Anda di halaman 1dari 33

PREMIS

Seorang anak laki-laki berumur empat belas tahun yang tinggal bersama kedua
kakak laki-lakinya setelah orangtuanya meninggal. Ia mencoba mencari jati dirinya
namun perselisihan antar geng yang melibatkan gengnya membuatnya tersandung
kasus pembunuhan.

SINOPSIS

Paki kerap bermimpi buruk tentang orang tuanya yang telah meninggal enam
bulan sebelumnya. Kedua kakaknya, Dael dan Saga, mulai mengkhawatirkannya
karena ia selalu bermimpi buruk yang sama setiap malam. Selain itu, dia punya
masalah lain. Sepulang dari sekolah, Paki dikeroyok oleh sekelompok anak-anak
SMA Gatot yang notabene rival SMA Wagub, SMA tempat Paki sekolah. Untungnya
dia segera di selamatkan oleh kedua kakaknya sebelum hal buruk terjadi.

Malamnya, Paki memenuhi janjinya untuk ikut nonton film bersama dengan
Daffi, salah satu anggota geng Sander, gengnya dan teman-temannya. Daffi mengajak
anggota geng Sander lain yaitu Jay (adik Daffi) dan Tabir. Saat di studio bioskop,
Daffi menggoda seorang perempuan yang kebetulan duduk di depannya. Saat suasana
mulai tegang dan sang gadis mulai ingin menangis karena Daffi mengganggunya, Jay
menghentikan aksi Daffi. Daffi kesal dan pergi serta tak kembali lagi selama mereka
di bioskop.

Perempuan yang ditolong Jay berkenalan dengan Paki, Jay dan Tabir. Namanya
Sena dan dia memperkenalkan temannya yang kebetulan duduk di sampingnya yaitu
Chika. Setelah film selesai, mereka memutuskan untuk mengantarkan kedua gadis itu
pulang dengan truk Tabir. Sialnya, di parkiran mereka bertemu dengan Rey dan
Martin, anggota geng Bakir (Siswa SMA Gatot) , rival mereka. Rey dan Martin yang
notabene pacar masing-masing dari kedua gadis itu marah karena beranggapan Paki,
Jay dan Tabir berusaha merebut pacar mereka. Mereka semua nyaris berkelahi kalau
saja Sena dan Chika tidak bersedia untuk diantar oleh pacar mereka untuk pulang.

Selanjutnya, Paki dan Jay memutuskan untuk melihat track motor sehingga Tabir
menurunkan mereka di lapangan tempat track diadakan. Saat asyik-asyiknya melihat
aksi para pengendara motor di jalur track, datanglah pemimpin anggota punk, Leon
bersama satu anak buahnya menuju Paki dan Jay. Mereka bertengkar, Leon marah
karena Daffi memutuskan senar-senar gitarnya. Leon mau melepaskan Paki dan Jay
setelah yakin bahwa mereka memang tak tahu tentang keberadaan Daffi saat itu.
Setelah itu, tiba-tiba saja polisi membubarkan arena track tersebut. Paki dan Jay tidak
sempat kabur karena menyelamatkan seorang anak kecil yang menangis karena
terpisah dengan anggota keluarganya. Paki dan Jay dibawa ke kantor polisi.

Polisi itu menelepon Dael, kakak pertama Paki dan mereka pun dibebaskan
setelah Dael membayar denda untuk membebaskan mereka. Di parkiran kantor polisi
Dael dan Paki terlibat adu mulut dimana Dael menyalahkan Paki atas kejadian
penangkapan itu sampai pada akhirnya ia menampar Paki dengan kerasnya. Paki,
yang tak pernah mendapatkan perlakuan keras dari anggota keluarganya, berlari kabur
meninggalkan mereka.

Jay menemukan Paki sedang bersembunyi di sebuah gang. Jay mencoba


meyakinkan Paki bahwa sikap Dael kepada Paki seharusnya bisa dimaklumi Paki
karena kakaknya tersebut begitu khawatir terhadap Paki sehingga emosi seperti itu.
Paki berniat pulang setelah dibujuk oleh Jay walau ia belum bisa memaafkan
perbuatan Dael padanya.

Dalam perjalanan pulang, mereka beristirahat sejenak di warung yang telah tutup
dekat sekolah mereka. Tiba-tiba saja saat mereka mengobrol, datang sebuah mobil
yang menabrak pagar sekolah mereka. Sekelompok remaja laki-laki keluar dari mobil
itu dan Paki serta Jay mengenali mereka sebagai para anggota geng Bakir yang
sedang mabuk. Paki dan Jay berniat kabur dari tempat itu namun sialnya, salah satu
dari anggota geng itu melempar sebuah botol alkohol dan mengenai bahu Paki yang
sedang mengendap-ngendap di antara pot-pot di pinggir jalan sehingga Paki
mengaduh. Sebelum Paki dan Jay kabur, Rey, pemimpin geng Bakir, berhasil
menangkap Paki dan, dalam keadaan mabuk, berusaha mencekiknya. Jay menusuk
Rey dengan pisau untuk menyelamatkan Paki dan naasnya Rey sampai terbunuh. Para
anggota geng Bakir kabur dengan mobil setelah mengetahui Rey telah mati tertusuk di
tangan Jay.

Paki dan Jay, merasa ketakutan dan bingung, akhirnya kabur dan memutuskan
untuk mengikuti rencana Jay ke tempat sepupunya yang merupakan pebisnis senjata
ilegal dengan harapan sepupu Jay yang bernama Eran tersebut bisa membantu
mereka.

Setelah tiba di kediaman Eran, Eran mengijinkan mereka untuk tinggal hingga
tengah malam di rumahnya. Eran berpesan pada mereka untuk menemui polisi yang
merupakan komplotannya berbisnis senjata ilegal. Sialnya, di tengah jalan menuju
tempat polisi itu, Jay tertusuk setelah mencoba menolong seorang gadis yang
ditodong seorang penodong. Jay meninggal di ambulan dan tubuhnya digotong masuk
ke dalam rumah sakit.

Di rumah sakit, Paki menelepon rumahnya lewat handphone milik ayah gadis
yang ditolongnya bersama Jay. Dael dan Saga tiba di rumah sakit tersebut dan segera
memeluk Paki. Dael meminta maaf pada Paki atas perbuatannya dan mereka pun
berbaikan. Mereka bertiga pulang ke rumah.

Siangnya, Paki ditahan oleh polisi atas kertelibatannya pada kasus pembunuhan
Rey. Saat sidang tiba, semua saksi datang dan hakim memutuskan bahwa Paki tidak
bersalah. Paki dibawa pulang dari pengadilan dalam keadaan syok yang masih
menggelayutinya karena melihat temannya, Jay, meninggal dihadapannya.

Atas kematian masing-masing pihak, geng Sander dan Bakir berkelahi. Geng
Sander membawa para anggota punk dan geng Bakir membawa para siswa SMA
Gatot. Mereka berkelahi di lapangan bekas track motor dan perkelahian dimenangkan
oleh geng Sander.

Hari berikutnya, saat di tempat main biliard, Paki bertemu dengan Martin yang
ingin mengajaknya bicara empat mata. Martin rupanya ingin minta maaf atas
perbuatan mereka dan turut berduka cita atas kematian Jay. Paki tak percaya salah
satu anggota geng Bakir minta maaf padanya dan berpikir bahwa Martin sedang
terpukul dengan kematian temannya, Rey. Mereka kemudian membicarakan desas-
desus adanya tawuran antara SMA Gatot dan SMA Wagub selanjutnya.

Keesokan harinya, saat menemani kakaknya Saga shift di bengkel, Sena


menemui Paki dan berkata ia ingin membantu mengenai tawuran mereka. Sena
mengatakan sekolahnya (SMA Gatot) akan menyerang SMA Wagub tepat pukul 12
siang. Paki beranggapan Sena berbuat sedemikian karena merasa dengan begitu akan
sedikit korban yang jatuh.
Paki, Saga dan Tabir mengunjungi Daffi di rumah sakit (Daffi berkelahi dengan
Leon sehingga masuk rumah sakit). Daffi telah mengetahui kematian Jay dan menjadi
stress dan masih menyangkal kematian adiknya tersebut. Paki, Saga dan Tabir merasa
prihatin dengan kondisi Daffi.

Akhirnya, esok harinya, tawuran terjadi antara SMA Gatot dan SMA Wagub.
Saat mencoba melarikan diri, Daffi tertembak polisi yang berusaha menghentikan aksi
tawuran. Ketika geng Sander membawa Daffi ke rumah sakit, naas Daffi telah banyak
kehilangan darah dan meninggal diperjalanan.

Cerita diakhiri dengan mimpi buruk Paki yang semakin parah tentang kematian
kedua temannya dan juga orang tuanya. Atas saran psikolog, Paki menuliskan seluruh
pengalamannya untuk penyembuhan traumanya
EPHEMERAL
Oleh: Nadia Amalia

BAB 1

Bang Dael terlambat malam itu. Kakakku yang pertama itu memang sedikit
misterius, dia jarang mengatakan padaku kemana dia pergi—bahkan jika aku bertanya
padanya. Sebenarnya, aku tak terlalu memikirkannya dan membiarkan apa saja yang
ia lakukan. Dia berumur delapan belas tahun dan bisa menjaga dirinya sendiri. Dia
berumur delapan belas tahun tapi tampak seperti dua puluh atau semacamnya. Banyak
yang berkata kakakku itu memang terlihat lebih tua dari umurnya. Dia bekeja terlalu
keras, mungkin itulah yang membuatnya terlihat lebih tua. Aku melihat banyak orang
yang bekerja terlalu keras dan lama tampak lebih tua dari umur sebenarnya.
Itu malam yang panjang dan membuat menggigil. Aku terlambat tidur
sebenarnya, sebelum mimpi buruk membangunkanku. Aku bukannya menunggu Bang
Dael pulang, tapi mencoba menenangkan diriku. Aku mengambil segelas air dan
menatap cahaya remang kota dari jendela. Aku tinggal di kota yang tak pernah tidur.
Ketika dia tidur, mungkin matahari telah terbit dari barat. Aku serius, itu hampir tak
mungkin. Selalu ada kehidupan di luar sana. Maksudku, di kotaku ini. Entahlah…, itu
seperti anak berumur sepuluh tahun yang tak cukup hanya terbangun di siang hari dan
bermain apapun yang dia mau di malam harinya. Kotaku selalu muda dan akan selalu
seperti itu.

