Anda di halaman 1dari 125

“ taruh aja yang itu disana “, suara itu memenuhi pendengaran Raina.

Waktu tidur
siangnya terganggu dengan sempurna karena suara ribut-ribut itu. Padahalkan, jarang-jarang
Raina bisa tidur siang dirumah. Sekalinya bisa tidur kok ada aja halangannya.

Raina bangkit dari tidurnya. Duduk malas ditempat tidur yang besar itu. Menatap sinar
matahari sore yang terlihat terik diluar. Perkiraan Raina ini masih sekitaran jam 3, dan dia
baru tidur sekitar 30 menitan? Pantas saja jika kepala Raina sekarang agak pusing.

“ duh hati-hati atuh Mas. Jangan sampe nyenggol itu foto, ntar anak bungsu saya ngamuk-
ngamuk lagi “, suara Bunda memekakan telinga Raina. Kenapa pula namanya disebut-sebut
tadi?

Penasaran, Raina segera keluar dari kamar. Menuruni tangga dengan perasaan bingung.
Ada banyak orang yang lalu lalang dirumahnya. Membawa beberapa barang-barang yang
sama sekali tidak Raina ketahui. Mata Raina melotot ketika mendapati Elang sedang
menenteng koper besar lalu masuk kedalam salah satu kamar dilantai bawah.

Itu anak ngapain sih keliaran dirumah? Batin Raina heran.

Sedikit terburu-buru, Raina berjalan menuju Bunda yang sedang berbincang dengan Bude
Adi di sofa ruang keluarga. Ruang keluarga Raina sendiri mendadak sudah berubah fungsi
menjadi gudang. Terlihat dari tumpukan benda-benda aneh yang menumpuk didaerah
kekuasaan Raina itu.

“ loh udah bangun kamu? “, tanya Bunda ketika melihat Raina yang berdiri didepan tv.

“ ini kok ribut amat ya bun? Dan ini apaan juga? Kenapa banyak barang sih dirumah kita?

“ oh, ini barang buat acara nikahannya si Elang. “

“ terus kenapa disini? Emang Elang kena usir apa sampe naruh segala barang buat
nikahannya disini? “, tukas Raina tanpa memperdulikan ibu dari Elang yang duduk
memperhatikan Raina dari tadi.

Yah kebiasaan jelek Raina memang begini. Kalau sudah kesal nggak perduli ada orang
yang dimaksud atau enggak main nyerocos aja. Padahal biasanya Raina itu anak yang
cenderung sopan loh kalau berhadapan dengan orang yang lebih dewasa. Dia Masih jaga
image guru SMA kok didepan orang-orang.

“ duduk dulu deh Rain. Nggak usah ngomel-ngomel gitu “, perintah Bunda yang diikuti
Raina dengan malas.

“ maaf deh Rain, Bude jadi ngerepotin. Untuk sementara Bude sekeluarga bakal nginep
disini. Soalnya rumah Bude mau dipake buat calon pengantin perempuan. Kan kamu tau
sendiri, kalo Karina itu keluarganya di Sumatera sana jadi nggak punya rumah disini. Padahal
Pakde kan maunya acara akad dirumah pake adat jawa lengkap, jadinya ya ini solusinya.
Untuk sementara rumah kamu jadi rumah calon mempelai pria “
Tak ada satupun dari penjelasan Bude adi yang Raina lewatkan. Perempuan itu menatap
sang Bunda meminta kejelasan yang pasti. Bunda mengangguk singkat lalu menepuk bahu
Raina pelan.

Oh astaga. Hilang sudah libur akhir pekan yang Raina impikan. Hari-harinya pasti akan di
isi dengan segala macam tetek bengek mengenai pernikahan seorang Elang. Raina Masih
ingat kerepotan yang dia hadapi ketika Ray menikah dengan Anggi. Dia hampir menjadi upik
abu dirumahnya sendiri. Membayangkan dirinya akan menjadi upik abu sekali lagi membuat
Raina merinding disko. Cukup sekali pengalaman mengerikan itu.

Raina berjalan ke teras belakang, tempat yang lumayan sepi dari kehebohan mendadak
yang ditimbulkan keluarga besar Angkasa itu. Perlahan Raina mengurut pelipisnya karena
mendadak kepalanya terasa pening. Duh gusti, salah apa coba Raina. Rasa-rasanya Raina
nggak pernah tuh kurang ajar sama Bunda dengan Ayah. Kalo sama Ray sih jangan ditanya
lagi. Tapi karma gara-gara itu kan udah Raina rasain 6 tahun yang lalu. Lah kok sekarang dia
dapat karma lagi sih?

“ kenapa kamu Rain? Muka kok ditekuk begitu sih? Nggak enak loh dipandang. Hilang
sudah cantiknya “, suara Bunda membuyarkan lamunan Raina.

Dengan cepat Raina menarik tangan Bunda lalu menyuruh wanita itu duduk dikursi
ayunan yang terletak tak jauh dari posisi awal mereka. Bunda menatap anak bungsunya itu
dengan pandangan heran.

“ berapa lama mereka nginep bun? “

Butuh beberapa detik sebelum Bunda akhirnya menjawab, “ sekitar sebulanan “

Sebulan? Kenapa nggak ngontrak rumah aja sih dari pada nginep disini? Kan Raina jadi
nggak bisa gerak bebas kalau dirumahnya dipenuhi orang seperti ini. Singgasananya diruang
tengah, hari tenangnya didalam kamar, jangan lupakan kebiasan malas Raina yang kadang
akut. Apa kabar hari-hari indahnya itu?

“ Rain, kamu nggak kepikiran apa buat nikah? Elang yang seumuran sama kamu aja bulan
depan udah nikah. Kamu kapan Rain? Nunggu sampe Mars bisa jadi tempat tinggal manusia?

Nah ini nih yang ngebuat Raina makin sebel. Bunda pasti akan mulai bertanya mengenai
rencana menikah Raina. Gimana mau nikah kalo pasangan aja Raina belum punya. Bukannya
Raina nggak laku. Raina banyak kok yang naksir. Ya cuma itu, tipikal cowok idaman Raina
itu ya modelan kayak aktor drama korea itu. Tinggi, putih, ganteng, romantis, dan jangan
lupa yang paling penting, roti sobeknya yang bisa di ndusel-ndusel kalo gemes.

“ apa mau Bunda jodohin aja? “

“ nggak usah Bunda. Raina nggak sampe segitunya kali. Raina Masih bisa nyari kok.
Santai aja “
“ umur kamu itu udah nggak muda lagi Rain. Udah 27 tahun. Kamu kira sampe kapan
kamu mau sendiri. Ngejar karir itu boleh, tapi jangan lupa sama nikah. Itu ibadah loh Rain. “,
nasehat Bunda.

“ iya Bunda. Raina nanti nyari kok. “, jawab Raina pelan.

“ ya udah, Bunda tinggal dulu ya. Mau beres-beres ruang tengah. Kamu tolong kasih tau
Ray kalo kamarnya sementara ini dipake Elang dulu. “

“ iya “

Langkah Bunda terdengar menjauh. Raina menghembuskan nafasnya pelan lalu merogoh
saku celana panjangnya. Berniat menyampaikan pesan Bunda. Sebenarnya tanpa izin ke Ray
tidak Masalah jika Elang ingin menggunakan kamarnya. Toh Ray sudah tidak tinggal disana.
Hanya sesekali berkunjung. Mungkin 2 minggu sekali. Selebihnya, Ray lebih banyak
mengahbiskan waktunya dirumah baru miliknya.

Raina mengetikkan beberapa kata lalu lekas mengirimnya. Tak butuh lama menunggu
jawaban dari Ray. Pria itu memang selalu cepat ketika membalas pesan Raina. Meskipun
kadang ada saja hal yang membuat mereka bertengkar jika bertemu. Tapi Ray tak pernah
membuatnya menunggu. Ray selalu menepati semua perkataan dan janjinya pada Raina.
Selalu datang tepat waktu jika akan pergi bersama. Bisa dibilang, Ray adalah kakak terbaik
yang pernah Raina miliki.

Hari mulai beranjak petang. Kehebohan dirumah Raina sudah mulai mereda. Hanya
terdengar percakapan kecil diruang tengah. Raina memutuskan untuk Masuk. Melihat situasi
dan kemudian beradaptasi dengan penghuni baru. Meskipun Raina sering berjumpa dengan
mereka, tetap saja janggal rasanya memikirkan tinggal satu rumah dengan tetangga sebelah.

Diruang tengah terlihat Ayah dan Pakde Adi sedang bercakap-cakap ditemani dengan
beberapa camilan kecil. Raina melemparkan senyum kearah mereka saat akan menaiki
tangga. Didapur terlihat Bunda dan Bude Adi yang sibuk memasak makanan untuk makan
malam. Elang sendiri tak terlihat batang hidungnya.

Raina berbaring ditempat tidurnya. Menenangkan pikirannya sejenak. Setelah


mendapatkan beberapa informasi tadi, kepala Raina mendadak pening. Bukan tentang
kepindahan mendadak keluarga Angkasa. Tapi tentang anak tertua keluarga itu. Bara
Lembayung Angkasa.

Sudah lama Raina tidak mendengar kabar Bara. Mungkin sudah sekitar 5 tahun? Raina
bahkan tak ingat kapan terakhir kali dia bertemu dengan pria yang kini bekerja sebagai dokter
spesialis anak itu. Pria yang berusia 34 tahun itu hingga kini belum lagi menikah. Setelah
bagas melangkahinya sekitar 5 tahun yang lalu, kini Elang juga akan melangkahinya.
Sepertinya Bara akan mendapat cibiran dari tetangga nanti. Raina sudah pastikan itu.

Berpikir tentang Bara seperti menggali masa lalu Raina yang sudah dia kubur. Dulu, Bara
adalah dunia Raina. Pusat dari kehidupan Raina. Bukan. Raina bukannya mencintai pria itu.
Bara memiliki sisi yang hangat sama seperti sisi yang dimiliki oleh ray. Mampu melindungi
Raina dari apapun. Hanya saja jika bersama Ray, Raina tak akan pernah akur. Tapi dengan
Bara, Raina akan menjadi seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Begitu penurut.

Tapi itu dulu. Sebelum kecanggungan mengubah segalanya. Didunia ini tak ada yang
namanya persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Jikapun ada, percayalah, perasaan
aneh akan mulai tumbuh seiring berjalannya waktu. Dan Raina tak ingin itu terjadi. Maka
dari itu dia mengambil langkah tegas. Perlahan menjauh dari pria itu. Menormalkan kembali
kehidupannya yang dulu sempat kacau. Sekarang, pusat dunia Raina adalah dirinya sendiri
bukan orang lain.

Semua butuh proses. Dengan berjalannya waktu, semua akan berubah. Tak ada yang sama
didunia ini. Semua pasti berubah. Perubahan sekecil apapun itu pastilah ada. Dan Raina kini
juga sudah berubah. Memilih berhati-hati dalam segala tindakan. Meskipun sisi keras kepala
dan egoisnya masih menguasi diri Raina, sebisa mungkin dia menahannya.

Sinar jingga perlahan memasuki jendela kamar Raina. Kini Raina berbaring dibawah
cahaya jingga yang hangat itu. Menghembuskan nafas secara perlahan.

Ya, semua sudah berubah. Tak ada lagi yang sama.

Raina terus merapalkan kalimat itu bagaikan mantra untuk dirinya.

***

Minggu pagi adalah hari yang Raina tunggu. Tidak ada kegiatan mengajar, tidak ada
jadwal mencuci, yang ada hanya waktu bermalas-malasan. Maka dari itu meskipun sekarang
sudah pukul 8 pagi, Raina Masih bergelung dalam selimut tebalnya sambil memainkan hp
miliknya.

Sebenarnya Bunda selalu marah melihat kebiasaan Raina dihari minggu ini. Seharian
penuh akan dilakukannya dengan kemalasan yang nyata. Bahkan kadang Raina melewatkan
mandi pagi dan hanya akan mandi disore hari. Jika dia sudah begitu, tak ada yang akan
menyangka jika Raina adalah seorang guru SMA.

Raina meletakkan hp miliknya. Bergulung-gulung ditempat tidur sebelum memutuskan


untuk bangun. Perutnya lapar. Tadi malam dia melewatkan makan malam dan memilih
membuat soal untuk ulangan semester 2 minggu lagi. Sekarang akibatnya perut Raina
keroncongan.

Dengan rambut yang diikat asal-asalan Raina turun kelantai bawah. Mengabaikan
beberapa pasang mata yang melihat Raina diruang tengah. Biarlah Bunda marah-marah, yang
terpenting bagi Raina sekarang adalah mengisi perutnya yang lapar ini.

“ Bunda, kok tumben buat nasi kuning? Biasanya juga males “, tanya Raina sambil
menyentong nasi kuning kedalam piringnya. Dia juga mengambil ayam goreng dan sambal
tempe sebagai teman makan nasinya.
Kening Raina mengkerut heran. Bunda tak menjawab pertanyaannya. Sedikit kesal Raina
mengalihkan tatapan matanya kearah ruang tengah. Tempat berpasang-pasang mata
menatapnya dengan aneh.

“ astagfirullah! “, seru Raina kaget. Bukan karena mendapati Bundanya menatap horor
kearah Raina. Tapi dia kini melihat sosok yang kemarin sore secara mendadak masuk
kedalam pikirannya. Ya siapa lagi kalau bukan Bara. Pria itu berdiri menatap Raina dengan
kemeja putih bersihnya. Tersenyum miring melihat reaksi Raina yang luar biasa itu.

Raina sangat malu. Gimana nggak malu kalau saat ini dia masih mengenakan piyama tidur
pororonya, rambut Masih urakan, iler juga Masih berbekas dengan indah di pipinya, dan yang
terpenting dia belum mandi. Dan Bara berdiri disana dengan pakaian yang rapi serta koper
yang Masih digenggamnya tersenyum aneh kearah Raina. Sebagai perempuan, sudah pasti
harga diri Raina jatuh. Biar bagaimanapun, Raina tetap ingin Bara melihatnya sebagai wanita
dewasa dengan karir yang sukses. Bukan seperti upik abu kayak begini.

“ duh lagi ada tamu. Maaf kalo ganggu ya. Rain naik keatas dulu “, pamit Raina dengan
senyum manis. Dia langsung bergegas naik kelantai dua dengan membawa sarapannya.
Biarlah kali ini dia makan dikamarnya. Daripada duduk diruang makan terus dijadikan
lelucon.

Menghabiskan nasi dengan cepat, setelah itu bergegas mandi. Hari ini Raina harus kabur
keluar rumah. Lupakan rencananya untuk malas-malasan seharian. Raina saat ini lebih ingin
ditelan bumi dari pada berselubung selimut diatas kasur.

Suara ketukan pintu menghentikan aktivitas Raina mengikat rambut. Sedikit heran, Raina
membukakan pintu kamarnya. Disana berdirilah sosok yang Raina ingin hindari hari ini.
Tersenyum manis kearah Raina.

“ mau pergi? “, tanya Bara yang melihat penampilan rapi Raina. Berbeda seratus derajat
dengan Raina yang dijumpainya satu jam yang lalu.

“ iya. Ada perlu apa? “

“ Cuma mau ngasih oleh-oleh aja dari solo. Ini... “, Bara menyerahkan sebuah kotak
hadiah pada Raina. Raina meraih kotak itu dengan ragu. “ semoga aja pas “

“ hah? “

“ nggak. Ya udah aku masuk kekamar duluan “, pamit Bara lalu masuk ke kamar sebelah
Raina. Raina menatap pintu kamar yang sudah tertutup itu dengan panik.

Ini kenapa juga Bara harus dikamar sebelah? Nggak sekalian tidur dengan Elang dibawah
sana. Kan Raina nggak bisa grasa-grusu lagi dikamar.

Raina meletakkan kotak hadiah Bara kedalam lemari. Sama sekali tak berniat untuk
membuka hadiah itu. Biar nanti saja kalau Raina sudah sangat penasaran.
“ mau kemana kamu? Hari ini Bunda mau minta tolong buat ngambil undangan Elang
dipercetakan. Soalnya Elang udah mulai dipingit, jadi nggak bisa keluar “, suara Bunda
menghentikan langkah Raina yang akan turun tangga.

Di sofa tengah Elang tersenyum manis kearah Raina. Ingin rasanya Raina melempar tas
selempangnya kearah pemuda berkacamata itu. Mau nikah kok malah nyusahin orang sih.
Kan jadinya gagal rencana kabur Raina hari ini.

“ banyak nggak Bun undangannya? “

“ kata Bude sih banyak. Soalnya ada undangan untuk acara midodareni, akad sama
resepsi. Sekalian juga ambilin souvenir nikahannya. Udah jadi katanya. Ntar Bunda kirimin
lokasinya. “

“ kenapa nggak keluarga perempuan aja sih yang ngambil? “, seru Raina dongkol. Ini yang
nikah siapa yang repot siapa. Dikiranya Raina ini tukang ambil barang apa?

“ ya nggak bisa lah Rain. Keluarga karina itu nggak tau daerah sini. Kan dia orang luar.
Kamu ini gimana sih? “, omel Elang lalu melempar sebuah bantal kearah Raina. Tapi bantal
itu tidak mendarat kearah Raina, melainkan ketubuh Bara yang baru saja turun dari lantai
atas.

Bara menatap Elang sebentar sebelum kembali melempar bantal yang mengenainya.

“ dasar adek nggak sopan. Udah nyusahin, malah main lempar-lempar begini “

Raina terdiam. Menatap Bara dengan mata bulatnya. Ada banyak yang berubah dari pria
yang kini berdiri didepan Raina itu. Suaranya, sikapnya, dan segala tentang Bara. Semua itu
berubah. Rasanya kini Raina berdiri didekat orang asing yang sama sekali tidak Raina kenal.

Bunda menepuk pundak Raina. Menyerahkan kunci mobil hitam milik Ayah. Hal yang
jarang Bunda lakukan.

“ dih tumben Raina boleh nyetir mobil Ayah. Biasanya kalo mau Raina pinjem ada aja
alasannya. “, gerutu Raina sambil memutar kunci mobil dengan jarinya yang panjang.
Kesempatan langka yang jarang Bunda berikan dengan Cuma-Cuma. Lumayan kan bisa
gaya-gayaan dikit. Soalnya mobil Ayah ini mobil yang lumayan mahal.

“ yang bilang kamu yang nyetir siapa? Bunda mau minta tolong Bara anterin kamu. Biar
kamu nggak kabur dari tanggung jawab “

Kok Bunda sekarang ngeselin ya? Raina hampir bisa mengendus aroma yang
mencurigakan dari gelagat Bunda hari ini. Tapi Raina nggak terlalu paham maksudnya. Ya
namanya juga hampir, kan belom bisa ditebak dengan benar.

“ pergi kemana, Bulek? “, tanya Bara heran.

“ ngambil undangan Elang sekalian souvenir nikahan. Habis itu terserah deh mau pulang
atau jalan dulu “, jawab Bunda sambil tersenyum tipis.
Nah loh. Kayaknya Raina udah paham deh maksud Bunda.

“ oh, ya udah. Ayo Rain, ntar keburu siang “, ajak Bara lalu menarik tangan Raina.

Dibelakang Raina, Bunda melambaikan tangan dengan senang. Kan lumayan kalo Bara
sampe kepincut dengan Raina. Dapet mantu dokter bisa juga kan dibanggain ke orang-orang.

Bara Masuk kedalam mobil sedan hitam milik Ayah, diikuti Raina disampingnya. Setelah
meMasang seatbelt Bara menginjak gas lalu perlahan meninggalkan area komplek
perumahan, tempat mereka tinggal sejak kecil. Disampingnya Raina menatap lurus kearah
jalan, sesekali mengecek hp miliknya.

“ ini alamatnya Bunda baru kirim. Aku Masukin ke gps dulu “, Raina mulai mengotak-atik
gps mobil. Tak memperdulikan Bara yang sesekali melirik Raina.

“ lama nggak ketemu kok malah aneh ya? Makin gede aja kamu Rain “, kini Bara mulai
membukan percakapan. Aneh rasanya jika hanya diam-diaman sepanjang jalan.

“ biasa aja sih, Mas. Wajar aja kalo aneh, kan kita nggak pernah ketemu sama sekali “

Menyebut Bara dengan kata Mas saja sudah membuat Raina merasa aneh. Duh, ini kenapa
canggung banget sih?

“ kamu kayak ngehindar dari aku. Kenapa Rain? Aku ada buat salah? “

Bara menatap lurus Raina. Memperhatikan raut wajah Raina yang terkesan datar tanpa
ekspresi itu.

“ Mas nggak ada salah kok. Cuma aku ngerasa canggung aja kalo ketemu. Seiring waktu,
kecanggungan itu muncul sendiri “

“ kenapa harus canggung? Kan kamu adek aku “, pernyataan Bara membuat Raina
menatap pria berlesung pipi itu.

Lampu merah, Bara menghentikan mobilnya dan kemudian juga menatap Raina.

“ nggak ada yang namanya abang adek untuk orang yang nggak punya ikatan darah. Suatu
saat, salah satunya pasti akan punya rasa yang lebih. Ujung-ujungnya malah saling nyakitin “

“ dan kamu punya rasa lebih itu? “

“ sebelum aku punya rasa lebih itu, aku udah menghindar. Lebih baik penuh
kecanggungan dari pada memutuskan untuk saling menghindar “

Bara menatap kedepan, lalu kembali menjalankan mobilnya. Raina juga menatap lurus
kedepan. Membiarkan keheningan mengambil alih suasana dimobil.

Tak lama mereka berhenti didepan sebuah percetakan besar. Raina segera turun dari
mobil, disusul Bara yang berjalan dibelakang Raina.
Seorang karyawan menyambut kedatangan mereka dengan senyum sopan.
Mempersilahkan Raina dan Bara duduk, sementara ia mengambil undangan yang sudah
selesai. Tak ada percakapan diantara Raina dan Bara. Keduanya hanya memilih diam. Hingga
karyawan itu kembali dengan sekotak penuh undangan.

“ kotak yang ini, isinya buat resepsi nanti. “, tunjuk karyawan itu pada Bara dan Raina.
Mereka berdua mengangguk singkat.

“ yang di paperbag ini untuk midodareni dan akad nikah “, jelas karyawan itu lagi.

“ ini udah semua, Mas? Udah lengkap kan undangannya? Nggak ada yang ketinggalan? “,
tanya Raina

“ udah kok Mbak. Tenang aja. Semua udah beres “, jawab karyawan itu mantap.

“ terimakasih yang Mas “, kali ini Bara yang berbicara. Karyawan tersebut mengangguk
singkat lalu mohon diri untuk kembali melakukan pekerjaannya. “ biar aku bawa yang kotak.
Kamu bawa yang paperbag aja “

Setelah berbicara seperti itu Bara melenggang keluar sambil mengangkat kotak besar
dengan tangannya. Raina kali ini mengikuti Bara dalam hening. Sesekali menatap punggung
tegap Bara dari belakang.

Duh, ini jantung kenapa mendadak deg-degan sih? Katrok banget. Kayak nggak pernah
ngeliat punggung modelan begitu. Umpat Raina dalam hati.

Mobil kembali berjalan. Kali ini mereka akan pergi ketempat saouvenir pernikahan Elang.
Setelah itu, Raina berharap pria disampingnya ini akan mengantarnya kembali kerumah.
Melihat gelagat Bara yang hanya menatap lurus kedepan tanpa berminat membuka kembali
percakapan, Raina yakin setelah ini dia akan pulang.

Tapi harapan tinggal harapan. Setelah mengambil souvenir pernikahan yang banyak itu,
mobil Ayah meluncur menuju salah satu taman dipusat kota. Raina menatap tak percaya pria
disampingnya itu.

Bara melepaskan seatbelt miliknya, lalu turun tanpa memperdulikan Raina. Dia berjalan
menuju ke sebuah gazebo yang terletak ditengah taman. Siang hari seperti ini, sinar matahari
begitu terik. Bara Masih cukup waras untuk tidak duduk semBarangan di hari yang terik
seperti ini. Meskipun gazebo terlihat cukup ramai, Bara tetap mElangkahkan kakinya kesana.

Menatap sekeliling dengan santai. Bara menghembuskan nafasnya perlahan. Sudut


matanya kemudian menatap sosok Raina yang berjalan kearahnya. Rambutnya yang tadi
digerai begitu saja, kini sudah diikatnya dengan rapi. Raina berjalan mendekati Bara lalu
kemudian duduk disisi pria itu.

Lagi-lagi tak ada percakapan diantara keduanya. Yang ada hanya suara ribut-ribut dari
orang-orang disekitar mereka.
“ sejak kapan kamu mulai berpikir mengenai rasa lebih itu? “, tanya Bara pelan. Berusaha
tetap menjaga agar percakapannya tidak didengar begitu banyak orang.

“ sejak 10 tahun yang lalu “

10 tahun? Sudah selama itu dan Bara hingga detik ini tidak menyadarinya? Bara pikir
selama ini karena kesibukan mereka, Raina tidak sempat menghubunginya. Meskipun Bara
kurang yakin dengan hal itu.

“ aku sama sekali nggak pernah berpikir seperti itu. Karena dimataku, kamu tetap adik
aku. Aku ngeliat kamu bukan sebagai wanita, tapi sebagai adik. Jadi pas kamu bilang di
mobil mengenai hal itu, aku kaget. Karena aku nggak tau, kalau kamu ngeliat aku nggak
hanya sebagai abang, tapi juga sebagai laki-laki “

“ kok Mas mikirnya begitu? Aku nggak ada bilang soal nganggep Mas sebagai laki-laki ya
“, tuntut Raina tak terima.

Bara hanya melemparkan senyum tipisnya.

“ kalo kamu nggak nganggep aku sebagai laki-laki, kamu nggak akan mikir tentang rasa
lebih itu. “

Raina tak menyahut ucapan Bara. Gadis itu malah melemparkan tatapannya pada bunga
mawar yang ditanam mengelilingi gazebo. Meski dalam hatinya Raina mengumpat pada diri
sendiri. Kenapa dia bisa begitu bodoh mengucapkan hal yang memalukan itu dimobil. Ingin
rasanya Raina mengubur dirinya hidup-hidup detik ini juga.

“ aku nggak nyalahin pemikiran kamu, kok. Kamu yang sekarang bukan lagi anak kecil
yang polos. Pemikiran kamu makin bertambah dewasa seiring berjalannya waktu. Aku pikir
malah bagus kamu beranggapan seperti itu. Dengan itu kamu berhasil menggambar batas
yang jelas antara kita. “

“ udah deh Mas. Jangan ngomongin hal itu lagi. “, pinta Raina pada Bara. Cukup sudah
Raina menahan rasa malunya untuk hari ini.

“ loh kenapa? Biar Masalah kita ini jelas, Rain. Aku tetap mau berhubungan dengan kamu
tanpa rasa canggung. Jadi lebih baik sekarang kita terbuka satu sama lain “

Sumpah demi apapun, Raina gagal paham dengan pemikiran Bara. Kenapa dia harus
terbuka dengan pria ini? Tanpa terbuka pun mereka tetap bisa berhubungan tanpa rasa
canggung. Raina akan mengubah mindset nya tentang Bara. Dari seorang kakak menjadi
tetangga sebelah. Itu nggak susah kok. Dari pada harus terbuka dengan Bara.

Hampir saja Raina menolak saat mendadak Bara menggenggam kedua tangannya. Bara
menatap Raina serius sebelum mengucapkan sesuatu.
“ apaan sih Mas? Risih tau nggak diliatin begitu “, gerutu Raina sambil mencoba menarik
tangannya dari genggaman Bara. Tapi hasil yang didapat nihil. Bara begitu kuat
menggenggam tangan Raina.

“ Raina, gimana kalo kita nikah aja? “

Rasanya Raina baru saja kena sambar petir. Ini apa-apaan si Bara ngomong ngaco kayak
begitu? Raina kan jadi panik sendiri.

“ duh mulut kamu itu Mas, pengen aku uyel-uyel pake cabe tau nggak? Nggak usah
becanda kali. Aku nggak suka ya becandaannya “

“ terserah sih kalo kamu anggap itu becanda “, Bara melepaskan genggamannya. Tapi raut
wajahnya Masih terlihat serius. Itu malah ngebuat Raina makin risih.

Ini gimana sih? Seriusan apa enggak ngomong begitu? Kan Raina jadi senewen begini.

****
Bara menatap kamar Raina dalam diam. Dia tau pagi tadi gadis itu berangkat kerja seawal
mungkin. Menghindari dirinya secara terus terang. Dan Bara juga tau, jika Raina pasti masih
sangat syok dengan perkataannya ditaman siang kemarin. Buktinya, Raina bahkan menolak
untuk makan malam. Menyibukkan diri dengan pekerjaan yang katanya sedang menggunung
itu.

Perlahan Bara membuka kamar Raina. Menatap kAmar dengan nuansa merah dan putih itu
dengan seksama. Kamar Raina tak terlalu luas, tapi tak terlihat begitu penuh sesak. Malah
terkesan lapang. Tak ada foto apapun yang tertempel di dinding kamar. Bahkan Bara tak
melihat satu pun pigura foto di nakas maupun meja belajar Raina yang tersusun rapi itu.

Menghela nafas, Bara menutup pintu. Memutuskan untuk turun ke bawah. Menemani
Bulek Dira yang sibuk membongkar seragam pernikahan Elang.

“ Bara, tolong bantuin Bulek ngerapihin ini dong “, pinta Bulek Dira saat Bara baru saja
menampakkan dirinya diruang tengah yang terlihat berantakan.

“ seragam buat nikahan kan? kata Ibu baru dikirim ya? “

“ iya ini... ibu sama bapakmu udah nganter seragam buat keluarga kamu yang di Solo.
Yang ini tinggal buat keluarga Bulek sama panitia aja “

Bara mengangguk singkat. Matanya menatap berpasang-pasang pakaian yang sudah


disusun sedemikian rupa. Diatas setiap pakaian, tertera nama sang pemilik. Dengan mudah,
Bara dapat menemukan miliknya yang diletakkan tepat disamping pakaian Raina.

“ kok sampe ada 3 pakaian sih? Banyak amat “

Bulek Dira tertawa mendengar pertanyaan Bara.

“ untuk midodareni, akad, sama resepsi. Kalo buat pengajian dan siraman, yang pake
seragam cuman orang tua mempelai sama mempelainya aja. “

“ oh, gitu... “, Bara mengangguk paham. Otaknya kembali memutar adegan disaat bagas
menikah beberapa tahun yang lalu. Orang tuanya yang merupakan keturunan asli jawa, sangat
menginginkan setiap anak lelakinya menikah dengan adat jawa. Hingga mengharuskan adik-
adiknya menikah dengan rentetan adat jawa yang banyak itu.

“ kapan kamu mau nikah, Bar? Bukannya maksud Bulek mau ikut campur atau apa, Bulek
cuman takut kamu jadi gosipan tetangga. Udah sukses juga, banyak yang mau pasti “

Bara tak menjawab, hanya memilih diam. Dia tau, Bulek Dira masih ingin melanjutkan
ucapannya.

“ kalo kamu mau nyari yang sempurna, memang susah. Karena kodrat manusia itu nggak
ada yang sempurna. Menurut Bulek, jangan cari perempuan hanya dengan mengandalkan
fisik. Toh, suatu saat kalo kalian udah tua, fisik itu bisa berubah. Cari perempuan yang
memang kamu butuhin. Yang mau nemenin kamu disaat susah atau sulit. Yang benar-benar
pengen kamu jaga sampe mati. “

“ Bara juga nyari perempuan nggak mandang fisiknya aja. Menurut Bara, kalo misalnya
dia cantik itu suatu bonus buat Bara. Fisik bukan poin penting bagi Bara. Perempuan dengan
sikap sopan dan cerdas adalah perempuan yang Bara butuhin. Bara juga butuh perempuan
yang mandiri, tapi bukan berarti dia nggak mau Bara lindungi. Karena menurut Bara, sudah
sepatutnya pria melindungi wanita. “

“ dan kamu udah nemuin perempuan itu? “, tanya Bulek Dira yang dijawab dengan
gelengan pelan Bara.

“ ada perempuan yang cerdas, tapi dia bersikap seakan tau segalanya. Bara nggak suka.
Ada yang pura-pura lemah hanya untuk menarik perhatian. Selama ini, Bara nggak pernah
ketemu perempuan dengan sikap apa adanya. Selalu ada kepura-puraan dalam diri mereka.
Bara nggak tertarik. “

“ jadi kamu gimana? “

“ cuman satu perempuan yang Bara kenal selama ini. Tau sikap jelek dan baiknya. Nggak
pake topeng didepan Bara. Tapi, Bara nggak yakin sama perasaan Bara sendiri “

Bulek Dira menatap lekat Bara. Membaca rauut wajah pemuda yang sudah dikenalnya
seumur hidup itu. Teman bermain Ray yang selalu berhasil membuat anak bungsunya
menjadi penurut. Pawang kenakalan Raina ketika gadis itu masih kecil.

“ dan perempuan itu? “

“ Auxilia Raina Samudera “

***

Jam menunjukkan pukul 4 sore. Bara dan elang saat ini sedang bersantai ditaman
belakang. Menikmati suara air yang mengalir di kolam ikan koi. Elang sedang asik
mengotak-atik mobil remotnya ketika dikejutkan dengan kedatangan seorang anak berusia 5
tahun.

Mata anak itu terlihat bulat. Menampakkan sinar kepintaran yang sulit ditutupi. Bara juga
tak memungkiri, ada binar kenakalan yang terpatri disana. Mengingatkan Bara akan masa
kecilnya dulu.

“ Om, itu punya Om ya? Boleh Arsa pinjem? “

Elang memberikan mobil remotnya. Membuat bocah yang bernama Arsa itu tersenyum
senang.

“ Arsa bisa main nya? Perasaan Om Elang, terakhir kali Arsa main, mobilnya masuk got
depan rumah deh “, ledek Elang.
Tapi Arsa tak menyahut. Hanya diam sambil memaju mundurkan mobil dengan remote
ditangannya.

“ woy, Bar! Lama gue nggak ketemu. Makin cakep aja “, seru Ray saat melihat Bara
duduk santai sambil memperhatikan Arsa dan Elang yang sedang bermain.

Bara tersenyum. Memeluk sekilas teman bermainnya itu, sebelum kembali duduk.

“ gimana kerjaan lo? Jadi pindah ke RSIA daerah sini? “, tanya Ray memulai percakapan.

“ jadi. Tapi gue lagi dalem masa libur ini. Ntar aja nunggu elang selesai nikahan baru gue
mulai kerja. Lagian Bulek Dira juga butuh bantuan gue disini. Si Elang kan lagi dipingit “

“ bilang aja lo males, Mas. Pengen santai-santai dulu. Nyari calon istri, siapa tau ketemu “,
ledek Elang. Ray menanggapinya dengan tawa, sedangkan Bara lebih memilih diam. Tak
menggubris ledekan si bungsu.

“ terus kapan lo mau nyusul si Elang? Dua kali dilangkahi loh, Bar. Malu sama umur “

“ gue belom tertarik buat nikah. Saat ini gue lagi fokus dengan pekerjaan gue. “

“ terus aja fokus sama kerjaan lo sampe gue udah dapet cucu “, sindir Ray.

“ apaan sih? Lo semua kok pada resek banget? Pengen gue cemplungin ke kolam jadinya
“, sungut Bara lalu bangkit dari posisi duduknya. Berjalan masuk meninggalkan Ray dan
Elang yang hanya memandangnya dengan tatapan heran.

Sejak kapan seorang Bara terlihat sensitive?

Jawaban tepatnya, sejak hari ini. Dimulai dengan Raina yang menghindarinya. Pertanyaan
kapan nikah, juga menjadi salah satu faktornya. Lagi pula, Bara bukanlah orang suci yang
dengan sabar dapat menahan pertanyaan yang dapat merusak kesehatan otaknya itu. Bara
hanya pria dewasa biasa yang dapat merasakan jengkel saat ditanyai pertanyaan yang
menjurus kearah pernikahan.

Siapa bilang Bara tidak ingin menikah? Bara sangat ingin menikah. Tetapi, Bara sama
sekali belum menemukan perempuan yang dapat menemani dirinya seumur hidup. Karena,
selama Bara hidup dimuka bumi ini, hanya ada satu perempuan yang Bara kenal dengan
sangat baik. Gadis dengan rambut panjang yang indah itu. Raina.

Maka dengan bodohnya Bara mengajukan ide tentang menikah pada Raina kemarin.
Membuat gadis itu benar-benar mengambil langkah tegas dengan menghindari Bara. Terbukti
saat gadis itu pulang mengajar siang tadi. Raina dengan tak tau dirinya, mengabaikan Bara
yang tersenyum lebar kearah gadis itu. Membuat Bara semakin sensitive seharian ini.

“ dasar brengsek!!!!! “, teriakan Raina menggema. Menghentikan langkah Bara yang


kebetulan lewat didepan kamar gadis itu.

Beragam spekulasi mulai muncul di otak Bara.


Apa barusan Raina mengumpat dirinya?

“ gimana gue nggak panik, Yas.. Dion bener-bener buat gue stress... dia kabur gitu aja.
Bolos. Nyontek. Ngerokok. Dan sialnya, kenapa dia harus jadi anak didik gue? Kenapa gue
harus jadi wali kelasnya? Gara-gara dia, kenaikan gaji gue di tunda, Yasss “, jerit Raina
penuh dendam.

Bara menguping lewat celah pintu yang sedikit terbuka. Sedikit bersyukur karena bukan
dia yang diumpat oleh Raina.

“ kasus dia di BK itu banyak banget. Sampe gue capek sendiri ngeliatnya. Percuma nelpon
orang tuanya. Mereka nggak perduli. Yang mereka perduli cuman kerjaan dan kerjaan. Anak
ditelantarin sampe akhirnya nyusahin orang “, gerutu Raina.

Seharusnya Bara menghentikan tindakan bodohnya ini. Seharusnya Bara masuk saja ke
kamar dan tak memperdulikan teriakan nyaring Raina. Seharusnya seperti itu. Tapi otak dan
tubuhnya terlihat tak begitu sinkron. Terbukti Bara masih saja diam membatu. Bahkan ketika
Raina sudah berdiri didepan pintu dengan ponsel yang masih menempel ditelingannya.

“ Mas Bara? “, seru Raina kaget.

Bara yang sama kagetnya segera melangkah mundur. Lalu bergegas masuk kedalam
kamar. Meninggalkan Raina yang terdiam mematung didepan pintu.

Dikamar, Bara mengumpat. Memaki bodoh dirinya yang begitu saja bertingkah
memalukan didepan Raina.

Kemana dirinya yang dulu? Seorang Bara yang terlihat cool dan pandai bersikap itu.

Bara membaringkan tubuhnya. Menatap langit-langit kamar dengan pandangan nanar.


Masih mengumpati sikap bodohnya pada Raina.

***

Sudah 2 minggu. Tak ada percakapan berarti antara Raina dan Bara. Tak ada sapaan yang
berarti juga bagi keduanya. Dan Bara sudah pasrah. Pasrah jika gadis itu perlahan
menjauhinya.

Pagi ini, rutinitas akhir pekan keluarga Samudera adalah berkebun bersama. Bara memang
tau sejak kecil, jika perkarangan belakang rumah Raina yang luas itu dimanfaatkan dengan
baik oleh orang tua Raina. Ada banyak tumbuhan yang tumbuh dengan subur disini.
Beberapa bunga juga mekar dengan indahnya.

Bara berjongkok, menemani Paklek Amar yang asik mencabuti tumbuhan liar disekitar
tanaman sayur miliknya. Bara juga ikut membantu sambil sesekali terlibat percakapan ringan
dengan pengusaha properti itu.

“ nggak capek, Paklek? Jongkok terus dari tadi. Udah satu jam loh “
Paklek Amar tertawa kecil. Tangan tuanya masih sibuk mencabuti rumput sambil sesekali
menyiram tanaman yang sudah dia bersihkan.

“ nggak sih. Udah biasa juga. Kamu capek atau gimana bar? “

“ capek sih nggak. Cuma agak sengal aja. Udah lama nggak jongkok gini. “, jawab Bara
sopan. Paklek Amar tersenyum kecil. “ suka banget berkebun, Paklek? “

“ suka nggak suka sih sebenernya. Dulu, waktu Paklek kecil, orang tua Paklek maksa
semua anaknya buat berkebun. Biar hemat katanya. Maklum aja, dulu hidup Paklek nggak
semakmur sekarang. Mungkin karen terbiasa, jadinya aneh kalo nggak dilakuin “

“ anak-anak Paklek gimana? Suka juga berkebun? “, tanya Bara penasaran.

“ Rayhan itu lumayan suka berkebun. Dia paling suka kalo udah panen. Dia juga suka sih
buat nanem bibit. Kalo Raina, jangan ditanya lagi. Kalo udah akhir pekan, kerjaannya semedi
dikamar sampe malem. Keluar cuman buat makan terus masuk lagi. Nggak tau deh apa yang
dikerjain dikamar “

Bara tersenyum tipis. Dia sangat tau kebiasaan jelek Raina yang satu itu. Entah sejak
kapan Raina memiliki kebiasaan jelek itu. Jika di akhir pekan, Raina akan menjadi gadis yang
sangat malas. Bahkan ibunya sampai tak habis pikir. Dari mana Raina mendapat sifat seperti
itu.

“ tapi, Raina itu penurut banget loh. Nggak suka ngebantah kata orang tua. Kalo bundanya
nyuruh apapun, Raina nggak akan bisa nolak. Sama keponakannya aja sayang banget. Raina
keluar kamar diakhir pekan cuman kalo si kembar dateng. “

“ Ayah!! Bunda bilang kemeja batik hijau seragam ayah kemana? Mau bunda setrikain
buat kondangan sore nanti “, teriak Raina dari teras belakang.

Bara menatap Raina. Memperhatikan gadis dengan pakaian tidurnya itu dengan seksama.
Rambut panjang Raina terlihat acak-acakan. Ditangannya sendiri Bara melihat 2 cangkir
minuman yang akan diletakkannya dimeja.

