Anda di halaman 1dari 4

Batu Nissan Ibu

Semerbak angin yang sejuk, daun-daun bergoyang, semilir angin yang sejuk, Terlihat Gadis
sedang berjalan menghampiri orang tuanya,

"Ri, bawa kan makananya!" Ibunya memanggil, Riri memberikan makanan untuk orang
tuanya, yang sedang bekerja di ladang, tak lama setelah Riri selesai mengantar makanan, Riri
bergegas pulang, di tengah perjalanan, Riri bertemu seorang laki-laki sederhana, berpakaian
kumuh dengan sepeda bututnya.

"Hai, boleh kenalan?” sapa laki-laki itu sembari mengulurkan tangan, “Saya Aldi, nama kamu
siapa?", "Saya Riri" jawabnya lirih.

Tak lama dari pertemuan itu, Aldi dan Riri memadu kasih bak burung merpati yang takan
terpisah, hingga suatu malam Aldi datang kerumah Riri, berniat untuk melamarnya.

"Tok tok tok.....permisi", Suara Aldi, mengetuk pintu rumah Riri "Siapa di luar" saut ibu Riri,
lalu membukakannya pintu, "Siapa ya?” tanya ibu Riri, "Riri nya ada Bu?, saya Aldi, ini Ayah
dan Ibu saya, boleh kami masuk?" tanya Aldi.

Riri dan Ayahnya keluar, menemui Aldi dan keluarga, "Ayo silahkan duduk" sapa Ayah Riri
dengan ramah. "Kami datang kemari berniat untuk melamar anak Bapak dan Ibu" kata Ayah
Aldi, "Kamu kerja apa?" Tanya Ibu Riri, "Saya petani biasa bu" jawab Aldi,sambil
menundukan kepala, "Anak saya mau di beri makan apa?" saut ibu Riri ketus, "Sudah Bu, Riri
nya juga mau" bujuk Ayah Riri, Riri pun tersipu malu, wajahnya mulai memerah, dan
menerima lamaran Aldi.

Setelah lamaran malam itu, Riri dan Aldi menikah, berkat kerja keras Aldi, mereka membeli
sebuah rumah, tiga tahun menikah mereka di karuniai seorang gadis cantik yang bernama
Nisa, setelah di dahului oleh dua orang kakaknya yang tidak dapat melihat dunia.

Betapa adilnya tuhan, di saat yang bahagia di situpun keluarga kecilnya di uji.

"Bayar hutangmu!" bentak Lintah darah yang keji itu kepada Ibu Riri, "Akan saya lunasi, beri
saya waktu, saya mohon" pinta ibu Riri kepada mereka.

Anak mana yang tega melihat orang tuanya tertimpa masalah, karena ulah si lintah darat yang
tidak tau malu, Tak kuasa Riri yang melihat kejadian itu, tak tega melihat orang tuanya terlilit
hutang, Riri pun sebagai anak membantu melunasi hutang.
"Biar rumahku saja bu yang di jual, untuk membayar hutang Ibu, nanti sisanya biar ku jadikan
modal."

Riri dan Aldi pergi ke daerah terpencil, sebuah pegunungan, dengan warga yang bisa di hitung
jumlahnya, Hutan, Pepohonan yang masih menjulang tinggi, Angin berhembus kencang, Air
sungai begitu deras mengalir, dengan bermodalkan sisa uang penjualan rumahnya, mereka
menyewa sepetak lahan pertanian milik kakek-kakek tua, mendirikan sebuah gubuk kecil
berdinding Bambu dan beratap daun Alang-Alang.

"Aku akan berkerja sekuat tenaga, untukmu dan anak-anak kita, bersabarlah" ucap Aldi, Riri
tersenyum mendengar ucap Suaminya.

Hari terus berlalu, gadis kecilnya mulai tumbuh remaja, mereka hidup bahagia, walaupun
dengan serba keterbatasan yang mereka rasakan.

"Aku mengorbankan hidupku, ikut dengan Suamiku, untuk masa depanku dan Anak-
Anakku." gumamnya. Saat duduk di bawah Pohon, istirahat sejenak menghilangkan sedikit
lelahnya, sambil melihat gadis kecilnya bermain, tertawa, gembira.