Aku mencintai kotaku, sungguh. Tapi di suatu titik aku ingin keluar, kamu
tahu, mencoba hal baru. Bang Dael berbeda, aku rasa dia tak ingin meninggalkan
kota. Mungkin karena ibu dan ayah lahir di sini dan dia merasa bertanggung jawab
untuk mengurus rumah serta sebagainya. Bang Saga, kakak keduaku, berbeda lagi.
Dia ingin keluar dari kota ini sepertiku namun dengan alasan yang berbeda. Dia ingin
kerja di luar kota karena sudah banyak orang cari kerja disini. Dia suka berwirausaha.
Aku tak tahu dari mana aku memulainya tapi mungkin Bang Saga menumbuhkan
semangat wirausahanya dari kakung kami. Beliau pedagang--salah satu dari yang
terbaik. Beliau menjual apapun; sapi, obat-obatan, semen. Tapi krisis moneter tahun
1998 membuat ekonomi beliau kolaps. Beliau bangkrut. Dua tahun kemudian beliau
meninggal tanpa mewariskan apapun untuk ayah. Tak lama setelahnya eyang
menyusul karena sakit. Aku berumur sepuluh tahun kala itu. Ayah membangun usaha
lagi dari debu, seperti burung Phoenix. Beliau berhasil kadang, menjual beberapa
pakaian dan memberi makan kami dan membiayai sekolah kami. Ibuku penyemangat
ayah yang paling utama, beliau selalu menasihati ayah “Kamu hampir berada di
puncak, jangan menyerah”. Kami baik-baik saja sampai mereka meninggal dalam
kecelakaan. Itu tak terduga dan hampir membuatku frustasi. Bahkan hingga saat aku
menulis cerita ini.

Sejak ayah dan ibu meninggal, Bang Dael bertindak lain. Dia tak bisa berhenti
berteriak padaku. Bang Saga berkata itu karena Bang Dael banyak pikiran sebab
punya kewajiban mengurus kami. Karena banyak pikiran dia tak bisa menanganinya
sehingga dia marah; berteriak sepanjang waktu padaku. Aku melihat tatapan tajam
Bang Dael dan ucapan-ucapannya yang menyudutkanku. Aku tahu dia mencari
pelampiasan dan dengan umurku yang muda dan nasibku yang selalu terlibat masalah,
aku menjadi sasarannya. Entahlah, aku selalu menarik masalah, seperti dirundung
oleh geng lain atau jatuh dari track motor. Itu membuat Bang Dael kesal jika aku
melakukannya karena aku seharusnya bisa keluar dari masalahku untuk anak
seusiaku. Aku berumur empat belas tahun saat menulis cerita ini, tidak besar atau
kecil, beberapa orang melihatku seperti aktor Adam Jordan, karena mereka merasa
ada kemiripan di antara kami. Aku melihatnya di TV—dia terlihat lembut dan peduli.
Aku sama sekali tak terlihat seperti itu. Aku dapat mengatakan padamu aku ceroboh,
mungkin sedikit keras kepala. Tapi aku pekerja keras dan selalu berusaha
mewujudkan impian yang ingin kucapai. Aku rasa aku tak terlalu buruk sebenarnya.

Ngomong-ngomong, namaku Paki dan aku suka melukis. Tidak seperti Bang
Dael yang bekerja apa saja sejak ayah dan ibu meninggal—aku lebih pilih-pilih. Aku
berharap bisa menjadi seorang seniman suatu hari nanti. Orang-orang bisa berkata
seniman pekerjaan yang sepele, prospeknya tidak bagus, kurang dihargai dan
sebagainya—persetan mereka. Aku harus mensyukuri kemampuan yang kupunya.
Jadi kuputuskan untuk mewujudkan mimpiku. Ketika merayakan ulang tahun—yang
tidak terjadi setiap waktu, karena kami kekurangan uang—aku selalu berdoa agar bisa
menjadi seorang seniman suatu hari nanti. Seperti Affandi, Raden Saleh, Sujiwo Tejo,
mereka semua idolaku. Mereka master dibidang seni. Tak ada lagi orang seperti
mereka di Indonesia ini. Setidaknya yang kutahu. Aku bisa mendaftar menjadi pelukis
di sanggar lukis jika aku mau. Tapi, Bang Dael akan menghentikanku sebelum aku
menyentuh ganggang pintu sanggar. Dia berkata melukis hanya hobi atau aku akan
menyia-nyiakan hidupku, kelaparan di pinggir jalan. Itu menyakitiku sebenarnya,
perkataan Bang Dael. Dia berpikir aku akan luntang-luntung bagai pengangguran atau
semacamnya. Tapi, secara realistis, pekerjaan melukis memang tak banyak
menghasilkan uang. Tapi, aku tak mau keluarga terdekatku yang mengatakannya
padaku seakan itu perbuatan sia-sia. Dan Bang Dael melakukannya. Dia suka
melakukannya. Seperti itu kebiasaannya. Dia mengatakan hal-hal yang menyakitkan
namun aku tahu dia tak benar-benar serius tentang itu. Seperti saat aku menendang
bokong Johan—salah satu anak nakal di sekolahku—sampai dia mematahkan giginya.
Johan pantas kutendang bokongnya, dia memukul seorang siswi di kelas. Aku tidak
melakukan sesuatu tanpa alasan dan alasanku menendang bokong Johan cukup
realistis menurutku. Tapi, guru BK, Pak Muzaki, bersikeras memanggil Bang Dael
sebagai waliku walaupun sudah kujelaskan duduk perkarannya. Dia berkata aku
berbuat keributan dan kekerasan di kelas sehingga ia harus memanggil kakakku.
Setelah itu, Bang Dael berkata, “Kalo lo dipanggil lagi, gue nggak akan peduli”. Tapi,
kemudian mereka memanggilnya lagi karena aku bolos sekolah—kadang aku
memang merasa bosan—dan setelahnya Bang Dael tetap datang. Lihat…, dia hanya
mengancam. Dia tak serius hampir dengan seluruh perkataannya. Dia hanya suka aku
mendengarnya, kata-kata menusuknya. Tapi, dia selalu kembali untuk membantuku.

Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari depan. Kulangkahkan kaki menuju


ruang tamu untuk melihat siapa yang datang. Bang Dael tampak di depan pintu

“Paki, Kenapa lo nggak tidur? Lo sekolah besok!,” Bang Dael melepas sepatu,
melonggarkan kancing kemeja dan berjalan masuk. Kulihat lingkaran hitam di bawah
matanya. Dia tampak seperti seseorang membiarkannya terjaga di angin terbuka,
berjam-jam. Aku pernah melihatnya lebih buruk. Pernah suatu kali dia hanya tidur
tiga jam untuk menjadi penjaga pasar malam. Mereka memberinya dua ratus ribu dan
kami menghabiskannya untuk tambahan biaya sekolah.

“Aku nggak bisa tidur,” aku tahu aku terbangun karena mimpi buruk tapi
kuputuskan untuk tidak mengatakannya karena Bang Dael tak akan peduli. “Ini udah
jam satu, ke mana aja Abang?”

“Pak Revoldi minta gue nganterin paket-paket pake truknya,” Bang Dael
menjawab dengan bergumam. “Kita butuh makan, persediaan uang hampir habis.”

Bang Dael selalu bekerja. Seharusnya ia kuliah, tapi memutuskan untuk tak
mengambilnya. Mungkin itu karena kami, aku dan Bang Saga. Kami anak-anak yang
perlu diberi makan. Bang Saga dan aku bersekolah di SMA yang sama dan bisa
kukatakan prestasi kami cukup bagus.

“Aku ditawari ikut lomba melukis, jatuh temponya dua minggu lagi, aku ingin
ikut, tapi…,” aku memulai percakapan dengan Bang Dael karena lomba itu tiba-tiba
muncul di pikiranku. Pak Rizal, guru seniku, memilih beberapa anak untuk
mengikutinya, aku salah satu diantaranya. Pak Rizal salah satu dari sedikit guru yang
kusuka. Kadang dia memperlakukan seperti temannya, menyuruhku melakukan segala
sesuatu yang dia minta—seperti memberikan surat cinta ke Bu Laura, guru bahasa
Indonesiaku. Itu memalukan, maksudku, aku merasa kasihan pada Pak Rizal—Bu
Laura tak pernah membalasnya. Aku terjebak diantara kisah cinta Pak Rizal yang
kuyakini bertepuk sebelah tangan. Aku suka Pak Rizal karena dia menganggapku
sebagai temannya dibanding muridnya—mungkin dia sering menyuruhku ini itu
seperti yang telah kukatakan tapi aku tak keberatan dengan itu. Dia sering memberiku
uang dan kami berdua berhubungan dengan baik.

Bang Dael menatapku dengan tatapan seakan aku baru saja melakukan hal yang
tak dia suka.“Apa? Lomba melukis lagi? Lo hampir ngacauin hasil ulangan lo gara-
gara lomba lukis bulan lalu!”

“Tapi, ini beda Bang Dael, hadiahnya uang. Banyak sekali. Aku harus ikut”

Bang Dael berpikir sebentar, dia selalu mau jika berhubungan dengan uang.
“Oke, sekarang apa masalahnya?”

Aku mulai merasa tak enak. Aku tahu uang kami menipis, tapi aku tak punya
pilihan lain. “Catku hampir habis… dan biaya buat ngebelinya….”

