Anda di halaman 1dari 4

Perpisahan - Cindy CR

Siang ini sangatlah terik, matahari dengan gagah berani menyinari bumi. Biasanya ia akan malu dan
bersembunyi di balik awan. Di jalanan menuju ke arah Desa Mawar, terlihat sebuah mobil besar yang
mengangkut serombongan keluarga. Mereka sepertinya sedang meributkan sesuatu.

"Pa, kenapa kita harus ke rumah nenek?" tanya anak perempuannya.

Papanya kemudian menjawab sambil tersenyum, "Nenek sedang sakit, jadi kota harus
menjenguknya." Si anak hanya mengangguk mengerti. Sudah lama juga dia tak berkunjung ke desa
neneknya ini.

"Dian, kamu mau makan siang?" tanya mamanya pada gadis kecil itu. Dian hanya mengangguk kecil.
Ia langsung mengambil roti yang ada di dalam kotak bekal dan memakannya dengan lahap.

Sesekali Dian menoleh ke arah luar mobil. Nampak pemandangan hijau yang menyejukkan. Jika
jendela di buka angin sepoi-sepoi akan masuk, tapi papanya tak memperbolehkan ia membuka
jendela, katanya takut masuk angin.

"Kita udah sampe," ucap mamanya sambil membangunkan adiknya Dian yang masih berumur 5
tahun.

Setelah terbangun si kecil langsung di gendong oleh mamanya untuk turun dari mobil. Sedangkan
Dian yang ada di bangku belakang langsung keluar sendiri dengan koper berisi pakaian di
tangannya.

"Dian udah gede sekarang," puji bik Risti sambil membantu Dian mengeluarkan barang-barangnya
yang lain. Gadis yang baru berumur 8 tahun itu hanya tersenyum. Bagaimanapun juga ia tak ingin
menjadi beban papa dan mamanya yang sudah susah payah merawat adik kecilnya itu.

Papanya kemudian menyahut, "Iya, Dian katanya gak mau nyusahin papa dan mama lagi." Dian
yang mendengar ucapan papanya hanya bisa tersenyum senang. Dia jadi bersemangat sekarang
dan berlari kecil menuju rumah neneknya.

Brakkk ...

Tanpa sadar ia menabrak seorang anak laki-laki yang sedang menangis sambil memegang mainan
kayu. Dian merasa kasihan padanya, tapi anak laki-laki itu langsung berlari meninggalkan ia seorang
diri. Papanya yang menyadari Dian terjatuh langsung menolong anaknya itu.

"Bik, tadi itu anak siapa?" tanya Hendra pada Bik Risti.

"Oh, itu anak yang sering main ke sini. Dia sering main sama tuan," jawab Bio Risti.

Hendra yang mendengar hal itu hanya mengangguk, ia kemudian mengendong putri kecilnya. "Papa,
lepasin aku masih bisa jalan sendiri."
"Enggak, kaki mu berdarah tuh."

Dengan sangat terpaksa Dian mengikuti kata papanya. Setelah masuk ke rumah, dia langsung
menuju ke kamar tempat neneknya di rawat.

"Nenek ...." rintihnya kecil.

"Dian, kamu rupanya udah sampe," ucap kakeknya yang kebetulan habis dari sholat Dzuhur.

"Iya, kek." Dian langsung mencium tangan kakeknya dan memeluknya dengan erat.

"Pasti berat ya, jadi seorang kakak."

Dian hanya bisa menangis, selama ini ia tak berani menangis di depan papa dan mamanya. Walau
sedang sakit parah sekalipun, dia akan menyuruh pengasuhnya untuk merahasiakan hal itu dari
kedua orang tuanya.

"Dian udah berjuang keras, ini nenek kasih kamu hadiah," sahut neneknya yang ternyata sudah
bangun.

"Nenek!!" teriak Dian kesenangan. Ia langsung memeluk neneknya itu sambil menangis. Papa dan
mamanya yang mendengar teriakan Dian langsung berlari ke arah kamar tersebut.

"Dian, mama kira ada apa tadi," bentak mamanya yang kesal.

"Maaf ma, aku cuma kesenangan aja lihat nenek udah bangun," jawab Dian yang bersembunyi di
balik kakeknya.

"Okey, mama maafin tapi jangan diulangin lagi."

"Jangan kasar-kasar sama anakmu sendiri," tegur mertuanya itu.

"Maaf buk, aku lagi stres akhir-akhir ini karena kerjaan" jawab Selly sambil memegang kepalanya.

"Banyak-banyak berdoa dan sholat tepat waktu," pesan ayah mertuanya yang kemudian mengajak
Dian ke taman belakang rumah.

