Anda di halaman 1dari 132

CERITA WA: Kembang Titipan #1

Cerita bersambung
Karya : Tien Kumalasari
Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada satu bis penuh
yang datang, bersama rombongan pak lurah Mardi. Ini pestanya Bayu dan Lastri.
Pernikahan yang diwarnai oleh gempita bahagia, yang melalui liku peritiwa yang
sangat rumit dan panjang dan semula susah dijalani. Tapi bahagia itu akhirnya
datang, bagai bintang terburai diantara gemerlap pesta yang digelar oleh keluarga
Marsudi.
Timan terus mencari-cari. Ia sudah menyalami pak lurah Mardi dan isterinya, juga bu
lurah sepuh yang ikut bersama, lalu beberapa kerabat desa yang dekat dengan Lastri.
Lalu mBak Kliwon. Timan mengamati mbah Kliwon, ada yang dicarinya, dikiri kanannya,
atau belakangnya, namun yang dicari tak juga ditemukan.
"Nak Timan..." sapaan mbak Kliwon jurstru membuatnya terkejut, karena dia tak
segera menyapanya.
"Eh, pak.. ma'af, selamat datang. Sendiri ?"
"Itu, banyak sekali yang datang bersama."
Timan menebarkan pandangan kesekelilingnya.
"Maksud saya, dik Sri ?"
"Oh... si Sri .. tidak ikut nak, nggak dibolehin sama bapaknya."
Ada yang tiba-tiba hilang dari hatinya. Jadi dia nggak datang. Timan lalu
mempersilahkan tamu-tamu duduk ditempat yang sudah disediakan.
Rasa kecewa menyelimuti hatinya, karema yang diharapkan datang ternyata takada.
Dilarang oleh bapaknya? Mengapa? Ini kan sebuah pesta, dan anak muda mana yang
nggak suka datang kesebuah pesta? Apalagi pesta seapik ini.
Ah, sudahlah, Timan kemudian menghibur dirinya dengan beramah tamah bersama pak
lurah Mardi dan isterinya, yang keli itu juga membawa anaknya yang masih bayi.
"Tidak terasa, belum sempat menengok bu lurah waktu melahirkan, tau-tau sudah
segede ini bayinya," kata Timan sambil mengelus pipi Jarot, anak pak lurah.
"Iya mas Timan, ini sudah lima bulan lebih."
"Wah, lumayan lama tidak kesana saya."
"Kapan mas Timan menyusul?" goda lurah Mardi.
Timan tertawa.
"Belm ada yang mau, pak lurah.."
"Masa sih.."
"Iya, benar, carikan deh pak."
"Benar, mau saya carikan? Gadis desa mau?"
Timan tertawa.
"Ya mau dong pak, kan Timan juga orang desa. Memangnya kenapa kalau orang desa? "
"Baguslah, nanti kita carikan ya bu," kata pak lurah sambil menoleh kearah
isterinya yang sejak tadi diam saja.
"Itu lho mas, si Sri.. dia cantik kan?" tiba-tiba kata bu lurah yang tentu saja
membuat Timan berdebar-debar.
"Haa... iya...itu cucunya mbah Kliwon."
"Ada apa, nyebut-nyebut nama saya," tiba-tiba mbah Kliwon yang duduk dikursi
belakangnya nyeletuk. Pak lurah tertawa.
"Ini mbah, mas Timan, ingin cari jodoh gadis desa. mBah Kliwon kan punya cucu yang
sudah dewasa dan cantik."
mBah Kliwon tertawa.
"Jodoh itu kan Gusti Allah yang menentukan. Kalau memang jodohnya pasti juga nanti
akan kesampaian. Ya kan nak Timan."
"Mengapa tidak diajak pak?" tanya Timan. Ia lupa tadi sudah menanyakannya.
"Anaknya ingin ikut, sudah menyiapkan baju bagus. Bapaknya itu susah. Nggak
diijinin tadi."
"Oh..."
Timan hanya mengangguk-angguk. Jawaban itu sudah didengarnya, rasa kecewa itu juga
sudah dirasakannya.
Gempita penuh bahagia itu masih berlangsung. Timan menoleh kearah pelaminan.
Dilihatnya Lastri dan Bayu dengan wajah berseri seri menerima ucapan selamat dari
para tamu undangan. Timan mengehela nafas. Ada do'a dipanjatkannya. Semoga aku akan
segera menyusulnya. Lalu terbayang wajah lugu dengan senyum malu-malu ketika
bertemu untuk pertama kalinya, tapi membuat dadanya bedebar debar.
***
Si Sri duduk dilincak depan rumahnya, memandangi bulan sepotong yang mengambang
diawang. Ada rasa kecewa ketika ayahnya melarang dirinya ikut bersama mbah Kliwon
untuk datang kepesta pernikahan Lastri.
"Tidak Sri, kamu nggak boleh ikut."
"Tapi aku bersama simbah pak."
"Biar bersama mbahmu, tetap saja nggak boleh ikut. Kamu itu sudah dewasa, nggak
pantas pergi kemana mana." kata pak Darmin sengit.
Si Sri tak menjawab. Ia tak tau mengapa kalau sudah dewasa kemudian nggak boleh
pergi kemana-mana..
"Perempuan kalau sudah dewasa harusnya tinggal dirumah saja. Bapak memberi kamu
ijin untuk membantu mbahmu, karena Lastri memberi kamu gaji yang bagus. Bisa
menambah uang buat kita makan. Tapi selain kesitu, kamu nggak boleh pergi kemana-
mana." kata pak Darmin lagi sore itu.
Si Sri termangu. Ia tetap saja tak bisa mencerna apa yang dikatakan ayahnya. Apa
dia gadis pingitan? Dia punya banyak teman sebaya, tapi orang tuanya tidak begitu
mengikat anaknya sampai nggak boleh keluar kemana-mana.
"Bagaimana ya, pengantin orang kota? Seramai pengantin disini? Lalu menanggap
wayang? Mertua yu Lastri kan orang berada. Atau ada joged-joged seperti ketika pak
lurah Mardi menikah?" gumam si Sri sambil terus memandangi rembulan. Terkadang
segumpal awan lewat, menutupi rembulan itu, sekilas, kemudian bersinar lagi dengan
sangat cemerlang.
"Enaknya jadi rembulan, bisa menatap gumpalan mega, menatap bumi dan sekitarnya,
dan mungkin juga dia sedang menatap aku," lagi-lagi si Sri bergumam.
Terdengar pintu berderit, lalu pak Darmin melongok keluar.
"Sri, kamu itu masih diluar ta?"
"Iya pak, belum ngantuk."
"Ini sudah malam, nggak bagus anak gadis sudah malam masih duduk diluar rumah."
Si Sri menghela nafas. Anak gadis nggak boleh pergi kecuali bekerja, nggak boleh
ada diluar sa'at malam, lalu apa lagi?
Tapi si Sri seorang anak yang patuh kepada orang tuanya, atau lebih tepatnya takut,
karena ayahnya sangat keras dalam bersikap. Tapi sesungguhnya dia kurang suka pada
sikap ayahnya.
Ia merasa, ibunya meninggal karena ayahnya kurang memperhatikannya.
Si Sri masih ingat, ketika ibunya sakit keras, kemudian sampai meninggal, sedih
rasanya.
Darmin adalah seorang penjudi. Harta dan rumahnya sudah habis terjual, dan
meninggalkan banyak hutang.
Kemudian ibunya sakit-sakitan. O, sedihnya ketika itu.
"Bapak, tolonglah, simbok sakit, ayo kita bawa ke dokter." kata si Sri yang waktu
itu masih kira-kira berumur 6 tahun.
"Enak saja ke dokter, memangnya ke dokter itu tidak bayar? Besok bawa saja ke mbah
Kerto, tukang pijat. Dia itu juga orang pintar. Pasti bisa menyembuhkan mbokmu,"
kate Darmin yang baru saja pulang menjelang pagi, lalu langsung masuk kekamarnya
dan tak lama kemudian terdengar dengkurnya yang keras.
"Sudah Sri, kamu tidak usah bilang apa-apa pada bapakmu, simbok tidak apa-apa.,
kembalilah tidur," kata ibunya lemah.
Si Sri membaringkan tubuhnya disamping ibunya, memegangi keningnya yang terasa
panas."
"Simbok panas sekali."
"Tidak apa-apa. Besok carilah daun dadap serep untuk mengompres simbokmu ini. Pasti
panasnya turun."
Si Sri kecil belum bisa berfikir jauh. Ia tidak tau apa benar daun dadap bisa
menyembuhkan ibunya. Pagi-pagi dia berjalan menyusuri kampung dan bertanya kepada
setiap orang apa ada yang mempunyai pohon dadap.
Lalu pohon itu ditemukannya. Si Sri minta beberapa lembar lalu dibawanya pulang.
Dirumah bapaknya belum bangun.
Ibunya masih tergolek ditempat tidur.
Si Sri membawa daun dadap itu kepada ibunya.
"mBok, ini daun dadapnya," katanya sambil menunjukkan daun yang sudah dicucinya.
"Remas-remas dan tempelkan dikening simbok ini."
Si Sri menurut, suara ibunya sangat lemah, panasnya masih tinggi. ia menempelkan
daun yang sudah diremasnya di kening ibunya.
Kemudian ia pergi kedapur untuk membuatkan minuman hangat, dan merebus ketela untuk
sarapan.
Tapi hari itu juga sang simbok meninggal.
Si Sri menangis tak henti-hentinya.
Terdengar lagi pintu berderit.
"Sri...masih disitu? Masuklah..."
Kali itu si Sri menurut.
Udara dingin menusuk tulang.
Si Sri hampir menggigil.
Ia masuk kekamarnya dan mencoba merebahkan dirinya.
Tapi ingatan akan simbok membuatnya tak bisa tidur.
Lalu rasa kesal terhadap ayahnya kembali meliputi hatinya.
***
Darmin juga sudah masuk kedalam kamarnya.
Ia merasa semakin tua, dan tak mampu bekerja.
Ia tak merasa sungkan makan dari jerih payah si Sri, dan terkadang diberi oleh ayah
mertuanya.
Ia ingat, dulu ketika muda dia amat kuat dan perkasa.
Ia bekerja dikebun tuan Cokro dan dipercaya membawahi pekerja-pekerja disana.
Namun Darmin punya kebiasaan buruk. Ia suka berjudi dan minum minuman keras.
Kalau saja dia bisa memanfa'atkan gajinya, ia bisa hidup layak bersama isteri dan
seorang anaknya. Tapi tidak, uang dihabiskannya dimeja judi.
Rumah pemberian mertuanya sudah masuk gadai.
Lalu dia tak mampu menebusnya, lalu rumah itu hilang, lalu isterinya meninggal,
lalu hidupnya terlilit utang.
Ia kembali ke desa Sarangan dan mertuanya membuatkan gubug sederhana untuk dirinya
dan Si Sri.
Beruntung kemudian si Sri bisa membantu mbah Kliwon untuk mencatat barang-barang
yang diperdagangkan.
Karena Lastri, dia bersama ayahnya bisa makan sehari tiga kali.
Terkadang mbah Kliwon membantunya, memberi beras dan sayuran.
Darmin tak mampu bekerja, atau mungkin juga sedikit malas.
Sebenarnya bisa saja dia membantu para petani, menggarap kebun mereka dan
mendapatkan sedikit upah, tapi dia tidak melakukannya.
Badannya yang kurus membuat dia merasa lemah. Yang dikerjakannya dirumah hanya
duduk, dilayani oleh anak semata wayangnya sebelum berangkat kerumah mbah Kliwon.
Selebihnya dia hanya tiduran, dan masih merokok pula.
Si Sri membiarkannya. Mungkin segan menegur ayahnya, atau justru takut dihardiknya.
Jadi sepenuhnya dialah yang mencari makan untuk dirinya dan ayahnya.
mBak Kliwon bukannya tak tau kelakuan menantunya, tapi dia seorang tua yang tidak
banyak bicara. Ia melakukan apa yang bisa dilakukan. Tak pernah sekalipun dia
menegurnya.
***
Jam sembilan malam, pesta pernikahan Bayu dan Lastri sudah usai. Bayu dan Lastri
menemui pak Lurah dengan wajah berseri.
"Terima kasih pak lurah, sudah bersusah payah datang menghadiri pernikahan kami,"
kata Bayu.
"Sudah seharusnya kami datang. Ini pesta yang sangat luar biasa. Saya ikut
merasakan suka dukanya Lastri ketika jauh dari mas Bayu," kata lurah Mardi sambil
melirik kearah Lastri.
"Tapi sekarang mereka sudah bahagia mas, yang lalu nggak usah diingat ingat lagi,
iya kan Tri?" sambung Marni yang sudah menjadi bu lurah.
"Iya yu, aduh.. Jarot sudah gede, lucunya, kok enak sekali tidurnya, nggak terusik
keramaian yang begini memekakkan telinga," kata Lastri sambil mengelus kepala Jarot
kecil, yang lelap dalam gendongan ibunya.
"Dia kalau sudah tidur nggak perduli suara apapun . Semoga kamu segera dapat
momongan ya Tri."
"Iya yu, do'akan ya yu."
"Mana mbah KLiwon?" kata Lastri lagi sambil mencari-cari.
"Itu, disana, sama mas Timan."
"Oh.. iya, mengapa Si Sri tidakikut?"
"Katanya tadi juga mau ikut, tapi dilarang oleh bapaknya," kata Marni.
"Kok dilarang, memangnya kenapa?"
"Nggak tau tuh, kan kamu tau sendiri, pak Darmin itu orangnya susah."
"Iya, aku belum pernah berbincang sama dia. Kayaknya jarang keluar rumah ya yu."
"Iya, kapan-kapan datang kerumah Tri."
"Iya yu, nanti kalau sudah selesai semuanya."
"Mas Timaaan," teriak Lastri.
Timan sedang berbincang dengan mbah Kliwon.
"Baiklah nak, nanti akan saya sampaikan. Tadi juga mau saya ajak, tapi bagaimana
lagi, bapaknya susah diajak bicara."
"Mas Timaan !" Lastri berteriaklagi.
Timan bergegas mendekat, diikuti mbah Kliwon.
"Pasti ada pesan khusus yang dititipkan mbah Kliwon, ya kan?" gola Lastri.
"Tau aja kamu.." kata Timan tersipu.
"Ya taulah, tapi baguslah, si Sri gadis yang baik."
"Saya dukung mas Timan kalau mau mendekati si Sri," kata pak lurah.
Semua tertawa, dan Timan hanya tersipu.
***
Pagi itu si Sri seperti biasa menyiapkan minum teh hangat dan sarapan untuk
bapaknya, sebelum berangkat bekerja.
Ada teh hangat dan kimpul rebus yang diletakkan di piring.
Darmin belum bangun, tapi si Sri telah menanak nasi dan oseng kangkung yang
diletakkannya dimeja. Ada sepotong ikan asin sisa kemarin yang sudah digoreng
ulang.
Si Sri bersiap untuk berangkat ketika tiba-tiba pak Darmin memanggilnya.
"Sri..!"
"Ya pak, ada apa, si Sri mau berangkat," kata si Sri sambil menghentikan
langkahnya.
"Hari masih pagi. Masih gelap begini," kata pak Darmin sambil melangkah keluar dari
kamarnya.
"Biasanya Sri juga berangkat ketika hari masih gelap. Keburu banyak barang yang
datang dan nanti simbah kebingungan sendiri."
"Tunggu sebentar."
"Ada apa?"
"Rokok bapak habis nduk," kata pak Darmin tanpa sungkan.
Si Sri menghela nafas. Ia membuka dompet kecilnya dan mengeluarkan selembar puluhan
ribu."
"Mengapa cuma sepuluh ribu?"
"Uang Sri tinggal duapuluh ribu pak."
"Ya sudah mana yang duapuluh ribu itu sekalian, nanti bapak akan beli sekalian
untuk persediaan."
Si Sri mengambil lagi puluhan ribu yang tertinggal, diserahkan ayahnya lalu dia
melangkah keluar rumah.
Pak Darmin meletakkan uang pemberian si Sri diatas meja, menghirup tehnya,
menyantap tiga potong kimpul yang disediakannya.
Ia menghabiskannya dengan lahap, lalu menutupkan pintu depan, kemudian kembali
kekamarnya, tidur.
***
"Aku kesiangan ya mbah ?" kata si Sri sambul memasuki ruangan, dimana mbah Kliwon
sedang menerima beberapa keranjang sayuran dirumah Lastri.
"Enggak, sudah simbah pilah-pilah semuanya, kamu tinggal mencatat."
"Oh.. ya."
"Kamu sudah sarapan?"
"Nanti saja mbah."
"Sarapan saja dulu, ada nasi jagung sama sambal teri pemberian bu lurah baru saja."
"Wah, enaknya.. yu Marni rajin ya mbah, jam segini sudah masak."
"Iya benar, hampir setiap pagi simbah dikirimi sarapan."
"Rajin dan baik hatinya."
"Ya sudah sarapan dulu."
"Ayo sama simbah kalau begitu."
Selama sarapan itu, mbah Kliwon menatap wajah cucunya. Ada duka disembunyikannya.
Pasti karena ulah bapaknya.
"Kamu kenapa?"
"Apanya mbah?"
"Wajahmu kusut begitu.."
Si Sri meneguk air putih yang ada didekatnya, sambel buatan yu Marni sangat pedas.
"Kenapa?"
"Sambelnya pedas sekali mbah, tapi enak."
"Maksud simbah, wajahmu kusut begitu, ada apa?"
"Nggak apa-apa mbah."
"Dimarahi bapakmu lagi?"
"Enggak mbah.."
"Jangan bohong."
Si Sri terdiam.
"Kamu masih kecewa karena kemarin nggak boleh ikut ke pesta pernikahannya Lastri?"
"Iya sih mbah, kecewa. Bagaimana yu Lastri? Pasti cantik sekali dengan pakaian
pengantinnya."
"Iya lah, kan Lastri memang cantik."
"Alangkah beruntungnya dia."
"Kamu sudah pengin nikah?"
"Ah, simbah.. enggak.. "
"Enggak gimana, kamu itu sudah dewasa, sudah sa'atnya disunting priya. Lagian kalau
kamu sudah menikah bapakmu tidak akan mengganggu kamu lagi. Yaah, mungkin masih
menjadi beban kamu karena memang dia nggak becus mencari nafkah, tapi setidakn ya
kalau sudah nggak lagi kumpul sama kamu, tidak setiap hari dia mengganggu kamu."
Si Sri termenung. Benarkah dia sudah pantas menikah? Siapa yang mau sama gadis
miskin yang anak bekas penjudi?
"Kamu dapat salam Sri.."
"Salam, dari siapa?"
"Kamu ingat mas Timan kan?"
"O, mas Timan yang temannya yu Lastri itu."
"Iya.. "
Si Sri tersenyum. Ia ingat cara Timan menatapnya ketika malam-malam dia
mengantarkannya pulang bersama simbahnya. Tatapan yang menurutnya aneh, tapi si Sri
menyukainya. Dalam remang malam itu, tersirat wajah tampan dan ramah, serta sangat
baik hati. Aduhai. Si Sri tersedak-sedak.
"Pelan-pelan, minum dulu," kata mbah Kliwon.
Si Sri minum, wajah itu terbayang lagi.
"Tampaknya dia suka sama kamu."
Si Sri terbatuk lebih keras,
"Kenapa kamu itu, dapat salam dari mas Timan, malah tersedak, terbatuk.."
"Sayang Sri nggak ikut ya mbah,"
"Menyesal kan, tidak bertemu dia?"
"Simbah ada-ada saja, cuma titip salam saja dibilang suka. Mana ada laki-laki suka
sama si Sri?"
Lalu si Sri berdiri, menumpuk piring-piring nyang sudah kosong, dibawanya
kebelakang.
mBah Kliwon tersenyum, setidaknya tidak ada penolakan dari cucunya. mBah Kliwon
berharap Timan bisa mnjadi jodohnya si Sri. mBah Kliwon tau, Timan laki-laki yang
baik.
***
Sore itu si Sri pulang dengan membawa rantang berisi lauk. Ada sayur sawi dan tahu
bacem yang tadi siang dimasaknya dirumah mbahnya, lalu sebagian disuruhnya si Sri
membawanya pulang.
Hampir setiap hari begitu karena mbah Kliwon tau bahwa beban kebutuhannya dan
ayahnya ada dipundak si Sri.
Hari masih terang ketika si Sri memasuki pagar rumahnya. Ada mobil diluar sana,
yang entah milik siapa.
Ketika dia masuk rumah, dilihatnya ayahnya sedang duduk bersama seorang laki-laki.
Laki-laki itu tinggi besar dan tidak muda lagi.
Barangkali sudah empatpuluh tahunan atau lebih umurnya.
Si Sri merasa pernah melihat laki-laki itu, tapi lupa kapan dan dimana.
Si Sri mau langsung masuk kebelakang ketika laki-laki itu memanggilnya.
"Kamu si Sri kecil itu kan?"
Si Sri berhenti sebentar, lalu mengangguk.
Ia ingin segera berlalu, karena risih melihat tataoan laki-laki itu. Itu tatapan
yang tidak menyenangkan.
Menatap sambil bibirnya tersenyum nakal. Si Sri terus melangkah masuk.
Tapi tiba-tiba ayahnya memanggilnya.
"Sri, sini dulu, kamu lupa ini siapa?"
==========
Namun sin Sri sungguh tidak ingat, dimana pernah mengenal laki-laki ini.
Wajahnya bersih, tubuhnya tegap, barangkali sih, so'alnya ketika duduk tampak
badannya besar dan tegap.
Bukan anak muda, tapi wajahnya lumayan ganteng. Hanya saja Si Sri benci melihat
mata dan senyumnya.
Si Sri belum banyak bergaul dengan laki-laki, tapi pandangan matanya sungguh
membuatnya muak. Sepertinya dia laki-laki penyuka perempuan.
Mendengar panggilan bapaknya, si Sri mendekat.
"Duduklah."
Si Sri duduk.kepalanya menunduk.
"Kamu sungguh pemalu Sri, coba tatap mataku.," kata laki-laki itu.
Tapi si Sri masih tetap menunduk.
Laki-laki itu terbahak. Tertawanya sangat membuat Si Sri merinding.
"Sri, ini namanya tuan Basuki. Ia anaknya tuan Cokro yang dulu memperkerjakan bapak
diperkebunan miliknya.".
Si Sri baru ingat Benar, namanya Basuki, anaknya tuan Cokro.
Ketika dia dan bapaknya pindaah kedesa itu, Basuki masih remaja. Tapi si Sri sering
melihat dia membawa banyak teman-teman wanita, diajaknya bersenang senang
dirumahnya.
Basuki juga sering mengganggunya setiap kali dia datang kerumah bapaknya.
Menowel lengannya, mengelus kepalanya, sungguh menyebalkan.
Tak disangka sore itu dia datang, dan berbincang akrab dengan bapaknya.
Si Sri ingin pergi kebelakang. Risih berada dihadapan tamu menyebalkan itu berlama-
lama.
Ia bangkit berdiri.
"Hei.. mau kemana cantik?"
"Kemana nduk?"
"Buat minuman," jawab si Sri sekenanya.
Menurutnya lebih baik dia pergi, dengan alasan apapun.
"Tidak Sri, aku tidak ingin minum. Aku hanya datang sebentar, untuk mengingatkan
bapakmu. Bagus, si Sri sudah tumbuh dewasa, aku suka. Tapi sekarang aku harus
pergi."
"Syukurlah, syukurlah, lebih cepat lebih baik," bisik hati si Sri.
Laki-laki bernama Basuki itu berdiri. Ya, tinggi sekali, pak Darmin yang berdiri
disampingnya hanya setinggi pundaknya.
Si Sri masih berdiri didepan kursi yang semula didudukinya.
"Sri, antarkan tuan Basuki kedepan," perintah pak Darmin.
"Hiih.. ngapain harus mengantarkan? Kayak anak kecil saja," kata hati si Sri dengan
wajah cemberut.
"Sri..."
Si Sri melangkah pelan, tuan Basuki sudah sampai didepan pintu, ia harus menunduk
kalau tak ingin kepalanya terantuk kepintu yang tidak begitu tinggi.
"Aku pergi dulu, cantik," kata Basuki, sambil menowel pipi si Sri.
Wajah si Sri pucat, Bencinya tak tertahankan. Mengapa bapaknya diam saja? Banyak
batasan-batasan yang harus dipatuhinya.
Tidak boleh keluar rumah kecuali bekerja, jangan lama -lama berada diluar, tidak
belh datang ke pesta.. tapi mengapa dibiarkannya laki-laki asing menjamah wajahnya?
Si Sri berlari masuk kedalam.
Membasuh wajahnya berkali-kali. Jijik pipinya dijamah laki=laki itu.
"Sriiiii..." teriak bapaknya.
Sei mengelap wajahn ya dengan handuk. Ia ingin mandi, tapi lebih dulu menghampiri
bapaknya, karena kalau tidak akan bertambah keras teriakannya.
"Kamu itu bagaimana, ada tuan Basuki tidak menyambutnya dengan baik,"
"Memangnya mengapa? Sri kan dilrang bergaul dengan sembarang orang?"
"Dia itu lain. Lihat, buka bungkusan besar itu," kata pak Darmin sambil menunjuk
keatas meja.
Sri menoleh kearah yang ditunjuk bapaknya.
Karena kesal dia tak memperhatikan. Ternyata diatas meja ada sebuah bungkusan
besar.
Dari laki-laki kurangajar itu?
"Buka isinya, kata tuan Basuki itu buat kamu."
"Buat Sri?"
"Iya, buat kamu, bukalah."
"Nggak pak, Sri mau mandi dulu."
"Eeeh... mandinya nanti saja. Buka dulu."
Itu sebuah perintah, dan si Sri tak berani mmbantahnya.
Dengan muka cemberut dibukanya bungkusan itu.
Sri terkejut. Isinya baju-baju perempuan.
Ada banyak. Ada celana panjang, blouse dari kaos, rok dengan aksen yang mewah,
Celana lagi, yang ini jean, ada atasan berwarna biru muda, pokoknya ada banyak.
Sri sama sekali tak tertarik.
"Dia minta kamu memakainya."
"Nggak ah, Sri nggak suka."
"Apa katamu? Itu pemberian orang kaya, pasti bukan barang murah."
"Ini pakaian orang kota, mana pantas Sri memakainya?"
"Jangan bandel! Kamu harus memakainya, dan buang baju-baju kamu yang lusuh dan
kumal."
Si Sri membalikkan tubuhnya, tak memperdulikan baju-baju yang terserak diatas meja.
"Eeeh... Sriii!!"
"Si Sri berhenti melangkah."
"Simpan dulu barang-barang ini kedalam kamar kamu!"
Sri membalikkan badan, dengan satu raupan dibawanya tumpukan baju itu kekamarnya,
lalu disebarnya dilantai.
***
Pagi itu Marni mengajak anaknya jalan-jalan.
Ditangannya menjinjing rantang. Berisi nasi dan balur dimasak pedas.
Ia akan memberikannya kepada mbah Kliwon. Pagi masih remang, Marni berjalan
seenaknya.
Tiba-tiba ia berpapasan dengan si Sri.
"Sri...!" panggilnya
"Eh, yu Marni.. eh.. bu lurah..."
"Ya sudah, yu Marni saja seperti biasanya, pakai diralat segala."
"Hehee.. iya yu. Aduuh.. Jarot, sini digendong yu Sri ya..."
Si Sri meminta Jarot yang berada dalam gendongan Marni.
"Kamu sudah pengin punya anak Sri?"
"Wah... seneng banget aku kalau punya anak, tapi kan aku belum bersuami, mana bisa
punya anak?"
"Sudah pengin punya suami?"
"Nggak ah, belum mikirin suami yu. Gendong Jarot aja aku mau.. ya le?" katanya
sambil menciumi pipi Jarot dengan gemes."
"Wong ya sudah pantes gitu lho..."
"Pantes ngapain yu?"
"Itu, pantes gendong anak."
"Ah, yu Marni ada-ada saja."
"Tapi diam-diam ada yang suka sama kamu lho."
"Haaa... ada yang suka sama aku?"
"Iya, bener."
"Siapa to yu, yang suka sama gadis seperti si Sri?"
"Ada pokoknya."
"Siapa yu? Jadi penasaran."
"Orangnya ganteng, sudah mapan pokoknya."
"Hm... siapa sih?"
"Tapi memang umurnya sama kamu terpaut agak jauh sih, cuma saja apa pentungnya
umur? Yang lebih penting adalah, bahwa dia bisa mencintai kamu apa adanya, bisa
membahagiakan kamu. Ya kan?"
"Iya sih, tapi siapa?"
"Kamu ingat mas Timan ?"
Berdegup dada si Sri mendengar nama itu. Beberapa hari yang lalu mbah Kliwon
mengatakan bahwa ada salam dari mas Timan. Aduhai...
"Oh, ya ampun.. dia.. ingat sih."
"Mau nggak kamu jadi isterinya dia?"
"Ya ampun yu.. aku ini siapa .. takut aku yu."
"Takut apa? Sudah besar pakai takut segala."
"Aku ini siapa yu, apalagi kalau nanti dia tau bagaimana bapakku, pasti dia akan
kecewa."
"Yang jelas kamu itu gadis yang baik. Dan kamu juga sudah sa'atnya punya suami lho
Sri."
"Nggak taulah yu, aku bingung. Lha ini yu Marni mau kemana?"
"Lha ini, mau ketemu mbahmu, aku bawakan nasi buat sarapan."
"Wah, yu Marni tiap hari kok mesti kirim makanan buat simbah. Lha itu yang makan
aku juga lho yu."
"Ya nggak apa-apa, memang itu untuk kamu berdua."
"Yu Marni rajin ya, jam segini sudah masak."
"Aku tuh masak sore hari Sri, jadi kalau mas Mardi keburu harus berangkat pagi-
pagi, sarapan sudah siap."
"Oh, pantesan. Nah, itu simbah sudah sibuk didepan rumahnya yu Lastri." kata Lastri
sambil menunjuk kearah mbah Kliwon yang sedang menerima beberapa petani sayur.
"Iya, mbah Kliwon memang rajin. Sudah tua masih giat mengerjakan apapun."
"Kapan yu Lastri kesini yu, sekarang sudah jadi isteri orang, pasti akan jarang
datang kemari."
"Iya, semuanya diserahkan pada mas Mardi untuk mengurusnya, dibantu mbahmu itu."
"Aku sedih kemarin pas perikahannya yu Lastri nggak bisa ikut."
"Iya, Lastri juga menanyakan kamu. Mas Timan juga."
Si Sri tersenyum.
"Itu lagi.."