“Diamlah.. lo pikir gue nggak punya uang buat ngebeliin?,” Wajah Bang Dael
berubah masam. “Itu bisa diatasi.”

Aku bersyukur Bang Dael akan membelikanku cat baru. Aku rasa Pak Revoldi
memberinya uang cukup banyak. Lomba ini penting bagiku, hadiahnya lumayan juga.
Delapan juta untuk juara pertama. Itu uang yang banyak dilihat dari uang yang kami
pegang saat ini. Bang Saga makan seperti kuda dan kami menghabiskan banyak uang
untuk membayar listrik dan sebagainya. Kami miskin, lebih miskin dari golongan
menengah namun tak cukup miskin seperti orang desa. Aku bisa berkata kami
termasuk golongan sederhana. Kami punya tiga kamar di rumah, sebuah motor dan
aku senang kami masih punya kulkas dan TV. Tapi, segala sesuatunya lebih susah
saat tak ada orang tua.

“Tidur! Besok hari yang panjang,” Bang Dael mulai melangkah menuju
kamarnya.

**

Aku sering bermimpi buruk. Bukan tentang hantu, seperti yang kualami waktu
kecil. Tapi tentang ayah dan ibu. Dalam mimpi itu, mereka tersenyum padaku namun
kemudian berjalan pergi meninggalkanku. Aku merasa malu pada diriku karena
biasanya terbangun sambil menangis. Aku seorang cowok berumur empat belas tahun
dan menangis dalam keluargaku adalah suatu yang pantang—biasanya Bang Saga
sering menangis saat ia kecil namun itu kasus berbeda. Sebenarnya banyak hal yang
ditangisi Bang Saga. Dia bisa menjadi bayi besar terkadang. Suatu kali, kami punya
kucing dengan ekor cacat. Kami mendapatkannya dari seorang tetangga yang
membuka toko binatang peliharaan. Kucing itu begitu memelas sampai orang tak ada
yang mau membelinya. Ketika ayahku bertanya berapa harga yang harus kami bayar
untuk mendapatkan kucing itu—Bang Saga ingin binatang peliharaan sehingga kami
mengira kucing dengan ekor cacat itu akan murah harganya—dan ternyata kucing itu
begitu tak diinginkan pelanggan toko sehingga ia memberinya secara cuma-cuma
karena uang yang diberikannya untuk makan kucing itu cukup menguras kantong.
Bang Saga begitu mencintai kucing itu—karena itu binatang peliharaaan pertamanya
—dan memberinya nama Randal. Tapi, kucing itu terkena virus yang banyak diderita
kucing di lingkungan kami sehingga ia mati setelah enam bulan kami merawatnya.
Kemudian, Bang Saga mulai menangis tersedu-sedu seperti bayi. Dia berumur dua
belas tahun kala itu.

Ngomong-ngomong, mimpiburuk itu selalu berulang tiap malam. Kadang aku


hampir gila jika mengingatnya. Ketika aku menceritakannya pada Bang Saga, ia
mengatakan bahwa seharusnya aku merelakan kepergian ayah dan ibu. Dia benar, aku
memang belum rela. Kamu tahu rasanya? Itu seperti kamu berada di sebuah lubang
tak berujung. Kamu merasa tersesat dan bingung. Aku tahu aku harus mengambil
hikmah dari semua ini. Semua selalu ada hikmahnya, seperti yang Bang Saga katakan.
Tapi terkadang aku tak memakai otakku. Aku kadang berharap meninggal bersama
mereka daripada hidup di dunia ini.

“Jangan gitu!”

Lamunanku buyar. Siapa yang bicara? Kulihat wajah masam Bang Dael. Apa
yang kuperbuat sekarang?

“Lo pengin bikin rumah kita tenggelam?” ujar Bang Dael.

Oh, aku baru saja menuangkan teh sampai melebihi cangkirnya. Aku menyadari
bahwa diriku masih duduk di ruang makan. Terkadang aku sedikit linglung semenjak
ayah dan ibu meninggal. Teman-temanku berkata itu karena aku terlalu cerdas—aku
punya IQ tinggi dan loncat kelas. Aku berpikir aku hanya syok. Sejak orangtuaku
meninggal, aku sering melakukannya. Seperti aku memutuskan satu saraf penting di
otakku atau semacamnya. Aku tahu kematian ayah dan ibu meninggalkan luka yang
dalam bagiku..

“Bang Dael, terpikirkah Abang kalo Tuhan ngebiarin ayah dan ibu meninggal
karena Tuhan benci kita?” aku merasa harus mengatakannya karena biasanya Bang
Dael bisa mengatasi masalahku. Dia menggunakan otaknya. Kemudian, aku
menyesalinya karena Bang Dael hanya akan meneriakiku. Dia langsung sensitif jika
aku membicarakan ayah dan ibu, seperti aku mengorek suatu luka atau semacamnya.
Dia benci saat aku mengungkitnya, seperti seakan tak mau kembali ke masa lalu. Dan,
ketika aku mengungkitnya, dia selalu menghubungkan dengan betapa lemahnya aku.

“Kenapa lo?” Bang Dael menatapku bagai aku sedang makan kodok. “Itu udah
enam bulan lalu Ki, biasalah dengan hal itu!”

Lihat? Bang Dael langsung berubah seakan Superman atau semacamnya. Bang
Dael selalu begitu. Ingin dilihat sebagai orang yang tegar dan tangguh. Aku bertanya-
tanya apa yang ia rasakan tentang kepergian ayah dan ibu. Dia tak pernah menangis
selama yang kuingat. Bahkan saat pemakaman ayah dan ibu. Dia selalu berlagak kuat
dan entahlah…, mungkin dia tak mau orang lain melihat dirinya runtuh karena
menyangkut harga dirinya. Aku tahu dia mencintai ayah dan ibu. Dia hanya tak mau
menunjukkan perasaannya.

“Hei! Pagi semua!”

Bang Saga datang dan menggosok rambutku. Berapa pun umurmu, kamu akan
diperlakukan seperti anak kecil jika kamu anak bungsu. Biar kuberitahu sesuatu
tentang anak bungsu, kamu bisa berbuat bodoh karena orang-orang tak akan
menganggapnya serius, bisa dikatakan pola asuhmu lebih santai. Dan kamu tidak
perlu berpikir tentang adik—karena memang tak punya—serta ada orang lain yang
memang ditakdirkan untuk memikirkannya. Kamu mendapatkan perhatian penuh
seluruh keluarga dan orangtuamu lebih banyak menghabiskan waktu denganmu
dibanding kakak-kakakmu. Aku tak tahu dengan kalian, tapi itu yang kurasakan. Tapi,
terkadang aku merasa kesepian juga, entahlah…, dengan semua perhatian itu. Aku
tahu itu aneh tapi itulah yang terjadi padaku. Dan terkadang ayah dulu pernah
membanding-bandingkanku dengan Bang Dael—seperti bagaimana pintarnya dia
bermain sepak bola—aku lebih cocok dengan kegiatan seni. Tapi, itu sudah lama, dan
masalahku hanya terletak pada kedua kakakku saat ini.
“Sarapan! Trus cepetan berangkat sekolah!,” teriak Bang Dael di sela-sela
menggoreng sesuatu. Dia selalu berteriak pada kami, khususnya di pagi hari.

“Kapan jatuh tempo lomba lo, Ki? Gue denger lo ikut lomba ngelukis,” Bang
Saga berkata, mengabaikan teriakan Bang Dael. Dia duduk di depanku dan mulai
mengaduk bubur ayamnya. Bang Dael yang membuat bubur itu. Peraturan
mengatakan siapa yang bangun lebih pagi yang memasak, sedangkan yang lain
mencuci piring. Bang Dael selalu bangun sebelum ayam berkokok sedangkan Bang
Saga akan tetap tidur bahkan jika terjadi kebakaran. Jadi, Bang Dael yang selalu
mendapat giliran memasak.

“Iya …, tahun depan, Bang,” jawabku asal. Aku suka bercanda dengan Bang
Saga.

“Jangan mulai…,” Bang Saga tersenyum dan memukul bagian belakang kepalaku
dengan pelan.

“Dua minggu lagi, Ga,” Bang Dael membetulkan. Dia memang selalu serius.

“Lo pasti menang, kan?” seringai tampak di wajah Bang Saga.

“Taruhan jatah rokok seminggu rokok kalo aku menang Bang, oke?”

“Nggak masalah,” Bang Saga kembali menyeringai. Sering kali kami memang
bermain-main seperti ini.

Kemudian, dia mendekatkan wajahnya padaku.“Lo tahu? Gue punya pacar


sekarang,” bisiknya.

“Beneran?” aku merasa tertarik walau kutahu Bang Saga selalu punya pacar.
Entahlah…, memang seperti itu.

“Ya,” dia menyisir rambutnya ke belakang. “Cewek itu cantik banget, Ki.”

Aku menyeringai. “Siapa namanya? Apa aku kenal dia?”

“Oh, semua orang kenal dia.”

“Jadi, rumor itu bener? Abang kencan sama Kak Riana?”

Bang Saga menahan tawa, ekspresinya seperti saat dia akan mengeluarkan
lelucon konyol. “Tentu saja bodoh, siapa lagi?”
“Habisin sarapan trus siap-siap berangkat sekolah!” Bang Dael mulai berteriak.
Dia berjalan dari arah kompor ke meja depan kami dengan sekaleng kerupuk di
tangan.

Bang Dael tak pernah membiarkan kami santai. Dia selalu begitu. Lakukan ini,
lakukan itu. Dia bertingkah seperti bos di rumah kami. Aku tak bisa menerimanya
sebenarnya. Aku tahu ia mencoba bertindak seperti ayah dan sebagainya tapi
terkadang dia memberiku waktu yang berat. Seperti saat dia meneriakku atas setiap
hal kecil yang kulakukan; merokok terlalu banyak atau lupa mengerjakan PR-ku.
Tapi, pagi ini ia tak terlalu memberiku omelan-omelan yang biasa di berikannya. Aku
rasa dia masih lelah karena kerja semalam. Berkendara semalaman tidak baik untuk
fisik dan emosimu. Itu membuatmu sulit fokus pada sesuatu dan mengabaikan
beberapa hal. Aku rasa itu terjadi pada Bang Dael.