“ Ayah kebiasaan deh suka lupa naruhnya “, tambah Raina yang kini berjalan mendekat
kearah Bara dan Paklek Amar.

“ Bunda ngomel-ngomel terus itu. Gangguin aku di kamar. Memangnya Ayah taruh
dimana sih? Kok bisa Bunda nyari-nyari gitu “

“ apa kemasuk di laundry, Rain? Ayah juga lupa sih. Perasaan batik Ayah masih banyak
kok “

Raina mengangkat bahunya acuh lalu ikut berjongkok disamping Paklek Amar. Tanpa
sengaja mata Raina menatap Bara. Gadis itu tersenyum singkat.
“ Yah, Ayah harus pinter-pinter manfaatin Mas Bara. Lagian juga dia belum kerja. Suruh
aja kesana-kesini. Bantu ini bantu itu. Biar dia ada kerjanya. Nggak cuman didalem kamar aja
tiap hari “, seloroh Raina tiba-tiba.

Bara menatap kesal gadis itu. Raina hanya menggendikkan bahunya cuek.

“ aku nggak males-malesan ya. Emangnya kamu yang suka semedi setiap weekend “, balas
Bara tak terima.

Kali ini Raina mendelik.

“ itu namanya me time. Bukan semedi. Enak aja bilang orang lagi semedi. Aku nggak
kayak gitu ya “

“ sama aja itu. Kamu jago banget kalo ngeles ya? “

“ maaf, Mas. Raina nggak ngajar les kok “, balas Raina singkat. Gadis itu kemudian
beranjak dari posisinya. Sedikit merenggangkan ototnya sebelum dengan anggunnya
memasuki rumah kembali.

Suara tawa menyadarkan Bara. Paklek Amar terlihat bersusah payah menahan tawanya.

“ maaf, Bar. Raina kelakuannya memang suka absurd gitu. Kamu maklumi aja ya “

Bara hanya mengangguk. Sedikit bersyukur akhirnya Raina dan dia dapat berbicara
kembali. Meskipun Bara yakin, setelah ini, Raina akan mengeluarkan sifat menyebalkan yang
selama ini selalu dipendam gadis itu.

Semoga saja Allah memberikan stok kesabaran yang banyak untuk Bara.
Raina sedang sibuk menyusun hidangan. Sesekali tangannya memasukkan beraneka ragam
jenis kue itu kedalam mulutnya satu persatu. Arsy yang menemani Raina, hanya bisa menatap
sebal kelakuan tantenya yang mendadak rakus itu.

Bukan tanpa alasan Arsy merasa sebal. Raina dengan mendadak mengeluarkan keputusan
sebelah pihak. Melarang Arsy memakan segala jenis makanan yang mengandung krim, atau
toping apapun diatasnya. Padahal, hampir seluruh kue kesukaan Arsy mengandung krim
diatasnya.

Sebenarnya Raina juga memiliki alasan baik atas keputusannya itu. Dia tidak ingin, gaun
abu-abu Arsy yang cantik itu mendadak belepotan krim. Sementara Raina terlalu malas untuk
sekedar mengganti pakaian bocah itu dan mendengarkan omelan Anggi dan Ray yang
tentunya akan menemani Raina hingga dua orang tua itu merasa bosan.

Raina melirik Arsy. Bocah perempuan itu duduk di kursi makan dengan wajah bertekuk.
Sesekali mulut kecilnya menggerutu. Menatap Raina dengan pandangan yang tak bersahabat.

“ nanti habis acara, Tante bakal ngasih kamu kue yang kamu mau. Sabar dulu, ya “, tenang
Raina. Tapi Arsy sama sekali tak memperdulikan ucapan tante kesayangannya itu. Jiwa anak-
anak yang egois dan pendendam mendadak merasuki Arsy. Membuatnya tak tergoda dengan
tawaran Raina.

Setelah selesai menyusun kue dipiring, Raina merapikan gamis putihnya. Membenarkan
letak selendang abu-abu yang disampirkannya dikepala. Lalu membawa kue yang disusunnya
kemeja yang sudah disiapkan.

Hari ini adalah pengajian menjelang pernikahan Elang. Setelah pengajian pukul 10 nanti,
acara akan dilanjutkan dengan siraman. Maka dari itu, Raina sudah tampil cantik diminggu
pagi yang cerah ini. padahal biasanya dia masih meringkuk dalam peraduan miliknya.

Melihat sang tante pergi dari ruang makan, Arsy mau tak mau mengikutinya. Anggi sudah
berpesan pada anak perempuannya itu, jika dia harus mengikuti Raina kemanapun. Agar Arsy
merasa aman. Karena rumah keluarga samudera saat ini begitu ramai dengan orang-orang
asing yang tak Arsy kenal.

Raina meletakkan kue yang dibawanya. Menata dengan rapi dimeja depan sebelum
matanya kembali fokus pada Arsy yang setia mengekori Raina kemanapun.

Anggi saat ini sedang sibuk. Dia sedang menemani bude adi mengurus sesuatu.
Membuatnya dengan terpaksa menitipkan si bungsu Arsy pada Raina. Awalnya Raina
menolak. Tentu saja. Dia juga sedang sibuk membantu, dengan menjaga Arsy fokus Raina
berarti dua kali lipat. Tapi karena Anggi yang terus memelas, membuat Raina luluh juga. Toh
Raina memang tak pernah bisa menolak permintaan keluarganya. Apapun itu. Kecuali untuk
menikah.
Raina membawa Arsy kedalam gendongannya. Mengajaknya menemui Arsa yang saat ini
sedang duduk di teras depan. Memperhatikan orang-orang yang masih sibuk menghias tempat
untuk acara siraman.

Mata Raina menatap sosok Bara yang sedang duduk disamping Arsa. Menemani bocah itu
sambil sesekali berbicara. Rayhan sendiri sibuk menyambut beberapa tamu yang sudah mulai
hadir.

“ nggak nyambut tamu, kamu? “, tanya Raina saat mendudukan Arsy disamping Arsa.

Bara menatap Raina yang terlihat begitu cantik hari ini. rambut panjangnya yang biasa
terbuka, kini tertutupi oleh selendang yang ditaruh Raina begitu saja. Gamis putih panjang
Raina juga terlihat menawan dipakai oleh gadis itu. Butuh beberapa waktu hingga Bara
berhasil menyatukan fokusnya.

“ biar yang tua-tua aja. Aku mau nemenin Arsa duduk disini. Kasihan, dianggurin papanya
“, jawab Bara kalem.

“ kalo aku titip Arsy, kamu keberatan nggak? Itu anak kayaknya lagi kesel sama aku “

Arsy yang mempunyai feeling tajam, semakin menekuk wajahnya. Dia tau, saat ini Raina
sedang membicarakannya dengan Bara.

“ Arsy mau sama Om Bara? “, tanya Bara langsung. Membuat Arsy menggelengkan
kepalanya dengan semangat. Raina yang melihatnya langsung memutar bola matanya kesal.

“ lagian kenapa sih kamu jutekin Tante? Kue nya bakal Tante kasih kok. Tapi nanti, nggak
sekarang “, keluh Raina. Kini Raina sudah berjongkok didepan Arsy. Menatap mata bulat
keponakannya itu dengan sabar.

“ Mama nyuruh Arsy ngikutin Tante terus. Jadi, Arsy nggak mau sama Om “

Raina mendengus. Bara tersenyum maklum.

Bisakah Raina memarahi kakak iparnya itu? Kenapa dia mengeluarkan titah seperti itu
pada Arsy? Andai saja Raina bisa marah pada Anggi. Sudah pasti saat ini dia akan
mengembalikan Arsy pada pangkuan wanita yang kini terlihat sedang duduk diruang tamu,
disamping Bunda dan bude adi.

Raina bangkit dari posisinya. Mengangkat Arsy dalam gendongannya lalu mengambil alih
tempat duduk bocah itu. Sedangkan Arsy kini duduk dipangkuan Raina.

“ ya udah. Terserah kamu aja, Sy “, putus Raina pelan.

Beberapa pasang mata fokus menatap kearah mereka berempat. Ada yang bertanya-tanya
tentang hubungan yang dimiliki keduanya, ada juga yang tersenyum maklum.
Didalam rumah, Bunda yang melihatnya tersenyum penuh kemenangan. Bunda bahkan
memberikan tatapan mata penuh terimakasih pada Anggi yang duduk disebelahnya.
Bersyukur mantu kesayangannya itu dapat berkonspirasi dengan dirinya.

Semenjak Bara mengatakan perasaannya pada Bunda tempo hari. Bunda memang sedang
gencar-gencarnya membuat situasi yang baik untuk mereka. Bahkan Bunda sampai meminta
bantuan Ayah untuk melancarkan segala niatnya. Tentu saja tanpa diketahui Raina. Jika anak
gadisnya itu sampai tau. Bisa-bisa Raina mengamuk. Mendiami seluruh penghuni rumah
hingga emosinya yang seperti merapi itu padam.

“ masuk aja ya? Acaranya bentar lagi dimulai ini “, pinta Raina pada Arsa dan Arsy. Tapi
si kembar menggeleng kompak.

“ panas, Tante. Disini aja. Adem “, tolak Arsa.

“ dipandangin orang itu, Sa. Masa yang punya acara duduk disini, sih? “

“ nggak masalah, Tante. Kan didalem ada Eyang. Ada Mama juga. “, balas Arsa cepat.

“ tapi sa.... “

“ udah deh Tante.. diem aja, kenapa sih? Duduk yang anteng. Kayak Om Bara nih “

Raina mingkem. Menahan segala ucapan yang akan dikeluarkannya ada bocah
disampingnya itu.

Heran. Bagaimana mungkin Raina bisa kalah adu mulut dengan anak kecil disampingnya
itu. Padahal selama ini, Raina dengan watak keras kepalanya selalu menang jika ingin
berdebat dengan siapapun. Mungkin karena kali ini dia dihadapkan dengan sosok anak kecil
yang tak berdosa yang berwujud keponakannya itu.

Tamu-tamu semakin ramai berdatangan. Membuat Bara dengan suka rela memangku
Arsa. Hingga tanpa sengaja mereka berdua duduk bersebelahan.

Wajah Bunda semakin sumringah. Tak lelahnya wanita paruh baya itu melemparkan
senyum kebahagiaan.

“ Bar, gue titip anak gue dulu. Pliss, gue sibuk ini. ntar kalo lo pas udah mau nyiram si
Elang gue ambil lagi itu bocah “, pinta Ray saat tanpa sengaja dia lewat didepan Bara dan
Raina.

Bara mengangguk kecil. Sementara Raina melemparkan tatapan sinis ke arah Ray, yang
ditanggapi pria itu dengan belaian dirambut Raina. Membuat Arsy tersenyum nyinyir kearah
sang papa.

Suara MC mulai terdengar. Bara dan Raina kini mengalihkan perhatiannya pada seorang
wanita paruh baya yang berdiri diantara tamu-tamu yang duduk dilantai. Bude Kusuma, yang
tak lain merupakan kakak dari Bude Adi yang memandu kegiatan pengajian itu.
Dari luar, Raina dapat melihat Elang yang sudah duduk manis dengan pakaian muslim
putihnya. Duduk diapit oleh kedua orang tuanya. Tak jauh dari sana, Raina juga melihat
Bagas. Pria itu datang jauh-jauh dari Kalimantan demi menyaksikan pernikahan adik
bungsunya.

“ Tiara hamil berapa bulan, Mas? “, tanya Raina mendadak saat menangkap sosok istri
Bagas yang tak begitu dikenalnya.

“ 5 bulan kalo nggak salah “, jawab Bara pelan. Berusaha mengecilkan volumenya agar
tak mengganggu tamu disekitarnya.

“ boleh naik pesawat? Apa nggak bahaya? “

“ nggak sih. Kan udah masuk semester 2. Nggak riskan juga “

Raina mengangguk singkat. Meski agak tak begitu paham dengan penjelasan sederhana
Bara itu.

Arsy yang duduk dipangkuan Raina menarik-narik pakaian Raina, berusaha mendapatkan
fokus tantenya yang kini sudah khusyuk mendengar lantunan ayat suci. Membuat Raina
menundukkan kepalanya dan menatap wajah lelah Arsy.

“ ngantuk, Tante “, rengek Arsy mendadak. Raina menarik tangan Bara yang dilingkari
jam tangan merk ternama itu. Melihat jarum jam yang menunjukkan pukul 11 siang.

Dengan sangat paham, Raina mengelus kepala Arsy perlahan. Menunggu Elang yang
selesai mengaji. Setelah itu dia berencana membawa Arsy beristirahat dikamarnya dilantai
atas.

Bara menatap Raina aneh. Gadis itu tadi menarik tangannya begitu saja, lalu kemudian
melepasnya. Menatap gelisah kearah rumah sebelum akhirnya memutuskan membuai Arsy
dalam pelukannya.

“ Om Bara, Arsa laper ih... belom makan ini “, rengek Arsa. “ Arsy juga ngantuk banget
itu. Lihat deh, tante Raina sampe ngegendong dia kayak begitu “

“ kamu kuat ngegendong Arsy sampe lantai atas? “, tanya Bara begitu Elang selesai
mengaji. “ biar aku aja, Rain. Kamu bawa Arsa aja. Dia masih bisa jalan, cuman kelaperan “

Raina ragu. Dalam gendongannya, Arsy sudah mulai terlelap. Matanya sesekali mengerjap
terkejut jika Raina membuat gerakan yang mendadak. Jika Arsy digendong Bara, otomatis
dia akan terbangun. Arsy pasti akan sangat rewel.

“ Insyaallah kuat, mas. Bawa masuk aja mereka lewat belakang “, pinta Raina.

Gadis itu lalu bangkit dari posisinya. Berjalan memutar lewat samping rumah Raina.
Masuk lewat pintu belakang yang sengaja dibiarkan terbuka.
Didalam rumah, orang-orang yang bertugas dibagian belakang menatap Raina dan Bara
dengan terkejut. Tak menyangka melihat mereka didalam rumah.

“ itu Arsy nya kenapa, Mbak? “, tanya Adel. Sepupu jauh Raina yang sibuk menyusun kue
menggantikan Raina yang mendadak menghilang tadi.

“ tidur. Kamu tolong siapin makanan buat Arsa aja. Anter ke kamarku “

Adel mengangguk kecil.

Perlahan Raina menaiki tangga. Dibelakangnya, Bara terlihat was-was. Bara tau, Raina
akan merasa begitu berat menggendong Arsy yang terlelap sambil menaiki tangga. Meskipun
Raina terlihat kuat, fisik Raina tidaklah sekuat itu.

Setelah sampai dilantai atas, Bara berjalan mendahului Raina. Membukakan pintu kamar
gadis itu, lalu kemudian menyiapkan tempat tidur Raina.

Dengan lembut, Raina meletakkan Arsy yang sepenuhnya sudah terlelap. Menyelimuti
gadis mungil itu, sebelum pandangannya berfokus kearah Bara yang berdiri canggung
didepan pintu kamarnya.

“ Mas turun aja. Biar aku yang jagain mereka sampe acara selesai “, tawar Raina.

Bara mengangguk kecil, lalu tanpa menunggu lagi kembali turun kebawah.

Tak berapa lama setelah Bara turun, Adel masuk kekamar Raina. Membawa sepiring
makanan untuk Arsa. Dengan senyum bahagia, Arsa duduk manis di kursi kerja Raina.
Makan siang sambil melihat layar laptop Raina yang sedang memutar kartun anak-anak.
Sebuah pengalihan agar Arsa tetap tenang berada didalam kamar hingga acara selesai.

Adel duduk disamping Raina. Lesehan disamping tempat tidur. Menatap Arsy yang sudah
berkelana dialam mimpi.

“ nggak kebawah aja, Mbak? Biar Adel yang jaga mereka “, saran Adel.

Lagipula rasanya tidak etis membiarkan tuan rumah duduk didalam kamar sementara tamu
dibawah membludak seperti itu.

“ nggak usah, Del. Lagian nggak ada yang aku kenal juga dibawah. Disini aja, jaga si
kembar “

“ Tante Dira bilang, kalo Mbak sama Mas Bara lagi pendekatan ya? “, tanya Adel
mendadak.

Pertanyaan itu berhasil membuat Raina hampir saja memenggal kepala sepupunya itu.

“ Bunda bilang gitu? Nggak heran sih, soalnya dia lagi ngebet banget nyuruh aku nikah “,
jawab Raina sekalem mungkin. Meski saat ini pikirannya mendadak berantakan.
“ cocok loh. Mbak Raina kan cantik. Mas Bara juga kan ganteng. Anaknya pasti ngikut
cakep “

“ makasih loh ya, kamu bilang aku cakep. “, tambah Raina kalem. Adel tersenyum simpul
sebelum mengalihkan tatapannya ke arah tv.

“ Mbak, hati-hati loh... jangan terlalu kasar gitu sama Mas Bara. Ntar jadi kepincut
beneran loh “, suara Adel memecah lamunan Raina.

Raina menatap sepupunya itu dalam diam.

Iya, aku tau del. Makanya sekarang aku nggak mau sok jaga jarak lagi dengan Bara.

***

“ kamu kemana aja Rain? Dicariin dari tadi taunya malah ikut ketiduran disini “, omel
Bunda saat melihat Raina sudah terbangun dari tidur siangnya.

Bunda dari tadi mencari-cari anak gadisnya itu diluar. Meminta Raina untuk duduk
didalam. Menggantikan Anggi yang bermaksud ingin mengurus si kembar. Tapi, saat dicari
Raina menghilang begitu saja. Bunda akhirnya menyerah dan tetap meminta Anggi
menemaninya. Karena Bunda tau, Raina pasti saat ini sedang mengurus si kembar dengan
baik.

Saat pengajian selesai, Bunda menghampiri Bara. Menanyai dimana keberadaan Raina.
Dan Bara menjawab jika Raina berada di kamar atas. Menemani si kembar yang lapar dan
mengantuk. Jadilah Bunda dengan tergesa-gesa masuk kedalam kamar Raina. Dan
menemukan anak gadisnya terlelap dengan damai.

Awalnya Bunda ingin marah. Namun diurungkannya niat itu. Paham jika Raina juga
kelelahan menyiapkan acara ini. tapi Bunda sama sekali tak berniat untuk tetap membiarkan
Raina tertidur.

“ pelan-pelan dong Bunda. Ini Arsy masih tidur loh “, pinta Raina memelas. Menatap
keponakannya dengan intens.

“ ganti baju sana. Bentar lagi acara siraman. Kamu bantu-bantu gih. “, pinta Bunda.

Tak ada jawaban dari Raina. Gadis itu memilih diam sambil menatap Bunda dengan wajah
memelas. Memohon agar tak disuruh melakukan hal aneh apapun.

“ nggak ada bantahan pokoknya. Cepat ya, Rain. Bunda tunggu. Nanti biar Anggi yang
ngurus ini anak-anak “

Setelah mengucapkan kalimat itu, Bunda berlalu. Meninggalkan Raina dengan wajah
frustasi.
Dari dulu hingga sekarang, Raina sangat membenci acara seperti ini. keramaian yang
begitu sesak. Wajah keingintahuan orang-orang. Belum lagi pertanyaan aneh yang kadang
dilontarkan. Membuat Raina benci menghadiri acara seperti ini.

Dulu saja, saat Rayhan menikah, Raina berusaha mati-matian untuk bertahan. Duduk
manis disamping Bunda. Menemani Ray yang kadang gelisah sendiri. Mendengarkan petuah
bijak yang disampaikan para tetua keluarganya. Dan pertanyaan tentang karirnya yang
bertubi-tubi datang.

Sekarang, bukan pertanyaan mengenai karir. Raina sudah pasti tau itu. Kali ini orang-
orang akan menyerangnya dengan pertanyaan kapan menikah. Membuat Raina gugup
setengah mati.

Dan Raina tau, itulah yang saat ini Bunda inginkan. Menyudutkan Raina hingga mau tak
mau membuat Raina pusing sendiri. Mendesak Raina agar segera memikirkan sosok Bara
yang selama 3 minggu terakhir ini selalu ada dimanapun Raina berada.

Dengan langkah malas, Raina menuruni tangga. Kali ini dia sudah berpakaian rapi.
Kebaya abu-abu dengan bawahan kain batik. Rambut Raina sendiri di ikat setengah, lalu
dibiarkan begitu saja. Bunda sudah menunggu di bawah. Dengan tangan yang membawa
nampan berisik 7 air dari semua sumber mata air.

“ tolong bawain itu kimono buat si Elang nanti “, perintah Bunda.

Tanpa banyak bicara Raina mengambil nampan yang diatasnya sudah diletakkan kimono
milik Elang.

Berjalan perlahan, Raina menuju halaman depan. Meletakkan Barang yang dibawanya.
Matanya tak lepas dari beberapa orang yang memperhatikan Raina dengan intens.
Kebanyakan ibu-ibu tetangga sebelah.

“ gunting buat potong rambutnya mana? “, tanya Bunda saat menyadari gunting tak ada
ditempat yang seharusnya.

Seorang wanita muda dengan pakaian seragam sederhana, mendekati Bunda sambil
membawa gunting. Tersenyum tipis kearah Raina yang hanya menatapnya dalam diam.

Merasa tak dibutuhkan lagi, Raina menyingkir dari area siraman. Berdiri dengan canggung
di samping Tiara yang kini sudah berganti pakaian dengan warna yang serupa. Abu-abu.

Tak ada percakapan yang berarti disana. Raina memang tak begitu dekat dengan menantu
pertama keluarga angkasa itu. Raina juga tak begitu dekat dengan si tengah, Bagas yang
dingin itu. Jadi wajar bagi Raina untuk tak bersikap sok akrab saat ini. jadi dia lebih memilih
memperhatikan Bunda yang dari tadi sibuk sendiri mengurus segala sesuatu.

“ cantik loh kamu pake kebaya, Rain “, puji Bara saat pria itu menemukan Raina berdiri
dengan kaku disamping tempat siraman.
Tiara tersenyum segan kearah Bara sebelum kembali memperhatikan kesibukan orang-
orang didepannya.

Raina sendiri menghembuskan nafas lega. Setidaknya ada Bara yang bisa dia ajak bicara
kali ini.

“ aku tau kok kalo aku cantik “, jawab Raina cepat.

“ iya. Tapi jarang loh kamu kelihatan cantik. Soalnya kayak orang bar-bar sih kelihatannya
“, ejek Bara yang dihadiahi Raina cubitan kecil di lengan pria itu.

“ mulut kamu itu ya.. pengen aku sambel, tau nggak? “

Bara meringis. Menjauhkan tanggannya dari jangkauan Raina.

“ sakit, Rain. Kamu itu jangan sadis amat jadi orang. Ntar susah loh dapet jodohnya “

“ nggak susah kok. Buktinya aku udah dilamar “, jawab Raina kalem.

Mendengar jawaban Raina, tubuh Bara menegang. Refleks menatap tajam wanita
disampingnya itu. Membaca raut wajah Raina yang terlihat begitu serius.

Suara dari Bagas mengalihkan perhatian Bara. Dia sama sekali tak menyadari jika adik
laki-lakinya itu berdiri tepat disamping Tiara. Memeluk posesif pinggang istrinya, sambil
mengelus pelan gundukan kecil diperut Tiara.

“ siapa Rain? Kok aku nggak denger apa-apa? “, tanya Bagas. Raina mengalihkan
pandangannya pada Bagas yang menatapnya penuh penasaran.

“ ada kok, Bang. Berapa minggu yang lalu dia ngelamar aku “, jawab Raina santai.

Bagas menatap Raina penuh minat. Sementara Bara memberikan tatapan tajam pada gadis
itu. Menebak-nebak pria mana yang memberikan lamaran pada Raina.

“ bisa kamu kasih tau, Dek? “

“ Mas Bara “, jawab Raina kalem.

Bagas hampir saja tersedak air liurnya sendiri. Tiara terlihat syok lalu mengalihkan
tatapannya pada iparnya yang sedang menatap Raina penuh teka-teki.

Hampir saja Bara ingin meninju siapapun yang melamar Raina. Dan hampir saja Bara
akan meledak penuh emosi saat Raina akan menyebutkan pria sialan yang mencoba
mengambil Raina darinya. Tapi saat Raina menggumamkan namanya, kaki Bara mendadak
lemas. Pikirannya mendadak kosong.

Demi apa seorang Raina mendadak membahas ajakan menikahnya di taman tempo hari?
Padahal Bara sangat ingat, bagaimana ekspresi gadis itu kemudian. Diam mematung sambil
menatap ngeri kearahnya. Bara bahkan ingat, konsekuensi dari perakataannya itu. Raina
menghindarinya secara terang-terangan. Meskipun kemudian kembali seperti semula.
Raina mengalihkan pandangannya pada kesibukan orang-orang dihadapannya. Sedikit
menyingkir ketika seorang pegawai EO datang dan membantu.

Sadar dirinya tidak diperlukan, Raina pergi dari sana. Duduk dikursi yang sudah disiapkan
sambil merutuki kebodohannya.

Dia tadi hanya bercanda ketika mengatakan itu. Ingin membuat Bara diam dan tak
meneruskan ucapannya yang terkadangan menyebalkan itu. Dan juga, Raina ingin melihat
bagaimana reaksi Bara saat dia mengatakan hal itu.

Rekasi dari seorang Bara ternyata cukup membuat Raina puas. Wajah Bara terlihat syok
namun Raina dapat melihat kelegaan disana. Tapi Raina sama sekali tak tau maksud dari
kelegaan itu.

Semoga saja Bara tidak mengambil serius ucapannya barusan. Semoga saja.

***

Malam sudah menjelang. Acara siraman yang dilakukan sore tadi sudah selesai.
Menyisakan penghuni rumah yang terlihat lelah namun memancarkan kebahagiaan yang luar
biasa.

Tinggal acara midodareni dan akad serta resepsi. Setelah itu rentetan acara yang
melelahkan ini akan selesai. Melepaskan Raina dari segala macam emosi jiwa yang
memBara.

Semenjak Bara dan keluarganya tinggal disini. Memang tak ada satu haripun yang Raina
dapat rasakan dalam damai.

Elang dengan sifat jahilnya selalu berhasil membuat Raina emosi bukan kepalang.
Ledekan ajaib yang tak ada habis darinya itu sanggup membuat Raina meninju perut pria itu.
Membuat Bunda memarahinya karena bersikap kurang sopan. Biar bagaimanapun, Elang
merupakan tamu dirumah ini dan sudah seharusnya Raina bersikap sopan.

Ya, Raina bisa saja bersikap sopan andai bocah itu juga bersikap sopan padanya.

Raina yang merupakan tipe pendendam akut itu mampu mengungkit seluruh kejadian
masa lalu. Membuat Elang terpancing emosi hingga terjadi adu mulut yang sengit. Membuat
siapa saja yang berada dalam radius 3 meter dari mereka harus merasakan hawa panas dari
dua manusia yang sulit akur itu. Bahkan Bara memilih kabur saat Raina dan Elang sudah
bertengkar.

Selain pertengkaran dengan Elang. Raina juga memiliki masalah emosi ketika sudah
berhadapan dengan Bara. Mulut nyinyir dokter anak itu kadang berhasil menyentil ego Raina
yang sudah dikubur Raina dalam-dalam semenjak menjadi guru.

Sebenarnya mulut nyinyir Bara itu baru terungkap setelah perkataan kasar Raina pada pria
itu. Kasar bukan dalam artian memaki. Karena Raina cukup sadar untuk tidak menjatuhkan
harga dirinya didepan Bara. Raina berkata pada ayahnya jika dia harus menggunakan tenaga
Bara selama diperlukan. Dan semenjak itu, Bara mulai melemparkan perkataan nyinyir
padanya. dan Raina menyambut setiap perkataan lelaki itu dengan nyinyiran yang tak kalah
sadis.

Jadi, permasalahan Raina hanya terletak pda dua bersaudara itu. Bukan pada bude adi dan
juga pakde adi. Sifat Raina cukup kooperatif jika sudah berhadapan dengan kedua orang tua
itu.

Raina sedang meluruskan kakinya saat Arsa dengan seenaknya duduk dipangkuan Raina.
Memeluk Raina tanpa aba-aba dan berhasil membuat mata Raina menyipit curiga dengan
kelakuan si sulung itu.

“ aku mau tidur sama Tante Raina “, rengeknya mendadak. Ray yang duduk tak jauh dari
Raina menatap heran anaknya yang mendadak aneh itu. Tak biasanya seorang Arsa mau tidur
dengan Raina. Karena Arsa pernah mengatakan jika Raina tidur itu seperti gasing berputar.
Membuat siapapun yang ada disampingnya tersungkur jatuh dari tempat tidur.

“ apaan sih sa? Kamu ngelantur? “, tanya Raina sambil menatap aneh keponakan
pertamanya itu. “ katanya Tante kalo tidur mirip gasing. “

Arsa mendegus sebelum kembali membuka mulutnya.

“ nggak masalah. Yang penting Arsa mau tidur sama tante “

Anggi yang sedang mengurus Arsy yang makan, mengerutkan kening bingung. Tak
mengerti dengan kelakuan absurd anak sulungnya itu.

“ di kamar Tante ada bintangnya. Keren. Arsa suka. Kalo lampu dimatiin, bintangnya jadi
terang “, jelas Arsa.

Semua yang ada diruangan itu mengangguk paham. Sementara Raina melotot horor.

Sejak kapan keponakannya itu menyadari bintang dikamar Raina. Karena Arsa tak pernah
masuk kedalam kamarnya dimalam hari. Selalu disiang hari.

“ biarin aja Rain. Kamu tidur di kamar Bara aja. Biar Bara bisa tidur dikamar Elang “,
saran Bunda.

“ Ray sama Anggi juga bakalan nginep malam ini. biar mereka tidur dikamar kamu “,
tambah ayah.

Raina mengangguk kecil.

“ tidur deh sana, dikamar Tante. Tapi jangan ngerusuh ya? Awas aja kalian “, seru Raina.

Arsa mengangguk semangat. Sedangkan Arsy hanya diam sambil menatap mamanya yang
sibuk menyuapinya makan.
“ Mas, itu kamar nggak apa-apa kan kalo aku tidur disana? “, tanya Raina. Kali ini dia
mengalihkan perhatiannya pada sosok Bara yang sedang menikmati kopi disudut ruangan.
Duduk bersila sambil memperhatikan interaksi keluarga.

Bara meletakkan kopinya. Lalu bangkit dari posisinya. Berjalan santai kearah Raina yang
masih memangku Arsa.

“ dibersihin dulu kali ya? “, tanya Bara balik. Raina mendengus.

“ bentar ya, Sa. Tante siapin kamar dulu “

Raina meletakkan Arsa. Berjalan mengikuti Bara yang kini sedang menaiki tangga.

Dibelakang Raina dapat mendengar suara Ray yang mendominasi ruangan.

“ cocok gitu. Tinggal nikahin aja “

Mendengar itu Raina mempercepat langkahnya. Menghalau suara Ray yang entah kenapa
mendadak menggema dalam pikirannya.

Cocok? Dirinya dan Bara? Sejak kapan kakak laki-lakinya mendadak usil seperti itu.
Selama ini Raina sangat tau bagaimana Ray bersikap bebas pada pilihan Raina. Selama
dirinya tidak mElanggar batas yang ditetapkan.

Apa Ray ketularan Bunda?

Pikiran itu mendadak melintasi benak Raina.

Hari ini. Ray adalah orang kedua yang mengatakan Raina cocok dengan Bara.

Benarkah itu?

Satu kata itu kini menggelayuti pikiran Raina. Cocok.


Sinar matahari menyilaukan mata Raina. Membuatnya terbangun dengan malas. Suara
rusuh di kamar Raina juga merupakan salah satu penyebabnya. Teriakan Arsa yang
membahana itu memaksa Raina membuka matanya.

Raina duduk dengan malas. Memperhatika seksama ruangan tempatnya tidur malam tadi.
Ruangan yang tak asing tapi kini terasa asing bagi Raina. Kamar tidur Bara untuk sementara
waktu ini.

Tak ada yang berubah dari kamar ini. kecuali beberapa buku yang berjejer rapi diatas meja
belajar. Ditambah sebuah gitar yang diletakkan tak jauh dari tempat tidur. Mata Raina
kemudian menatap sebuah pigura foto. Disana terpasang foto Bara dan adik-adiknya. Tanpa
sadar Raina tersenyum. Merasa bahagia melihat Bara yang tersenyum lepas di foto itu.

Dengan kesadaran penuh, Raina memasuki kamar mandi. Mencuci wajahnya biar terlihat
segar. Pagi ini, suasana pasti sangat ramai. Mengingat Bagas dan Tiara yang juga menginap
disini malam tadi.

Gedoran dipintu kamar membuat Raina lekas keluar dari kamar mandi. Sedikit terburu-
buru dia membuka pintu. Memperlihatkan wajah Bara yang juga terlihat Baru Bangun.

Tanpa permisi, pria itu masuk kedalam kamar. Lalu bergulung dalam selimut yang belum
sempat Raina rapikan.

Dibelakang Bara, Elang mengikuti kakak laki-lakinya itu. Berbaring disamping Bara
kemudian terlihat kembali tertidur.

Mata Raina menyipit heran. Tak bisa membaca keanehan yang dilakukan dua bersaudara
itu.

Akhirnya, Raina memutuskan turun kelantai bawah. Meninggalkan segala kegaduhan


dikamar Raina. Meninggalkan dua orang kakak beradik yang kembali tertidur pulas.

Sampai dilantai bawah, Raina melihat kesibukan Bunda dan Bude Adi yang sedang
meMasak. Sadar kedua perempuan paruh baya itu membutuhkannya, Raina bergerak
kedapur. Mencuci tangannya di wastafel sebelum beringsut mendekati Bunda yang sibuk
mengupas bawang.

“ Raina bisa bantuin apa, Bunda? “, tanya Raina. Bunda mengalihkan perhatiannya pada
anak gadisnya itu. Rambut Raina sudah terikat rapi meski pakaiannya belum berganti.

“ kamu belum mandi? “, tanya Bunda balik. Raina mendengus kecil. Sebelum menggeleng
pelan. “ Ray sama Anggi masih sibuk ngurusin si kembar di kamar? “

“ nggak tau, Bunda... itu kamar sebelah ngerusuh banget. “, dumel Raina lalu mencuci
ayam yang diletakkan disamping westafel. “ terus, itu kenapa Mas Bara sama Elang tidur lagi
di kamar? “
Bude Adi yang sedang memotong sayuran menghentikan kegiatannya. Tertawa lepas di
ikuti Bunda.

“ itu loh, si Tiara malem tadi mendadak ngidam. Nyuruh Bara sama Elang olahraga tengah
malem. Makanya mereka kayak begitu “

Raina mengerutkan kening. Tak mengerti ucapan Bude Adi. Lebih tepatnya, tak mengerti
bagian mana yang lucu hingga kedua orang tua itu tertawa seperti tadi.

“ kamu nggak meratiin semuanya udah rapi, Rain? Itu semua gara-gara Bara sama Elang
yang dipaksa beres-beres tengah malem buta sama Tiara. Tiara bilang, kalo dia bawaannya
pengan muntah ngeliatin rumah yang kayak kapal pecah “

“ tengah malem, Bude? “, tanya Raina memastikan. Bude Adi mengangguk pasti.

Karena penasaran, Raina meninggalkan ayam yang sudah dicucinya menuju ruang tengah.
Memperhatikan dengan seksama perubahan kecil yang terjadi disana. Tidak. Bukan lagi
perubahan kecil. Melainkan perubahan besar-besaran yang terjadi.

Sofa yang sebelumnya diletakkan agak merapat di dinding, kini diletakkan tepat ditengah-
tengah ruangan. Kotak-kotak yang semula diletakkan berjejer di ruang tengah kini sudah
menghilang.

Raina juga berjalan menuju ruang tamu. Memperhatikan dengan seksama ruang tamunya
yang lumayan besar. Sofa-sofa mahal kesayangan Bunda yang sangat amat berat itu sudah
tertata dengan rapi. Guci cina yang besarnya bukan main-main itu juga sudah berpindah
posisi ke tempat yang lebih strategis.

Dan ini semua berkat Bara dan Elang?

Puas melihat kondisi rumahnya, Raina berjalan kembali ke arah dapur. Melewati Bagas
dan Tiara yang sedang duduk manis di ruang tengah. Melewati Ayah dan Pakde Adi yang
sedang bercerita seru mengenai kehidupan perekonomian Indonesia di meja makan.

Raina kembali berkutat dengan ayam miliknya. Mengupas bawang merah dan bawang
putih, setelah itu menyiapkan bumbu yang diperlukan. Menumbuknya hingga halus,
kemudian menyisihkannya.

“ yakin kamu mau motong bawang bombay? Kamu kan benci Banget kalo udah motong
itu bawang “, tanya Bunda memastikan.

Raina yang saat ini sedang mengupas bawang bombay menatap tak yakin kearah benda
yang ada ditangannya itu. Benar kata Bunda. Dia sangat membenci bawang ini. Setiap kali
Raina memotong bawang ini, otomatis air matanya jatuh tak tertahankan. Membuat dirinya
yang jarang menangis terlihat seperti seorang gadis cengeng.

“ insyaallah, aku bisa “, balas Raina pelan, lebih seperti sebuah gumaman. Bunda yang
sedang mengecek nasi di kukusan menatap anaknya itu dengan prihatin.
Raina memang suka memasak. Tapi Raina bukanlah gadis yang dengan suka rela
memasak setiap hari. Hanya dalam momen tertentu atau dalam situasi tertentu saja Raina
akan Masuk kedapur dan memasak. Karena Raina sangat membenci beberapa hal ketika
memasak. Seperti memotong bawang bombay seperti ini. itu adalah salah satu alasan seorang
Raina malas untuk Masuk ke dapur dan memasak.

“ mau Bunda aja yang potong? “

Dengan cepat Raina menggeleng. Membuat Bunda mengeluskan dada. Takut jika kepala
putrinya itu terlepas dari tubuhnya karena gelengannya yang kuat.

Perlahan, Raina mulai memotong bawang. Potongan pertama saja sudah berhasil membuat
matanya berair. Meneteskan air mata yang sangat jarang Raina keluarkan.

Selama hidupnya. Raina bukanlah seorang gadis yang gampang menangis. Bahkan ketika
ray dengan jahilnya mengerjai Raina. Atau ketika Raina merasa sedih. Air mata Raina adalah
salah satu hal langka yang dimiliki gadis itu. Hanya ketika terdengar petir yang bersahut-
sahutan dan kilat yang menyamBar disertai padamnya lampu sajalah yang membuat Raina
menangis ketakutan. Hanya itu. Dan kejadian itu tak berlangsung disetiap waktu.

Tetesan air mata Raina mengundang reaksi Bude Adi. Wanita paruh baya itu harus
menahan tawa ketika melihat banyaknya air mata yang turun dari kelopak indah Raina.
Bahkan setelah gadis itu selesai memotong bawang dan sedang mempersiapkan hal lain. Air
mata Raina dengan ekstrim tetap mengucur deras.

“ cuci muka dulu gih, Rain... kasian Banget Bude ngeliat kamu nangis gitu “, saran Bude
Adi pada akhirnya.

Raina yang sedang menumis bumbu hanya mengangguk kecil.

Begitu Raina sudah selesai menambahkan kecap kedalam masakan ayamnya, Raina
bergegas ke kamar mandi bawah. Mencuci wajahnya. Saat menatap cermin dikamar mandi,
Raina tersenyum getir. Tak menyangka dirinya akan menangis lagi setelah berbulan-bulan
lamanya dia tak pernah mengeluarkan air mata yang berharga itu.

Setelah selesai, Raina kembali menuju dapur. Disana dia melihat Anggi sudah datang
membantu. Hingga dia memutuskan untuk bergabung dengan Bagas dan Tiara di ruang
tengah.

Bagas sedang mengupas apel untuk Tiara ketika Raina datang. Tiara sendiri sedang asik
mengelus perut buncitnya itu. Tersenyum bahagia sambil sesekali bercakap-cakap dengan
calon bayinya.

“ itu muka apa muka sih, Rain? Kusut amat “, ledek Bagas saat melihat Raina duduk tak
jauh darinya.

“ muka ini, Bang. Pagi-pagi kerjaannya ngeledek aja sih? “, gerutu Raina lalu mencomot
potongan apel yang sudah diletakkan Bagas dengan rapi dipiring.
Sebuah pukulan ringan didapati Raina ketika berhasil mengambil potongan itu. Bagas
menatap Raina penuh peringatan, sebelum dengan kesadaran yang ada Raina kembali
meletakkan potongan itu.

“ pelit amat sih? Jangan terlalu pelit jadi orang, Bang. Ntar rezekinya seret loh “

Bagas tak perduli. Dia masih tetap melanjutkan pekerjaannya. Memotong apel.

Dari sudut mata Raina, Raina dapat melihat Bara yang Baru turun dari lantai atas. Pria itu
sudah terlihat segar sehabis mandi.

Perlahan Bara duduk diruang tengah, bergabung bersama Raina disana. Mata Raina sendiri
berusaha fokus menatap tayangan kartun didepannya. Seekor kucing yang sedang berburu
tikus yang anehnya selalu mendapatkan kesialan.

“ kamu habis nangis, Rain? “, tanya Bara yang otomatis langsung mengalihkan pandangan
Raina dari TV.

“ tadi habis motong bawang bombay. Makanya jadi kayak begini “

“ kamu masak, Rain? “, tanya Bara kali ini dengan nada takjub.

Raina mendengus kasar mendengar pertanyaan Bara yang terdengar sedikit mengejek di
telinga Raina yang sensitif itu.

Memangnya begitu aneh melihat seorang Raina berkutat dengan dapur. Jangan bilang
Bara meragukan dirinya di dapur. Atau malah berpikir Raina sama sekali tak bisa meMasak.

Dengan spekulasi aneh yang ada di otak Raina, otomatis Raina memukul ringan lengan
Bara yang kekar itu. Meskipun hasilnya, Raina yang mengaduh kesakitan karena memukul
lengan yang sekeras batu itu.

“ Mas kira aku ini apaan? Cewek itu harus bisa masak. Denger ya... “, Raina menarik
nafas sebentar sebelum melanjutkan.