"Memang iya. Mas Mardi bilang akan mengundang mas Timan kemari."
"Oh ya, kapan?"
"Belum tau waktunya, maksudnya biar bisa ketemu kamu."
Si Sri berdebar. Wajah tampan ramah itu terbayang lagi. Apakah dia suka?
"Sini, Jarot sama ibu dulu, yu Sri mau bekerja, ya le?" kata Marni sambil
mengulurkan tangannya untuk menggendong Jarot, lalu menyerahkan rantangnya kepada
si Sri.
"Ini Sri, nanti dimakan sama simbah ya."
"Terimakasih ya yu. Hm, baunya enak."
"Itu balur dimasak pedas."
"Waah, belum-belum sudah ngiler aku yu."
Mereka berpisah, karena si Sri harus membantu mbah Kliwon.
Tapi kata-kata Marni masih membekas dihatinya.
Benarkah Timan suka sama dia? Diam-diam si Sri merasa senang, aduhai, seandainya
itu benar.
"Bawa apa Sri?" tiba-tiba pertanyaan mbah Kliwon mengejutkan si Sri.
Dia sedang membayangkan laki-laki tampan dengan pandangan teduh dan mendebarkan
itu.
"Oh, ini mbah, ketemu bu lurah disana."
"Dari bu lurah?"
"Iya, simbah sarapan dulu."
"Ayo, sarapan sama kamu, setelah itu baru bekerja."
***
Begitu memasuki rumah, pak Darmin marah-marah karena si Sri tidak memakai pakaian
yang diberikan Basuki.
"Apa maksud kamu Sri, sudah diberi barang-barang bagus, tapi kamu tidak mau
memakainya."
"Si Sri kan mau bekerja, pekerjaannya itu kadang mengangkat sayur yang mungkin
masih kotor oleh tanah, jadi untuk apa memakai pakaian bagus?"
"Biar nanti jadi kotor, tapi kan kamu harus menghargai pemberian orang. "
"Iya, lain kali Sri akan pakai." jawab Sri kesal, lalu langsung masuk kedalam
rumah.
Ketika si Sri berangjkat, pak Darmin masih tidur, itulah sebabnya dia tidak tau
kalau si Sri tetp memakai bajunya sendiri.
"Buang baju-baju kamu yang kumal itu."
Si Sri tidak menjawab
Ketika mau memasuki kamar, hidungnya mencium sesuatu.
Sesuatu yang sudah lama tidak tercium dirumahnya.
Bau minuman keras. Si Sri melongok kekamar bapaknya, dan melihat beberapa botol
minuman keras terletak dimeja.
Beberapa botol kosong terserak dilantai.
Si Sri geram, apa laki-laki kurangajar itu yang memberinya?
"Ada apa kamu melongok kekamarku?" tanya pak Darmin yang tampak gusar.
"Bapak beli minuman keras lagi?"
"Jangan kamu kira aku memakai duitmu untuk membelinya. Ini, aku kembalikan uang
yang kamu berikan kemarin. Masih utuh duapuluh ribu," katanya sambil melemparkan
dua lembar puluhan ribu kewajah si Sri.
"Lalu dengan apa bapak membelinya?"
"Kamu tidak usah tanya, apa kamu nggak suka kalau bapak senang?"
"Aku tidak suka bapak minum-minum lagi."
"Berani kamu melarang aku?"
"Pak, bapak itu sudah sering sakit. Batuk nggak berhenti-berhenti, kenapa masih
suka merokok dan sekarang ditambah minum-minuman keras?"
"Minuman ini tidak membuat aku sakit, justru membuat aku sehat. Lihat, hari ini aku
sangat bersemangat."
Si Sri tak menjawab, ia masuk kekamarnya, lalu menguncinya dari dalam.
Sedih hatinya memikirkan perangai bapaknya yang ternyata belum berubah juga, walau
kemiskinan sudah menderanya.
"Pasti laki-laki itu telah memberi uang pada bapak," gumamnya kesal.
Sore itu si Sri tidak melayani bapaknya makan. Ia melihat beberapa bungkusan
makanan terserak dimeja, berarti bapaknya sudah makan, tapi si Sri enggan
membersihkannya.
Kira-kira berapa banyak laki-laki itu memberi bapak uang sehingga bisa membeli
makanan dan minuman keras begitu banyak? pikir si Sri dengan wajah kusut.
"Tak mungikin bapak mau mendengarkan kata-kataku."
***
Beberapa hari ini wajah si Sri tampak kusut.
mBah Kliwon sudah tau, pasti karena ulah bapaknya.
"Sri, kamu kan sudah tau tabiat bapak kamu, jadi sebaiknya kamu tak usah
memikirkannya.
Biarkan saja dia mau melakukan apa, agar tidak menjadikan beban buat kamu." kata
mbah Kliwon ketika mereka sedang istrirahat siang.
"Sedih si Sri mbah. Beberapa hari yang lalu ada tamu, bapak memanggilnya tuan
Basuki. Hanya sebentar si Sri melihatnya, karena ketika si Sri datang sore itu, dia
sudah mau pulang. Tampaknya laki-laki itu memberi bapak uang. Dia juga memberi si
Sri banyak pakaian."
"O, apakah itu Basuki anaknya tuan Cokro?'
"Ya, mbah. Tapi yang membuat si Sri sedih, bapak akhir-akhi ini jadi sering membeli
minuman keras."
"Masa nduk?"
"Iya mbah, sudah Sri peringatkan, tapi justru bapak marah. Sri jadi sedih mbah."
mBak Kliwon menghela nafas panjang.
Ia teringat anak perempuannya, mboknya si Sri, yang akhirnya meninggal karena
suaminya tak memperhatikannya ketika dia sakit.
Tapi mbah Kliwon bisa menerimanya dengan ikhlas. Ia hanya mengingat cucunya yang
hanya satu-satunya.
"Ya sudah, seperti kata simbah tadi, nggak usah dipikirkan. Yang penting kamu
berangkat kerja pagi hari, pulang sore, lakukan apa yang menjadi tugasmu dan jangan
hiraukan bapakmu."
Si Sri mengangguk. Hanya mbah Kliwon yang bisa menghiburnya.
Si Sri mau melanjutkan pekerjaannya mencatat pemasukan hari itu, ketika tiba-tiba
didengarnya sebuah mobil berhenti didepan rumah.
Si Sri melongok keluar, dan dadanya berdebar kencang begitu melihat siapa yang
datang.
Bersambung #2
CERITA WA: Kembang Titipan #2
Cerita Bersambung
mBak Kliwon yang juga mendengar bergegas keluar. Wajahnya berseri begitu melihat
siapa yang datang.
"Sri.. tuh ada tamu.. kamu malah bengong disitu?" tegur mbah Kliwon.
Sri tiba-tiba merasa gugup. Bukannya jalan kearah depan, malah menuju kebelakang.
"mBah Kliwon, apa kabar?" sapa Timan yang kemudian lebih suka memanggil 'mbah',
"Aduh nak Timan, iya.. kabar baik. Sendirian saja?"
"Iya mbah, sekaian cari dagangan, trus mampir kemari."
"Ayo masuk nak.. silahkan.."
"Kangen sama ketela rebusnya," kata Timan sambil duduk di kursi bambu, kursi yang
pernah didudukinya, bahkan pernah tidur disitu ketika mencari Lastri.
"Ketela rebus, ada.. jangan khawatir nak, nanti juga boleh membawa ketika pulang,
yang masih mentah juga banyak."
"Kursi ini masih seperti dulu."
"Iya nak, tidak berubah sejak setahun lalu. Ingat ketika nak Timan tiduran diisitu
sa'at mencari Lastri."
"Benar mbah," jawab Timan, sambil matanya mencari-cari.
"Sriiii.. ada tamu kok malah sembunyi," teriak mbah Kliwon.
Si Sri bukan sembunyi. Ia sedang menata batinnya sambil membuat minuman.
"Sriiii.." mbah Kliwon mengulangi teriakannya.
"Yaaa.. " jawab si Sri dari arah belakang.
Berdebar hati Timan mendengar suaranya. Hm, kalau orang lagi jatuh cinta tuh ya,
baru mendengar suaranya saja sudah dag dig dug.
Tak lama kemudian si Sri keluar sambil membawa nampan berisi dua gelas teh.
"Apa kabar Sri?" sapa Timan sambil terus menatap kearah si Sri.
"Kabar baik mas Timan," jawab Sri sambil meletakkan gelasnya dimeja. Tersipu
dipandangi Timan seperti itu. Pandangan yang membuatnya berdebar, bukan pandangan
kurangajar seperti Basuki melakukannya.
"Masih ada ketela rebus didalam?"
"Ada mbah, sedikit, mas Timan mau?"
"Ya mau, kan aku kesini karena kangen ketela rebusnya mbah Kliwon," kata Timan
sambil tersenyum.
Aduh, si Sri kecewa berat nih, ternyata datang hanya untuk ketela, bukan untuk
dirinya, Sri melangkah kebelakang, dan mengambil ketela rebus yang hanya tinggal
beberapa potong.
"Ini, tinggal sedikit mas," kata Sri ketika kembali dengan membawa ketela rebus.
"Sudah dingin nak..ayo silahkan diminum dulu."
"Terimakasih, ketelanya dingin nggak apa-apa mbah, yang penting sambutan dirumah
ini begitu hangat," kata Timan sambil menghirup tehnya.
"Benarkah?"
"Iya mbah, saya makan ketelanya ya.."
"Silahkan nak, tinggal beberapa potong, nanti kalau pulang boleh membawa, masih ada
sekarung kecil yang masih mentah."
"Waduh.. terimakasih banyak ya mbah."
"Sri, duduk disini, kamu itu gimana, lagi ada tamu.. main kabur aja.." tegur mbah
Kliwon ketika Si Sri mau beranjak kebelakang.
"Iya ta Sri, aku jauh-jauh kemari kok malah ditinggal pergi," sambung Timan.
Si Sri membalikkan tubuhnya, lalu duduk dikursi didepan Timan. Baguslah, pikir
Timan, sehingga aku bisa puas memandangi kamu.
Tapi si Sri itu gadis pemalu, setidaknya itulah yang ditangkap Timan dari sikapnya.
Iya lah malu, orang siapa-siapa mengatakan kalau dia suka sama dirinya. Jadi deg-
degan kan.
"Sri, kok diam sih.. ngomong dong.."
Si Sri tersenyum. Timan menelan ludah.. alangkah manis gadis ini pikirnya. Dulu
ketika melihat pertama kali, hari sudah malam. Temaram lampu memantulkan wajah
cantik yang hanya sekilas. Sekarang, sa'at siang, Timan bisa menikmati wajah itu
sepuasnya. Lalu batinnya berkata, aku jatuh cinta sama gadis ini. Akankah
bersambut?
"Sri... kamu tuh biasanya cerewet, kok tiba-tiba jadi pendiam?" tegur mbah Kliwon
lagi. Kemudian mbah Kliwon berdiri.
"Aku mau memilihkan ketela yang bagus dulu, temani mas Timan ya nduk," kata mbah
Kliwon sambil berlalu.
"Ayo ngomong dong Sri." kata Timan sambil mengupas ketela yang dicomotnya lagi,
bukan karena lapar, tapi karena ingin menenangkan debar jantungnya.
"Nggak tau mau ngomong apa.." kata Sri pelan sambil mengangkat wajahnya yang semula
menunduk.
"Ngomong aja tentang diri kamu.. kesukaan kamu..." kata Timan.
"Nggak ada yang pantas diceritakan tentang diri saya."
"Masak sih?"
"Saya hanya gadis dusun yang bodoh. Tidak berpendidikan," katanya masih dengan
suara pelan. Matanya menatap kearah Timan, dan Timan juga sedang menatapnya. Ada
getar dihati masing-masing kedua insan itu ketika mata mereka bertatapan.
"Terus.. mengapa kalau gadis dusun.. mengapa kalau tidak berpendidikan?"
"Apa yang pantas diceritakan?"
"Bahwa kamu pemalu, pendiam, suka merendahkan diri.."
"Saya kan memang dari kalangan rendah."
"Wadouww.. coba berdiri deh, serendah apa kamu? Kalau berdiri sejajar sama aku, ya
jelas lebih rendah kamu. Tapi kalau aku duduk, lalu kamu berdiri, nah. baru rendah
aku."
Si Sri tertawa, menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Timan suka melihat tawa
itu, sederet gigi putih kelihatan, menambah manis sang pemilik wajah lugu itu."
"Kenapa ditutup pakai tangan? Bukankah tawa itu indah?"
"Mas Timan lucu."
"Iya, aku memang pelawak."
Sri masih tertawa.
"Dengar Sri, aku juga orang desa. Hanya kebetulan saja kemudian aku tinggal dikota,
karena pekerjaanku kan penjual buah dipasar. Apa hebatnya seorang penjual buah?
Bukan kalangan orang yang punya derajat. Aku orang biasa saja."
"Apakah penjual buah itu pekerjaan rendah? Kalau saja saya punya modal, saya mau
jadi penjual sayur dipasar."
"Benar?"
Sri mengangguk.
"Kalau begitu kamu harus ikut aku."
"Apa?" Sri membesarkan bola matanya. Sepasang mata bening yang membuat Timan
terpana.
"Ikut bersama aku, atau menjadi isteri aku." kata Timan tiba-tiba. Entah darimana
datangnya keberanian itu, Timan terkejut sendiri, tapi kata itu sudah terlanjur
terlontar dan tentu saja Si Sri mendengarnya.
Mata bulat itu bertambah membulat.
"Ap...apa?"
"Ah, ma'af.. "
"Jangan bercanda dong mas."
Aduh, mengapa Sri mengira bahwa dirinya bercanda?
"Kalau itu benar, apa kamu marah?"
"Marah? Saya.. "
"Barangkali kamu sudah punya pacar, atau calon.. saya lancang bukan?"
"Tidak.."
"Tidak apa?"
"Tidak punya itu.."
"Itu apa?"
"Itu.. calon.. siapa mau ?"
"Jangan suka merendah, jangan merasa jadi orang rendah. Bukankah derajat seseorang
dilihat dari kelakuan dan budi yang disandangnya?"
Si Sri terdiam. Keberanian Timan mengatakan hal yang mendebarkannya membuatnya
kagum.
"Sri, kamu tidak marah saya mengatakan hal itu?"
"Hal apa..?" ah,, si Sri kan sudah tau, pakai nanya lagi.
"Maukah kamu menjadi isteriku,,:" sudah kepalang tangung, dan Timan juga nggak
ingin kelamaan memendam rasa. Dia sudah bukan anak muda lagi.
"Begitu cepat? Mas Timan belum tau siapa saya."
"Kamu si Sri kan? Siapa kepanjangan nama kamu?"
"Bukan itu, mas Timan belum tau keluarga saya."
"Kamu kan cucunya mbah Kliwon ?
"Bapak saya?"
"Iya, lain kali aku akan menemui bapak kamu."
"Dia bukan orang baik."
"Maksudnya?"
"Nanti mas Timan bisa bertanya pada simbah."
mBah Kliwon sebenarnya sudah selesai memilih ketela yang akan dibawakannya pada
Timan, tapi dia memang memberi kesempatan pada Timan untuk bicara. Laki-laki tua
itu mendengar bagaimana Timan mengutarakan isi hatinya. Lega rasanya, karena Timan
tidak berlama-lama mengatakannya.
"Buat aku, yang penting kamu. Apa kamu menolak aku?"
"Mas Timan tanya pada simbah."
"Ini kan perasaan kamu, masa aku tanyanya sama simbah?"
"Simbah sudah tau bagaimana jawaban saya."
"Oh ya?"
Timan menatap lagi wajah itu, mata bening itu, hidung mancung dan bibir tipis itu.
Semuanya indah dalam kesederhanaan. Dia mirip Lastri yang pernah dikaguminya.
Semuanya mirip. Ia lugu, ia sedikit malu disa'at pertama berbincang, Lalu bisa
banyak bicara ketika ada yang memulainya.
"Minggu depan aku akan datang lagi, dan aku harap sudah ada jawaban yang pasti dari
kamu. Setelah itu aku akan menemui bapak kamu."
Si Sri menunduk. Laki-laki baik ini sudah lama singgah dihatinya. Tak mungkin dia
menolaknya, tapi ketika Timan bilang mau menemui bapaknya, Sri jadi ragu. Maukah
bapaknya menerima Timan sebagai menantu? Tak mudah menjajagi hati Darmin.
***
Pagi itu Lastri pergi kepasar. Ia sudah membeli beberapa sayur dan daging yang tadi
sudah dicatatnya. Tiba-tiba dilihatnya Timan melambaikan tangannya. Lastri jadi
ingat, ia harus membeli buah. Didekatinya Timan.
"Aku mau jeruknya saja mas, tapi janji ya, aku nggak mau gratis, nanti mas Bayu
marah."
Timan tertawa.
"Iya.. iya, aku kasih harga mahal kamu nanti."
"Boleh memilih ya mas."
"Iya, pilih aja. Masih baru semuanya."
"Pisangnya mas, tapi aku mau pisang kepok kuning yang sudah matang. Ibu mau membuat
kolak."
"Beres, ini matang dipohon semuanya."
"Tapi ngomong-ngomong wajah mas Timan kok tampak beda dari biasanya ya?"
"Wajahku kenapa sih? Berlepotan angus? Padahal aku tidak memasakpakai kuali yang
banyak angusnya."
"Bukan, kelihatan berseri-seri. Lagi bahagia ya?"
"Kemarin aku ketemu si Sri."
"Haaa... sudah berani berangkat sendiri ya?"
"Iya lah, nungguin kamu, kelamaan."
"Baiklah, aku senang mendengarnya, terus.. gimana mas, sekalian melamarnya?
Harusnya begitu, keburu tua mas."
"Iya, aku sudah melamarnya."
"Waaauuuw... hebat mas... lalu kapan peresmiannya?"
"Belum-belum peresmian..."
"Katanya sudah melamar.."
"Baru ngomong sama Sri. "
"Sudah dijawab kan? Beres kalau begitu, ayo cepet mas.."
"Aku baru mau kesana seminggu lagi. Sri jawabnya belum jelas. Tapi dia tidak
menolak."
"Ya udah, itu sudah 90 persen mau."
"Do'akan ya Tri.."
"Iyalah.. aku do'akan, nanti pas melamar aku sama mas Bayu akan mengantar kamu."
"Ya, siip lah. Ini pisangnya, langsung enak buat kolak."
"Sama jeruknya jadi berapa?"
"Berapa lah terserah."
"Gimana sih, orang jualan kok nggak mau kasih harga. Ya sudah, ini saja, mana, saya
bawa sekalian."
"Kamu sama siapa?"
"Sendiri lah, biasanya kan juga sendiri."
"Pengantin baru kan kemana-mana harus berdua."
"Ya enggak, mas Bayu sudah harus bekerja. Saya dirumah sama ibu saja. Ya sudah mas,
terimakasih banyak," kata Lastri sambil berlalu.
"Eit.. kembaliannya.." teriak Timan.
"Nggak usaaah.." dan Lastri mempercepat langkahnya, takut Timan mengejarnya.
***
"Hayo, ngelamun saja dari tadi," tegur mbah Kliwon ketika melihat si Sri banyak
melamun pagi itu.
"Enggak mbah.."
"Simbah mendengar apa yang dikatakan mas Timan kemarin. Kamu bagaimana?"
"Itu mbah.. so'al......"
"Dia ingin menjadikan kamu isterinya.. kamu suka kan?"
"mBah.. saya takut bapak menolaknya.."
"Nanti aku mau bicara sama bapakmu. Dia tak bisa memaksakan kehendak. Ini demi
hidup kamu Sri, simbah tau kamu sangat menderita, apalagi setelah mbokmu
meninggal," kata mbah Kliwon sendu.
Berlinang air mata si Sri. Ingatan akan ibunya membuatnya sangat membenci ayahnya.
Kalau saja waktu itu ayahnya mau membawanya kerumah sakit, barangkali ibunya masih
ada sampai sekarang.
"Tapi ya sudah nduk, nggak ada yang perlu disesali, karena manusia hidup itu kan
hanya bisa berpasrah diri. Jadi ya memang harus beginilah jalannya, kita harus
ikhlas menerimanya."
"Iya mbah."
Nanti aku akan ikut kamu sa'at pulang, aku akan bicara sama bapakmu."
Si Sri hanya mengangguk,
***
Namun sore itu Darmin tampak sedang mabuk. Ketika mbah Kliwon datang bersama si
Sri, dia sama sekali tak berdiri untuk menyambutnya.
"Sri.. mengapa kamu belum juga memakai baju-baju bagus itu? Nanti bapak akan bakar
semua baju kumal kamu!!" hardik Darmin begitu melihat si Sri pulang. Si Sri tak
menjawab, langsung melangkah kebelakang.
"Min, ini aku Min.." kata mbah Kliwon/
"O.. bapak.."
Tanpa menunggu dipersilahkan mbah Kliwon langsung duduk dikursi.
"Jangan teriak-teriak begitu. Apa nggak malu didengar tetangga?"
"Ada apa, tumben bapak datang kemari," kata Darmin tanpa mengacuhkan apa yang
dikatakan mertuanya.
"Ada perlu, duduklah disini, dedekatku," kata mbah Kliwon karena melihat Darmin
masih duduk didepan kamarnya sambil merokok, tanpa perduli pada kedatangan
mertuanya.
Kemudian Darmin mendekat, duduk dihadapan mbah Kliwon.
"Aku mau bicara penting."
"Ya, ada apa?" tanya Darmin dingin.. Tak ada rasa hormat sedikitpun walau mbah
Kliwon adalah mertuanya, bahkan yang memberinya tempat bernaung, dan juga berbagi
makanan kalau mbah Kliwon punya lebih.
"Ini tentang anakmu."
"Kenapa dia?"
"Anakmu kan sudah dewasa, sudah sa'atnya berkeluarga."
Mata Darmin menyala kemerahan, terbawa oleh minuman keras yang belum lama
diminumnya, dan rasa kesal karena merasa terganggu oleh kedatangan mbah Kliwon.
"Ada seorang laki-laki, baik, mapan, mau mengambilnya sebagai isteri."
"Apa? Ada yang mau memperisteri si Sri?
Tangan Darmin terkepal, lalu dipukulkannya ke meja.
"Tidaaaakkk! Tidak boleh !!""
mBah Kliwon terkejut. Ia sudah tua, dan suara keras membuat dadanya sakit.
==========
mBah Kliwon tak bisa menjawab. Matanya memancarkan kemarahan. Bukan karena
penolakan Darmin atas lamaran yang diutarakannya, tapi atas sikap menantunya yang
tak menaruh hormat.
mBah Kliwon merasa dadanya sesak. Lalu nafasnya terengah-engah. Sri yang sejak tadi
mendengarkan pembicaraan itu dari balik pintu, melongok keluar, dan melihat wajah
simbahnya pucat dan nafasnya terengah-engah. Si Sri mengambil air yang ada diatas
meja, dituangkan kedalam gelas, lalu tergopoh menghampiri simbahnya.
"mBah, minum dulu mbah.."
mBah Kliwon minum seteguk air lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.
Nafasnya masih terengah-engah. Si Sri menatap bapaknya penuh kebencian.
Melihat keadaan mertuanya, Darmin mengendorkan suaranya.
"Pak, Si Sri itu anakku, biar aku yang mengurusnya. Bapak itu sudah tua, jangan
banyak pikiran."
"Ya sudah, simbah mau pulang dulu Sri," kata mbah Kliwon yang kemudian berdiri.
"Saya antar pulang mbah," kata si Sri sambil menggandeng lengan simbahnya.
Darmin memelototi anaknya, ingin melarang, tapi si Sri tak perduli, ia terus
menggandeng mbah Kliwon keluar dari rumah.
"Sudah Sri, nanti kamu dimarahin bapakmu," kata mbah Kliwon masih dengan nafas
tersengal.
"Biar saja bapak marah mbah. Si Sri tidak takut."
"Heran.... dia nggak bisa diajak bicara.."
"Sri sudah menduganya mbah.. sabar ya mbah, dan jangan difikirkan. Nanti biar si
Sri sendiri yang bicara, tak perduli bapak akan marah."
"Kasihan sekali hidupmu ini nduk, anak baik, dilahirkan di keluarga kasar seperti
itu."
"Tidak apa-apa mbah. Sudah jangan difikirkan. Nanti sampai rumah, Sri akan
membuatkan wedang jahe buat simbah."
"O alah nduk.. nduk.. semoga nanti kamu bisa mendapatkan hidup enak, bahagia,
mulia, dunia dan akhirat ya nduk."
"Aamiin, mbah..
Mereka sudah sampai dirumah Lastri. Memang sejak Lastri kembali kekota, mbah Kliwon
diminta untuk tinggal saja dirumah itu, daripada kosong.
Si Sri menuntun mbah Kliwon kekamarnya.
"Simbah berbaring saja dulu, Sri akan membuat wedang jahe, dikasih sereh sama daun
jeruk ya mbah?"
mBah Kliwon mengangguk angguk.
Mata tuanya menyipit, berusaha menahan air mata yang mengambang disana. Mata tua
yang penuh dengan derita, tapi selalu diterimanya dengan pasrah.
"Aku boleh menderita, tapi janganlah cucuku juga merasakan derita yang begitu
berat, ya Allah ya Tuhanku.. berilah kebahagiaan pada hidupnya, entaskanlah dari
kehidupan yang membuatnya tersiksa.."
Tak urung air mata itu runtuh. mengaliri pipi yang mulai keriput dimakan usia.
"mBah, ini wedangnya sudah siap.. hm.. baunya sedap banget ya mbah, tadi si Sri
kasih gula batu."
"Iya nduk, terimakasih ya nduk, taruh dulu disitu, biar dingin."
"Ini saya tuang di cawan saja ya mbah, biar cepat dingin, biar bisa segera diminum
oleh simbah."
Si Sri kebelakang, mangambil cawan, lalu menuang sedikit wedang itu ke cawan. Si
Sri menyendokkannya sedikit demi sedikit kemulut mbah Kliwon.
"Segar Sri, simbah mau duduk saja, seperti orang sakit kalau disuapi begini," kata
mbah Kliwon sambil bangkit.
Dia kemudian menyendokkan wedang jahe itu sendiri.
"Sudah nduk, nanti lagi."
"Sudah merasa enakan mbah?"
"Sudah nduk," kata mbah Kliwon sambil mengelus kepala cucunya.
"Semoga kamu mendapatkan jodoh yang baik, yang bisa membahagiakanmu ya nduk. Jangan
jodoh seperti bapakmu. Dulu simbokmu tergila-gila karena bapakmu tampan, dan
menjadi pekerja dikebun milik tuan Cokro. Tapi ternyata semuanya tidak seperti yang
diharapkan. Kehidupan itu, kamu menyaksikannya bukan>?"
Sri mengangguk, ia duduk ditepi pembaringan, kemudian menyandarkan kepalanya dibahu
simbahnya. Hanya mbah Kliwon tempatnya bersandar, tempatnya mengadu, tempatnya
mencari ketenangan.
"Ya sudah, kamu pulang saja, nanti bapakmu bertambah marah kalau kamu kelamaan
disini."
"Saya ambilkan simbah makan dulu, baru pulang."
"Kalau begitu kita makan bersama saja ya nduk, tenang rasanya kalau ada kamu," kata
mbah Kliwon sambil merosot turun. Rasa sesak didadanya sudah berkurang banyak. Ia
menghirup lagi sisa wedang jahe yang ada digelas.
"Enak, nduk.."
"Rasanya bagaimana sekarang mbah, sudah lebih baik?"
"Sudah nduk, ayo kita makan, sebelum kamu pulang."
Sri menuntun mbah Kliwon keluar dari kamar. Menuju dapur.
"Aku sudah tidak apa-apa, mengapa harus dituntun-tuntun?"
Sri mengambil piring, meletakkan nasi dan sisa asem-asem buncis ddimeja. Ada dadar
telur sisa tadi siang.
"Ayo mbah, makanlah,"
Sri menyendokkan nasi dipiring simbahnya, dan asem-asem, serta seiris telur dadar.
Sesungguhnya mbah Kliwon tidak lapar. Ia hanya ingin si Sri ikut makan, karena
belum tentu kalau dirumah bisa makan dengan rasa nyaman.
"Simbah sedikit saja nduk."
Si Sri ikut makan, juga bukan karena lapar. Ia ingin simbahnya makan walau hanya
sedikit saja.
"Besok Sri akan masak sayur gori ya mbah."
"Iya, terserah kamu saja."
"Benarkah simbah sudah merasa enakan?"
"Sudah nduk, tadi simbah agak merasa sesak nafas, karena kaget. Simbah tidak
mengira bapakmu bisa bersikap sekasar itu pada ayah mertuanya."
"Bapak itu sering kemasukan setan. Apalagi kalau sudah minum-minum. Entah berapa
banyak laki-laki kurangajar itu memberi uang pada bapak, sehingga setiap hari bisa
beli makanan enak dan minuman yang memabokkan itu.
"Sekarang simbah merasa khawatir nduk."
"Khawatir kenapa mbah?"
"Khawatir kalau bapakmu akan menjual kamu."
"Menjual saya bagaimana mbah?"
"Dia minta banyak uang pada Basuki, lalu memberikan kamu agar jadi isterinya."
Si Sri berhenti mengunyah nasinya. Kata-kata mbah Kliwon sangat membuatnya takut.
"Sudah, semoga saja tidak, ayo habiskan makananmu."
Sri meneguk air digelas yang sudh dipersiapkannya, karena nasi yang belum selesai
dikunyahnya tak bisa tertelan olehnya. Terbayang lagi bagaimana Basuki menowel
pipinya.
Wajah Sri mendadak muram.
"Kamu harus bersiap menerimanya kalau itu terjadi."
"Tidak mbah, Sri tidak sudi. Laki-laki itu sangat kurangajar. Sri benci sekali sama
dia."
"Semoga Alloh melindungi kamu nduk."
"Simbah tidak apa-apa kalau saya pulang?"
"Tidak nduk, simbah sudah merasa baik. Maklumlah orang tua, mendengar barang jatuh
agak keras saja dada rasanya seperti ditendang, apalagi suara dari mulut, ditambah
gebrakan meja. Untunglah ada kamu Sri, kamulah yang menguatkan simbah. Semoga
simbah tidak akan mati dulu sebelum kamu hidup bahagia," kata mbah Kliwon sambil
berlinang air mata.
"Jangan begitu mbah, simbah harus tetap menemani Sri, sampai kapanpun, kata si Sri
sambil memeluk simbahnya.