Kami mulai memakan bubur kami. Rasanya enak. Bang Dael jago memasak. Jika
aku bertanya apa resepnya, dia selalu berkata tidak jelas karena berubah-ubah. Dia
tidak bohong, aku lihat caranya memasak selalu beda setiap waktu, namun rasanya
tetap enak. Tapi, tak ada yang memasak segila Bang Saga. Pernah suatu kali dia
membuat nasi goreng berwarna biru. Itu memberiku waktu semenit sebelum
memakannya. Itu seperti manik-manik kecil dengan sosis, ayam dan bawang di
dalamnya. Bang Saga melakukannya hanya untuk bermain-main. Dia senang
mencoba hal baru.

“Lo tidur nyenyak malam tadi, Paki?” Bang Saga bertanya padaku. Bang Dael
meletakkan sendoknya dan menungguku berbicara.

Aku mulai berkata. “Aku masih mimpi buruk tentang ayah dan ibu”

Bang Dael dan Bang Saga bertatapan. Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan
jika sudah berbuat seperti itu. Kadang aku merasa mereka bisa telepati atau membaca
pikiran masing-masing. Seperti ada hal yang mereka pikirkan bersama dan aku tidak
terlibat di dalamnya.

“Paki,” Bang Saga mengeluarkan nada itu, nada seperti saat seorang yang lebih
tua berkata “Hei nak” pada seorang anak. Bang Saga sering melakukannya. Yah,
setidaknya sejak ayah dan ibu meninggal. “Lo nggak apa-apa?”
Aku mengangguk. “Jangan ngawatirin aku… aku nggak apa-apa,” aku berkata
dengan nada diulur-ulur, seperti tak yakin dengan perkataanku sendiri.

“Lo akan baik-baik aja, Ki,” Bang Dael menepuk bahuku. “Iya kan?”

Dia tersenyum tipis padaku. Aku mencoba menarik bibirku ke samping tapi
kurasa senyumku terlihat aneh.

BAB 2

Di pagi hari, aku senang memandang matahari terbit. Biasanya tak memakan
waktu lama karena berlalu dengan cepat. Pagi itu aku berangkat seperti biasa, tepat
pukul enam, di mana langit masih menyisakan warna oranyenya. Jangan katakan
padaku aku ingin menjilat guru-guru karena datang sebelum anak lain tiba. Aku hanya
suka matahari terbit. Rasanya semangatku menjadi tumbuh. Aku tergila-gila dengan
matahari terbit. Aku rasa aku juga melihat matahari tenggelam terkadang, tapi tak
sesering saat aku melihat matahari terbit. Mungkin karena aku lahir saat matahari
sedang terbit. Ibu mengatakannya padaku. Itu sudah lama sekali.

Satu hal yang kusesalkan adalah kehilangan ibu. Beliau tak selalu memahami
kami tapi senantiasa berusaha membantu mewujudkan impian kami. Beliau seperti
seorang ratu di lingkungan kami. Semua orang menyukainya. Beliau pemimpin di
grup PKK dan senantiasa membantu orang yang membutuhkan. Kadang aku berpikir
kebaikkan ibu tak terganti oleh apapun. Ketika ada pengemis datang, ibu memberikan
sebagian makanan kami hari itu untuknya. Atau saat aku berkata ingin jadi pelukis,
ibu merelakan uangnya untukku agar aku bisa membeli kanvas dan cat. Teman-
temanku senang pada ibuku. Mereka selalu berkata “Gue pengin punya ibu kayak ibu
lo, Paki”. Ibuku sudah lama pergi dan satu-satunya yang kuinginkan adalah
mengulang kembali waktu sehingga aku bisa mengatakan betapa aku mencintai beliau
sebelum beliau pergi untuk selama lamanya.
Hal berikutnya yang kusesalkan adalah kehilangan ayahku. Beliau yang telah
mengajariku melukis, mengantarkanku, Bang Dael dan Bang Saga ke restoran saat
beliau punya pendapatan lebih dan berani berkata bahwa anak-anaknya akan menjadi
orang hebat suatu hari nanti. Ketika memikirkannya, aku menyesal tak menghabiskan
waktu cukup banyak bersama ayah seperti memancing di pemancingan ikan atau
berkebun bersama di belakang rumah. Kadang aku menolak tawaran ayah
melakukannya. Sekarang aku menyadari bahwa seseorang dapat pergi terlalu cepat
tanpa kamu sadari.

Sangat berbeda hidup tanpa ayah dan ibu. Sejak itu, kami harus menghemat uang
dan mencuci sendiri. Tak ada yang berkata selamat tidur dan seseorang untuk dipamiti
saat akan berangkat sekolah. Dapatkah kamu membayangkannya? Rasanya seperti
Tuhan melukiskan lubang besar dalam dadamu. Enam bulan, tidak, setiap tahun,
setiap waktu, aku rasa perasaan itu akan tetap ada. Ketika mengingatnya betapa dulu
aku tak mensyukuri apa yang kupunya.

Aku tahu konsisten itu berat dan merupakan masalahku. Sedangkan Bang Dael,
masalah dia adalah dia terlalu lurus dan kaku. Dia beranggapan hidupnya sudah cukup
tanpa melibatkan banyak hal. Jadi, dia jarang mencoba hal lain selain bekerja, bekerja
dan bekerja. Bang Saga berbeda. Dia suka mencoba banyak hal selama nadinya masih
berdetak. Sudahkah aku berkata bahwa ada jiwa wirausahawan dalam dirinya? Jika
kamu menginginkan suatu informasi, bertanyalah pada Bang Saga. Dia akan
menyebutkannya dalam beberapa versi yang menarik.

Ketika melihat orang kaya, aku berpikir betapa beruntungnya mereka. Tak pernah
mengawatirkan apapun, selalu ada makanan di atas meja mereka dan tak perlu
membayar uang sekolah dengan susah payah. Aku telah berkata pada Bang Dael
bahwa aku akan berhenti sekolah dan melukis. Kamu tau apa yang dikatakannya?
“Selama gue hidup, lo harus tetep sekolah sampai selesai!”, kadang aku berpikir ia
mirip ayah, walaupun wajahnya menggariskan paras ibu. Ayahku selalu
mementingkan pendidikan. Beliau berkata hal yang membedakan kita dengan
binatang adalah pendidikan. Tapi bukankah melukis juga merupakan suatu hal yang
dikategorikan menimba ilmu? Namun kemudian telingaku terngiang-ngiang akan
kata-kata Bang Dael “Lakuin tugas lo!”.
Seperti air, kamu bisa melukisnya namun tak dapat menggenggamnya. Aku rasa
begitulah peraturan di dunia ini. Segalanya bersifat delusi atau tak nyata. Ephemeral
—tidak kekal. Kamu tahu aku sedang menyembuhkan diri dari kehilangan orang tua
bukan? Kadang aku melakukannya lewat berdialog dengan diri sendiri. Bertanya
mengapa dan bagaimana. Biasanya berhasil. Itu seperti mesin penyembuh. Dirimu
adalah penolongmu sendiri. Aku pernah membaca kalimat itu di suatu tempat—
mungkin iklan rokok atau asuransi. Tapi, itu bukan masalah. Aku tak peduli kalimat
itu berasal dari mana asal menarik dan mengandung makna dalam.

Gengku hidup bagai angin berlalu. Maksudku, mereka membiarkan kebebasan


menang. Misalnya Daffi, walaupun tampangnya biasa saja aku tahu dia berharap
menjadi aktor suatu hari nanti. Tabir lain lagi, dia yang tercepat dalam kelompok
kami dan bermimpi suatu hari nanti kakinya membawanya menjadi orang terkenal.
Lalu, anggota terakhir kami, Jay, bercita-cita menjadi guru. Dia suka anak-anak dan
mereka tak keberatan dekat dengannya. Jadi, kebebasan apa yang kumaksud?
Memilih. Ya, kami lebih memilih mimpi dibanding mengikuti kata orang. Itu penting,
kamu tahu. Hal tersedih tentang hidup adalah jika kamu tak bisa mengikuti mimpimu.
Itu seperti kamu menyia-nyiakan sepaket kehidupan. Aku tak mau seperti itu. Aku
harus mendapatkan apa yang kumau. Bang Dael berkata aku terlalu idealis—hampir
bodoh. Dia mengatakannya dengan cara menusuk juga. Aku tahu dia ingin bersikap
realistis, tapi aku tak bisa menghadapinya. Aku tak bisa menghadapi orang yang
terlalu realistis. Seperti anjing yang mengejar ekornya sendiri atau semacamnya.
Kamu tak akan keluar dari lingkaran. Demi Tuhan, lebih baik kamu tidak seperti itu!.
Kadang, kamu hanya perlu berpikir di luar nalar sesekali. Itukan yang dipikirkan Neil
Amstrong sebelum dia ke bulan?

Ketika berpikir tentang masa depan—walau ada perasaan takut—aku tahu usaha
kami akan terbayar. Albert Einstein berkata “Cobalah tidak menjadi orang yang
sukses, tapi jadilah seseorang yang bernilai”—aku rasa yang dikatakan pria jenius itu
benar. Kita harus berguna bagi orang lain seperti hujan yang membawa manfaat bagi
tanah dan tumbuhan atau angin yang berguna bagi nelayan. Dan tahukah kamu
rahasianya? Siapa yang tak pernah menyerah. Memang mudah mengatakan hal seperti
itu, namun bukankan ketika menghadapi sesuatu yang berat, keraguanlah yang
menguasai hatimu?
“Hei, Aristoteles! Jam berapa sekarang?”

