Anda di halaman 1dari 6

Seikat Mawar Kering

Oleh: Taarapena

Hari ini bukan ibu yang setia ataupun alarm yang membangunkannya, melainkan kicau
burung dan asap dari tungku dapur bibi yang menyeruak memasuki celah-celah jendela
menyesakkan pernafasan.

Hari ini Rian sedang berlibur ke desa. Desa dimana tempat paman dan bibinya tinggal. Desa
yang sejuk, penuh pepohonan rindang, dan kicau burung masih menemani pagi hari.
Masyarakatnya masih menggunakan tungku untuk memasak, meski ada beberapa yang sudah
menggunakan kompor gas. Namun bibinya Rian masih menggunakan tungku. Karena masih
banyak pohon, jadi masyarakat lebih memilih menggunakan tungku dengan memanfaatkan
kayu bakar.

Rian hendak menghampiri bibinya di dapur, tetapi asap yang mengepul dari tungku
membuatnya terbatuk-batuk.

"Uhuk... Uhuk..." Dengan mata berair Rian mengurungkan niatnya yang hendak mendekati
bibi.

"Udah tinggu aja di sana Ian, jangan ke dapur.” ujar bibinya mengingatkan agar Rian tidak
menghampirinya.

"Iya Bii..." jawab Rian sambil melangkah menuju beranda rumah. Ada paman Andi sedang
menikmati kopi hangat. Di sisinya sudah terdapat cangkul yang siapa di bawa ke ladang.

"Mang, nanti saja ke sawahnya, sarapan dulu," ujar Rian mengingatkan pamannya. Paman
Andi hanya tertawa lebar dan mempersilahkan Rian untuk duduk disampingnya.

"Iyaa, Mamang belum ke sawah kok, masih nunggu bibimu masak. Sok atuh duduk di sini.”
Rian mengangguk seraya duduk di samping pamannya.

" Kapan masuk kuliah lagi Ian?," Tanya paman Andi sambil menyeruput kopi yang tinggal
setengahnya. Paman Andi tidak merokok, dia hanya minum kopi saja terkadang ditemani
dengan pisang goreng buatan bibi yang super enak.

"Nanti mang, kira-kira bulan Agustus." jawab Rian sambil menghirup udara segar pedesaan.
Rian tinggal di jakarta dan kuliahpun di sana, setiap hari hanya bising kendaraan serta polusi
yang mencemari udara di lingkungannya. Maka dari itu saat liburan kuliah dia pergi ke
rumah pamannya mencari kesegaran.

"Mang, Rian mau jogging dulu yaa..”

Pamannya belum sempat menjawab, dia sudah menghilang diantara pagar pohon singkong di
depan rumah.

Tujuan Rian kali ini adalah mengunjungi sungai di ujung desa. Di sana juga banyak ibu-ibu
dan gadis desa yang mencucui pakaian, serta anak-anak yang sedang mandi. Sungainya tidak
begitu jauh dari rumah paman. Sambil jogging, Rian sesekali menyapa tetangga paman yang
dikenalnya. Penduduk desa yang ramah dan murah senyum itu membuat Rian merasa telah
lama tinggal di desa ini.

Diperjalanan, Rian melihat seorang gadis berkerudung merah bersama gerombolan gadis desa
yang hendak mencuci pakaian ke sungai. Kira-kira dua meter di depannya. Dia terlihat
membawa satu bak berisi pakaian cucian seperti gadis lainnya. Rian tertartik dengan gerak-
gerik gadis itu, sehingga dia mengikutinya sampai ke sungai.

Rian sampai di sungai. Air yang jernih dan bebas sampah mengalir dengan lancar sama
seperti dua tahun lalu saat Rian mandi bersama pamannya. Rian mencari-cari gadis kerudung
merah tadi. Ternyata dia ada di seberang sana sambil mengisi bak nya dengan air, gadis itu
dengan anggun menyibakkan kerudungnya yang hampir saja menyentuh air.

Rian asyik memainkan air dengan anak-anak, tanpa disadarinya gadis berjilbab merah itu
sudah pergi. Tanpa berkata-kata lagi dia lari mengejar gadis itu. Tiba-tiba dia melihat
gerombolan gadis-gadis desa itu tepat ada di depannya, hanya terhalangi oleh pohon bambu
kuning di pinggir jalan.