***
"Si Sri pulang kerumah ketika hari sudah gelap. Ia membuka pintu, dan mendengar
suara ayahnya terbatuk-batuk dengan sangat keras. Sebenarnya Sri tak ingin menemui
ayahnya, ia ingin langsung masuk kekamar dan tidur. Tapi mendengar ayahnya terbatuk
tak henti-hentinya, miris juga hati si Sri. Perlahan ia mendekati kamar ayahnya,
membuka sedikit pintunya. Dilihatnya ayahnya duduk dipinggir ranjang, sambil
memegangi botol minuman keras.
"Bapak sudah terbatuk batuk seperti itu, masih minum begituan juga," tegur Sri
sambil masuk, lalu mengambil botol dari tangan ayahnya.
"Heeiii... mana botolku... kembalikaaan.." teriaknya marah.
"Jangan lagi pak, bapak sakit.."
Darmin kembali terbatuk-batuk, sampai terbungkuk-bungkuk
Sri masuk kebelakang dan mengambil air yang dicampurnya dengan air panas dari
termos lalu masuk kedalam kamar bapaknya.
"Minum air hangat ini saja pak.. biar batuknya reda."
"Nggak mau, mana botolnya tadii?"
"Coba bapak minum ini dulu," kata Sri memaksa.
Darmin meneguk minuman yang setengah panas itu, dihabiskannya satu gelas besar yang
diulurkan anaknya.
Batuk itu mereda. Sri keluar dari kamar dengan perasaan kesal. Kesal dan marah
kepada bapaknya, tapi dia adalah orang tuanya, yang mengukir jiwa raganya. Sri
terbaring dikamarnya, dengan perasaan tak menentu.
***
Pagi itu bu lurah Marni seperti biasa menggendong Jarot, berjalan membawa rantang
kerumah Lastri. Tapi dengan heran dia melihat beberapa keranjang sayuran menunmpuk
diluar rumah, sementara rumah itu masih tertutup.
Marni mengetuk pintunya pelan.
"mBah, mbah Kliwon... mbah.."
Agak lama Marni mengetuk, lalu didengarnya langkah mendekat dibelakangnya.
"Yu Marni?"
"Oh, Sri.. kamu juga baru datang? Heran aku Sri,mengapa pintunya masih tertutup?"
"Iya, apa simbah sakit?"
Sri ikutan mengetuk pintu.
"mBah.. simbah..."
Diketuknya terus pintu itu. Ada rasa khawatir menyelinap dihatinya. Kemarin
simbahnya tampak sakit, nafasnya terengah, lalu diketuknya pintu lebih keras.
Terdengar langkah menyeret sandal, mendekati pintu, lalu pintu itu terbuka.
"mBah, sakitkah?" tegur bu lurah khawatir.
"Tidak, tidak, saya baik-baik saja. Hanya semalam nggak bisa tidur, jadi bangun
kesiangan. Ma'af bu lurah. Sri.. masuklah.. benar-benar simbah kesiangan."
Bu lurah Marni masuk kedalam, diikuti Sri. Bau minyak gosok menyeruak. Tampaknya
mbah Kliwon memakai obat gosok semalam.
"Simbah sakit?" tanya Sri meyakinkan.
"Tidak... aduh, tolong bantuin mengurus barang-baramg itu Sri.."
"Bau minyak gosok, mau dikerokin mbah?"
"Enggak, semalam simbah menggosok dada dan perut pakai minyak gosok, sekarang sudah
baik kok."
"Baiklah mbah." jawab Sri sambil melangkah kedepan.
Dilihatnya mobil pick up bertuliskan LASTRI sudah siap mengangkut sayuran.
"mBah, ini Marni bawakan nasi buat sarapan," kata bu lurah sambil meletakkan
rantang dimeja.
"Setiap hari dikasih sarapan, duuh.. terimakasih lho .. "
"Itu nasi sama oseng sawi, ada tahu goreng sama kerupuk."
"Terimakasih banyak bu lurah.. nanti bisa buat sarapan sama si Sri. Rantangnya
nanti saya titipkan sopir... kan lewat sana, seperti biasanya."
"Iya mbah, sekarang saya pamit dulu, mau memandikan thole," kata Marni sambil
keluar dari rumah.
mBah Kliwon duduk di kursi bambu. Memang dirasanya badannya kurang enak. Mungkin
karena semalam nggak bisa tidur, atau memang sedang masuk angin.
Ia pergi kebelakang, merebus jahe dan sereh yang selalu siap didapur,
Sedikit segar ketika wedang jahe diteguknya, mbah Kliwon duduk menyandarkan
tubuhnya dikursi bambu itu. Ingatan tentang penolakan Darmin atas lamaran yang
diajukan Timan membuatnya sedih. Ia belum mengatakan siapa orangnya, Darmin sudah
menolaknya dengan kasar. Memang benar Sri hanyalah cucunya, yang lebih berhak
adalah bapaknya, tapi kalau bapaknya membuat cucunya menderita haruskah dia diam
saja?
"mBah, Sri sudah selesai, lho simbah sudah buat wedang jare sendiri?" tanya Sri
sambil mendekati simbahnya.
"Sudah, itu masih sisa kalau kamu mau, tinggal disaring saja."
"Simbah sarapan dulu ya.. saya tata dimeja saja."
"Ya, simbah mau mandi dulu, tadi sudah menjerang air."
"Baiklah.saya bersih-bersih rumah ya mbah."
***
Hari itu tak banyak yang dikerjakan mbah Kliwon. Sri melarangnya, karena mbah
Kliwon tampak kurang sehat. Selesai mengurus barang-barang, Sri memasak didapur.
Kemarin sudah bilang mau masak sayur gori. Ada balur yang dibelinya beberapa hari
lalu, yang kemudian digoreng. mBah Kliwon suka sekali sayur gori sama ikan asin.
Ketika selesai memasak, dilihatnya mbah Kliwon duduk di kursi bambu. Sri mendekati
lalu menawarkan makan siang.
"Nanti saja Sri, simbah belum lapar. Kalau kamu lapar, makan saja dulu."
Sri duduk didepan mbahnya. Ditatapnya wajah tua itu dengan rasa iba. Tampaknya ia
sedang memikirkan sesuatu. Pasti sikap ayahn ya sangat menyakiti perasaannya. Ia
sudah berbuat banyak untuk menantu yang sejatinya nyaris tak berguna. Tapi balasan
yang diterimanya sungguh membuat sakit. Bukan hanya hatinya, tapi raganya ikut
terguncang. Tubuh tua itu seharusnya sudah beristirahat, dilayani dan dituruti apa
yang menjadi keinginannya. Tapi mbah Kliwon tidak merasakannya. Seakan ada beban
berat yang disandangnya.
"mBah.." pelan Sri memanggil simbahnya.
mBah Kliwon menatap cucunya.
"Mengapa kamu tidak makan saja duluan?"
"Sri juga belum lapar mbah, nanti saja kita makan bersama-sama."
"Ya sudah.."
"Kalau simbah agak kurang enak badan, tiduran saja dahulu. Atau mau Sri kerokin?"
"Nggak usah, simbah baik-baik saja."
Tapi Sri tau bahwa simbahnya tidak sedang baik baik saja. Mungkin tubuhnya tidak
merasakan sakit, tapi dari sorot matanya, ada yang terasa menyiksa. Sri sedih, ia
tau ayahnya lah yang membuat semua ini.
"Apa yang dikatakan bapak, simbah nggak usah memikirkannya. Dia memang begitu,
susah diajak bicara, tak pernah mau mendengar kata orang."
mBah Kliwon menatap cucunya dengan iba. Ssungguhnya bukan menantunya yang dia
pikirkan, tapi justru cucunya. mBah Kliwon sangat menghawatirkan nasib si Sri.
Kalau si Sri sengsara, mbah Kliwon tak akan terima. Anak perempuannya sudah
meninggal dalam kehidupan yang tidak bahagia. Bagaimana kalau si Sri juga
merasakannya?
"mBah, apa simbah memikirkan sesuatu?" tanya Sri karena mbah Kliwon tak mengatakan
apa-apa, hanya memandanginya dengan perasaan yang tak dimengertinya.
"Simbah menghawartirkan kamu Sri.."
"Mengapa simbah menghawatirkan Sri? Sri tidak apa-apa."
"Kamu tak akan bisa melawan bapakmu."
Sri termenung. Selama ini dia selalu patuh pada bapaknya, tapi sejak mendengar
bapaknya membentak simbahnya, sakit hati si Sri. Dia sangat menyayangi simbahnya.
Dia membenci ayahnya karena kelakuannya yang sangat buruk.
"Kali ini Sri akan melakukannya. Sudah lama Sri memendam rasa kesal pada bapak."
"Sesungguhnya melawan orang tua itu dosa."
"Tapi bagaimana dengan kelakuan orang tua yang tidak benar?"
"Simbah berharap, kamu akan kuat Sri."
"Simbah jangan khawatir. Sri bisa menjaga diri. Simbah jangan menghawatirkan Sri.
Sri akan kuat, percayalah mbah."
Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar rumah.
"Srii!! Srii !!" itu suara Darmin. mbah Kliwon mengangkat kepalanya.
"Simbah tidak usah keluar, biar Sri saja."
Sri berdiri dan keluar, didepan pagar dilihatnya bapaknya sedang berdiri sambil
berkacak pinggang.
"Ada apa?"
"Kamu harus pulang sekarang, bapak mau bicara."
"Pekerjaanku belum selesai, bicara nanti sore saja," kata Sri dingin. Ia sudah
membulatkan tekat, tidak semua perintah ayahnya harus dipatuhi.
"Sekarang kataku !!"
"Tidak, simbah sedang tak enak badan, Sri tak bisa meninggalkannya."
"Kamu mulai berani menentang bapakmu?" hardik Darmin sambil matanya melotot. Mata
merah yang disebabkan oleh banyaknya minum minuman keras.
"Bukan menentang. Ini sa'atnya Sri masih bekerja."
"Ada hal penting yang kamu harus tau ! Pulang tidak??!
Sri menggeleng. Ia ingin kembali masuk kerumah, tapi kemudian Darmin mendekat dan
menarik tangannya.
Sri menjerit.
"Tidak bapak, lepaskaaan!! Sri berteriak. Tapi Darmin terus saja menariknya.
mBah Kliwon yang mendengarnya segera berdiri dan melangkah keluar, tapi bersamaan
dengan itu, sebuah mobil berhenti, tepat didepan pagar.
Bersambung #3
CERITA WA: Kembang Titipan #3
Cerita Bersambung
Sri meronta, pegangan ayahnya terlepas, karena Darmin sedang menatap mobil yang
baru datang. Seorang laki-laki dengan masih berseragam warna khaki.. turun dari
dalam mobil. Pak lurah Mardi.
"Ada apa ini ?" Tegur pak lurah sambil menatap si Sri..
"Ini kang.. eh..pak lurah.." kata si Sri sambil menuding kearah ayahnya.
Darmin melangkah keluar dari halaman. Ia sungkan terhadap lurah dusun yang tiba-
tiba datang. Ditinggalkannya si Sri begitu saja.
"Bapak tunggu kamu dirumah !!" kata Darmin sambil menjauh, sambil melotot kearah
anaknya.
"Ada apa Sri?"
"Silahkan masuk .. tiba-tiba mbah Kliwon sudah keluar juga. Lega rasanya melihan
Darmin sudah pergi.
"Saya dengar dari Marni, katanya mbah Kliwon sakit, makanya dari kelurahan saya
langsung kemari." kata pak lurah Mardi sambil mendekati mbah Kliwon.
"Ooh, bu lurah berlebihan. Cuma kemarin saya masuk angin. Ayo pak lurah, silahkan
masuk.." kata mbah Kliwon sambil mendahului masuk kerumah.
Wajah Sri masih pucat, ia berjalan agak sedikit dibelakang pak lurah.
"Ada apa Sri?"
Si Sri hanya menunduk. Tak terbayangkan kalau tadi pak lurah tidak datang, pasti ia
akan diseret disepanjang jalan menuju rumahnya, lalu semua orang melihatnya.
"Silahkan pak lurah. Ayo Sri, buatkan minum untuk pak lurah," ujar mbah Kliwon .
Lurah Mardi duduk, Sri beranjak kebelakang untuk membuatkan minuman.
"Kemarin agak kurang enak badan, lalu nggak bisa tidur, jadi bangunnya kesiangan.
Tapi saya tidak apa-apa kok."
"mBah, kalau memang badan kurang enak, lebih baik ke puskesmas saja, disana ada
dokter yang menangani, lalu dikasih obat.,"
"Iya, Sri sudah membuatkan saya wedang jahe, lalu saya merasa lebih baik."
"Syukurlah mbah, tapi ingat ya, kalau terasa badan kurang enak, harus periksa ke
dokter."
"Baik pak lurah."
"Itu tadi kan pak Darmin. Kenapa dia? Sepertinya marah sama Sri."
"Dia itu kan pemabuk, jadi ya begitulah kalau orang lagi mabuk."
"Pemabuk? Saya dengar sudah lama dia tidak pernah minum-minum."
"Ya, beberapa waktu berhenti minum karena tidak punya uang, tapi tampaknya ada yang
memberi dia uang, sehingga kumat."
"Oh, bekerja apa dia?"
"Bekerja apa, ya cuma lontang lantung begitu. Merokok nggak mau berhenti, uangnya
minta dari si Sri."
"Aduh, kasihan Sri ya mbah."
Sri datang menghidangkan minuman.
"Silahkan pak lurah."
"Srii.."
"Ya pak lurah.."
"Tadi tuh kenapa bapakmu narik-narik kamu?"
"Saya disuruh pulang, tapi saya nggak mau. Simbah agak masuk angin, dan pekerjaan
belum selesai."
"Ada apa sampai maksa-maksa begitu?"
"Ah, nggak tau pak lurah.. bapak memang suka memaksakan kehendak."
"Sepertinya tadi sedang mabuk, aku mencium bau minuman keras."
"Benar pak lurah."
"Lain kali akan aku suruh petugas untuk memperingatkan. Mabuk-mabukan itu
dilarang."
"Mungkin hanya pak lurah yang bisa memperingatkannya."
"Mudah-mudahan mbah."
"Silahkan diminum .." kata Sri.
Pak lurah meneguk minuman yang disuguhkan.
"Beberapa hari yang lalu mas Timan kemari kan?" katanya sambil menatap si Sri.
"Ya..." jawab Sri pelan.
"Semoga ada pembicaraan yang lebih serius ya Sri?"
Sri menunduk tersipu.
"Ya itulah pak lurah, nak Timan kan sudah bilang mau mengambil Sri sebagai
isterinya. Kemarin saya sebetulnya ingin bicara so'al itu sama Darmin, tapi
jawabannya sungguh diluar dugaan."
"Maksudnya?"
"Dia bicara kasar sama saya, dan bilang supaya saya tidak usah memikirkan Sri,
karena Sri adalah anaknya."
"Dan karena itu simbah jadi sakit semalam."
"Ya ampun, mengapa dia menolak? Bukankah mas Timan orangnya baik, dan sudah mapan?"
"Saya belum sempat mengatakan siapa dia dan bagaimana dia, dia sudah menggebrag
meja dengan kata-kata yang menyakitkan."
"Jangan-jangan Sri sudah dijodohkan dengan seseorang.."
"Saya juga mengira begitu," kata mbah Kliwon.
"Kamu tau siapa kira-kira orang yang dijodohkan sama kamu?"
"Nggak tau saya, tapi kalau laki-laki setengah tua yang memberi uang sama bapak,
dan baju-baju buat saya, saya tidak akan mau."
"Oh, kenapa? Dia jelek? Kurang tampan?" goda pak lurah.
"Dia laki-laki setengah tua, tapi sangat kurangajar. Sri benci, dia jelas bukan
laki-laki yang baik. Tapi Sri nggak tau, apa maksud laki-laki itu dengan semua
pemberiannya."
"Kemungkinan besar ya. Tapi kalau dia bukan laki-laki baik, harusnya pak Darmin
mencegahnya. Masa anak gadisnya akan diberikan kepada laki-laki yang tidak akan
bisa membuat anaknya bahagia?"
"Ya, kalau itu orang waras, tapi apa dia itu waras?"
"Nanti kalau mas Timan datang, saya akan mengantarnya menemui pak Dar,min,
tampaknya pak Darmin punya rasa segan sama saya."
"Terimakasih sebelumnya pak lurah," kata mbah Kliwon penuh harap.
***
Sore itu Sri langsung mandi, lalu masuk kedalam kamarnya. Dia tak perlu melayani
bapaknya karena akhir-akhir ini Darmin selalu beli makanan sendiri yang
dihabiskannya tanpa perduli pada anaknya. Dan tampaknya sejak tadi dia juga tak
melihat bayangan ayahnya. Mungkin pergi entah kemana, membeli minuman keras kekota,
atau berfoya foya dengan uangnya.
Sri merebahkan tubuhnya dan berusaha memejamkan matanya. Tiba-tiba wajah tampan
dengan mata teduh itu membayang dipelupuk matanya.
"Kalau kaamu ingin, jadilah isteriku.." kata-kata itu terngiang kembali, ketika Sri
mengatakan keinginannya bisa berjualan dipasar.
Sri tersenyum. Seperti mudah mengatakan itu, membuat hatinya berbunga bunga.
Seandainya dia adalah kembang liar yang tumbuh ditepi jalan, betapa mudah ketika
Timan ingin memetiknya. Tapi dia adalah kembang yang tumbuh ditanah kering,
kerontang tanpa air sebagai penyiram dahaga. Dan tanah kering itu berada dalam
kekuasaan raksasa yang maha kejam dengan taring sebesar pisau belati, dan mata
selalu memancarkan api.
Sri teringat dongeng ibunya ketika masih kecil.
"Sang putri jelita diculik oleh raksasa, disembunyikan didalam gua yang hanya punya
satu pintu, dan dipintu itu duduk seekor singa yang siap menerkam siapa saja yang
berani memasukinya."
"Apakah puteri itu menangis?" tanya Sri kecil yang mendengarkan dongeng itu sambil
berlinang air mata, karena kasihan pada sang putri.
"Tentu saja puteri itu menangis, siang dan malam."
"Kasihan..."
"Tapi, sang puteri yang baik hati dikasihani oleh Allah Yang Maha Pengasih."
"Lalu Dia menolongnya?"
"Ya, seorang pangeran dengan kuda putih berhenti dimulut guha, karena mendengar
tangisan sang putri. Pangeran tampan itu turun dari kuda, berjalan menuju guha.
Tapi tiba-tiba terdengar auman keras, lalu muncullah seekor singa yang menampakkan
gigi-gigi runcingnya.
"Berhenti !!" kata singa itu.
"Siapa yang menangis didalam sana?"
"Itu bukan urusanmu. Segera pergi kalau tak ingin aku mengunyak-ngunyah tubuhmu."
Sri kecil menutup mulutnya.
"Tapi sang pangeran tidak takut. Dia mengeluarkan pedangnya dan bertarung melawan
singa itu. Dan berkali-kali pedang sang pangeran melukai tubuh singa yang mengamuk
membabi buta. Akhirnya singa itu kalah dan mati."
"Syukurlah.. lalu bagaimana sang putri?" Sri kecil memeluk ibunya.
Sang pangeran kemudian masuk kedalam gua, mendekaati sang putri dan
menggendongnya."
"Asyiiiik.." teriak Sri kegirangan.
"Lalu sang putri didudukkannya diatas kuda putih, dan sang pangeran membawanya ke
istananya."
Sri menghela nafas, matanya setengah terpejam, seandainya dia puteri itu, siapakah
pangeran berkuda putih yang akan membawanya ke istananya?
Sri terlelap dalam mimpi, tentang pangeran berkuda putih, yang membawanya
berkeliling dunia, melihat pemandangan indah yang terhampar disekelilingnya.
Bahagia rasanya, bersandar didada pangeran yang memeluknya dari belakang, mendengar
bisikan-bisikan cinta yang membuatnya terbuai disepanjang perjalanan.
***
Tapi pagi itu sebelum berangkat, ayahnya memanggilnya. Rupanya belum lama dia
pulang, dan baru mau berangkat tidur.
"Sriii !!"
Sri yang baru mau melangkahkan kakinya keluar dari pintu, kemudian berhenti.
"Sini kamu !"
Sri kembali masuk, dilihatnya ayahnya berdiri didepan pintu kamarnya.
"Kamu itu bandel ya. Kan bapak sudah bilang, jangan memakai baju-baju kumal itu
lagi!"
"Ini bukan baju kumal. Ini bersih dan masih bagus."
"Itu baju perempuan dusun yang tidak berkelas."
Sri melebarkan matany. Darimana bapaknya mendapatkan kata-kata berkelas itu? Selama
ini dia adalah gadis dusun. Kelas itu dipandang dari mana?
"Kamu harus menjadi perempuan yang punya kelas."
"Kelas itu apa?" tanya Sri dengan wajah kesal.
"Bodoh !! Kelas adalah nilai derajat seseorang."
"Haaa.. darimana derajat itu dilihat? Bukankah derajat adalah sebuah perilaku yang
tampak dan yang terpuji? Bukan dari pakaian yang dikenakan?" kata Sri dengan
berani. mBah Kliwon sering mengatakan itu dan terpateri dalam ingatannya.
"Apa katamu? Siapa mengajarimu?"
"Hidup yang mengajari Sri. Ma'af ya pak, kelakuan bapak itu yang tidak berkelas."
kata Sri makin berani, karena kebencian pada ayahnya semakin memuncak.
Darmin maju selangkah dan sebuah tamparan mendarat dipipi si Sri.
"Auuw !" Sri menjerit lirih sambil memegangi pipinya. Kalau saja ada kaca disana
pasti Sri akan melihat bahwa pipinya berbekas merah.
"Kamu semakin kurangajar pada bapak? Kamu tidak punya rasa hormat !"
"Bapak tidak mengajari saya bicara dengan hormat. Bapak menyakmiti simbah, dan
tidak menghormati simbah sebagai ayah dari almarhum ibu."
Darmin mengayunkan lagi tangannya, siap menyakiti Sri dengan tamparan yanglebih
keras, tapi Sri sudah membalikkan tubuhnya.
"Heii! Dengar !! Bilang pada simbahmu, jangan ikut-ikutan mengurusi kamu!!"teriak
Darmin penuh amarah.
Lalu Sri berlari keluar, membiarkan air matanya terburai sepanjang perjalanannya
kerumah Lastri.
Darmin urung mengejarnya karena rasa kantuk memberati matanya. Ia memasuki kamarnya
sambil membanting pintu.
***
Ketika tiba dihadapan mbah Kliwon, Sri melihat mbah Kliwon sudah duduk di kursi
bambu, dan dua gelas wedang jahe terhidang dihadapannya. Tidak hanya wedang, ada
sepiring ketela menemani wedang itu. Masih panas.
"mBah.. simbah bangun sangat pagi," sapa Sri sambil duduk didepan simbahnya.
"Ya, simbah merasa lebih enak. Itu wedang buat kamu, minumlah dulu," kata mbah
Kliwon.
Sri mengambil wedangnya dan menghirupnya pelan.
"Hm, enak mbah.. "
"Kamu tadi menangis?" tanya mbah Kliwon sambil menatap cucunya. Rupanya mata tuanya
masih sempat melihat sembab diwajah si Sri.
Sri menghirup lagi wedangnya.
"Bapakmu marah-marah? Apa yang dikatakannya kemarin begitu kamu sampai dirumah?"
"Ketika Sri sampai dirumah, bapak tidak ada. Entah pergi kemana..Baru pagi tadi
pulang, ketika Sri mau berangkat."
"Bilang apa dia?"
"Biasa mbah, tidak perlu Sri ceritakan."
"Kamu menangis?"
"Hampir setiap hari Sri menangis." kata Sri sambil mengupas ketela sepotong yang
diambilnya. Masih panas, Sri mengupasnya pelan.
"Apa bapakmu mengatakan bahwa kamu akan dijodohkan dengan seseorang? Yang namanya
Basuki itu.. misalnya?"
"Tidak, bapak belum mengatakan apa-apa. Tapi kalau demikian halnya, maka Sri akan
menolaknya. Tak mungkin dia bujangan. Umurnya sudah setengah abad kira-kira, dan
matanya kelihatan bukan mata orang baik-baik. Jijik Sri melihatnya."
"Kebangetan bapakmu itu.. pikirannya sudah tidak waras. Keracunan minuman keras.
Tidak memikirkan perasaan anaknya."
"Ya sudah mbah, jangan difikirkan, mari kita bekerja..," kata Sri sambil berdiri.
***
Sore itu Sri pulang dengan perasaan segan. Sungguh menyebalkan dirumah sendiri,
bersama orang tuanya, tapi tak membuat hatinya nyaman. Salah siapa kalai Sri lebih
menyayangi simbahnya daripada bapaknya?
Kalau ada kesempatan nanti Sri akan minta kepada ayah nya agar boleh tinggal
bersama simbahnya saja. Bolehkah? Bagaimana kalaau tidak boleh? Beranikah dia
nekat? Beribu pertanyaan memenuhi benaknya.
Tapi untuk terus bersama ayahnya, dia merasa tak betah. Darmin sepeerti orang asing
baginya. Seperti tak ada ikatan darah yang membuatnya merasa sayang. Air mata Sri
menitik, lalu diusapnya.
Sri memantapkan hatinya untuk bicara dengan ayahnya. Ia harus berani.
Namun kira-kira sepuluh langkah sebelum dia memasuki pagar rumahnya, dilihatnya
sebuah mobil berhenti. Sri terkesiap. Itu seperti mobil si kurangajar itu. Sri
membalikkan tubuhnya karena tak ingin bertemu Basuki. Ia mempercepat langkahnya,
namun sebongkah batu membuatnya tersandung sehingga dia jatuh tersungkur. Sebuah
langkah cepat menghampiri. Wajah Sri pucat pasi. Tartatih berusaha bangun, tapi
sebuah tangan menangkap lengannya. Lengan yang kuat dan sedikit berbulu. Sri
bergidik, mencoba meronta, tapi tangan itu begitu kuat.
==========
Sri terus meronta, tapi tangan kekar itu semakin kencang menggenggam lengannya.
"Lepaskaaan!! " pekik Sri marah.
"Wauuw... kelinci cantik.. galak bener..." kata Basuki sambil tertawa, lalu
mengulurkan kedua tangannya untuk menarik tangan Sri.
Sri berdiri, mengibaskan tangannya sampai terlepas dari pegangan Basuki, lalu
melangkah pergi. Tak dirasakannya rasa perih pada lututnya akibat terbentur tanah
berbatu.
"Heiii... tungguu...." teriak Basuki sambil mengejar.
"Kalau kamu nekat, aku akan berteriak maling, supaya orang-orang keluar dan
menghajar kamu," ancam Sri keras.
"Yaah, kejam amat, aku kan menolong kamu, kok mau diteriakin maling? " omelnya
sambil terus mengikuti Sri.
Sri membalikkan badannya dan menuding kearah Basuku.
"Berhenti disitu. Atau bener nih, aku teriak?"
Basuki ternyata keder dengan ancaman si Sri. Bisa habis aku kalau orang sekampung
menangkap aku lalu memukuli aku, pikirnya sambil membalikkan tubuhnya kembali
kerumah Darmin.
Darmin yang menunggu didepan pagar heran melihat Basuki berjalan kembali sendirian.
"Mana Sri?"
"Kabur dia."
"Kabur ?"
"Yah, kabur.., kesana.."
"Anak kurangajar. Mengapa tuan tidak menyeretnya kemari?" sesal Darmin sambil masuk
kedalam, diikuti Basuki.
"Anak itu memang kurangajar. Aku tau .. semuanya atas hasutan si Kliwon," gerutu
Darmin tanpa rasa hormat padahal yang disebut adalah mertuanya.
"Siapa Kliwon?"
"Kliwon itu bapaknya isteri saya, jadi ya mbahnya si Sri itu."
"Oh, tapi biarkan saja, aku tidak tergesa-gesa. Selama kamu masih bisa menjaga Sri,
aku akan terus menunggu sampai dia mau melayani aku. Aku maklum, gadis desa, lugu,
pasti takut melihat laki-laki yang belum begitu dikenalnya. Tapi aku suka
itu.Berarti dia benar-benar perawan." Katanya sambil tertawa menjemukan.
"Ya perawan lah tuan, belum ada yang pernah menjamahnya."
"Ya, aku tau, kebanyakan perempuan pasrah setiap kali aku mendekatinya."
"Ya iyalah, tuan banyak duitnya, ganteng lagi, mana ada perempuan menolak?" kata
Darmin dengan nada menjilat.
" Iya, benar.. jadi aku tidak mau nanti dia melawan setiap aku dekati."
"Saya akan terus memberinya pengertian, tuan."
"Apa dia suka baju-baju yang aku berikan?"
"Suka sekali tuan, sangat suka.. dia pakai baju-baju bagus itu setiap hari," kata
Darmin yang tentu saja berbohong.
"Bagus, tapi mengapa tadi dia tidak memakai baju pemberianku?"
"Oh, itu karena dia sudah ganti baju tuan, tadi dipakainya. Namanya gadis desa, ya
pasti senanglah dikasih baju-baju bagus."
Basuki mengangguk angguk, lalu berdiri, sambil meninggalkan amplop dimeja Darmin.
Mata Darmin berkilat-kilat melihat amplop itu. Kalau pantas dia ingin segera
mengusir Basuki agar dia segera lari kekota untuk bersenang-senang.
***
Sri memasuki rumah Lastri dan bergegas kebelakang. mBah Kliwon baru saja keluar
dari kamar mandi. Terkejut melihat Sri datang kembali.
"nDuk, ada apa?"
"mBah, bolehkan saya meminjam baju yu Lastri ?"
"Oh, boleh saja, memang baju Lastri masih banyak yang tertinggal disini, dan
sebenarnya boleh diberikan kepada siapa saja yang mau. Ayo ikut simbah," kata mbah
Kliwon yang lalu berjalan kearah kamar Lastri dan membuka pintunya.
"Almari itu tidak terkunci, ambil saja mana yang kamu mau. Tapi kenapa Sri? Tumben
kamu butuh bajunya Lastri.
"Sri mau mandi disini dan berganti baju."
"Kamu belum pulang?"
"Sudah mbah, tapi saya melihat Basuki baru saja datang, lalu saya balik kemari. Ada
obat merah mbah?"
"Ada, itu didekat almari. Kenapa pula?"
"Tadi Sri berlari, lalu terjatuh."
Sri mengambil obat merah yang ditunjukkan simbahnya. Mengambil sedikit kapas yang
kebetulan ada dan membersihkan lukanya, lalu memberinya obat merah. Perih, tapi Sri
tidak merasakannya. Perih dihatinya lebih menyakitkan daripada luka pada lututnya.
"Sampai jatuh begitu Sri?"