Tiba saat gadis kecilnya untuk bersekolah, Riri mengantar gadisnya ke desa, tinggal bersama
Nenek dan Kakeknya, Riri mendaftarkan Nisa Sekolah dasar di desanya. "Bu, aku titip Nisa
ya, aku harus menyusul Suamiku, untuk mencari biaya sekolah Nisa." ucap Riri dengan mata
berlinangan air mata, dan sambil memeluk ibunya.

Waktu terus berlalu, gadis kecilnya tumbuh menjadi remaja yang cantik, namun ia jarang
bertemu Orang tuanya, bahkan hari Raya Idhul Fitri pun Orang tuanya tidak pulang ke desa,
kini Nisa sudah menyelesaikan sekolah sarjananya, dari ia beranjak ke sekolah dasar hingga
sarjana, ia selalu mendapat prestasi, untuk membanggakan dan menarik perhatian kedua
orangtuanya, namun Riri dan Aldi pun tetap sibuk bekerja, hingga Nisa memutuskan untuk
bekerja di daerah sebrang, ikut dengan paman dan bibinya.

Pagi itu, Riri hanya menatap makanan yang sudah di hidangkan di meja makannya, "Kamu
kenapa tidak mau makan Ri?" tanya Aldi, "Tenggorokanku sakit untuk menelan" jawab Riri,
matanya mulai sayu, wajah pucat, leher mulai membesar. Aldi memutuskan untuk membawa
istrinya ke dokter, "Ada apa dengan Istri saya dok?" tanya Aldi kepada dokter "Istri Bapak
tidak memiliki penyakit yang serius, hanya radang tenggorokan biasa, mungkin salah makan"
pulang.

Menjelang sore keadaannya semakin bertambah parah, perasaan Aldi tidak tenang, Khawatir
akan terjadi sesuatu kepada istrinya, Seorang tetangga menyarankan meminta bantuan kepada
seorang Kyai, setelah Riri di minta meminum segelas air putih, sakit tenggokan yang di derita
Riri sembuh, lehernya kembali ke ukuran normal, Riri mulai lahap makan dan minum, dan
beraktifitas seperti biasa.

"Sebaiknya kamu pulang saja ke desa" perintah Aldi.

"Saya tidak apa-apa, saya sehat, nanti siapa yang menemanimu di sini" ucap Riri.
"Perasaanku kenapa selalu gelisah, apa yang terjadi?" gumam Nisa, tak lama telepon
berdering "Tringgggg.....tringggggg....., halo siapa ini?" jawab Nisa, "Ini Bude Aminah,
bilang sama pamanmu, untuk menjemput Ibumu, Ibumu sakit nak" seorang tetangga
mengabari diam-diam Nisa. "Ibu sakit apa bude?" tanya Nisa panik.

Nisa langsung menelepon Dewi di desa "Dek bilang paman, jemput ibu sekarang!" perintah
Nissa, Dewi adalah anak kedua Riri dan Aldi setelah Nisa berusia tujuh tahun, "Ada apa
mbak?" Tanya Dewi. "Sudah bilang saja, Mbak juga belum tau keadaan Ibu bagimana,
kemarin Ibu baik-baik sajakan?" Nisa meyakinkan dirinya.

"Ri kamu harus pulang!" pinta Bude Aminah, "Saya tidak apa-apa Bude, saya tidak mau
pulang!" sentak Riri, "Kamu harus pulang, kamu harus berobat" bujuk Bude Aminah.

Setelah percakapan panjang Riri dengan bude Aminah, akhirnya Riri pun setuju untuk pulang
ke desa, Riri mulai berkemas, "Mau di bantu ganti bajunya Ri?" tanya Bude Aminah, "Tidak
usah Bude aku bisa sendiri" jawab Riri.

Pinta Aldi "Ku temani pulang ya?" "Tak usah, kamu di sini saja, urus Ternak dan
Tanamannya, aku bisa sendiri, biar di temani Bude saja" jawab Riri. Pagi itu Riri berperilaku
seperti tak biasanya.

Riri bersama Bude dan tukang Ojek, Riri berada di tengah, turun ke dusun, karena setelah
hujan turun, mobil tidak dapat naik ke pegunungan.