“ cewek itu harus punya 2 keahlian. Bisa Masak dan bisa mijit. Karena apa? Supaya suami
mereka nanti nggak kegatelan nyari belaian kasih sayang sama pelakor diluaran sana. Masak
makanan yang enak biar buat suami betah dirumah. Kasih pijatan yang nyaman biar suami
makin sayang “

Semua yang ada diruangan itu terdiam. Pun dengan Ray yang baru saja duduk bergabung
dengan mereka. Kini semua yang ada diruangan itu menatap Raina dengan takjub.

“ dapet ilmu dari mana, Rain? Nggak ada yang ngajarin kamu kayak begituan loh dirumah
“, tanya Ray penasaran.

Dengan lagaknya, Raina mengibaskan rambut panjang miliknya. Tersenyum mengejek


kearah saudaranya itu.

“ dapet dari pengalaman hidup, Mas “


“ lagaknya udah kayak hidup seabad aja “, balas Ray cepat.

Ledekan Ray tak Raina gubris sama sekali. Dia hanya duduk diam sambil menatap TV.
Memuji dirinya yang bisa bertindak begitu keren di saat seperti ini.

***

Pagi hari adalah saat tersibuk dirumah keluarga samudera. Raina yang sibuk
mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Bunda dan bude adi yang sibuk membuat sarapan.
Ayah dan Pakde Adi yang juga heboh harus berangkat kerja. Semua orang dirumah itu punya
kesibukan Masing-Masing.

Di meja makan, semua hidangan sudah tersedia. Hanya nasi goreng biasa. Dilengkapi
dengan beberapa tambahan seperti acar, telur dadar, serta kerupuk. Tiara yang selama
seminggu full ini akan menginap disini, kali ini membantu didapur. Menyiapkan semua menu
sarapan bersama Bunda dan bude adi.

Saat Raina turun dari atas, semua sudah berkumpul disana. Bahkan Elang yang biasanya
sering melewatkan sarapan bersama sudah duduk manis disana. Menatap nasi goreng
dihadapannya dengan panuh minat.

Raina menarik kursi disamping Tiara. Tersenyum sopan kearah calon ibu itu sebelum
duduk.

“ selama Bagas disini, biar Bara aja yang anter jemput Raina. Biar mobilnya Raina bisa
dipake Bagas sama Tiara buat jalan-jalan. Kasihan Tiara kalo dirumah terus “, saran Bunda.

Raina yang sedang mengambil telur dadar menatap horor kearah Bunda. Sedangkan
Bunda tersenyum manis kearah anak bungsunya itu.

“ Bara nggak masalah kan? “, tanya Bunda meMastikan.

Bara hanya mengangguk kecil sambil tersenyum manis kearah Bunda.

“ biar Bara ada kerjaan, Bulek. Soalnya kemarin kan nganggur terus. Ntar disindir lagi
sama seseorang “

Tanpa perlu waktu, Raina sudah paham maksud kalimat Bara itu. pria itu terang-terangan
menyindir kelakuan Raina tempo hari di taman belakang.

“ makan yang cepet, Mas. Aku bentar lagi berangkat “, seru Raina cepat. Gadis itu sendiri
memilih beranjak dari kursi dan menuju kearah dapur. Mengambil kotak makanan lalu
memasukan sarapannya kedalam tempat.

“ nggak keawalan, Rain? Baru jam 6 loh “, tegur Ayah mengingatkan.

“ nggak, yah. Raina Baru inget kalo harus dateng awal hari ini “

“ ya udah. Hati-hati kamu “, pesan Ayah. Raina mengangguk. Melirik Bara yang dengan
cepat menghabiskan sarapan paginya yang tinggal sedikit.
Sedikit membungkukan badan, Raina pamit kepada semua orang yang ada diruang makan.
Berjalan mendahului Bara dan kemudian masuk kedalam sedan mahal Bara.

Bara mengikuti Raina dengan cepat.

“ langsung jalan aja, Mas “, pinta Raina.

Tanpa perlu perintah lagi, Bara melajukan mobilnya. Keluar dari area rumah Raina dan
berjalan dengan santai.

Disepanjang perjalanan, tak ada peprcakapan yang berarti antara Raina dan Bara. Suara
radio lebih mendominasi mobil itu. menimbulkan kecanggungan yang luar biasa bagi Raina.

Sedikit melirik Bara, Raina menghembuskan nafas gusar. Melihat pria itu duduk dengan
nyamannya sambil menikmati suasana jalanan yang lumayan sepi membuat Raina merasa
sedikit dongkol.

Bagaimana mungkin Bara bisa senyaman ini saat bersamanya. Sedangkan Raina sendiri
harus menahan gejolak-gejolak aneh yang selalu datang disaat yang tidak tepat.

Dan, astaga! Sejak kapan seorang Raina menjadi sosok yang labil seperti ini?

Mobil memasuki gerbang sekolah. Membuat beberapa pasang mata menatap heran pada
mobil asing itu. tapi pandangan itu berubah menjadi sebuah keterkejutan. Terutama disaat
melihat sosok Raina dan Bara keluar dari mobil itu secara bersamaan.

Beberapa guru wanita yang kebetulan berada diarea parkir menatap Bara dengan
pandangan memuja. Terlebih disaat Bara dengan secara mendadak memberikan Raina sebuah
senyuman manis. Matanya yang agak menyipit ketika tersenyum berhasil meluluh lantakkan
hati guru wanita yang beberapa diantaranya masih single.

Raina meringis ngeri. Membayangkan gosip yang akan menimpanya nanti.

“ kabarin aja kalau kamu mau pulang. Langsung telpon aku “, pinta Bara mengingatkan.

Dengan cepat Raina mengangguk. Lalu sedikit mendorong Bara untuk segera memasuki
mobilnya.

“ cepet pulang deh, Mas. “

“ kamu apa-apaan sih, Rain? Dorong-dorong aku begini? “, sungut Bara tak terima. Bara
masih mempertahankan posisi semula. Berada tepat didepan mobil, disamping Raina.

“ ntar aku telpon kalo udah mau pulang. Mas nggak usah khawatir. “

“ bener loh... jangan sampe kabur kamu. Atau pulang sendiri naik gocar atau grab “

“ nggak kok, Mas. Tenang aja “


Puas mendapatkan jawaban yang diinginkan, Bara kembali tersenyum. Mengacak sedikit
rambut Raina yang terurai pagi ini. Membuat Raina mendengus kesal tepat didepan Bara.

Bara tertawa mendapatkan ekspresi Raina yang menurutnya menggemaskan itu. Membuat
Raina mendorong paksa dirinya Masuk kedalm mobil. Kali ini, Bara membiarkan gadis itu
melakukannya.

“ hati-hati dijalan “, pinta Raina saat Bara mulai menyalakan mesin mobil.

“ selamat mengajar, bu guru cantik “, goda Bara disertai kekehan. Raina hanya tersenyum
kecil. melambaikan tangan saat mobil Bara secara perlahan berjalan.

Dengan cepat Raina melangkah menyusuri lapangan parkir. Berjalan menuju ke ruang
guru. Meletakkan tasnya diatas meja. Setelahnya duduk dengan cepat di kursi.

Raina menghembuskan nafas. Melepaskan debaran gila yang mendadak menyerangnya.

Sebuah suara menyadarkan Raina. Membuat Raina melirik kearah sang pemilik.

Setio, atau yang biasa dipanggil Tio tersenyum manis kearah Raina. Pria yang mengajar
mata pelajaran sejarah itu tanpa sungkan duduk di kursi didepan Raina. Kemudian dia
menyerahkan setangkai bunga mawar. Membuat Raina mendelik heran dengan kelakuan
playboy cap karung beras itu.

“ bunga yang cantik, untuk Bu Raina yang cantik “

Hampir saja Raina terkena serangan jantung saat mendengar gombalan receh pria
didepannya ini.

“ silahkan diambil, Bu “

Tio menyerahkan setangkai mawar itu pada Raina. Yang diterima Raina dengan kening
berkerut.

“ palsu? Jadi maksud Bapak kecantikan saya itu palsu gitu ?”, balas Raina sarkas.

“ nggak gitu, Bu. Maksud saya, bunga palsu ini akan selalu awet. Begitu pula kecantikan
Ibu yang akan selalu awet “

Raina meletakkan bunga mawar itu dengan cepat. Kemudian dia menatap fokus tio.
Berusaha membaca pikiran guru aneh dihadapannya itu.

“ Pak, saya nggak tertarik sama gombalan receh Bapak. Lagian, nggak ada kecantikan
yang abadi. Toh kalau udah tua, keriput, dan pikun saya pasti nggak cantik lagi “

Tio mingkem. Raina tersenyum tipis.

“ jadi, Pak... saya harap, Bapak jangan ngasih saya gombalan receh kayak begini ya... saya
sama sekali nggak tertarik. Syukur-syukur nggak saya pukul Bapak “
Dengan sisa harga diri yang ada, Tio berlalu dari hadapan Raina. Meninggalkan Raina
sendiri. Gadis itu menatap bunga mawar yang diletakkan sembarang. Tersenyum miris pada
bunga itu.

***

“ gue denger, elo dianter cowok cakep “, Tyas membuka percakapan.

Saat ini jam istirahat, Raina dan Tyas sedang menikmati makan siang di taman sekolah.
Duduk santai sambil bercerita bebas. Cerita apapun yang tak berhubungan dengan sekolah.

“ oh, Mas Bara yang anter. Kenapa? “

Tyas mengerutka keningnya. Terlihat berpikir keras. Mencoba menggali ingatannya


tentang sosok yang Baru saja disebutkan Raina. Ada rasa familiar yang melandanya. Hingga
sebuah senyum simpul terbit. Menandakan ingatan Tyas yang akhirnya terbuka.

“ Bang Bara yang tetangga elo itu kan, Rain? Yang kuliah kedokteran. Yang punya lesung
pipi manis. Yang kalo udah ngomong keliatan banget pinternya. Yang abangnya si Elang.
Yang suka gue uber-uber kalo main ke tempat elo kan? “

Suara antusias Tyas berhasil menarik perhatian beberapa siswa yang kebetulan sedang
duduk santai disana. Mereka terlihat penasaran dengan sosok yang sedang dibicarakan dua
wanita cantik itu.

“ iya. Bara yang itu. sekarang dia lagi tinggal di rumah gue, gara-gara si Elang mau
nikah.”

“ kok gue nggak di undang? Si Elang itu emang kebangetan deh, ya. Mentang-mentang
berhasil dapetin si Karina, gue dilupain gitu aja. Emang mantan kampret “

Kali ini tawa Raina pecah. Dia hampir saja melupakan fakta itu. fakta seorang Tyas putri
gunawan yang merupakan mantan kekasih Elang buana angkasa saat masa SMA dulu.
Kejadian yang sudah bertahun-tahun lamanya itu, entah bagaimana sempat terkubur dalam
ingatan Raina. Mungkin karena Elang dan Tyas sendiri tak pernah mengungkit hal itu setelah
sekian lama.

Dengan kesal Tyas mengaduk-aduk minumannya. Sesekali mulutnya mencibir pria yang
akan melepas masa lajang dalam hitungan hari itu.

“ dia ngundang elo kok, Yas. Undangannya ada sama gue. Belum gue kasih aja. Lagian
acara nikahnya masih seminggu lagi kok. Santai aja “

“ jadi elo yang nahan itu undangan? Wah, nggak nyangka gue Rain. Lo kok bisa setega itu
sama gue? “

“ ngaco ah, elo Yas. Udah ada suami juga, Masih aja suka mikirin mantan “
“ gue nggak mikirin mantan, Rain. Lo jangan asal ngomong gitu, ya. Gini-gini gue cinta
mati sama suami gue “, amuk Tyas tak terima. Perempuan dengan wajah oriental itu menatap
kesal Raina.

“ nggak usah marah-marah juga kali. Gue cuman bercanda doang “

Tyas hanya diam. Kembali menikmati makan siangnya yang sempat terhenti. Namun,
Baru satu suapan, Tyas kembali membuka suaranya.

“ kenapa kita jadi ngebahas Elang? Kan gue mau nanya soal Bang Bara “, sungut Tyas
sambil mengunyah. Raina yang ada dihadapan Tyas hanya bisa menatap malas kearah wanita
itu.

“ Bang Bara itu, kenapa dia nganter lo? “

“ mobil gue dipake sama Bagas, jadinya Bara yang bertugas buat nganter jemput gue
selama beberapa hari ini. kenapa? “

“ lo nggak denger gosip yang berhembus di seantaro sekolah ya? Kalo lo dianter sama
cowok yang limited edition Banget. Modelan cowok yang pengen direbut paksa sama pelakor
jaman now “

Heh? Raina sama sekali gagal paham dengan ucapan Tyas Barusan.

Limited edition? Pelakor? Itu apa hubungannya dengan Bara?

Kepala Raina mendadak cenat-cenut. Pusing tujuh keliling dengan ucapan wanita gendeng
dihadapannya itu.

“ Tio aja sampe kalap. Gila, gue di uber-uber sama itu orang. Nanyain elo emang udah ada
yang punya atau belom. “

“ dan jawaban elo? “

“ nggak. “, jawab Tyas cepat.

Satu kata itu berhasil membuat Raina cemberut bukan main. Pantas saja saat Raina akan
keluar dari ruang guru tadi, tio memberikan senyuman yang mengerikan. Tersenyum amat
sangat manis hingga membuat Raina merinding disko melihatnya.

“ tapi gue bilang, kayaknya elo lagi dalam tahap pengenalan dengan cowok itu. iseng aja
sih gue jawab begitu. “

Raina mengangguk santai. Kemudian dia menatap serius Tyas.

“ gue pengen banget cerita masalah ini ke elo. Cuman, gue takut reaksi lo nanti bakalan
heboh. “

“ jangan sok misterius gitu.. lo nggak cocok “, ketus Tyas. Kesal dengan suara Raina yang
mendadak pelan ditelinganya.
“ pas hari pertama Bara dateng, dia ngelamar gue “

“ astagaaa!!! Bang Bara??!! Seriusan??? “, seru Tyas heboh. Persis seperti dugaan Raina.

Melihat reaksi kesal Raina, Tyas tersenyum kikuk. Kemudian duduk dengan elegan sambil
menatap serius wanita dihadapannya.

“ sorry, khilaf gue. Lo kan tau gue kayak gimana “

Raina mengangguk mahfum. Mencoba menenangkan hatinya yang dongkol.

“ terus lo jawab apa? “

“ gue gantungin. Kayak jemuran. Cuma diem terus kabur pas dia udah selesai ngomong “

Tyas melotot. Berusaha menahan mulutnya untuk tidak mengatai Raina.

“ gue bukannya nolak dan bukannya mau Banget. Rasanya risih pas ngebayangin gimana
hubungan gue selanjutnya. Bakalan jadi apa nanti? Bara udah gue anggep kakak. Dan dengan
nerima lamaran Bara, gue ngerasa kayak bakal nikahin dia “, sambung Raina pelan. Kini dia
sama sekali tak berani menatap Tyas. Raina mengalihkan pandangannya pada sebuah pohon
besar di taman sekolah.

“ bukannya elo sendiri pernah ngasih petuah buat gue, lo bilang nggak ada yang namanya
hubungan abang adek buat orang yang nggak sedarah karena suatu saat salah satunya bakal
ngerasin rasa lebih. Dan gue yakin, alasan yang lo berikan itu bukan murni alasan dari diri
elo. Gue tau elo dari dulu Rain. Otak sama hati elo itu suka nggak sinkron “

“ terus menurut elo alasan yang sebenarnya apaan? “, sungut Raina tak terima.

Tyas tersenyum tipis. Jenis senyum yang begitu cantik saat Tyas melakukannya.

“ lo cuman takut. Takut kalo Bara nggak serius dengan ucapannya. Takut kalo lo ngebuka
hati lo makin leBar, Bara bakalan ngelukain elo. Lo takut dengan pikiran jelek elo sendiri
tentang Bara. Jadi, alasan terbesar lo adalah karena lo takut “

“ kenapa gue harus takut sama dia? Alasan lo nggak logis, Tyas “

“ lo takut karena elo udah mulai jatuh dalam pesona seorang Bara. Bahkan sebelum elo
sadar akan hal itu. “

“ gue? “

“ iya, elo Raina Samudera, tanpa sadar jatuh cinta “


Sore itu kondisi rumah Raina lumayan kondusif. Tak ada kehebohan aneh yang
disebabkan oleh keponakan kembarnya. Kejahilan menyebalkan yang selalu Elang berikan.
Bahkan Raina tak harus merasa iri dengan kemesraan Bagas dan Tiara yang hampir-hampir
membuatnya terkena serangan jantung mendadak.

Intinya, sore itu Raina merasa nyaman. Bahkan Bunda dan Ayah yang biasanya selalu
berada dirumah, mendadak pergi entah kemana. Meninggalkan sebuah kesunyian yang sudah
lama Raina rindukan.

Setelah sesi curhat dengan Tyas di taman sekolah siang tadi. Raina semakin merasa ketar-
ketir. Ucapan seorang Tyas berhasil membuatnya duduk bisu didalam mobil saat Bara
menjemputnya sebelum kemudian pria itu pergi untuk melakukan hobi fotografi miliknya.

Dimobil, Bara sempat membuka beberapa percakapan dengan Raina. Yang hanya dijawab
Raina dengan anggukan, gelengan, atau bahkan keheningan. Membuat Bara bertanya-tanya
tentang kesalahan apa yang mungkin dia lakukan pagi ini. dan hanya diberi respon gelengan
pelan bagi Raina. Hingga akhirnya Bara berpikir jika gadis disebelahnya itu sedang dalam
mood jelek.

Raina duduk santai di kursi panjang yang diletakkan Ayah dekat kebun sayuran miliknya.
Mata Raina menelusuri kebun mungil kesayangan ayahnya itu. tersenyum geli saat mengingat
tingkahnya saat Masih kecil.

Dulu, Ayah hobi sekali menyuruh Raina dan Ray untuk berkebun. Merawat dengan baik
tanaman penuh manfaat itu. tapi Raina tak menyukai sesuatu yang berbau kotor. Menggali
tanah bukanlah hobi Raina. Apalagi saat Ayah menyuruhnya memberi pupuk kandang pada
sayuran hijau itu. Raina menyerah. Berlari menjauh hingga membuat Ray terpaksa
menangkapnya. Mengangis tersedu agar jangan dipaksa untuk mengambil benda menjijikan
itu.

Saat mengetahui sayuran yang sering dimakannya tumbuh dengan dibantu pupuk kandang,
Raina kecil mendadak berhenti memakan sayuran. Raina bahkan menolak buah mangga
manis yang tumbuh dipojok halaman belakang. Itu semua berkat pupuk kandang
menyebalkan itu.

Tapi itu dulu. Saat ketika otak kecil Raina belum mampu menyerap ilmu dengan baik.
Semua berubah ketika Raina sudah meMasuki usia 9 tahun. Ketika ia mulai mempelajari
dengan baik bagaimana alam yang sebenarnya.

Raina menghembuskan nafas pelan. Merasa konyol dengan Masa kecilnya.

Dengan penuh kesadaran, Raina bergegas Masuk kedalam rumah. Saat diruang tengah,
Raina dapat melihat Elang yang terlihat sibuk. Mulutnya sesekali bergumam. Tak lama
kemudian, pria itu melompat kesal sebelum akhirnya kembali duduk di sofa. Remot tv yang
digenggamnya mendadak jadi pelampiasan kekesalan pria itu.

“ itu bakalan rusak kalo lo teken-teken kayak gitu. “, tegur Raina.


“ ntar gue ganti kalo sampe rusak “, balas Elang cepat. Pria itu menatap layar tv dengan
datar. Mengganti channel setiap satu detik.

“ ngapain sih komat-kamit kayak mbah dukun? Lo lagi mau melet orang, Lang? Inget loh
bentar lagi kawin “

“ nikah, Raina. “

“ iya, nikah maksud gue “

Elang meletakkan remote tv. Menggeser posisi duduknya, kemudian meminta Raina
duduk disebelahnya.

Raina menurut, duduk di dekat Elang yang mendadak seperti cacing kepanasan itu.

“ bentar lagi gue nikah, takut Banget gue salah ucap nama pas ijab. “, curhat Elang begitu
Raina baru saja duduk.

Pria itu melepaskan kacamata yang selalu digunakannya. Meletakkan kaca mata
berbingkai hitam itu diatas meja.

Raina memperhatikannya. Kemudian pandangan Raina jatuh pada mata Elang yang tajam.
Mengingatkan Raina pada sosok Bara.

“ apa ini yang namanya sindrom mau nikah? Gue mendadak gelisah. Tidur nggak
nyenyak. Makan nggak nafsu. Kepikiran terus bawaannya “

“ perbanyak sholat aja sih, lang. Tenangin pikiran lo. Semua udah beres. Nggak ada yang
perlu lo takutin. Soal ijab, ntar kalo lo takut salah sebut nama, lo bisa buat catetan. Kayak
Mas Ray dulu. Soalnya, nama Mbak Anggi itu belibet banget. Salah ucap, wassalam “

“ emang boleh gitu? “

“ yang bilang nggak boleh siapa? Lo mau salah ucap sampe 3 kali terus batal nikah? “

Elang menggeleng cepat.

“ jangan sampe deh, Rain... bisa diamuk gue sama Karina “

Hening. Kini Elang tenggelam dalam pikirannya sendiri.

“ seserius apa hubungan lo dengan abang gue, rain. Sampe Mas Bara ngelamar elo “, ucap
Elang mendadak. “ gue nggak pernah denger kalo lo lagi ada something dengan abang gue.
Tapi kenapa mendadak satu rumah heboh ngebahasin elo berdua yang lagi tarik ulur? “

Raina sudah pasrah jika suatu saat lamaran Bara tempo hari itu terbongkar dikeluarga.
Tapi Raina belum siap jika ada orang yang terang-terangan membahas masalah itu
didepannya langsung seperti ini. Terlebih itu adalah Elang. Si bungsu yang protektif.
“ gue emang nggak ada something dengan abang elo. Gue sendiri heran, kenapa Mas Bara
ngelamar gue. Itu mendadak, lang. Sumpah. Gue nggak bisa jawab gitu aja “

“ elo ngga mempertimbangkan abang gue buat jadi suami lo? “

“ apa lo udah siap buat manggil gue dengan sebutan Mbak? “

Elang diam. Menutup rapat mulutnya. Matanya mendelik tak suka. Membayangkan dia
harus memAnggil Raina dengan sebutan Mbak berhasil membuat Elang kesal. Raina bahkan
lebih muda 6 bulan darinya. Kenapa dia harus repot-repot memanggil gadis itu dengan
panggilan Mbak?

“ lo tanya sendiri deh, alesan Mas Bara ngelamar gue. Gue nggak ngerti sama jalan
pikirannya. Dari dulu sampe sekarang, dia nggak bisa gue jamah. Absurd banget. “

Setelah mengucapkan itu, Raina bergegas bangkit. Berjalan perlahan kearah tangga.
Meninggalkan Elang yang hanya diam seribu bahasa.

Please, sehari aja, tolong jangan bahas Bara. Gue capek.

***

Raina sedang menyiram bunga ketika satu persatu mobil memasuki halaman rumahnya.
Mobil pertama yang merupakan milik Ayah dan Bunda, selanjutnya mobil Raina yang sedang
dipinjam oleh Bagas terparkir tepat disamping mobil Ayah dan Bunda. Lalu, mobil Pakde
Adi dan kemudian disusul mobil Bara. Raina hanya melirik sekilas. Berusaha untuk terlihat
acuh meski pikirannya saat ini sedang bingung.

Tak biasanya mereka semua tiba secara serempak seperti ini. ini sangat terlihat
mencurigakan. Tapi Raina terlalu malas untuk bertanya. Dia tak ingin terlihat seperti gadis
kepo. Jadi, dia memutuskan untuk stay cool didepan semua orang.

“ tumben banget kamu, Rain? Biasanya juga ogah nyiram taneman “, usil Bunda.

“ lagi nggak ada kerjaan bun. Bunda sama Ayah dari mana? “, Raina meletakkan sElang
air. Berjalan mendekat kearah Ayah dan Bunda yang kini sudah berdiri di teras depan.

“ nge-date dong. Sekali-kali jalan sama suami berdua kan nggak Masalah. Toh anak-
anaknya udah pada gede semua “

Mendengar jawaban Bunda, Raina tersenyum kecil. kemudian memeluk Ayah dengan
manja. Tindakannya itu berhasil membuat Bunda menatap sebal kearahnya.

“ yah, udah lama nggak jalan berdua. Ntar Ayah nge-date sama Raina aja. Jangan Bunda.
Sekali-kali sama yang mudaan sedikit jadi gandengannya “

“ ntar Ayah dikira om-om mesum lagi “

“ nggak bakal. Ayah masih muda kok “, sahut Raina cepat.


“ makasih loh ya pujiannya.. tapi kalo kamu mau jalan, ajak si Bara aja. Kasian lo dia
muter-muter sendiri.. “

Tubuh Raina mendadak kaku. Merasa tak nyaman dengan pengalihan topik pembicaraan
Ayah yang mendadak. Mendengar nama Bara benar-benar berhasil membuat mood Raina
yang awalnya masih baik-baik saja mendadak lenyap tak berbekas. Keluarganya benar-benar
akan membahas topik ini untuk beberapa waktu.

Melihat reaksi putrinya yang hanya diam, Ayah menghembuskan nafas gusar. Merasa
bersalah pada putrinya itu. tau jika Raina akan sangat sensitif untuk membahas Bara dalam
beberapa hari ini.

“ Ayah Masuk duluan ya? Mau mandi. Gerah Banget “

Raina melepaskan pelukannya. Membiarkan Ayah Masuk kedalam rumah. Sudut mata
Raina tanpa sengaja menangkap sosok Bara yang Masih memilih duduk dibalik kemudi.
Terlihat tak ingin beranjak dari sana dalam waktu dekat.

“ nggak turun? “, tanya Raina setelah gadis itu mengetuk beberapa kali jendela mobil
Bara. Membuat Bara terkejut setengah mati.

“ jangan kebanyakan melamun, Mas... ntar keMasukan “, ledek Raina. Berusaha bersikap
biasa saja.

Bara membuka pintu mobil. Keluar dengan kikuk sambil tersenyum kecil.

“ nggak melamun kok. Cuman lagi mikirin sesuatu aja “

“ mikir apa sampe selama itu? yang lain udah pada masuk rumah juga, cuman Mas Bara
yang Masih diem dimobil. “

“ kamu nggak mau apa nikah sama aku? “

Serangan mendadak Bara berhasil membuat Raina kalang kabut.

Raina sama sekali tak menyangka jika Bara akan bertanya langsung seperti sekarang.

“ kenapa mendadak ngebahas itu? “

“ ya habis aku pengen tau aja. Kamu kayaknya uring-uringan banget tiap ngebahas soal
aku. “

“ ya gimana nggak uring-uringan sih. Setiap orang dirumah udah mulai kepo, tanya ini
tanya itu semua yang berkaitan dengan Mas Bara. Kenapa semua orang harus nanya ke aku?
Yang ngomong mau nikah sama aku siapa sih? Kan Mas Bara... kenapa nggak Mas Bara aja
yang ditanya-tanya? “

“ karena aku udah keliatan yakin dengan keputusan aku. Sementara kamu enggak, Raina “

“ ya karena aku emang nggak yakin dengan semua ini, Mas Bara “
Setelah mengucapkan itu Raina menatap tajam Bara. Mencoba memberi peringatan jika
saat ini, dirinya sedang tidak dalam mode main-main. Raina sangat serius dengan ucapannya.
Ketidak yakinan dalam dirinya yang membuat Raina seperti ini. perasaan ragu yang perlahan
namun pasti menyusup kedalam hati dan pikirannya.

Raina merasa, Bara seperti sedang mempermainkan hatinya. Melemparkannya kedalam


ring yang tak pasti. Ada kalanya Bara terlihat begitu serius dengan segala ucapan dan
tindakannya. Namun, ada kalanya juga Bara terlihat bermain-main dengan semua itu.

Bertahun-tahun tak bertemu sudah pasti merubah sosok mereka. Bara yang sekarang
bukanlah Bara yang dulu. Dan Raina yang sekarang juga bukan Raina yang dulu. Semuanya
sudah berubah. Dan dari perubahan itu, Raina tak tau harus bagaimana menilai sosok Bara
yang sekarang.

Lamaran yang bersifat impulsif itu berhasil membuat Raina jengah. Tinggal bersama
selama sebulan lebih dengan Bara saja sudah membuat Raina gelisah. Raina takut dia akan
tergoda dengan pria manis berlesung pipi itu. jatuh terperosok kedalam pesona mematikan
Bara yang tak pernah Raina tau. Sekarang saja Raina sudah berada dipinggir jurang pesona
itu. tinggal menunggu waktu hingga dia tanpa sadar mElangkah Masuk kedalam jurang itu.

Pada akhirnya Raina menyerah. Dia mengalihkan tatapannya pada pintu rumah yang
berada jauh dari jangkauannya. Menyerah menatap mata tajam Bara. Menatap mata itu tanpa
sadar membuat Raina hampir jatuh kedalam jurang dalam hitungan detik. Berbahaya. Jika
sampai dia terjatuh, tak ada jalan keluar lain. Sudah pasti dia akan mati disana.

“ kamu butuh waktu banyak untuk berpikir jernih, rain. Meyakinkan diri kamu sendiri kalo
ini semua baik-baik aja “

“ bahkan sebanyak apapun waktu yang kamu kasih buat aku, itu nggak akan cukup. “

Bara hanya diam. Menatap sosok Raina yang kini berjalan Masuk kedalam rumah. Gadis
dengan rambut dikuncir asal itu pergi begitu saja. Meninggalkan Bara yang hanya bisa berdiri
mematung didepan mobilnya.

Saat akan meMasuki rumah, sebuah suara memanggil Bara. Mengalihkan perhatian pria
itu pada sosok gadis manis berbalut hijab. Sosok yang tak asing bagi Bara. Sosok yang sudah
lama tak dijumpainya.

“ Ashilla? “, seru Bara tertahan.

Gadis itu tersenyum senang. Melangkah masuk kearea taman depan rumah Raina yang
lumayan luas. Berusaha mendekati Bara yang kini terdiam diteras rumah.

“ assalamualaikum, Kak Bara “, sapa Shilla ramah.

“ wa’alaikumsalam, Shilla “

“ nggak nyangka loh bakal ketemu Kak Bara dirumahnya Kak Rain “
“ eh? Kakak juga nggak nyangka bakal ketemu kamu disini. Ada perlu apa ya? Perlu
dipanggilin Raina nya? “

Ashilla menggeleng cepat. Kemudian kembali tersenyum lebar.

“ kata Kak Alif, Kak Bara belum nikah ya? “

Eh?

Bara menggeleng pelan. Meski otaknya sedang berpikir keras.

Maksudnya apa coba? Mau ngeledek gitu?

“ dilangkahin lagi dong. Emangnya nggak apa-apa? “

“ ya nggak masalah sih. Lagian kayaknya bentar lagi aku juga bakal nyusul “, sahut Bara.

Entah kenapa otaknya menyuruh Bara untuk mengucapkan kalimat itu. meski Bara sendiri
tidak yakin dengan ucapannya.

Ashilla terlihat terkejut, terlebih ketika melihat sosok Raina mendadak keluar dari rumah.
Seniornya saat SMA itu terlihat siap memukul Bara dalam hitungan detik andai saja matanya
tak menangkap sosok Ashilla.

“ loh ada tamu toh. Kenapa nggak dibawa masuk sih? Kok ngobrol didepan pintu gini,
nggak bagus “, omel Raina sambil menggiring masuk Ashilla.

“ nggak apa-apa kok Kak. Tadi aku cuma ngobrol bentar aja sama Kak Bara. “

“ lama juga nggak Masalah kok. Ada perlu apa ya shil? Udah lama loh kamu nggak dateng
“, tanya Raina lalu mengambil posisi duduk disamping Ashilla. Sementara Bara, pria itu
sudah menghilang masuk kedalam. Mungkin kembali kekamarnya.

“ mau nganterin undangan akikahan anaknya Kak alif. Kak Raina sekeluarga diminta buat
dateng. Kak Ray juga. Katanya mau sekalian reuni... “

“ reuni? “

“ iya. Reuni SMA mereka. Kak Bara dibawa juga ya. Maaf kalo undangan punya dia
nggak ada, soalnya Kak Alif pikir Kak Bara Masih di Solo “, suara Ashilla terdengar
menyesal.

“ kapan? “

“ Masih sebulan lagi sih. Tapi Kak alif kayaknya udah niat banget ngebuat acara ini.
jadinya dari sebelum anaknya nongol udah disiapin semuanya. Kambingnya aja udah dibeli.”

“ niat banget itu orang. Nggak heran sih, dari dulu dia udah begitu. Rencana hidupnya
udah disiapin dari jauh-jauh hari “
Ashilla mengangguk setuju. Tak menyangkal ucapan Raina yang seratus persen benar itu.
alif dan rencana hidupnya, tak akan ada yang bisa merusak persiapan laki-laki itu jika dia
sudah bertekad. Ya, kecuali Allah tak menghendakinya.

Tiara datang, membawa dua buah cangkir minuman. Wanita cantik itu tersenyum ramah
kearah Ashilla. Gerakannya sangat luwes meski perutnya yang buncit sedikit menghalangi
gerakannya yang biasa bebas.

“ diminum dulu tehnya “

“ makasih loh Mbak “, jawab Raina disertai senyum manis.

Setelah menaruh cangkir itu, Tiara kembali Masuk kedalam. Membuat Ashilla menatap
heran kearah Raina.

“ itu bukan Kak Anggi kan? “, tanyanya meMastikan.

Raina mengangguk, “ bukan. Dia itu istrinya Bang Bagas, Mbak Tiara. “

“ kok bisa disini? Lagi hamilkan itu? berapa bulan? “, serentetan pertanyaan keluar dari
mulut Ashilla.

“ keluarga Mas Bara memang lagi tinggal disini sampe acara nikahan. Iya, itu lagi hamil.
Aku nggak tau juga berapa bulan. Nggak pernah ngobrol berdua soalnya. “

“ Kak Bara tinggal disini? “

“ iya. Makanya dia masuk dan nggak nongol lagi. Kenapa sih, Shill? Kamu kok seneng
gitu sih? “

Rona merah yang mendadak muncul diwajah Ashilla sangat jelas terlihat dimata Raina
yang sensitif. Gadis itu bahkan beberapa kali tersipu saat nama Bara disebut-sebut dalam
percakapan mereka. Insting kuat Raina mengatakan jika gadis itu sedang mengincar pria yang
tidur dikamar sebelah Raina. Raina sangat yakin. Amat sangat yakin.

Tapi, kenapa mendadak Raina menjadi kesal. Rasanya dia ingin secepatnya mengusir
gadis berhijab ini dari rumahnya. Kalau bisa, Raina bahkan ingin memberikan larangan untuk
Ashilla agar tak mendekati rumahnya dalam radius 100 meter.

Aneh? Tentu saja. Kenapa Raina harus berpikir seperti itu?

Karena Bara adalah milik Raina.

Tapi punya hak apa Raina mengklaim pria itu sebagai miliknya. Jawaban atas lamaran saja
belum pernah Raina sampaikan pada pria itu, bagaimana mungkin dia bisa mengklaim Bara
sebagai miliknya?

Apa ini yang namanya cemburu? Apa Raina sudah jatuh kedalam jurang pesona Bara
tanpa sepengetahuannya?
Tidak. Raina Masih berada dipinggir. Masih dapat melihat langit yang begitu indah. Raina
belum masuk kedalam jurang itu. hanya saja, mungkin jika dia salah langkah sedikit saja,
Raina akan terperosok masuk kesana.

Jadi, katakan bagaimana caranya menghilangkan perasaan aneh ini? perasaan aneh yang
mendadak seolah-olah ingin melenyapkan Ashilla dari muka bumi.

Just relax. Inhale and exhale.

“ Kak Raina “, seruan Ashilla menyadarkan Raina dari pikiran aneh yang melandanya.

Menyingkirkan perasaan aneh itu, Raina tersenyum kecil.

“ kenapa Shill? “

“ aku mau pamit pulang ini, udah sore. Nanti kalo pulang malem Kak Alif bakal ceramah
panjang lebar. Aku titip salam buat Kak Bara ya “

“ eh? “

“ Kak? Kok keliatannya kurang fokus sih dari tadi? Hati-hati kesambet loh, ini udah sore.
Bentar lagi setan pada keluyuran “, canda Ashilla.

Respon yang diberikan Raina hanya sebuah kekehan kecil yang terdengar sangat terpaksa,
bahkan ditelinga Raina sendiri. Tapi sepertinya Ashilla tidak begitu menyadarinya.

Setelah memberikan undangan, Ashilla pamit. Berjalan keluar sambil sesekali mencuri
pandang kedalam rumah. Meski Ashilla tau, Bara tak akan terlihat, tapi bolehlah dia sedikit
berharap.

“ assalamualaikum “

“ wa’alaikumsalam “, balas Raina. Sesekali tangan Raina melambai saat mobil hitam
milik Ashilla berjalan pergi.

***

Malam ini mata Raina sama sekali tak bisa terpejam. Padahal mulai besok, rumahnya akan
menjadi markas keluarga besar angkasa. Dan itu berarti, berita Bara melamar Raina akan
dengan sangat cepat menyebar dikeluarga besar pria itu.

Memikirkan itu membuat Raina tak bisa tidur. Otaknya yang sudah kepenuhan dengan
memori mengenai bahan mengajar semakin terdesak saat memikirkan hari esok. Membuatnya
menjadi senewen hingga akhirnya berguling-guling dengan ganas ditempat tidur.

“ aawww “, rintih Raina pelan saat tanpa sengaja kepalanya membentur kepala tempat
tidur.

Dengan kasar Raina mengusap kepalanya. Berharap rasa sakit yang ditimbulkan itu akan
menghilang.
Pada akhirnya, Raina duduk didepan jendela kamarnya. Memandangi pekatnya malam.
Sudah hampir pukul 12 malam, semua orang sudah terlelap. Suara hening yang tercipta
membuat Raina dapat berpikir dengan tenang.

Bara.

Satu kata itu yang dari tadi melayang-layang dikepalanya. Bahkan dalam khayalan, sosok
Bara terasa begitu nyata. Hingga kadang membuat Raina merasa gila.

Pesona apa yang dimiliki pria itu?

Munafik.

Raina mendengus sendiri.

Dia sudah jatuh cinta pada Bara bahkan sebelum Raina menyadari itu. tapi Raina selalu
menepisnya. Menganggapnya hanya angin lalu. Sebuah rasa semu yang harusnya tak pernah
ada.

Tipikal wanita jaman sekarang. Sudah memiliki sesuatu yang jelas, Masih senang
mempersulit hidupnya sendiri.

Katakanlah Raina abg labil. Terserah. Raina tak perduli. Dia sudah terlalu bingung dengan
dirinya sendiri. Semua yang terjadi pada dirinya sangat aneh. Semenjak Bara mengucapkan
kalimat itu. semenjak lamaran ditaman yang spontan itu. semuanya berubah.

Ketakutan Raina. Keinginan Raina. Harapan Raina. Kebencian Raina. Semua yang Raina
miliki mendadak buram. Tak jelas. MengamBang. Hanya karena kalimat spontan Bara tempo
hari.

Semua yang ada pada Bara memang sangat sempurna. Memesona dengan sendirinya.
Tanpa pria itu sadari.

Ada aura aneh yang dimiliki Bara. Yang membuat semua wanita akan meliriknya tanpa
segan-segan.

Sejak dulu, Bara sangat terkenal dikalangan wanita. Bahkan saat Raina SMA, Masih
banyak wanita yang membicarakannya meskipun pria itu sudah tak bersekolah di SMA itu
lagi.

Raina takut, jika dia menerima Bara nantinya dia yang akan tersakiti. Takut jika suatu saat
nanti Bara akan melirik wanita lain yang lebih sempurna darinya.

Tapi, Raina juga menginginkan Bara. Sama seperti dia menginginkan Ray untuk selalu
ada untuknya. Raina ingin disetiap langkah Raina, ada Bara yang menemaninya. Dengan
pemikiran dewasa Bara. Raina menyukai itu.

“ kenapa aku harus mikirin dia? Bara dan Bara. Padahal belum tentu dia mikirin aku “
Raina menghembuskan nafasnya pelan. Bangkit dari duduknya kemudian menuju tempat
tidur. Mencoba untuk tertidur. Mencoba melupakan semua hal tentang Bara yang selalu
mengganggunya.

***

Bara menutup laptopnya. Dia baru saja selesai mengisi formulir pendaftaran yang diminta
oleh staff HRD rumah sakit yang direkomendasikan oleh atasan lamanya. Saat Bara akan
mematikan lampu kamarnya, dia terkejut ketika mendengar suara Raina yang pelan.

“ kenapa aku harus mikirin dia? Bara dan Bara. Padahal belum tentu dia mikirin aku “

Suara Raina terdengar begitu pelan. Terdengar begitu frustasi disaat bersamaan.

Perlahan, Bara mengintip dari jendela kamarnya yang bersebelahan langsung dengan
jendela kamar Raina. Kamar gadis itu sudah gelap. Tak ada terdengar suara lagi. Hanya
sesekali tarikan nafas panjang yang terkesan dipaksakan.

Padahal belum tentu dia mikirin aku.

Bara mengulang kalimat itu dalam otaknya. Pernyataan sepihak Raina itu tentu saja
mengusik Bara.

Tau apa Raina tentang Bara? Mengapa dia begitu yakin jika Bara tak pernah
memimkirkannya sedikitpun. Bahkan dalam tiap doa setelah sholat, Bara selalu menyelipkan
nama Raina dalam doanya.

Raina dan hatinya yang misterius. Gadis itu benar-benar berhasil mengalihkan perhatian
Bara dengan sikap cuek namun manis miliknya itu. mulutnya yang begitu tajam juga menjadi
pengalih perhatian Bara dari lelahnya dirinya.

Meski Raina sudah menggantung lamarannya selama ini. Bara menyukai gadis itu. bahkan
dalam pandangan pertama saat dia baru pertama kali bertemu dengannya lagi setelah
bertahun-tahun.