Rian bersembunyi diantara pepohonan bambu, saat gadis-gadis desa itu berhenti sebentar
melepaskan lelah. Gadis berkerudung merah itu terlihat menertawakan sesuatu, giginya yang
putih dan senyumnya yang manis dan polos membuat Rian terpesona.

Setelah beberapa saat, gerombolan gadis-gadis desa itu melanjutkan perjalanannya. Rian
membuntuti dari belakang dengan hati-hati. Setelah sampai di perumahan, beberapa gadis itu
terpencar menuju rumah masing-masing. Hanya tersisa gadis berkerudung merah dan gadis
berbaju biru yang berjalan beriringan.
" Aa, jalannya hati-hati atuh," ujar seseorang sambil tersenyum saat Rian terpeleset karena
sandalnya kena akar pohon. Rian hanya meringis malu.

Dia kembali fokus ke arah gadis itu. Tepat di persimpangan jalan, gadis itu berpisah dengan
temannya. Rian kehilangan jejak gadis itu. Rian mencari kesana kemari, tapi tidak juga dia
temukan gadis berkerudung merah itu. Rian menggerutu kesal merutuki dirinya, kenapa mesti
tidak hati-hati. seandainya tidak tersandung, dia tidak akan tertinggal jejak gadis itu.

Di sebelah kanan persimpangan jalan itu, Rian melihat sebuah rumah penuh tanaman mawar.
Sepertinya ini tanaman untuk di jual, pikir Rian. Dia memasuki pagar rumah itu dengan
penuh percaya diri.

“Permisi,” ujar Rian dengan sedikit keras sambil melihat-lihat bunga mawar yang sedang
mekar itu.

"Siapa di sana?" Sebuah suara yang halus membuat Rian tertegun lama.

"Heiiii, kamu teh lagi ngapain di sini?,” gadis berkerudung merah tadi muncul dihadapan
Rian. Gadis itu tersenyum geli sekaligus heran melihat Rian yang sedang mencium bunga
mawar dengan mata memandangi dirinya.

"Hei, kamu kenapa?," Gadis itu semakin bingung melihat Rian hanya diam mematung.
Untunglah nyamuk menyadarkannya bahwa dia sedang menghadapi gadis berkerudung
merah. Dia menyadari kalau dirinya tidak kehilangan jejak gadis itu. Malah dia berdiri tepat
dihadapannya.

"Awwwh," Rian mengibaskan tangannya kesakitan, saat nyamuk menggigitnya. Gadis itu
tertawa geli menyaksikan tingkah Rian dihadapannya.

"Hei, mau apa di sini?," gadis itu kembali mengulangi pertanyaannya.

Rian tersenyum, lalu tangannya merapikan rambutnya yang sedikit bergelombang. Senyum
termanis menghiasi bibirnya, Setelah merapikan rambut, tangannya dimasukkan kedalam
sweater, membuat siapapun yang melihatnya terpesona.

" Ada apa ?," Tanya gadis itu mengulangi pertanyaannya yang sama. Rian tersenyum dan
menjawab terus terang.

"Mengikuti kamu," jawab Rian terus terang.


"Keponakannya mang Andi yang dari Jakarta ya?," tanya gadis itu.

"Iya betul, aku Rian Aditya, keponakannya mang Andi." Rian mengulurkan tangannya
mengajak berkenalan dengan gadis itu. Gadis itu malah mengatupkan kedua tangannya di
depan dada.

"Sarah Nafisah, masa kamu lupa?,” kata-kata gadis itu seperti membangkitkan kembali
ingatnnya. Dia pernah melihatnya, tapi entahlah dimana. Wajah yang sepertinya tidak asing
bagi Rian.

"Sudahlah, nanti juga ingat. Kamu mau beli bunga?,” tanya gadis itu.

"Sudah kubilang, aku mengikutimu,” jawab Rian pasti. Meski niat awalnya Rian ingin
membeli bunga mawar itu, tapi karena entah kebetulan atau memang takdirnya untuk
bertemu dengan gadis itu, Rian merasa ini adalah takdir yang sudah direncanakan. Dirinya
harus bertemu dengan gadis berkerudung merah itu. Niatnya adalah memberi tahu perasaan
Rian kepada gadis itu yang sebenarnya.