"Sudah mbah, hanya luka kecil. Sekarang Sri mau mandi dulu."
Mbah Kliwon menghela nafas panjang, sedih memikirkan cucunya. Ia ingin melakukan
sesuatu, tapi apa, Darmin lebih berkuasa atas anaknya. Tapi kalau Sri menderita,
mbah Kliwon sangat tidak rela.
Ia membuat wedang jahe kesukaannya, dan menyiapkannya juga untuk Sri. Lalu ia duduk
menunggu si Sri selesai mandi.
Ketika Sri mendekat, dia sudah memakai pakaian milik Lastri. Sangat pas untuk Sri.
Memang sih, bentuk tubuh dan tingginya si Sri tak berbeda jauh dengan Lastri.
"Sangat pas kamu pakai Sri. Kalau kamu mau mandi disini, pakai saja baju-baju itu."
"Nanti Sri mau bilang sama yu Lastri kalau dia kemari."
"Sebenarnya simbah punya nomor kontaknya Lastri. Dia meninggalkan ponsel untuk
simbah, supaya kalau ada apa-apa bisa menghubungi dia."
"Bagus mbah, bolehkah Sri menelponenya?"
"Boleh saja, tapi minum dulu wedang jahemu. Mumpung masih anget."
"Simbah repot-repot membuat wedang untuk Sri.."
"Tidak nduk, sebelum kamu datang simbah sudah merebusnya. Simbah minum wedang ini
sebelum tidur."
"Sri mau tidur disini ya mbah?"
"Simbah senang kalau kamu mau tidur disini. Tapi apa bapakmu tidak marah?"
"Tadi ada Basuki, biarkan saja. Sri tidak akan mau bertemu dia."
"Kamu sudah makan?"
"Kan tadi sudah makan sebelum pulang."
"Barangkali masih mau, nasinya masih ada."
"Tidak mbah. Sri tidak lapar."
"Nanti tidurlah dikamar Lastri, setiap hari simbah membersihkannya."
"Oh iya, Sri mau menelpone yu Lastri ya mbah?"
"Baiklah, simbah ambilkan dulu ponselnya."
***
Lastri sedang berbincang dengan Bayu ketika mereka selesai makan malam. Sore tadi
lurah Mardi barusan menelpone, mengatakan bahwa Timan mau melamar.
"Pak lurah meminta kita nanti bersama mas Timan kerumah Sri." kata Bayu.
"Baguslah, aku juga sudah kangen pulang ke desa mas. Kapan itu?"
"Belum tau tuh. Mas Timan sendiri kok belum mengabari kita ya."
"Mungkin lagi sibuk, jualannya laris."
Tapi tiba-tiba sebuah mobil masuk ke halaman. Lastri langsung berteriak.
"Itu kan mobilnya mas Timan?"
"Yaaa.. panjang umur dia. Baru diomongin sudah nongol," kata Bayu yang kemudian
berdiri menyambut datangnya Timan.
"Selamat malam, saya mengganggu?"
"Tidak, baru saja kami ngomongin mas Timan. Panjang umur .. so'alnya yang diomongin
tiba-tiba muncul."
"Oh ya? Alhamdulillah kalau begitu."
"Silahkan duduk, mas."
"Ayo mas, duduk, aku buatkan minum dulu ya," kata Lastri yang beranjak kebelakang.
"Lagi santai ya mas, ini sudah malam, saya takut mengganggu."
"Tidak, senang mas Timan datang. Hm, calon pengantin nih ya?" goda Bayu.
"Baru mau ngomong nih."
"Aku ikut lho mas, kalau ngelamar," kata Lastri sambil membawa minuman untuk
tamunya.
"Tadi pak lurah menelphone."
"Iya, tadi juga menelphone kemari, mengajak kami mengantar mas Timan ."
"Tapi aku kok deg-degan ya?"
Bayu dan Latri tertawa.
"Baru mau ngelamar sudah deg-degan, belum nanti kalau sudah nikahan, lalu berduaan
dikamar sebagai pengantin baru," goda Bayu lagi.
"O, itu pengalaman pribadi bukan?" Timan membalas candaan Bayu.
"Iya lah, mesti sudah sering ketemu, tapi tetap deg-degan juga, ya kan Tri."
"Nggak tau lah, sudah lupa. Ini ngomongin apaan sih, kan mas Timan mau nglamar, ya
ayo bicara tentang lamaran, iiih.. yang enggak-enggak aja nih para lelaki kalau
sudah bercanda.' gerutu Lastri tapi tidak meninggalkan senyuman.
Bayu dan Timan tertawa keras.
"Oke mas, saya tadi kan bilang deg-degan. Itu bukan tanpa alasan. Tadi mas lurah
bilang bahwa bapaknya Sri itu susah diajak bicara. Dia justru kasihan sama si Sri
yang selalu mendapat tekanan dari bapaknya."
"O.. iya, pak Darmin itu orangnya susah, jarang bergaul dengan tetangga desa. Dulu
mereka tinggal dikota, tapi waktu Sri masih gadis kecil."
"Nah, itu yang membuat saya deg-degan."
"Nggak apa-apa mas, kan yang nganterin mas Timan nanti banyak, jadi mas Timan harus
tegar, jangan deg-degan," kata Bayu.
Tiba-tiba bu Marsudi berteriak dari dalam.
"Lastri, ada telephone tuh."
Lastri berlari kedalam, ketika keluar lagi, dia masih bicara.
"Iya, nggak apa--apa Sri pakai saja semuanya. Iya, aduuh, aku juga kangen sama
kamu, terus ini ada lagi yang kangen sama kamu.. ada deh, dengar aja suaranya."
"Ini mas.." kata Lastri sambil mengulurkan ponselnya kepada Timan.
"Siapa?"
"Terima dulu..."
"Haloo.. " sapa Timan.
"Ini siapa?" suara dari seberang.
"lho, ini juga siapa?"
"Aduh, yu Lastri mana sih, aku bingung."
"Oh, ya ampun, aku sudah ingat suara kamu, kamu Sri kan?"
"Mas Timan ya ?" bergetar suara dari seberaang sana.
"Apa kabar Sri?"
"Kabar baik mas, kok ada disini ?"
"Iya, lagi main kerumah mas Bayu. Kamu dirumah? Ini nomor telephone kamu? Aku catat
ya?"
"Bukan, aku nggak punya ponsel, ini punya simbah."
"Oh, nggak apa-apa, akan aku catat, dulu belum sempat mencatatnya."
"Ya mas, mana yu Lastri?"
"Aduh, mengapa dia yang dicari? Bukan aku?" goda Timan.
"Ah..."
"Kok 'ah' sih?"
"Mas Timan lucu.."
"Lho.. memangnya aku pelawak?"
"Mirip..."
Timan tertawa. Bayu dan Sri senang melihatnya.
"Sri.."
"Ya.."
"Tak lama lagi aku mau kerumahmu."
"Ngapain ?"
"Ngebantuin nyapu halaman..."
Sri tertawa diujung sana, dan Timan membayangkan sederet gigi putih dan pipi lesung
yang menawan.
"Beneran deh, lucu..."
"Iya, aku pengin ngelihat kamu tertawa sih, bisa vc nggak?"
"Apa tuh VC ?"
"Video call.. biar bisa lihat wajah kamu."
"Oh, ini ponsel jadul.. boleh ngebayangin saja.." Sri mulai lancar berbicara, ini
pertama kalinya bisa bercanda lepas, dan itu membahagiakannya.
"Iya, ini sudah aku bayangin.. pipi lesung, bibir tersenyum, mata berbinar.. itu
kamu kan?"
"Nggak tau deh, didekat aku nggak ada kaca .. jadi nggak bisa lihat wajah sendiri."
"Ya sudah nggak apa-apa, aku sudah bisa lihat kok."
"Darimana?"
"Dari ngebayangin aja.."
"Oh..."
"Kok oh sih?"
"Sudah ya, kelamaan mengganggu.. besok lagi saja.."
Timan juga merasa sungkan kelamaan bicara, padahal ia mau menelpone semalama,
sampai pagi, sampai siang.. sampai sore dan kembali malam.. Aduhai..
"Ini kamu dirumah simbah?"
"Ya, pengin tidur dirumah simbah."
"Baiklah, selamat tidur, besok aku boleh menelphone lagi kan?"
"Iya, boleh..."
"Aku akan segera kerumah kamu, nemuin bapak kamu."
"Oh..."
Timan mengembalikan ponsel Lastri setelah pembicaraan itu selesai, wajahnya
berseri-seri.
"Ehem... " Bayu berdehem sambil menatap Timan dengan pandangan lucu.
"Ada apa mas?"
"Seneng dengernya, tapi agak sungkan juga ya Tri, ngedengerin orang lagi pacaran."
"Mas Bayu ada-ada saja, cuma gitu aja dibilang pacaran."
"Sedikit.."
"Tapi aku senang, mas Timan sama Sri semakin dekat. Kapan akan kesana?"
"Menunggu kabar dari pak lurah, nanti saya bilang ke mas Bayu."
***
"Ngomong sama siapa nduk, kok kelihatannya asyik banget..?" tanya mbah Kliwon
ketika Sri mengembalikan ponselnya.
"Sama yu Lastri... lalu sama... mas Timan.."
"Lho, apa Lastri lagi dirumah nak Timan, atau sebaliknya nak Timan ada drumah
Lastri?"
"Mas Timan lagi ada disana."
"Syukurlah, kamu jadi bisa bercicara sama dia. Ngomong apa saja?"
"Bercandaan saja mbah, mas Timan bisa lucu. Oh ya, sama bilang katanya mau kesini.
Sri lupa nanya, mau ngapain datang kemari."
"Oh, mungkin seperti kata pak lurah, mau sekalian menemui bapakmu."
Sri menghela nafas. Tiba-tiba ada rasa takut menderanya. Maukah ayahnya menerima
kedatangan mereka? Bagaimana kalau ayahnya bersikap kasar? Sri malu
membayangkannya. Malu punya ayah yang kasar dan tak pernah menaruh hormat kepada
siapapun.
"Mengapa kamu justru tampak sedih ?"
"Membayangkan bagaimana nanti sikap bapak."
"Semoga bapakmu punya rasa sungkan kepada pak lurah, sehingga bisa bersikap lebih
baik."
"Semoga..."
"Ya sudah, ini sudah malam, kamu tidurlah.. ," kata mbah Kliwon sambil berdiri. Sri
mengikuti masuk kekamar Lastri, membaringkan tubuhnya disana dengan nyaman. Memang
perasaannya benar-benar nyaman. Terbaring lelah, tanpa bayangan akan ada orang yang
membentaknya, atau suara keras membanting pintu. Inilah kehidupan yang sebenarnya
diimpikannya.
Sri memejamkan matanya, lalu teringat kata Timan yang akan datang. Sesungguhnya itu
membahagiakan, ada orang baik, ganteng, mau melamar dirinya, tapi sedih
membayangkan apa kata bapaknya nanti.
Menjelang pagi Sri baru terlelap. mBah Kliwon tak mau membangunkannya, karena
kasihan. Ia pergi kedapur, menyalakan kompor dan menjerang air untuk mandi dan
untuk membuat teh hangat untuk mereka berdua.
Tiba-tiba diluar terdengar teriakan keras.
"Sriii! Sriiii!" itu suara Darmin, sambil menggebrak pintu.
"Sri !!" teriaknya lagi.
"Keluar kamu Sri !!"
Pintu kemudian terbuka, mbah Kliwon muncul disana.
"Mana Sri? Suruh dia keluar. Tidak pantas anak gadis tidur disembarang tempat."
"Ini bukan sembarang tempat. Ini rumahku, simbahnya si Sri !!"
"Saya tidak perduli, yang jelas Sri tidak tidur dirumah !!Aku tidak suka !!
Tiba-tiba muncul seseorang, dengan menggendong bayi. Bu lurah Marni kesal mendengar
kata-kata kasar dari Darmin.
"Tolong, pelankan suaramu, dan hormati orang tua!!" katanya sengit.
Bersambung #4
CERITA WA: Kembang Titipan #4
Cerita bersambung
Darmin menoleh kearah wanita itu. Ia merasa tak pernah melihatnya. Kemarahannya
memuncak karena ada perempuan berani menentangnya.
"Kamu tidak usah ikut campur. Ini urusanku."
"Tapi saya tidak suka mendengar kata-kata kamu. Dia ini orang tua, harusnya kamu
menaruh hormat. Oh ya, apakah kamu bapaknya Sri? Saya heran, Sri yang cantik dan
lembut hati bisa terlahir karena seorang ayah yang seperti kamu."
"Tutup mulut kamu ! Atau aku hajar kamu?!"
"Eeh... lancang kamu Darmin. Kamu tidak tau siapa dia. Dia adalah bu lurah!" hardik
mbah Kliwon.
Darmin mundur selangkah.
"Aku hanya minta agar Sri pulang ! Tidak pantas seorang gadis tidur disembarang
tempat !"
"Ini bukan sembarang tempat. Ini rumahku, rumah mbahnya si Sri." kata mbah Kliwon
tak kalah sengit.
"Mulut kamu bau minuman keras, kamu tidak waras. Aku akan melaporkam kamu agar kamu
ditangkap, karena pemabuk adalah penjahat."
Wajah Darmin merah padam, sudah gatal tangannya ingin menampar bu lurah, tapi ada
rasa segan.
"Ada apa pak?" tiba-tiba Sri terbangun mendengar suara ribut.
"Pulang kamu !!" teriak Darmin sambil menuding kearah si Sri.
"Sri akan tetap disini. Dia bekerja untuk pak lurah." kata bu lurah lantang, sambil
berdiri dihadapan Sri, seakan khawatir kalau-kalau Sri mendekati ayahnya.
Beberapa pemasok sayur sudah datang, heran ada orang berani bicara lantang
dihadapan bu lurah.
Darmin menuding Sri dengan mata menyala.
"Awas kamu !!"
Lalu dia membalikkan tubuhnya dan berlalu.
Bu lurah menghela nafas kesal. Dia memasuki rumah sambil merangkul pundak si Sri.
"Kasihan kamu Sri, bagaimana bapak kamu bisa melakukan hal seperti itu?"
Sri diam, berlinang air matanya.
"Segeralah menikah dengan mas Timan, dan tinggalkan saja bapakmu."
Alangkah mudah kata itu diucapkan. Semudah itu pulakah dia bisa menikah dengan
Timan mengingat sikap bapaknya seperti itu?
"Silahkan duduk bu lurah, saya siapkan minuman hangat," kata mbah Kliwon.
"Terimakasih mbah, tapi saya harus segera kembali. Lagi pula para pemasok sayur
sudah pada datang, dan mobilnya juga sudah siap didepan. Saya akan segera
melaporkan kejadian ini kepada mas Mardi. Mungkin mas Timan harus segera melamar
Sri."
"Terimakasih banyak bu lurah, saya juga sudah tidak tahan menyaksikan penderitaan
Sri. Bagaimana mungkin, hidup bersama ayah kandungnya tapi tidak merasa nyaman."
"Semoga semuanya segera berakhir mbah. Oh ya, ini nasi buat sarapan," kata bu lurah
kemudian sambil meletakkan rantang diatas meja.
"Sri, bu lurah selalu repot untuk kita, bawa rantangnya kebelakang dan urus barang-
barang itu. Mandinya nanti saja."
"Iya mbah, terimakasih banyak yu Marni," kata Sri sambil beranjak kebelakang.
***
Ketika Marni sampai dirumah, dilihatnya suaminya sudah selesai mandi.
"Aduuh, anak bapak yang ganteng.. enak ya tidurnya?"
"Setiap diajak jalan-jalan pasti dia tidur."
"Segar hawa pagi."
"Tadi ada sedikit keributan dirumah mbah Kliwon."
"Keributan apa ?
"Semalam Sri tidur dirumah mbah Kliwon, karena ketakutan melihat laki-laki itu ada
dirumahnya. Darmin tampaknya baru pulang menjelang pagi, kemudian melihat Sri tidak
ada dirumah. Nah, dia marah-marah lalu datang kerumah mbah Kliwon. Aduh mas,
bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan itu... ngeri aku mas."
"Melakukan apa sih? Kamu ngomongnya nggak jelas."
"Darmin itu lho mas, bukankah mbah Kliwon itu mertuanya? Tapi dia berkata kasar dan
sama sekali tidak menghormatinya. Kesal aku mas, aku marah sekali dan memaki-maki
dia."
"Berani kamu ?"
"Berani lah. Melihat orang bersikap kasar seperti itu, nggak tahan aku."
"Dia memang susah diatur, aku akan memperingatkannya, belum sempat juga karena di
kantor sedang banyak pekerjaan."
"Mas harus segera memperingatkannya. Kasihan Sri mas, anak baik seperti dia mengapa
terlahir dari bapak yang kasarnya seperti setan."
"Nanti akan ada yang bertugas memperingatkan. Sudah.. ayo sarapan dulu."
"Tapi mas, tampaknya mas Timan harus segera melamar. Biar Sri segera terlepas dari
bapaknya."
"Ya, nanti aku juga mau bilang sama mas Timan. Sepertinya kemarin juga sudah ketemu
Lastri sama mas Bayu."
"Baiklah, aku tidurkan thole dulu, lalu menyiapkan sarapan buat mas."
***
Sri sudah menyelesaikan pekerjaannya pagi itu. Tapi hatinya merasa gelisah. Pasti
nanti ketika dia pulang, Darmin akan marah-marah. Dan entah apa yang akan
diperbuatnya.
Sri duduk termenung setelah selesai masak. Hanya oseng kangkung dan rempeyek teri
yang sesungguhnya menggugah selera. Tapi Sri masih belum ingin makan.
"Simbah mau makan sekarang?"
"Kamu kok malah duduk disitu? Belum lapar?"
"Sri belum lapar, tapi kalau simbah mau makan sekarang akan Sri siapkan."
"Kalau begitu nanti saja kalau kamu juga sudah ingin makan. Nggak enak makan
sendiri."
Sri tidak beranjak dari tempatnya duduk. mBah Kliwon mendekati dan duduk dihadapan
Sri.
"Kamu sedih memikirkan bapakmu? Takut pulang nanti sore?"
"Nggak tau mbah, Sri bingung."
"Ya sudah, kalau takut pulang ya tidur disini lagi saja."
"Tidak mbah, nanti dia datang kemari dan ngamuk-ngamuk lagi. Nggak tega mendengar
bapak berkata kasar sama simbah."
mBah Kliwon beranjak berdiri karena mendengar dering telephone.
"Hallo... oh.. iya nak.. ada.. sebentar.." suara mbah Kliwon yang kemudian
mendekati si Sri.
"Ini, ada telephone untuk kamu," katanya sambil menyerahkan ponselnya.
"Siapa mbah?"
"Terima saja dulu."
"Hallo..."
"Hallo juga, ingat nggak suara siapa ini?"
Mendadak wajah Sri berseri-seri. Wajah ganteng dengan mata teduh itu terbayang
dimatanya.
"Ingat nggak ?"
"Lupa tuh? kata Sri menggoda..
"Aduh, kasihan deh aku, begitu gampang dilupakan rupanya. Ya sudah aku tutup saja
kalau begitu," kata Timan balas menggoda.
"Mas Timaaaan!"
"Tuh, pura-pura lupa kan ?"
"Ada apa mas?"
"Kok ada apa sih, kan kemarin aku sudah janji mau menelpone."
"Memangnya nggak jualan ?"
"Jualan sih, sudah agak sepi pasarnya. Sebentar lagi mau mengirim buah ke rumah
makan."
"Oh, senangnya seandainya aku bisa membantu.."
"Boleh membantu dong, tapi kan ada syaratnya?"
"Apa tuh?"
"Menjadi isteri aku dulu.."
Sri terdiam, hatinya terguncang. Ia ingat kata bu lurah pagi tadi. Segeralah
menikah dengan mas Timan.. aduhai.. seperti semudah membalikkan telapak tangan.
"Heiii.. kok diam? Kamu marah?"
"Nggak... "
"Kok diam?"
"Ngebayangin..."
"Ngebayangin apa?"
"Benarkah itu akan terjadi ?" tanya Sri pilu.
"Mengapa tidak ? Sri, aku serius, sudah lama keinginanku terpendam. Aku jatuh cinta
pada pandngan pertama," kata Timan begitu lancar. Entah darimana datangnya
keberanian itu. Mungkin karena yakin bahwa Sri tak akan menolaknya. Kelihatan dong
dari sikapnya.
Sri tersenyum, hatinya melambung kelangit bersama seonggok bunga-bunga wangi yang
menghiasi seluruh nurani. Ini pernyataan cinta yang baru didengarnya. Bukan
candaan.
"Sri..."
"Ya..."
"Kok diam?"
"Ngebayangin.."
"Dari tadi ngebayangin melulu."
Sri tertawa. Timan menelan ludah. Pasti sederet gigi putih dibalik bibir tipis itu
tampak sangat mempesona.
"Sudah mas, katanya mau ngirim buah ke rumah makan.."
"Lhoh, kok ngusir? Lagi asyik-asyiknya nih."
Sri tersenyum lebar. Entah mengapa hatinya merasa ringan. Beban yang memberatinya
terlepaskan. Lagi asyik sih, memang iya, ingin rasanya bicara terus seperti ini.
"Nanti ditungguin orang yang lagi pesan buah lho..."
"Bukan karena sebel sama aku ?"
"Ya enggak lah.. "
"Bener?"
"Bener.."
"Yakiin?"
"Ih.. mas Timan.."
Gemas Timan mendengar celetukan si Sri. Seandainya Sri ada didepannya pasti bisa
dilihatnya bibir tipis yang mengucapkan kata-kata, dan mata berbinar yang
membuatnya terpana. Benar-benar kembang desa yang telah berhasil merebut hatinya.
Tapi tiba-tiba ada telephone masuk.
"Sri, sudah dulu ya, tampaknya pak lurah menelphone, aku jawab dulu ya."
"Ya mas."
Sri menutup telephone dengan hati berdebar. Pak lurah menelphone mas Timan, apakah
ada sesuatu yang ada hubungannya dengan dirinya?
"Sudah selesai ngomongnya Sri?" tanya mbah Kliwon ketika Sri mengembalikan
ponselnya.
"Sudah mbah, sepertinya kang Mardi menelpone mas Timan."
"Semoga berbicara tentang kamu Sri."
"Apa iya mbah ?"
"Bu lurah pasti sudah melapor pada suaminya tentang kejadian pagi tadi. Bukankah
dia bilang lebih baik mas Timan segera menikahi kamu?"
Sri terdiam. Sungguh dia merasa was-was.
***
Dan sore itu Bayu mengatakan pada Lastri, bahwa hari Minggu besok mereka akan
mengantarkan Timan menemui bapaknya.
"Bagus dong mas, seneng aku mendengarnya."
"Kita harus membawakan oleh-oleh Tri, coba pikirkan apa.."
"Parcel buah, sama roti.. yang bagus, sudah pantas itu."
"Bukan yang pakai bahan baju.. atau lain-lain yang ditempatkan di baki-baki berhias
itu?"
"Itu kan kalau sudah jadi, trus mau menikah. Kok mas lupa sih?"
"Lho, aku nggak tau ya, kan ibu yang mempersiapkan semuanya."
"Ini kan baru mau ngomong-ngomong, silaturahmi, ya cukup bawa oleh-oleh saja,
pokoknya pantas dan tidak memalukan."
"Yang disukai calon mertua juga kan?"
"Apa tuh? Sarung ? Baju bagus?"
"Bukan, wisky.. brendi... kan dia suka minum-minum katanya?"
Lastri tertawa keras.
"Rupanya mas mendukung kesukaan bapaknya Sri ya?""
"Kalau mau membuat dia senang..ya harus membawa apa yang menjadi kesenangannya. Kan
kalau bapaknya senang langsung anaknya dikasih."
"Hiih... nggak mau aku.. mas nih ada-ada saja."
"Ya sudah, kalau masalah buah, mas Timan kan ahlinya. Biar dia mengatur parcel
buah. Kita akan membawakan makanan atau kue-kue saja."
"Ayuk mas, kita jalan-jalan."
"Tuh, senengnya .."
"Mas Bayu tuh...
"Ini kan demi mas Timan... ayo mas.. "
"Cuma minta jalan-jalan saja apa susahnya sih? Kalau minta turunnya bintang atau
rembulan.. wah.. itu baru susah."
Lastri mencubit lengan suaminya dengan mesra.
"Ayo.. ini masih sore.. jangan cari gara-gara ya?"
"Iih.. mas Bayu.. gara-gara apa sih?"
"Gara-gara cubitan mesra.. "
"Apa tuh?"
"Ini pura-pura nggak tau atau memang bener nggak tau nih?"
"Nggak tau, bicara nggak jelas begitu.."
"Oke, ayo masuk ke kamar, biar aku jelasin.."
"Maaas, katanya mau jalan-jalan.. mengapa harus masuk kamar?"
"Lho, masa jalan-jalan pakai baju rumahan begini, ganti baju dong, jangan ngeres
ah.."
"Mas Bayu.. jelek ah !!
"Ayo ganti baju dulu," kata Bayu sambil menarik isterinya.
***
Sri melangkah perlahan memasuki rumah, ada debar didadanya ketika membayangkan akan
seperti apa nanti kemarahan ayahnya.
Berderit ketika ia membuka pintu.. Si Sri melangkah perlahan, tapi ketika melewati
kamar ayahnya, didengarnya dengkur yang agak keras.
Kebiasaan, kaau malam ngelayap, kalau siang mendengkur.
Sri melangkah perlahan menuju kamarnya. Kalau melihat kepulangan Sri, kemudian dia
memakai baju yang bukan pemberian Basuki, pasti mengomel, dan mengancam akan
membakar seluruh baju kumalnya.
Bergegas Sri mandi. Ketika melihat kebelakang, barang-barang-barang tampak
terserak. Gelas dan piring kotor, serta kertas bungkus yang sudah kosong tapi masih
belum juga dibuang oleh ayahnya. Sri menjerang air untuk membuat minum, lalu
membersihkan meja dapur. Baru ditinggal sehari saja rumah sudah berantakan seperti
kapal pecah. Padahal ayahnya hanya sendiri. Bagaimana kalau nanti Sri sudah
mengikuti suaminya?
Membayangkan menjadi isteri, Sri tersenyum sendiri. Tapi ada rasa perih dihati.
Entah apa yang terjadi pada hidupnya nanti..
Ketika Sri selesai menuangkan minuman pada cangkir yang biasanya dipakai oleh
ayahnya, tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki diluar pintu depan. Sri bergegas
kedepan, dan melihat beberapa laki-laki berseragam berdiri disana. Lalu dua orang
berseragam polisi menyusul dibelakangnya. Sri terkesiap.
==========
Sri menatap mereka satu persatu, ada salah satu yang dikenalnya.
"Mas Jangkung?"
"Iya Sri, kami mendapat tugas dari pak lurah, untuk mengantarkan bapak-bapak itu,"
kata Jangkung sambil menunjuk kearah dua orang polisi yang bersamanya.
"Pak Darmin ada?" lanjutnya.
Tercekat hati Sri. Bagaimanapun Darmin adalah ayahnya. Ada urusan apa dengan para
petugas yang juga membawa polisi ini?
"Ada kan Sri ?"
"Iy.. iya... ada mas.."
Dan tanpa dipersilahkan beberapa orang masuk begitu saja kedalam, tanpa Sri bisa
mencegahnya.
"Mas Jangkung, ada apa?" tanya Sri cemas.
"Kami mendapat laporan ada peminum dirumah ini, Dan beberapa jam yang lalu telah
melakukan penganiayaan disebuah rumah makan." kata Jangkung.
"Oh... cemas hati Sri, ia tau ayahnya masih ada didalam, dan dua orang sudah masuk
kedalam kamar ayahnya. Tapi Sri heran, tak ada suara dari dalam. Tiba-tiba
terdengar suara botol jatuh dan tampaknya pecah.
Dua orang yang masuk membawa keluar beberapa botol minuman keras keluar dari kamar.
Mengapa ayahnya diam saja? Sri cemas sekali, apa yang terjadi dengan ayahnya? Wajah
Sri pucat.
"Dimana ayahmu Sri?"
"Bapak ada... did.. dalam kamar..." terbata Sri menjawabnya.
"Nggak ada, kamarnya kosong. "
Sri bergegas melongok kedalam kamar ayahnya. Benar-benar tak ada. Bau minuman keras
menyeruak memenuhi kamar itu. Ada botol pecah, terserak dilantai.
"Bapaaak!" teriak Sri, dan beberapa orang ikut mencari disetiap sudut, dibawah
kolong.. didapur.. kamar mandi, tapi yang dicari tak ada.
"Kamu bilang ada.."
"Iya, tadi masih tidur dikamar.."
"Berarti dia kabur. "
Mereka ke bagian belakang rumah, dekat dapur ada pintu keluar. Mereke melongok, tak
ada siapapun. Dibelakang rumah itu ada kebun yang tak begitu luas, tapi pagarnya
terbuat dari pohon-pohon perdu.
"Dia kabur lewat sana." Seseorang mendekati pagar, melongok kesana kemari, tapi tak
ada bayangan orang yang dicarinya.
"Kemana kira-kira bapakmu pergi?"
Sri menggeleng-geleng dengan mata berlinang. Dia benar-benar tak tau.
Ketika mereka pergi, Sri terduduk dikursi dengan perasaan gundah. Ia tak bisa
menyalahkan mereka. Ayahnya yang salah. Mengapa juga pakai menganiaya orang?
Bau minuman keras masih memenuhi ruangan. Kemudian Sri berdiri, masuk kekamar
ayahnya dan membersihkan pecahan botol dan tumpahan minuman keras. Lalu ia merasa
sendirian. Rumah yang senyap, aroma pengap dan jiwa yang sesat telah melingkupi
kehidupan ayahnya.
Tapi dia adalah ayahnya, darahnya mengalir disepanjang nadinya. Betapapun kesal dan
bencinya dia, tapi menyaksikan ayahnya lari entah kemana, diburu aparat yang pasti
mengancamnya dengan hukuman sekap di penjara. hatinya bagai teriris.
Gelapnya malam mulai menyelimuti bumi. Sri merasa tak tahan menanggung beban itu
seorang diri. Ia menutup semua pintu lalu berjalan kerumah mbah Kliwon.
***
"Bagaimana mas? Darmin sudah ditangkap?" tanya Marni kepada suaminya.
"Kabur."
"Kabur? Kok bisa?"
"Menurut Sri, tadinya masih tidur di kamar. Mungkin karena mendengar suara gaduh,
lalu dia menyelinap melalui pintu belakang dan kabur entah kemana."
"Kasihan Sri.."
"Tapi dia tetap diburu. Beberapa botol minuman telah disita sebagai bukti. Orang
yang dianiaya masih menginap dirumah sakit karena luka-lukanya."