Aku tersadar dari lamunan dan melihat jam tangan. Aku sedang berada di kelas,
mencoba memperhatikan penjelasan guru walau tak berhasil. Aku tak pernah fokus di
tengah pelajaran. Tapi, aku selalu mendapat nilai bagus. Teman-temanku menyebutku
jenius. Aku rasa aku hanya beruntung. Memperoleh nilai bagus sebenarnya mudah.
Kamu hanya perlu duduk dan mendengarkan; suka atau tidak. Sedikit banyak kata-
kata itu akan masuk ke otakmu, atau dalam kasusku, cukup banyak.

“Dua,”jawabku.

Daffi membetulkan letak duduknya dan menguap. Sepertinya pelajaran sejarah


membuatnya bosan. Dia selalu melakukannya jika sesuatu tak menarik minatnya.
Semua orang tahu jika dia paling menyukai pelajaran bahasa Indonesia. Dia akan
berakting seakan dia pujangga atau semacamnya. Kadang, jika dia terlalu
bersemangat, dia meminta teman sekelas—biasanya aku—membacakan dialog yang
akan ditampilkan. Dia akan menghapalnya dalam hitungan menit dan membuat
keajaiban di depan kelas. Kami selalu kaget dan tak percaya betapa dia begitu
mendalami perannya.

Ngomong-ngomong, alasan mengapa anggota gengku terkadang memanggilku


“Aristoteles” dibanding “Paki” karena aku sering memberi nasihat. Jika Jay
membuang sampah sembarangan, aku akan berkata “Orangtua lo nggak pengin anak
kayak itu” atau ketika Tabir sering terlambat, aku akan berkata “Lo nggak malu sama
anak desa yang harus berenang biar nyampe ke sekolah?”. Mereka juga kerap
menjulukiku “Sang Petuah”. Terdengar hebat tapi kutahu itu sebuah ejekan. Laki-laki
biasa melakukannya. Semakin buruk nama ejekanmu kepada temanmu, semakin baik
hubungan kami sebenarnya. Itu fakta. Perempuan tidak memahaminya. Itu hanya
diantara kami para lelaki. Tapi, saat seorang perempuan memanggil kami dengan
sebutan buruk, kami tak bisa menerimannya. Entahlah…, itu hanya kenyataannya.

Ketika sesuatu tidak benar, aku seringkali memikirkannya. Banyak pertanyaan


yang terbesit dalam pikiranku sebelum aku berusaha menemukan jawabannya sendiri.
Beberapa orang mengatakan itu sindrom yang diderita para seniman. Aku tak peduli
apa kata mereka tapi satu hal yang pasti tentang diriku: introvert. Kakak keduaku,
Bang Saga, berbeda lagi. Dia senang menjalin hubungan dengan orang lain—itu
dibutuhkan untuk seorang wirausahawan—sedangkan aku lebih memilih bertahan
dengan gengku. Siapa yang lebih baik? Kamu bisa menentukannya sendiri.

Ketika bersama dengan geng, kamu akan merasa aman seperti jika seseorang
selalu disisimu. Apalagi yang lebih baik selain tetap bersama sahabatmu? Itu salah
satu hal yang terpenting di dunia. Akan selalu ada yang menghiburmu dan
mengatakan “Lo bakal baik-baik aja” jika suatu masalah terjadi. Aku merasa punya
saudara lima dibanding dua. Mungkin karena begitu eratnya persahabatan kami. Itu
yang terjadi jika persahabatan sudah sangat dekat. Kamu harus menjaganya begitu
erat atau kamu kehilangan semuanya.

Bang Dael pernah berkata “Cara hidup lo adalah gimana lo memandang dunia”.
Dia sungguh-sungguh dengan perkataannya. Maksudku, dia hidup dengan cara seperti
itu. Bagi Bang Dael, hidup itu keras dan yang dapat dilakukan hanya bekerja. Pulang
malam, lupa tidur sampai lupa makan itulah yang dilakukannya. Dia seharusnya tidak
hidup seperti itu. Tapi, tak ada pilihan baginya. Dia merasa bahwa sudah menjadi
kewajibannya menghidupiku dan Bang Saga.

Ketika mulai berpikir tentang hari-hari kami, aku rasa cukup berat. Saat
kehilangan orang tua, kamu tak tahu apa yang harus dilakukan. Kami saling
menguatkan sebagai saudara. Seperti yang dilakukan ayah dan ibu, kami berusaha
percaya satu sama lain. Itu tidak mudah—kadang kami bertengkar—namun, yah…,
aku rasa kami masih bisa berpijak di bumi ini dengan selamat.

Kuberitahu kamu tentang gengku. Daffi adalah yang paling tua diantara kami.
Ketika aku menulis cerita ini, dia berumur sembilan belas tahun. Dia menderita
disleksia. Terdengar mustahil anak seperti dia ingin menjadi aktor tapi setidaknya ia
berharap. Tinggi Daffi sedang dan rambutnya sedikit panjang. Guru sering
memperingatinya untuk potong rambut tapi dia akan berkilah ‘Ini style saya, Pak.’.
Pada akhirnya guru-guru membiarkannya karena dia anak yang tak mau
mendengarkan. Bahkan mereka menumbuhkan rasa simpati padanya. Menjadi
disleksia tidak mudah. Bahkan kamu tak bisa membaca tanda kamar mandi cewek
atau cowok jika tak ada gambar yang menyertai. Daffi berusaha untuk membaca dan
menulis—sebagian karena dorongan dari kami, anggota geng. Dia lumayan berhasil.
Walau disleksia, dia belajar di sekolah umum dan tidak banyak kesulitan yang
ditemuinya. Dia sering mengandalkan kami—seperti meminjam catatan kami atau
meminta kami membacakan untuknya. Itu hampir tidak mungkin membuat seorang
Daffi duduk dan membaca—dia sering meninggalkan kelas dan kembali untuk
mengambil rekamannya. Dia memang cepat bosan. Tapi, dia tak pernah bosan
mengejar perempuan. Dia mungkin disleksia tapi perbendaharaan katanya cukup
banyak untuk merayu mereka. Mungkin itu yang terjadi jika kamu melihat terlalu
banyak film. Dia suka film. Dan, satu dua perempuan berhasil dibawanya ke pameran
malam jika dia sedang beruntung. Dia benar-benar seorang perayu jika tak mau
disebut playboy.

Ketika ingat dengan temanku Tabir—salah satu anggota geng kami—aku


membayangkan Suryo Agung Wibowo. Dia pelari yang ulung. Badannya tinggi dan
rambutnya berbentuk spike. Dia senang makan permen karet dan punya adik
perempuan yang dekat dengannya. Dia punya kata-kata ciri khas “Kegagalan awal
dari kesuksesan”. Dia yang paling keras kepala. Kau menghabiskan waktumu
berdebat dengannya selama berjam-jam dan menyadari bahwa argumenmu belum bisa
mengalahkan argumennya. Suatu kali dia pernah bertengkar dengan seorang barista.
Dia ingin mendapatkan dua kopi secara gratis dan dia berhasil mendapatkannya; dia
memesan satu kopi kesukaannya, mengatakan pada mereka itu tidak enak dan mereka
memberinya satu kopi lagi karena mereka merasa itu kesalahan mereka. Lalu, saat di
kasir, mereka mengatakan tak ada uang kecil untuk kembalian dari uang yang
diberikan Tabir, mereka kehabisan permen juga, jadi mereka memberikan Tabir satu
lagi kopi gratis. Anak cerdik itu. Dia pulang dengan perut penuh setelah mengonsumsi
tiga cangkir kopi favoritnya. Itu terdengar tidak masuk akal, tapi Tabir
mengatakannya sebegitu rupa sehingga masuk akal dan membuat orang-orang
mengikuti perkataannya.

Lain lagi dengan Jay--temanku yang lain dalam geng. Dia adik kandung Daffi.
Kamu tak bisa memisahkan mereka, mereka terikat satu sama lain. Dia mengagumi
Daffi sebanyak upaya Daffi melindunginya dari bahaya. Aku berpikir jika seseorang
benar-benar memisahkan mereka, mungkin mereka bisa gila. Aku berkata jujur. Jay
satu-satunya orang yang paling disayangi Daffi dan tak ada yang bisa mematahkan hal
itu, begitu pun sebaliknya.

Hanya sebagai pengingat, alasan mengapa harus mengikuti kata hati adalah orang
lain tak dapat melakukannya untukmu. Kamu harus berdiri tegak dan menghadapi
masa depanmu sendiri. Tak ada yang dapat memilih dan menjamin untukmu. Jika
melakukannya untuk orang lain maka kamu membohongi diri sendiri. Dan tak ada
siapapun yang mau dibohongi termasuk dirimu sendiri. Ketika ingat Bang Dael, aku
rasa ia membohongi diri sendiri. Dia seharusnya kuliah, tapi memilih untuk bekerja.
Aku tak tahu mana yang lebih baik. Saat ayah dan ibu masih hidup, aku tak
memikirkan hal-hal seperti ini. Namun, sejak ayah dan ibu meninggal, aku mulai
memikirkannya.

Kuberitahu kamu tentang Bang Dael. Dia punya tubuh tinggi dan kulit gelap.
Rambutnya ikal dan tebal. Dia tak mau berhenti mengomeli jika aku tak menyuruhnya
berhenti. Kadang kami bertengkar karena aku tak tahan jika ia mulai mengatur segala
tingkah lakuku. Jika aku pulang malam dia akan berteriak kemana saja aku dan
mengapa aku tak mengerjakan PR. Jika aku berdiam diri di rumah dia akan mengomel
mengapa aku tak bermain di luar dan membiarkan diriku bersenang-senang. Dia tak
pernah membiarkanku tenang. Bang Saga berkata Bang Dael melakukannya karena
peduli padaku dan karena aku anak bungsu. Tapi aku tak percaya itu. Bang Dael
melakukannya karena dia ingin.