Awalnya memang Bara ragu mengenai perasaannya. Bahkan mengenai lamarannya yang
impulsif itu. tapi saat Bara melihat Raina dengan seksama, Bara mengakuinya. Dia sudah
jatuh dalam pesona Raina pada saat tatapan pertama.

Adik manisnya yang kini sudah menjadi wanita dewasa itu berhasil mencuri hatinya. Dan
Bara mengakui itu.

Hanya saja, Raina Masih terjebak dalam pikiran anehnya. Masih menempatkan Bara
sebagai sosok Kakak yang begitu ia agungkan. Menyingkir perlahan saat Raina sudah
memiliki perasaan pada Bara. Raina yang sangat cermat itu berhasil membuat Bara kesal.

Harusnya, jika memang Raina menyukainya, tinggal katakan saja. Jangan membuat
sesuatu yang sudah jelas menjadi kusut seperti ini. ini sangat menyebalkan bagi Bara.
“ kamu dan hati kamu. Sampai kapan kamu akan begini terus Rain? “

***
Keluarga Angkasa benar-benar merupakan keluarga besar. Rumah Raina yang sudah
sangat luas saja bahkan kesusahan untuk menampung keluarga besar Bara itu. hingga
akhirnya memutuskan untuk sebagian kecil menginap dirumah Ray yang beda beberapa blok
dari rumah Raina.

Bara memiliki 10 orang paman dan bibi yang berasal dari pihak kedua orang tuanya. Dan
masing-masing memiliki anak 1 hingga 3. Itu artinya, Bara memiliki 20 sepupu. Dan dari 20
sepupu itu, 8 orang sudah menikah dan 6 orang sudah memiliki anak.

Butuh waktu yang lama bagi Raina untuk mengingat satu persatu nama sepupu Bara.
Ditambah keponakan Bara yang berjumlah 8 orang itu. paling kecil berusia 4 tahun, dan
paling besar berusia 10 tahun.

Raina sangat bekerja keras ketika dia diserahkan tanggung jawab untuk menjaga para
kurcaci kecil itu. Raina bahkan merasakan tulangnya hampir remuk ketika dia mengurus
seharian 8 kurcaci kecil dengan tingkah polanya masing-masing.

Sesekali Bara membantu Raina, begitu juga Bagas dan Tiara. Hanya saja, mereka bertiga
hanya membentu sekedarnya saja. Bara lebih tertarik untuk berkumpul bersama para Paklek
dan Pakdenya. Membicarakan sesuatu mengenai kesehatan atau bahkan politik. Sedangkan
bagas dan tiara, mereka sibuk melayani ibu-ibu rumpi yang kepo mengenai kehamilan Tiara.

Bunda dan Ayah tak bisa diharapkan. Mereka terlalu sibuk menjamu tamu. Begitu pula
Pakde dan Bude adi. Semua orang dirumah itu sudah mempunyai tugas masing-masing.

“ remuk ini badan gueee “, erang Raina saat melepas para keponakan Bara bermain
ditaman belakang. “ gila, ini kali pertama dan terakhir dah “

“ capek banget ya, Rain “, tanya Icha. Sepupu Bara yang berusia sepantaran dengan Raina
itu tersenyum manis. Meletakkan secangkir coklat dingin untuk Raina.

“ banget. Nggak nyangka kalo ngurus anak-anak bakal secapek ini. makasih loh ya ice
choco nya “

“ bukan ke aku, tapi ke Mas Bara “, jawab Icha kalem. Tapi respon yang diberikan Raina
mengejutkan. Gadis itu mendadak terbatuk saat akan meminum minumannya. Icha berkali-
kali menepuk pelan punggung Raina. Meredakan batuk gadis itu.

“ pelan-pelan Rain. Nggak ada yang mau minta juga “, ledek Icha.

Wajah Raina merona merah. Berarti Masalah lamaran Bara waktu itu sudah tersebar
dikeluarga besarnya. Sekarang, bagaimana Raina dapat bersikap menghadapi keluarga besar
Angkasa yang lumayan rempong itu?

“ mendadak batuk aja, Cha. Kamu baru dateng? “, Raina mengalihkan topik pembicaraan.
Berusaha menghindar dari pertanyaan ajaib yang mungkin saja akan ditanyakan Icha.
“ iya ini. tadi habis ngepasin baju diajak Mbak Tiara keliling. Sekalian nyari baju buat
dedek bayi “

“ oh ya? Pantes aja lama. Aku repot banget loh ngurusin anak-anak. Lincah-lincah
semuanya. Nggak ada yang bise diem. “

“ ya, harap maklum aja sih. Mereka lagi masa pertumbuhan, jadi lincah-lincah begitu “,
jawab Icha bijak.

Raina hanya membalasnya dengan tersenyum. Menyetujui ucapan perawat wanita itu.

“ Tante Raina!!! Itu Mas Galih nggak mau ngalah... dia mainin terus ayunannya “, teriak
Kinan pada Raina.

Raina memusatkan perhatiannya pada bocah perempuan berambut ikal itu. wajahnya
terlihat memerah, menahan kesal akibat ulah sepupunya. Kemudian mata Raina tertuju pada
ayunan yang dimaksud Kinan, Galih sedang duduk disana sambil mendorong siapa saja yang
mencoba naik.

“ nanti adek-adeknya pada jatoh itu kalo kamu dorong-dorong begitu, galih “, nasehat
Raina.

Galih menatap Raina sekilas namun tak memperdulikannya. Sementara itu, beberapa
anak-anak sudah siap untuk menangis.

“ mainnya ganti-gantian. Jadi, yang lain bisa naik juga. Kalo nggak ganti-gantian, ntar
ayunannya Tante jual loh “, ancam Raina.

“ jangan Tante.... Rina belum naik ayunannya. Jangan dijual “

“ Galih, dengerin Tante nggak sih? Itu beneran loh. Nggak bohong Tante “

“ Tante Raina pelit!!!!! “, teriakan mendadak bocah laki-laki berusia 7 tahun itu berhasil
mengejutkan Raina. Disusul tangis masal anak-anak lain yang berusia 3 hingga 5 tahun.
Mereka terlihat terkejut mendengar teriakan keras galih.

Dengan satu lompatan, Galih turun dari ayunan. Berderap masuk kedalam rumah dengan
tangisan kencang yang memekakan telinga siapapun. Raina sendiri tertegun.

Sebuah tepukan pelan dibahu Raina berhasil menyadarkan Raina. Icha berdiri disamping
Raina sambil menggendong bintang yang menangis. Kemudian mendudukan bintang pada
ayunan yang kini kosong. Menyuruh para keponakannya untuk bermain disana dengan tertib.

“ galih emang gitu. Keras kepala. Nggak ada yang bisa ngatur. Bahkan Mbak Dila sama
Mas Aryo sampe pusing ngurusinnya. Semua kemauannya harus dituruti, kalo enggak
bakalan nangis-nangis kayak gitu “, cerita Icha.
Mereka saat ini dalam posisi berdiri. Mengawasi anak-anak yang bermain. Semuanya
terlihat terkendali. Tak ada yang perlu ditakutkan. Hanya saja mengenai Galih, Raina merasa
khawatir. Sifat keras kepala anak itu sepertinya sudah terlalu parah dan berlebihan.

“ karena menurut Mbak Dila, ngedapetin Galih itu susah. Butuh bertahun-tahun supaya
mereka bisa punya anak. Jadi, pas Galih lahir, semua keinginan anak itu dipenuhi. Jadi
kesayangan mereka lah pokoknya. Tapi, pas Galih udah mulai gede, mereka baru sadar kalo
pola asuh mereka yang selalu manjain Galih itu salah.... “

“... 10 tahun buat ngedapetin Galih. Aku pikir awalnya wajar aja buat ngemanjain dia.
Tapi, setelah semua sifat itu, aku sadar semuanya salah. Mbak Dila yang nggak tegaan bener-
bener nggak bisa buat ngerasin Galih. Jadinya, ya, kamu lihat sendiri kan? “

Raina mengangguk paham. Mungkin jika Raina berada dalam posisi Dila, Raina juga akan
melakukan hal yang sama dengannya. 10 tahun itu bukan waktu yang sebentar untuk
mendapatkan keturunan. Butuh banyak kesabaran, usaha, serta ikhtiar dalam menjalaninya.
Memanjakan Galih ketika sudah berhasil mendapatkannya seperi bukan suatu kesalahan.
Hanya saja, itu akan membentuk sifat jelek pada diri anak itu.

Nanti, suatu saat, ketika Raina mendapatkan anaknya, Raina berjanji akan mendidiknya
dengan baik. Bukankah itu tugas utamanya. Menjadi seorang ibu yang baik bagi anak-
anaknya. Menjadi istri yang berbakti pada suami.

***

“ kok bisa samaan gitu sih? “, erang Raina frustasi.

Bara yang sedang menikmati kue brownies tersedak saat melihat Raina yang baru saja
selesai berdandan.

Dalam balutan kebaya abu-abu, Raina berhasil mengalihkan perhatian Bara. Tubuh
proposional Raina membuat Bara kehilangan fokus untuk sementara waktu. Belum lagi wajah
cantika Raina yang sudah dirias sedemikian rupa. Menambah kecantikan yang sudah dimiliki
oleh gadis itu.

Raina berjalan mendekat kearah ruang tengah. Dengan sepatu hak tingginya, Raina
mElangkah dengan cepat. Memegang pundak Bara sebelum membalik paksa tubuh pria itu.
mata Raina tertuju pada kemeja yang digunakan Bara. Kemeja abu-abu yang merupakan
pasangan kebaya yang digunakannya.

Bunda!!

Ingin rasanya Raina berteriak kesal. Mengadu pada Ayah atas kekejaman Bunda malam
ini.

Kenapa dia dan Bara harus mengenakan pakaian couple seperti ini? benar-benar
memalukan.
“ itu pakaian kamu? “, tanya Ray yang menyadari situasi Raina. Pria itu mendekat kearah
Raina dan Bara. Menatap dengan seksama pakaian yang dikenakan keduanya.

“ couple ih. Astaga, nggak nyangka gue Bar “, ledek Ray penuh tekanan.

Raina mendengus. Menatap nanar kebaya cantik yang digunakannya malam ini. sementara
beberapa pasang mata menatap penuh minat kearah pasangan tak resmi itu.

Bahkan Raina dapat mendengar beberapa seruan untuk Bara agar segera melamar Raina
secepat mungkin. Bara sendiri hanya tersenyum tipis. Menatap Raina dengan santai.

Pukul 7 malam, semua orang sudah siap untuk pergi kerumah mempelai wanita. Malam
ini, mereka akan mengadakan acara Midodareni. Acara adat yang diperuntukan untuk calon
pengantin wanita dan pria. Konon katanya, saat malam sebelum pernikahan, para bidadari
dari kahyangan akan turun ke bumi untuk memberikan sedikit dari pesona mereka kepada
cang calon pengantin wanita.

Elang berdiri dengan gugup diruang tamu depan. Dia mengenakan pakaian tradisional
jawa yang berwarna peach namun lebih terang. Sesekali mulutnya ikut berkomat-kamit.
Seperti sedang membaca mantra. Beberapa tetua keluarga Bara terlihat meledeknya mengenai
detik-detik terakhirnya menjadi seorang pria lajang. Namun sepertinya, ledekan itu sama
sekali tak mempengaruhi kekalutan yang sedang dirasakan oleh Elang.

Beberapa kali mata Raina dan Elang saling beradu pandang. Raina menatap Elang dengan
tatapan heran yang tak bisa ditutup tutupi. Sementara pria itu menatap Raina dengan wajah
memelas. Butuh 20 kali putaran bagi Elang untuk menghentikan kegiatan anehnya itu.
sebelum pada akhirnya melangkah menuju Raina.

“ kalo lo ngeliat karina malam ini, bilangin ke dia gue rindu. “

“ what? “, sungut Raina kesal. “ lo kira gue sejenis kurir pesan gitu ? “

Elang menatap sinis, “ resek banget sih elo, Rain? Gue sumpahin nikah sama abang gue
baru tau rasa lo “

“ pegen gue tinju itu mulut. Jangan main nyumpah-nyumpah aja lo. Gue sumpahin
ngulang ijab baru tau juga lo “

Elang hanya diam. Tak berani membalas ucapan Raina. Dia lupa, jika gadis didepannya
ini dikaruniai sikap keras kepala dan mulut ajaib yang menyebalkan. Salahkan Elang yang
sudah berani mengumpankan diri kedepan gadis itu.

Disamping Raina, Bara hanya diam. Menatap raut dongkol Raina yang begitu
mengusiknya. Ada sensasi aneh didiri Bara ketika melihat Raina terang-terangan
menghindari rencana pernikahan dengan dirinya. Itu membuat harga diri Bara terusik.

“ ayo cepet!!! Kita udah mau pergi ini!! “, teriakan Bude Kusuma membahana. Membuat
siapapun yang berada dalam radius 5 meter darinya menutup telinga.
“ Elang mana? Sini kamu, Le. Ayo, kita ketempat calon mertua “, titah Bude Kusuma.

Mendengar namanya disebut, Elang segera kembali menuju ruang tamu. Tak butuh waktu
lama, rombongan keluarga Angkasa kemudian berjalan beriringan menuju tempat acara.
Rumah sebenarnya keluarga Angkasa.

***

“ cantik banget, Karina “, suara heboh Mbak Sarah menusuk telinga Raina. Si sulung
sepupu Bara itu berjalan cepat menuju karina yang duduk dengan anggun dipinggir tempat
tidur.

“ pantes aja si Elang sampe kepincut sama kamu “, ledek Mbak Dila tak kalah heboh. “
wong ayu pisan “

Yang dipuji hanya diam seribu bahasa. Meski wajahnya tersenyum, Raina dapat melihat
raut gelisah yang terpahat jelas dimata Karina itu. raut itu seperti raut yang dimiliki Elang.
Tapi, ada secercah kebahagiaan disana.

Raina memilih berdiri disudut ruangan, tak jauh dari Karina. Memperhatikan semua
kegaduhan yang ditimbulkan oleh para wanita dari keluarga Angkasa diruangan itu. Raina
bergidik ngeri. Mendadak membayangkan jika suatu saat, Karina yang kalem akan berubah
menjadi heboh seperti itu.

Mata Karina dan Raina bertemu. Meski tak begitu dekat, Karina tau jika Raina adalah
sosok yang sangat berarti untuk Elang.

“ Raina “, pAnggil Karina lembut.

Semua yang ada dalam ruangan itu mendadak diam. Menatap Raina yang kini sedang
mendekat kearah Karina. Gadis itu berjalan dengan santai. Sama sekali tak memperdulikan
tatapan penasaran keluarga Bara.

Karina menepuk kasur sebelah kirinya yang kosong. Meminta Raina untuk duduk disana.
Dan Raina menurutinya.

“ makasih udah jadi sahabat Elang yang bisa dihandalkan. Meski kalian nggak akur dan
sering berantem. Aku ngucapin makasih banyak. Udah ngejaga Elang saat dia jauh dari aku.
Ngekandangin dia saat dia mulai nyoba nyari yang baru. Nasehatin dia kalo dia mulai nyoba
main serong. Berkat kamu, hubungan aku dan Elang bisa sampe ketahap ini. makasih banyak
Rain “

Raina tersenyum kecil. otaknya mendadak memutar memori yang dihabiskan bersama
Elang selama beberapa tahun belakangan ini.

Hubungannya dengan Elang memang terlihat biasa saja. Tak ada yang spesial. Hanya saja,
mereka seperti saling mengingatkan satu sama lainnya. Tanpa mereka sadari.
Tanpa Raina sadari, banyak hal yang Raina ketahui mengenai Elang. Bagaimana sifat
menyebalkannya itu, bagaimana cara menghadapinya. Raina bahkan tau mengenai semua
permasalahan Elang. Pria yang mudah goyah itu sangat sulit mengambil keputusan. Butuh
waktu lama bagi Elang untuk memantapkan pilihannya menikahi karina. Dan itu semua
berkat Raina yang terus menerus memarahi Elang.

Raina tak ingin Elang kehilangan sosok yang berharga untuk hidupnya. Dengan karina,
Elang menemukan kenyamanan. Dengan karina, Elang dapat mengerti rasanya sakit. Dengan
karina, Elang terlihat bahagia. Raina tau itu. tapi Elang, selalu berusaha menolaknya.

“ nggak usah berlebihan gitu... aku udah terlalu capek diteror dia buat jadi tempat
penampungan sampahnya. Elang itu cerewet banget. Nyebelin kalo nggak dituruti. Semoga
kamu sabar, Kar “

“ insyaallah aku bisa, Rain “

Saat hendak beranjak Raina mendadak teringat sesuatu, “ Elang bilang dia rindu “

Wajah Karina merona merah. Menarik perhatian semua orang yang berada dalam kamar
gadis itu.

“ bilang ke dia, aku juga “

***

Suara tangisan Galih memenuhi rumah Raina. Bocah laki-laki itu merasa terusik waktu
tidurnya di ganggu oleh sang mama. Menyebabkan kegaduhan di pagi hari.

Semua orang sedang sibuk dengan diri mereka masing-masing. Begitu pula Raina. Gadis
itu sedang duduk didepan meja rias. Membiarkan wajahnya yang cantik itu dipoles aneka
make up yang jarang disentuhnya.

Anggi terlihat sangat bersemangat mendandani adik iparnya itu. Raina sangat jarang
mengenakan make up, oleh karena itu Anggi bersemangat untuk memoles iparnya yang
cantik itu agar semakin cantik. Sementara Raina sudah pasrah dengan wajahnya.

“ kamu itu cantik. Lebih cantik lagi kalo dandan “, seloroh Anggi. Tangannya yang
gemulai itu kini sibuk memakaikan maskara ke bulu mata lentik Raina.

“ make bedak dan lipstik itu juga termasuk dandan, Mbak “

“ tapi kan beda, sayang... kalo dandan itu harus lebih wow.. bedak dan lipstik itu biasa aja
“, seru Anggi tak terima.

Raina memilih diam. Tak berniat mendebat iparnya yang juga keras kepala itu.

“ Elang udah nikah, kamu kapan Rain? “, tanya Anggi disela-sela kegiatannya. “
perempuan nggak boleh nikah terlalu tua. Ingat sama jangka waktu sistem reproduksi kita,
Rain. Beda dengan laki-laki “
Oh. Raina melupakan hal yang satu ini. Pertanyaan menyebalkan yang akan
menghantuinya selama seharian penuh ini. pertanyaan mengenai pernikahannya.

Menikah. Raina mau menikah. Tapi, belum untuk saat ini. saat Bara Masih belum
menjelaskan dengan benar isi hatinya. Saat Raina sendiri masih menyangkal perasaannya.

“ nggak harus sama Bara. Kalo kamu nggak suka sama dia, kita juga nggak bisa maksain.
Tapi, kamu sendiri harus ngasih tindakan tegas untuk dia. Jangan terlalu lama dibiarin “

“ aku nggak tau, Mbak. Semuanya kelihatan masih abu-abu dimata aku “

Anggi sudah menyelesaikan tugasnya. Kini dia memberikan Raina kebaya berwarna
kuning keemasan. Menyuruh Raina mengganti pakaian. Anggi sendiri sudah bersiap untuk
merias dirinya.

“ sholat Rain. Minta petunjuk “, nasihat Anggi sebelum Raina masuk kedalam kamar
mandi untuk mengganti pakaian.

10 menit setelah mengganti pakaian, Raina keluar. Dikamarnya, sosok Anggi masih sibuk
merias diri. Akhirnya, Raina memilih turun ke lantai bawah.

Dilantai bawah, semua orang telah rapi. Beberapa dari mereka sibuk mengurus Barang
hantaran untuk pernikahan Elang. Beberapa yang lain sibuk mengurus anak-anak mereka
yang terlihat agak rewel. Raina menuju ke ruang makan setelah melihat sosok Ayah duduk
disana.

Langkah Raina agak pelan, akibat kain batik yang digunakannya saat ini. berjalan dengan
pasti menuju Ayah yang sedang duduk santai menikmati sepotong roti dan secangkir kopi.

“ morning, Ayah “, sapa Raina ceria. Gadis itu langsung duduk di kursi disamping Ayah.
Menatap menu sarapan di meja makan yang ala kadarnya. Setumpuk roti tawar dan beraneka
macam selai beserta sekotak sereal dan susu.

Raina mengambil mangkok yang tak jauh darinya, menuangkan sereal dan kemudian susu.
Mengaduknya sebentar sebelum akhirnya menyuapkan sereal itu kedalam mulutnya.

“ udah siap kamu? “, tanya Ayah saat melihat Raina begitu santai menikmati sarapannya.

“ apaan? “

“ dapet pertanyaan kapan nikah “

“ Ayah!! “, erang Raina kesal. Hampir saja ia menumpahkan sereal dalam mangkoknya.

“ hati-hati, Rain. Itu kebayanya ntar kotor “

Sebuah tisu disodorkan tepat didepan wajah Raina. Pelakunya kali ini adalah Bara. Pria itu
sudah rapi dengan setelan beskap jawanya.
“ thanks “, balas Raina sopan. Gadis itu mengelap tumpahan susu disekitar mangkok
miliknya. Kemudian menatap ayah dengan wajah kesal.

“ siap nggak siap toh pertanyaan itu bakal dilempar ke aku juga kan? nggak perlu dijawab.
Kalo waktunya nikah, ya aku bakalan nikah “

“ sama siapa? “, kali ini sosok Ray yang muncul sambil menggendong arsi. Bocah
perempuan dengan gaun putih itu beberapa kali menguap sambil mengusap kedua matanya.

“ kamu mau nikah sama siapa, Rain? “, tuntut Ray. Pria itu kini duduk disamping Bara.

Bara menatap Ray sekilas sebelum beralih menatap Arsy yang cemberut dalam gendongan
Ray. Tanpa meminta izin, Bara mengambil Arsy dari gendongan sang ayah. Mendudukan
perempuan mungil itu dipangkuannya.

“ ngantuk Om “, lapor Arsy saat duduk dipangkuan Bara. “ Mama banguninnya sebelum
ayam bangun “

“ oh ya? “, tanya Bara tak percaya.

Arsy menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya mencomot roti selai coklat yang ada
didalam piring Bara.

Ayah tersenyum kecil melihat interaksi Bara dan Arsy yang terlihat manis. Memang, usia
Bara adalah usia yang sangat pas untuk menjadi seorang ayah. Dilihat bagaimana cara Bara
berinteraksi dengan cucu perempuannya, ayah tau jika Bara kelak akan menjadi sosok ayah
yang baik dan sayang terhadap anak-anaknya.

“ dijawab Rain. Jangan cuma diem “, tegur Ray.

“ apaan sih Mas... Raina kan bisa nikah sama siapa aja. “

“ sama Bara? “

Mendengar namanya disebut, Bara menatap Raina. Gadis itu terlihat cuek sambil
memainkan sereal dalam mangkoknya. Meski terlihat tak perduli, Bara dapat melihat gelagat
bingung Raina yang jelas-jelas terlihat dari sorot matanya. Bara sangat amat mengenal Raina.
Sepintar apapun gadis itu menyembunyikan perasaannya, Bara akan tetap mengetahuinya.
Untuk hal itu, Raina sama sekali tak berubah.

“ mungkin aja. Jodoh itu nggak ada yang tau, Mas “, jawab Raina pada akhirnya.

Bara menghembuskan nafasnya. Entah kenapa saat menunggu jawaban Raina Bara
menahan nafas. Seolah-olah dia takut suara nafasnya dapat menganggu Raina dalam
mengambil keputusan.

Mendengar jawaban Raina yang terlihat jujur itu, Bara lega. Setidaknya, Raina tak
berusaha untuk menolaknya. Raina terlihat sedang menjalani apa yang sedang terjadi.
Berusaha melewatinya dengan sesantai mungkin.
Tak ada penolakan. Bukankah itu awal yang lumayan bagus?

***

Ini sudah kali kelima Raina menguap. Rasa kantuk melandanya sejak Elang duduk dengan
gelisah didepan penghulu. Mungkin akibat beberapa hari belakangan ini tidur Raina agak
terganggu.

Anggi berkali-kali mengajaknya berbicara. Topik yang diangkat pun hanya seputar hal-hal
remeh. Tak ada yang begitu penting, namun tujuannya yang penting. Tujuan utama Anggi
adalah mencegah Raina untuk menguap lebar sepanjang acara. Untung saja mereka duduk
agak dibelakang. Jauh dari pengamatan bunda serta tetua keluarga Bara.

“ lama banget ya Mbak? Kasian itu si Elang udah keringetan “, bisik Raina.

Dari tempat duduk Raina, dia dengan jelas dapat melihat bagaimana gugupnya Elang. Pria
itu bahkan beberapa kali melemparkan kode aneh pada Bara dan Ray yang kebetulan sedang
duduk tak jauh darinya. Ray bahkan beberapa kali hampir terbahak saat melihat keringat yang
menetes dari dahi pria berkacamata itu.

“ dia itu terlalu gugup. Disuruh rileks, tapi tetep aja grogi “, sahut Anggi.

Raina mengangguk kecil. mata tajam Raina menatap Elang yang kini sedang berkomat-
kamit. Bahkan ayah Karina beberapa kali menegurnya. Menyuruhnya rileks. Tapi, dasar si
Elang yang keras kepala. Pria itu sama sekali tak merileks sedikitpun.

“ kalo gitu terus, bisa salah ucap nanti “, lirih Anggi cemas. “ bentar ya, Rain. Mbak mau
ketempat Mas mu. “

Setelah mengucapkan itu, Anggi bangkit dari duduknya. Berjalan perlahan menuju Ray
yang sedang sibuk menenangkan Arsy yang agak rewel.

Raina tak tau apa yang dibicarakan oleh kedua kakaknya itu. yang pasti, Raina dapat
melihat raut terkejut Bara dan kemudian raut wajah setan ala Ray. Raina juga melihat Anggi
memukul pelan suaminya itu sebelum akhirnya mengambil alih kursi Bara. Sementara Bara
terlihat berjalan kearah Raina.

Akhirnya Raina paham, maksud raut wajah Ray yang terlihat menyeringai tadi. Pria itu
sepertinya sudah masuk kedalam jajaran pendukung fanatik Bara. Ya, kini Bunda sepertinya
sudah memiliki anggota tambahan baru.

Seulas senyum tipis diberikan Bara sebelum pria itu duduk tepat disamping Raina.
Beberapa tamu undangan juga tersenyum manis melihat kearah mereka.

“ kenapa pindah? “, tanya Raina begitu Bara sudah duduk rapi dikursi. “ disuruh Mas Ray
atau gimana? “

“ si kembar rewel, nggak mau jauh dari orang tuanya. Jadinya aku didepak kesini. “
“ oohh “

Raina kini mengalihkan perhatiannya kembali pada Elang. MC acara baru saja
mengumumkan mengenai acara utama. Ijab kabul.

“ jangan gugup. Santai aja “, nasihat ayah Karina. Pria paruh baya itu mencoba
menenangkan calon menantunya yang keras kepala.

“ udah dibilang disuruh nyantai aja, tetep aja gugup. Grogian amat sih jadi orang? Dari
dulu nggak berubah “, omel Raina kesal.

Bara menoleh pada Raina. Melihat raut kesal yang jelas-jelas tak disembunyikan gadis itu.

“ adik kamu itu, dari jaman SMA nggak berubah. Tetep aja keras kepala. Disuruh maju
kedepan grogian, disuruh ini grogian. Nggak bisa jadi pusat perhatian. Percuma aja kan
tampang cakep, otak encer tapi nggak bisa ngendaliin diri ? “, tambah Raina.

“ kok kamu jadi marah-marah gitu sih? “

“ aku nggak marah, Mas. Cuma kesel aja. Ini hari penting loh. Bakalan diinget seumur
hidup. Kalo sampe rusak gara-gara sifat groginya itu, kan sayang “

Bara memegang lengan Raina yang dibalut kebaya keemasan. Pria itu mencoba
menenangkan Raina yang terlihat seperti akan memukul Elang jika tak dicegah. Raina dan
tindakan nekatnya adalah salah satu hal yang paling dihindari Bara untuk saat ini.

Raina kini mengalihkan perhatiannya pada Bara. Menatap heran pria yang terlihat ceMas
itu.

“ loh, kenapa Mas? “

“ jangan buat aku cemas, Raina. Cukup Elang aja yang aku cemasin saat ini. jangan kamu

Baru saja Raina akan membuka mulutnya ketika suara mikrofon membahana diruangan.
Membuat Raina terpaksa mengatupkan mulutnya dan kembali memfokuskan perhatiannya.

“ bismillahirrahmanirrahim... saudara Elang Buana Angkasa, saya nikahkan engkau


dengan anak saya, Karina Putri Hermawan binti Fandi Hermawan dengan mas kawin
seperangkat alat sholat dan logam mulia seberat 100 gram, dibayar tunai “, suara lantang ayah
Karina terdengar dengan jelas.

Gugup. Raina gugup mendengar kalimat yang akan keluar dari mulut Elang nanti.

“ saya terima nikahnya Karina Putri Hermawan binti Fandi Hermawan dengan mas kawin
seperangkat alat sholat dan logam mulia seberat 100 gram dibayar tunai “

Dengan khidmat Elang mengucapkan kalimat itu. meruntuhkan kecemasan semua orang
yang berada disana. Hanya satu kali tarikan nafas. Semua ini diluar prediksi.
“ bagaimana saksi? “

“ sah “

Alhamdulillah. Senyuman Raina terbit begitu saja. Merasa senang melihat Elang dapat
dengan santai melewati detik-detik berharganya. Sebagai teman, Raina turut berbahagia.

“ nanti kita yang akan duduk disana “, bisik Bara disela-sela doa.

Tubuh Raina membeku. Terkejut dengan ucapan pria itu.

***

Malam hari adalah pesta resepsi. Dimana semua orang berkumpul dengan gembira
meRayakan pesta pernikahan Elang.

Beberapa teman sma Raina turut datang, menghadiri pesta pernikahan Elang yang
merupakan teman sma mereka. Saat-saat awal bertemu, Raina sempat ingin kabur. Terlebih
dia dapat melihat beberapa dari temannya sudah menggandeng pasangan dan bahkan anak.
Hal itu membuat Raina iri sekaligus takut. Takut ditanya pertanyaan yang sangat krusial bagi
hidup Raina saat ini.

Suara Lando lah yang menghentikan aksi kabur Raina. Ketua OSIS SMA nya itu
melambai dengan ceria kearah Raina. Menyuruh Raina mendekatinya dan kelompok teman
dekatnya. Disamping lando bahkan berdiri seorang wanita cantik berhijab yang kini sedang
dipeluknya dengan posesif.

Raina tersenyum tipis. Ikut melambaikan tangannya kemudian berjalan mendekat.


Sesekali hatinya merutuk perbuatan nekatnya itu.

“ udah lama nggak ketemu. Apa kabar? “, sapa Lando hangat.

Pria itu kemudian menjabat tangan Raina dan dibalas Raina dengan sopan.

“ baik aja, Bang. Abang sendiri? “

“ alhamdulillah baik. Oh iya, Rain... kenalin ini istri gue kanya “, Lando menunjuk wanita
yang ada disampingnya. Kanya mengangguk sopan dan dibalas Raina dengan senyuman.

“ kemana aja lo selama ini? reunian nggak pernah dateng. Diundang kenikahan pun nggak
nongol. Sibuk apa ngehindar? “, tembak Rasti, ketua tim cheers yang dulu sangat amat
populer.

“ kalian aja yang ngundang gue pas gue lagi sibuk “, elak Raina cepat.

Rudi menyeringai mendengar jawaban Raina. “ sibuk nyari jodoh? “

Semua orang tertawa. Rudi dan tebakan pastinya berhasil membuat mood Raina mendadak
down seketika. Pria dengan mulut cabe itu kelihatan tak berubah sedikitpun. Terlebih sifat
menyebalkannya itu.
“ sialan lo semua “, gerutu Raina tak terima. “ jodoh gue udah ada. Tinggal tunggu
waktunya aja “

“ jadi lo bakalan nyusul Elang? “, tanya Rudi skeptis.

Raina mengangguk cepat.

“ kapan nyusulnya, Rain? “, tanya Lando memastikan.

Mulut Raina terkunci rapat. Otaknya sibuk memutar akal untuk menjawab pertanyaan
krusial itu. pertanyaan menyebalkan yang hampir seharian ini didengar Raina.

“ bilang aja lo belum nemu itu jodoh “, sahut Rasti sinis.

“ nyinyir amat sih elo, Ras? Heran gue. Itu mulut atau petasan “, balas Raina sewot.

Tanpa mengucapkan kata-kata lagi, Raina berlalu dari sana. Mengabaikan panggilan
Lando yang menyuruhnya agar tak pergi. Perduli amat. Raina terlanjur dongkol.

Rasti dan mulut cabenya sebanding dengan Rudi. Pantas saja jika mereka berdua menikah.
Andai jika mereka menikah dengan orang lain, Raina tak sanggup membayangkannya.
Mungkin pasangan mereka akan menjadi pasangan yang tertindas.

Raina kini duduk dikursi. Duduk disamping icha yang sedang menikmati tart dipiringnya
sementara tangan yang satunya sibuk bermain dengan handphone miliknya. Sesekali Raina
mendengar Icha tertawa kecil sebelum kembali mengunyah makanannya. Gadis itu sibuk
dengan dunianya sendiri.

Butuh waktu sekitar 5 menit untuk menyadarkan Icha akan keberadaan Raina. Icha
tersenyum hangat sebelum meletakkan handphonenya didalam handbag.

“ udah lama, Rain? “, tanya Icha basa-basi.

“ nggak juga kok. Sibuk ngapain, Cha? “

Icha menggeleng pelan, “ tadi asik ngebaca chat aja “

“ ohh “, jawab Raina singkat.

Mata Raina kini tertuju pada pelaminan. Disana, Elang dan Karina berdiri dengan
bahagiannya. Sesekali kedua pengantin itu bercanda satu sama lain. Membuat Raina iri
setengah mati.

“ jangan iri, Rain. Ntar juga ngerasain kok “, suara icha mengalihkan perhatian Raina.

“ Mas Bara kan udah ngelamar kamu, tinggal kamu jawab iya aja. Jadinya ya, kayak Elang
gitu lah “, tambah icha.

Kening Raina berkerut heran. Kenapa mendadak membahas lamaran Bara?

“ dari pada kamu ditanya terus kalimat ajaib itu “


“ maksud kamu? “

Icha mendengus.

“ kamu seharian ini bosen ditanya pertanyaan kapan nikah kan? “, tembak icha langsung.
Gadis itu melemparkan tatapan tajam kearah Raina.

“ ya terus? “

“ Mas Bara adalah kandidat terbaik yang saat ini kamu miliki. Jangan sia-siain Rain. Suatu
saat kamu bakalan nyesel loh “

Sekutu baru. Gumam Raina dalam hati.

Jika Bunda dan Ray tau, mereka akan kompak menyuruh Raina untuk menerima tawaran
Bara.

Raina belum siap. Belum siap untuk menerima Bara sepenuhnya. Dia masih ragu. Masih
ragu dengan semua ini. Meski sikapnya menunjukkan jika dia biasa-biasa saja, tapi akalnya
masih terus memberontak.

Lupakan Bara. Dia hanya tetangga sebelah yang numpang lewat hadir dihidup Raina.

Bara hanya tetangga sebelah. Hanya itu...

Benarkah hanya itu? tentu saja tidak.


“ ya kali Bun, nikah itu gampang. Nyelenggarain acaranya sih gampang, tapi
ngejalaninnya itu berat tau “, amuk Raina saat Bunda kembali gencar menyuruhnya menikah.
Semenjak pernikahan Elang seminggu yang lalu, Bunda kini sedang getol-getolnya
menyuarakan sebuah pernikahan untuk Raina.

Iya, Raina mau kok nikah. Tapi sama siapa? Sama tiang listrik depan rumah gitu? Yang
masih single sejak Raina brojol sampe gede kayak gini. Bunda kalo udah minta sesuatu kalo
nggak ngeribetin Raina emang nggak sah kayaknya.

“ Bara itu mau loh sama kamu Rain. Cuma kamu aja yang nolak. Ngasih batas yang sangat
amat jelas sama dia. Lagian salah dia apa sih? Bibit, bebet dan bobot terjamin gitu. “

Sebut aja nama si Bara terus sampe kiamat. Raina sampe bosen sendiri denger nama Bara
yang selalu diucapin Bunda. Udah kayak sejenis obat yang wajib diminum 3x sehari aja itu
orang. Tiap detik ada aja alasan Bunda untuk selalu nyebut nama Bara. Bara itu udah jadi
sejenis pembendaharaan kata wajib dalam kamus bahasa Bunda.

Lagian, Raina belum kepikiran sama sekali untuk menjalin hubungan dengan Bara. Biar
kata dia punya tampang oke, pekerjaan oke, dan jari yang panjang sesuai kriteria, Raina
nggak perduli. Meskipun bulan lalu Bara sempat mengajaknya menikah, Raina nggak ambil
pusing. Ya walaupun diawalnya senewen sendiri. Tapi Raina udah berhasil mengukuhkan
mindsetnya tentang cowok berlesung pipi itu. Cuma tetangga sebelah. Nggak lebih.

“ tau dari mana si Bara mau sama Raina? Kalo orang serius itu ya Bunda, nggak perlu
diomong-omongin. Tinggal dateng aja ke Ayah, langsung lamar. Nggak perlu umbar kesana-
kesini kalo serius, tapi disuruh ngadepin Ayah malah mundur teratur “

Lah, emang gitu kan aturan mainnya? Kalo pun memang serius, hadap aja Ayah. Ayah
pasti bakal ngasih jawaban yang menurut Raina paling tepat kok. Nggak usah umbar kesana-
kesini. Buat malu aja.

Bunda menatap Raina tak berkedip. Lalu tersenyum manis. Amat sangat manis hingga
menimbulkan beragam spekulasi untuk Raina.

Jarang-jarang loh Bunda senyum semanis ini. Kan Raina jadi ngeri sendiri gitu.

“ awas ya kamu. Kalo sampe ada yang dateng ke Ayah terus ngelamar kamu, kamu nggak
berhak loh nolak. “, Bunda mewanti-wanti Raina dengan semangat. “ seriusan ini Bunda “

“ yaaa tapi Rain liat dulu dong itu orangnya modelan gimana. Kan nggak lucu juga
modelan si Elang yang petakilan kayak tuyul itu “

Bunda mengibaskan tangannya tak perduli. Toh Bunda sekarang sudah mendapatkan kartu
as yang dari kemarin dicarinya.

Dengan perasaan bahagia Bunda bangkit dari posisi duduknya. Membiarkan Raina
kembali berkutat dengan tugas-tugas siswa yang sedang dikoreksi oleh Raina.
Raina tau, Bunda memang sedang gencar-gencarnya menjodohkan Bara dengan Raina.
Ada saja rencana Bunda agar Bara dan dirinya menjadi dekat. Mulai dari ngurusin tetek
bengek pernikahan Elang bareng-bareng, nyuruh Bara jadi supir pribadi Raina selama
semingguan, oh jangan lupakan dengan Pakaian couple yang harus Raina kenakan selama
acara midodareni, akad bahkan sampe resepsi. Si Ray aja sampe ngakak ngeliat baju couple
Raina dengan Bara.

Sebenernya, kalo dipikir-pikir lagi, Bara itu tipe Raina banget. Segala kriteria cowok
kesukaan Raina tuh udah ada di Bara. Gantengnya banget, manisnya jangan tanya deh. Setiap
melihat Bara senyum, Raina suka masih khilaf kok kalo ngeliat lesung pipinya yang sedalem
sumur itu. Tapi, Raina paling anti banget sama sifat sok ngatur Bara. Oh, jangan lupain sikap
tegasnya yang kadang bikin Raina keder sendiri.

Raina masih inget kok gimana marahnya Bara pas tau kalo Raina sengaja lupain janjinya.
Duh, serem abis. Nggak kebayang deh kalo harus ngadepin sikap Bara yang kadang nggak
sejalan dengan tingkah laku Raina. Kayaknya umur memang nggak bisa bohong deh.

Menghela nafas pelan, Raina kembali memeriksa tugas siswanya. Melupakan sejenak
sosok Bara yang sebulan belakangan ini selalu menghantuinya.

Iya, niatnya memang mau ngelupain itu orang. Tapi kan nggak semudah itu. Raina ini
Masih newbie dalam urusan hati. Jadi kalo si Bara kadang lempar kode dikit, masih suka
ngebuat Raina semaput.

Emang masih labil kok Raina. Dimulut aja dia bilang benci. Berkali-kali nanamin mindset
diotak, kalo Bara cuma tetangga sebelah yang iseng. Eh, nggak taunya malah hati Raina yang
khianat. Kan kampret. Berasa jadi remaja alay, jadinya.

***

Sabtu pagi Raina sudah duduk rapi didepan teras. Meminum teh hijau buatan Bunda.
Sesekali matanya melirik jalan komplek yang agak ramai. Maklum, weekend gini biasanya
ada aja yang lari muter-muter komplek buat olahraga. Lumayan juga kan Raina bisa cuci
mata. Siapa tau yang lewat modelan oppa-oppa drama korea. Padahal Raina tau sih, nggak
ada tetangganya yang lumayan cakep. Tapi biarlah Raina berharap-harap semu. Toh yang
kesakitan dia juga kok, kalo nggak kesampaian.

Sosok yang tak asing lewat didepan rumah Raina. Berjalan santai sambil sesekali
memotret dengan kamera DSLR miliknya. Lagaknya udah kayak fotografer profesional. Ya,
emang iya sih. Soalnya Raina sudah pernah ngeliat hasil jempretan si Bara yang bagusnya
luar biasa.

Niatnya mau nyari yang seger, malah nemu yang apek. Semenjak Elang menikah, Bara
emang hobi mondar-mandir keliling komplek. Pengangguran nomor wahid yang Raina tau
itu, keliatan kurang kerjaan. Ya, iyalah. Namanya juga pengangguran.
“ tumben udah bangun. Biasanya masih kebo “, sindir Bara yang menangkap sosok Raina
sedang duduk diteras depan.