"Berhenti dulu Pak, Riri miring duduknya" pinta Bude ke tukang Ojek, pada saat itu Riri
bercucuran keringat dingin, leher yang mulai membiru, motor berhenti mendadak di dekat
sebuah Makam besar, Riri turun dari motor, batuk-batuk, hingga muntah sampai keluar busa,
wajah nya semakin pucat, lemas, Riri terjatuh hingga tersungkur ke tanah seketika, tepat
pukul 05:30 pagi Riri menghembuskan nafas terakhirnya.

Bude Aminah yang tidak tau panik, "Ri kamu kenapa, Ri.....Riri kamu kenapa?", teriak Bude
Aminah, Aldi yang tidak di perbolehkan menghantar istrinya, diam-diam mengikuti dari
belakang, Bude Aminah semakin panik, Riri di naikan kembali ke atas motor, di pegangi oleh
Bude Aminah, ketika sampai di dusun, Riri langsung di bawa ke dokter terdekat, Adik-adik
Riri sudah menunggu.

"Tuhan lebih menyayangi Riri, kalian harus iklas" kata dokter, "Ririiiii!!!!!" teriak Aldi, yang
baru saja sampai dan berdiri di depan pintu, Aldi menangis terisak-isak, lemas hingga terjatuh
ke lantai.

"Kenapa kamu pergi Ri, kenapa kamu pergi lebih dulu, baru saja kita mau menikmati hasil
kerja keras kita selam ini, Ririiiii!!!!!" Tangis Aldi "Sabar mas" Pinta Adik-adik Riri.

"Tringgggg.....tringgggg" telepon berbunyi tepatnya Pukul 08:00 pagi, "Halo paman!,


bagaimana keadaan ibu?" tanya Nisa merengek, panik, ingin mengetahui keadaan ibunya,
"Ibu tidak apa-apa, hanya saja kamu harus pulang, untuk memutuskan Ibumu mau di operasi
atau bagaimana," pamannya menenangkan, "Ibu kenapa paman, jawab dulu, kenapa Nisa
harus pulang" pinta Nisa sambil menangis tersendu-sendu, "Sudah pulang sekarang!,
tut.....tut....." perintah Adik Riri dan langsung menutup teleponnya.

Nisa panik, kebingungan, bertanya-tanya ada apa dengan Ibunya, Nisa menelepon adiknya,
tidak di angkat, "Tring....tring, halo Nisa, ayo kita pulang sekarang, paman jemput, kamu
siap-siap" telepon dari adik Riri yang di sebrang dekat dengan Nisa, "Ibu kenapa paman, ibu
kenapa?" rengek Nisa "Ibu mu sudah tidak ada Sa, ibumu sudah meninggal!", jawab paman
Nisa, "Paman bohong kan?, Ibu tidak apa-apa kan?, Ibu tidak apa-apa kan paman!" tanya Nisa
tak percaya, "Ayo pulang!" Ajak paman Nisa.

Tiket pesawat habis, tengah perjalanan macet, laju kapal tak seperti biasanya, saat ini laju
sangat lambat, waktu sudah menunjukan pukul 4:00 sore "Tring....tring..... halo?, ini gimana
mas, mau di makamkan atau menunggu, jika menunggu kasian, Mbak harus menginap lagi,"
"Tunggu!, tanya Nisa dulu" jawab paman Nisa, "Kamu mau di tunggu atau bagaimana, kasian
Ibumu kalau menunggu harus menginap" tanya paman Nisa, setelah di kasih pengertian oleh
pamannya, akhirnya Nisa setuju ibunya di makamkan tanpa menunggu kedatangan Nisa,
sampai di rumah, Nisa turun dari mobil, lari memeluk pamanya yang mengurus Jenazah
ibunya, "Mana ibu man!, mana!, kenapa jahat man, ibu mana!" tangis Nisa, terisak -isak,
hingga tak sadarkan diri.

Hanya tinggal penyesalan, Nisa hanya melihat batu nissan ibunya, duka yang teramat dalam,
sedari kecil Nisa ingin sekali di tunggu ibunya, seperti keluarga pada umumnya, namun belum
kesampaian, bahkan di saat-saat terakhir pun Nisa tak dapat menemani ibunya.

Anda mungkin juga menyukai