Salah satu alasan mengapa aku bertahan adalah kegemaranku pada melukis. Bang
Saga tahu itu. Dia juga merupakan alasanku bertahan. Ketika orang lain tak mengerti
mengapa aku menghabiskan waktu berjam-jam mengunci diri di kamar dengan kuas
dan kanvasku, dia berkata “Biarin, itu dunianya”. Dia selalu memahamiku.
Kenyataannya, dia memahami semua orang. Itulah salah satu keunikkan kakak
keduaku. Entahlah…, sangat mudah baginya untuk melakukannya. Dia seperti
menyelam ke kedalamnya hati seseorang, menemukan apa yang benar-benar orang itu
rasakan. Dia ramah juga—tidak seperti Bang Dael. Dia selalu menghiburku saat aku
sedih dan membantuku untuk mengatasinya. Dia merupakan kakak terbaik.

Alasan kedua adalah gengku. Kamu bisa menemukan seorang teman pada diri
keluarga namun kamu juga bisa menemukan keluarga pada diri teman. Kami
menghadapi hidup ini bersama. Keuntungan punya geng adalah kamu bisa saling
bergantung pada satu sama lain. Namun, kadang geng lain mengajak kami
“Bersaing”. Kami melayani mereka. Tak ada patah tulang atau sebagainya sampai
suatu ketika sebelum aku menulis cerita ini.
Beberapa orang berkata menjadi anggota sebuah geng berarti kamu siap
menanggung kesulitan setiap anggota bersama-sama. Itu benar. Kami selalu saling
membantu. Ketika salah satu dari kami ada masalah, kami mengatasinya bersama.
Khususnya jika ada keterlibatan geng lain. Ketika salah satu anggota geng lain cari
gara-gara dengan Tabir karena ia dituduh merebut pacar ketua geng mereka, kami
membelanya habis-habisan. Tabir tidak melakukannya. Salah satu masalah dengan
perempuan adalah mereka selalu menggoda laki-laki yang lebih hebat dari pacar
mereka. Kami bertarung sebentar, tapi itu tak mengapa. Setidaknya harga diri kami
terselamatkan. Kami bertaruh banyak dengannya. Itu seperti kamu tak punya muka
jika tak menjunjungnya setinggi mungkin. Suatu kali, seorang perempuan berkata
padaku; “Ada apa dengan kalian para cowok, begitu bangga dengan harga diri
kalian?”. Tentu karena kami pemimpin. Kami pemimpin sejak lahir. Aku rasa semua
orang tahu itu.

Perkelahian antar geng sering terjadi di lingkunganku. Ada beberapa geng, tapi
dua yang paling terkenal. Pertama, geng Sander, yang dipimpin Bang Dael dengan
anggota aku, Bang Saga, Daffi, Tabir dan Jay. Kami mengambil nama geng dari nama
Aleksander Agung karena kami berharap menjadi hebat seperti dia, kamu tahu…
memenangkan pertarungan, hampir tak pernah kalah dan bangga dengan diri dan
pasukannya. Kami ditakuti oleh geng lain. Itu karena keberadaan Bang Dael. Walau
tak cepat marah, Bang Dael bisa dengan mudah membekukan siapa saja yang
mengganggu kami. Kadang aku sedikit takut padanya. Dia tak pernah memukulku—
tak ada satu pun anggota di keluargaku yang pernah. Namun, ketika ia mulai
menggerakkan rahang dan mengepalkan tangannya, aku tahu lebih baik bagi diriku
untuk diam dan tak memulai masalah.

Bang Saga, di sisi lain, nyaris tak pernah marah. Tapi, jika dipancing, dia agak
“Liar”. Kamu bisa membayangkannya seperti lilin. Dingin dan nyaman saat tak
menyala, namun panas serta melelehkan saat tersulut api. Dia bisa mengalahkan tiga
orang sekaligus—aku pernah melihatnya. Dia lebih tenang dari Bang Dael, tapi kamu
harus menjaga tingkahmu terhadapnya.

Ketika Bang Dael menganggap hidup ini keras, Daffi menganggap sebaliknya.
Menurutnya, hidup ini panggung besar dan ia memerankan peran di dalamnya. Saat
seseorang bertanya padanya, dia bisa menjawab dengan belasan jawaban yang tak
biasa. Dia paling berani di kelompok kami. Di umurnya yang sembilan belas tahun di
kelas satu SMA, dia tak berpikir lebih dewasa. Dia tak pernah tumbuh. Jiwanya akan
selalu muda.

Tabir adalah salah satu anak terkuat di geng kami. Orang-orang kadang
memanggilnya “Samson” karena dia bisa membanting musuhnya dengan sekali
gerakan. Di sisi lain, dia juga yang paling teguh pendirian. Dia terus memegang
prinsipnya seperti anjing yang menggigiti tulang. Banyak geng beranggapan dia wakil
Bang Dael. Ketika kami bermasalah dengan geng lain, dia maju dan melindungi kami.

Terakhir adalah Jay. Adik Daffi. Dia yang termuda kedua setelahku—umurnya
baru lima belas tahun. Semua anggota membelanya dan memperlakukannya sebagai
adik karena dia pendiam dan cukup pemalu. Jika anggota geng lain ada yang
menggangu Jay, dia telah membangunkan harimau tidur pada diri kami. Tak ada yang
boleh mengganggu Jay, itu salah satu prinsip kami.

Geng kedua yang akan aku beritahukan disini—geng Gorok—berbeda dengan


kami. Mereka kaya—bukan berarti lebih hebat dari kami. Mereka suka melukai leher
korban mereka hanya untuk bersenang-senang. Mereka dipimpin oleh Barik, salah
satu yang terkuat diantaranya. Mereka sama dengan kami menjunjung loyalitas antar
anggota geng. Pernah suatu kali aku mengetahui mereka melumpuhkan sebuah geng
hanya karena masalah sepele: ejekan. Kami adalah rival mereka. Maksudku,
bukannya kami senang cari gara-gara dengan mereka, merekalah yang suka memicu
perkelahian. Mereka melakukannya tanpa alasan, seperti saat merundung anggota
geng lain, atau mengajak berkelahi geng yang mereka anggap mencoba lebih hebat
dari mereka. Aku tahu mereka menganggap kami lawan yang sepadan karena ada
Bang Dael, Daffi dan Tabir di geng kami. Mereka bertiga disegani karena
ketangguhannya. Aku tak mencoba berkata bahwa hanya mereka bertiga, hanya saja
mereka andalan kelompok kami. Aku tak kalah tangguh, Jay juga gesit dan begitu
pula Bang Saga yang terkenal melumpuhkan orang dengan dua kali gerakan. Waktu
aku menulis ini, betapa aku merasakan saat itu kami begitu bangga dengan diri dan
geng kami, terutama nama baik kami diantara geng-geng lain.

Beberapa kali, bukan, sering kali geng Gorok cari masalah dengan kami.
Entahlah, mereka melakukannya hanya demi kesenangan—sepertinya kekayaan
mereka tak cukup memberikan mereka kesenangan. Mereka sekolah di SMA Gatot,
SMA prestise di kota kami. Walau kami bersekolah di SMA Wagub—SMA kalangan
ekonomi menengah ke bawah—kami tak rendah diri. Nyatanya, sekolah kami juga
menghasilkan siswa berprestasi nyaris sama jumlahnya dengan yang dihasilkan SMA
Gatot. Bahkan kebanyakan dari kami membiayai uang sekolah sendiri tanpa
bergantung pada orang tua seperti yang dilakukan anak-anak SMA Gatot.
Kebanyakan dari kami anak-anak kurang mampu—kamu bisa menyebutnya sebagai
marjinal. Sebenarnya itu salah satu julukan yang kami benci. Jika seorang anak-anak
dari SMA Wagub sedang berjalan di tengah kota dan anak SMA Gatot melihatnya,
biasanya mereka memanggil anak itu “Marjinal!”. Itu terdengar sangat tidak pantas
tapi kami sudah terbiasa mendengarnya. Aku sendiri beberapa kali dipanggil seperti
itu. Kadang jika di tempat sepi mereka juga berani menyerang kami. Jay pernah
mengalaminya.

Waktu itu aku dan Bang Saga sedang berjalan berdua sepulang dari sekolah.
Jarak rumah kami dekat dengan sekolah sehingga cukup dengan jalan kaki.
Kemudian, ketika kami berjalan, kami melihat sebuah topi SMA Wagub yang penuh
darah tergeletak di jalan raya. Segera saja Bang Saga berlari dan memungutnya.

Kami berjalan mengikuti darah itu sampai ke belokan kecil depan pekarangan.
Kemudian kami melihatnya, seorang anak berseragam SMA Wagub tergeletak
diantara batu-batu bata. Kami langsung mengetahui siapa itu setelah melihatnya
cukup dekat. Itu Jay. Jay kami.

Jay saat itu tidak begerak sedikit pun. Darah mengalir dari pelipis sampai
dagunya. Bang Saga melepas dasi dan berusaha menghentikan darah yang mengucur.
Aku tak pernah melihat temanku sebegitu parahnya. Kurasakan mual di perutku.

Satu-satunya yang terpikir olehku adalah Jay telah mati. Aku mulai gemetar dan
merasakan keringat dingin mengalir di tengkukku. Tapi kemudian, setelah kami
berusaha menyadarkannya, Jay membuka matanya perlahan. Dia melihat kami dan
badannya mulai gemetar.

Jay mulai mengeluarkan suara isakan. Aku sedikit syok saat itu. Tak ada satu pun
anak di gengku yang pernah menangis. Tapi, kali ini berbeda. Jay pasti terisak karena
hal itu benar-benar menghantamnya secara fisik dan mental. Aku akan menghajarnya.
Aku akan mencari orang yang melakukan ini pada Jay dan menghajar kepalanya!
Itu adalah Barik. Dia yang melakukan ini bersama gengnya. Jay berkata Barik
memakai dua cincin pada jarinya—membuat wajah Jay penuh luka. Bang Saga
menyumpah. Tak ada yang boleh menyakiti Jay. Kami membiarkan Jay menenangkan
diri sampai ia sanggup kami antarkan ke rumah.