Raina mencibir. Semenjak satu bulan tinggal bersama, Bara sangat tau rutinitas weekend
Raina yang kebo abis itu. Mandi kalo udah sore. Keluar kamar cuman Buat makan. Dan
teriak-teriak nggak jelas dikamar kalo udah stres ngadepin siswa yang bermasalah. Itu juga
yang ngebuat Raina keki Buat nerima saran Bunda nikahin Bara. Keburu ketauan jeleknya
sih. Kan Raina udah malu diawal.

“ itu bukan kebo ya. Itu namanya menikmati waktu luang “

Kali ini Bara yang mencibir.

Pria itu kemudian melangkahkan kakinya menuju perkarangan rumah Raina. Lalu tak
lama duduk disamping Raina. Ditempat biasa Ayah ngopi disore hari.

“ namanya kebo itu kalo bangun udah sampe matahari ada diatas “, sindir Bara. Raina
hanya diam. Sama sekali tak berniat menjawab pria itu.

“ udah deh, sana... cari kerja. Jangan cuma foto kesana-kesini. Nggak ada faedah-nya. Itu
tetangga pada ngegosip. Katanya dokter spesialis anak, tapi saban hari ada terus dirumah “

Ya, semenjak ada kecanggungan diantara Bara dan Raina tempo hari ada sedikit keanehan
dari cara kedua orang ini berinteraksi. Mereka kini lebih nyaman berkomunikasi dengan cara
sedikit nyinyir. Agak ngeselin emang. Tapi, ya udah terlanjur begini jadinya.

“ lagi dalam masa cuti ini. Lusa juga udah mulai kerja. Jangan pikir aku pengangguran
kelas kakap ya. “, balas Bara ketus.

“ beneran kerja? Bukan cuma hunting foto ke puncak terus balik sore biar dikira kerja? “

Hampir saja Bara melayangkan kamera digitalnya pada Raina. Sesekali otak Raina yang
miring itu perlu dibenahi. Heran, selama 2 minggu belakangan ini mulut pedas Raina kok
nyinyir habis ya? Kayak habis makan cabe seton aja. Untung Bara sabar, kalo nggak udah
dicemplungin ke Kali Ciliwung. Biar tuh bocah megap-megap minta tolong.

Duh Bara, tapi kan kasian si Raina nya.

Ah sabodo amatlah. Habisnya tiap kali ketemu selalu aja nyinyir. Bara kan capek sendiri
jadinya.

“ pikiran kamu tuh negatif mulu. Salah apa sih aku sama kamu, Rain? Kok kayaknya
kamu nyinyir banget sama aku. “

Salah? Banyak. Kamu tuh suka buat aku ketar-ketir kalo senyum manis. Kan aku jadi
senewen sendiri.

“ nggak ada tuh. Kamu aja yang negative thinking sama aku, Mas “
Udah tau kan kalo Raina itu nggak konsisten? Masalah omongan, dia itu nggak konsisten
banget. Dalemnya ngomong apa, luarnya ngomong beda. Itu Raina banget semenjak ketemu
Bara lagi.

“ udah deh, sana balik. Gangguin orang aja. “, usir Raina pada akhirnya. Raina udah
bener-bener nggak kuat sama tatapan mata Bara yang terus ngeliatin Raina seolah-olah mau
nelen Raina hidup-hidup.

“ apaan sih main ngusir-ngusir gitu? Nggak sopan banget kamu, Rain. Katanya guru,
kelakuan kok kayak orang bar-bar “

“ nggak usah bawa-bawa kerjaan aku deh. Toh aku bar-bar nya dirumah juga. Nggak
didepan siswa aku “

“ ya bagus lah nggak didepan siswa kamu. Aku nggak ngebayangin kalo kamu bar-bar
depan mereka, bisa hancur generasi muda “

Duh, itu mulut kok pengen banget Raina uyel-uyel ya? Bara itu kalo ngomong sarkas,
dapet banget. Meskipun wajahnya nggak keliatan antagonis, tapi kalo udah ngomong jahat,
paling juara deh. Heran, dapet turunan dari mana sih itu orang? Perasaan orang tuanya lemah
lembut gitu. Kok iya anaknya kayak jelmaan iblis gini sih mulutnya.

“ Mas yakin kan, nggak ketuker di rumah sakit? Itu mulut turunan dari siapa sih? Kalo
ngomong kadang bikin sakit hati “

Meskipun labil, Raina ini paling jago ngomong jujur. Cuma soal perasaan aja dia suka
bohong. Ya, namanya juga perempuan. Kalo nggak drama kan nggak sah.

“ makanya, nikah aja sama aku. Biar nggak sakit hati “

“ Bunda, ada Mas Bara ini!!! Katanya mau ketemu Bunda “, teriak Raina lalu Masuk
kedalam rumah. Meninggalkan Bara yang hanya menatap Raina kesal.

Iya, Raina kabur. Nggak kuat lagi duduk disana. Serasa lagi ikutan ajang dunia lain.
Pengen ngelambai saking nggak kuatnya.

“ nggak sopan kamu, Rain. Teriak-teriak kayak begitu. “, omel Bunda saat melihat Raina
akan naik ke kamarnya.

“ itu Mas Bara didepan, lagi nyariin Bunda. Mau ngomong penting kayaknya “, dusta
Raina dengan lancar. Sabodo amatlah sama dosa. Dari pada dia kejang-kejang didepan Bara,
kan nggak lucu.

Dengan santai Raina kembali melanjutkan langkahnya. Kembali memasuki sarangnya.


Mungkin Raina memang harus menghabiskan akhir pekannya dengan bersemedi didalam
kamar. Menghindari Bara itu lebih baik. Seenggaknya Buat jantung Raina yang sekarang
suka berdetak cepat kalo udah mulai liat bayangan Bara.

Ya Allah.... kok rasanya malu-maluin gini ya?


Maklumin ajalah. Raina kan udah lama nggak naksir orang. Sekalinya naksir, gengsinya
malah setinggi gunung.

***

Sabtu malam, Raina kembali duduk diteras. Kali ini dia tidak sendiri. Ada Ayah yang
menemani. Mereka terlihat santai membicarakan mengenai pekerjaan Raina dan kehidupan
absurd Raina sebagai seorang guru di salah satu sekolah swasta bergengsi di kotanya.

Dulu Raina masih ingat, dia harus berdebat dengan sang Ayah mengenai pilihan
mengajarnya. Ayah menyarankan Raina untuk menjadi honorer di sekolah negeri, lalu
mengikuti tes CPNS. Maksud Ayah baik kok, ingin Masa depan putrinya terjamin. Tapi niat
mulia Ayah ditolak mentah-mentah dengan Raina.

Raina berpikir untuk mengajar di sekolah swasta. Gaji yang besar setiap bulan dengan
total minimal 8 digit bisa diterima Raina. Menurut Raina, separuh dari gajinya bisa ia tabung,
dan separuhnya lagi bisa ia gunakan. Tabungan itu untuk Masa depan Raina. Dari pada dia
harus menjadi honorer dengan gaji yang sedikit, dan belum tentu dia bisa lulus jadi PNS.

Bukannya Raina matre atau nggak niat Buat ngajar. Raina niat banget kok. Cuma hidup
dijaman yang serba modern ini Butuh biaya banyak. Raina nggak mungkin kan harus hidup
ditanggung Ayah sampai dia nikah? Meskipun bar-bar gini, Raina masih sadar diri kok.
Walaupun Ayah nggak Masalah, Raina nya yang nggak suka. Masa mau beli make up masih
nodong Ayah, nggak lucu ih. Uang saku Raina aja udah berhenti sejak dia diterima kerja.
Malu atuh udah gede masih minta uang sama orang tua.

“ siswa kamu nggak ada yang bermasalah lagi kan? “, tanya Ayah memastikan.

Masalah pekerjaan Raina ya itu, cuma satu. Ngurusi siswa yang bermasalah. Kemaren aja
sampe pusing banget si Raina ngurusin kasus si Dion. Sampe pengen banget dia ke psikolog
buat konsultasi.

“ nggak ada, Yah. Semuanya udah beres kok. “

“ Rain, itu yang kamu omongin ke Bunda beneran? “

“ emang Raina ngomong apa, Yah? “

“ soal lamaran itu. Kalo sampe ada yang dateng ke Ayah bakalan kamu terima “

“ nggak gitu juga aturannya, Ayah. Kan Raina bilangnya, Ayah pasti tau jawaban
terbaiknya. Kan nggak mungkin modelan Elang yang petakilan langsung Ayah terima gitu
aja. Ayah kan pemikirannya lebih objektif, nggak kayak Bunda yang lagi demen banget sama
Bara. “

Ayah tertawa. Ayah sangat tau bagaimana Bunda mendukung Bara untuk menikah dengan
Raina.
“ kamu nggak suka sama Bara? “, tanya Ayah memastikan. Pertama-tama, Ayah harus tau
perasaan Raina. Jadi Ayah bisa memutuskan sesuatu.

Raina berpikir sebentar, “ Bukannya nggak suka, Yah. Raina suka kok. Cuma, Raina aneh
aja Buat nikah sama Bara. Dia tau segala macem jeleknya Raina. Dari Raina orok, dia juga
yang ngejaga Raina. Kadang dia udah Raina anggep kakak. Buat mikir kalo Raina bakal
nikah dengan Bara, rada geli-geli gimana gitu. Berasa kayak mau nikah dengan Mas Ray “

Nah, kebongkar juga kan kekalutan Raina selama ini. Raina itu lengket banget sama Ayah.
Jadi, dia paling nggak bisa bohong kalo udah cerita berdua dengan Ayah. Contohnya kayak
sekarang ini.

“ jadi, kamu suka sama dia. Suka dalam artian gimana ini? “

“ ya kayak Ayah suka sama Bunda, Mas Ray suka sama Mbak Anggi “, balas Raina cepat.

“ jadi kamunya mau gimana? Nih, Ayah jujur ya... Bara udah pernah kok ngelamar kamu
ke Ayah “

Mendengar pernyataan Ayah membuat mata Raina melotot. Sama sekali nggak
menyangka kalau Bara bisa secepat itu melamarnya.

“ kapan Yah? Perasaan baru kemarin deh Raina ngasih tau syarat itu ke Bunda “

“ 3 minggu yang lalu. Tapi nggak Ayah jawab iya. Ayah bilang, beri waktu Ayah untuk
berpikir dulu. Bara ngasih tau Ayah kalo dia udah ngelamar kamu. Tapi kamu cuma diem
terus kabur “

“ Yah, itu Bukan lamaran. Kita lagi serius ngomongin sesuatu, eh mendadak dia ngajak
aku nikah. Kan aku kaget Yah, udah tau kan kalo aku kaget aku cuma diem. Dan itu hari
pertama Bara pulang loh. “, adu Raina.

“ jadi, kamu mau Ayah jawab apa? “

Jawab apa? Raina sendiri nggak tau harus jawab apa. Udah dibilang kan kalo Raina suka
sama Bara tapi buat nikah rasanya aneh gitu.

“ Bara itu udah nunjukin kalo dia serius. Kamu nggak kasihan ngeliatnya nunggu
kepastian kamu? Kalian udah sama-sama dewasa, sama-sama butuh keseriusan. Inget loh
Rain, nikah itu anjuran agama. Ibadah kita “

Iya, Raina tau kok. Selama setahun belakangan ini, Bunda selalu mengatakan hal yang
sama. Tapi, buat nikah sama Bara? Raina harus mikirin itu dengan hati-hati. Hubungan
mereka awalnya aja sempat canggung, apalagi kalau mutusin untuk nikah? Yang ada tiap kali
ngeliat wajah Bara, bawaannya Raina pengen ditelan bumi.

Salahkan pikiran aneh Raina yang beberapa minggu ini menghantui Raina. Salahkan Bara
yang mendadak muncul dengan pesona anehnya. Salahkan tempat tinggalnya yang kenapa
bisa satu kawasan dengan rumah Bara. Dan salahkan Elang yang kenapa harus pindah
kerumahnya pas nikahan kemarin.

Bilang aja lo kabur dari kesalahan lo sendiri.

Raina menghembuskan nafasnya kesal. Kenapa mendadak dia jadi orang terlabil di dunia
sih? Mana pake nyalah-nyalahin orang lain lagi. Kan pengencut banget. Heran deh, kok
makin dewasa pikiran absurd Raina makin jadi-jadi aja kayaknya.

“ lagipula, kita udah kenal baik-baik dengan keluarga Bara. Mereka juga nggak masalah
kok punya menantu modelan kamu. Yang kebo abis kalo udah weekend. Yang kalo udah
kesel bisa buat orang lain ikutan senewen. Udah kebongkar semua aib kamu, Rain... “

“ justru itu Ayah, Raina udah keburu malu. Nggak ada lagi yang nggak mereka tau tentang
Raina. Gimana tingkah Raina, emosi labil Raina, dan segala sesuatu tentang Raina. “

“ itu malah bagus, Rain. Nggak ada yang perlu kamu tutupin. Mereka welcome dengan
kedatangan kamu, itu artinya mereka nerima kamu apa adanya. “

“ ih, Ayah kok dukung Bara sih? Ayah nggak objektif nih “, kesal Raina.

“ justru kamu yang nggak objektif. Kenapa kamu harus mendiskualifikasi Bara hanya
karena dia dan keluarganya udah tau jeleknya kamu gimana. Rain, Rain... Ayah nggak habis
pikir dengan kamu. Katanya suka sama Bara, tapi ditawarin nikah malah nolak. Kamu
maunya apa sih? “

“ udah ah, jangan bahas Bara terus... Raina males dengernya. Soal lamaran itu, jangan
dijawab dulu Ayah. Raina Masih harus mikirin itu “

Ayah mengangguk pelan. Toh Ayah juga tidak bisa memaksa Raina menerima Bara. Yang
menjalankan pernikahan itukan Raina, bukan Ayah. Biarlah Raina mengambil keputusan
yang tepat untuk kehidupannya.

***

Bara sedang mencuci mobil ketika melihat Raina lewat didepan rumahnya. Gadis itu
memakai pakaian olahraga dan terlihat berjalan pelan. Mengabaikan Bara yang jelas-jelas
dapat dilihatnya. Bara sendiri tidak berniat menegur Raina. Sesekali mengabaikan gadis itu
sepertinya perlu. Membuat sedikit jarak antara dirinya dan dan Raina.

Sampai detik ini, Bara masih bingung. Kenapa dia terlihat begitu mengejar-ngejar gadis
yang jelas-jelas menjaga jarak darinya. Bahkan saat mengatakan akan menikahi Raina dulu,
Bara sama sekali tidak mempunyai rasa pada gadis itu. Kata itu hanya muncul begitu saja
dalam otaknya dan kemudian mengalir keluar lewat mulutnya.

Katakanlah Bara tipikal laki-laki brengsek yang sering memainkan hati perempuan, karena
memang begitulah kenyataannya. Tapi, Bara sama sekali tak pernah mengajak gadis
manapun menikah. Raina lah gadis pertama yang Bara ajak menikah seperti itu.
Jika ada yang bertanya kenapa Bara menikahi Raina, alasan sesungguhnya bahkan Bara
tak tau. Cinta? Jangan konyol. Selama ini Bara memang menyukainya. Raina yang sudah
tumbuh menjadi gadis cantik memang berhasil mencuri hatinya. Tapi masalah cinta, itu
perkara lain. Butuh alasan lebih kuat untuk Bara masuk kedalam tahap itu. Tapi, Bara benar-
benar bersungguh-sungguh mengajak Raina menikah. Karena, setiap Bara berjanji melakukan
sesuatu, maka Bara akan memenuhi itu. Tak perduli jika hal konyol sekalipun yang
disebutkannya.

Dan ajakan menikah untuk Raina Bukanlah hal yang konyol. Itu hal yang serius. Maka
dari itu Bara mati-matian melancarkan segala macam jurus untuk mengikat gadis itu. Bukan
karena dia merasa sudah dilangkahi hingga 2 kali. Hanya karena dia harus menepati janjinya.
Karena Bara adalah laki-laki yang dapat dipegang janjinya.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Bara masuk kedalam rumahnya. Di ruang tengah,


terlihat orang tuanya sedang duduk sambil menikmati kartun pagi.

Jangan heran dengan kebiasaan aneh dirumah ini. Menurut orang rumah, daripada
menonton gosip yang berlalu lalang di tv, lebih baik menonton kartun. Meminimalisir dosa.
Jadi itulah sebabnya Ibu dan Bapaknya bahkan bisa duduk santai menikmati kartun Tom And
Jerry yang ada di tv itu.

Bara duduk disamping Ibu. Mencomot goreng pisang yang ada di meja lalu memakannya.

“ udah kelar Mas nyuci mobilnya? “, tanya Ibu sambil mengelus manja ramBut Bara yang
lemBut itu.

“ udah Bu. Makanya Bara Masuk “

“ besok kamu udah mulai kerja, Le? Pantes kamu sIbuk nyuci mobil. Padahal dari
kemaren Bapak suruh, ada aja alasannya. “, cibir Bapak. Bara hanya cengengesan sambil
melanjutkan makannya.

“ Le, kamu jadi mau nikah dengan Rain? Tapi kok tiap ketemu kayak orang berantem
terus bawaannya? Kalian sama-sama nyinyir kalo udah ngomong “, Ibu memulai sesi tanya
jawabnya.

Bara meneguk teh yang ada dihadapannya. Tak memperdulikan jika itu teh milik Ibu atau
Bapak.

“ ya jadilah Bu. Bara udah ngomong kok ke Paklek Amar. Kata Paklek sih liat aja
kedepannya. Kan tau kayak gimana sifat Raina yang suka labil kayak abg itu. Bara sih oke-
oke aja. “

“ tapi Le, kamu itu udah harus nyari yang serius. Kalo Raina belum kepikiran buat serius
sama kamu gimana? Bukannya Ibu nggak mau loh ya punya mantu si Raina. “
“ Raina itu baik. Dia anaknya sopan banget sama yang tua, manut lagi. Cuma ya itu,
kadang suka nggak konsisten. Kamu yakin bisa ngamong dia? “, kini Bapak mulai bersuara.
Bara hanya tersenyum kecil sebagai balasannya.

“ Insyaallah Bara yakin kok, Pak, Bu. Bara hanya ngasih Raina waktu Buat berpikir. “

Ibu dan Bapak hanya mengangguk paham. Berusaha yakin dengan pilihan anak tertuanya
itu.

Lagian mereka juga tidak terlalu mempermasalahkan siapa pendamping Bara. Mereka
hanya ingin Bara menemukan kebahagiaan hidupnya entah darimanapun. Selama membawa
dampak positif bagi Bara, mereka tak mempermasalahkannya.

Bara kembali mencoba fokus menonton kartun dihadapannya. Meski hatinya sendiri
mendadak gelisah. Ya, Bara tak pernah tau apa yang mungkin akan terjadi pada dirinya
dimasa depan. Menikahi Raina adalah pilihannya. Membuat Raina menjadi pasangannya
adalah pilihannya. Semoga saja pilihan yang diambil dengan ketidak sengajaan itu
membuahkan hal yang baik bagi Bara.

Ya, semoga saja begitu.


Raina sibuk menyusun agenda pembelajaran ketika Setio menghampirinya dimeja guru.
Membuat beberapa pasang mata menatap penuh penasaran. Raina sendiri gerah. Dia paling
benci saat Setio mulai melancarkan jurus-jurus modus yang mampu membuat kepala Raina
semakin pusing.

“ Bu Raina, ada waktu luang malam ini? “, pertanyaan standar yang selalu keluar dari
seorang Setio saat mengajak Raina untuk keluar.

“ nggak ada Pak. Duh, maaf ya... saya lagi sibuk nyusun agenda ini “

“ kalo buat sabtu malam ini, gimana? “

Setio itu, tipikal muka tembok. Yang kalo nggak diusir terus terang, nggak bakalan ngerti.
Tapi masalahnya, Raina itu orang yang nggak enakan. Meskipun dia bar-bar, tapi dia masih
punya sopan santun kok. Kalo dia ngusir Setio sekarang, kasihan Setio nya yang kepalang
malu jadi bahan gosip guru-guru disini.

“ liat nanti ya, pak? Biasanya kakak saya dateng kerumah. Nggak enak kalo dia datang,
saya nya yang pergi. “

“ kalo minggu siang juga nggak masalah kok. “

Ampun banget ini orang. Pengen deh Raina selem-selemin di kolam renang indoor
sekolah. Biar wasalam sekalian.

“ ya udah pak. Nanti hubungi saya aja “

Puas mendengar jawaban Raina, Setio berlalu dari hadapannya. Menyisakan emosi
terpendam untuk Raina.

Ya kali Raina pengen jalan sama itu orang. Nemu yang modelan begitu aja, Raina udah
empet banget.

Sebenarnya sih, Setio itu cowok yang lumayan cakep. Tingginya semodel dengan Mas
Ray yang kayak tiang listrik itu. Body-nya juga oke. Meskipunn nggak semodelan Bara yang
banyak ototnya, masuk kategori lumayan lah. Wajahnya juga lumayan cakep. Pokoknya Setio
itu masuk kategori Raina lah sebenernya.

Tapi, sifat percaya diri yang diluar batas kewajaran itu yang buat Raina males punya
urusan dengan Setio. Sejak awal Raina mengajar di sekolah ini, Setio itu selalu aja nguber-
nguber guru muda disini. Tebar pesona kesana-kemari. Sampe perut Raina mules kalo udah
ngeliat penampakan si Setio. Jangan lupain, gayanya yang sok keren itu. Duh, pengen banget
Raina racunin pake sianida saking keselnya.

Raina mengembuskan nafas kesal. Hilang sudah semangatnya menyusun agenda


pembelajaran untuk semester depan nanti. Ini semua gara-gara mahluk menyebalkan itu. Tapi
nggak sepenuhnya salah Setio sih. Salahkan aja hati nurani Raina yang masih berkuasa
ketimbang otaknya yang perhitungan itu. Kok mau-maunya sih nerima ajakan si Setio. Harus
bilang apa coba ke Bunda? Ntar kalo Ayah tanyain juga gimana? Ampun deh.

Mata Raina melirik jam yang ada diatas meja kerjanya. Sudah lewat satu jam dari waktu
pulang biasanya. Tapi Raina sama sekali belum selesai menyusun agenda mengajarnya. Duh,
niat diawal pengen santai dirumah malah ambyar begitu saja.

Tersenyum kecut Raina keluar dari ruangan setelah berpamitan dengan beberapa guru
yang Masih stay diruangannya. Berjalan perlahan menyusuri koridor sekolah yang masih
lumayan ramai dengan siswa yang sibuk dengan kegiatan organisasi mereka. Beberapa dari
mereka menegur Raina atau hanya tersenyum sopan kearah guru muda itu. Raina
mengangguk kecil lalu melangkah menuju arah parkiran guru. Memasuki mobilnya dan
kemudian pulang kerumah.

Suasana rumah terlihat ramai. Tentu saja, Ray dan Anggi mendadak datang kerumah
malam ini. Padahal ini bukan weekend. Katanya, Ray harus keluar kota jadi dia terpaksa
menitipkan keluarga kecilnya itu disini. Raina mencibir ketika mendengar kata ‘titip’ dari
mulut Ray. Emang dipikirnya Anggi dan dua bocah kembarnya itu sejenis barang apa, pake
dititipin segala.

“ Tante.... Tante.... Arsa mau dorayaki... dorayaki coklat “, rengek Arsa pada Raina.

Bocah laki-laki berusia 5 tahun itu kemudian memeluk kaki Raina yang jenjang itu.
Hampir saja membuaut Raina terjungkal karena tak kuat menahan beban tubuh Arsa yang
lumayan berisi itu.

“ duh, Tante nggak tau nyari dorayaki dimana, sa. Besok sore aja kali ya? Tante cariin
habis kerja “, jawab Raina sambil berusaha melepaskan pelukan Arsa pada salah satu
kakinya.

“ no. Arsa nggak mau. Maunya malem ini. Ntar Arsa keburu lupa kalo nungguin besok
sore!! “

Ini nih yang Raina sebel dari keponakannya. Suaranya ituloh, kalo udah merengek
ngeselin banget. Untung Raina sayang. Kalo nggak udah dilakban kali dari kemaren-
kemaren.

Anggi mendekati Arsa yang Masih kuat memeluk kaki Raina. Mencoba memberikan
nasihat pada anak laki-laki tertuanya itu. Tapi Arsa, tetaplah Arsa. Dia sepenuhnya memiliki
gen seorang Abriaksam Rayhan yang keras kepala. Maka dari itu sifat keras kepala juga tak
lepas dari Arsa.

“ Arsa. Ntar Tante jatoh loh kalo kamu gelayutan kayak gitu “, nasihat Ray yang sama
sekali tak didengarkan oleh Arsa.

“ ya udah. Ayo kita beli dorayaki-nya. Lepasin dulu, Tante Rain. “, putus Raina pada
akhirnya.
Mendengar ucapan Raina barusan, Arsa dengan cepat melepaskan pelukannya.
Membiarkan Raina naik kelantai dua untuk berganti pakaian. Raina sendiri terlihat misuh-
misuh saat mengambil kunci mobil yang digantung diruang tengah.

“ Arsy juga mau ikut, Tante. Tapi Arsy nggak mau dorayaki. Maunya kue bentuk ikan “,
teriak bocah perempuan yang darii tadi asik duduk dipangkuan Ayah.

Keponakannya itu emang hobi membuat Raina repot seketika. Kayaknya hari ini tuh hari
apes Raina deh. Sepagian sampe sekarang kok malah nyusahin banget.

“ ya udah, pake jaketnya. Pamit sama Mama, Papa, dan Eyang gih “, perintah Raina.
Sementara menunggu kedua keponakannya melakukan yang dia suruh, Raina mengeluarkan
mobil dari carport.

Duduk sebentar sambil menunggu kedatangan dua bocah mungil yang ngeselin persis
kayak papanya.

Ray mengetuk jendela mobil Raina. Memaksa Raina untuk menurunkan kacanya. Pria itu
memberikan 3 lembar uang ratusan. Membuat Raina ingin meninju-nya saking kesalnya.

“ nggak usah Mas, Rain Masih ada uang kok. Jajanin si kembar nggak langsung buat
Raina bangkrut. Tenang aja “

Terdengar suara pintu dibuka, lalu suara ribut Arsa dan Arsy yang mulai memenuhi mobil.
Raina dapat mendengar Anggi yang berusaha menasihati anaknya. Tapi sama sekali
diabaikan oleh duo kurcaci di jok belakang.

“ terserah kamu, deh Rain. Tapi please banget, jangan mampir ke toko mainan atau apapun
itu. Mainan mereka udah banyak banget dirumah. “, pinta Ray yang hanya dijawab anggukan
dengan Raina.

“ udah deh Mas, Raina mesti pergi sebelum tambah malem. “

“ kamu bisa jaga mereka, kan? “, tanya Anggi was-was.

“ tenang aja, Mbak. “

Setelah mengucapkan itu, Raina menghidupkan mesin mobilnya. Menginjak gas dan
kemudian berlalu dari hadapan Ray dan Anggi yang melihatnya dengan khawatir.

***

“ pelan-pelan, Sa. Itu nggak ada yang minta kok, makanan kamu “, seru Raina pada Arsa
yang kelihatan rakus malam ini. “ Arsy juga. Tante nggak minta kok itu ikan “

Ya, Raina saat ini sedang menemani kedua keponakan kecilnya. Mereka sedang duduk
santai disalah satu gerai makanan jepang di pusat perbelanjaan yang tidak begitu jauh dari
komplek rumah Raina. Memenuhi permintaan si kembar saat dirumahh tadi.
“ Tante, pokoknya Tante harus belajar cara buat kue ini. Biar kita nggak perlu repot-repot
ke mall. Oke Tante? “, seru Arsy yang berhasil membuat Raina tertawa.

Keponakannya ini memang ajaib. Si kembar paling tidak suka jika diajak pergi ke tempat
seperti mall. Mereka lebih suka berjalan-jalan ditempat terbukan, seperti taman dan kebun
binatang. Raina Masih ingat, ekspresi cemberut si kembar ketika Raina dengan terpaksa
mengarahkan mobil memasuki area mall. Mereka berdua tidak terlihat ikhlas. Tapi mau
bagaimana lagi? Raina hanya tau stand makanan jepang yang berada di mal ini.

“ ya udah, habis dari sini kita ke toko buku terus ke supermarket buat belanja bahan
kuenya “, usul Raina sambil mencubit geMas pipi Arsy yang tembem itu.

“ don’t touch me, Tante. Sakit... “, rengek Arsy yang dibalas tawa Raina.

Selesai makan, Raina menggiring kedua keponakannya memasuki toko buku. Langsung
menuju bagian resep makanan.

Nggak usah kaget. Meskipun males-malesan gini, Raina jago masak kok. Kalo Raina udah
masak, pasti habis nggak tersisa. Bunda sama ayah suka banget. Katanya enak. Ya, emang
enak sih. Kalo nggak enak Raina nggak mungkin mau nginjak dapur untuk selamanya.

“ Tante “, panggil Arsa dengan suara pelan. Raina mengalihkan pandangannya dari
deretan buku pada bocah mungil yang asik menggenggam bagian bawah dress motif bunga
miliknya.

“ Arsa mau bisik-bisik “

Raina menatap heran keponakannya itu, tapi toh dia tetap berjongkok untuk menyetarakan
tingginya dan Arsa.

“ itu ada Om Bara. Dari tadi ngeliatin terus. “

Dengan cepat Raina mengikuti arah pandang Arsa. Dilihatnya Bara yang sedang sibuk
memilih buku dibagian kesehatan.

“ samperin aja sana, kalo kamu mau main sama Om Bara “, suruh Raina yang dijawab
anggukan semangat Arsa.

Bocah itu memang begitu menyukai Bara. Bahkan dia pernah menyuruh Bara untuk
mendongeng. Raina wajar aja sih, Bara itu kan spesialis anak. Jadi kalo banyak anak-anak
yang suka sama dia, itu wajar.

Raina memperhatikan langkah Arsa yang berjalan lurus menuju Bara. Lalu bocah itu
kemudian berbicara sesuatu, dan pada akhirnya Bara menggendongnya. Raina dapat melihat
tawa Arsa yang kesenangan digendong oleh Bara. Sesekali Bara mencium gemas pipi Arsa,
lalu kemudian kembali menekuni buku yang masih ada dalam genggamannya.

“ Tante, beliin buku cerita yang baru dong. Arsy pengen yang baru “
“ bentar ya, Arsy. Tante nyari resep kue ikan kamu itu dulu “

Arsy mengangguk. Menunggu sang tante dengan sabar. Sekitar 10 menit kemudian, Raina
mengajak Arsy menuju rak buku anak-anak. Menghampiri Bara yang sudah ada disana
bersama Arsa. Mereka terlihat sibuk memilih buku dongeng.

“ Arsy mau yang ada princess sana prince nya. Yang kayak Cinderella sama Rapunzel itu
loh “, celoteh Arsy sambil sibuk membolak-balik buku dihadapannya.

“ no. Aku nggak mau, Sy. Yang ada hewannya aja. Lucu-lucu “, tolak Arsa lalu
mengacungkan buku dongeng bergambar hewan.

“ Mas Arsa, itu tuh geli tau nggak? Jorok. Ntar kalo dibacain itu, Arsy mimpi buruk “

Raina tertawa melihat perdebatan si kembar. Bara sendiri memilih memperhatikan


interaksi kedua kakak beradik itu. Mengamati ekspresi wajah mereka saat berdebat.

“ Tante, Mas Arsa resek nih. Kok milih bukunya yang ada katak gitu sih? “, lapor Arsy.

“ ini bagus Arsy. Katanya kamu mau yang ada princess nya, yang ini ada kok. Terus ada
juga yang hewannya. Jadi udah, kita beli ini aja. Jangan banyak-banyak. Nyari uang itu susah
loh “

Takjub. Raina sangat takjub dengan pemikiran dewasa Arsa barusan. Ternyata Arsa tidak
hanya mewarisi gen jelek papanya, gen bagus mamanya juga diwarisi Arsa dengan sangat
baik. Kapan lagi Raina mendengat kalimat bijak seperti barusan keluar dari bocah berusia 5
tahun.

Bara mengelus pucuk kepala Arsa dengan sayang. “ ya, udah. Beli satu-satu aja. Nggak
papa kok. Ntar Om yang bayarin “

“ tapi Om kan pengangguran “, balas Arsa yang berhasil memancing tawa ngakak Raina.
Bara menatap Raina penuh dendam sebelum kembali menatap manis Arsa yang masih sibuk
berdebat dengan Arsy.

“ nggak kok. Om udah kerja “

“ serius? “

“ iya Arsa “

Bara kemudian bangkit dari posisinya. Berjalan mendekati Raina yang memang agak jauh
dari jangkauannya. Raina sendiri masih berusaha menyelesaikan tawanya akibat serangan
Arsa barusan. Demi apapun, Raina sama sekali nggak pernah mengatakan perihal
pengangguran ke Arsa.

“ puas kamu ngeliat aku diledekin Arsa? “, tanya Bara sarkas.

“ aduh, Mas... aku nggak pernah loh ngakak sampe nangis gini “, balas Raina sambil
menghapus butiran air matanya yang tumpah begitu saja. Efek tertawa.
“ dari mana kalian bertiga? “

“ si kembar minta dorayaki sama kue bentuka ikan, jadi aku bawa kesini. Mas ngapain
juga disini? Nyari buku? “

“ iya. Lagi nyari refrensi medis aja. “, Bara menunjukkan buku tebal yang dari tadi
dibawanya. Mata Raina menyipit ketika melihat tulisan asing. Bukan, bukan bahasa inggris.
Lebih ke kode-kode yang aneh.

“ Mas bisa baca itu buku? “, tanya Raina skeptis. “ itu tulisan apa kode sih? “

“ bisa aja sih. Kenapa? “

Raina mengangkat bahu cuek. “ nggak kenapa-kenapa sih “

“ habis ini kalian mau kemana? “, tanya Bara saat mereka sudah keluar dari toko buku.

“ ke supermarket dulu, buat nyari bahan kue. “

“ aku anterin. Repot kamu kalau sendirian terus harus jaga si kembar “, tawar Bara.

Tanpa menunggu respon Raina, pria itu langsung menggendong Arsy. Disambut gelak
tawa membahana Arsy. Dibelakangnya, Raina hanya bisa mengumpat kesal.

Arsa menarik tangan Raina. Menyuruh Tante kesayangannya itu berjalan menyusul Bara
dan Arsy yang sudah agak jauh dari mereka. Raina menurut. Menggenggam tangan Arsa
yang kecil sambil sesekali mengerjainya.

Mereka sampai di supermarket. Bara sudah menunggu didepan sebuah troli yang
didalamnya ada Arsy yang sudah duduk manis. Bara juga sempat menawari Arsa untuk
duduk didalam sana. Tapi Arsa menolak. Dia lebih memilih berjalan sambil menggandeng
tangan Raina.

“ permen? “, tanya Arsy memastikan. Raina dan Bara kompak menggeleng.

“ nanti gigi kamu rusak, sayang. Nggak usah ya “, tawar Raina saat melihat air mata Arsy
mulai tumpah.

“ nggak boleh, sayang. Nanti dimarahi Mama sama Papa loh, kalau beli permen “, ingat
Bara yang kemudian disambut anggukan Raina.

“ just one, please “, pinta Arsy memelas.

Duh gusti. Raina paling nggak bisa kalo ngeliat Arsy yang mulai nangis-nangis bombay
kayak begitu. Sedih banget bawaannya. Ini nih kebiasaan Raina, makanya setiap
keponakannya minta sesuatu pasti Raina turutin. Nggak tega ngeliat air matanya itu loh.

“ kan Tante mau buat kue bentuk ikan. Kalo beli permen, nggak jadi buat nih “, ancam
Bara yang berhasil menghentikan rengekan Arsy. “ good girl “
Mereka kembali menelusuri rak-rak bahan kue. Raina sambil membuka buku resep yang
baru dibelikan oleh Bara, memasukan satu persatu bahan yang diperlukannya. Arsy yang
bosan, menyusun barang-barang itu didalam troli. Membuat bentuk bangunan tinggi dari
barang-barang didepannya. Bara sesekali mengajak Arsa berbicara. Menanyai segala sesuatu
yang membuat Arsa tertarik.

Dilihat dari jauh, mereka seperti sebuah keluarga kecil yang harmonis. Keluarga muda
dengan dua orang anak kembar yang menggemaskan. Raina menyadari itu. Dia dapat melihat
tatapan orang-orang yang iri disepanjang jalan ia melintas. Membuat Raina kembali berpikir
mengenai tawaran pernikahan yang disodorkan Bara.

Raina akan bahagia. Tentu saja. Bara adalah orang yang sangat bertanggung jawab.
Meskipun ada kesan kaku dan tegas dalam pembawaannya, Bara tetaplah orang yang
menyenangkan. Meskipun Raina awalnya menolak, tetap saja Raina akhirnya terpikat pada
pesona Bara itu. Pesona yang sanggup membuat banyak wanita rela mengantri demi dapat
berkenalan dengan sosoknya.

“ ngapain bengong? Itu barangnya udah semua belum ?”, tanya Bara menyadarkan Raina
dari khayalan anehnya.

“ udah. Tinggal kekasir aja “, sahut Raina yang dibalas anggukan Bara. Bara mendorong
troli yang berisi belanjaan Raina dan Arsy. Dibelakangnya, Arsa mengikuti Bara sambil
sesekali berceloteh. Bara menanggapinya dengan anggukan sesekali diiringi dengan elusan
lembutnya dipuncak kepala Arsa.

Pemandangan itu menyejukkan Raina. Raina menyukai Bara yang begitu menyayangi
keponakannya. Seperti Ayah yang sangat menyayangi Raina dan Ray, meskipun mereka
berdua tak pernah akur. Bara yang bertanggung jawab.

Kenapa mendadak jantung Raina jumpalitan sih? Berasa kayak mau lepas aja dari
tempatnya. Raina mendesah pelan lalu kemudian menyusul Bara dan sikembar yang sudah
mulai antri di kasir.

***

Raina baru saja akan duduk di kursi saat melihat sebucket bunga mawar merah ditaruh
begitu saja diatas mejanya. Membuat Raina mengurungkan niatnya dan malah menatap heran
bunga itu.

“ dari Pak Tio, bu. “, seru Bu Fera yang duduk disudut ruangan.

“ ngapain dia kasih saya bunga? Bunga palsu lagi “, cibir Raina begitu menyadari bunga
yang ada dalam genggamannya. “ saya maunya bunga bank kali. Bukan bunga palsu gini “

Komentar Raina itu disambut gelak tawa beberapa guru diruangan. Raina menggendikkan
bahunya acuh. Meletakkan bunga mawar yang katanya berjumlah seratus itu di dalam loker
miliknya lalu kembali duduk dikursi miliknya. Menekuri jawaban-jawaban siswa yang belum
sempat dia koreksi semalam.
“ Rain, si Tio nguber-nguber gue terus ini. Minta alamat rumah lo “, bisik tyas.

Raina menatap teman dekatnya itu dengan kesal. Jangan sampai Tyas ngebocorin alamat
rumahnya. Bisa abis Raina diomelin Bunda. Kan Bunda udah terlanjur ngebet banget buat
jadiin Bara mantunya.

“ terus lo kasih? Demi apapun deh Yas, gue nggak terima kalo sampe lo bocorin alamat
gue ya. Udah cukup si Tio nguber gue disekolah sama lewat chat. Capek gue “

“ gue nggak ember kok. Lo santai aja. Cuma ya ini, gue kesel dia ngintilin gue terus buat
dapet alamat elo. Kampret nggak tuh? “

Tyas kini menarik kursi didekat Raina. Duduk dengan cepat lalu kembali bercerita.

“ udah gue bilang, elo itu lagi penjajakan sama orang. Dianya nggak percaya. Neror gue
lewat sms. Astaga, niat banget dia macarin elo. Dia bilang mau ngelamar elo ke orang tua elo.
Langsung. Nggak perlu izin lo dulu. “

Kok Raina jadi takut gini sih ngedengernya. Setio itu guru kan? Bukan sejenis psikopat
gila yang lepas terus nyamar jadi guru di sekolah ini?

Otakmu itu Rain, kebanyakan nonton drama sih.

“ kasih aja kalo gitu, Yas. Kasihan lo juga kali, diuber-uber sama itu titisan siluman. Ntar
gue kasih tau Ayah sama Bunda buat nolak lamaran dia. Ya, kalo sampe dia nekat mau
ngelamar gue sih. “

Tyas menggeleng cepat.

“ big no. Nggak, Rain. Gue nggak rela elo yang diuber-uber itu guru sejarah sarap.”

Raina bangkit dari duduknya, bergegas ke lokernya lalu mengambil mawar yang dia
letakkan disana. Tyas memperhatikan Raina dari jauh. Raut wajah wanita itu mendadak
keras. Dengan cepat diambilnya mawar itu, lalu dibuangnya ditempat sampah.

Semua yang ada didalam ruangan terperangah. Takjub dengan kelakuan sekertaris yayasan
yang spontan itu.

“ ada pelet itu. Pasti “, seru Tyas heboh.

“ apaan sih, Yas? Lo kayak orang kesetanan. Kalo mau dibuang, nggak usah disini juga
kali. Hargain sedikit orang yang kasih “, sewot Raina. Tapi toh, Raina tak berniat mengambil
kembali bunga yang sudah dibuang Tyas itu. Raina malah kembali duduk dikursinya.

“ denger ya, Rain. Kalo sampe si Tio macem-macem, kasih tau gue. Biar gue calling Papi
buat mecat itu orang “, nasihat Tyas sebelum dia pergi dari ruangan itu.

Raina menatap tak percaya kelakuan sahabat baiknya itu. Dia memang tau, terkadang Tyas
itu lebih bar-bar dan absurd ketimbang dirinya. Tapi, Raina sama sekali tak menyangka kalau
seorang Tyas Ayu Perdana mempercayai sesuatu yang berbau pelet.
Lagian memangnya beneran ya, si Tio itu make pelet? Tapi kayaknya mungkin juga sih.
Kalo nggak, kan nggak mungkin cowok modelan begitu punya deretan mantan yang
cantiknya ngalahin Miss Indonesia. Duh, Raina harus hati-hati ini kalo begini. Jangan sampe
dia kena pelet. Bisa bahaya.

