrasi
membaca saat aku mengajaknya ngobrol seperti ini.
“Ya ditanggepin. Yang baik. Kakak tau lah, Kak”
“Gitu ya?”
“Iya lah! Gitu aja nanya! Ckck kakak gue! Kakak gue!”
Nora bangkit berdiri dan berjalan keluar kamar.
“Kamu mau kemana?” aku bertanya padanya.
“Bikin mie goreng! Laper aku!”
“Mie lagi! Mie lagi!”
“Biarin!” suara Nora semakin menjauh.
BAB 2

Pagi harinya aku terbangun pukul lima pagi seperti biasa. Setelah sholat subuh
aku menyetel lagu di kamar keras-keras. Itu memang kebiasaanku. Aku bergoyang
sambil mendengarkan lagu “Shake it off” yang dinyanyikan Taylor Swift.
Setelah puas mendengarkan lagu-lagu dan semangatku mulai terkumpul. Aku
menuju dapur untuk membuat roti isi coklat. Setelah membuat roti isi coklat, aku
bergabung dengan ayah, ibu, Nora dan Nina di ruang makan.
“Ayah rencananya mau ngajak kalian ke sumber maroon minggu ini, Nina
kepingin ke sana. Iya kan Nak?”
Nina mengangguk dengan mulut penuh makanan.

Anda mungkin juga menyukai