My Ex Boss) Tidak ada perasaan yang salah. Hanya saja kita yang terlalu berharap pada orang yang salah.
Unknown
“Lain kali kamu harus memahami
mana yang lebih penting dibanding bersikap sok ramah di telepon.”
Nidya terkesiap. Apa yang Panji
maksud dengan ‘sok ramah’?
Kenapa Panji bisa setega itu
mengatai Nidya sok ramah?
Nidya menggigit bibirnya dan mati-
matian untuk menahan tangisnya yang seolah ingin pecah karena disebut begitu oleh atasannya sendiri. Memangnya dia salah apa? Dia ini kan sedang membantu Panji agar tetap bersih imagenya sebab keterlambatan adalah hal yang paling fatal di dunia kerja.
Tapi sepertinya bad mood Panji
telah menyebabkan pria itu tidak bisa bersikap profesional pada rekan kerjanya sendiri.
///
Bad mood Panji semakin menjadi-
jadi. Dia jadi tidak pulang ke rumah beralasan lembur padahal Satya tahu kalau tidak ada pekerjaan yang harus dilakukan secepatnya sampai menyita waktu istirahat anaknya itu. Tapi pria itu mengiyakan saja saat Panji meminta izin menggunakan apartemen yang dulu di tinggali juga ketika muda. Dia tahu sekali anaknya sedang ada masalah, dan sebaiknya memang memberi waktu sendiri karena dengan itu juga tidak membuat mamanya khawatir.
Jane sudah mempertanyakan wajah
anaknya yang selalu murung tiap sampai di rumah. Skip sarapan juga, tapi Satya cuma bisa mengatakan kalau memang ada lembur dan tekanan Panji di kantor pasti menyebabkan moodnya naik turun. Jane percaya saja walau instingnya sebagai ibu pasti menjawab bukan demikian alasan sebenarnya.
Satya cuma ingin menghindari Jane
terlalu banyak pikiran. Karena pasti akan berdampak pada nafsu makan istrinya itu lalu berakibat asam lambungnya naik dan sering merasakan sesak napas efek dari pencernaannya yang tidak sehat.
“Elo tumben banget mau gabung.”
Arav, teman Panji menyapa dari tempatnya yang berada di tengah himpitan dua perempuan dengan pakaian terbuka.
“Suntuk.” Jawab Panji singkat. Lalu
dia duduk di samping Ian yang kini sedang bercumbu dengan seorang perempuan yang pasti bukan kekasih pria itu.
Ian melepaskan diri dari
cumbuannnya dengan perempuan bernama Miranda yang menjadi partnernya tadi saat berada di floor untuk menikmati musik DJ yang kebetulan hari ini terasa sangat enak di dengar di telinga. Dan bukan musik yang cuma sekadar di remix lalu si DJ malah asik sendiri, sementara pendengarnya merasa pusing mendengarnya.
“Masalah apa nih, bapak manajer?
Mau satu atau dua cewek?” tanya Ian lalu memberikan gelas berjenis Old Fashioned. Gelas yang digunakan untuk menyajikan minuman kerasdistilasi (spirit) dengan es.
Ian mengisi gelas itu dengan whisky
kemudian ditambahi dua buah es batu yang memberikan efek bunyi ketika dimasukan ke dalam gelas. Salah saut minuman beralkohol yang mampu membuat Panji mabuk hanya dalam 5 gelas kecil.
“Elo mau mabok, kan?” tanya Ian
kemudian dijawab dengan anggukkan oleh Panji.
Panji langusng meminum whisky
itu tanpa mempertimbangkan bagaimana keadaannya nanti. Yang jelas dia ingin mabuk, dan sepertinya baik Arav atau Ian sudah mengerti keadaan Panji yang cuma ingin minum dan melupakan sejenak masalahnya.
Ian sendiri kemudian
memanggilkan salah satu wanita yang dia kenal bekerja di klub ini. Wanita yang sudah sejak lama menyukai Panji juga tapi tidak pernah digubris oleh Panji.
“Temenin tuh temen gue.” Kata Ian
diakhiri kedipan mata.