Ngaco aja kamu Rain. Ketularan Tyas kayaknya ini..

Raina kembali melanjutkan tugasnya. Membiarkan segalam macam omongan Tyas


menjadi angin lalu.
Sore ini, Bara sedang membantu Bapak berkebun ketika matanya menatap sesosok pria
asing yang berdiri mondar-mandir didepan rumah Raina. Pria itu memakai kemeja abu-abu
yang memperlihatkan bentuk badannya yang bagus. Rambut hitamnya juga disisir rapi tapi
tidak terkesan norak. Sesekali pria itu melirik cemas kearah rumah Raina. Membuat Bara
yang biasanya selalu berpikir positif mendadak menjadi berpikir negatif.

Baru saja Bara akan menemui pria aneh itu, namun Raina mendadak muncul. Gadis itu
memasang wajah kesal yang tak bisa ditutupi. Berbicara sebentar dengan pria itu, sebelum
akhirnya menarik masuk pria asing itu. Sementara Bara membatu ditempatnya. Kepalanya
mendadak dingin. Berusaha menghalau pikiran negatif yang entah kenapa bergentayangan
terus dikepalanya.

Pada akhirnya, Bara memutuskan kembali ke halaman rumahnya. Berkutat dengan


tanaman Ibu. Meski dirinya sudah tak tertarik untuk berkebun.

Suara Bulek Dira lah yang kembali mengganggu perhatian Bara. Membuat pria itu
menoleh dan mendapati Bulek Dira sedang berdiri didepan pagar sambil menggendong Arsa.

“ kenapa Bulek? “, tanya Bara heran. Dia menatap Arsa yang terlihat lemah dalam
gendongan Bulek Dira.

“ bisa kamu kerumah? Si kembar mendadak rewel, sementara Anggi sama Ray masih di
kantor “, pinta Bulek Dira.

Bara mengangguk paham. Dengan cepat dia berjalan keluar pagar. Mengambil alih tubuh
Arsa yang terasa panas. Berjalan cepat menuju rumah Raina.

Mendadak Bara tersenyum masam. Menyadari jika sosok pria asing itu sedang berada
dirumah Raina juga. Nanti, saat Bara sudah selesai memeriksa si kembar, Bara akan
menanyakan siapa pria asing itu. Dia harus mengetahui apakah pria itu merupakan
saingannya atau bukan.

Tapi nanti. Setelah dia selesai dengan si kembar.

***

“ mereka cuman flu. Semoga aja nggak sampe demam. Perubahan cuaca yang ekstrim gini
emang gampang buat orang sakit. Apalagi anak-anak. Imun mereka belum sekuat orang
dewasa. “, jelas Bara saat sudah selesai memeriksa.

Bulek Dira menghembuskan nafas lega. Merasa tenang setelah mengetahui cucu
kesayangannya baik-baik saja.

“ nanti Bara kasih resep. Tebus aja di apotik depan komplek. Obatnya diminum 3x sehari
sesudah makan. “

“ kalo gitu, Bulek beli obatnya sekarang aja. Biar bisa si kembar langsung minum “
Bara mengangguk. Menuliskan beberapa obat untuk Arsa dan Arsy. Memberikan secarik
kertas dengan tulisan abstrak itu ke Bulek Dira. Yang diterima Bulek Dira dengan tatapan
aneh.

“ perasaan tulisan kamu bagus deh, Bar... Kok jadi kayak ceker ayam gini sih? “

“ tulisan Mas Bara emang jelek Bunda. Bunda aja yang nggak tau “, nyinyir Raina secara
tiba-tiba. Gadis itu berdiri dengan tangan bersidekap. Menatap Bara dengan penuh
perhitungan sebelum memutuskan masuk kedalam kamar.

“ kalo buat nulis resep, Bara emang sengaja nulis kayak begitu. Soalnya biar meyakinkan
gitu, kalo yang nulisnya dokter. Bukan guru sastra “, jawab Bara disertai senyuman manis.

Raina mencibir sebelum memfokuskan pandangannya kearah si kembar yang sedang


tertidur.

“ tamu kamu udah pulang, Rain? “, tanya Bulek Dira pada anak bungsunya. Raina
mengangguk kecil. Sama sekali tak berniat untuk membuka suara. “ kalo gitu tolong titip
mereka dulu. Bunda mau ke apotik depan buat nebus obat “

Lagi-lagi Raina mengangguk kecil.

Bara menatap Raina yang sedang duduk di kursi, tepat disamping tempat tidur. Gadis itu
menatap sedih kedua keponakannya. Sambil sesekali mengusap pelan rambut Arsy yang
panjang itu.

Mulut Bara sudah gatal ingin menanyakan laki-laki aneh yang tadi mondar-mandir
didepan rumah Raina. Apalagi ketika Bara masuk kedalam rumah dan menemukan pria itu
duduk manis diruang tamu sambil tersenyum lebar kearah Raina. Mencoba menarik perhatian
Raina yang terlihat kesal luar biasa itu.

Saat Bara lewat, pria itu melemparkan tatapan penuh selidik. Sama seperti Bara. Hanya
saja, Bara mencoba mempertahankan tampang datarnya. Tapi pria itu, jelas-jelas
menunjukkan ketidak sukaannya pada Bara. Bara sangat tau itu.

“ siapa tadi, Rain? “, tanya Bara memberanikan diri. Sebisa mungkin ditahannya nada
penasaran dalam pertanyaannya. Meskipun Bara tak yakin akan suaranya tadi. Semoga saja
Raina tang tidak peka itu, tidak merasa aneh dengan nada pertanyaan Bara.

“ temen kerja. Mau pamitan katanya, ada seminar di Lombok “, jawab Raina santai.

Jika Raina santai. Lain halnya dengan Bara. Pria itu kini mulai merasa gelisah. Dia sangat
tau maksud dibalik kata pamitan itu. Tapi satu hal yang sangat Bara pahami.

Saingannya benar-benar muncul.

“ kok sampe pamit segala sih? Kan cuman seminar aja, Rain “
“ Raina nggak tau, Mas. Biar aja sih dia yang mau pamit. Toh, Raina nggak perduli “,
balas Raina cepat.

Bara menatap heran Raina. Yang ditatap malah membalas balik tatapan Bara. Membuat
Bara menjadi kikuk setengah mati. Mencoba menutupi rasa cemburu yang mendadak
menyergapnya.

“ namanya siapa, Rain? “

“ Setio Gautama “

Setio Gautama.

Dalam hati Bara terus merapalkan nama itu. Seolah-olah dengan menyebut nama itu, Tio
dapat merasakan jika Bara sedang berusaha mengenyahkan pikirannya untuk memusnahkan
pria itu.

“ kayaknya dia suka sama kamu deh “

Begitu Bara mengucapkan kalimat itu, detik itu juga Bara langsung menyesal. Tolol.
Memancing Raina dengan pertanyaan kekanakan seperti itu rasanya tak masuk akal. Kemana
rasa percaya diri Bara yang begitu besar itu?

“ iya sih... Tyas juga bilang kayak gitu. Tapi, who’s care? “, jawab Raina santai.

“ that’s iam “, balas Bara cepat. Langsung membungkam Raina yang terlihat seperti akan
berbicara.

Mata Bara menatap tajam mata Raina. Mengisyaratkan jika ucapannya barusan bukanlah
kata-kata bodoh. Bara sangat amat serius. Dia perduli dengan siapa yang menyukai Raina.
Karena, sejak dia melamar Raina, detik itu juga Bara bersumpah untuk menjadi suami Raina.
Tak perduli apapun halangannya.

“ kamu cemburu? “, tembak Raina.

Tanpa ragu Bara mengangguk. Bersikap sangat amat jujur didepan gadis itu.

“ kamu bukan siapa-siapa aku, Mas.. Pacar juga bukan “

“ tapi kamu siapa-siapa aku, Rain. Denger, aku nggak ngelarang kamu deket sama cowok
manapun. Kamu bahkan bebas pacaran dengan dia, kalo kamu mau. Tapi Rain, pernah nggak
sih kamu serius mikirin jawaban untuk lamaran aku? Sebenarnya apa sih, yang kamu cari
untuk jadi suami kamu? “

Raina diam. Gadis itu duduk gelisah. Dia bahkan menolak kontak mata dengan Bara.

“ kamu bebas didunia kamu, Rain. Kalau kamu nggak tertarik untuk ngebawa aku masuk
kedunia kamu, itu hak kamu. Tapi, jelasin ke aku alasan yang masuk akal diotak aku. Jangan
hanya mencari pembenaran diri “
Setelah mengucapkan kalimat itu, Bara bangkit. Meninggalkan Raina yang menatap sendu
punggung tegap Bara.

***

“ saya nggak paham kenapa Tyas kelihatan membenci saya “, Tio bertanya pada Raina
dengan raut penasaran. Pertanyaan itu sangat mengganjal bagi Tio selama hampir berbulan-
bulan ini. Semenjak dia memproklamasikan diri akan menikahi Raina.

Raina yang sedang mengamati beberapa orang ditaman menatap Tio dengan santai. Hari
ini, sesuai janjinya tempo hari, Raina menemani Tio untuk berjalan-jalan ditaman kota.
Tempat Bara melamarnya dulu.

“ dia nggak benci Bapak, hanya merasa kesal mungkin? Reputasi Bapak sebagai playboy
cukup membuat Tyas mengambil langkah seribu untuk menghindari Bapak berhubungan
dengan saya “

Tio mengangguk paham. Jadi karena itu semua?

“ bahkan Umar yang dulu sangat menentang nabi bisa berbalik menjadi pengikut paling
setianya. Selalu memasang badan paling depan saat pertarungan. Manusia pasti pernah hidup
dalam masa jahiliyahnya, bukan? Dulu, adalah masa kelam saya. “

Helaan nafas pendek tanpa sadar dikeluarkan Tio. Pria itu seperti kembali mengenang
sesuatu.

“ orang tua saya bercerai sejak saya kecil. Mama ketahuan berselingkuh dari papa. Mereka
ribut, dan kemudian pisah. Waktu itu, Papa sangat terpuruk. Dulu, saya sangat dekat dengan
Papa. Melihat sesuatu seperti itu, membuat saya membenci Mama. Menanamkan pola pikir
jika semua perempuan itu sama. Tukang selingkuh. Klise bukan? Tapi itu lah faktanya “

Cerita Tio pelan. Pria itu menatap seorang ibu muda yang sedang bermain bersama
anaknya disebuah ayunan yang tak jauh dari mereka. Ada sorot iri dan rindu disana.

“ ada banyak alasan dibalik sikap seseorang. Seorang pencuri memiliki alasan atas
tindakannya tapi orang-orang menghujatnya. Bukankah seharusnya mereka memberikan
pencuri itu pekerjaan halal agar dia tidak mencuri lagi? Orang-orang senang men-judge
sesuai dengan apa yang mereka pikirkan “

“ saya tau jika saya salah. Maka dari itu, saya ingin mengubah diri saya. Menjadi seorang
pria yang lebih bermartabat. “

“ berubah kearah yang lebih baik itu luar biasa. “, balas Raina sambil tersenyum manis.

Jujur saja, Raina tak begitu pandai untuk merespon segala ucapan Tio tadi. Terlebih saat
mendengar ceritanya barusan, Raina sungguh terkejut.

Siapa yang menyangka dibalik sikap menyebalkannya itu, Tio merupakan seseorang
dengan pemikiran yang begitu hebat?
Siapa juga yang menyangka jika pria itu adalah seorang anak broken home yang
menyimpan trauma mendalam akibat perceraian kedua orang tuanya?

Ada banyak hal yang tak Raina ketahui tentang Tio. Membuat Raina merasa tersentil
ketika Tio menyinggung sikap tyas yang begitu memusuhinya.

“ sorry nih kalau saya kebanyakan curhat “, ucap Tio pada akhirnya.

“ nggak masalah. Setiap orang juga punya masalah dan pengen ngeluarin semuanya.. “

Tio mengangguk setuju.

“ jadi, siapa yang ada dirumah Bu Raina kemarin? “

Butuh beberapa detik bagi Raina untuk memahami maksud pertanyaan Tio. Hingga pada
akhirnya dia paham dengan sosok yang dimaksud Tio. Siapa lagi kalau bukan Bara.

“ tetangga, kebetulan keponakan rada demam.. Jadi ya, bunda minta tolong dia.. Soalnya
Mas Bara itu dokter “

“ Bara? “

“ iya, namanya Mas Bara. Temen deket kakak saya “

Tanpa sadar Tio tersenyum kecut. Ingatannya memutar kejadian kemarin, saat Bara datang
dengan santainya lalu masuk kedalam kamar tanpa perlu dipersilahkan. Saat Raina menatap
Bara dengan tatapan aneh tanpa berniat menghentikan langkah pria itu.

Saingan baru?

Tapi sepertinya jika iya, Tio sudah kalah berlangkah-langkah jauhnya. Saat ini, dunia
Raina melingkupi Bara. Bukan dirinya. Tio hanyalah seorang pria yang memaksa masuk
mendobrak pintu yang sudah dikunci paksa Raina. Merongrong meminta sedikit perhatian
dari ketidak pedulian gadis itu kepadanya. Berharap akan ada sedikit perubahan dihati Raina
yang begitu tersembunyi.

Bolehkan jika Tio berharap? Meski tak begitu yakin dengan akhir yang bahagia. Tapi, jika
Raina menolaknya untuk saat ini. Mungkin akan sulit bagi Tio untuk menemukan seseorang
seperti Raina. Wanita yang berhasil mengalihkannya dari dunia kelam.

***

Ray berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Beberapa kali kepalanya sedikit mendongak
menatap papan tulisan yang berada diatas pintu. Langkahnya terhenti saat melihat nama yang
sudah tak asing lagi baginya. Hanya saja, kini nama itu disandangkan dengan gelar yang
berhasil didapatkan pria itu. Dr. Spc.An Bara Lembayung Angkasa. Tanpa ragu Ray masuk
kedalam ruangan itu.

Didalam ruangan terlihat Bara yang sedang duduk sambil memperhatikan grafik laporan
perkembangan pasiennya. Kali ini Bara terlihat begitu dewasa. Memakai jas putih
kebanggaan miliknya. Sesekali mencorat-coret kertas dihadapannya. Begitu fokus dan tak
memperdulikan Ray.

“ gue nyari elo. Keliling rumah sakit cuma buat nanya dimana ruang kerja elo. Ditelpon
nggak diangkat, gue chat nggak dibales. Kan kurang ajar banget “, seru Ray yang langsung
duduk dikursi.

Bara tersenyum kecil lalu memeriksa handphone nya. Ada 5 miscall dari Ray dan puluhan
spam chat dari pria itu.

“ sorry, gue lagi fokus banget mempelajari kasus pasien gue. “

“ iya, gue tau. Katanya lo mau cerita sama gue soal Raina. So, apa cerita lo? “, tuntut Ray
langsung.

Kemarin sore, Bara menemui Ray dirumahnya. Membawa beberapa buah-buahan untuk
sikembar yang tak enak badan. Meminta Ray untuk sedikit meluangkan waktunya agar bisa
mendengar curhatan Bara tentang adik semata wayangnya, Raina.

Tanpa ragu Bara melepaskan jas putihnya, meletakkannya digantungan yang sudah
disediakan.

“ kita bicara diluar aja, Ray “

Ray mengikuti Bara. Berjalan santai melewati lorong rumah sakit. Sesekali beberapa
perawat wanita muda tersenyum hangat kearah Bara. Pria itu sendiri hanya mengangguk tipis
tanpa berniat mengeluarkan senyumnya. Sedikit berbeda dari Bara yang Ray kenal.

Mereka berjalan melewati parkiran rumah sakit, kemudian sedikit menyebrang jalan lalu
memasuki taman kota yang kebetulan letaknya persis didepan rumah sakit. Bara berjalan
menuju arah kedai makanan yang terletak dipinggir taman. Duduk disana lalu memesan
makanan.

“ gue laper, makan dulu “

“ oke “, balas Ray cepat. Pria itu juga ikut memesan makanan.

Saat pelayan meninggalkan mereka berdua, Ray menatap Bara. Membaca raut serius pria
dihadapannya. Namun menyerah karena pada akhirnya raut itu terlalu datar untuk dibaca.
Berbeda dengan raut wajah Raina yang begitu mudah ditebak.

“ sambil cerita bisa? “, tanya Ray begitu penasaran.

“ lo setuju nggak sih kalo gue nikah sama adik lo? “, tanya Bara langsung.

Ray hanya menatap Bara. Tak berniat menjawab pertanyaannya.

“ gue serius. Gue suka sama adik lo, dan serius buat nikah dengan dia. Tapi, lo tau apa
masalahnya? Dia ngegantungin gue. Buat gue kayak pengemis yang terus-terusan minta belas
kasihan dari dia.”
“ dan maksud tujuan lo cerita beginian adalah? “

“ adik lo berhasil ngambil hati gue, Ray... Buat gue kepikiran terus dengan dia. Nggak
perduli gue lagi ngapain. “

Aneh. Disatu sisi Ray merasa ingin menghibur sahabat baiknya itu. Namun, disisi lain Ray
merasa perlu melindungi Rayna dari sosok Bara. Meskipun Ray sangat tau bagaimana pribadi
seorang Bara, jiwa kakak yang dimilikinya tetaplah ada. Raina adalah satu-satunya mutiara
dalam keluarga besarnya, Ray tak mungkin dengan semBarang memberikan gadis itu pada
siapapun.

“ lo tau, kadang gue mikir lo itu cuma main-main. Iseng-iseng ngerjain adek gue, si Raina.
Tapi bunda udah banyak cerita tentang gimana elo berusaha meyakinkan Raina kalo lo serius.
Gue punya pertanyaan, Bar. Dan gue mau lo ngejawab pertanyaan gue dengan jujur. Sejak
kapan lo mulai suka sama Raina? “

“ sejak dia mutusin buat menghindar selama beberapa waktu. Awalnya gue biasa aja. Tapi
lama kelamaan, gue nggak bisa. Ray, hati itu nggak ada yang tau. Dia punya misteri yang
bahkan nggak akan bisa ilmuan jenius pecahkan. “

Bara menjawab dengan serius. Tak ada raut santai diwajahnya. Bara dan pola pikirnya
yang tegas itu sama sekali tak bisa dibantah.

Berbeda dengan Ray yang terlihat sangat geli ketika Bara mengucapkan kata-kata itu.
Kota-kata puitis yang jelas sama sekali bukan gaya seorang Bara. Menggelikan untuk
didengar oleh siapapun yang benar-benar mengenal Bara.

“ kemarin, gue ngeliat saingan baru. Temen kerjanya Raina yang keliatan serius banget
sama Raina “, tambah Bara.

“ oh, si Tio? Yang Bunda bahas habis-habisan kemarin itu? “

“ menurut lo gimana? “

“ apanya yang gimana, Bar? “, seru Ray kesal. Dia mulai jengah menhadapi sosok Bara
yang agak dramatis ini.

“ si Raina sama Tio itu serius apa nggak? “, jelas Bara yang mulai kelihatan kebakaran
jenggot.

Alis Ray mengkerut heran. Bara dan sikap anehnya benar-benar sulit ditleransi oleh Ray.

“ lo tau syarat baru yang diajuin Raina ke Bunda kan? Nah, si Tio belum sampe tahap itu.
Jadi, lo santai aja... “

“ tentang lamaran langsung ke Paklek? “

“ iya, Bara... Lo pikir apa lagi? Kok lo lama-lama jadi ngeselin gue sih? “, amuk Ray pada
akhirnya. Sementara yang diamuk hanya tersenyum tipis memohon maaf.
***

Cemburu adalah satu kata yang sangat amat dibenci oleh Bara. Satu kata itu berhasil
merusak hari-harinya, merusak pekerjaannya dan merusak semua hal yang seharusnya tak
bisa rusak begitu saja. Raina dan cemburu kini berhasil menguasai sosok Bara selama
seminggu belakangan ini. Terlebih ketika mengetahui jika Tio mendadak menjadi supir
pribadi Raina yang setiap saat selalu mengantar jemput gadis itu.

Bara ingin protes. Tentu saja. Tapi pada siapa? Raina? Gadis itu sendiri sama sekali tak
terlihat perduli dengan adanya Bara atau tidak adanya Bara dihidupnya. Raina terlihat
nyaman sekarang. Sering tertawa saat bersama pria itu. Satu hal yang juga berhasil membuat
Bara cemburu.

Bulek dira selalu mengingatkan Bara, jika Raina memiliki hati yang keras. Tak mudah
membuat luluh gadis dengan sifat keras kepala seperti batu itu. Mungkin saja saat ini Raina
tertawa bahagia bersama Tio, tapi siapa yang tau hati Raina. Bulek dira selalu mengatakan
jika Bara tetaplah orang yang ada dihati Raina. Entahlah, Bara tak bisa seratus persen
mempercayai bulek dira. Sebab, Bara sendiri tak yakin.

Kalau kata Dilan cemburu itu hanya untuk orang yang tak percaya diri, maka benarlah itu.
Saat ini Bara sungguh tak percaya diri untuk bersaing dengan Tio. Terlebih Tio selalu hadir
disamping Raina selama seminggu ini. Benar-benar berkebalikan dengan Bara yang seolah
sedang ditelan bumi.

Seminggu ini Bara memang sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya didepan
Raina. Dia sama sekali tak mengusik kehidupan Raina. Bahkan lewat didepan rumah Raina
pun tidak. Bara memilih memutar jalur yang lebih jauh dari pada jalur biasanya.

Hanya satu alasan dari tindakan Bara itu. Dia hanya ingin tau hati Raina yang sebenarnya.
Apakah gadis itu merasa kehilangan dirinya atau tidak.

“ sampe berapa lama lo bakal umpet-umpetan kayak begini, Mas? “, tanya Elang suatu
sore saat melihat Bara sedang duduk diatas balkon rumah. Pria itu menggenggam teropong
dan sedang memata-matai rumah Raina yang sepi.

“ jangan kayak stalker deh, pliss. Lo dokter terhormat jangan jatohin harga diri “, tambah
Elang lalu merampas paksa teropong Bara.

Bara merebut kembali benda miliknya itu. Menggantungnya di leher sebelum memarahi
adiknya itu.

“ gue bukan stalker ya!! Ngapain lo kesini? Tumben amat? Udah puas honeymoon nya? “

“ rahasia negara itu.. Gue kesini cuman mau ngunjungin Ibu sama Bapak aja. Sekalian
mastiin kalo anak sulungnya masih waras dan nggak gila gara-gara lamarannya belom di acc
lagi sama si Raina “

Skakmatt!! Elang dan mulut ajaibnya berhasil membuat Bara semakin dongkol.
“ jangan jadi adek durhaka, ya!! “

Elang mengangkat bahu cuek. Kemudian ikut duduk disamping Bara yang masih sibuk
dengan teropongnya.

“ Raina itu tipikal keras kepala yang nggak suka ngakuin perasaannya secara langsung.
Dia tipikal cewek munafik yang dimulut bilangnya apa, dihati bilangnya lain.dia sendiri juga
terlalu takut untuk ngasih hatinya ke orang lain. Tipikal cewek yang perhitungan dengan
akibat patah hati “, cerita Elang.

Bertahun-tahun berteman dengan Raina, bukan hal yang mustahil untuk Elang mengetahui
sifat Raina. Tumbuh bersama berhasil menciptakan sebuah hubungan tak terlihat yang begitu
erat dengan Raina. Meski mereka sering bertengkar, bukan berarti mereka membenci.

“ banyak hal yang terjadi selama mas nggak ada disini. Raina dan hatinya bukanlah hal
yang mudah. Udah banyak yang mencoba. Tapi mereka gagal. Raina terlalu pengecut untuk
mau merasakan sakit hati “

“ jadi, selama ini dia nggak pernah berhubungan dengan orang lain? Kayak pacaran gitu? “

“ nggak ada sih. Selama ini nggak ada orang yang berhasil buat Raina cerita ke gue sambil
senyum-senyum najis gitu. Atau yang ngebuat Raina sampe ga bisa tidur semaleman. Nggak
ada “, jelas Elang. Ingatannya mencoba memutar beberapa memorinya saat bersama Raina.
Dan hasilnya memang tak ada.

“ nanti kalau Raina udah selesai bergulat dengan hati dan pikirannya, dia bakal ngomong
kok. Dia bakal jujur dengan semuanya. Saat ini dia lagi bingung aja. “, tenang Elang.

“ tapi ada saingan baru, Lang. Dia temen kerjanya Raina. Dan mereka keliatan deket
banget. Gue cemburu, jujur aja. “

“ oh ya? Sedekat apa sampe bisa ngebuat abang gue cemburu gini? “

“ dia nganter jemput Raina. Sering main kerumah Raina, dan bisa buat Raina ketawa “

“ dan reaksi Raina? “

“ dia wellcome banget. Sampe ngebuat gue mikir yang enggak-enggak “

“ Raina itu orang yang nggak enakan. Mungkin aja si cowok itu mohon-mohon sama
Raina buat jalan sama dia atau gimana... Tenang aja sih mas... Kalo dia memang jodoh lo, dia
bakalan nyantol ke elo. Nggak perduli ada orang ketiga keempat atau bahkan kelima
sekalipun. “

Bara mengangguk pelan. Berusaha mengulangi perkataan Elang dalam otaknya. Mencoba
menenangkan hati dan pikirannya yang mendadak suram itu.

Saat Bara cemburu semua yang jelas akan terlihat kabur. Benar-benar membuatnya
frustasi.
Raina melambaikan tangannya pada Tio saat pria itu pergi meninggalkannya. Menatap
mobil Tio hingga hilang dipersimpangan jalan. Mulai kemarin, Tio mengantar jemput Raina
mengajar. Awalnya Raina agak sungkan, tapi melihat bagaimana usaha Tio untuk
membujuknya, Raina menyerah. Membiarkan pria itu berbuat sesukanya. Membiarkan gosip
tentangnya dan Tio bertebaran dengan bebas di ruang guru.

Biarlah orang berkata apa. Selama ini Raina tak pernah merasakan sesuatu yang aneh saat
berhubungan dengan Tio. Terlebih, Tio adalah pria yang baik untuknya. Begitu sopan saat
berbicara, tak pernah menyela Raina ketika bercerita. Tio adalah pendengar yang baik.
Pemberi jawaban atas masalah yang dihadapi Raina ketika murid-muridnya mulai
bermasalah.

Sebuah pelampiasan yang tepat.

Otak kecil dan hati Raina Raina berkata. Membuat Raina mendadak terdiam didepan pagar
rumahnya yang masih terkunci rapat. Tanpa sadar Raina mengalihkan pandangannya pada
rumah Bara yang juga tertutup rapat. Merasa bingung dengan dirinya saat ini.

Berhubungan dengan Tio bukan berarti Raina melupakan Bara. Pria itu masih menghantui
hari-harinya, bahkan disaat Bara tak menampakkan wujudnya didepan Raina selama
beberapa hari belakangan ini. Tak ada lagi keusilannya untuk mengganggu Raina di hari
weekend.

Raina merasa sedikit kehilangan. Dia merindukan godaan yang selalu Bara lemparkan
untuknya. Merindukan sosok Bara yang selalu menasehatinya ketika mulai adu mulut dengan
Bunda.

“ masuk aja kali.. Itu pager nggak digembok juga “, seru Ray dari teras rumah. Pria itu
masih dalam pakaian kerjanya menenteng sebuah koper kecil ditangannya. Arsa terlihat
duduk dikursi depan sambil melotot menatap Ray.

“ iya Mas, Raina tau “, jawab Raina pelan.

Suara besi berderit terdengar begitu Raina membuka pagar. Berjalan masuk tanpa berniat
menutupnya. Tau jika Ray akan pergi tak lama lagi.

“ itu yang Bunda bilang kemarin kan? “, tanya Ray tanpa basa-basi. “ yang jadi saingan
barunya Bara bukan? “

“ apaan sih Mas? Dia bukan saingan siapa-siapa “, balas Raina ketus. Gadis itu mengelus
kepala Arsa sebelum melangkah masuk kerumah.

“ nggak baik loh ngegantung perasaan orang. Apalagi orang itu udah niat serius ke kamu
“, kejar Ray tak membiarkan Raina masuk begitu saja.

Pria itu melangkah mengikuti Raina menuju dapur. Menempel dengan penuh semangat
kepada si bungsu.
“ Bara cemburu itu. Kamu nggak berniat ngasih penjelasan? “, tambah Ray yang kini
mengikuti Raina naik kelantai 2.

Raina membuka pintu kamarnya, disusul Ray yang kemudian masuk. Duduk diatas tempat
tidur Raina sementara sang adik sedang sibuk membuka lemari mencari pakaiannya.

“ Rain, kamu dengerin omongan Mas nggak sih? “, seru Ray yang merasa Raina mulai
mengabaikannya.

Raina menghentikan kegiatannya. Duduk disamping Ray lalu menggenggam tangan besar
Ray yang dulu selalu menuntunnya.

“ nggak ada yang harus dijelasin, Mas. Biarin Mas Bara mikir semaunya. Kalo dia
memang niat serius, dia nggak akan mikir yang aneh-aneh. Mas, hubungan itu dibangun
berdasarkan kepercayaan bukan? Kalo Mas Bara saat ini nggak percaya dengan Raina, untuk
apa Raina harus membangun sebuah hubungan dengan dia? “

Saat mengatakan itu Raina memang serius. Dia sama sekali tak bercanda atau sekedar
mencari pembenaran diri.

Bukannya Raina tidak tau alasan dibalik menghilangnya Bara beberapa hari belakangan
ini. Bagaimana pria itu menghilang tanpa kabar dan sibuk tenggelam dalam pekerjaannya.

“ Mas mau nanya. Sebenernya, kamu ini ada rasa nggak sih sama si Bara itu? “

Raina hanya diam. Memilih membuang wajahnya kearah jendela kamar yang terbuka
lebar. Menatap dedaunan yang berguguran.

Rasa itu pasti ada. Raina tak menampiknya. Hanya saja untuk saat ini sisi egoisnya begitu
tinggi. Tak rela jika dia harus jatuh dalam pesona seorang Bara.

Munafik pada diri sendiri. Entah sudah berapa kali Raina melakukannya. Membuatnya
merasa begitu bodoh.

Ray memperhatikan raut wajah Raina yang berubah. Terlihat berpikir keras untuk berapa
waktu sebelum akhirnya kembali memfokuskan pada dirinya.

“ Raina nggak tau Mas... Liat kedepannya aja. “, jawab Raina pada akhirnya.

***

Pagi ini seperti biasanya, Bara sudah berpakaian rapi. Kemeja navy dan celana kain abu-
abu membungkus rapat tubuhnya yang atletis. Bara sedang sibuk memasukan beberapa
Barang-Barang miliknya kedalam mobil ketika melihat mobil sedan hitam yang tak asing
dimatanya melintas lalu berhenti dirumah Raina. Seketika gerakan tangan Bara terhenti.
Tanpa perlu banyak waktu, pria itu masuk kedalam mobil.

Setio. Gumam Bara dalam intonasi yang kurang bersahabat. Pria itu benar-benar berhasil
membuat kepercayaan diri Bara yang selangit mendadak runtuh dalam sekejap.
Kedekatannya dengan Raina benar-benar mengintimidasi Bara. Membuat nyalinya mendadak
hilang entah kemana.

Kemarin, Ray memberikan saran untuk tetap diam. Tak membuat gerakan apapun didepan
Raina. Bersikap seolah-olah Bara sangat amat sibuk dengan dunianya. Ray juga menyarankan
agar Bara tak berpikiran yang buruk-buruk mengenai hubungan Raina. Karena Raina sendiri
tak memberikan respon yang lumayan baik ketika ditanya masalah hubungannya.

Itu kata Ray. Dan Elang juga selalu menasehatinya hal yang sama. Berulang kali. Hampir
setiap hari. Sibungsu tak pernah lelah untuk mengingatkan Bara mengenai betapa keras
kepalanya Raina. Gadis itu memiliki sifat yang sulit ditebak. Seolah-olah otak dan hatinya
adalah satu kesatuan yang berbeda.

Tapi, seberapa keras Bara mencoba bersikap santai. Sisi buruk Bara selalu berhasil
mengambil alih. Membuatnya kembali dilema.

Semua ini hanya karena satu orang. Dan itu Raina. Gadis manis dengan rambut indah itu
berhasil mengusik kehidupannya yang tentram menjadi berantakan.

Mobil sedan itu kembali melintas. Menampakkan sosok Raina yang sudah duduk manis
didalam sana. Gadis itu terlihat menatap kearah rumah Bara, sebelum akhirnya kemudian
kembali menghadap kejalan.

Bara menghembuskan nafas gusar. Berkali-kali dia menghembuskan nafas. Mencoba


mengatur pikirannya yang mulai melantur.

“ gue nggak akan bisa kalo begini terus. Ini bahaya buat kelangsungan hidup gue. “, gerutu
Bara sambil keluar dari mobil.

Dengan cepat dia masuk kedalam rumah. Mencari ibu dan bapak yang sedang duduk
santai diruang keluarga.

“ Bara mau pergi kerja dulu, Assalamualaikum “, pamitnya begitu selesai mencium tangan
kedua orang tuanya.

Ibu dan Bapak menangkap raut gelisah Bara yang kini sudah tak asing lagi. Siapa lagi
penyebabnya jika bukan gadis tetangga sebelah.

Andai saja Raina mau dengan cepat menerima lamaran Bara, mungkin anak sulung
kebanggaan mereka tak akan gelisah seperti itu.

***

“ kalo besok kondisinya tetap stabil dan tidak menunjukkan gejala-gejala seperti kemarin,
Mikaila sudah bisa pulang “, jelas Bara setelah memeriksa gadis mungil di salah satu bangsal
anak.

Perawat cantik dibelakang Bara ikut tersenyum mendengarnya. Sementara kedua orang tua
mikaila tak henti-hentinya mengucapkan syukur.
“ lain kali, pola makan Mikaila harus diperhatikan. Selain itu gizinya juga harus sesuai.
Hindari segala makanan yang mengandung kacang-kacangan. Takutnya alerginya kambuh
dan bisa sampe pingsan kayak kemarin “

“ makasih ya dokter. Akan saya pastikan anak saya makan-makanan yang sehat “, jawab
orang tua Mikaila.

Bara mengangguk pelan lalu kemudian berjalan keluar ruangan. Diliriknya jam tangan
yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah pukul 12 siang. Dan Mikaila adalah pasien
terakhir yang dia periksa hari ini.

“ Dokter Bara “, panggil perawat Siska. Perawat dengan rambut sebahu itu tersenyum
manis kearah Bara. Membuat Bara mau tak mau membalasnya.

“ ada apa? “, tanya Bara langsung. Langkahnya terhenti di lorong bangsal anak.
Menunggu jawaban dari Siska yang masih betah tersenyum sumringah.

“ mau makan siang bareng? “

Sudah Bara duga. Perawat muda ini pasti sedang mencari kesempatan. Andai saja jika
bukan karena kinerja Siska yang profesional, mungkin Bara akan meminta bagian HRD
untuk menggantikan Siska.

Selama sebulan Bara bekerja dirumah sakit ini, Siska sudah berulang kali mengajaknya
untuk makan bersama. Ajakan pertama hingga kelima masih Bara terima. Tapi, setelah
ajakan kelima itu Bara mulai mencium gelagat aneh dari Siska. Seperti seorang gadis yang
ingin membuat seorang pria jatuh berlutut dihadapannya. Dan sayangnya, Bara tak tertarik.
Kini dihatinya hanya ada Raina. Hanya Raina.

“ dimana? “, tanya Bara balik. Mencoba mencari alasan yang masuk akal. Siapa tau gadis
dihadapannya itu akan mengajaknya makan siang di luar rumah sakit. Maka Bara bisa
menolak dengan alasan harus mengerjakan laporan pasien.

“ kantin rumah sakit aja “

Baru saja Bara akan menjawab, suara dering telponnya mengagetkan Bara.

“ permisi “, pamit Bara kemudian mengambil beberapa langkah untuk menjauh.

Raina calling...

Deg! Jantung Bara mendadak berdetak lebih cepat dari biasanya. Raina menelponnya.
Gadis dengan sifat keras kepala melebihi kerasnya batu itu baru saja menelponnya. Sebuah
kejadian luar biasa yang patut Bara dokumentasikan di hidupnya.

“ assalamualaikum, Rain.. Ada apa? “, tanya Bara langsung. Berusaha terdengar sibuk.

“ wa’alaikumsallam, Mas.. Mas lagi sibuk nggak? “

“ kenapa memangnya? “
“ Arsa badannya panas banget kata Bunda. Muntah-muntah juga. Mau dibawa kerumah
sakit. Mas bisa bantu? “

“ Arsa sakit lagi? “, tanya Bara terkejut. Baru sekitar seminggu yang lalu dia memeriksa
bocah laki-laki itu. Dan kata Ray kemarin, keadaannya sudah membaik. Kenapa sekarang
mendadak panas lagi?

“ okey, jadi Bulek Dira dalam perjalanan kesini atau gimana? “

“ Bunda nggak bisa bawa mobil, jadi aku pulang dulu baru kesana. Tolong persiapkan
semuanya ya, Mas “

“ oke, aku tunggu “

“ makasih banyak, Mas. Assalamualaikum “

“ wa’alaikumsallam “

Setelah menutup telponnya Bara menghampiri Siska yang masih menunggunya dengan
sabar. Gadis itu menatap Bara meminta jawaban dari ajakan makan siangnya. Mungkin saja
kali ini Bara menanggapinya dengan baik.

Tapi, melihat raut wajah Bara yang tegang, harapan Siska mendadak pupus. Dia tau, jika
dokter muda dihadapannya itu sedang ada masalah.

“ maaf banget ya, saya nggak bisa makan siang bareng kamu “, ucap Bara pelan. Raut
wajahnya dibuat sesedih mungkin. Mencoba memperlihatkan rasa penyesalan yang
sebenarnya sama sekali tak dirasakan Bara saat ini.

“ ada yang gawat, Dok? “, tanya Siska memastikan.

Bara mengangguk pelan. “ keponakan saya sakit lagi. Kayaknya kena demam berdarah
deh. Jadi saya harus stay di ugd buat nungguin “

“ perlu bantuan, Dok? “, tawar Siska. Kali ini dia bersungguh-sungguh.

Bara menggeleng pelan. Menolak dengan halus tawaran Siska itu.

“ saya bisa sendiri kok. Kalo begitu saya duluan ya “

Tanpa menunggu jawaban dari Siska, Bara melangkahkan kakinya menjauh dari bangsal
anak. Tujuan Bara adalah UGD. Dia akan stanby disana menunggu kedatangan si kecil Arsa.

***

Raina keluar dari mobil. Membukakan pintu belakang, tempat dimana Bunda sedang
duduk sambil memangku Arsa. Dengan cekatan, Raina mengambil alih Arsa lalu berjalan
menuju UGD. Tak perlu waktu lama, Bara dengan cepat datang menyambutnya lalu
kemudian mengambil alih Arsa dan membaringkannya di tempat tidur.
“ udah berapa kali muntahnya, Bulek? “, tanya Bara memastikan. Stetoskop miliknya
beberapa kali berpindah tempat ditubuh Arsa. Memeriksa keadaan bocah laki-laki yang
terlihat pucat itu.

“ sekitar 5 kali Bar. Awalnya muntahin seluruh makanan. Terus lama-lama muntahnya
Cuma air gitu. Mungkin karena perutnya kosong atau gimana “

Bara mengangguk paham. Dia kemudian meraih termometer yang diletakkan disebuah
meja disamping tempat tidur.

“ 38,9 derajat. Ini tinggi banget loh “, gumam Bara lalu menatap Bulek Dira dengan serius.
“ kemarin demamnya tinggi juga? “

“ yah lumayan sih. Bulek kirain efek dia ngambek sama papanya. Soalnya pas malam tadi
udah turun kok. Malahan normal. Nah setelah Raina pergi ngajar, malah kayak begini “

“ kita periksa lab aja yah? Soalnya ini lagi musim demam berdarah. Takutnya Arsa kena
demam berdarah. Gejala yang bulek sebutin tadi hampir mirip dengan gejalanya. “

Raina mengangguk setuju. Dia sudah curiga jika Arsa terkena DBD sejak Bunda
menelponnya tadi. Semua gejala Arsa itu sama dengan gejala DBD yang Raina ketahui.

“ periksa aja, Mas. Lebih cepat, lebih baik “, pinta Raina.

Bara mengangguk setuju. Dia kemudian memanggil seorang perawat yang sedang duduk
berjaga didekat meja pendaftaran. Perawat laki-laki itu kemudian bergegas mengambil
sampel darah Arsa dan memberikannya ke salah seorang staf lab yang kebetulan sedang
berada disana.

“ tolong cepat ya, Frans. Ini keponakan gue lagi sakit “, pinta Bara pada petugas lab
tersebut.

Pria itu mengangguk pelan. “ gue usahain ya, Bar. Soalnya lab juga lagi penuh ini sama
pemeriksaan medis beberapa pasien “, setelah mengucapkan kalimat itu, Frans berlalu dari
hadapan Raina.

“ kita tunggu aja dulu hasilnya. Sekarang, Mas bakalan nyuruh perawat untuk masang
infus ke Arsa. Dia kekurangan banyak cairan akibat muntah-muntah “

Raina mengangguk kecil. Kemudian menyingkir dari hadapan Bara. Raina lebih memilih
duduk diluar ruang UGD. Menenangkan hati dan pikirannya yang mendadak kacau itu. Sejak
Bunda mengabarkan Arsa sakit, Raina dilanda panik yang luar biasa. Dia bahkan buru-buru
pulang tanpa sempat izin ke bagian absensi. Untung saja selama perjalanan dari rumah
kerumah sakit Raina tidak menemui hambatan apapun. Dan untung saja dia dapat
mengendalikan ketakutannya sendiri. Sehingga dia dapat tiba dirumah sakit dengan selamat
tanpa kurang satu apapun.
Dengan pelan Raina memijat pangkal hidungnya. Kemudian menghembuskan nafas secara
perlahan. Arsa sudah ditangani dengan Bara. Sekarang semuanya akan baik-baik saja.