"Tamannya cantik, kamu suka?" tanya kakeknya.

"Tentu, aku suka banget."

"Kakek, aku sudah buat ulang bo--" ucapan anak laki-laki itu langsung berhenti saat melihat seorang
gadis kecil di samping orang yang ia panggil kakek tadi.

"Oh iya, kenalin namanya Fariz, dia pandai dalam membuat boneka kayu."

"H-hai," sapa Dian malu-malu. Laki-laki yang bernama Fariz itu hanya menunduk malu sambil
memberikan Dian sebuah boneka kayu yang cantik.

"Eh, untuk aku."

"I-iya, ambillah."
Dian sangat senang, ia memainkan boneka itu dan melupakan rasa malunya. Dia sangat senang,
Fariz pun jadi ikut bermain bersamanya hingga tanpa sadar hari sudah sore.

"Aku pulang duluan ya," pamit Fariz kepada kakek dan Dian. Laki-laki itu kemudian berlari menuju ke
arah perkebunan sayur yang tak jauh dari rumah kakek Dian. Sedangkan Dian dan kakeknya
langsung masuk ke dalam rumah.

Keesokan harinya mereka berdua bermain lagi, begitupun hari-hari berikutnya. Seiring berjalannya
waktu nenek Dian akhirnya sembuh. Karena neneknya sudah sembuh, Dian dan keluarganya akan
pulang besok sore.

"Dian, kamu kenapa gak makan?" tanya papanya yang khawatir karena Dian hanya mengaduk-aduk
makanannya saja.

"Eh, gak ada apa-apa kok pa," jawab Dian dengan senyuman palsu di wajahnya.

"Hendry, sebelum kamu pulang besok sore, Ayah boleh kan ajak anakmu ini ke bazar desa?"

"Tentu boleh," jawab Hendry senang. Dia sangat ingin mengajak Dian ke sana tapi kerjaannya masih
menumpuk.

"Besok Dian, kakek, dan Fariz akan ke bazar desa, jadi jangan sedih lagi ya," papar kakeknya itu.

Dian mengangguk senang dan langsung melahap habis makannya. Setelah itu dia langsung ke
kamar dan tertidur pulas.

"Akhirnya aku bisa ke sini!" teriak Dian kesenangan. Dia mengajak Fariz dan kakek berkeliling bazar
Desa sambil melihat barang-barang yang bagus. Dian sangat ingin membawa oleh-oleh untuk kedua
orang tuanya.

"Dian, kamu pergi hari ini ya."

"Eh, i-iya."

Fariz menunduk lesu, dia kemudian meminta izin pada kakek Dian untuk berpisah sebentar karena
ingin membeli sesuatu.

"Kakek, apa Fariz marah sama aku?" tanya Dian pada kakeknya.

"Enggak kok, bentar lagi dia balik ke sini, kita lanjuti aja jalan-jalannya," jawab kakeknya.

Dian hanya mengangguk, ia kemudian mengandeng tangan kakeknya dan berkeliling bazar. Sesekali
dia membeli barang cantik dan berfoto dengan kakeknya. Tanpa sadar hari pun sudah menjadi sore,
tapi Fariz belum juga kembali.

"Fariz kemana kek?"

"Eh, itu Fariz," tunjuk kakeknya ke arah kerumunan orang banyak. Tampak di sana Fariz yang
sedang berusaha menerobos tapi kalah dengan orang yang berbadan lebih besar.
"Fa ... Riz ...!!" teriak Dian yang mencoba meraih tangan Fariz. Tapi, Fariz menyuruhnya untuk tidak
mendekat. Kakeknya kemudian menahan Dian untuk tak mendekati kerumunan.

"Dian, kita udah mau pulang ke kota, cepat masuk mobil!" pekik Papanya yang tiba-tiba saja sudah
ada di sana.

Dian menggeleng kuat, ia sangat ingin menemui Fariz sekali lagi. Fariz sepertinya mengerti kalo
sudah waktunya Dian untuk pulang. Dia menyuruh kakek Dian untuk langsung membawa Dian ke
mobil.

"Maaf Dian."

Kakeknya langsung mengendong Dian ke mobil. Kemudian mobil itu langsung melaju dengan
kecepatan tinggi. Dian menangis sambil menoleh ke arah jendela belakang. Dia melihat Fariz yang
menangis sambil berusaha berlari mengejarnya.

"KITA PASTI AKAN BERTEMU KEMBALI!!" teriak Fariz yang terjatuh karena tak sanggup lagi
mengejar Dian.

Anda mungkin juga menyukai