“Iya, untuk apa kamu mengikuti ku?,” gadis itu dengan heran menanyakan maksud Rian
mengikutinya.

“ Karena aku mencintaimu sarahh.” dengan lantang Rian mengatakan cintanya. Dia
memejamkan matanya, mengharapkan jawaban yang indah dari Sarah.

“Kenapa menyebut nama putriku???,” Rian terbelalak saat melihat siapa yang berdiri
dihadapannya. Seorang ibu setengah baya sambil memegang sapu lidi berdiri dihadapan
Rian.

“ I..i..ibu siapa???,” Rian tergagap saat melihat siapa yang berdiri dihadapannya. Dia tidak
salah lihat, tadi berhadapan dengan Sarah si gadis berkerudung merah itu. Namun kini yang
sedang berdiri dihadapannya adalah seorang ibu setengah baya yang sedang kebingungan
melihat Rian.

“Saya penjual bunga di sini. Saya ibunya Sarah. Dari mana kamu mengenal anak saya?”
tanya ibu itu heran. Rian juga heran dengan situasinya seperti ini.

“Saya baru saja berkenalan bu,” jawab Rian penuh kebingungan, sambil menoleh ke kiri dan
ke kanan. Rian mencari-cari gadis berkerudung merah tadi. Namun hasilnya nihil, dia tidak
menemukan gadis itu.
“Kamu jangan bercanda yaaa, ini ibunya Sarah. Anak saya sudah meninggal dua minggu
yang lalu,” perkataan yang disertai dengan tetes air mata itu membuat Rian terkejut. Jadi tadi
benar bukan sarah. Lalu siapa?, pikir Rian bingung dan sedih.

“Sungguh, tadi Sarah berdiri dihadapanku dengan kerudung merah. Dia juga mencuci
pakaian di sungai dan.... “, dengan isakan Rian berusaha menjelaskan pertemuannya tadi.

“Kamu siapa emang nak?," Tanya ibu itu pada Rian.

“ Rian, keponakan mang Andi.” jawab Rian lesu.

“Ooh, nak Rian.” Ibu itu memandangi Rian seolah teringat sesuatu,

“Apa ibu mengenal saya?,” tanya Rian.

“Almarhumah anak saya dulu pernah membicarakanmu, tapi ibu tidak tahu apa yang dia
pikirkan tentang mu. Dia sudah lama mengenalmu. Waktu kecil dulu kamu sering ke sini dan
bermain bersama Sarah.”

Penjelasan ibunya sarah membuat Rian tergugu. Rian merasa sangat sesak, karena dia telah
jatuh cinta pada teman masa kecilnya, tetapi dia telah pergi lebih awal.

“Ibu, saya benar-benar lupa dengan wajah Sarah,” Rian tidak bisa lagi membendung air
matanya dan dia benar-benar menangis dengan keras. Ibu Sarah memeluk dirinya.

“Sudah, do’akan saja agar Sarah tenang di sana.” ibu Sarah menghibur Rian sekaligus
menghibur dirinya.

Tatapan rian kosong seakan-akan tidak ada lagi harapan dalam hidupnya.

“ Saraaaaaaahhhhhhhh......,” Rian menjerit mengucapkan nama Sarah dengan pedih.

“Nak Rian, ada seikat bunga mawar dari Sarah. Dia pernah membuat rangkaian bunga mawar
ini lalu ibu disuru mengeringkannya. Katanya untuk teman masa kecilnya. Dia keponakan
paman Andi dari Jakarta,” ibunya sarah memberikan seikat bunga mawar kering kepada Rian
dengan isak tangis.

Dengan tangan bergetar, Rian menerima seikat bunga mawar itu. Bunga yang dirangkai
penuh cinta oleh tangan yang telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Bionarasi:

Nama saya Siti Farika Nurul Awaliah, Hobbi saya menulis. Nama pena saya Taarapena. Saya
tinggal di kabupaten Bogor tepatnya di kecamatan Cibungbulang. Saya anak pertama dari
dua bersaudara. Saya sekarang sedang menempuh pendidikan S1 semester 3 di Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa jurusan Ekonomi Syariah.

Anda mungkin juga menyukai