Tanpa sengaja Raina melirik ruang ugd yang lumayan ramai itu. Disana, Bara berdiri
disamping tempat tidur Arsa sambil menggendong Arsy yang masih sesenggukan.
Keponakan perempuannya itu tak henti-hentinya menangis saat melihat kondisi Arsa yang
lemah itu. Bunda sampai kewalahan menenangkannya. Sekarang, dalam gendongan Bara,
Arsy sudah lebih tenang.

Raina mengawasi Bara. Mengawasi bagaimana sabarnya Bara menenangkan Arsy.


Mengawasi bagaimana berwibawanya Bara ketika menjadi seorang dokter. Pilihan Bunda tak
pernah salah. Bara memang dapat diandalkan. Meskipun hubungan mereka beberapa waktu
ini lumayan renggang. Namun Bara tak terlihat begitu terganggu. Sikap dewasa Bara benar-
benar mencerminkan sikap pria sejati. Raina menyukainya.

Kali ini, Bara berhasil menarik simpati Raina tanpa harus diminta. Dan kali ini, entah
untuk keberapa kalinya, Bara berhasil membuat Raina terpukau dan semakin jatuh kedalam
pesonanya yang tidak ada habisnya itu.

“ Anggi sama Ray kemana? “, tanya Bara tiba-tiba. Pria itu kini berdiri didepan Raina dan
masih menggendong Arsy yang terlihat pulas tertidur.

“ ada kerjaan diluar kota. Mungkin sekitar semingguan. “

“ udah dikabarin? “

Raina menggeleng pelan. “ nggak mas. Bunda bilang jangan buat mereka panik dan nggak
tenang. Jadi nanti kalo mereka udah sampe aja dikabarin “

“ nggak masalah emangnya? “

“ nggak tau juga. Tapi aku pikir ini satu-satunya jalan yang baik. “

Bara mengangguk paham. Tangannya kemudian membelai pelan rambut hitam Arsy yang
bergelombang itu. Kembali mencoba menenangkan Arsy yang kelihatan gelisah dalam
tidurnya.

“ biar aku aja mas, yang gendong Arsy. Mas Bara keliatan capek banget “, tawar Raina
kemudian ikut berdiri. Berusaha mengambil Arsy namun dicegah Bara.

“ kamu tenangin diri kamu aja, Rain. Biar Arsy aku yang urus. “

“ aku udah tenang, Mas “

“ jangan bohong “, bantah Bara cepat. Pria itu kemudian menuntun Raina kembali duduk
dikursi. “ muka kamu itu pucet bukan main, Rain. Tangan kamu aja keringet dingin begini.
Aku tau kamu syok, tapi coba dibawa santai. “
Bukankah Raina sudah bilang, jika Bara mempunyai sejuta pesona yang tak akan pernah
habis. Bara begitu paham dengan diri Raina tanpa Raina perlu katakan. Sisi manis Bara yang
satu ini benar-benar membuat Raina kalang kabut.

“ malam nanti Arsa bakal dimasukin keruang rawat inap. Semuanya udah aku urus. Kamu
sama Bulek Dira jagain Arsa aja. Biar Arsy aku yang jaga. “

“ nggak ngerepotin, Mas? “

“ nggak Rain. Nggak ada kata ngerepotin buat keluarga sendiri “

***

Malam ini kesaBaran seorang Bara kembali diuji. Semenjak setengah jam yang lalu, Bara
sebisa mungkin menahan gejolak hatinya yang ingin meninju pria berbaju hitam yang kini
sedang duduk disamping Raina itu. Tio tanpa diduga datang kerumah sakit untuk menjenguk
Arsa yang kini sedang terbaring lemah sambil menonton kartun favoritnya, Spongebob
Squarepant’s.

Bara sendiri duduk dikursi disamping Arsa dan memangku Arsy yang tak bisa lepas
darinya hampir seharian ini. Bahkan saat Bara akan pulang sore tadi untuk mandi, Arsy
mengikutinya pulang. Membuat Ibu dan Bapak tersenyum senang ketika melihat bocah
perempuan usil yang manis itu.

“ udahan nontonnya. Sekarang Arsa harus tidur, biar bisa cepet sembuh “, seru Bara. Dia
berniat mengusir Tio dengan cara halus.

“ iya, Sa. Dengerin kata Om Bara. Kamu harus tidur awal, biar cepet sembuh. “, kali ini
Bunda yang bersuara.

Bunda menatap Bara penuh arti, sebelum kemudian tersenyum menenangkan.

“ oh iya, Bar. Jam besuk disini itu dari jam berapa sampe jam berapa ya? “, tanya Bunda
kemudian.

Dari sofa, Raina memicingkan mata. Merasa aneh dengan gelagat Bunda yang mendadak
menanyakan jam besuk.

“ udah habis sih sekarang. Palingan bentar lagi ada satpam yang keliling buat ngusir “

“ seriusan Bar? Diusir satpam? “

“ iya, Bulek. “

Tio mendengarkan dengan baik disamping Raina. Menebak-nebak maksud pembicaraan


Bunda yang menjurus kepengusiran itu. Kemudian dia mendadak sadar, dialah yang
diinginkan untuk pergi dari sini. Tio tersenyum kecut ketika menyadarinya.
Meraih hati Raina tidaklah mudah. Menarik simpati Raina sendiri juga tidak mudah. Dan
sekarang keluarganya jelas-jelas memberikan garis keras antara dirinya dan Raina. Sementara
si dokter muda itu, mendapat dukungan penuh dari keluarga Raina.

Tidak adil. Itu sangat tidak adil bagi Tio. Kenapa dia harus dipaksa menyerah ketika Raina
sendiri belum menentukan pilihannya. Raina bahkan belum mengatakan dengan tegas jika dia
saat ini sudah berhubungan dengan dokter itu. Jadi, biarkan Tio berharap untuk kali ini.

“ Arsy, Om Tio ada bawain coklat loh. Kamu mau? “, tanya Tio mengalihkan percakapan.

Arsy yang saat ini sedang dalam pangkuan Bara segera mengalihkan perhatiannya pada
Tio yang duduk agak jauh darinya.

“ Om bawain banyak loh “, tambah Tio mencoba mengambil hati keponakan Raina yang
manis itu.

“ Om Bara, kalo Arsy makan coklat boleh nggak? “

“ eh? “, sahut Bara spontan. Pria itu menatap Arsy sebentar kemudian tersenyum hangat. “
kan Arsy yang mau makan. Jadi, terserah Arsy aja “

“ tapi kata Eyang, nanti bisa sakit gigi “

“ kan habis makan bisa gosok gigi “

“ tapi nanti bisa buat batuk “

“ kalo makan nya nggak banyak, nggak bakal batuk kok “

“ tapi Arsy nggak mau “

“ loh? Kalo kamu nggak mau, kenapa nanya Om Bara boleh apa nggak makan coklat? “

Tio menyimak dengan baik. Sesekali keningnya berkerut ketika mendengar jawaban Bara
yang mengijinkan Arsy untuk memakan coklat darinya. Dia kira Bara akan melarang Arsy
dengan seribu satu alasan yang tak masuk akal. Nyatanya pria itu malah mengijinkannya.

Tapi malah Arsy sendiri yg memberikan alasan untuk tak memakan coklat pemberiannya
itu. Tio tak habis pikir dengan kemampuan otak Arsy untuk menolak pemberiannya itu.
Sepertinya satu keluarga ini terang-terangan menolaknya.

“ maaf Om Tio... Arsy nggak suka yang manis-manis. Nggak bagus buat kesehatan kata
Papa “, jelas Arsy pada akhirnya.

Bocah berusia 5 tahun itu kemudian memeluk erat Bara. Takut melihat respon Tio yang
terlihat begitu kaget mendengar jawabannya.

Dengan sabar Bara mengelus rambut indah Arsy. Sesekali menepuknya dengan pelan.
Membuat Arsy semakin mengeratkan pelukannya.
Interaksi itu semakin membuat kepala Tio terasa sakit. Tidak hanya kepala, hatinya juga
mendadak sakit. Arsy benar-benar lengket pada Bara. Bocah itu bahkan tanpa sungkan
bergelayut manja dipelukan Bara. Tio pernah beberapa kali mencoba mendekati Arsy. Tapi
respon yang diberikan bocah mungil itu tak sebaik seperti responnya untuk Bara.

“ kalo gitu, aku pamit dulu Rain. Besok kalo kamu nggak bisa ngajar, hubungi aku aja.
Biar aku urus surat ijinnya dengan bagian absensi “, pamit Tio kemudian bergegas berdiri.

“ makasih banyak loh, udah mau bantu ngurusin masalah absensi aku. “

“ nggak masalah kok. Tante, aku pamit dulu yaa “, Tio kemudian melangkah mendekati
Bunda yang sedang sibuk dengan telpon genggamnya.

“ oh, iya. Hati-hati dijalan ya “, jawab Bunda ramah. Tio mengangguk pelan. Kemudian
matanya bertatapan dengan Bara yang terlihat datar. Tio bingung harus bersikap bagaimana
dengan Bara.

“ makasih udah mampir. “, suara Bara membuyarkan lamunan singkat Tio.

“ eh, iya.. “, jawab Tio cepat.

Raina kemudian mengekori Tio keluar dari ruangan. Tak memperdulikan tatapan
mengawasi Bara yang terang-terangan pria itu tunjukan.

“ aku pamit, Rain. Assalamualaikum “

“ wa’alaikumsallam “, jawab Raina.

Tio melangkah gontai. Meninggalkan lorong rumah sakit yang masih lumayan ramai.
Raina sendiri masih memilih diam mengawasi kepergian pria itu. Dalam hati dia
mengucapkan maaf yang tak terhingga untuk pria itu.

“ maaf jika aku membuat kamu berharap lebih “, gumam Raina pada akhirnya.
Ray berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang lumayan ramai. Lorong yang biasanya ia
lewati ketika ingin berjumpa dengan Bara. Tapi kali ini bukan Bara tujuannya, si sulung Arsa
adalah tujuan utamanya. Semenjak Bunda mengirimkan kabar jika Arsa menderita demam
berdarah kemarin malam, dengan secepat kilat Ray menyelesaikan segala urusannya diluar
kota. Sedangkan Anggi, memilih langsung pulang dan menyerahkan semua pekerjaannya
pada staff kepercayaannya.

Didepan ruangan, Ray dapat melihat sosok Raina dan Bara yang sedang duduk serius
berdua. Entah apa yang mereka sedang bicarakan. Yang pasti Ray tak terlalu ingin
mengetahuinya. Saat ini prioritas utamanya adalah Arsa.

“ pelan-pelan Mas, anak-anak lagi pada tidur “, pinta Raina. Adiknya itu menahan lengan
Ray yang ingin menerobos masuk begitu saja.

“ keadaan Arsa gimana Bar? “

“ udah mendingan. Paling lama lusa dia juga pulang. Atau paling cepat besok pagi juga
udah boleh pulang “, sahut Bara pelan.

“ terus kalian kenapa diluar? “, tanya Ray pada akhirnya. Sedikit menyipit menatap curiga
raut wajah frustasi Bara dan tertekannya Raina. “ kalian nggak berantem kan? “

Pertanyaan itu berhasil membungkan Raina maupun Bara. Ray sendiri hanya menghela
nafas kesal dengan kelakuan dua manusia dihapannya itu. Mereka saling menyukai, hanya
saja terlalu malu untuk blak-blakan.

“ aku masuk dulu “, pamit Ray lalu membuka perlahan pintu. Meninggalkan Raina dan
Bara yang kembali duduk dalam keheningan.

***

Raina menghembuskan nafas gusar. Malam ini dapat dipastikan dia tak akan bisa tidur
dengan nyenyak. Percakapannya dengan Bara dirumah sakit tadi, sukses membuat kepala
Raina semakin pusing. Bara berhasil membuat Raina hampir menangis.

Sebenarnya semua berjalan seperti biasanya hari ini. Tak ada yang aneh, kecuali gelagat
Tio yang begitu menyebalkan. Pria itu beberapa kali mencoba mengajak Raina berbicara
mengenai pernikahan yang hanya bisa ditanggapi Raina dengan keheningan.

Lalu kemudian Bara, pria itu terlihat beberapa kali ingin mengajak Raina berbicara serius
hanya saja tak begitu ditanggapi Raina. Raina masih terlalu takut untuk berbicara berdua
dengan Bara. Takut jika pria itu menyinggung masalah lamarannya tempo hari.

Dan benar saja semua itu terjadi.

Raina keluar dari ruang rawat inap Arsa disusul Bara. Mereka berdua duduk
bersampingan di kursi depan ruangan. Dimenit-menit awal tak ada satupun yang berniat
untuk membuka suara. Mereka masih sibuk untuk merangkai kata.
Hingga akhirnya Bara membuka suara. Pria itu berkata to the point, tanpa berniat untuk
berbasa-basi.

“ sebenarnya apa yang kamu cari, Rain? Kenapa kamu lari disaat aku menyodorkan
sebuah pernikahan tanpa maksud tertentu? “, suara Bara terdengar dingin. Sedikit
menyeramkan untuk Raina yang tak pernah melihat seorang Bara lembayung angkasa
marah.

“ bukannya udah aku bilang kan, kalo aku mencari yang pasti. Berapa lama lagi kamu
akan menggantung aku dan mencari kenyamanan dengan Tio? Apa kamu nggak berpikir soal
karma? “

Jantung Raina berdetak tak karuan. Antara terkejut dan takut dengan perkataan Bara
barusan.

“ jangan sampai aku pergi dan kemudian kamu menyesal, Rain “

Suara tarikan nafas Bara terdengar berat. Sedangkan Raina sendiri hampir saja
menjatuhkan butiran bening air matanya.

“ aku hanya memastikan perasaan aku sendiri, Mas. Bukannya aku bermaksud
menggantung Mas Bara atau apapun itu. Aku sendiri masih belum yakin dengan perasaanku

“ sampai kapan kamu memastikan perasaan kamu sendiri, Rain? Kamu nggak mikirin aku
atau Tio? “, sahut Bara dengan intonasi yang begitu penuh penekanan.

“ kenapa Mas ngomong gitu ke aku? Kalo Mas nggak sanggup nunggu aku, ya udah.
Berhenti aja. Kenapa Mas mesti ngomong dengan penuh penekanan begitu? “

“ karena aku nggak bisa ngebantah orang tuaku, Rain. Ibu sama Bapak udah ngomongin
masalah pernikahanku. Mereka bukan aku yang bisa sabar nungguin kamu yang tanpa kamu
sadari terus-menerus nyakitin aku. “

Tak ada balasan dari Raina. Dia lebih memilih diam sambil menelan bulat-bulat semua
perkataan yang mungkin saja akan dia ucapkan pada Bara. Dirinya sadar, jika dia selama
ini selalu mempermainkan hati pria itu tanpa dia sadari.

Kedatangan Ray kerumah sakit sedikit membantu Raina keluar dari keadaan yang sulit
dia tangani. Dia tertekan. Terlalu takut salah dalam mengambil keputusan. Karena Raina
tau, pernikahan adalah hal yang sakral. Bukan sesuatu yang bisa diputuskan begitu saja.

“ dalam waktu satu minggu ini aku tunggu kamu Rain. Sebelum Bapak dan ibuku
mengambil langkah tegas. Jangan sampai kamu menyesal Rain. Nggak, maksudku jangan
sampai kita berdua menyesal “

Setelah mengucapkan kalimat itu, Bara berlalu begitu saja. Pergi tanpa mengucapkan kata
pamit atau sekedar salam. Menilik dari raut wajahnya, pria itu sama tertekannya dengan
Raina. Mungkin situasi saat ini membuat Bara begitu tertekan. Entahlah, Raina sendiri sudah
terlalu pusing memikirkan tentang perasaannya sendiri.

Raina berbaring diatas ranjangnya. Menatap hampa bintang-bintang buatan di kamarnya.


Dirinya terlalu lelah untuk mengambil pilihan.

Take it or leave it.

Dua kata itu selalu bergema didalam otak Raina.

Jujur saja, hati Raina menginginkan Bara. Tapi entah kenapa setiap tindakan yang
dilakukannya sangat bertentangan dengan hatinya. Seperti ada yang tidak beres dengan
tubuhnya. Dengan otaknya.

Take it.

Lalu bagaimana dengan Tio? Pria yang 2 bulan belakangan ini selalu menemaninya.
Selalu menjadi tempat pelarian terbaiknya. Meski Raina tak pernah membagikan sedikit pun
cerita mengenai dirinya, mengenai keluarganya, tapi Raina merasa nyaman saat berada
disamping Tio. Berbeda ketika dia berada di dekat Bara. Ada suatu gejolak yang berusaha
Raina tahan. Gejolak aneh yang tak pernah dirasakannya sebelumnya.

Lagi-lagi Raina menghembuskan nafas berat. Semua ini adalah keputusannya. Jika dia
melepas Bara, apa dirinya yakin bisa menghirup udara dengan nyaman? Apa dia yakin
mampu menatap langit senja dengan damai?

Harus Raina akui jika Bara adalah pusat dunianya. Dari dulu hingga sekarang. Meski tak
Raina sadari namun itu benar adanya. Bara adalah segalanya. Raina butuh Bara sama seperti
Raina membutuhkan Ray.

Just take it.

Ya, hanya ambil saja. Jangan pikirkan yang lain.

***

“ gimana dengan Raina? “, tanya Bapak ketika melihat Bara duduk santai di teras rumah.

Bara hanya diam. Tak berniat untuk menjawab pertanyaan Bapak.

“ Ashilla juga baik. Nggak kalah sama Raina. Kamu juga udah kenal dia kan, Le? Kalau
misalnya Raina menolak kamu, kamu masih punya Ashilla. “, saran Bapak yang entah kenapa
terasa aneh ditelinga Bara.

“ aku udah ngomong serius dengan Raina dan dia bilang akan jawab dalam waktu minggu
ini “, entah kenapa Bara sedikit memutar balikkan fakta yang terjadi dilapangan. Nyatanya
dialah yang memberikan tenggat waktu itu pada Raina. Bukan atas kemauan Raina sendiri.
Ya, semua itu dilakukannya demi menjaga nama baik Raina didepan keluarganya.
Bagaimana mungkin Bara bisa menjatuhkan Raina begitu saja. Bara tak sekejam itu
meskipun Raina sudah terlalu sering mempermainkan hatinya.

Bapak tersenyum senang. Setidaknya kali ini Bara akan mendapatkan kepastian. Karena
percuma saja jika kedua keluarga saling menyetujui tapi Raina sendiri masih mengambang.
Masih ragu untuk memutuskan.

“ Bapak mau yang terbaik untuk kamu, Le. Lagi pula bukannya Bapak memaksa kamu
untuk segera menikah. Tapi ini demi kebaikan kamu sendiri. Ini juga perintah Allah nak. “

“ iya, Pak. Bara tau. Kita tunggu aja hasilnya, ya Pak”, sahut Bara pelan.

Bapak mengangguk paham. Mengelus pelan puncak kepala Bara sebelum kemudian
masuk kedalam rumah.

Malam ini cuaca begitu bersahabat. Bara dapat melihat banyak bintang dilangit. Benda
kesukaan Raina yang hiasannya memenuhi langit-langit kamar gadis itu. Melihat bintang
sama saja seperti melihat Raina.

Bara tersenyum tipis mengenai pemikirannya itu. Mungkin saja saat ini wajahnya terlihat
begitu tenang. Tapi, siapa yang tau jika hati Bara saat ini sedang begitu gugup.

Gugup memikirkan jawaban Raina atas lamarannya berbulan-bulan yang lalu.

Ada rasa percaya diri yang begitu kuat dalam diri Bara. Dia yakin, Raina akan
memilihnya. Namun, dia juga tak bisa yakin 100% sebab disamping Raina selama ini selalu
berdiri Tio. Intensitas pertemuan Raina dan Tio melebihi intensitas pertemuan mereka.
Mungkin saja tanpa Raina sadari ia perlahan menyukai Tio. Pembatas antara persahabatan
dan cinta antara laki-laki dan perempuan begitu tipis. Tak ada yang tau hasil akhirnya nanti.

Tapi jika pun itu terjadi, Bara akan menerimanya dengan lapang hati. Barangkali memang
bukan Raina lah pendamping hidupnya. Namun untuk saat ini, biarkan ara berharap jika gadis
manis berambut hitam itu akan menemani hari tuanya nanti.

***

Raina baru saja selesai mengajar ketika melihat Tio berdiri kaku didepan kelas. Pria itu
sama sekali tak menunjukkan ekspresi ramah yang belakangan selalu ada diwajah manisnya.

Perasaan Raina mengatakan ada sesuatu yang baru saja terjadi menimpa pria itu. Jadi
tanpa pikir panjang Raina berjalan menuju arahnya. Memasang wajah penasaran yang sama
sekali tak ia coba untuk ditutupi.

“ aku penasaran dengan satu hal selama beberapa minggu ini, Rain “, suara Tio terdengar
begitu serius ketika Raina berdiri tepat disampingnya. Beberapa orang guru menatap mereka
berdua dengan penasaran.

“ Bara itu siapa? “, tanya Tio pada akhirnya.


Bukan. Ini bukan tentang siapa Bara sebenarnya. Tapi lebih tentang siapa Bara untuk
Raina.

Mengenai Bara, Tio sendiri sudah tau mengenai pria itu. Bara adalah seorang dokter anak
yang sangat sukses. Ditambah diusia mudanya dia sudah berhasil meraih gelar spesialis.
Bukankah itu sudah menjamin sosok Bara yang begitu luar biasa.

Awalnya berdiri disamping Bara membuat Tio sempat minder. Bagaimana tidak? Dengan
senyum manis dan otak cerdasnya, Bara mampu memikat siapa saja untuk berinteraksi
dengannya tanpa diminta. Berbeda dengan Tio. Dirinya sama sekali bukan sosok yang hangat
seperti Bara. Wajar saja, dia dulu sempat ketar-ketir juga berhadapan dengan Bara secara
langsung.

Tapi sekarang tidak. Menurut Tio, setiap orang memiliki kelebihan masing-masing. Dan
dia merasa, kelebihannya bukanlah tentang sosoknya yang hangat atau bahkan cerdas.
Mungkin saja selama ini ada kelebihan dalam dirinya yang dia tidak ketahui.

Ya, berpikir saja yang positif selagi itu tak merugikan orang lain.

Kembali kemasalah awal. Raina terlihat begitu kaget mendengar pertanyaan Tio yang
mendadak. Pria itu tanpa basa-basi langsung melemparkan pertanyaan yang untuk saat ini
ingin Raina hindari.

Setidaknya saat berbicara dengan Tio.

Bukan apa. Raina hanya ingin tak menyakiti hati pria yang selama ini sudah
menemaninya. Ya, meskipun diawal hubungan mereka sedikit kurang baik. Dan Raina tak
ingin hubungannya yang sudah baik itu kembali menjadi retak hanya karena masalah seperti
ini.

Disisi lain, Raina juga ingin jujur dengan Tio. Secepatnya ia ingin mengklarifikasi
hubungannya dengan pria itu yang hanya sebatas teman. Ya, teman. Tidak lebih. Tapi Raina
terlalu pengecut untuk memberitahukan hal itu.

“ jujur aja, Rain. Aku mau tau siapa itu Bara “, pinta Tio dengan penuh penekanan. Hanya
saja Raina tak terlihat gentar dengan tekanan yang diberikan Tio kali ini. Tak seperti Bara
tempo hari.

Bara....

Lagi-lagi nama pria itu kembali memenuhi kepala Raina. Mungkin karena Raina hingga
detik ini belum lagi menyampaikan jawabannya atas permintaan Bara 3 hari yang lalu itu.

Raina jadi kembali mengingat bagaimana reaksi Bara ketika melihat Raina dirumah sakit
keesokan harinya. Pria itu hanya menatap datar kearahnya tanpa berniat membuka
pembicaraan. Bara bahkan terang-terangan mengelak dari Raina ketika Raina berusaha
mendekatinya. Dan tingkah Bara itu sungguh menyakiti Raina.
“ sampai kapan kamu akan diam Raina? “

“ kenapa kamu nanya itu? “, tanya Raina balik. Merasa aneh dengan pertanyaan yang
dilontarkan Tio tadi.

“ karena ayahmu dengan tegas menolak lamaranku “, jawab Tio dengan intonasi yang sulit
ditebak.

Jantung Raina seakan berhenti berdetak. Dia begitu kaget dengan ucapan Tio barusan.

Apa? Lamaran katanya? Kapan?

“ Ayah kamu bilang kalau kamu sudah dilamar berbulan-bulan yang lalu. Dan dia belum
bisa menerima lamaran siapapun sampai kamu menjawab lamaran itu. Dan nggak perlu
ditebak bukan siapa yang ngelamar kamu? “, ada kalimat sinis dalam ucapannya.

Melihat ekspresi terkejut Raina, Tio hanya bisa menghembuskan nafas kasar. Sedikit kesal
dengan keadaan yang terjadi saat ini.

“ kenapa kamu ngelamar aku tanpa pemberitahuan dulu? “

“ karena aku yakin sama keputusanku. Untuk apa aku perlu kasih tau kamu? “

Egois.

Ada secercah amarah yang ingin Raina lampiaskan pada pria dihadapannya itu.

“ untuk memastikan perasaan yang aku punya buat kamu! “, seru Raina tertahan. Ingin
rasanya dia berteriak jika tak sedang berada didepan ruang guru. Tak berada didepan orang-
orang yang menatapnya penuh keingintahuan.

“ karena akan percuma jika kamu ngelamar langsung ke Ayah tanpa pernah tau perasaan
aku yang sebenarnya. Hasilnya bakalan nol besar. “, tambah Raina.

Tanpa perduli reaksi Tio, Raina bergegas pergi menuju lantai atas. Saat ini tujuannya
adalah ruangan Tyas. Dia ingin menumpahkan semua kekesalannya pada wanita itu.

Raina melangkah cepat. Tak memperdulikan sapaan beberapa siswa yang kebetulan lewat
dihadapannya. Pikirannya saat ini kalut. Dia takut dengan respon dan reaksi yang akan
keluarganya berikan sepulang bekerja nanti.

“ dasar nggak sopan! “, semprot Tyas ketika melihat Raina masuk tanpa mengetuk pintu
dan langsung duduk di sofa.

“ udah gue bilang kan, kalo masuk ruangan gue yang sopan dikit. Kalo ada orang penting
lagi berkunjung gimana? Bisa kena pecat elo “, tambah Tyas lalu menuju kearah Raina
sambil membawa secangkir teh hangat.

“ gue mau curhat “, Raina mulai mengalihkan pembicaraan.


Tyas mendengus kesal, “ iya, gue tau “

“ Tio ngelamar gue ke ayah. “

“ sorry, gue nggak salah denger kan? “, ulang Tyas sedikit syok.

Raina menggeleng lemah. “ nggak salah “

“ kan udah gue bilang, Tio itu tipikal yang udah lo kasih hati minta jantung. Harus berapa
kali sih gue wanti-wanti lo supaya nggak begitu deket dengan dia. Hanya gara-gara lo
terhanyut denger problem dia bukan berarti dia bisa lo percaya gitu aja. “

“ untungnya Ayah gue nolak “

“ ya bagus “, sahut Tyas cepat. Sama sekali tak membiarkan Raina menyelesaikan
ucapannya.

“ dan Mas Bara... “

“ kenapa lagi? Masih lo gantung itu orang? “, sungut Tyas. Kali ini dia sama sekali tak
berniat untuk berbaik-baik pada Raina. Gadis itu jika tak diberikan masukan yang menggigit,
dia tak akan mendengarkan.

“ dia udah ngasih gue waktu untuk ngejawab lamarannya. Katanya Ibu dan Bapaknya
udah selalu nanyain dia tentang masalah pernikahan. Jadi dia butuh yang pasti “

Andai saja jika Raina bukan sahabatnya sejak SMP, mungkin saat ini Tyas akan memukul
keras kepala gadis itu. Tangannya sudah gatal semenjak tadi. Namun dia urungkan niat itu,
mengingat Raina adalah sahabatnya sendiri.

“ kenapa sih lo itu ngeyel banget? Keukeuh banget dengan pemikiran lo yang absurd-nya
nggak ketulungan itu? Bara itu udah jelas-jelas serius dengan lo. Kenapa lo masih nggak
percaya? Sok-sok an mau ngeyakini diri sendiri. Padahal lo udah tau, kalo lo suka sama dia.
Ntar pas Bara pergi, lo baru nyesel. Aduh, plis deh Rain... Bego itu boleh aja. Tapi jangan
keterlaluan “

“ kenapa lo ngatain gue bego sih ?”

“ ya iyalah! Lo itu udah dikasih tawaran yang serius malah digantungin. Rain, lo nggak
akan tau perasaan lo kalo lo belum nyoba berhubungan serius dengan Bara. Dengerin gue ya,
jangan sia-sia in orang yang saat ini berjuang mati-matian buat hidup bareng lo. Karena saat
orang itu nyerah, lo nggak akan pernah nemuin seseorang yang sama kayak dia. “

Raina ingin membantah. Tapi dia lebih memilih bungkam. Tak menjawab perkataan Tyas
yang benar-benar tepat sasaran itu.

“ gue bukannya memihak Bara atau apapun itu. Gue cuma ngasih tau pandangan dari
sudut gue aja. Lagian, gue ini temen lo. Sohib lo. Gue pengen yang terbaik buat lo Rain. Dan
gue ngerasa, Bara adalah orang yang baik buat lo “
Benar bukan? Selama ini Tyas sangat mengerti bagaimana sifat Raina. Dulu, ketika Bara
masih berada disisi Raina, Bara lah orang yang benar-benar mengerti Raina. Memahami
Raina dengan baik. Terkadang juga menjinakkan Raina yang mulai sering membangkang.

Tanpa perlu Raina sampaikan Tyas sudah paham, bagaimana terikatnya Raina dengan
Bara tanpa gadis itu sadari. Hanya dengan tatapan mata saja, Tyas sudah tau itu. Bagaimana
mendambanya Raina akan sosok Bara lewat tatapan mata yang selalu gadis itu berikan ketika
berbicara mengenai Bara.

Tyas tersenyum tipis. Merasa beruntung jika Raina memiliki Bara. Sosok pria yang dapat
diandalkan. Pria baik yang begitu mementingkan orang tuanya diatas segalanya.

“ jadi, beri tau Bara mengenai keputusan lo. Secepatnya. “

Itu perintah. Bukan permintaan. Raina sangat tau bagaimana nada suara memerintah Tyas.
Dan Raina tau, jika Tyas memerintah, tak ada harapan baginya untuk mengelak.

***

Wajah Bunda saat ini bukanlah wajah yang ingin Raina lihat. Ada kemarahan dan
kekecewaan dalam sorot matanya. Dan Raina tau penyebab pastinya. Ini semua berkaitan
dengan lamaran Tio pagi tadi.

Raina saat ini duduk diruang tengah. Membiarkan Bunda mengambil waktu istirahatnya
yang indah. Duduk diam menunggu luapan kekesalan Bunda yang tiada tara itu.

Waktu menunjukan pukul 7 ketika Bunda mulai membuka suaranya.

“ jadi, katakan pada Bunda, siapa yang akhirnya kamu pilih. Bara? Tio? Kamu sudah
menentukan pilihan kamu bukan, nak? “

Nak. Satu kata yang amat sangat jarang Bunda ucapkan. Hanya terucap ketika wanita
paruh baya itu sudah pasrah dengan kelakuan anak-anaknya.

“ sudah Bunda “

“ butuh berapa lama waktu sampai akhirnya kamu bisa memutuskan hal penting seperti
ini? Butuh banyak lamaran agar kamu bisa memutuskan mana yang terbaik? Kamu pikir,
kamu sejenis Barang yang sedang di lelang? Penawar tertinggi akan mendapatkan kamu? “

Bunda menghembuskan nafas kasar. Membetulkan posisi duduknya menjadi sedikit lebih
tegak.

“ Tio pagi-pagi datang untuk melamar kamu. Dia datang ke Ayah langsung meminta
persetujuan Ayah untuk menikahi kamu. Dan langsung Ayah tolak, mengingat lamaran Bara
yang hingga detik ini belum kamu putuskan. Jangan serakah, Rain. Itu nggak baik. Bunda
nggak mendidik kamu untuk jadi wanita yang serakah “
“ kamu ingat karma nggak sih? Kamu udah cukup ya, mempermainkan hati dua orang.
Kamu nggak mikirin karma, Rain? Karma itu suatu saat pasti bakalan datang. Cepat atau
lambat kita nggak pernah tau. “

“ karena kamu udah memutuskan dengan siapa kamu akan menikah, Bunda mau kamu
membereskan semua masalah yang kamu sebabkan ini. Pertama-tama, bereskan masalah
kamu dengan Bara. Jangan kamu pikir kami semua nggak tau kalau kamu dan Bara sedang
bertengkar. “

“ oh iya, dan soal Bara, Bunda akan ingatin ke kamu ya. Ashilla sudah sering datang
kerumah Bara untuk nemenin Bude Adi. Bukan nggak ada kemungkinan jika dia yang akan
menikah dengan Bara jika kamu terlalu lama memberi jawaban. Bude Adi bilang, dia butuh
yang pasti. Kalau kamu belum ingin menikah, biarkan Bara menikah dengan wanita pilihan
Bude Adi. “

Setelah mengucapkan semua kalimat itu, Bunda bangkit dari duduknya. Berjalan dengan
anggun menuju kamar tidur. Membiarkan Raina duduk sendiri sambil merenung. Menahan
air mata yang mulai menetes tanpa dia inginkan.

Semua perkataan Bunda benar-benar menusuk hatinya. Setelah Tyas menceramahinya


habis-habisan di sekolah tadi, kini gantian Bunda yang menceramahinya. Bahkan Bunda tak
berniat untuk mengetahui sedikitpun jawaban Raina atas segala tindakannya.

Ya, Bunda pasti jengah dengan dirinya selama ini. Bunda juga pasti malu ketika bertemu
dengan Bude Adi yang terus-menerus menanyai jawaban Raina atas lamaran Bara. Ya. Pantas
saja Bunda tak ingin mendengarkan pembelaan Raina sedikitpun.

Itu wajar.

Tapi kenapa menyakitkan?


Pagi ini dengan sedikit gugup, Raina berencana untuk bertemu dengan Bara.
Membicarakan Masalah mereka berdua. Berusaha untuk menyelesaikan perang dingin yang
kini sedang melanda hubungan mereka. Raina ingin menjelaskan semuanya. Menjelaskan
perMasalahan dan alasan yang mengaharuskan Raina untuk menjawab lamaran Bara selama
ini.

Ini bukan tentang keraguan Raina pada Bara. Ada satu hal yang selama ini selalu
mengganjal dirinya. Dia ingin melepaskan semua ganjalan, semua beban itu dan kemudian
memulai hubungan yang serius.

Dimeja makan, Ayah dan Bunda duduk dengan tenang. Berusaha melupakan kekesalan
mereka terhadap anak bungsu mereka yang terus-menerus mengulur waktu itu.

“ jadi, kamu akan bicara dengan Bara hari ini kan, Raina? “, tanya Ayah begitu melihat
Raina duduk dikursi. Sebuah keajaiban melihat Raina sudah rapi di weekend pagi ini.

“ jadi, Yah. Kemarin malam Raina udah kasih tau Mas Bara “

“ Ayah harap, kalian dapat menyelesaikan masalah kalian dengan kepala dingin. Ayah
nggak suka kalo kamu sama Bara sampe nggak berteguran ya. Kalian itu udah sama-sama
dewasa. “, nasihat Ayah dipagi yang entah kenapa menurut Raina agak suram ini.

Bunda hanya memilih diam. Sama sekali tak tertarik untuk membuka suara dan lebih
memilih menikmati sarapan paginya.

Ya, Bunda Masih marah pada Raina. Dan itu menyakiti hati Raina.

Tapi memang semua ini salahnya. Sudah seharusnya Bunda marah. Itu bentuk kekecewaan
Bunda terhadap dirinya.

Pada akhirnya Raina hanya memilih untuk menegak minumannya. Menatap hampa potret
keluarga besarnya yang dipasangan dengan ukuran super besar diruang makan itu.

“ Raina pamit dulu, Yah “

Raina kemudian bangun dari kursinya dan bergegas berjalan keluar. Dirinya sudah tidak
tahan dengan aura Bunda yang begitu menyeramkan pagi ini. Sama menyeramkannya dengan
aura Bunda ketika memarahinya malam kemarin.

Rasanya Raina ingin protes. Tapi dia juga sadar, dia tak berhak untuk protes. Jadi dia
hanya menelan bulat-bulat sikap dingin Bunda yang terang-terangan ditujukan untuknya.
Bahkan Ayah saja tak mampu mengahalau Bunda, bagaimana mungkin Raina bisa untuk
protes?

Diluar rumah, mobil Bara sudah menunggu di depan pagar. Kaca jendelanya terbuka,
menampakan sosoknya yang pagi ini dibalut dengan kaus polo putih. Bara teresenyum tipis
menatap Raina yang sedang membuka pagar rumahnya.
Mendadak jantung Bara berdetak lebih cepat. Mungkin ini efek dari rasa gugupnya untuk
mendengar jawaban Raina.

Raina membuka pintu mobil dengan perlahan. Duduk disamping Bara dan kemudian
memasang sabuk pengaman. Gadis itu beberapa kali menghembukan nafas pelan sebelum
kemudian membuka pembicaraan dengan Bara.

Sebuah percakapan canggung yang begitu aneh.

“ jadi, kita mau kemana Mas? “, tanya Raina pelan. Lebih terdengar seperti menggumam.
Mengharuskan Bara memasang telinga yang super ekstra tajam untuk mengartikan ucapan
gadis disampingnya itu.

“ aku belum sarapan, jadi kita nyari tempat untuk sarapan ya? “

Ya, perut Bara sudah berbunyi semenjak dia bangun tidur. Meminta untuk diisi asupan
makanan. Masalahnya, Bara terlalu gugup sejak malam hingga pagi tadi. Dia merasa tak
mampu menelan makanan jika belum mendengar jawaban Raina.

Mungkin saja jika Raina berada disampingnya nanti, dia akan mampu untuk menelan
makanan.

Mungkin.

Mobil mereka dengan perlahan menyusuri jalanan. Mencari tempat makan yang cukup
nyaman untuk mereka sembari berbicara serius. Hingga akhirnya Bara memutuskan makan
disalah satu restoran padang 24 jam.

Bisa saja Bara singgah di restoran mahal nan elit, hanya saja restoran seperti itu pada
pukul 9 seperti sekarang Masih tutup. Hanya ada beberapa warung pinggir jalan dan restoran
padang yang buka. Dan Bara, tentunya lebih memilih restoran padang.

“ kamu mau makan nasi padang? “, tanya Raina sedikit heran. Ini Masih pagi dan Bara
berniat sarapan dengan makanan berat?

“ ini tempatnya lumayan nyaman buat kita ngobrol, ketimbang warung pinggir jalan.
Nggak Masalah juga kan? Hitung-hitung sekalian makan siang “

Boleh kah Raina tertawa mendengar kalimat terakhir Bara?

Mulut Raina tanpa sadar membentu segaris tipis senyuman. Dia berusaha menahan
tawanya yang entah kenapa mendadak ingin meledak.

Bara menatap jejeran makanan. Sementara tangan kanannya sudah meneteng sepiring nasi
hangat. Tanpa memperdulikan Raina, Bara memilih menu makanannya. Cukup simple.
Hanya ayam goreng beserta lalapan daun ubi dan disiram kuah merah serta ditambah dengan
sambal cabai hijau. Menu andalan Bara yang entah kenapa tak pernah ia bosan cicipi ketika
berkunjung kerestoran padang.
“ duduk sini, Rain “, pinta Bara saat menemukan spot tempat duduk yanng pas
menurutnya. Dipojok ruangan disamping jendela besar.

Raina mengikuti Bara. Tak tertarik untuk ikut makan. Jadi dia hanya memilih jus apel
sebagai minumannya.

“ jadi gimana? Udah kamu pertimbangin? Apapun jawaban kamu, insyaallah aku siap “,
ucap Bara sambil mengambil sendok dan garpu yang diletakkan di tepi meja.

“ sebelumnya, aku mau mengklarifikasi mengenai alasan kenapa aku lama ngejawab
lamaran Mas Bara “

“ oke, silahkan “, jawab Bara cepat lalu meMasukkan sesuap nasi kedalam mulutnya.

Raina mendengus pelan. Sedikit kesal dengan reaksi Bara. Dia berharap Bara
mendengarkannya dengan serius. Menatap matanya saat berbicara. Bukannya malah fokus
meMasukan sesuap demi sesuap nasi kedalam mulutnya.

Tapi sudahlah. Lagi pula mungkin Bara saat ini memang sangat lapar. Bukankah orang
lapar cenderung melupakan sopan santun ketika makan. Biasanya juga Bara akan
mendengarkan Raina dengan serius jika sedang tidak makan.

“ selain soal mempertimbangkan perasaanku sendiri, aku juga sedang menunggu waktu
yang pas. Bukannya egois atau apa, tapi kemarin aku ngeliat Mas sendiri masih ragu dengan
perasaan Mas. Mas boleh aja ngotot kalau Mas serius saat itu, tapi aku kenal Mas Bara dari
kecil. Saat Mas Bara sudah menyanggupi sesuatu, nggak perduli Mas suka atau nggak, Mas
akan ngelakuinnya. Dan aku ngerasain itu pas Mas Bara ngelamar aku, bukan begitu? “

Astaga Raina....

Hilang sudah selera makan Bara yang tadi sempat timbul. Saat Raina mengungkapkan
alasan lain mengenai lamanya dia menjawab lamaran Bara. Gadis itu berbicara tepat
mnegenai jantung Bara. Membuat Bara sedikit terkejut. Tak menyangka jika Raina tau
mengenai perangainya.