"Mengapa tidak ditangkap sa'at itu juga?"
"Begitu memukuli orang lalu dia kabur, tapi seseorang mengenali dia, lalu dengan
mudah aparat menemukan rumahnya. Sayang dia kabur."
"Lalu bagaimana rencana lamaran mas Timan?"
"Belum tau aku bu, mungkin bicara dulu sama mbah Kliwon,"
"Lalu dimana ya Sri sekarang? Pasti dia sedih. Seburuk apapun Darmin, ia tetap
bapaknya bukan?"
"Mungkin kemudian dia pergi kerumah mbah Kliwon."
"Mas kesana coba, kasihan si Sri."
"Ini sudah malam, besok pagi saja."
"Padahal mas Timan akan siap melamar hari Minggu besok itu."
"Dia harus tertangkap dulu. "
"Ya Tuhan, kasihan kamu Sri.." gumam Marni sedih.
***
mBah Kliwon terkejut ketika mendengar ketukan pintu, yang ternyata adalah Sri. Dia
memang selalu mengunci pintunya ketika hari mulai gelap, karena dis hanya
sendirian.
"Sri, ada apa?"
Sri tak menjawab, menghambur kedalam pelukan mbah Kliwon, yang kemudian terhuyung-
huyung karena tulang tuanya tak sangup menyangga tubuh Sri. Beruntung tak sampai
terjatuh.
"Ada apa nduk? Bapakmu ngamuk?"
"Bapak kabur, " katanya sambil terisak..
"Kabur bagaimana ?"
"Tadi dicari polisi, katanya semalam menganiaya orang disebuah rumah makan."
"Ya Tuhan... "
"Sri bingung mbah... nggak tau harus apa.. bagaimana kalau bapak tertangkap?"
mBah Kliwon menggandeng cucunya agar duduk.
"Dengar Sri, bukannya simbah mensyukuri apa yang terjadi dengan bapakmu. Simbah tau
pasti kamu sedih, karena bagaimanapun kamu adalah darah dagingnya. Tapi ibarat
orang menanam, pasti dia akan menuai. Kelakuan bapakmu sudah tak terkendali, Tuhan
memperingatkannya."
Sri diam terpaku. Apa yang harus disesalinya? Memang itulah yang seharusnya
terjadi. Barangkali dengan kejadian ini ayahnya akan menjadi jera, dan bisa
berperilaku lebih baik. Tapi benarkah ?"
"Sudah, kamu tenangkan dulu hatimu disini. Semoga yang terjadi adalah yang
terbaik."
Sri belum beranjak dari tempat duduknya. Lelah menyelimuti seluruh tubuhnya,
jiwanya, lahir dan batinnya.
"Tadi sore setelah kamu pulang, nak Timan menelphone.
Sri mengangkat wajahnya, menatap simbahnya. Berita itu tidak menggembirakannya.
Kejadian yang menimpa ayahnya jangan sampai Timan mendengarnya. Tapi mana mungkin?
Pak lurah pasti sudah mengabarinya. Aduuh, malunya si Sri. Masihkah Timan
mencintainya seperti pernah dikatakannya walau tau bahwa dirinya anak seorang
pesakitan?
"Dia akan datang kemari hari Minggu besok."
"Dua hari lagi?"
"Ya, sedianya akan menemui bapakmu."
"Ya ampun, jangan mbah, jangan.."
"Mengapa jangan? Apa yang akan mas Timan lakukan itu adalah sebuah wujud dari
kesungguhannya mau memperisteri kamu."
"Tapi kejadian ini bagaimana? Sri malu mbah.."
"Hilangkan perasaan malu itu. Sedikit banyak dia pasti sudah tau seperti apa
bapakmu itu."
"Tapi kali ini dia harus berurusan dengan polisi mbah."
"Nanti kita akan bicara. Kamu tidak usah khawatir,"
Namun Sri tetap saja khawatir. Hampir semalam dia tak bisa memejamkan matanya.
Membayangkan kedatangan Timan, yang kemudian kecewa ketika mengetahui ayahnya
menjadi buruan polisi. Ya Tuhan, .. Akan maukah dia mempunyai keluarga seperti
ayahnya?
***
Pagi itu ketika Sri selesai mengurus para pemasok sayur, Marni datang, tidak
sendirian, tapi bersama suaminua.
"Rajin sekali Sri," sapa Marni.
"Iya yu, karena semalam nggak bisa tidur."
mBah Kliwon mempersilahkan tamunya masuk.
"Silahkan pak lurah, ayo Sri, buat minuman hangat."
"Tidak usah Sri, kami kan tidak akan lama. Duduk saja disini Sri," kata pak lurah.
Ada rasa iba melihat wajah Sri yang pucat, namun tetap melakukan tugasnya pagi itu.
"Sini Sri, duduk dekat aku," kata Marni.
"Mana Jarot?" tanya si Sri.
"Dia bersama neneknya tadi. Kamu tampak pucat Sri."
"Masak sih yu?"
"Kami datang untuk memberi tau Sri, bahwa ayahmu sudah tertangkap." kata pak lurah.
Sri menatap pak lurah. Matanya mulai berkaca-kaca,
"Kamu tidak usah sedih Sri, mungkin ini sebuah pelajaran bagi bapakmu, agar
menyadari kesalahannya."
Sri mengusap tetes air matanya dengan ujung baju.
"Benar kata pak lurah Sri, semoga semua ini bisa menjadikan pelajaran bagi
bapakmu.Kelakuannya sudah sangat keterlaluan.
"Dia ditahan dikota, kalau kamu mau ketemu, nanti kami akan mengantar kamu," lanjut
pak lurah.
Sri hanya mengangguk.
"Ada lagi yang kamu harus tau, besok Minggu mas Timan tetap akan datang kemari."
"Tidak pak lurah, jangan," sanggah Sri
"Mengapa Sri ?"
"Saya malu , sungguh saya malu.."isak Sri
Marni merangkul pundaknya.
"Mengapa harus malu?"
"Mas Timan tak akan sudi punya keluarga seorang pesakitan. Lebih baik lupakan saja
keinginan mas Timan, daripada lebih menyakiti yu."
"Mas Timan sudah tau semuanya."
"Apa?"
"Kamu jangan khawatir. Mas Timan mu sangat mencintai kamu Sri," kata Marni sambil
menepuk-nepuk pundak Sri.
"Aku malu yu.. aku malu.."
"Nggak perlu malu, dia sudah tau semuanya dan dia tetap ingin melamar kamu."
Sri merangkul Marni sambil terisak-isak. mBah Kliwon ikut berlinangan air mata. Ada
rasa syukur karena Timan tetap mencintai cucunya. Apa lagi yang harus
dikhawatirkan?
***
Siang itu Timan menelphone mbah Kliwon. mBah Kliwon tau, pasti Sri yang dicarinya.
"Sri... Sri..."
"Apa ini mbah?" Tanya Sri ketika mbah Kliwon mengulurkan ponselnya.
"Terima saja..."
"Nggak mau mbah.."
"Sri, jangan begitu, nggak sopan.." tegur mbah Kliwon.
Sri mendekatkan ponsel itu ketelinganya.
"Sri... " Timan sudah menyapanya lebih dulu, karena Sri diam saja.
"Ya.."
"Kenapa nggak mau menerima telephoneku Sri.." kata Timan karena mendengar tadi Sri
bilang 'tidak mau menerima'.
"Ma'af.. Sri sedang..."
"Sri, aku ikut prihatin atas kejadian itu, tapi aku tidak akan terpengaruh Sri, aku
tetap mencintai kamu."
Gemetar tangan Sri yang memegang ponsel mendengar kata-kata Timan.
"Sri, kamu harus percaya sama aku. Aku bukan anak kecil yang suka main-main. Aku
sungguh-sungguh ingin menjadikan kamu isteriku."
Sri terisak.
"Kenapa menangis?"
"Aku malu mas.."
"Kenapa malu? Sama calon suami sendiri kok malu," kata Timan memancing candaan.
Tapi Sri tidak tersenyum, apalagi tertawa.
"Ya sudah, kamu boleh menenangkan hati kamu dulu. Tapi nanti menjenguk bapak hari
Minggu saja ya, aku mau ikut."
Sri terkejut.Rupanya pak lurah sudah mengatakan semuanya kepada Timan, Tapi
benarkah Timan mau ikut menjenguk bapaknya di tahanan?
"Saya serius Sri. Tungguin aku kalau mau menjenguk bapak."
Lalu Timan menutup ponselnya.
Sri menangis sedikit keras. Rasa haru, sedih bahagia bercampur aduk dihatinya.
Diserahkan kembali ponsel itu kepada mbah Kliwon sambil mengusap air matanya.
"Sudah, jangan menangis Sri. Simbah akan berdo'a untuk kebahagiaanmu, kata mbah
Kliwon sambil mengelus kepala Sri.
***
"Mas Timan sangat baik ya mas, besok mau menjenguk bapaknya Sri di tahanan." kata
Lastri kepada suaminya pada suatu malam.
"Kita ikut kan?"
"Ya ikut lah mas, walau akhirnya belum melamar resmi, tapi kan nanti bisa kelihatan
bagaimana sikap pak Darmin ketika melihat calon menantunya.
"Kamu benar Tri, dan parcel-paarcel itu tetap kita bawa kan?"
"Iya dong mas, kalau nggak masa akan kita habiskan sendiri."
"Hm, tiba-tiba aku kok jadi ingat jaman kita masih pacaran dulu ya Tri.."
"Kenapa emang?"
"Menunggu bertahun tahun sampai aku berhasil mempersunting kamu. Gadis bodoh."
"Iih, kok bodoh sih..? Kata Lastri cemberut.
"Bodoh lah, dicintai orang ganteng malah kabur.."
"Iih, mana sih gantengnya? Mana..? Jelek gitu.."
"Apa? Aku jelek? Ayo bilang sekali lagi bahwa aku jelek.."
"Jeleeek..!! Kata Lastri yang kemudian lari menjauh, dan Bayu mengejarnya.
Lastri terkejut ketika hampir saja menabrak bu Marsudi yang baru saja keluar dari
kamar.
"Eeeh.. ada apa ini?"
Lastri sembunyi dibelakang bu Marsudi.
"Kalian kayak anak kecil saja sih, pakai kejar-kejaran segala," tegur bu Marsudi
sambil tersenyum.
"Minggir bu, biar aku gelitikin dia sampai menangis."
"Bu.. itu bu.. mas Bayu," rengek Lastri manja.
"Bayu..." tegur bu Marsudi.
"Habis aku dikatain jelek bu, coba apa ibu nggak sakit hati anak laki-lakinya
dibilang jelek!"
"Sudah.. sudah.. aduuh.. kayak anak kecil saja kalian ini. Ayo Tri, kita siapkan
makan malam saja."
"Itu bu..mas Bayu.." rengek Lastri sambil memegangi lengan mertuanya.
"Bayuuu !!"
Bayu membalikkan tubuhnya sambil mengancam.
"Awas ya, nanti kalau nggak ada ibu."
Lastri mengikuti ibu mertuanya sambil memeletkan lidahnya kearah suaminya.
***
Hari itu Sri jadi menjenguk bapaknya di tahanan. Ada Timan yang selalu berjalan
disampingnya, mbah Kliwon, pak lurah Mardi dan isterinya, serta Bayu dan isterinya.
Setelah lurah Mardi berbincang sebentar dengan petugas, mereka diijinkan menunggu
sementara petugas yang lain menjemput Darmin, diajaknya menemui keluarganya.
Sri sedih, melihat wajah ayahnya cekung, seperti berhari-hari tidak pernah tidur.
Dia mendekati ayahnya, lalu mencium tangannya dengan linangan air mata.
Darmin tak terpengaruh dengan perhatian anaknya. Ia duduk dan mengamati siapa saja
yang datang bersama Sri. Wajahnya muram, matanya melotot marah kepada anaknya.
"Jadi kamu katakan kepada semua orang bahwa aku ditangkap polisi ? Iya ?" tuding
Darmin kepada anaknya.
"Bukan bapak, ini.. pak lurah dan bu lurah.. ini yu Lastri dan suaminya.. dan ini..
mas Timan.."
"Siapa dia?" katanya tanpa nada manis.
"Min, ini yang aku pernah bilang sama kamu,. lalu belum-belum kamu sudah marah-
marah.."
Timan berdiri, mendekati Darmin dan meraih tangannya. bermaksud menciumnya, tapi
Darmin mengibaskan tangannya.
"Saya Timan, temannya Sri, dan..."
"Tidak.. tidak.. hentikan semua ini. Kamu.. maksudnya mau mengambil Sri sebagi
isteri kamu?"
"Benar bapak, saya akan datang lagi ketika suasana sudah lebih baik, untuk melamar
secara resmi," kata Timan dengan perasaan yang mulai tidak enak.
"Tidak.. tidak.. lebih baik kalian pulang, dan ingat, Sri itu sudah ada yang
punya."
"Apa maksudmu Min?" kata mbah Kliwon agak keras.
"Sri itu sudah menjadi titipan seseorang. Jadi lupakan keinginan kamu," katanya
sambil menuding kearah Timan.
"Bapak, apa maksud bapak?"
"Kamu itu barang titipan. !! Jangan bertanya lagi dan segera bawa mereka pergi dari
sini." kata Darmin kasar, sambil berdiri lalu berjalan masuk.
Bersambung #5
CERITA WA: Kembang Titipan #5
Cerita bersambung
"Bapaaak..." teriak Sri, namun Darmin tak mau menoleh, dengan langkah gontai dia
langsung masuk dan menghilang dibalik pintu.
Sri terisak. Timan memegang pundaknya.
"Sri, sabar ya Sri..."
"Ma'afkan bapak ya mas, ma'afkan bapak.." isak Sri.
Timan mengangguk.
"Sudah, jangan dipikirkan Sri, bapak sedang dalam situasi yang buruk. Pada suatu
hari nanti pasti dia akan mengerti," hibur Timan.
"Mas, bagaimana dengan parcel-parcel ini?" tanya Lastri.
"Mana Tri, aku serahkan saja kepada mereka, kalau mau biar diberikan kepada pak
Darmin, kalau nggak mau ya biar dibagi sesama petugas saja."
"Ya yu, ayo aku bantu."
"Gimana ini sebaiknya pak?"
"Kita bicara diluar saja. Mungkin mencari rumah makan terdekat, bicara sambil
makan," kata Bayu.
"Ya, saya setuju mas Bayu."
"Ma'af ya, mas Bayu, pak lurah, saya jadi merepotkan."kata Timan dengan penuh
sesal.
"Lho, mas Timan mengapa bicara begitu? Kita ini sahabat, saudara, semua
permasalahan harus kita pikul bersama."
"Terimakasih banyak, mas Bayu, pak lurah dan bu lurah..juga Lastri dan tentu saja
mbah Kliwon yang telah bela-belain nurutin kemauan saya untuk bertemu bapaknya si
Sri," kata Timan yang tak mau melepaskan pegangannya pada Sri.
"Saya minta ma'af kepada semuanya, atas perlakuan menantu saya yang kasar dan tak
pantas. Sedih saya melihat sikapnya tadi. Dia seperti bukan manusia," umpat mbah
Kliwon yang sangat marah menyaksikan sikap menantunya tadi.
"Tidak apa-apa mbah, kami semua maklum, dan sepertinya kita semua sudah menduga
akan demikianlah sambutannya ketika kita datang." kata pak lurah Mardi.
"Ayo kita keluar dulu, tampaknya masalah ini harus dibicarakan bersama," kata Bayu.
***
Disebuah rumah makan mereka berbincang. Sri terdiam, tak mampu berkata-kata. Bahwa
dia adalah gadis titipan, sama sekali belum dimengertinya. Apa ayahnya menjual
dirinya kepada seseorang? Apakah seseorang itu Basuki? Alangkah benci si Sri kepada
laki-laki itu. Sesekali ia mengusap pipinya karena air matanya terus mengalir.
Timan yang duduk didekatnya menepuk-nepuk tangannya agar Sri merasa lebih tenang.
"Sri, apa kamu tau siapa laki-laki yang dimaksud bapakmu?" tanya Lastri.
Sri tidak menjawab. Ia hanya menundukkan kepala.
"Kemungkinan besar dia. Basuki, anaknya pak Cokro," kata mbah Kliwon.
"Kamu pernah melihat laki-laki itu Sri?" tanya Timan.
Sri mengangguk pelan.
"Kamu suka?"
Sri menggeleng keras.
"Berapa dia memberi uang untuk bapakmu Sri?" tanya lurah Mardi.
Sri kembali menggeleng.
"Kalau ada yang tau berapa jumlah yang sudah dibayarkan laki-laki itu, apakah saya
bisa menggantinya?" tanya Timan.
"Sayangnya dia susah diajak komunikasi," keluh Bayu.
"Kalau saja ada yang tau, saya akan menghitung uang saya, barangkali saya bisa
menebusnya." kata Timan mantap.
"Kalau perlu dua kali lipat. Saya akan membantu mas Timan."kata Bayu.
"Saya juga tidak keberatan membantu," kata lurah Mardi.
"Tapi bagaimana bisa menanyakan jumlah uangnya? Dia tidak bisa diajak bicara.
"Saya akan mencobanya, mungkin besok, tapi sendiri saja, supaya dia tidak marah,"
kata lurah Mardi.
Timan merasa terharu karena banyak yang ingin membantu. Ia menepuk tangan Sri.
"Sri, kamu tidak usah sedih, kami akan membantu, dan kamu akan terlepas dari laki-
laki itu," kata Timan/
Sri kembali mengusap air matanya.
***
Esok harinya lurah Mardi pergi ke tempat Darmin ditahan. Semula Darmin tidak mau
keluar, tapi ketika petugas mengatakan bahwa yang datang adalah pak lurah, maka
Darmin maka barulah Darmin bersedia. Wajahnya tetap tak menampakkan keramahan. Tapi
lurah Marih tetap menerimanya dengan senyuman.
"Apa kabar pak Darmin?" sapanya.
"Menurut pak lurah, bagaimana sih kabarnya kalau orang dikurung dalam tahanan?"kata
Darmin sengit.
"Ya..ya, saya tau, pasti kurang nyaman ya pak. Tapi bukankah ini semua terjadi
karena kesalahan pak Darmin sendiri?"
"Iya saya tau. Lalu mengapa? Kalau pak lurah datang kemari hanya untuk memaki-maki
saya, maka lebih baik saya tidak usah menemui saja."
"Oh, jangan begitu pak. Pak Darmin kan tau bahwa saya adalah lurah desa yang
bertanggung jawab atas semua yang terjadi didesa saya. Jadi jangan berprasangka
buruk terhadap saya.
Darmin terdiam.
"Saya ikut prihatin atas kejadian ini, dan saya berharap ini semua akan menjadi
pelajaran bagi pak Darmin, agar selanjutnya bisa berkelakuan dengan lebih baik."
Mata Darmin berkilat. Ada amarah disana.
"Dan pak Darmin tau, apabila orang yang pak Darmin hajar dirumah makan itu sampai
meninggal, maka pak Darmin bisa dihukum berat. Bisa sepuluh atau limabelas tahun
dipenjara."
"Tapi saya hanya memukulnya sekali, karena dia mengganggu saya."
"Pak Darmin memukulnya sekali, tapi kepalanya terantuk tembok dengan keras sehingga
dia mengalami gegar otak. Sekarang masih dalam perawatan intensif. Berdo'alah agar
dia tidak meninggal." kata lurah Mardi dengan nada mengancam. Darmin terpaku
ditempat duduknya. Kepalanya menunduk. Dibayangkannya berada dalam penjara sampai
puluhan tahun, alangkah mengerikan.
"Pak Darmin, saya ingin bertanya, apakah pak Darmin mencintai puteri bapak?"
"Mengapa hal itu ditanyakan? Adakah orang tua yang tiak mencintai anaknya?"
Pak lurah Mardi tersenyum. Baguslah kalau Darmin juga mencintai anaknya. Semoga itu
bukan hanya jawaban yang terlontar dari bibir saja.
"Senang saya mendengarnya. Tapi kemarin ketika saya kemari dengan beberapa saudara,
pak Darmin bilang kalau Sri itu titipan seseorang. Maksudnya apa pak?"
"Ya memang begitulah sesungguhnya. Saya hanya mencegah orang lain mengganggu si
Sri, karena dia itu sudah milik orang lain."
"Tapi pak Darmin perlu tau, bahwa Sri itu kan bukan barang?"
"Apa maksud pak lurah"
"Bagaimana seseorang bisa menjadi milik orang lain tanpa sepengetahuan si seseorang
terebut? Kalau itu barang, okelah, bisa saja sebuah barang dipindah tangankan dari
satu orang ke orang lain, dengan imbalan misalnya. Atau bahasa gampangnya dibeli,
begitu kan? Tapi kalau itu manusia bagaimana bisa terjadi pak?"
Darmin tampak meresapi kata-kata lurah Mardi.
"Saya butuh uang waktu itu. Saya terbelit hutang. Rumah hilang, harta hilang, dan
masih punya hutang."
"Lalu ?"
"Lalu seseorang melunasi hutang saya. Semuanya dilunasi, dengan janji."
"Janji memiliki si Sri?"
"Waktu itu si Sri masih gadis kecil. Dia bilang menitipkan Sri ke saya, dengan
janji kalau Sri sudah dewasa, saya harus menyerahkannya."
"Ooh, begitu ? Apa hanya itu satu-satunya cara untuk melunasi hutang bapak?"
"Hanya itu. Saya tak punya apa-apa. Kalau saya tidak bisa bayar, saya harus
membayarnya... dengan .. nyawa." kali itu pak Darmin mengatakannya dengan pilu.
Pak lurah Mardi terdiam, menatap Darmin yang menundukkan kepala sambil memainkan
jari-jarinya.
"Sekarang Sri sudah dewasa. Saya harus memenuhi janji saya."
"Berapa banyak hutang pak Darmin waktu itu?"
"Tak terhitung. Seharga satu rumah bagus."
Lurah Mardi tercengang. Satu rumah? Itu bisa seratus sampai limaratus juta. Atau
bisa lebih.
Apakah pak Darmin tidak berfikir, akankah Sri bahagia kalau harus melayani laki-
laki yang tidak dia sukai?
"Saya takut kehilangan nyawa, apapun saya akan lakukan."
Lurah Mardi terdiam. Darmin juga terdiam. Masing-masing bicara dengan perasaannya
sendiri.
Lama kelamaan Darmin tidak tampak garang seperti ketika kemarin lurah Mardi datang
berramai-ramai. Barangkali ada sesal.. atau entahlah.
"Pak Darmin, seandainya ada orang yang mau membayar sebanyak dia telah melunasi
hutang bapak waktu itu, apa perjanjian bisa batal?"
"Apa? Memangnya ada yang mau membayar sampai ratusan juta?"
"Barangkali ada.."
Pak Darmin diam sejenak, tapi kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Itu terserah dia."
"Dimana saya bisa menemui dia?"
"Namanya Basuki, almarhum bapaknya bernama Cokro. Tapi saya tidak tau dimana
sekarang dia tinggal."
"Bukankah terkadang dia datang menemui pak Darmin?"
"Ya, hanya memastikan, bahwa Sri masih ada dibawah perlindungan saya. Maksudnya
belum ada yang memilikinya. Dia selalu mengancam saya, dan nyawa taruhannya."
"Jadi Sri sudah pernah bertemu dia?"
"Lama sekali dia tidak datang, bertahun-tahun. Tapi akhit-akhir ini sering datang,
hanya memberi saya uang, dan merasa yakin bahwa Sri masih perawan. Itulah sebabnya
saya melarang siapapun mendekati Sri."
"Bagaimana sikap Sri terhadap Basuki?"
"Buruk. Sangat buruk. Tampaknya Sri benci pada Basuki."
"Ya pastilah, Basuki sudah terlalu tua bukan?"
"Sebenarnya kalau wajah, masih menarik, cuma memang dia itu gila perempuan dari
dulu."
"Kasihan kalau sampai Sri jatuh kedalam tangannya."
"Apa boleh buat. Kalau Sri menolak, saya harus mati."
"Ya Tuhan...."
"Sebenarnya Basuki tidak akan memaksa. Dia sanggup menunggu sampai Sri benar-benar
mau melayani dia. "
"Saya akan mencoba menemui Basuki. Sebagai anak orang terkenal pada jamannya,
barangkali banyak yang mengetahui tentang dia."
Darmin tak menjawab apapun.
"Dan satu lagi pak Darmin, jangan kembali meneguk minukan keras."
"Saya sebenarnya meeasa menjadi orang tak berguna., Berbuat semau saya seakan bisa
menutupi penderitaan saya yang sebenarnya mencengkeram jiwa saya."
"Tapi langkah itu salah, karena bertobat adalah obat terbaik untuk mengobati luka
hati."
Darmin menghela naafas.
"Dan apa yang pak Darmin lakukan itu bukan mengobati penderitaan, tapi justru
memperparah. Kasihan si Sri, dia sangat menderita.
Darmin tertunduk kelu. Belum pernah ia mau mendengarkan orang berkata-kata, apalagi
bertutur yang seakan menyalahkan dia. Sekarang barulah dia meresapi kata demi kata
yang dikatakan lurah Mardi.
***
Namun Timan tidak merasa ketakutan dengan jumlah uang yang diperkirakan bisa
menebus si Sri dari tangan Basuki.
"Tidak apa-apa pak lurah, saya masih punya rumah didesa. Saya akan menjualnya. "
"Tapi persisnya berapa kita harus ketemu dulu yang namanya Basuki."
"Tapi dimana kita harus mencarinya?"
"Saya akan terus mencari informasi. Nanti mas Timan pasti akan saya kabari."
"Saya tunggu pak lurah, dan terimakasih banyak telah menemui pak Darmin demi saya."
"Saya bersyukur, tadi dia mau menerima saya. Wajah yang semula garang perlahan
pudar, dan mau mendengar kata-kata saya, dan mengatakan apa yang sebenarnya
terjadi."
"Syukurlah."
"Dia itu hanya takut mati."
"Takut mati?"
"Basuki mengancam akan membunuhnya kalau dia tak bisa membayar hutangnya, Lalu dia
merelakan Sri untuk dijadikan isterinya. Janji itu sudah ada sejak Sri masih kanak-
kanak."
"Saya akan berusaha melepaskan Sri dari jeratan hutang bapaknya."
"Saya akan terus membantu mas."
"Terimakasih pak lurah. Sekarang saya mau ketemu Sri dulu dirumah mbah Kliwon."
"Silahkan mas Timan, rupanya Sri juga butuh dukungan sa'at ini."
"Aamiin, mas Timan. Sampaikan salam saya pada Sri dan mbah Kliwon ya.
"Pak lurah benar. Semoga kita berhasil mengentaskan Sri dari penderitaannya."
***
Sore itu Sri pamit pulang sebentar untuk membersihkan rumah.
"Apa perlu simbah bantu?"
"Tidak mbah, hanya rumah kecil saja kok. Saya cuma sebentar, lalu kembali kemari."
"Baiklah, selama bapakmu masih ditahan lebih baik kamu tidur disini saja, daripada
sendirian dirumah sana."
"Ya mbah, maksud saya juga begitu."
"Kamu juga nggak boleh sedih lho Sri, banyak orang yang mendukung kamu."
"Ya mbah, Sri tau."
"Ya sudah, pulang sana dulu, jangan sampai hari gelap baru kembali kesini."
"Baiklah."
Sri melangkah keluar rumah, mbah Kliwon memandangi punggung cucunya dengan rasa
iba.
Ia mengusap air matanya yang sempat menetes.
Namun ketika ia mau menutup pintu rumahnya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti.
Mbah Kliwon mengawasi siapa yang datang.
"mBah.." sapa orang itu yang ternyata Timan.
"Walah nak Timan, mari silahkan masuk."
Timan masuk kedalam, matanya mencari-cari.
"Mana si Sri?"
"O, Sri baru pamit sebentar nak, tapi tunggu saja, dia akan segera kembali," kata
mbah Kliwon sambil masuk kedalam. Sebelum pergi Sri sudah membuat wedang jahe
kesukaannya. Masih panas, dan mbah Kliwon kemudian menuangnya kedalam gelas untuk
disuguhkannya kepada Timan.
"Ini masih anget nak.":
"Simbah kok repot-repot, tapi terimakasih mbah," kata Timan yang langsung
menyeruput wedang jahenya.
"Memangnya Sri kemana sih mbah?"
"Pulang sebentar, katanya mau bersih-bersih rumah. Tapi dia nanti tidur disini.
Saya sudah pesan supaya jangan sampai malam kembalinya kemari."
"Saya habiskan wedangnya ya mbah, segar rasanya. Anget-anget enak."
"Habiskan saja nak, kalau mau dibelakang masih ada. Sri membuatnya sebelum pulang
tadi."
***
Sri hampir selesai bersih-bersih. Ia mengunci semua pintu, baik yang dibelakang,
maupun samping. Pintu depan masih tertutup, tapi Sri belum menguncinya. Ia lupa
dimana kemarin meletakkan kunci rumah. Karena memang sudah dua hari rumah itu
dibiarkan tidak terkunci, semenjak Sri lari kerumah simbahnya ketika ayahnya
menjadi buron.
Lalu ia menyalakan lampu depan, agar kalau malam tidak tampak gulita.
Dimana kunci itu, Sri benar-benar lupa. Lalu Sri teringat bahwa ayahnya juga
membawa kunci rumah. Ia memasuki kamar ayahnya, dan benar, kunci itu masih
tergeletak diatas meja. Sri mengambilnya dan bergegas keluar. Tapi sebelum sempat
dia membuka pintu, dilihatnya mobil berhenti didepan pagar. Sri terkesiap, itu
mobil Basuki.
Sri mengunci pintunya dari dalam, lalu lari kebelakang rumah.
==========
Terdengar langkah-langkah kaki. Sri menahan napas, takut apabila sebuah hembusan
nafas akan terdengar olehnya. Lalu terdengar ketukan keras.
"Miin! Darmiin !!
Ketukan lagi semakin keras.
"Miin! Kamu mampus atau apa?"
Wajah Sri merah padam mendengar Basuki memaki ayahnya.
"O, berarti minggat dia."
Terdengar la ngkah menjauh, lalu orang berbicara. Rupanya Basuki ketemu seseorang.
"Pak, tau nggak dimana Darmin?"
"O, pak Darmin ditangkap polisi pak."
"Apa? Ditangkap polisi?"
"Sudah tiga hari ini pak.."
"Dasar wong eddan !! Kalau anaknya dimana?"
"Si Sri ? Sepertinya ikut mbahnya. tapi saya tadi seperti melihat dia pulang."