Itu bukan pertama kali sebenarnya. Banyak dari kami, siswa SMA Wagub,
pernah mengalami perlakuan buruk dari siswa SMA Gatot. Banyak versi.
Perundungan, pemerasan—bahkan mereka tau kalau kami tak punya uang—
pengeroyokan, kamu bisa menyebutnya satu per satu. Itu bagai siklus yang tak pernah
berhenti.

Bukannya kami tak melawan. Kami melawan sebisa mungkin—mempertahankan


teritori kami. Tapi siswa-siswa SMA Gatot memiliki segalanya—kekuasaan, uang.
Sangat sulit mengalahkan golongan yang punya otoritas. Tak ada satu pun dari kami
yang bisa benar-benar mengalahkan mereka. Seringkali kami kalah jumlah, karena
SMA Gatot memilik siswa lebih banyak. Mereka dengan senang hati menginjak-
nginjak harga diri kami dan mengeluarkan kata-kata tak pantas yang membuat telinga
kami memerah. Dan jika salah seorang dari kami tertangkap mencoba melawan,
mereka dengan licik melibatkan keluarga untuk mengatasinya. Mereka senang
menyelesaikan segala sesuatu dengan uang; seperti cara mereka menghambur-
hamburkannya untuk mendapatkan para gadis atau menggunakannya untuk berpesta
dua kali dalam sebulan di rumah mereka yang bagai istana. Mereka tak akan
menghargai uang sampai mereka kehilangannya--dan mereka tak pernah
kehilangannya. Aku sudah cukup muak dengan perundungan yang dilakukan mereka
namun aku lebih muak dengan cara mereka mendapatkan apapun dengan uang.
Bukannya aku iri. Aku hanya merasa itu sangat tidak bermoral.

Keluarga-keluarga SMA Gatot memiliki kota. Mereka tinggal di wilayah barat


sedangkan kami di wilayah timur. Rumah-rumah besar berjejer di sana, kadang
dihiasi dengan dua atau tiga mobil. Mereka memiliki semuanya, perusahaan keluarga,
toko-toko, bangunan, kamu tinggal menyebutnya. Aku tak berkata mereka lebih baik
dari kami, karena materi bukan tolak ukur segala sesuatu, hanya saja mereka berada di
puncak kekuasaan yaitu di dunia yang menjadikan materi sebagai pengendali
kehidupan.
Ketika gengku yang lain tau apa yang baru saja dialami oleh Jay, mereka tau
mereka harus memberi pelajaran pada pelakunya. Kami berdebat cukup panjang. Aku,
Tabir dan Daffi percaya kami harus melawan. Apalagi Daffi. Jay adalah adiknya dan
tak ada yang boleh merundungnya atau akan diburu oleh Daffi. Lagipula, maksudku,
siapa yang berani memukul Jay? Dia anggota kami yang paling polos dan tak seorang
pun berani menyentuhnya jika tak mau berurusan dengan kami. Bang Saga percaya
bahwa seharusnya kami membiarkan itu berlalu. Ia berkata, melawan geng Gorok
akan membuat segala sesuatu tambah runyam.

Bang Dael, disisi lain, ingin agar orangtua geng Gorok mengetahui perilaku anak-
anak mereka. Tentu saja aku dan Bang Saga tak setuju. Itu bisa mengancam kami
berdua. Orangtua-orangtua itu akan menuntut aku dan Bang Saga untuk tinggal di
rumah yatim piatu dan menjadikan kami berpisah. Kami telah mendapatkan surat dari
ketua RT yang menyatakan hal serupa. Bang Dael—yang umurnya sudah cukup tua—
harus menyerahkan kami ke rumah yatim piatu jika ternyata ia tak sanggup merawat
kami. Orangtua para anggota geng itu bisa saja mengancam kami dengan kenyataan
tersebut.

Tak mudah, kamu tahu, membiarkan semua ini berlalu begitu saja. Aku merasa
harus melakukan sesuatu atas kejadian yang menimpa Jay—bukannya berdiam diri
dan membiarkan mereka berpikir bahwa kami tak cukup mampu untuk melawan.
Tapi, kembali lagi, berusaha menjaga perdamaian adalah salah satu prinsip geng
kami. Jadi, kami membiarkannya—untuk sementara.

“Lo mau lihat film di bioskop malam ini? Gue ngajak Jay, kita bersenang-senang
malam ini, oke? Gue yang bayar” Daffi meregangkan tubuhnya dan menoleh
kepadaku.

Aku menghela napas dan berbisik. “Jangan keras-keras Daf, lo pengin Pak
Wendy datang dan memukul kita?”

Kami berdua menoleh ke arah Pak Wendy yang sedang menjelaskan di depan—
dia tampak serius menerangkan dan tak peduli dengan sekitarnya. Itu masalah
beberapa guru, mereka seakan tak mengerti bahwa mereka tak membuat kami paham
dengan pelajaran mereka. Walaupun gaji kecil dan pakaian kesempitan mereka
membuatku simpati, tapi aku merasa kami perlu pendidikan yang layak juga.
Aku berpikir sebentar. Lalu memutuskan untuk ikut saja karena film bukan hal
yang buruk.

.“Ya, gue rasa gue ikut.” aku menjawab dengan suara pelan.

Kriiingg! Bel pulang berbunyi sebelum kami berpisah dan aku segera menuju
ruang seni. Lukisan yang akan kuikutsertakan untuk lomba yang harus kuselesaikan
seperempatnya maksimal hingga sore. Pak Rizal berkata aku harus segera
menyelesaikannya dan seperti yang kukatakan sebelumnya, beliau akan
mengajukannya ke lomba lukisan di kota—jika aku beruntung lukisanku akan di
pajang di sana dan membawa pulang delapan juta ke rumah.

Menyenangkan kamu tahu, berada di ruang seni. Semua yang dapat kamu cium
adalah wangi cat dan minyak serta semua yang kamu dengar adalah suara yang
membisikkan “Kamu bisa, kamu seorang master”. Satu-satunya yang paling aku
banggakan adalah kemampuanku melukis. Biasanya juga bagaimana aku menang
dalam pertarungan tapi itu kasus lain. Di ruang seni, yang bisa aku lakukan adalah
duduk dan asyik dengan pikiran serta imajinasiku. Itu hal paling menyenangkan di
dunia.

Bau cat dan minyak sudah aku cium sejak kecil. Aku tumbuh dengan seorang
ayah yang pintar melukis juga. Ayahku hebat dalam melukis, beliau bisa melukis
dengan tangan kiri juga. Tapi kemudian, beliau dan ibu meninggal dan tinggal hari-
hariku yang gelap tanpa mereka. Aku rindu mereka.
BAB 3

Jam di ruang seni telah menunjukkan pukul lima sore dan aku harus bersiap
pulang atau Bang Dael akan memarahiku karena pulang terlambat. Aku bukannya
berkata diriku ingin dikontrol olehnya, namun sejak ayah dan ibu meninggal Bang
Dael seakan tak dapat menahan mulutnya untuk tidak memarahiku. Dia pasti
kecapaian pulang dari kerja dan berusaha untuk menemukan seseorang untuk
dijadikan pelampiasan. Tentunya bukan Bang Saga karena dia menyenangkan dan
semua orang menyukainya. Aku sedikit heran mengapa Bang Dael tak memarahi
Bang Saga sebanyak ia memarahiku. Bukannya aku ingin Bang Saga dimarahi hanya
rasanya lelah saat seseorang berteriak padamu setiap waktu.

Aku keluar dari ruang seni dan melangkah pelan menuju gerbang sekolah.
Gerbang hampir di tutup—biasanya memang sekolah tutup jam lima sore karena
beberapa anak masih sibuk dengan kegiatan ekskul mereka. Suasana sudah sepi,
kurasa aku yang paling terakhir. Aku melambaikan tangan kepada satpam dan
berjalan meninggalkan sekolah.

Aku suka—keramaian kota yang kumaksud. Kamu bisa melihat berbagai wajah
dan berbagai ekspresi saat berjalan pelan di trotoar. Seorang wanita gemuk yang
berjalan cepat sambil sesekali melihat jam tangannya, seorang remaja laki-laki yang
serius memperbaiki motornya dan dua gadis kembar yang terkikik di balik majalah
yang mereka bawa. Semua kreasi Tuhan. Kamu menemukan seni dari kehidupan
sehari-hari. Ekspresi merupakan seni—beberapa pelukis menggunakannya untuk
mencari uang. Yang kutekankan di sini adalah hidupmu tak pernah bosan jika
menghargai seni ciptaan-Nya.

Aku sudah hampir sampai rumah—tinggal memasuki sebuah gang kecil dan
berjalan sekitar beberapa meter lagi. Kemudian, aku menyadari tiga motor meraung
dan menuju ke arahku. Tiga motor yang di kendarai siswa SMA Gatot—aku tahu
wajah-wajah itu, mereka pernah terlibat tawuran denganku dan teman sekolahku. Aku
mencoba mempercepat langkah, berharap mereka melepaskanku. Namun, kutahu itu
sia-sia saja. Aku adalah tujuan mereka. Mereka mulai berteriak ‘Marjinal!’ dan
semakin dekat menuju ke arahku. Aku mulai berlari masuk gang dan kemudian
menyadari itu perbuatan bodoh. Cepat saja mereka menghentikan motor di depan
gang dan berlari mengejarku. Salah satu dari mereka berhasil memegang baju
seragamku yang bagian belakang dan menghempaskanku ke tanah.