Awalnya memang begitu. Tapi semenjak Bara sudah menyelami perasaannya sendiri, dia
menemukan jawaban yang ia cari. Tak perlu waktu lama untuk menolak kenyataan yang
terbentang dihadapannya. Meski dia melamar Raina begitu saja, bukan berarti saat
berhadapan dengan Paklek Amar dia juga melamar tanpa sadar. Justru setelah banyak
pertimbangan Bara memberanikan diri melamar gadis itu ke orang tuanya.

Sekarang, Bara memang menyukai Raina. Menyayanginya dari hati. Bukan hanya sekedar
gerak refleks akibat lamarannya tempo hari. Mungkin lamaran itu hanya pemicunya. Pemicu
untuk Bara agar segera menyadari hatinya yang sesungguhnya. Menyadari jika dia menyukai
Raina sejak dulu. Entah kapan. Tapi baru ia sadari baru-baru ini.

“ dan untuk saat ini? “, tanya Bara lalu menjauhkan piring makannya yang baru tersentuh
5 suap itu. Raina mengamatinya tanpa berniat melarang pria itu.
“ waktu Mas ngomong kalau Bude sama Pakde udah ngasih kode untuk segera menikah.
Aku awalnya biasa aja. Tapi pas Mas bilang akan berhenti, aku jadi takut. Karena selama ini
tanpa aku sadari, pusat dunia aku ada di Mas. Saat pulang dan kemudian Bunda marahin aku,
bilang kalau mungkin Mas Bara akan dapat seseorang yang lebih baik dari aku, aku sakit.
Sejak awal aku memang suka sama Mas Bara. Sejak dulu, bahkan mungkin sejak aku kecil.
Tapi aku terlalu pengecut untuk maju. Memilih mundur sambil mengamankan hati. Berharap
suatu saat rasa yang aku punya hilang. Nyatanya itu semakin menjadi-jadi....”

“.... Apalagi saat Mas Bara pulang. Semua yang berhasil aku kubur mendadak kembali
muncul. Mas Bara berhasil ngebuat aku nggak tenang. Setiap aku dengan Mas Bara, selalu
aja aku merasa gelisah. Bukan berarti aku nggak nyaman. Justru aku takut. Takut kalau
selama ini usahaku sia-sia. Dan hasilnya, ya, semua sia-sia “

“ jadi, kamu mau nikah dengan aku? “, tanya Bara memastikan. Toh, tanpa dipastikan pun
sebenarnya Bara tau jika Raina tak akan menolaknya setelah mendengar ucapan panjang
lebar gadis itu barusan.

Wajah Raina memerah. Ada keringat yang membasahi pelipisnya. Matanya pun terlalu
takut untuk menatap manik mata hitam milik Bara. Saat ini, Raina mengalihkan pandangan
matanya keluar jendela. Menatap pohon pisang yang tumbuh subur tepat didepan jendela.

“ aku mau “, jawab Raina pelan.

Bara tersenyum tipis. Merasa lucu dengan sikap malu-malu Raina saat ini.

Kemana perginya sikap bar-bar yang gadis itu miliki?

Dengan sadar Bara menggenggam tangan Raina. Sedikit terkejut saat merasakan suhu
dingin ditangan gadis itu. Dan Bara sadar, jika Raina sangat gugup saat ini.

Usapan pelan Bara berikan pada tangan Raina. Berusaha menenangkan gadis itu.

Raina mengalihkan pandangannya. Ditatapnya Bara yang sedang menatap serius dirinya.
Raina terkejut ketika mendapati sorot mata berbinar yang tak sanggup Bara tahan itu.

“ makasih Rain “, ucap Bara.

Raina mengangguk kecil. Tersenyum malu-malu. Ada rasa lega didirinya. Inikah hasil
yang dia dapatkan setelah berdamai dengan otaknya? Berdamai dengan sifat egoisnya? Dia
mendapatkan Bara. Cinta yang dulu sempat dia kubur.

***

Sebuah lambaian singkat Raina berikan pada Bara sebelum dia membuka pagar rumah.
Hari ini, semua berjalan dengan lancar. Dia sudah memberikan jawaban atas lamaran Bara.
Hati Raina menjadi tenang. Sama sekali tak merasakan kegelisahan seperti tempo hari.
Dengan bersenandung pelan, Raina memasuki rumah. Melewati Ayah dan Bunda yang
sedang menonton tv diruang keluarga. Tak memperdulikan tatapan aneh yang diberikan
kedua orang tuanya kepadanya.

Bunda menatap penasaran Raina. Yang ditatap malah dengan santai melenggang menuju
tangga. Bunda tau, hari ini Raina dan Bara akan menyelesaikan Masalah mereka. Melihat
wajah Raina yang bahagia seperti itu, Bunda yakin jika hasilnya pasti baik.

“ panggil anakmu, Yah “, pinta Bunda pelan. Berbisik pada Ayah yang juga sedang
menatap heran Raina.

“ Raina, duduk dulu sini “

Langkah Raina terhenti. Dia menatap kedua orang tuanya yang sedang duduk disofa.
Mengangguk kecil lalu berjalan kearah sofa.

Baru saja Raina duduk, Bunda langsung menyerangnya dengan pertanyaan.

“ jadi, gimana akhirnya? “

Raina menarik nafasnya pelan, sebelum menjawab pertanyaan Bunda.

“ Mas Bara bilang, hari sabtu depan dia akan datang kemari. Dia bilang, akan ngelamar
aku secara resmi dan mulai membicarakan mengenai tanggap pernikahan. Dan Mas Bara juga
bilang kalau dia ingin secepatnya dan nggak menunda-nunda lagi “

Sebuah senyuman terbit dibibir Bunda. Merasa terkejut dengan keterangan Raina.

“ kamu sudah mengiyakan lamarannya? “, tanya Ayah lagi. Dia menginginkan jawaban
yang lebih jelas dari Raina.

“ iya. Makanya Mas Bara mau ngelamar aku dengan lebih resmi. Kata dia nggak bagus
mau ngambil anak orang tapi mintanya nggak serius. “

Ayah tertawa. Tak salah jika dia menyukai Bara sebagai calon menantunya. Pria itu
memang bisa diandalkan sejak dulu. Sama sekali tak berniat untuk melawan kedua orang
tuanya. Bara begitu penurut. Tak heran jika dia mampu sukses diusia mudanya.

Adi membesarkan Bara dengan sangat baik.

“ nah, kalau begini kan lebih jelas. Bunda nggak pusing mikirin kamu. Lagian Bara juga
bisa diandalkan. Kamu beruntung Rain jadi calon istrinya “, celoteh Bunda senang.

Ya, Raina juga merasakan itu. Dia beruntung dirinya lah yang dilamar oleh Bara. Bukan
gadis lain. Dia tak mungkin bisa mendapatkan pria seperti Bara nantinya.

“ dan masalah Tio gimana? “, tanya Ayah yang berhasil mengubah suasana hati Raina hari
ini.
Sejak pagi tadi dia sama sekali tak memikirkan Tio. Raina terlalu fokus memikirkan Bara
hingga lupa ada satu hati yang menjadi korban keegoisannya.

“ akan Raina selesaikan secepatnya “, jawab Raina mantap.

Dia harus meminta maaf dengan Tio. Menjelaskan hubungan yang mereka miliki dengan
jelas. Jangan sampai Tio salah paham dengan dirinya. Dia tak ingin kehilang Tio sebagai
teman. Meski Tyas menentang pertemanannya, bukan berarti Raina ikut menentang.

Selama ini Tio selalu bersamanya. Meski hanya sebentar, kesan yang Tio berikan pada
Raina cukup mendalam. Membuat Raina merasa nyaman disaat semua menekannya. Ya,
meski pada akhirnya hubungannya dan Tio menimbulkan kesalahpahaman bagi Tio.

“ minta maaf, sayang. Jangan sampai kalian bertengkar sebagai teman. “, nasehat Ayah
bijak.

Raina mengangguk. Menyetujui nasehat Ayahnya.

“ kamu udah bilang masalah itu dengan Bara? “, tanya Ayah lagi dan dijawab Raina
dengan gelengan kecil.

“ semenjak Raina bangun tidur, Raina sama sekali nggak kepikiran dengan lamaran Tio.
Fokus Raina hanya untuk menyelesaikan masalah Raina dengan Mas Bara. Dan, Raina juga
nggak kepikiran untuk kasih tau Mas Bara mengenai masalah ini. Raina ingin ngeberesin
masalah ini sendiri “

Bunda menggeleng tak setuju dengan ucapan putrinya itu.

“ kamu harus bicara dengan Bara. Kalian baru menjalin hubungan, harus ada keterbukaan
diantara kalian. Jangan pernah menyepelekan masalah kecil. Masalah kecil itu bisa menjadi
masalah besar jika kalian tak saling terbuka. Kamu perlu menghargai Bara, Rain. Kamu tanya
pendapatnya mengenai masalah itu. Kalian harus sama-sama kompromi “

“ tapi ini kan masalah antara Raina dan Tio, Bunda “

“ ini masalah Bara juga. Karena saat ini status kamu adalah sebagai calon istrinya. Kita
nggak tau perangai asli setiap orang, Raina. Bunda takut saat kamu bicara dengan Tio, dia
nggak terima dan ngebentak atau marahin kamu. Tempramen anak itu sedikit mengganggu
Bunda “

Tempramen Tio? Ada yang salahkah dengan pria itu?

Memang selama ini Tio gampang sensitif. Pria itu mudah meledak emosinya jika
terganggu dengan hal-hal yang tak diinginkannya. Tapi menurut Raina Masih dalam batas
yang wajar. Tio tak pernah sampai melukai orang. Hanya saja pria itu terkadang mengumpat
jika sudah tak dapat menahan kekesalannya. Jika sudah begitu, Raina akan memperingatinya
dengan keras.
Tapi Raina sama sekali tak menyangka jika Tio dimata orang lain memiliki tempramen
yang bermasalah seperti itu. Bunda yang merupakan mantas psikolog pasti tau persis
mengenai tempramen Tio. Lagi pula Bunda sudah beberapa kali bertemu dengan Tio do
rumah sakit saat arsa sakit.

“ kenapa dengan Tio? “

“ menurut Bunda, dia memiliki gangguan bipolar*. Hanya saja gangguannya itu tak begitu
mempengaruhinya. Mungkin saja baru-baru ini dia mendapatkannya. Dilihat dari tatapan
matanya yang kadang nggak fokus, Bunda takut kamu kenapa-kenapa. Bunda juga pernah
beberapa kali mendengar dia berteriak ditelpon saat dirumah sakit. “

Ayah menatap Bunda tak percaya. Sedikit sangsi dengan ucapan istrinya yang memang tak
menyukai Tio itu. Mungkin saja ini akal-akalan Bunda agar Raina tak berhubungan lagi
dengan Tio.

“ dia anak yang baik kok. Santun lagi “, bantah Ayah.

“ Ayah, penderita bipolar itu mengalami gangguan emosi. Bisa aja saat berhadapan
dengan kita emosinya lagi stabil, tapi diluar sana siapa yang tau? Bunda nggak bermaksud
untuk menyuruh Raina menjauh dari Tio. Penderita bipolar sendiri membutuhkan dukungan
orang-orang terdekatnya untuk sembuh. Bunda hanya ingin Raina menerapkan batasan-
batasan yang seharusnya untuk Tio “, jelas Bunda.

Kali ini Ayah mengangguk kecil. Meyakini ucapan istrinya itu. Raina sendiri hanya diam
sambil sedikit melamun. Bingung harus mengambil sikap seperti apa jika ucapan Bunda
memang benar.

Pada akhirnya, Raina pamit masuk kedalam kamar. Berusaha memikirkan jalan terbaik
untuk berbicara dengan Tio tanpa melibatkan emosi.

Bisakah?

Raina sendiri tak yakin. Jika sudah menyangkut perasaan pasti ada emosi yang terlibat.
Tak mungkin Tio tak akan melibatkan emosi jika tau Raina dengan pasti menolaknya.

Haruskah dia mendiskusikannya dengan Bara?

Bisakah Bara bersikap bijak dalam mengambil keputusan?

Ah, entahlah. Raina terlalu pusing untuk memikirkannya.

***

“ jadi semuanya udah beres nak? “, tanya Ibu yang saat ini sedang duduk di teras
belakang. Bara baru saja tiba dan langsung menuju keteras. Ingin membicarakan Masalah
mengenai lamaran resmi untuk Raina.

Secepatnya. Harus secepatnya.


“ dilihat dari wajah kamu, kamu sukses diterima? “, tanya Ibu lagi.

Wanita paruh baya itu tersenyum lebar ketika mendapati Bara mengangguk antusias.
Ternyata tak percuma perjuangan Bara selama ini untuk mendapatkan jawaban daari Raina.

“ Bara udah kasih tau Raina kalau sabtu depan Bara akan melamarnya dengan resmi. Bara
mau, Ibu sama Bapak nemenin Bara untuk melamar Raina “, pinta Bara dengan antusias.

“ secepat itu? “

“ iya. Bara nggak mau nunda lagi. Takutnya kalau ditunda terus, kesabaran Bara habis “,
jawab Bara asal.

Ibu tertawa kecil mendengar jawaban asal Bara itu.

Selama Bara bahagia, Ibu pasti akan bahagia. Lagipula, Raina bukan pilihan yang buruk
untuk menjadi calon istri. Meski sedikit keras kepala, Raina adalah sosok gadis yang baik.
Dia menuruti semua perintah orang tuanya, meski harus sedikit adu argumen. Raina juga
gadis yang menyenangkan. Senyumannya manis, dan tawanya itu mampu memikat siapa saja
yang mendengarnya menjadi senang.

Secara keseluruhan, Raina sangat pas untuk menjadi pendamping hidup Bara. Setidaknya
sifat kaku Bara itu akan tercairkan dengan celoteh manis dari mulut Raina yang tak bisa diam
itu.

“ udah kamu sampaikan ke Raina? “

“ udah. Dan dia bilang siap. Makasih ya bu, udah sabar buat nungguin jawaban Raina
yang butuh waktu ekstra lama ini “

“ nggak masalah, le. Toh kalau kamu senang, Ibu juga senang. Coba kalu ngaca deh, liat
wajah kamu. Bibir kamu itu nggak berhenti senyum terus loh dari tadi. Nggak takut sobek? “,
ledek Ibu.

Wajah Bara memerah. Dia sedikit tersipu diledek seperti itu.

Apa seperti rasa bahagia Elang saat akan menikah kemarin?

Pantas saja adiknya itu tak berhenti tersenyum ketika sedang sendiri. Dia pasti sedang
memikirkan Karina. Bara tau itu. Karena saat ini saja, Bara sedang memikirkan Raina.

“ istirahat, le. Kamu seharian ini pasti capek. Besok kamu harus kerja lagi, kan? “

“ iya Bu. Bara kekamar dulu “

***

Langkah kaki itu bergema ketika menyusuri lorong gelap. Diujung lorong ada sebuah
cahaya temaram yang cukup sebagai pemandu jalan. Langkah kaki itu mendadak berhenti.
Sang pemilik hanya berdiam sambil menatap nanar kearah lampu yang temaram itu.
“ bahkan cahaya terangku mendadak gelap dalam sekejap. Hati manusia dan
kesombongannya “, desis pria yang tak lain Tio itu.

Dengan perlahan dia kembali berjalan. Cukup pelan hingga tak menimbulkan bunyi yang
berarti.

“ satu-satunya cahaya yang kupunya mendadak temaram. “, gumamnya pelan. Lalu tak
lama terdengar suara isakan pedih yang keluar dari bibirnya.

Tio jatuh berlutut. Kemudian bersandar pada tembok disisi kanannya. Jatuh terduduk
cukup lama sambil menjerit pilu. Dia menangis seolah-olah dunia telah berlaku tak adil pada
hidupnya.

Tapi bukankah dunia memang tak adil. Akan selalu datang kesedihan setelah kebahagiaan.
Dunia memang diciptakan dengan sistem ketidak adilan. Jika dunia ini adil, maka tak akan
ada rakyat miskin. Tak akan ada kesengsaraan diatas kebahagiaan.

Jerit tangis pilu Tio mendadak berubah. Pria itu mendadak tertawa kecil. Tangan kanannya
mereMas sebuah kertas. Mencampakkan kertas itu begitu saja.

“ tak akan kubiarkan cahayaku mati. Akan kutunjukkan, bagaimana tidak adilnya dunia itu
pada kalian “

***

*Gangguan bipolar adalah gangguan mental yang menyerang kondisi psikis seseorang
yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat ekstrem berupa mania dan depresi,
karena itu istilah medis sebelumnya disebut dengan manic depressive. Suasana hati
penderitanya dapat berganti secara tiba-tiba antara dua kutub (bipolar) yang berlawanan yaitu
kebahagiaan (mania) dan kesedihan (depresi) yang berlebihan tanpa pola atau waktu yang
pasti.
Hari ini adalah hari senin. Hari paling sibuk menurut Raina. Karena dari pagi hingga
mendekati jam istirahat pertama, Raina akan melakukan bimbingan konseling dikelasnya.
Kegiatan yang diwajibkan dari pihak sekolah untuk terus memantau para siswanya. Menurut
Raina ini adalah cara terbaik untuk mencegah beberapa kasus bullying, kekerasan, serta kasus
lainnya yang sering dialami oleh remaja. Meski Raina sempat kecolongan beberapa waktu lalu.

Tak ada yang mengganjal pagi ini. Semua berjalan seperti biasa. Bahkan saat Raina keluar
dari mobilnya. Beberapa siswa yang melihatnya tersenyum sopan. Menyapanya dengan hangat
yang dibalas Raina dengan senyum manis yang merekah.

Jika dilihat dari jauh, semuanya berjalan normal. Tak ada satupun hal aneh. Bahkan saat
Raina berpapasan dengan Tio. Raina menyapa pria itu dengan ramah dan dibalas dengan Tio
sebuah senyuman.

Benarkah kata Bunda?

Raina tercenung. Dia kini duduk di mejanya diruang guru. Menatap kosong vas bunga yang
berada dipojok mejanya. Ada bunga mawar merah disana. Bunga asli yang Masih sangat segar.
Pasti Tio baru saja meletakkannya disana.

Selama sebulan belakangan ini, Tio memang kerap memberikannya bunga asli. Setelah
Raina dulu sempat menyindirnya karena memberi bunga palsu. Setiap 3 hari sekali Tio akan
mengganti bunga yang mulai layu dengan bunga yang baru. Membuat beberapa guru di
ruangan Raina menatap curiga hubungan mereka.

Tanpa sadar Raina mengambil sebatang mawar merah. Menatap duri yang masih
menyelimuti batang hijau itu. Sedikit heran melihat duri tajam itu.

Bukannya seharusnya duri ini dibuang ketika dibeli?

Dulu Raina tak memperhatikannya. Merasa biasa saja dengan rupa mawar miliknya. Meski
Tyas sempat mengatakan jika dia melihat mawar Raina Masih memiliki duri, Raina tak ambil
pusing. Berpikir positif jika sang penjual lupa mencabutnya.

Tapi sekarang? Bukankah ini memang aneh?

Raina menghembuskan nafas perlahan. Membuang pemikiran aneh akibat ucapan bunda
kemarin sore.

Akhirnya Raina lebih memilih meMasuki kelas. Kembali menjalankan kewajibannya


sebagai seorang guru sekaligus wali kelas. Melupakan sejenak semua pemikiran anehnya
mengenai seorang Tio.

***

“ apa?! Raina udah mengiyakan lamaran lo? “, respon spontan Ray berhasil membuat Bara
malu bukan main.
Bagaimana tidak? Mereka saat ini sedang berada dikantin rumah sakit. Beberapa perawat
dan dokter menatap kearah mereka dengan tatapan terkejut dan sedikit penasaran.

“ lo habis nyemil toa? Itu suara kurang gede! “, balas Bara sinis.

Pria itu kemudian tersenyum kecil kearah perawat dan dokter yang Masih menatap mereka.
Meminta maaf jika sudah mengganggu waktu makan siang mereka. Sementara Ray, pria itu
malah tertawa kecil terkesan mengejek.

“ jadi adik ipar, gimana perasaan lo sekarang? “

“ apa? Adik ipar? Astaga, gue nggak pernah kepikiran buat jadi ipar lo “, dengus Bara yang
mendadak langsung sadar dengan kenyataan yang dihadapinya.

“ lo kok bego gitu sih? Kan lo sendiri yang ngebet pengen nikah sama adek gue. Ya,
otomatis lo jadi adek ipar gue kan? “

Ray itu adalah orang yang paling tengil yang pernah Bara temui. Sedikit gesrek walau
otaknya cerdas. Mulutnya juga tak kalah pedas dengan Raina, tapi Bara sama sekali tak pernah
mendengar Ray memaki.

Sejak dulu Bara dan Ray sudah berteman akrab. Mungkin sejak mereka Masih belum
sekolah. Sifat Ray yang kekanak-kanakan berhasil menyatu dengan sifat Bara yang terkesan
serius. Obrolan yang mereka perbincangkan pun tak begitu berat. Hanya obrolan ringan yang
terkadang tak Masuk akal.

Bara mengetahui sifat asli Ray luar dan dalam. Begitu juga Ray yang mengetahui sifat asli
Bara. Tak ada satupun hal yang mereka tutupi antara satu sama lain. Meski selama beberapa
tahun terakhir ini Bara tinggal diluar kota, bukan berarti hubungan mereka terputus. Setiap
sebulan sekali, Ray akan mengunjungi Bara atau sebaliknya. Kemudian mereka akan bercerita
panjang lebar mengenai kegiatan mereka. Saling bertukan pendapat dan candaan.

Intinya, Bara tak pernah berpikir jika dia akan memanggil Ray dengan sebutan Mas
dikemudian hari.

“ gue agak aneh gitu ya? Mesti banget dipanggil Mas? “, tanya Bara disela-sela
kunyahannya.

Ray bergidik geli. Membayangkan Bara dan Raina menikah saja sudah membuatnya agak
aneh. Bagaimana mungkin dia bisa mendengar Bara memanggilnya dengan sebutan Mas?
Bisa-bisa Ray akan kabur setiap kali melihat Bara.

Lagi pula usia mereka hanya terpaut beberapa hari.

“ nggak usah, bar. Kita seperti biasa aja. Gue nggak gila hormat kok “, balas Ray cepat.

Bara tersenyum meledek. Dia sudah yakin dengan respon yang akan Ray berikan ini. Bara
saja sudah merinding ketika harus memanggil Ray dengan sebutan Mas. Pasti Ray juga
merasakan hal yang sama.
“ thanks banget ya buat dukungan lo selama ini. Makasih banget loh “, lanjut Bara.

“ kayak sama siapa aja lo. Gue bersyukur adek gue nggak salah pilih cowok. Gue harap lo
nggak nyakitin adek gue aja, bar. Karna kalo sampe lo nyakitin dia, gue nggak tau respon apa
yang harus gue kasih ke elo. Mungkin sekedar ninju lo aja nggak akan cukup “

Ray mengucapkan kalimatnya dengan sungguh-sungguh. Meski wajahnya terkesan datar


tanpa eksprei, Bara tau jika pria dihadapannya ini sebisa mungkin mengontrol ekspresinya
ketika mengucapkan kalimat itu. Ada kesungguhan disana. Dan jika Bara melanggarnya, maka
Ray tak akan segan melakukan sesuatu yang menakutkan.

Bagi Ray, Raina adalah segalanya. Adik kecil yang akan dia jaga bahkan hingga dia mati.
Tak perduli jika dia harus menentang badai, selama Raina membutuhkannya dia akan datang.
Walaupun saat ini dia sudah menikah dan memiliki dua anak, tetap saja Raina menjadi salah
satu prioritas hidupnya setelah anak dan istrinya. Cinta Ray untuk Raina tak akan pernah
pudar. Sebuah cinta yang didasari oleh kasih sayang tulus Ray. Cinta yang spesial, yang tak
akan mampu digantikan oleh siapapun.

Raina adalah pemilik hati Ray. Ada satu ruang kosong disana yang Ray buat khusus untuk
Raina. Yang tak akan pernah bisa diganggu gugat. Yang tak akan bisa disentuh dan dijamah
oleh siapapun.

Bara tau, Ray sangat menyayangi Raina. Meskipun pria itu terlihat biasa saja ketika
berhadapan dengan Raina, tapi ada sorot kasih sayang yang tak pernah padam tercetak jelas
dimatanya. Maka dari itu, Bara tak berniat untuk melukai Raina. Karena Bara tau, jika Raina
terluka maka Ray akan sama terlukanya.

“ gue nggak akan ngecewain lo “

“ jaga dia, bar. Bagi gue, Raina adalah adik kecil yang akan gue jaga sampe gue mati.
Karena nanti diakhirat kelak, gue termasuk laki-laki yang akan dimintai pertanggung
jawabannya atas Raina “

Bara mengangguk paham. Sedikit terkesima dengan kalimat Ray barusan.

“ jadi gimana dengan rencana lamaran lo nanti? “, tanya Ray mengalihkan topik
pembicaraan.

“ gue udah ngasih tau keluarga gue, kalo sabtu ini gue akan ngelamar Raina. “

“ secepat itu? “, suara Ray terdengar begitu terkejut. Bukannya baru kemarin Raina
mengatakan akan menikah dengan Bara, dan sabtu ini Bara sudah siap untuk melamar Raina
secara resmi?

“ nggak juga. Kalau dipikir lagi, ini udah lumayan lama semenjak gue ngelamar Raina.
Lagipula niat gue buat ibadah juga kan? Ngapain mesti ditunda? “
“ gue paham, Bara. Cuma ya, lo tau kan? Gue kayaknya lagi kena sindrom takut ditinggal
nikah gitu. “

Alis Bara bertaut. Tak paham dengan sindrom yang dimaksud Ray.

“ apaan sih lo? Lagian lo kan kakaknya, kok bisa kena sindrom begituan “, ketus Bara.

“ ya iyalah, gue takut ditinggal nikah adek gue. Ntar kalo dia lebih sibuk dengan lo gimana?
Sementara gue masih suka ngejahilin dia. Masih suka berantem sama dia. Ntar kalo lo ambil,
gimana hari-hari bahagia gue? “

“ nggak jelas banget sih lo “, dengus Bara pada akhirnya. Dia mulai merasa risih dengan
tingkah Ray yang mulai over dosis itu. Meskipun sudah lama berteman, namun hingga detik
ini Bara belum mampu untuk menghadapi sikap Ray yang terkadang lebay itu.

Wajah Ray tertekuk. Menatap masam kearah Bara.

“ lo belom tau aja sih rasanya ngelepas adik perempuan lo untuk hidup dengan orang lain.
Oh iya, gue lupa. Adek lo kan cowok semua. Mana mungkin lo tau “, sinis Ray.

Bara mengerjapkan matanya. Terkejut dengan nada suara Ray yang kurang bersahabat. Pria
itu sepertinya sedang dalam kondisi mood yang berantakan hari ini. Salah sedikit saja ucapan
Bara, bisa-bisa Ray mengamuk.

“ sensi banget sih lo hari ini “, gerutu Bara pada akhirnya. Dia sudah mulai jengah dengan
kelakuan absurd pria dihadapannya ini. “ tenang aja, Raina nggak akan gue sabotase kok. Dia
tetep akan jadi adek lo, sampe lo mati “

***

Raina sedang duduk di teras rumah ketika melihat mobil Bara berhenti didepan rumah.
Pintu penumpang terbuka, menampakan Ray yang turun dari dalam mobil dengan wajah datar
miliknya. Pria itu membuka pagar tanpa menutupnya. Berjalan santai masuk kedalam rumah
tanpa memperdulikan Raina.

Dibelakang Ray, Bara mengikuti dengan santai. Pria itu masih menggunakan kemeja
miliknya, pertanda dia baru saja selesai bekerja. Jika Ray masuk kedalam rumah begitu saja,
maka lain halnya dengan Bara. Pria itu malah duduk di samping Raina lalu membujurkan
kakinya.

“ Mas Ray kenapa? Kok nyelonong gitu aja? “, tanya Raina langsung.

Bara menggendikkan bahunya acuh. Tapi sebuah senyum tipis tak bisa lolos dari bibirnya.

“ mungkin ngambek kali? Nggak tau juga aku “

“ ngambek kenapa? “

“ tadi di kantin rumah sakit, dia mendadak sensi gitu. Padahal awalnya biasa aja. Nggak
ngerti deh. Kayaknya dia lagi berantem sama anggi “, jawab Bara asal.
Bahkan Bara sendiri tak tau mengenai alasan Ray yang begitu sensitif hari ini. Padahal Bara
baru saja menyampaikan berita baik untuknya. Jika adiknya yang manis itu akan segera
dilamar.

“ harap maklum aja. Mas Ray emang suka absurd gitu “

“ iya. Aku juga udah biasa ngadepin tingkah anehnya itu. “

“ oh iya Mas, kebetulan Mas mampir kesini. Aku mau ngomongin sesuatu “, ucap Raina
dengan nada serius.

Bara menatap Raina dengan penasaran. Mendadak gadis itu bertingkah serius.

“ ada apa? “

“ soal Tio “

“ Tio? “ tanya Bara heran.

Raina mengangguk pelan. Kemudian tanpa Raina sadari ia menghembuskan nafas pelan.
Tindakannya itu semakin membuat Bara penasaran.

“ dia kemarin juga ngelamar aku. Dan ditolak dengan Ayah. Aku pikir, aku harus
menjelaskan masalah ini dengan Tio. Supaya dia nggak berpikir yang aneh-aneh. Tapi, bunda
bilang kalau aku harus hati-hati. Soalnya menurut bunda, Tio itu bipolar “

Mendengar kata bipolar membuat Bara terkejut. Bagaimana mungkin seorang guru dapat
mengidap penyakit mental seperti itu? Bukankah itu berbahaya jika suatu saat dia meledak
didepan para muridnya?

Astaga Raina, kenapa dia harus berhubungan dengan pria bermasalah seperti itu?

“ jadi, sekarang bagaimana pendapat Mas? “, tanya Raina kemudian.

Ekspresi wajah Bara yang semula ceria, mendadak serius. Penderita bipolar harus ditangani
dengan khusus. Jika salah saja penanganannya, Bara tak yakin apa yang dapat dilakukan oleh
Tio. Bunuh diri mungkin akan menjadi salah satu jalan terbaik menurut pria itu.

“ menurutku, untuk sekarang kita jaga aja emosinya supaya tetap stabil. Jangan
mengejutkan dia dengan kabar yang sulit untuk diterimanya. Kalau benar Tio menderita
bipolar, maka kita harus segera merujuknya untuk berobat. Kalau terlalu lama dibiarkan,
takutnya dia sulit mengendalikan emosinya. Dan mungkin saat dia down suatu saat, dia akan
mengambil jalan pintas dengan bunuh diri “

Raina terkejut. Tak menyangka jika penderita bipolar akan mengambil jalan seperti itu.
Kalau memang benar Tio mengalami gangguan ini, kenapa? Kenapa pria itu bisa mengidap
bipolar? Adakah Masa lalunya yang membuatnya menderita seperti ini?
“ kamu tetap saja berteman. Rahasiakan hubungan kita dari Tio. Kalau bisa, beri dia
pemahaman mengenai alasan kamu menolaknya. Tapi secara perlahan, Rain. Sesuatu yang
mengejutkan untuknya akan membawa dampak buruk bagi dirinya. “

Meski Bara sangat ingin Raina untuk menjaga jarak dengan Tio, tapi sebisa mungkin sifat
egois dirinya ia tahan. Kenapa? Karena ini menyangkut nyawa seseorang.

Para penderita gangguan bipolar memang mengalami masalah emosi, dan jika sudah sampai
pada tahap akut mereka cenderung untuk menyakiti diri mereka sendiri hingga bunuh diri.
Bunuh diri akan dilakukan jika si penderita sudah merasakan depresi yang mendalam. Merasa
tak ada jalan keluar baginya.

Bara tak ingin ada nyawa yang melayang karena hubungannya dan Raina. Nyawa adalah
sesuatu yang berharga yang tak pantas untuk dikorbankan hanya karena keegoisan Bara.

“ aku nggak nyangka loh kalau penderita bipolar bisa bertindak berbahaya seperti itu “

“ intinya, kalau kamu berada disekitar Tio, kamu harus bisa jaga emosi dia supaya tetap
stabil. Jangan kasih kabar yang bisa buat dia syok. Kamu juga jangan terlalu jaga jarak dengan
dia, tetap perlakukan dia seolah-olah kamu nggak tau dia sakit. Perubahan yang mendadak dari
kamu bisa aja buat dia depresi nanti. Dan yang perlu kamu ingat, penderita bipolar nggak akan
mencelakakan orang lain. Dia cenderung menyakiti dirinya sendiri. Jadi kamu ngga perlu takut
untuk berinteraksi dengannya “

Raina mengangguk paham. Dia menatap Bara yang juga sedang menatapnya. Pria itu
kemudian mengelus perlahan rambut Raina.

“ jangan terlalu dipikirin. Dia juga nggak akan nyakiti kamu. “, tambah Bara mencoba
menenangkan Raina yang wajahnya mendadak pucat itu.

“ aku kasihan aja dengan Tio. Memangnya apa penyebab penyakit itu? “

“ bisa jadi karena zat yang berfungsi untuk mengontrol otak itu nggak seimbang atau bisa
jadi merupakan keturunan. Ada juga faktor-faktor yang diduga bisa menjadi salah satu pemicu
peningkatan resiko gangguan bipolar. Misalnya, stress tingkat tinggi, pengalaman traumatik,
kecanduan minuman berakohol atau obat-obatan terlarang, dan memiliki riwayat keluarga
dekat yang memiliki gangguan bipolar “

“ Mas Bara tau banyak juga ya soal penyakit ini “, ucap Raina takjub. Tak menyangka jika
dokter anak dihadapannya itu mengetahui begitu banyak soal penyakit bipolar.

Bara hanya tersenyum kecil.

“ soal lamaran sabtu nanti gimana Rain? Udah kamu kasih tau ke Bunda sama Ayah? “

“ udah kok. Dan mereka udah mengiyakan. Tapi sekitaran jam berapa Mas? Bunda tadi pagi
nanyain. Soalnya biar bisa di persiapkan dengan baik. “

“ sore aja kali ya? Selepas ashar gitu. “


Raina mengangguk kecil.

“ ada Barang yang kamu pengen? Jadi bisa aku beliin buat hantaran sabtu nanti “

“ perlu ya pake hantaran gitu? Nggak usah lah Mas, kan baru lamaran. Simpan aja uangnya.
Hantarannya pas akad aja “

“ yakin kamu? “

“ iya Mas. Penghematan budget. Nikah itu nggak murah loh Mas. Mahal banget. Apalagi
kehidupan setelah nikah nanti. Lebih baik uangnya disimpan buat kepentingan yang lebih
mendesak aja. “

Ini adalah salah satu hal yang Bara sukai dari Raina. Meskipun gadis itu terkesan kekanakan
dan egois, tapi selalu memikirkan akibat dari setiap tindakan yang dimilikinya. Raina juga
memiliki pemikiran yang realistis. Dia juga bukan gadis yang matrealistis.

Setiap sebulan sekali, Raina rutin menyisihkan gajinya untuk dia sedekahkan pada orang
yang membutuhkan. Meski tak seberapa bagi Raina, namun bagi orang yang membutuhkan itu
pasti sangat berharga. Bara tau sifat Raina yang ini ketika dia tanpa sengaja melihat Raina
mengunjungi panti asuhan didekat kompleks perumahan mereka setiap akhir bulan.

Ya, tak ada yang sempurna didunia ini. Begitu juga Raina. Dia tentu saja memiliki sifat
yang buruk. Keras kepala, egois, dan terkadang pemalas juga merupakan sifat buruk Raina.
Dan Bara mencoba untuk memaklumi hal itu.

Yang Bara dan Raina butuhkan saat ini adalah adaptasi dalam hubungan mereka.
Bagaimana Raina menoleransi sifat buruk Bara dan begitu juga sebaliknya. Bagaimana cara
mereka berkomunikasi tanpa perlu beradu argumen seperti kemarin-kemarin. Bagaimana cara
mereka men-support satu sama lain. Itu adalah semua yang mereka butuhkan saat ini untuk
membangun sebuah hubungan yang lebih baik lagi kedepannya.

***

“ aku dipandahin kerumah sakit sekitaran sini. Jadi, Ibu nyuruh aku buat nginep ditempat
Bude selama beberapa waktu. Sampe Ibu percaya aku bisa tinggal sendiri “, cerita Icha ketika
dia ditanya Bara kenapa berada dirumahnya.

Gadis itu sedang duduk manis didepan laptop miliknya diruang tamu ketika Bara masuk
kedalam rumah. Icha duduk dengan pakaian santainya. Menatap layar laptop sambil asik
memakan cemilan wafer yang ada didalam toples.

“ dimana? “, tanya Bara lebih detail.

Icha mendengus kesal lalu menatap sinis Bara. Merasa kesal waktunya diganggu dengan
pria yang baru saja pulang itu.

“ di rumah sakit Mitra Medika. “


“ kenapa kamu dipindahin? Kamu buat masalah? Mas denger kamu hobi banget nyari
masalah ya... “

“ astaghfirullah... Ya Allah, ini orang kok pikirannya negatif terus sama adek sendiri. Aku
nggak pernah nyari Masalah ya Mas, selama ini aku kerjanya oke kok. Nggak mengecewakan
orang. “, sahut Icha cepat.

Kali ini fokus Icha sepenuhnya pada Bara. Bukan pada anime yang sedang diputarnya di
laptop itu.

Icha menatap Bara dengan tatapan menilai. Ini kah pria yang sebentar lagi akan menikah
itu? Kenapa dia mendadak sangat usil dengan kehidupan dirinya? Padahal selama ini Bara tak
begitu ambil pusing dengan kehidupan Icha ketika Bara tinggal dirumah Icha, di Solo sana.

“ mentang-mentang berhasil ngedapetin Raina, jadi suka seenaknya aja. “, tambah Icha lalu
kembali menatap fokus anime nya.

Bara tersenyum tipis. Sama sekali tak merasa terganggu dengan sikap Icha yang bisa
dibilang kurang ajar itu. Toh, Icha memang selalu seperti itu. Gadis itu amat sangat benci jika
seseorang mengganggu waktunya menonton. Dan entah kenapa saat Masuk tadi, Bara sangat
ingin mengganggu Icha. Entahlah, mungkin dia sedang rindu waktu dirinya berada di solo
dulu. Mendengar suara Icha yang seperti meriam karbit itu.

“ nggak mau ngucapin selamat ke Mas? “

“ nggak “

“ loh, kenapa? “, tanya Bara bingung.

“ Mas resek “, jawab Icha singkat.

“ kamu yaaaa “

“ udah deh Mas. Masuk sana gih. Mandi. Makan. Trus ngapain kek. Jangan ganggu aku.
Plisssss “, mohon Icha.

Tanpa aba-aba, Icha kemudian menarik tangan Bara. Menyeret Bara hingga depan tangga.

“ gih sana “, usirnya.

Bara terkekeh pelan.

“ Cha, nanti mau temenin Mas nggak? “, tanya Bara mendadak serius.

Pria itu kini duduk di anak tangga. Mencari posisi yang lebih sejajar dengan tinggi Icha.

“ kemana? “

“ ada sesuatu yang harus diselesaikan. Dan kayaknya, kamu jadi pilihan yang tepat untuk
ngebantu Mas nyelesaikan masalah itu “, pinta Bara serius.
Icha sama sekali tak mengerti dengan arah pembicaraan Bara yang mendadak serius itu.
Bara bahkan tak menjelaskan dengan detail bantuan apa yang dia butuhkan dari Icha.

Bantu ngisi data pasien kah?

Membayangkan dirinya akan berada seharian membantu Bara merekap data pasien
membuat Icha hampir menyemburkan kekesalannya. Tapi, sebisa mungkin dia tahan. Mencoba
mencari alasan lain yang lebih masuk akal.

Mas Bara bukan tipe yang suka eksploitasi adek sendiri.

Jadi, bantuan apa?

“ tapi, nggak sekarang. Nanti. Nunggu waktu yang pas “

“ apa sih Mas? Kalau mau minta bantu itu, mbok yo ngomong yang jelas toh “, sungut Icha.

Bara menggeleng pelan. Merasa belum pas waktunya untuk memberitahukan masalah yang
sedang ia hadapi sekarang ini. Lagipula, semuanya Masih belum jelas. Masih abu-abu baginya.

Rencananya, Bara akan meminta bantuan Icha untuk memantau kondisi Tio. Bara ingin,
Icha menjadi perawat pribadi Tio agar pria itu setidaknya dapat mengontrol emosinya menjadi
lebih stabil. Itu semua jika benar Tio mengidap gangguan bipolar. Yang perlu dilakukan saat
ini adalah mengawasinya. Memastikan jika semua dugaan-dugaan itu memang benar.

Gangguan bipolar tak akan dapat diketahui jika hanya memandangnya sekilas saja. Butuh
beberapa waktu untuk mengidentifikasi, apakah si pasien memang mengalami gangguan
bipolar atau hanya emosi yang diakibatkan stress semata. Setelah menganalisa, baru dapat
dicarikan bagaimana jalan keluar yang terbaik untuk menyeimbangkan tingkat emosinya agar
selalu stabil.

Seperti yang sudah dibilang, akan sangat bahaya jika emosinya berada di tahap depresi.
Pasien bisa saja memilih untuk mati karena depresi yang menurutnya sulit diatasi. Dan Bara
tak ingin itu terjadi pada Tio.

Tio masih terlalu muda. Ada banyak hal yang masih menunggunya. Bara tak ingin hanya
karena lamarannya ditolak Raina, pria itu kemudian melakukan aksi bunuh diri. Jika itu terjadi,
Raina tak akan bisa memaafkan dirinya. Karena Raina pikir, dirinya adalah penyebab utama
kematian Tio.

Tidak. Bara tak ingin itu terjadi. Selama masih ada jalan keluar, Bara akan mencarinya.
Meskipun itu rumit. Tetap akan Bara lakukan.

Harus. Demi Raina.

Anda mungkin juga menyukai