Sri berdebar, jangan-jangan Basuki akan kembali.
"Tapi kok sepi.. "
"Mungkin sudah kembali kerumah mbahnya."
Lalu terdengar mobil distarter, kemudian suara mobil menjauh.
Sri menghela nafas lega. Ia menunggu beberapa sa'at untuk meyakinkan apakah Basuki
sudah pergi atau kembali kerumah.
Beberapa sa'at tak terdengar suara, Sri membuka pintu dan melongok keluar. Lalu
berjalan keluar pagar, melihat kekiri dan kekanan, apakah mobil itu benar-benar
sudah pergi.
Lalu Sri mengunci pintu rumah, dan bergegas kembali kerumah mbah Kliwon.
***
Timan berkali-kali melongok kearah jalan, tampak gelisah karena Sri tak segera
kembali. Malam mulai merambah, dan suasana sekeliling tampak temaram.
mBah Kliwon berdiri, menuju pagar, iapun gelisah.
"Tadi katanya sebentar, ini mulai gelap. Ngapain saja anak itu," omelnya sambil
memasuki rumah kembali."
"Bagaimana kalau kita susul saja mbah?" kata Timan.
"Biar saya yang menyusul."
"Jangan mbah, mari kita susul berdua. Naik mobil saja. Jauhkah?"
"Tidak usah nak, rumahnya nggak jauh, jalan kaki saja."
"Ya sudah, mari saya antar mbah."
Keduanya berjalan kearah rumah Darmin, dengan debar yang sama. Jangan-jangan
bertemu Basuki, lalu ..
"Simbaaah." teriak Sri dari kejauhan.
Timan dan mbah Kliwon merasa lega.
"Ada mas Timan ?" sapa si Sri sambil tersenyum. Timan harus menembus gelapnya
temaram malam ketika ingin menikmati senyuman itu. Hanya tampak remang, tapi cukup
membuat dadanya berdebar kencang. Aduhai, mengapa sebuah cinta bisa mengolah batin
dan raga sehingga bergejolak dan membuat semuanya jadi berbeda?
"Sri..." hanya itu yang diucapkannya ketika Sri menyalaminya. Tangannyapun
berkeringat. Timan meremasnya lembut.
"Nak Timan menunggu agak lama. Simbah kira kamu akan segera kembali.
"Sudah tadi Sri mau kembali mbah, tapi tiba-tib a Basuki datang."
"Apa? Ada Basuki? Diapakan kamu?" tanya mbah Kliwon cemas.
"Tidak sempat ketemu, karena ketika dia datang Sri masih didalam. Lalu Sri cepat-
cepat mengunci pintu depan."
"Dia tidak memaksa masuk?"
"Dia tadinya berteriak-teriak memangggil bapak, Sri diamkan saja. Lalu salah
seorang tetangga yang lewat memberi tau bahwa bapak sedang ditahan. Kemudian dia
pergi."
Timan dan mbah Kliwon menatik nafas lega.
"Syukurlah Sri tadi kami sangat cemas, kok sampai gelap begini belum pulang juga,
lalu menyusul kamu."
"Sri harus menunggu beberapa sa'at sampai yakin bahwa dia benar-benar pergi."
"Kamu benar Sri, so'alnya kalau tidak bisa-bisa kamu dibawanya pergi."
"Sri sudah gemetaran tadi mbah."
"Iya, pantesan tangannya berkeringat," canda Timan.
"Itu karena kamu mas, bukan karena takut sama Basuki," kata Sri dalam hati. Mana
mungkin ia benar-benar mengatakannya.
"mBah, tadi dirumah masih ada beberapa mie instan, ini saya bawa. Nanti Sri masak
dan dimakan bersama ya, sama mas Timan juga."
"Wah, bagus nduk, bisa rame-rame makan mie instan, kebetulan simbah tadi juga
mengambil telur di pekarangan. Ada empat telur yang baru saja simbah ambil. Bisa
untuk teman makan, ya kan nak Timan?"
"Baru mendengar sudah terasa nikmatnya mbah, apalagi kalau Sri yang masak." kata
Timan sambil menoleh kearah gadis yang berjalan disampingnya.
Sri hanya tersenyum. Ingin ia mencubit lengan Timan, tapi diurungkannya. Sungkan,
nanti dikira genit. Eh.. masa sih gitu aja dibilang genit?
Mereka sudah sampai dirumah mbah Kliwon. Sri langsung lari kebelakang sambil
membawa bungkusan mie.
"Tungguin ya mas," katanya sambil berlalu.
***
"Dari mana mas, kok sampai malam." tanya Marni kepada suaminya ketika hari sudah
malam dan pak lurah baru saja pulang.
"Sedang mencari informasi tentang dimana Basuki tinggal bu."
"Sudah dapat ?"
"Rumahnya banyak, tapi beberapa yang aku datangi, penunggu rumahnya bilang kalau
Basuki tak pernah pulang kesana."
"Nggak ada nomor kontak yang bisa dihubungi?"
"Nggak ada yang tau."
"Jadi dimana rumah Basuki yang ditempatinya setiap hari?"
"Belum mendapat informasi jelas bu, besok aku akan bertanya-tanya lagi."
"Sepertinya sa'at ini mas Timan masih ada dirumah mbah Kliwon."
"Oh ya? Siang tadi kami omong-omong di kantor kelurahan, dan dia juga bilang mau
langsung kesana. Mungkinkah dia masih disana ?"
"Tadi waktu Marni tilpun, mbah Kliwon bilang mas Timan masih ada disana."
"Oh, syukurlah, dengan adanya pak Darmin di tahanan, mas Timan lebih leluasa ketemu
Sri."
"Langsung dinikahkan saja gimana mas?"
"Wah, jangan begitu, bapaknya masih ada, dan dia masih terikat dengan Basuki .
Perjanjian mereka harus diselesaikan dulu."
"Sungguh menjengkelkan pak Darmin ini. Masa tega menjual anak gadisnya sendiri."
"Dia takut mati."
"Itu kan karena ulahnya sendiri. Tukang judi, tukang minum.. huuh.. akhirnya
anaknya jadi korban, sungguh tega dia."
"Ketika orang sedang menikmati sesuatu yang menurut mereka itu menyenangkan, mereka
lupa apa akibat yang akan ditimbulkannya."
"Iya mas, tenggelam dalam lautan kesenangan, tak perduli itu dosa atau akan
menyengsarakan orang lain. Jadi gemes aku sama pak Darmin. Rasanya pengin mukulin
saja."
Pak lurah tertawa.
"Memangnya kamu berani mukulin pak Darmin? Badanmu kecil begitu?" ledek pak lurah.
"Ee, biar badan kecil tapi kalau menghadapi orang kayak gitu ya tetap saja aku
berani mas, kemarin saja aku berani memaki-maki dia."
"Wa, iya ya, isteriku memang hebat. Dan itu sebabnya aku memilih kamu. Bu lurah
harus berani dan tegas, itu seiring dengan tugas pak lurah yang juga harus tegas
terhadap semua masalah."
"Hm, senengnya dipuji suami. Ya sudah, istirahat dulu mas, Marni mau siapkan makan
malam sekarang ya."
"Jarot sudah tidur ?"
"Sudah, tapi jangan mendekati dulu sebelum cuci kaki tangan lho mas, nggak boleh.
Kalau sudah bersih baru boleh mendekati bayi. Mas itu bawa sawan dari jalanan."
"Sawan itu apa?"
"Sawan itu ya segala macam yang buruk. Demit, setan, aura jahat, sudah.. cepet
bersih-bersih sana."
"Baiklah, yayi ratu.." canda pak lurah.
"Hm, kebanyakan nonton ketoprak," gerutu Marni sambil bergegas kebelakang.
***
"Saya bilang apa, mie buatan Sri sangat enak, nih.. sampai bercucuran keringat
saya, padahal udara sangat dingin."
"Mas Timan bisa aja, kan itu sudah ada bumbunya, Sri tinggal merebus dan
menambahkan telurnya. Jadi bukan Sri dong yang masak."
"Iya, tapi yang merebus siapa. Beda lho rebusan satu dengan lain orang. Kata orang-
orang tua, beda tangan yang memasak akan beda pula rasanya, walau bumbunya sama."
"Mas Timan tau dari mana?"
"Ya dari orang-orang tua, dari obrolan ibu-ibu dipasar. Aku mendengarkan saja
sambil merasakan. Kan sebentar lagi aku punya isteri."
"Oh ya? Dapat isteri dari mana mas?" tanya Sri memancing. Bodohlah kalau dia tak
tau maksudnya.
"Dari desa sini aja," kata Timan tetap berteka teki.
"Waduh, kira-kira aku kenal nggak ya?"
"Oh, kalau itu aku nggak tau. Tapi aku yakin mbah Kliwon tau kok."
"Ada apa, nyebut-nyebut nama simbah," teriak mbah Kliwon dari kamar, karena ia
sengaja memberi waktu kedua anak muda itu untuk berbincang.
Sri dan Timan tertawa.
"Itu mbah, mas Timan," teriak Sri.
"Timan mau tanya mbah, siapa gadis yang sebenarnya akan menjadi isteri Timan? mbah
Kliwon tau kan ?"
"Ya tau lah, cuma gadisnya itu saja yang pura-pura tidak tau," jawab mbah Kliwon
masih dari dalam kamar.
"Yang mana ya gadisnya?" Timan tersenyum, menatap Sri lekat-lekat. Hati Sri
bergetar. Barangkali tatapan tajam tapi teduh itulah yang membuat dia jatuh cinta
pada Timan. Cinta pertamanya, yang semoga menjadi cinta terakhir. Begitu pikir Sri
selalu. Tapi ia sadar bahwa masih banyak kendala yang harus dilompatinya. Tadi
Timan sudah cerita sama mbah Kliwon tentang sikap ayahnya yang menentang Sri
berhubungan dengan siapa saja. Sedih rasanya menyadari bahwa seakan dia dijual oleh
bapaknya demi nyawa yang lebih disayanginya.
Mengingat hal itu, wajah Sri menjadi tampak murung.
"Ada apa Sri? Kamu marah karena aku mengatakan hal itu? Kamulah gadis yang akan
menjadi isteriku. Keputusanku sudah bulat, apapun harus aku lakukan demi kamu."
"Tidak mas, aku tidak marah."
"Wajahmu tampak sedih tiba-tiba."
"Aku ini sebenarnya kan gadis titipan ?"
"Kamu itu kembang titipan, tak mudah memetiknya, karena kamu ada dalam belenggu
besi yang maha kuat. Tapi aku akan mematahkan besi itu dan memetikmu."
Berlinang mata Sri mendengar kata-kata Timan Akan mudahkah mematahkan belenggu besi
itu?"
"Jangan menangis Sri, sebah cinta akan menjadi kekuatan dahsyat yang tak
terputuskan. Aku dan kamu, akan menikmati hari-hari bahagia kita bersama. Teruslah
berharap dan bermimpi, sampai mimpi itu menjadi kenyataan."
Alangkah lembut kata-kata itu. Alangkah sejuk bagai air surgawi yang menyiram
nuraninya yang sedang gundah.
"Sri, sesungguhnya aku masih ingin berlama-lama disini. Tapi ini sudah malam,
sebaiknya aku pamit dulu," kata Timan sambil terus memandangi kekasih hatinya.
"Ya mas, aku tau, terimakasih banyak karena telah menguatkan aku."
"Kita akan saling menguatkan."
Timan berdiri lalu mendekati kamar mbah Kliwon.
"Mbah, Timan pamit dulu ya."
"Lho, kirain mau menginap disini," kata mbah Kliwon sambil bangkit lalu keluar dari
kamar.
"Ya enggak mbah, mana pantas saya menginap sementara ada kembang titipan disini."
mBah Kliwon tertawa.
"Kembang titipan akan siap dipetik pada waktunya. Baiklah nak, terimakasih banyak,
dan jangan segan-segan main kesini lagi."
"Saya akan sering datang kemari mbah," katanya sambil melirik si Sri.
Ketika Timan pulang, terasa ada yang sunyi dihatinya. Walau ada mbah Kliwon yang
selalu menghiburnya, tapi keberadaan Timan didekatnya membuat hidupnya terasa
nyaman.
***
Ketika melewat rumah lurah Mardi, Timan melihat pak lurah masih duduk dibangku
depan rumah. Timan membunyikan klaksonnya. Lurah Mardi yang tau bahwa itu Timan
segera melambaikan tangannya.
Timan menghentikan mobilnya, lalu turun dan melangkah mendekati mereka.
"Baru pulang mas?" sapa lurah Mardi.
"Iya, inipun sudah kemalaman bukan? Sebentar lagi saja pasti saya sudah ditangkap
hansip," kata Timan sambil tertawa.
"Kebetulan dong, kalau ditangkap hansip kan malah langsung dinikahkan?" kata Marni
menyela.
Pak lurah dan Timan tertawa.
"Bagaimana, sudah bicara sama mbah Kliwon?"
"Semuanya sudah saya ceritakan. Saya akan berusaha membayar berapapun untuk Sri.
"Saya kan sore tadi jalan-jalan kekita, mencari informasi tentang dimana Basuki
tinggal,"kata lurah Mardi.
"Haa, berarti sudah tau dimana dia tinggal?"
"Belum. Ada beberapa rumah milik Basuki, tapi tak satupun dari rumah-rumah itu
ditinggalinya. Hanya orang-orang yang bertugas menunggu dan membersihan rumaah itu
yang ada. Tapi tak seorangpun tau dimana Basuki tinggal menetap.
"Wah, sayang ya pak lurah."
"Tapi nanti saya akan terus mencari informasi. Mas Timan jangan khawatir, menemukan
orang terkenal seperti Basuki itu mudah, cuma agak ruwet."
"Sama saja itu namanya mas," sela Marni.
"Tapi setidaknya masih ada jalan, tenang saja mas Timan."
"Ya sudah, saya menunggu berita selanjutnya ya pak lurah, ini sudah malam, saya
pamit dulu."
"Silahkan mas, hati-hati dijalan ya."
"Kasihan mereka ya mas," kata Marni begitu Timan sudah berlalu.
"Iya. Semoga segera ada jalan keluar yang lebih baik."
***
Pagi itu Darmin merasa kesal, karena petugas mengatakan ada yang ingin ketemu.
"Huh, siapa sih, aku bosan dipanggil keluar terus menerus," gerutu Darmin.
"Seorang laki-laki, ganteng, tapi sudah agak tua."
"Dia menyebutkan namanya?"
"Basuki."
Darmin langsung bersemangat. Pasti akan ada amplop yang ditinggalkan untuknya.Atau
dia akan berusaha mengeluarkannya dari tahanan dengan jaminan? Iyalah.. Dia harus
membantu karena aku kan calon mertuanya, kata Darmin dalam hati.
Darmin melangkah keluar dengan senyum terkembang. Senyum yang sama sekali tak
kelihatan manis, karena menampakkan gigi kekuningan oleh sisa-sisa nikotin yang
tertinggal disana.
"Tuan, bagaimana bisa kemari?"
"Bisalah, aku kerumah kamu."
"Ketemu Sri, lalu memberitahukan bahwa saya ada disini?"
"Tidak, rumah kamu tertutup rapat. Tapi ada orang yang memberi tau bahwa kamu
sedang ditahan. Apa yang kamu lakukan?"
"Saya lagi makan dan minum-minum disebuah bar, ada yang meng olok-olok saya."
"Mengolok olok bagaimana?"
Lalu Darmin bercerita.
"Hei, jangan duduk disitu, dekat orang dekil itu, pasti badannya bau," kata seorang
laki-laki kepada temannya.
Darmin yang sedang mabuk naik pitam. Ia langsung berdiri, memegang leher baju orang
itu, kemudian menghajar wajahnya. Laki-laki itu terbanting kebelakang dan kepalanya
mengenai tembok. Lalu Darmin lari sebelum polisi datang.
"Wauww.. hebat kamu Darmin. Tapi bagaimana kamu bisa tertangkap?" kata Basuki
sambil tertawa.
"Ada orang yang mengenali saya rupanya, kemudian saya ditangkap."
"Goblognya kamu, mengapa tidak sembunyi?"
"Saya pulang kerumah karena mengira tak ada yang tau. Tapi ternyata mereka datang
untuk menangkap saya. Mendengar rame-rame diluar, saya kabur. Saya sudah berhasil
lari dari kejaran mereka, tapi setelah melintasi perkebunan dan sampai dijalan,
polisi mengenali saya. Ya sudah, mau apa lagi."
"Bagaimana kabarnya Sri?"
"Dia baik-baik saja, bersama mbahnya."
"Oh, sebenarnya aku ingin ketemu dan bicara baik-baik sama dia."
"Tuan, sebenarnya ada yang ingin saya sampaikan."
"Apa? Kamu mau aku membebaskan kamu dengan membayar uang jaminan?"
"Itu juga harapan saya."
"Kalau saya sudah ketemu Sri, dan Sri sanggup aku bawa pergi, baru aku akan
melepaskan kamu."
Darmin termenung, tampaknya tidak mudah merayu si Sri, apalagi didekatnya ada mbah
Kliwon yang pasti akan membantunya. Tiba-tiba Darmin ingin terlepas dari jeratan
Basuki. Ia merasa Basuki tak akan bisa membantunya keluar dari sana karena
syaratnya harus bisa membawa Sri terlebih dulu. Dan itu tidak akan mudah, kecuali
kalau dia ada disamping si Sri.
"Mengapa kamu diam?"
"Begini. Kemarin ada orang yang ingin mengambil Sri sebagai isteri."
Basuki menatap Darmin dengan pandangan marah.
"Apa kamu lupa bahwa Sri sudah menjadi milikku?" hardiknya.
"Bagaimana kalau dia sanggup membayar berapa banyak uang yang tuan pakai untuk
membayari semua hutang saya belasan tahun yang lalu?"
Wajah Basuki merah padam.
"Tidak. Aku sudah banyak uang ! Aku hanya mau si Sri !!'
Bersambung #6
CERITA WA: Kembang Titipan #6
Cerita Bersambung
Darmin terkejut, tak mengira semarah itu Basuki mendengar perkataannya.
"Tapi tuan.."
"Tidak ada tapi-tapi, kamu sudah janji, dan kamu harus menepai. Ingat itu. Dan
ingat juga, aku bisa melakukan apa saja. Sayangi nyawa tuamu." kata Basuki sambil
berdiri lalu melangkah keluar dan tak perduli pada Darmin yang duduk melongo. Tapi
tiba-tiba Basuki kembali.
"Jadi Min, jelas bukan, batalnya perjanjian adalah ketika nywamu terlepas dari
tubuh tuamu yang tidak berguna itu!! Tak lama lagi aku akan membawa anakmu, mau
atau tidak aku akan tetap membawanya." kata Basuki yang dibisikkannya ketelinga
Darmin, kemudian dia benar-benar keluar dari ruangan itu.
Tak ada amplop diatas meja, tak ada tawaran untuk membebaskannya dari tahanan. Dan
tiba-tiba Darmin merasa muak pada Basuki, yang dinilainya sombong dan ugal-ugalan.
Dan tiba-tiba juga Darmin merasa menyesal telah menukar nyawa nya dengan imbalan
anak gadisnya. Lalu ia teringat akan perkataan lurah Mardi
"Dan satu lagi pak Darmin, jangan kembali meneguk minuuan keras."
"Saya sebenarnya merasa menjadi orang tak berguna., Berbuat semau saya seakan bisa
menutupi penderitaan saya. Sekarang saya merasa bahwa ada yang sebenarnya
mencengkeram jiwa saya."
"Pak Darmin sadar bahwa langkah pak Darmin itu salah? Bertobatlah, bertobat adalah
obat terbaik untuk mengobati luka hati."
Darmin menghela naafas.
"Dan apa yang pak Darmin lakukan itu bukan mengobati penderitaan, tapi justru
memperparah. Kasihan si Sri, dia sangat menderita.
Lalu Darmin benar-benar merasa menderita. Tapi bagaimana caranya menebus kesalahan
masa lalu? Ini menyangkut uang dan yang bersangkutan tak sudi seandainya uang
dikembalikan. Apa yang harus Darmin lakukan? 'Kasihan Sri, dia sangat menderita',
kembali kata-kata itu terngiang ditelinganya. Derita, ia sekarang merasa menderita.
Berada dalam tahanan dan tak bisa melakukan apa-apa. Sangat menyiksa. Dan jika Sri
menderita.. alangkah sakit rasa hatinya. Aduhai, benarkah anakku menderita?
Bisiknya ber-kali-kali. Jadi begitu sakit rasanya menderita.. seperti aku sekarang
ini, sendirian dalam ruang yang pengap. Tak ada minuman kesukaanku. Tapi tidak, aku
tak akan meminumnya lagi. aku benci semuanya, benci minuman itu, benci uang yang
diberikan Basuki, benci .. bahkan kepada dirinku sendiri. Berapa lamakah aku akan
ada ditempat ini, lalu akan diadili dan dipenjara. Apakah orang yang aku pukul akan
mati, atau selamat? Bagaimana kalau mati lalu aku dihukum lebih lama? Kata batin
Darmin yang selalu menyiksanya.
Darmin memegangi kepalanya dengan kedua tangannya, yang ditumpukannya diatas meja.
Hatinya bagai tercabik menyadari betapa kejamnya Basuki. Betapa buruk nasibnya,
betapa buruk kelakuannya, betapa menyiksa semua perasaan itu. Mengapa baru sekarang
dia menyadari? Ia terus meratapi keadaan dirinya sampai petugas mengajaknya kembali
masuk ke ruang tahanan.
***
"Sri, jangan kebanyakan melamun .. ayo sini duduk sama simbah," kata mbah Kliwon
ketika mereka sudah selesai melakukan semua tugasnya.
Sri mendekat kearah simbahnya, duduk bersandar di kursi bambu itu, matanya
menerawang kelangit-langit.
"Apa yang kamu pikirkan?"
"Apakah bapak benar-benar benci sama Sri?"
"Bapakmu sedang tidak waras. Jangan kamu pikirkan. Nanti pada sa'atnya dia akan
menyadari kesalahannya."
"Kapan bapak menyadari kesalahannya?"
"Pada suatu hari nanti, mungkin sekarang ini belum sa'atnya. Kamu harus sabar, ya
nduk?"
"Sri memikirkan cara mengembalikan uang Basuki , mas Timan mengatakan sanggup
membayarnya, Sri jadi sedih. "
"Itu wujud cinta kasihnya Timan sama kamu, kamu harus mensyukurinya nduk."
"Rasanya sulit menerima kenyataan ini. Sedih bukan menjadi orang yang seperti Sri
ini? Bahkan Sri sekarang merasa bahwa tubuh Sri ini juga bukan milik Sri lagi."
"Semuanya akan ada akhirnya, dan percayalah bahwa kebenaran akan menang. Suatu hari
nanti bapakmu akan sadar."
"Simbah, biarpun bapak seperti benci sama Sri, tapi Sri ingin menjenguknya lagi. "
"Simbah maklum, bagaimanapun dia adalah bapakmu, ikatan itu tak akan bisa terputus
sampai kapanpun. Kamu anak baik, walau disakiti masih memiliki rasa sayang."
"Semalam Sri bermimpi, dipeluk bapak dengan kasih sayang. Bapak menangis sambil
mengelus kepala Sri."
"Mungkin bapakmu juga sedang kangen sama kamu."
Sri merenung lagi, alangkah senangnya kalau bapaknya benar kangen sama dirinya.
Selama ini ia merasa bapaknya tak pernah memperdulikannya.
"Sri juga teringat kata mas Mardi.. eh.. pak lurah, bahwa orang yang dipukul Bapak
masih ada dirumah sakit. Bisakah kita menjenguknya? Sri ingin melihat keadaannya
dan meminta ma'af atas kelakuan bapak."
"Besok kita tanya pak lurah, dimana dia dirawat."
"Kata pak lurah, kalau orang itu sampai meninggal maka hukuman bapak akan lebih
berat."
"Ya, itu benar nduk, karena dengan demikian bapakmu dianggap telah membunuh orang.
Tapi sudahlah, jangan terlalu memikirkan itu, besok bisa saja kita kerumah sakit,
baru menjenguk bapakmu. Ya kan?"
"Ya mbah, begitu ya?"
"Nanti simbah akan bertanya kepada pak lurah dulu, dimana orang itu dirawat.
"Ya, mbah?"
"Sudah, jangan sedih, serahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa, karena disana letak
segala kemurahan dan kebesaranNya. Dan kepadaNya kamu harus selalu memohon. Jangan
lupakan itu. Ayuk..ini sudah dhuhur, sa'atnya bersujud. Nanti hatimu akan lebih
terasa ringan.
"Baiklah mbah."
***
"mBah, kalau Sri mau membezuk ayahnya dan orang yang menjadi korban, saya antar
saja. Tapi saya mau ke kantor dulu.
"Waduh, jangan pak lurah, jangan sampai merepotkan dan mengganggu pak lurah. Tidak
apa-apa saya sama Sri saja. Kan banyak angkutan umum," kata mbah Kliwon buru-buru.
"Tidak apa-apa, saya juga butuh ketemu pak Darmin. Kemarin pernah mencari rumah
Basuki tapi belum ketemu, barangkali pak Darmin bisa memberi gambaran kira-kiranya
dimana."
"Tapi mengganggu tugas pak lurah juga kan."
"Tidak mbah, sama sekali tidak mengganggu, besok setelah ke kantor sebentar saya
langsung nyamperin mbah Kliwon."
"Wah, terimakasih banyak pak lurah. Maksudnya cuma mau bertanya, malah jadi
merepotkan."
"Tidak mbah, saya kan juga punya kepentingan. Saya sudah janji sama mas Timan bahwa
saya akan membantunya. Kemarin itu dimana Basuki tinggal masih belum ketemu.
Beberapa rumah yang saya datangi hanya ditungguin oleh orang yang tidak tau dimana
persisnya Basuki tinggal. Barangkali pak Darmin bisa memberi gambaran. Soalnya
ketika saya kesana, dia juga tidak bisa mengatakan apa-apa. "
"Tapi kalau kemarin sudah mengatakan tidak tau, apa besok dia bisa ditanya lagi?"
"Mungkin dia hanya pura-pura tidak tau. Kan saya juga belum bisa menebak, rasa
penyesalan yang tampak waktu itu, benar-benar sesal atau pura-pura."
"Benar pak lurah, orang seperti Darmin itu sangat susah ditebak isi hatinya."
"Semoga dengan ber bicara pelan nanti kita akan mendapatkan sesuatu. Yang penting
kita kesana dulu."
"Iya pak lurah, Sri juga bilang kepengin ketemu bapaknya. Katanya semalam bermimpi
ketemu bapaknya dan merangkulnya sambil menangis."
"Semoga itu sebuah ikatan yang tak tampak antara \pak Darmin dan anaknya, yang
tergambar dalam sebuah mimpi. Mungkin nanti pak Darmin sudah mau menerima Sri
dengan baik, tidak seperti pertemuan mereka yang lalu. Karena sesungguhnya pak
Darmin juga mencintai si Sri."
"Baiklah pak lurah, terimakasih banyak. Saya mohon diri. Karena Sri itu
sesungguhnya takut kalau sendirian dirumah. Ya karena Basuki sering mendatangi
ayahnya akhir-akhir ini."
"Ya mbah, bisa dimengerti. Karena merasa memiliki lalu dia bisa mengambilnya kapan
saja. Hati-hati ya mbah.."
"Jam segini kok belum pulang ya mas Timan? Tuh rumahnya masih terkunci." kata
Lastri ketika bersama suaminya ingin berbincang dengan Timan.
"Tadi nggak telephone dulu."
"Kan sekalian mau belanja. Tapi aneh kalau sudah sore begini belum pulang."
"Coba deh ditelephone Tri."
"Jangan-jangan ke Sarangan. Nggak aktif nih ponselnya."
"Bisa jadi. Aku sebenarnya pengin tau, bagaimana kelanjutan ceritanya, tentang uang
yang harus dibayar itu. Bagaimanapun aku ingin membantu. Kalau terlalu banyak
kasihan ms Timan."
"Iya mas, aku setuju. Dulu dia juga mati-matian berkorban mempertemukan kita. Kalau
nggak ada mas Timan, sampai sekarang mas Bayu belum menemukan isteri, ya kan?
Maksudnya isteri yang seperti aku. Kalau gadis cantik sih banyak."
"Kok larinya jadi ke gedis cantik banyak, aku kan nggak mau punya isteri selain
kamu. Susah nyari isteri kayak kamu."
"Karena aku cantik kan?"
"Hm, kalau mau bilang jelek, takut dicubit, kalau mau bilang cantik.. aku juga
harus dikasih upah. Gimana ya..."
"O, jadi memuji isteri harus ada upahnya?"
"Iya dong, setiap sa'at."
"Mau upah berapa sih, coba bilang."
"Upahnya bukan uang, jadi jangan bilang berapa..."
"O, gitu.. larinya kesana lagi nih.."
"Kesana tuh kemana?"
"Kayak nggak tau aja apa yang dipikirkan mas Bayu. Taulah aku.."
"Baguslah kalau tau, jadi aku sekarang mau bilang kalau isteriku memang cantik.
Nggak usah sekarang lho upahnya,Boleh nanti.. tapi dobel ya.."
"Iih.. apaan sih, lagi dijalan ngomongin yang enggak-enggak aja. Ayo pulang kalau
begitu."
"Tapi belum bisa nyambung mas Timan, bagaimana?"
"Gimana kalau kang Mardi saja. Dia pasti tau."
"Ya sudah, kamu saja yang telephone."
Lastri memutar nomor Mardi.
"Hallo Tri, ada apa?"tanya lurah Mardi dari seberang.
"Ini, aku sama mas Bayu kerumah mas Timan, tapi sudah sore begini kok belum pulang
ya?"
"Lho, sekarang mas Timan tiap sore kan kemari, ketemu si Sri."
"Aaah, sudah aku duga. Ini mas, mas Bayu kepengiin tau, kemarin kang Mardi bilang
mau ketemu pak Darmin. Sudah ada angka yang disebutkan pak Darmin? Tentang uang
yang harus dibayarkan ? Apa pak Darmin mau mengatakannya?"
"Mau sih, tapi angka persisnya tidak disebutkan. Lumayan banyak. Katanya hutang pak
Darmin waktu itu sama dengan harga sebuah rumah bagus."
"Wauuu... bisa ratusan juta dong."
"Benar, tapi mas Timan menyanggupinya. Cuma saja saya belum bisa ketemu Basuki.
Entah dimana dia tinggal. Tak seorangpun tau. Maksud saya mau bicara juga sama
Basuki tentang uang itu. Karena bagaimanapun namanya hutang kan harus dibayar?"