Vivian, nama perempuan itu
kemudian tersenyum lebar dan segera duduk di sebelah Panji tanpa protes. Sudah cukup lama dia tidak bertemu dengan Panji. Selain karena Panji tidak tertarik padanya, juga karena pria yang disukainya ini menempuh pendidikan di negara tetangga, Singapura. Tapi setelah pulang ke Indonesia pun Panji jarang main ke klub karena sibuk dengan pekerjaannya.
Vivian menyandarkan kepalanya di
bahu Panji. Sedangkan Panji sedang memejamkan mata setelah menghabiskan satu gelas whisky yang belum mempengaruhi kesadarannya tapi saat ini dia sedang meresapi rasa minuman itu dan mengenyahkan pikiran tentang pertunangan kakaknya, Jasmine bersama Nolan yang sudah disetujui oleh kedua keluarga. Dan pertunangan itu akan dilakukan satu setengah bulan nanti, mencocokkan dengan jadwal kerja keduanya yang sangat sibuk.
“Panji...,” Vivian bergumam sambil
menatap wajah Panji dari posisinya. Tapi yang dia lihat hanya rahang tegas pria itu.
Tangan Vivian bergerak mengusap
rahang Panji tapi ketika baru mengenai bagian dagu pria itu, tnagannya sudah ditahan. Lalu matanya bertemu pandang dengan Panji yang menatapnya tajam.
“Jangan menyentuhku. Ini bukan
waktu yang tepat.” Kata Panji dengan dingin, menunjukkan penolakkannya yang akan disentuh wanita bernama Vivian.
Ian dan Arav melihat itu dalam
diam, mereka juga merasa waspada di tempatnya. Vivian sangat salah karena menyentuh Panji begitu karena Ian sudah mengatakan kalau Panji tidak suka dengan sentuhan menggoda begitu. Apalagi mood temannya itu sedang berantakan, bisa duduk di samping Panji bahkan bisa berdempetan dan menyandarkan kepala di bahu Panji saja sudah termasuk hal langka.
“O-okey. Sorry.”
Vivian segera menjauhkan
tangannya dari bagian wajah Panji. Dia kini hanya sekadar menyandarkan kepalanya di bahu Panji. Lagi pula Panji juga tidak menolaknya.
“Kerjaan mule banyak, bro?” Arav
inisiatif bertanya.
Panji menggelengkan kepalanya.
Dia kembali memejamkan matanya.
“Masalah besar lain?”
Panji pernah tidak sengaja
membeberkan kalau dia mencintai wanita yang tidak mungkin bisa dia dapatkan ketika mabuk setahun silam. Waktu itu Panji kelihatan sangat marah dan menghabiskan sebotol whisky untuk dia sendiri sampai tidak menyadari apa yang dia keluarkan dari mulutnya.
Selama ini Ian dan Arav tahu kalau
untuk masalah akademis Panji tidak pernah mengeluh atau merasa stres. Jadi sepertinya kali ini pun memang bukan masalah pekerjaan dan bisa saja ini masalah yang sama seperti setahun lalu.
Karena wanita.
Dan bisa saja karena wanita yang
sama.
///
Ian dan Arav tidak tahu harus
bagaimana menghadapi Panji yang tiba-tiba mengamuk setelah kesadarannya hilang. Tadi juga Panji memarahi seseorang yang ada di telepon, orang itu disuruh untuk menjemput Panji. Tapi lebih tepatnya Panji memaksa orang itu.
Kedua teman Panji itu baru tahu
siapa yang diminta menjemput setelah mereka berdua memapah Panji keluar dari klub. Dan ternyata orang itu adalah wanita. Wanita yang kelihatan tidak pernah menginjakan kaki di dalam tempat yang katanya laknat. Wajahnya lugu, manis dan telrihat sangat mirip dengan tipe wanita Panji.
Satu lagi, mereka merasa familiar
dengan wajah itu tapi lupa kapan mereka pernah bertemu.
“Kamu bawa mobil Panji kemari?”
tanya Arav pada seorang wanita dengan rambut yang diikat bun, kaus longgar warna putih, jeans warna biru pudar lalu sandal jepit.
Ulangi, SANDAL JEPIT.
Hal yang sangat langka untuk
digunakan perempuan bila keluar rumah apalagi ini akan ke klub.
Wow. Batin Arav takjub.