“Hei, marjinal… lo punya leher mulus kayak bokong bayi. Sayang banget kalau
nggak diapa-apain. Gimana kalau kita bantu kasih tattoo di situ biar keren kayak
punya kita.” Tawa menyeringai langsung menyahutnya dan tanpa sempat kusadari
mereka menghampiriku dengan serentak. Terlambat bagiku untuk kaget sampai salah
satu dari mereka yang berambut jambul menduduki tubuhku sedangkan yang lain
mengeluarkan pisau lipat dari saku celananya. Kepalaku mulai terasa pusing dan
kamu gila jika saat orang mendudukimu di tanah dan tak merasa kesakitan. Mereka
memojokkanku dengan mudah seperti melakukan suatu kebiasaan. Ketiganya tertawa
terbahak-bahak saat salah satu diantara mereka mendekatkan pisau itu ke leherku.
Aku mencoba berteriak sekeras mungkin, memanggil siapapun, Bang Dael, Bang
Saga, berharap mereka mendengar dari rumah. Aku takut anak-anak ini benar-benar
menggorok leherku dan bahkan aku tak sempat mengucapkan selamat tinggal pada
siapapun.

Kemudian, sebuah suara motor dari ujung gang satunya terdengar—aku


merasakan adanya harapan. Derap langkah mendekat. Beberapa detik kemudian aku
baru menyadari bahwa itu Bang Dael dan Bang Saga. Mereka memukul ketiga anak-
anak itu, membanting mereka ke atas dan ke bawah. Ketiga anak itu berdiri dan kabur
ke arah motor mereka sambil menyumpah. Aku mencoba untuk tidak gemetar saat
Bang Dael dan Bang Saga berlari ke arahku setelah mencoba mengejar ketiga motor
yang melesat pergi itu.

“Lo baik-baik aja?!” Bang Dael mengguncangkan bahuku sampai aku bertambah
pusing dan merasa ingin muntah.

“Hentikan Dael, lo bikin dia makin pusing.” Bang Saga berkata dan berlutut di
samping Bang Dael. “Lo nggak apa-apa, Paki?”

Telapak tanganku berkeringat dan aku bernapas dengan berat. Aku berusaha
untuk mengangguk.

Bang Saga melepas kaosnya dan menempelkannya ke leherku dengan perlahan.


“Mereka berhasil bikin lo berdarah?”

“Ohya?”

“Lihat,” Bang Saga mengulurkan kaosnya kepadaku. Ada sedikit darah di kain
itu. “Lo terluka seperti korban perang, Ki”

“Ya…, aku rasa mereka ngelakuinnya”

Bang Dael berdiri dan berteriak, “Lo bodoh apa?! Seharusnya lo pulang bareng
Saga dan kejadian ini nggak bakal terjadi!”

“Dael…, Paki hanya harus nyelesein lukisannya…, lo kan tahu… dia….”

“Diam lo!” Bang Dael menoleh ke arah Bang Saga. “Jangan nyela gue saat gue
nasihatin adik gue!”

Bang Saga menjulurkan lidahnya ketika Bang Dael berbalik dan berjalan dengan
gusar ke arah motor. “Tapi, dia adik gue juga tau!”

Aku tak mendengar lagi perdebatan mereka karena pikiranku penuh dengan
bayangan ketika Bang Dael berteriak kepadaku. Dia ingin melakukannya, aku tahu
dia ingin. Dia hanya tak ingin aku lepas dari kemarahannya.

“Lo ikut nggak, Paki?” Bang Saga berkata padaku dari kejauhan. Bang Dael
menyalakan motor dan tak membuka mulutnya lagi.
Aku bangkit dan berjalan perlahan ke arah mereka. Kami naik motor bertiga dan
pulang ke rumah.

***

Kami melewati bulan-bulan yang buruk, aku tahu, tapi bukan berarti Bang Dael
berhak memarahiku kapan saja. Aku tahu ia berusaha menemukan kesalahanku, walau
Bang Saga berkata dia hanya ingin menjauhkanku dari masalah. Bang Dael bukan
ayah dan tak berhak mengaturku. Bahkan ayah sendiri tak mengaturku. Ayah selalu
membiarkan apa yang kulakukan. Ayahku memang berperilaku seperti belasan tahun
dibanding umur sebenarnya; empat puluhan. Beliau selalu menganggapku sebagai
teman sepantaran dan aku suka diperlakukan seperti itu. Kami memancing sesekali—
jika aku sedang tak sibuk—atau berenang di kolam pemandian umum tanpa khawatir.
Beliau orang yang tak pernah sedih dan selalu tertawa. Tapi, beliau selalu tegas jika
itu menyangkut pendidikanku. Beliau selalu mengajakku kemanapun asalkan PR-ku
sudah selesai. Tapi, Bang Dael berbeda, dia tak pernah bersenang-senang lagi
denganku sejak orangtua kami meninggal dan satu-satunya yang ia lakukan padaku
adalah berteriak jika PR-ku belum selesai.

“Lo tau Dael nggak sungguh-sungguh teriak ke lo…, dia peduli ke lo Paki…, lo
aja yang nggak nyadar,” Bang Saga berkata di sofa ruang tamu sambil menonton
tayangan kuis di TV. Bang Dael sedang kerja, biasanya ia pulang tengah malam. Aku
tak peduli apa yang dia lakukan.

“Tentu saja…,” aku berusaha terdengar tidak sinis demi Bang Saga. Bang Saga
seringkali menuruti perkataan Bang Dael dan terlihat begitu percaya padanya. Aku
berusaha tidak membuatnya khawatir. Banyak sekali pertengkaran antara aku dan
Bang Dael dan itu membawa hawa panas dalam rumah. Bang Saga sepertinya mulai
khawatir kami tak akan akur. Dia seperti “Orang tengah” yang mendamaikan kami.
Aku tahu kami memberinya waktu yang berat tapi aku hanya tak bisa menghadapi
Bang Dael. Dia begitu kaku dan keras.

“Paki…,” Bang Saga menekan jempolnya ke kaleng soda di tangannya lalu


menoleh kepadaku dengan sebuah seringai khasnya. “Gue rasa gue bakal nikahin
Riana….”
Bang Saga orang yang bertanggungjawab. Aku yakin dia tak akan menyia-
nyiakan pacarnya itu. “Bagus, aku rasa kalian cocok. Dia cewek baik.”

Bang Saga menekan tombol remote dan berkata, “Dia begitu cantik dan
sempurna, gue yakin nggak bakal nemuin cewek lain seperti dia.”

“Gue bahagia buat kalian.”

“Thanks, Ki”

Namun, gurat sedih muncul di wajah Bang Saga. Aku tahu ekspresinya itu.
Sesuatu sedang mengganggu pikirannya. Itu sangat susah menemukan sesuatu yang
mengganggu pikiran Bang Saga karena dia selalu merasa bahagia dengan hidupnya
bahkan membuat orang lain bahagia juga. Tapi, kemudian kurasa ada sesuatu yang
mengganjal pikirannya saat itu.

“Tapi, gue nggak yakin…, dengan semua kesusahan kita…, gue masih SMA dan
masih harus kerja sambilan buat ngebantu Dael…, semua terasa sulit, ini bisa makin
buruk.”

Bang Saga benar. Kami tak punya banyak pilihan. Apa yang kami lakukan hanya
bekerja—kadang aku kerja serabutan di hari minggu hanya untuk mendapatkan
beberapa lembar uang. Segala sesuatunya terasa berat semenjak ayah dan ibu tak ada.
Kami tak punya apapun dan yang kami lakukan hanya saling bergantung satu sama
lain.

Aku ingat saat ayah dan ibu masih ada. Kami seakan tak memikirkan kesulitan
apapun. Semua orang bahagia dan saling menyayangi. Kami tak khawatir tentang
uang, tentang makanan, hanya memikirkan sekolah. Ayahku berusaha menjauhkan
kami dari masalah keuangan agar kami fokus sekolah. Beliau bekerja keras dan
sesekali mengajak kami berlibur di waktu senggang. Jika mengingatnya betapa dulu
aku dan saudara-saudaraku begitu beruntung dan memiliki segalanya.

Bang Saga menyentuh bahuku, menyadarkanku dari lamunan. “Jangan


ngawatirin uang, Paki. Kami bakal ngusahain buat lo. Lo bakal pergi kuliah. Lo
harapan kami. Lo masih yang paling pintar di kelas bukan?”

Itu yang aku khawatirkan. Mereka berharap banyak padaku. Namun, masih
banyak hal yang ingin aku lakukan dan coba. Tapi, aku tak ingin mengecewakan
orang-orang yang berharap padaku. Aku juga khawatir dengan kuliah. Aku tak yakin
ada universitas yang menerimaku semenjak kami kekurangan uang. Biaya pangkal
masuknya saja bisa seharga dua motor--kami sendiri bahkan kesulitan membeli bahan
bakarnya. Mungkin aku tidak melanjutkan kuliah dan bekerja seperti Bang Dael.
Bahkan mulai terpikir olehku aku akan menjadi seperti Bang Dael yang keras dan
kaku. Mungkin aku akan menemukan jawabannya nanti.

“Sudah pukul setengah delapan malam…,” aku bangkit dari sofa. “Aku harus
nungguin Daffi dan Jay di Gang Palem atau mereka ninggalin aku buat bersenang-
senang. Abang ikut nggak? Kita bakal nonton film di bioskop.”

“Nggak, gue pengin nunggu Dael pulang. Gue janji mijatin dia waktu dia pulang
kerja nanti.”

“Abang nitip sesuatu? Aku bisa beliin buat Abang nanti.”

“Nggak.”

Aku berjalan ke kamar, menyisir rambut dan keluar rumah.

“Cepetan pulang abis nonton! Jangan pulang lebih dari jam sebelas malam! ”
Bang Saga berteriak dari pintu rumah kami.

Aku balas berteriak untuk meyakinkannya kalau aku akan pulang cepat. Tapi,
ternyata kita hanya bisa berharap dan Tuhan yang menentukan. Aku tak pulang cepat
malam itu.
BIODATA SINGKAT

Nama : Nadia Amalia

TTL : Blitar, 14 April 1996

Alamat : Jl. Sidodadi No 58C, RT 05/RW 01 Desa Panggungrejo, Kec.


Kepanjen, Kab. Malang

Pendidikan : D3 Akuntansi STAN

Telp : 081217705403

Anda mungkin juga menyukai