"Benar kang, ini tadi aku coba menghubungi mas Timan belum bisa."
"Iya lah, orang lagi asyik pacaran.. " kata lurah Mardi sambil tertawa.
"Nanti saja saya coba menghubbungi lagi kang/."
"Besok rencananya aku mau mengantarkan Sri ketemu bapaknya, sama Sri ingin ketemu
orang yang dipukul bapaknya itu. Mau minta ma'af katanya."
"Baguslah, memang itu seharus nya yang kita lakukan, supaya nanti dia tidak banyak
menuntut."
"Sekalian mau mencoba lagi bicara sama pak Darmin, barangkali akan ada
perkembangan. Karena kunci dari semua ini hanyalah Basuki."
"Ya mas, nanti kabari aku kalau ada perkembangan. Mas Bayu bilang ingin membantu."
"Baiklah, nanti aku kabari."
"Bagaimana? Apa kata pak lurah?" tanya Bayu ketika pembicaraan sudah selesai.
"Nanti saja sampai rumah aku ceritain mas, kenapa ya tiba-tiba aku kok merasa
mual."
"Kamu lapar barangkali? Makan dulu yuk, coba cari enaknya dimana?"
"Nggak mas, aku pengin segera pulang dan tidur, nggak enak nih perutku."
***
Mobil lurah Mardi berhenti didepan pagar rumah mbah Kliwon. Ketika pak lurah turun,
mbah Kliwon dan si Sri sudah siap didepan pintu. mBah Kliwon mengunci pintu
rumahnya.
"Merepotkan ya pak lurah?" sapa Sri sungkan.
"Tidak apa-apa Sri, kan aku juga punya kepentingan. Sudah siap ?"
"Sudah, tinggal nungguin simbah, tuh lagi mengunci pintu."
"Bawa apa itu Sri?"
"Cuma pisang, dua haru yang lalu sudah matang pohon. Nanti saya juga nitip untuk yu
Marni. Yang ini ya pak."
"Oh ya, pasti ibunya Jarot suka. Ayo masuk, itu simbah sudah selesai."
Sri berjalan mengitari mobil, tetangga didepan rumah menyapanya.
"Mau kemana Sri?"
"Ini kang, mau nengokin bapak."
"Masih belum keluar?"
"Belum kang, do'akan ya." kata Sri lalu masuk kedalam mobil.
***
Siang itu sebuah mobil berhenti ddepan pagar rumah Lastri. Mobilnya bagus, semua
orang lewat menatap kearah mobil itu. Seorang laki-laki gagah turun dari mobil.
Jalannya tegap, memakai kaca mata hitam yang keren banget. Bercelana jean dan
memakai t shirt ketat yang menutupi dada bidangnya. Laki-laki itu masuk kehalaman
kecil rumah Lastri dan berdiri didepan pintunya.
Perlahan ia mengetuk, lalu semakin keras karena tak ada yang menjawabnya dari
dalam.
"Permisi... permisi.. assalamu'alaikum... "
Tak ada jawaban sampai beberapa sa'at lamanya.
"Kemana dia? Tadi dirumah Darmin juga tidak ada. Jangan-jangan dia kabur dari aku,
awas kamu Darmin," gerutunya dengan wajah kesal.
Ia kemudian berbalik dan kembali kejalan. Seseorang yang rumahnya didepan
melihatnya dan mendekati laki-laki gagah itu.
"Tuan mencari siapa?"
"Si Sri ada ?"
"O, Sri sedang pergi sama simbahnya."
"Pergi kemana?"
"Nggak tau, tadi disamperin mobil pak lurah. Dengar-dengar mau nyambangin bapaknya
Sri yang masih ditahan.."
"Oh, terimakasih."
Laki-laki itu naik keatas mobilnya. setelah ia tau harus mencari kemana.
==========
Namun ketika Basuki tiba dirumah tahanan dimana Darmin ditahan, tak ditemukannya
siapapun. Darmin menemuinya dengan wajah kesal, dan itu membuat Basuki marah.
"Mengapa wajahmu sepeti itu? Kamu tidak suka aku datang? O.. ya, karena aku tidak
memberi kamu uang? " kata Basuki dengan wajah sinis.
"Bukan tuan, saya sedang tidak enak badan, setiap malam tak bisa tidur nyaman."
"Memang ini rumah tahanan, bukan istana atau hotel, mau tidur nyaman yang
bagaimana? Salah kamu sendiri, begitu goblog melakukan sesuatu yang berresiko."
omeh Basuki panjang pendek.
"Ya, tuan," jawab Darmin lesu.
"Mana si Sri?"
"Tuan bagaimana, saya disini, mana bisa tau si Sri dimana?"
"Jangan bohong, aku sudah kerumah kamu, juga kerumah simbahnya si Sri, kata
tetangga, Sri lagi nengokin kamu disini."
"Tapi dia tidak kemari."
"Bohong !! "
"Kalau tidak percaya, tanyakan pada petugas disitu, apa tadi ada orang yang menemui
saya."
"Kamu tampak tidak suka melihat aku datang, tampaknya kamu mulai tidak menyukai
aku. Oo.. aku tau, karena ada yang mau memberi uang untuk menggantikan hutang-
hutang kamu, lalu kamu bgitiu angkuh sama aku?"
"Tidak tuan, saya biasa saja, sungguh saya sedang tidak enak badan."
"Ingat Darmin, aku tidak akan sudi seandainya ada yang mau membayar aku untuk
membatalkan perjanjian itu. Aku hanya mau si Sri, tak ada yang lain."
Darmin terdiam. Sungguh ia merasa enggan bicara dengan laki-laki yang kali ini
berdandan begitu perlente dan tampak lebih gagah. Mungkin karena tadi maunya ketemu
si Sri, lalu berdandan agak berlebihan supaya Sri tertarik. Entahlah.. Yang jelas
Darmin ingin agar Basuki segera berlalu.
"Tuan, saya minta ma'af, sungguh saya sedang nggak enak badan."
Lalu Darmin berdiri, menemui petugas dan bilang bahwa dirinya ingin istirahat
karena nggak enak badan.
Petugas menghampiri Basuki.
"Pak, mohon ma'af, pak Darmin sedang tidak enak badan, jadi sebaiknya lain kali
saja bapak datang kembali," kata petugas itu.
Basuki mendengus kesal, kemudian berlalu.
***
Sementara itu pak lurah Mardi dan Sri serta mbah Kliwon sudah tiba dirumah sakit,
dimana korban pemukulan oleh Darmin itu dirawat. Pak lurah segera menemui petugas
rumah sakit dan mencari keterangan.
"Aku sudah menanyakannya, disana kamarnya," kata lurah Mardi kemudian.
mBah Kliwon dan si Sri mengikutinya. Namun tiba-tiba..
"Sri !!" sebuah panggilan mengejutkan semuanya. Sri menoleh dengan hati berdebar,
karena menganali suara itu.
"Mas Timan !!" pekiknya pelan. Ia tampak gembira.
Timan melangkah cepat mendekati mereka. Sri menyalaminya lebih dulu, dan Timan
menepuk tangan itu lembut.
"Kok mas Timan bisa tau kami ada disini?" tanya Sri.
Timan tersenyum, tapi matanya melirik kearah lurah Mardi.
Rupanya lurah Mardi mengabari Timan bahwa hari itu mereka mau membezuk korban
pemukulan oleh pak Darmin dan pulangnya akan mampir menemui pak Darmin di tahanan.
"O, pak lurah rupanya yang mengabari nak Timan?" kata mbah Kliwon gembira. Gembira
karena melihat cucunya juga tampak gembira.
"Iya , mbah."
"Mas Timan nggak kepasar?"
"Nggak, aku pilih kesini aja, bisa ketemu kamu," kata Timan sambil menatap Sri.
"Aah, mesti gitu mas Timan nih."
"Itu betul.."
"Iya, aku percaya..." kata Sri sambil melangkah cepat, karena lurah Mardi dan mbah
Kliwon meninggalkan mereka berdua.
"Dimana kamarnya?"
"Disana, ngikutin pak lurah saja."
"Sebenarnya tadi mas Bayu mau ikut.."
"Ikut, apa dia libur?"
"Ya mau ijin sehari gitu, karena pengin tau juga perkembangan cerita kita ini.."
"Hm, cerita kita ya?" kata Sri, tersenyum.
"Iya, terutama cerita kamu, si kembang titipan Basuki."
Sri merengut.
"Ah, merengut juga nggak apa-apa, kan cantiknya nggak akan hilang."
"Oh ya, tadi mas Bayu mau ikut, trus kenapa? Ceritanya bisa melenceng kemana-mana."
"Lastri sakit."
"Oh, yu Lastri sakit? Sakit apa?"
"Ini yadi baru mau ke dokter, katanya semalam muntah-muntah terus."
"Waah, jangan-jangan yu Lastri hamil."
"Benarkah? Kamu kayak yang pernah hamil saja."
"Bukan aku dong mas, yu Marni dulu waktu awal-awal hamil juga begitu, muntah-muntah
terus. Berhenti muntah kalau sudah dikasih makan rujak."
"Wah, semoga itu benar. Pasti mereka sangat bahagia."
"Aku juga akan ikut bahagia. Eh, mana mereka? Kita ngobrol sendiri, nggak tau tadi
belok kemana?"
Timan dan Sri celingukan, di persimpangan diujung lorong itu, barulah mereka
melihat lurah Mardi dan mbah Kliwon. Mereka menunggu, karena rupanya sudah sampai
didepan kamar yang dituju.
"Disini pak lurah, kamarnya?" tanya Timan.
"Iya, namanya Karsono. Ayo kita masuk," ajak pak lurah sambil masuk kedalam.
Pelan mereka mengikuti. Seorang laki-laki duduk ditepi pembaringan. Laki-laki itu
masih muda, menerima mereka dengan heran karena belum pernah melihat mereka.
"Mas Karsono, saya kemari mengantarkan Sri. Dia ini anaknya pak Darmin yang sudah
memukul mas Karsono sampai mas Karsono dirawat disini."
"Iya, dia itu mabuk, saya tidak mengira dia melakukannya. Tapi saya ngomong
sembarangan juga, dan membuat dia marah."
Sri maju mendekat, menyalami Karsono.
"Saya Sri, anaknya pak Darmin. Saya kemari mau minta ma'af atas kesalahan bapak
saya."
"Sudah, lupakan saja. Semuanya sudah terjadi. Dan ini sudah ditangani oleh pihak
yang berwajib."
Sri tercekat mendengar kata-kata Karsono.
"Kapan mas Karsono bisa pulang? Tampaknya sudah sehat."
" Saya menunggu kakak saya. Mereka akan kemari untuk mengurus administrasinya, hari
ini saya boleh pulang."
Tiba-tiba Timan mendekat.
"Mas, saya datang kemari untuk membantu menyelesaikan semuanya. Berapa beaya mas
Karsono selama dirawat?"
Sri dan mbah Kliwon terkejut. Tadi tidak ada rencana untuk itu.
"Saya tidak tau persis, tapi syukurlah kalau anda mau memikirkan hal itu. Selama
ini tidak ada keluarga Darmin yang datang dan perduli atas keadaan saya," keluh
Karsono.
"Itu sebabnya kami datang kemari. Pak Darmin tidak punya keluarga, hanya Sri ini
satu-satunya keluarganya. Dia juga terguncang, tapi hari ini kami sudah
datang."kata lurah Mardi.
"Oh, iya, terimakasih banyak."
Timan keluar menuju ke kantor administrasi, diikuti Sri yang berlinang air mata.
"Mengapa menangis Sri, sudah besar kok masih suka menangis?"
"Mas Timan mengapa melakukan semua ini? Tadinya aku tidak berfikir sejauh ini. Aku
hanya mau minta ma'af saja dengan membawa oleh-oleh pisang. Tapi mas Timan sanggup
membayar semua biaya yang mungkin tidak sedikit."
"Sudah, kamu tenang saja. Kita tidak sekedar membantu dia, tapi juga mau minta agar
dia bersedia mencabut tuntutannya."
Sri menatap Timan tak percaya. Sungguh tadinya hal itu tak terpikirkan.
"Saya sudah merencanakan semuanya dengan pak lurah."
"Ya ampun, bapakku menyusahkan banyak orang," kata Sri sedih.
"Sudah, usap air matamu, lalu duduk menunggu disitu, aku mau ke kasir," kata Timan
sambil mengulurkan sapu tangan yang dikeluarkan dari sakunya.
Si Sri duduk disebuah bangku, diantara lalu lalang orang yang mau membezuk kerabat
atau saudaranya yang lagi sakit, dan para perawat yang mendorong gerobag berisi
obat .. juga dokter-dokter yang bertugas visite.. Hatinya terasa nyeri, karena ulah
bapaknya lalu merepotkan banyak orang. Bukan hanya menyita waktu dan tenaga, tapi
juga uang yang tiba-tiba harus terkucur.
"Dengan apa aku harus membalasnya?" bisik Sri dalam hati, sambil mengusap lagi
titik air matanya.
Sri merasa hidupnya menjadi beban. Dan terus saja dia meratapi nasibnya sambil
sesekali menyeka air matanya, sampai Timan sudah selesai dan kembali mendekati Sri.
"Ada apa? Kok sedih begitu?" tanya Timan sambil duduk disampingnya.
"Sedih mas... sungguh .. hidupku ini mengapa menjadi beban orang lain?"
"Sri, kok ngomong begitu, aku ini bukan orang lain, aku ini calon suami kamu," kata
Timan sambil merangkul pundak si Sri.
"Dengan apa aku membalasnya mas?"
"Dengan cinta, dengan kasih sayang... gimana.. gampang kan?"
Sri tersenyum tipis.. ada bahagia tersungging disana, dan sederet gigi pitih yang
sedikit menyembul, selalu membat Timan berdebar. Alangkah manisnya kembang titipan
ini, bisik hatinya.
"Ayo kita kesana lagi," ajak Timan sambil menarik tangan Sri.
Pertemuan dirumah sakit itu selesai. Karsono sang korban sudah mau menerima. Beaya
rumah sakit sudah terbayar, dan amplop yang diberikan Timan kemudian cukup
membuatnya bersedia mencabut tuntutannya. Ia menandatangi surat yang sudah
disiapkan oleh pak lurah.
***
"Kita menemui bapak sekarang. Kamu harus sabar seandainya bapak masih belum suka
menerima kedatangan kita. Ya," ujar Timan dalam perjalanan menemui Darmin.
"Ya mas."
"Tapi sedikit melegakan karena urusan dengan mas Karsono sudah selesai, semoga
bapak bisa segera dibebaskan."
"Aamiin."
"Mengapa kamu tampak sedih?"
"Bukan sedih, membayangkan bagaimana nanti sikap bapak."
"Kan aku sudah bilang, kamu harus bersabar dan siap menerima apapun dan
bagaimanapun nanti sikap bapak, ka yan?"
Tiba-tiba ponsel Timan berdering.
"Tolong Sri, dari mas Bayu, bilang aku lagi nyetir."
"Hallo.."
"Ini Sri ?"
"Iya mas Bayu, mas Timan lagi nyetir."
"Sudah mau pulang?"
"Baru dari rumah sakit, ini mau ketemu bapak.."
"Oh, baiklah, nanti aku telephone lagi saja, takut mengganggu mas Timan."
"Bagaimana kabarnya yu Lastri? Katanya ke rumah sakit?"
"Iya, ini baru saja pulang,"
"Yu Lastri sakit apa?"
"Sakit yang menyenangkan," jawab Bayu gembira.
"Yu Lastri hamil ?"
"Iya Sri, atas do'amu.. baru lima minggu.. "
"Syukurlah, aku ikut senang mas.. Ini lagi dimana ?"
"Tiduran dikamar, sudah nggak muntah muntah tapi masih mual katanya."
"Iya mas, dulu yu Marni juga begitu. Sampaikan salam untuk yu Lastri ya mas,
pokoknya aku ikut senang."
"Terimakasih Sri, nanti aku sampaikan."
"Lastri hamil beneran?" tanya Timan ketika ponselnya sudah ditutup."
"Iya mas, senengnya.."
"Sebentar lagi kamu akan menyusul Sri.." canda Timan.
"Iih.. belum-belum sudah mau menyusul..." Sri cemberut.
"Nanti, sebentar lagi, aku nggak mau lama-lama lho, sudah nggak betah nih.."
"Nggak betah apaan ?"
"Nggak betah kelamaan jadi bujang."
"Bisa aja mas Timan nih.."
"Apa kamu nggak suka?"
Sri tersenyum..
"Semoga semuanya segera selesai ya mas.."
Dengan sebelah tangannya Timan menepuk-nepuk tangan Sri. Ada bahagia merekah, oleh
pengharapan yang semoga tidak sia-sia.
***
Mobil pak lurah Mardi sudah sampai didepan kantos polisi. Ia hanya bersama mbah
Kliwon, karena Sri ada dimobil Timan. Mereka belum turun. Lurah Mardi mengawasi
spion untuk melihat, apakah Timan sudah dekat.
"Kok jaraknya bisa lama sih?" ujar mbah Kliwon.
"Iya mbah, maklum, sambil pacaran," canda pak lurah.
"Hm, anak-anak muda. Tapi saya senang pak lurah, kalau ada nak Timan si Sri bisa
tersenyum dan tertawa. Kalau dirumah bawaannya murung melulu."
"Maklumlah mbah, memang Sri kan lagi banyak pikiran. Semoga semuanya segera
berakhir."
"Aamiin. Saya bersyukur banyak yang membantu Sri agar segera terlepas dari beban
ini. Sesungguhnya saya sungkan."
"Tidak apa-apa mbah, Sri kan sahabat saya, ia juga banyak membantu dalam usaha yang
dirintis Lastri dan saya sejak lama. Sudah sepantasnya saya juga ikut membantu
ketika dia dalam kesulitan."
Tiba-tiba dari arah depan berhenti sebuah mobil. Berhenti tepat didepan mobil pak
lurah. Seorang laki-laki turun, lalu melangkah mendekati mobil pak lurah.
Pak lurah membuka kaca mobilnya karena laki-laki itu berhenti didepan pintunya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya lurah Mardi.
Laki-laki itu melongok kedalam mobil, mengamati barangkali ada yang dicarinya.
"Ma'af, saya kira ada si Sri," kata laki-laki tersebut.
"Tunggu pak, apakah anda yang bernama pak Basuki ?"
Laki-laki yang memang Basuki itu urung membalikkan tubuhnya. Menatap laki-laki yang
semula duduk dibelakang setir. mBah Kliwon mulai menduga-duga.
Lurah Mardi turun, mengulurkan tangannya kepada Basuki.
"Saya Mardi, pak Basuki."
"Oh, bagaimana anda bisa mengenali nama saya?"
"Saya lurah desa yang...."
"Haa... bukankah tadi anda pergi bersama si Sri? Mana dia?" tiba-tiba Basuki
langsung menebaknya karena tetangga mbah Kliwon sudah memberitahu dengan siapa Sri
pergi.
"Mari masuk kedalam, saya ingin bicara."
"Sri mana?" Basuki mengulang pertanyaannya.
"Dia akan segera datang."
Basuki mengangguk tapi ntak beranjak dari tempatnya berdiri. Tampaknya ia ingin
menunggu kedatangan Sri.
Sementara itu mobil Timan hampir sampai disana. Timan nyaris menghentikan mobilnya
ketika Sri berteriak.
"Terus mas ! Jangan berhenti !!"
Bersambung #7
CERITA WA: Kembang Titipan #7
Cerita Bersambung
Timan terus menjalankan mobilnya dengan bingung.
"Ada apa Sri? Itu mobil pak lurah sudah sampai disana, pasti kita ditungguin."
"Jangan mas, aku takut."
"Kenapaa? Sri.. jangan membuat aku bingung. Ada apa?"
"Ada Basuki disana."
"Apa? Dimana ?"
"Lagi ngomong sama pak lurah.."
"Masa sih? Lalu mengapa kamu takut? Kan ada aku. Biar aku temui dia supaya semuanya
menjadi jelas."
Tiba-tiba Timan menghentikan mobilnya agak ketepi.
"Ya ampun mas, jangan.."
Sri benar-benar ketakutan, wajahnya pucat pasi.
"Sri, kalau benar dia Basuki, aku justru ingin menemui dia. Nggak apa-apa ada aku,
kita kembali kesana ya?"
"Demi Tuhan, aku takut mas.."
"Kan ada aku ?"
"Tidak mas, jangan... sungguh aku takut."
"Aku akan menghadapinya Sri, aku tidak takut."
"Tapi aku takut mas... " suara Sri serak, hampir menangis, lalu Timan merasa
kasihan.
"Ya sudah, jangan menangis, aku akan kirim pesan singkat ke pak lurah bahwa kita
tidak akan kesana."
Timan sebenarnya ingin ketemu Basuki, kalau perlu bicara langsung dan apapun ingin
dihadapinya. Tapi melihat keadaan Sri, ia mengalah. Lalu dikirimnya pesan singkat
ke pak lurah.
PAK LURAH, MA'AF, SRI TIDAK JADI MENEMUI BAPAKNYA. ADA KEPERLUAN LAIN.
Dan pak lurah yang membaca pesan itu kemudian bisa mengerti, karena tadi dia sempat
melihat mobil Timan melintas tanpa ada tanda-tanda mau berhenti.
***
Basuki mondar mandir didepan kantor polisi itu, lalu kembali kearah pak lurah.
"Mana dia ? Mengapa belum sampai juga?" tanyanya dengan wajah kesal.
"Baru saja dia mengabari, bahwa tak jadi datang kemari."
"Apa? Mengapa nggak jadi?" keras suara Basuki. Seperti kebiasaan dia bicara sama
bawahannya, lupa bahwa dihadapannya adalah orang asing, seorang kepala desa pula.
"Saya tidak tau pak. Mungkin ada keperluan lain, atau ...
Lurah Mardi seperti sedang berfikir mencari jawaban yang tepat..
"Atau apa?"
"Waktu dia datang kemari untuk yang pertama kali, pak Darmin sangat marah pada Sri.
Dinilainya Sri tidak patuh atau bagaimana, pokoknya kedatangan Sri tidak
ditanggapi. Mungkin sekarang Sri takut, lalu mengurungkan niyatnya. Kan pak Darmin
itu kalau marah nggak perduli apapun.. walau ada banyak orang tetap saja dia
teriak-teriak. tanpa mengenal malu. Nah Sri yang malu."
Tampaknya jawaban pak lurah bisa diterima Basuki. Namun ketika Basuki hendak
berlalu, lurah Mardi mencegahnya.
"Tunggu pak, saya ingin bicara, bisakah kita masuk sebentar?"
"Dengan siapa Sri pergi? Saya lupa menanyakan." tanya Basuki mengalihkan
pembicaraan.
"Dengan temannya."
"Perempuan, atau laki-laki? Mengapa kalian bisa berpisah? Bukankah tadi pak lurah
nyamperin kerumah mbahnya, oh.. itukah mbahnya Sri?" kata Basuki sambil menuding
kearah mbah Kliwon.
mBah Kliwon tak menjawab. Sebel banget melihat tingkah orang yang sedikitpun tak
menaruh hormat kepada orang lain padahal baru dikenalnya.
"Temannya, perempuan, tadi bertemu dijalan lalu dia minta berhenti, dan bilang mau
menyusul kemari, ternyata tidak jadi. Tapi sebentar, saya tadi bilang ingin bicara
sama pak Basuki kan?Bisakah kita masuk sambil menemui pak Darmin?"
"Tidak, mau bicara apa, langsung disini saja."
"Nggak enak pak, masa dipinggir jalan begini?"
"Tidak apa-apa, siapa bilang nggak enak, ayo bicaralah, aku sedang tergesa-gesa."
"Baiklah, apa boleh buat kalau pak Basuki ingin kita berbicara disini. Begini,
waktu saya datang sebelum ini, saya bilang pada pak Darmin, bahwa ada seorang
pemuda yang ingin mengambil isteri anaknya."
"Maksudnya si Sri?"
"Ya, si Sri.."
"Tidak. Tidak mungkin, Sri itu milikku." hardik Basuki dengan wajah merah padam.
"Ya, pak Darmin juga bilang begitu. Dia bilang Sri itu dititipkan oleh pak Basuki,
sejak dia masih kecil, dengan imbalan pak Basuki membayar semua hutangnya."
"Itu benar, dan tidak sedikit aku mengeluarkan uang untuk itu."
"Baiklah, bagaimana kalau uang pak Basuki yang telah digunakan untuk membayar
hutang pak Darmin itu dikembalikan?"
"Aahaaa... maksudnya dengan begitu Sri harus saya kembalikan?"
"Begitu kira-kira pak."
"Tidak ! Tidak.. dan tidak !!" teriak Basuki sambil mengacungkan jari telunjuknya
kearah wajah pak lurah. Lalu Basuki membalikkan tubuhnya dan pergi menuju ke
mobilnya. Terdengar deruman keras ketika Basuki memacu mobilnya dan seperti
melayang melintasi mobil pak lurah.
"Ya Tuhan, apa dia manusia?" keluh mbah Kliwon menahan amarah.
Lurah Mardi terpaku ditempatnya, belum pernah seseorang bersikap begitu kasar
terhadapnya. Kalau menuruti kemauannya ingin dia mengayunkan bogem kewajah ganteng
yang tak punya sopan santun itu. Tapi dia seorang kepala desa yang harus bisa
menahan emosinya. Ia hanya mengelus dada, sambil menghela nafas panjang.
"Orang yang begitu mau jadi suami cucuku? Darmin benar-benar sudah gila."
"Jadi gimana ini mbah, jadi ketemu pak Darmin tidak?"
"Atau kita minta Sri kemari saja? Tiba-tiba membatalkan niatnya kemari, pasti
karena melihat Basuki."
"Tadi dia bilang apa?"
"Mas Timan yang bilang melalui pesan singkat, katanya Sri nggak jadi kemari karena
ada keperluan. Cuma gitu. Tapi saya tadi melihat mobilnya melintas, tidak berhenti.
Pasti karena melihat Basuki lalu Sri minta supaya mas Timan tidak berhenti. Coba
saya telephone dulu ya."
"Hallo mas Timan," sapa lurah Mardi ketika telephonenya diangkat.
"Hallow pak lurah, disitu masih ada Basuki?"
"Tuh kan, nggak berhenti karena melihat dia ya?"
"Iya, Sri ketakutan sampai menangis tuh."
"Kasihan Sri, tapi dia sudah pergi. Cuma saya tadi sudah sempat bicara sama
Basuki."
"So'al uang pengganti itu?"
"Ya, dia menolak mentah-mentah."
"Menolak? Tidak mau seandainya uangnya diganti? Dengan nilai sekarang?"
"Dia marah-marah, maunya bukan uang, tapi Sri."
"Ya ampuun.. lalu bagaimana ini?"
"Mau kesini nggak mas, saya tungguin nih sama mbah Kliwon."
"Ya pak lurah, kalau dia sudah pergi saya mau kesitu, tadi kan Sri ketakutan."
***
Dan tanpa dinyana, sambutan Darmin siang itu begitu menyenangkan. Ia langsung
memeluk Sri dengan air mata yang tak terbendung. Sejagad penyesalan merubungi
hatinya, membuat sesak dadanya dan yang kemudian ditumpahkannya dalam isak yang
berkepanjangan.
"Mengapa bapak menangis ?" tanya Sri yang tentu saja ikut terisak.
"Bapak merasa sakit. Sakit oleh ulah bapak selama berpuluh tahun. Bergelimang dosa
dan maksiat, tak pernah merasa jadi pelindung yang baik bagi anak isteri."
"Ya sudah pak, jangan terlalu tenggelam dalam sesal. Bukankah rasa penyesalan itu
adalah nikmat menuju kebaikan? Mari kita jalani semua ini bersama-sama."
"Bapak tak mengira kamu bisa mengatakan semua ini. Sri kecil yang teraniaya karena
ulah bapaknya. Ma'afkan bapak, ma'afkan bapak ya nduk."
"Sri sudah mema'afkan sebelum bapak memintanya."
"Bapak, ma'afkan juga saya ya pak," kata Darmin sambil mencium tangan bapak
mertuanya."
"Sudah.. sudah, bapak sudah mema'afkannya. Bapak senang kamu menyadari semuanya.
Ayo sekarang duduklah, akan bapak perkenalkan ini, nak Timan."
Timan mendekat dan meraih tangan Darmin. Kali itu Darmin tak menolaknya. Ia menepuk
punggu punggung Timan dengan hangat.
"Pak lurah, ma'afkan saya yang selalu berlaku kasar, dan terimakasih atas
perhatiannya kepada saya yang banyak dosa ini." kata Darmin yang juga menyalami pak
lurah.
"Tidak apa-apa pak Darmin, banyak orang bisa mengakui kesalahan, tapi tak banyak
yang menyadarinya. Saya senang pak Darmin bisa menyadarinya."
"Tapi nasib Sri sungguh buruk. Basuki tak mau uangnya dikembalikan. Ia hanya minta
Sri, seperti janji saya pada puluhan tahun lalu, ketika Basuki membayar hutang-
hutang saya."
"Nanti kita akan mencari jalan terbaik untuk itu, kita akan memikirkannya bersama.
Tadi saya ketemu pak Basuki diluar sana."
"Jadi dia belum pergi ?"
"Tadi sudah kesini?'
"Sudah, saya menemuinya sebentar karena bicaranya ngaco tidak karuan. Lalu dia
pergi karena saya bilang sedang nggak enak badan. Ternyata dia masih menunggu
diluar?"
"Mungkin dia masih berada disekitar, karena tau bahwa Sri akan datang kemari.
Begitu saya datang, dia langsung mendekat dan mencari-cari si Sri. Untunglah Sri
belum datang."
"Jadi tadi ketemu Sri juga?"
"Tidak, karena Sri yang bersama nak Timan melihat ada Basuki sedang bicara sama
saya, kemudian Sri tidak jadi berhenti. Baru setelah Basuki pergi, saya panggil Sri
kemari."
"Pak lurah bicara apa sama dia?"
"Tentang keinginan nak Timan akan mengganti uang yang sudah diberikan Basuki kala
itu. Tapi dia menolaknya mentah-mentah."
"Tadi dia sudah mengatakannya. Saya jadi bingung pak lurah. Dia terus menuntut agar
Sri segera diserahkan."
"Baiklah, nanti hal itu kita bicarakan lagi. Sekarang ada kabar baik sementara,
tentang orang yang pak Darmin pukul waktu itu."
"Matikah dia?" tanya Darmin dengan wajah cemas.
"Tidak, justru kabar baik, dia selamat dan mungkin hari ini sudah pulang. Kabar
baiknya lagi dia berjanji tidak akan menuntut."
"Berarti saya tidak akan lama lagi ditahan disini?"