“Iya. Benar. Saya tadi sore pulang
menggunakan mobil Pak Panji. Dan saya diminta untuk menjemput beliau.”
“Nama kamu siapa?” kini Ian yang
bertanya, dia dan Arav masih memapah Panji yang sejak tadi tidak berhenti menggumam sampai membuat telinga mereka berdua berdenging.
“Saya Nidya.”
“Oh.. sepertinya kamu yang jadi
asisten Panji, benar?”
Nidya segera menganggukan
kepalanya. “Benar. Jadi apa saya bisa membawa Pak Panji untuk pulang?” kata Nidya sembari melihat Panji, atasannya dengan miris.
Ian dan Arav saling berpandangan.
Mereka tentu tidak setuju kalau Nidya yang seorang perempuan harus mengatasi Panji dalam keadaan mabuk begini.
“Nggak. Nanti biar gue sama Ian
yang urus.” Tolak Arav.
“Tapi, Pak. Saya takut Pak Panji
akan marahin saya nanti.”
Nidya tidak mau kena imbas
dimarahi seperti beberapa hari ini. Tadi saja waktu Panji meneleponnya untuk minta jemput, nada suaranya menunjukkan emosi yang sedang meluap.
“Nggak usah mikirin itu. Nanti elo
ikut juga masuk ke mobil terus gue anter pulang.” Kata Arav yang disetujui oleh Ian.
“Tapi—“
“Sstt! Cewek harusnya keluar
malem ditemenin, ini temen kita lagi gendeng aja sampe nelpon elo. Maafin, ya... besok gue bakal tuntut ganti rugi ke dia. Tenang aja.” Ian ikut menimpali.
Panji kemudian dipapah masuk ke
dalam mobilnya sendiri, Arav mengambil alih kemudi sedangkan Nidya duduk di sebelah Arav. Ian mengemudikan mobilnya sendiri karena dia dan Arav memang berangkat menggunakan satu mobil.
Selama perjalanan Nidya memilih
untuk diam dan menekuri ponselnya. Berbalas pesan dengan pacarnya, Arya yang untungnya percaya kalau dia berada di dalam kost. Semoga saja Arya tidak bertanya pada tetangga kostnya, Tasya. Atau sebaiknya dia juga harus menghubungi Tasya untuk meminta kerjasama.
“Kita anter dulu Panji ke
apartemennya, nanti kita gantian anter elo. Oke?”
Mereka sudah sampai di tempat
parkir gedung apartemen Panji. Ian juga menyusul beberapa menit kemudian dan bergegas membantu Arav untuk memapah Panji yang masih saja tidak berhenti bicara banyak hal. Nidya sampai tidak enak karena tadi dia mendengar kalau Panji sedang mencintai seseorang yang akan bertunangan dengan orang lain.
Miris sekali, sepertinya cinta
atasaanya ini tidak berjalan mulus meski gosipnya dia punya julukan melekat sebagai playboy.
Panji di rebahkan di kasurnya
setelah masuk ke apartemen menggunakan kartu yang ada di saku Panji, untungnya bukan menggunakan PIN. Bisa jadi masalah kalau sampai harus di antar ke rumah orang tuanya, mereka pasti akan khawatir melihat Panji begini.
“Ya udah, kita sekarang balik.” Kata
Ian setelah menyelimuti tubuh Panji.
Nidya yang sudah akan melangkah
tiba-tiba berhenti karena tangannya di tarik dan itu dilakukan oleh Panji.
“Pak, lepaskan.” Nidya mencoba
melepaskan tangannya dari Panji tapi tidak bisa.
Ian dan Arav kembali masuk ke
dalam kamar Panji karena merasa kehilangan Nidya di belakang mereka. Mereka segera memisahkan Panji yang sudah dalam keadaan kacau dari Nidya.
“Sorry, Panji pasti kacau banget.
Jadi sebaiknya kita pulang. Biar Ian yang jaga di sini.”
Ian mengangguk, dia tidak bisa
membiarkan Panji dalam keadan begini meski dia besok pagi harus terbang ke Medan karena pekerjaannya. Dan tentu Nidya yang kelihatannya sangat polos tidak cocok untuk menemani Panji meski wanita itu adalah asisten Panji.