"Mungkin tak lama lagi bisa pulang pak."
"Syukurlah, tapi bagaimana dia bisa bilang tidak akan menuntut?"
"Mas Timan membayar semua biaya selama dia dirumah sakit, dan juga memberinya
sejumlah uang."
"Ya Tuhan, nak.. perlakuanku terhadapmu tidak baik, tapi kamu melakukan hal yang
luar biasa untuk aku, ma'afkan bapak ya nak." kata Darmin sambil memeluk Timan.
"Jangan hal itu difikirkan pak, yang penting bapak selamat, dan Sri juga segera
terbebas dari cengkeraman Basuki. Kami sedang mengusahakannya."
"Apakah nak Timan juga yang mau mengganti uang Basuki ?"
"Ya, tapi sementara ini dia masih belum mau menerima."
"Ya Tuhan, mengapa sejak dulu aku tidak bergaul dengan orang-orang baik ini?" kata
Darmin yang kembali berlinangan air mata.
***
"Mas, bagaimana kabarnya Sri ? Mas sudah menelpon kang Mardi tadi kan?"
"Iya, baru saja selesai bicara, bagaimana kamu, masih mual?"
"Sudah agak berkurang. Tadi kang Mardi bilang apa?"
"Kamu itu lagi sakit masih mikir yang macam-macam, istirahat dulu lah Tri."
"Aku sakit apa? Kata mas aku sakit menyenangkan."
"Iya, tapi kamu muntah-muntah terus."
"Enggak mas, sudah enggak. Aku sekarang ingin tau kabarnya Sri bagaimana. Prihatin
aku mas."
"Ya belum sepenuhnya selesai. Basuki tidak mau uangnya dikembalikan. Dia tetep
minta Sri, tidak yang lainnya."
"Kok gitu ya mas, bukankah yang penting uangnya kembali?"
"Dia orang kaya, uang tak ada artinya. Suka atau tidak dia harus mendapatkan Sri,"
"Kalau Sri nggak mau?"
"Jelas nggak mau lah.. dia kan cintanya sama mas Timan."
"Waduh, bisa kacau ya mas... lalu bagaimana caranya melepaskan Sri dari ikatan yang
rumit itu?"
"Kalau aku ya.. larinya ke jalur hukum saja.."
"Bisa ya mas ?"
"Ya bisa lah.."
"Tapi kan perjanjiannya pakai surat.. ditandatangani pula oleh pak Darmin."
"iya, tapi bisalah, itu kan menyangkut tindakan asusila, dan melanggar hak azasi
manusia."
"Kalau bisa aku bersyukur mas. Tapi.. aduh mas, aku mau dibeliin rujak dong.."
"Tuh kan.."
"Tapi rujaknya harus yang pakai mangga.."
"Lhah, kan ini lagi nggak musim mangga...?"
"Pokoknya aku mau yang pakai mangga... buruan mas, mau muntah nih..."
Aduh, susah ya ounya isteri ngidam. Bayu baru mengganti bajunya karena sebentar-
sebentar memang ia harus ganti baju. Lastri nggak suka bau keringatnya. Kalau
berani mendekat dengan tubuh keringatan pasti Lastri mengusirnya. Aduhai..
"Buruan mas.."
"Iya..iya.. aku cari dulu, ini lagi ganti baju nih... Pengin tau deh, kayak apa
nakalnya anakku ini nanti.. semoga tidak rewel seperti ibunya," kata Bayu sambil
mencium perus isterinya.
"Iih,, aku nggak rewel ya, justru anak mas ini yang rewel," kata Lastri sambil
cemberut.
***
Sri dan Timan serta lurah Mardi agak lama ketemuan sama Darmin. Ada bahagia dihati
Sri karena bapaknya tak lagi menolak Timan. Mereka malah kelihatan akrab dan cocog
satu sama lain.
"Ya sudah, kayaknya sa'atnya pulang ya, sudah kelaman kita disini," ajak lurah
Mardi.
"Bapak sabar ya, kami akan mengurus semuanya agar bapak bisa segera pulang," kata
Timan sambil menyalami pak Darmin.
"Iya nak, terimakasih banyak atas semuanya, bapak tak akan bisa membalasnya."
"Tak usah difikirkan pak, selalu berdo'a agar semua ini akan segera berakhir baik."
"Ya nak.. ya, terimakasih pak lurah, bapak.. jaga Sri baik-baik ya.."
Darmin melepas kepergian mereka dengan perasaan mengharu biru. Masih ada yang harus
difikirkannya, yaitu melepaskan si Sri dari genggaman Basuki.
"Mas Timan langsung mengantar si Sri atau kembali ke Solo?" tanya pak lurah.
"Biar saya antar sampai kerumah pak. Oh ya, mas Bayu tadi telephone akan mencari
lawyer .. kayaknya Basuki harus diselesaikan melalui jalur hukum, Tadi saya belum
bicara takutnya pak Darmin akan khawatir. Nanti malam saya akan menemui mas Bayu,
biar lebih jelas bicaranya." kata Timan sambil menuju kearah mobilnya.
"Ya mas, saya siap membantu apapun dan kapanpun. Ini saya sama mbah Kliwon ya. Mas
Timan sama Sri."
"Baik pak lurah, mobil saya pickup, nggak enak kalau berdesakan.""
Ketika Sri sudah naik keatas mobil dan Timan siap membuka pintu, tiba-tiba sebuah
mobil berhenti, tepat dihadapan mobil Timan. Timan terkejut, wajah Sri berubah
pucat.
Seorang laki-laki gagah keluar dari mobil mewah yang nyaris menabrak mobil Timan,
lalu berjalan kearah Timan. Timan berdiri terpaku, lalu tiba-tiba Timan merasa
bahwa dia adalah Basuki. Dengan kepala ditegakkan Timan menunggu. Dua orang laki-
laki berhadapan, mata saling memandang dengan sorot mata berapi-api. Masing-masing
segera menyadari wahwa yang berdiri dihadapannya adalah lawan yang harus
disingkirkan.
==========
Tangan Timan sudah mengepal. Tak ada rasa takut walau dihadapannya ada laki-laki
yang lebih tegap dan lebih tinggi dari dirinya. Cinta itu luar biasa. Cinta itu
adalah rela untuk berkorban demi orang yang dicintainya. Kalau perlu nyawa akan
dipertaruhkannya. Aduhai...
Tapi Basuki, sama sekali tak memperebutkan cinta Sri, ia menggenggam harga diri dan
kesombongannya. Mana mungkin dia mundur hanya karena iming-iming uang dikembalikan?
No, Basuki tak terkalahkan. Basuki merasa tak akan ada yang mengalahkannya. Ia
diatas semua orang, dia berkuasa karena dia banyak harta.
Mata Basuki menyipit. Tanpa rasa sungkan apalagi hormat, dia menuding kearah muka
Timan.
"Kamu siapa?"
"Saya Timan, dan saya tidak perlu bertanya siapa anda karena dari sikap anda saya
sudah tau bahwa anda adalah Basuki," kata Timan tegas, setegas kemauannya
melindungi si Sri.
"Saya melihat anda membawa Sri. Sri itu milikku. Jangan coba-coba mendekati dia.
Bagaimana kalau saya menolak keinginan anda? Sri lebih mencintai saya, bukan laki-
laki yang walau banyak harta tapi tidak memiliki tata krama."
Mata Basuki terbelalak, merah menyala seperti naga siap melalap mangsanya. Tapi
Timan tak gentar. Tangannya sudah mengepal, siap membela diri seandainya Basuki
memukulnya.
Sementara itu pak lurah dan mbah Kliwon yang menyaksikan perdebatan kedua lelaki
itu mendekat.
"Mengapa disini? Bagaimana kalau kita masuk kedalam, ada polisi yang siap menjadi
saksi kalau terjadi apa-apa," kata lurah Mardi.
"Baiklah, kita akan ketemu dimana?" tantang Basuki.
"Tidak pak Basuki, kita ini manusia yang harusnya punya tata krama. Kita juga bukan
anak kecil yang harus menyelesaikan perdebatan dengan pergumulan. Mari kita cari
jalan terbaik."
Tiba-tiba Basuki membalikkan tubuhnya, menuju mobilnya. Ia memundurkan beberapa
langkah sebelum melaju dengan kecepatan tinggi.
"Sabar mas, ada wadah untuk berdebat, bukan dengan kekerasan. Kita akan
menyelesaikannya melalui jalur yang lebih santun. Ayo kita pulang dan menenangkan
pikiran," ajak lurah Mardi.
Timan kembali kemobilnya, tapi alangkah terkejutnya ketika melihat Sri tak ada
disana.
Ia menoleh kearah mobil pak lurah, yang sudah menstarter mobilnya, lalu Timan
melambaikan tangannya, minta untuk berhenti.
"Ada apa mas Timan?"
"Sri ada disini ?"
"Lho, bukannya tadi ada di mobil mas Timan?"
"Nggak ada tuh..." jawab Timan bingung.
Lurah Mardi turun, diikuti mbah Kliwon. Mereka mencari kesana kemari, tapi tak
ditemukannya si Sri. Timan masuk kedalam kantor polisi, barangkali karena ketakutan
Sri masuk dan bersembunyi disitu. Tapi tak ada. Lurah Mardi bertanya kepada seorang
petugas yang ada disana ketika mereka bertemu Basuki,
"Seorang gadis?" tanya petugas itu.
"Ya, yang tadi duduk dimobil saya ini.."
"Baju coklat ?"
"Ya benar."
"Tadi turun dari mobil, lalu pergi bersama seorang wanita."
Semuanya terkejut.
Pergi dengan seorang wanita? Mengapa Sri diam saja dan tidak bilang apa-apa kepada
mereka? Apakah karena Sri ketakutan? Mereka kebingungan. Timan memukul-mukul
kepalanya. Menyesal karena terbakar emosi ketika melihat Basuki, lalu melupakan si
Sri yang ada didalam mobil sendirian.
"Bagaimana ini?" tanya Timan panik.
"Kita laporkan saja sekalian. Jangan-jangan ini juga karena ulah Basuki."
"Tapi kan Basuki tadi bersama saya?"
"Siapa tau dia punya anak buah yang disuruh melakukan sesuatu.."
"Ya Tuhan... dibawa kemana cucuku ?" keluh mbah Kliwon bingung.. ia berjalan mondar
mandir kesana kemari. sambil memanggil-manggil nama si Sri.
"Sri... Sri.. dimana kamu Sri..."
"Pantesan tadi tiba-tiba dia pergi, pasti dia sudah tau kalau anak buahnya atau
temannya berhasil membawa Sri, kata Timan penuh sesal.
Timan membuka lagi mobilnya, barangkali ia salah lihat dan ternyata Sri masih ada
didalam. Tak ada, Lalu Timan melihat sesuatu, secarik kertas bertuliskan spidol
merah.
JANGAN SEKALI-SEKALI LAPOR POLISI, SRI ADA DITANGANKU, KESELAMATANNYA TERGANTUNG
ANDA.
Timan tercekat, ia melambaikan tangan kearah lurah Mardi yang sudah siap masuk
kekantor polisi.
Timan mendekat dan menunjukkan kertas itu.
"Benar-benar kurangajar orang itu!!" umpat lurah Mardi.
Mbah Kliwon lemas mengetahui bahwa Sri benar-benar dibawa kabur Basuki, entah
bagaimana caranya.
"mBah, tenang dan jangan panik. Mari kita kerumah saja dan bicara. Kalau polisi tau
dan menjadi urusan, takutnya Sri akan di apa-apain," kata lurah Mardi yang sudah
lebih tenang.
***
"Maas, enak banget rujaknya..." kata Lastri sambil meletakkan mangkuk bekas rujak
keatas meja, dalam keadaan kosong.
"Ya ampun, segitu banyak... kamu habiskan sendiri?" tanya Bayu sambil melotot.
"Cuma segitu aja .. mas pengin? Mengapa tadi belinya cma satu bungkus?"
"Bukan satu, dua bungkus tuh, yang satu aku masukin kulkas. Takutnya malam-malam
kamu nyuruh aku beli.. pusing aku."
"Kok pusing sih mas, ini kan yang minta anakmu."
"Bagaimana nggak pusing? Malam-malam minta rujak, yang jual sudah tidur mendengkur,
yang minta merengek-rengek sambil mukulin aku."
Lastri tertawa.
"Jangan ngeluh dong mas, ini yang minta kan si jabangbayi, kalau nggak diturutin
nanti ngiler lho.."
"Yang ngiler ibunya 'kali.."
"Eh mas, sana ih.. jangan deket-deket, keringatmu bau banget .." kata Lastri ketika
Bayu mendekatinya.
"Aku tadi pulang beli rujak sudah ganti baju lho.. mana.. nggak bau.. bau sedap
nih."
"Mas Bayu ... bauu ! Tau?!"
"Hm, dulu aja.. waktu masih cinta-cintanya, ditinggalin sebentar aja diteriakin,
nempel nih di ketiak, katanya keringatku sedap. Sekarang.. baru sejam ganti baju
sudah dibilang bau."
"Mas, sekarangpun aku juga tetap cinta. Tapi baunya itu bikin aku mual, bener.."
kata Lastri sambil menutup hidung dan mulutnya.
Bayu mengalah, kembali melepaskan baju dan menggantinya yang bersih, kemudian duduk
disampung Lastri sambil mengelus perutnya lembut.
"Ayo, sekarang bilang aku masih bau.." kata Bayu sambil cemberut.
"Nggak, mas.. sekarang wangi, kan aku yang kasih pewangi di baju-baju mas."
"Oh ya, gimana kabarnya mas Timan ya?"
"Telephone dong mas.."
"Ya udah, aku mau telepone dulu, penasaran. Kalau susah aku kan janji mau carikan
lawyer biar urusan uang dan utang pak Darmin sama Basuki segera diselesaikan
menurut hukum. Masa manusia bisa jadi jaminan."
"Disini saja telephone nya mas, biar aku dengar."
"Hallo, mas Bayu," suara Timan dari seberang ketika Bayu menelpone.
"Gimana kabarnya, semua baik-baik saja?"
"Enggak mas," kata Timan lesu.
"Enggak gimana ?"
"Nggak ada yang baik mas, si Sri diculik."
"Apa? Sri diculik ?"
Lastri yang duduk disebelah Bayu membelalakkan matanya.
"Ya mas.. tadi ketika kami mau ketemu pak Darmin, didepan kantor polisi Basuki
tiba-tiba mendekati saya seperti menantang. Saya siap menghadapi mas, demi cinta
saya pertaruhkan nyawa saya. Sementara itu Sri saya tinggal dimobil dalam ketakutan
pastinya. Tapi tiba-tiba Basuki pergi begitu saja meninggalkan saya yang masih
marah. Tidak disangka mas, tampaknya dia menyuruh orang lain membawa Sri pergi.
Ketika saya balik ke mobil Sri sudah tidak ada."
"Bagaimana Sri bisa diculik? Bukankah itu didepan kantor pulisi ""
"Kami, saya pak lurah dan mbah Kliwon terpaku pada kelakuan Basuki yang kurangajar
dan menjengkelkan, tidak perhatian sama sekali pada si Sri yang ada didalam mobil
saya. Ketika Basuki pergi dan saya kembali ke mobi, Sri sudah tidak ada."
"Bagaimana bisa Sri menurut begitu saja, tidak berteriak atau apa?"
"Kata polisi yang ada didepan waktu itu, seorang wanita menghampiri dan mengajaknya
pergi. Nggak tau wanita itu siapa. Pasti Basuki menyuruh orang, dan semua sudah
dipersiapkannya."
"Kalau begitu langsung saja kita lapor ke polisi mas. Mas dimana, saya mau kesitu."
"Saya masih di Sarangan mas. Jangan lapor, dia meninggalkan tulisan yang isinya
mengancam, kalau kita lapor polisi maka Sri taruhannya."
"Ya Tuhan.. harus dengan cara apa kalau begini caranya."
"Saya akan mencari disetiap rumah milik Basuki, pak lurah tau beberapa
diantaranya."
"Baiklah mas, nanti kalau mas Timan sudah pulang kita ketemuan ya."
Ketika pembicaraan itu ditutup, Bayu tampak terduduk lemas, sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Kok bisa sampai seperti ini ya mas, kasihan Sri. Dibawa kemana dia? Segera lapor
saja mas."
"Basuki meninggalkan surat ancaman. Sri taruhannya, sehingga belum ada yang berani
bertindak."
"Sri.. Sri... kasihan kamu Sri.."
***
Sri tiba-tiba membuka matanya, dan mendapati dirinya berada disebuah kamar yang
sangat apik. Dengan kasur empuk, kamar yang luas, berbau harum, berseprei merah
jambu dengan motif bunga-bunga. Ada almari besar disudut ruangan. Kaca hias yang
indah dengan ukiran-ukiran manis, dan banyak alat-alat make up yang Sri tidak
mengerti itu apa saja..
Sri mengedip-ngedipkan matanya, merasa seperti mimpi. Tak ada siapapun disitu. Ia
ingin bangkit. tapi kepalanya terasa berdenyut.
"Bagaimana aku bisa berada ditempat ini? Ini rumah siapa? Bagus sekali."
Lalu Sri memegangi kepalanya karena tiba-tiba ia merasa semakin pusing. Ia mencoba
mengingat ingat apa yang tadi dialaminya.
Ia mencobanya terus. Sekilas terbayang wajah Timan.
"Oh ya, bukankah aku tadi bersama mas Timan?" bisiknya pelan sambil terus memegangi
kepalanya.
"Lalu orang gila itu datang, mendekati mas Timan.."
Sri terus mengingat ingat. Lalu apa.. dimana mas Timan, dimana orang gila itu? Lalu
terbayang wajah seorang perempuan cantik yang tidak lagi muda, mungkin tujuh atau
sepuluh tahun diatasnya, tapi berdandan begitu apik.
Lalu Sri mencium sebuah aroma yang sangat wangi, begitu menusuk hidungnya,
menyeruak melalui jendela kaca yang terbuka. Iapun merasa pusing, dan mendiamkannya
ketika wanita itu membuka pintu mobilnya.
"Kenapa dik? Sakit?" wanita itu bertanya.
Sri mengangguk.
"Ayo turunlah, dimobilku ada obat.. nanti pasti sembuh."
Lalu Sri yang merasa lemas menurut, turun dan mengikuti ketika wanita itu
menggandengnya. Lalu Sri tak ingat apa-apa lagi.
"Lalu apa... aku ikut siapa tadi, mana wanita cantik itu? Mana mas Timan..." bisik
Sri, lalu ia berusaha bangkit lagi, tak kuat, lalu menjatuhkan lagi tubuhnya diatas
ranjang, yang seperti mengayunkan tubuhnya ketika ia menghempaskannya dengan keras.
"Adduh..." keluh Sri yang lagi-lagi memegangi kepalanya.
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Pintu besar berwarna putih dengan garis emas
disekelingnya, lalu Sri memejamkan matanya.
"Pasti aku sedang bermimpi, ini istana ?"
Tiba-tiba Sri merasa seseorang memegangi dahinya.
Sri membuka matanya, dan wajah cantik itu berada tepat disampingnya. Ya, dia wanita
yang mengajaknya pergi.
"Pusing?" tanya wanita itu.
"Pusing, saya dimana ?"
"Dirumahku."
"Oh, mana mas Timan?"
"Kamu harus minum obat dulu, lalu mandi dan berganti pakaian."
"Apa?"
Wanita itu ternyata sudah menyiapkan obat dan minuman diatas meja. Meja marmer
berbentuk oval yang ditengahnya berdiri sebuah vas penuh bunga. Sri tidak
memperhatikannya karena terletak persis disamping dia berbaring.
"Minumlah, supaya pusingnya hilang."
Sri menurut, tak ada yang bisa dilakukannya kecuali menurut. Kesadarannya seperti
belum pulih benar. Ia masih seperti bermipi.
Aku akan menyiapkan baju ganti sebentar. Lalu kamu harus mandi.
Sri terdiam.Kepalanya masih berdenyut, tapi ia belum sadar benar. Ia biarkan saja
wanita cantik itu meletakkan setumpuk baju diatas ranjangnya.
"Coba bangunlah, masih pusingkah?"
Sri mencoba bangun. Kira-kira setengah jam sejak ia minum obat itu, rasa pusingnya
sudah berkurang.
"Mandilah, itu kamar mandi. Ada kran yang bisa menucurkan air hangat kalau kamu
merasa kedinginan."
Sri sudah duduk ditepi pembaringan. Wanita itu mengulurkan handuk yang tebal
berwarna biru muda. Harumnya...Lalu Sri menciumnya berkali-kali. Ia menurut ketika
wanita itu menuntunnya kekamar mandi.
"Itu... apa?"
Tanya Sri ketika ada seperti kolam kecil panjang dikamar mandi itu.
"Itu namanya bathtub. Kamu bisa masuk kesitu dan mandi didalamnya, lepas bajumu dan
masuklah."
"Lepas ?"
Sri menangkupkan kedua tangannya didadanya tanda menolak untuk melepas bajunya.
"Baiklah, aku akan keluar dan mandilah sesuka hati kamu dengan cara apa yang kamu
nyaman. Ini ada kran, ini ada shower.. kalau begini air yang keluar hangat. Nih..
cobain.. Lalu Sri terkejut ketika tiba-tiba dari shower itu mengucur air hangat
yang membuat dirinya basah kuyup.
Wanita itu terkekeh.
"Tuh, sudah basah kuyup begitu masih mau kamu pakai juga, sekarang aku mau keluar
dan mandilah sesukamu. Ini sabun cair, pencet saja akan keluar sabun nya."
Lalu wanita itu keluar.
Sri kebingungan, ia sudah berada dikamar mandi, bajunya basah kuyup, jadi mau tidak
mau ia harus melepasnya. Ia tak mau masuk kedalam 'kolam' kecil itu, ia lebih suka
mengguyur tubuhnya setelah menggosoknya dengan sabun.
Seperti mimpi juga ketika ia hanya membalut tubuhnya dengan handuk yang tadi
diperikan wanita itu. Eit, ini bukan sekedar handuk. Seperti baju, lalu bisa
ditalikan. Sri besyukur karena keluar dari kamar mandi bukan hanya berbalutkan
handuk yang pasti membuat bahu dan sebagian dadanya kelihatan.
"Sudah selesai?"
Sri hampir terlonjak ketika mendengar suara itu. Wanita yang tadi ternyata masih
menungguinya dikamar.
Sri belum benar-benar sadar. Tapi ia meronta ketika wanita itu akan membuka kimono
pembalut tubuhnya.
"Baiklah, aku akan menghadap kesana dan kenakanlah pakaian ini. Ini, celana dalam,
kutang, sudah bisa kan memakainya? Lalu ini hanya pakaian rumahan, daster tapi
bahannya sangat halus, kamu akan nyaman memakainya. Ada talinya biar kelihatan
bentuk tubuh indahmu.
Wanita itu duduk dikursi lalu memutar kursi itu sehingga membelakanginya.
Sri mengenakan pakaian ganti itu. Hm, bahan bajunya halus, enak dipakainya. Tanpa
sadar Sri menghadap kearah cermin.
"Aku ini dimana? Aku bingung? Apa yang terjadi?" katanya lirih, lalu menalikan tali
yang terpasang dibaju itu.
Wanita itu memutar kursinya dan kembali menghadapi Sri.
"Wauw, kamu memang cantik. Cantik dan masih polos. Tapi duduklah didepan cermin
itu, aku akan mendandanimu," katanya sambil mendekati Sri dan mendudukkannya
didepan cermin itu.
"Apa yang terjadi? Anda siapa?"
"Diam dulu, aku akan mendandanimu ya."
Wanita itu menyisir rambut Sri yang tergerai panjang,
"Masih basah, biar begini saja, nanti aku keringkan."
Lalu wajah Sri dibersihkan, dipoles alas bedak yang harum.
"Kamu memang cantik Sri.. tak heran banyak orang tergila-gila sama kamu," gumam
wanita itu sambil mendandani Sri.
"Mana mas Timan?"
"Diamlah.."
"Apa aku bermimpi? Kepalaku masih pusing.."
"Nanti kamu boleh tiduran lagi..
Sri merasa lelah, hampir setengah jam entah diapakan wajahnya, yang tak bisa
ditolaknya.
"Nah, lihat wajahmu, kamu seperti bidadari," kata wanita itu sambil berdiri
dibelakang Sri, membiarkan Sri menatap wajahnya sendiri.
"Itu.. bukan aku.." bisiknya lirih..
"Itu kamu, baru sadar kalau kamu cantik?"
"Aku lelah.. aku mau tidur lagi.."
"Baiklah, ayo tidurlah, aku akan membawa baju-baju kotormu ini kebelakang, atau
mungkin dibuang saja ya?"
"Apa?"
Wanita itu keluar, membawa semua baju kotornya. Sri kembali merasa pusing. Ia
berbaring sambil memegangi lagi kepalanya.. Obat yang diberikan wanita itu hanya
sebentar mengurangi pusingnya, sekarang mengapa menjadi bertambah berat begini?
Pikir Sri.
"Mimpi apa aku ini? Mengapa seperti ini? Mana mas Timan?"
Tiba-tiba pintu itu terbuka. Sri segan membuka matanya yang terasa berat. Tapi ia
terkejut ketika mendengar suara berdehem.
Bersambung #8
CERITA WA: Kembang Titipan #8
Cerita Bersambung
Sri membuka matanya, menatap seseorang yang mendekatinya. seorang laki-laki dengan
pakaian yang mirip seragam restoran, atau entahlah, menurut Sri itu seperti tidak
wajar, membawa nampan masuk sambil membungkuk kearahnya, lalu meletakkan dua gelas
minuman. Gelas-gelas yang antik yang apik. Sri tak perduli, ia terus menerus
menelusuri bagaimana terjadi keadaan seperti ini, dan terus menerus merasa
bermimpi.
"Mas Timan..." bisiknya pelan.
"Bu, ini obat yang harus diminum lagi," kata laki-laki itu sambil mengulurkan
sebuah cawan kecil. Tapi Sri hanya menerimanya dengan tangan kanan sambil tiduran.
Laki-laki itu membungkuk lagi dan keluar dari kamar. Sri mengamati sebutir pil
warna biru muda yang diberikan laki-laki tadi, tapi ia tidak meminumnya.
Ia meletakkan kembali cawan itu dimeja, dan membuat pil berwarna biru itu
tergelincir jatuh ke lantai.
Sri memejamkan matanya.
"Apa ini? Dimana aku...? Mana mas Timan?" hanya itu yang diingatnya.. seorang laki-
laki ganteng dengan mata teduh dan senyum yang menyejukkan.
Sri memejamkan matanya kembali. kepalanya masih berdenyut. Apa obat yang terjatuh
tadi obat untuk pusing kepalanya? Tiba-tiba Sri merasa bahwa obat-obat yang
diberikan oleh wanita cantik tadi sama sekali tidak mengurangi denyut sakit
dikepalanya.. Jadi tak apa walau pil warna biru tadi terjatuh. Sri hanya memejamkan
matanya sambil terus memegangi kepalanya.
"Mas.. aku dimana mas? Mas Timaan... mas Timaaan.." Sri terus menerus membisikkan
nama Timan.
Kemudian ia tak ingat apa-apa lagi.
Senyap sekelilingnya, seperti membiarkan Sri terlelap tanpa terganggu.
***
Seseorang memasuki kamar, diikuti seorang lainnya. Yang masuk lebih dulu adalah
laki-laki gagah yang langsung menatap kearah ranjang dengan wajah berseri. Yang
satunya adalah wanita cantik yang tadi menemani dan mendandani Sri.
"Kerja bagus, Mery.." kata Basuki, si laki-laki gagah itu.
"Huh, mengapa kali ini kamu begitu tergila-gila?" tanya yang dipanggil Mery dengan
wajah cemberut. Ada nada cemburu disana.
"Mery, kamu adalah perempuanku yang terhebat. Jangan iri kepada gadis ingusan yang
belum tau apa-apa ini."
"Justru belum tau apa-apa, lugu dan pastinya masih perawan ini kamu seakan sudah
akan meninggalkan aku, bukan?"
"Tidak Mery, jangan khawatir. Kamu tetap nomor satu bagiku," kata Basuki sambil
memeluk Mery erat-erat. Mery menyandarkan kepalanya didada bidang itu, sambil
memeluk erat tubuh gempal yang sesungguhnya amat dicintainya.
Kemudian mereka duduk berdampingan disofa yang ada dikamar itu, sambil mata mereka
memandangi tubuh molek yang tampak pulas diatas ranjang.
"Kamu bohong bukan?"
"Tidak, tanpa kamu aku tidak bisa apa-apa."
"Tanpa aku kamu tidak akan bisa mendapatkan gadis dusunmu itu, ya kan?"
Basuki tertawa.
"Dia hanya gadis desa. Takut bersaing dengannya?"
"Dia masih muda, perawan dan menawan. Lihat tubuhnya, begitu menarik dan sudah
membuatmu tergila-gila."
"Aku menunggunya selama puluhan tahun. Sejak aku masih muda dan dia masih kanak-
kanak. Aku hanya suka, tapi tidak cinta."
"Kamu memang tak pernah memiliki cinta."
"Huuh... siapa bilang?"
"Aku yang bilang. Berapa banyak perempuan simpanan kamu, yang kemudian kamu buang
begitu saja."
"Mereka membosankan."
"Kalau aku?"
"Kamu berbeda. Kamu selalu membuat aku bergairah dan sulit melepaskan kamu."
"Bohong!!"
"Kok bohong?"
"Memang bohong kan? Buktinya kamu masih mengejar dia," kata Mery sambil menunjuk
kearah ranjang.
"Dia simpanan aku sejak masih kecil, aku titipkan pada bapaknya."
Mery cemberut. Lalu Basuki meraih tubuhnya, dan Mery meletakkan kepalanya dibahu
Basuki.
"Aku mencintai kamu sejak bertahun-tahun lalu, tapi kamu tidak pernah mengambil aku
sebagai isteri."
"Sesungguhnya untuk apa status isteri itu? Kamu mendapatkan aku, memiliki harta
sebanyak yang kamu mau, bisa melakukan apa saja. Apa bedanya?"
"Ya beda, orang bisa memanggil aku nyonya Basuki, si ganteng yang kaya raya.."
Basuki tertawa terbahak,
"Besok aku akan suruh semua orang memanggil kamu nyonya Basuki."
"Apa itu cukup?"
"Mery, sudahlah, jangan mimpi terlalu tinggi. Bersamaku apa yang kamu inginkan bisa
kamu dapatkan."
Namun Mery merasa bahwa adanya Sri akan merupakan ancaman bagi dirinya, lalu kisah
cintanya bersama Basuki akan berakhir.
Tapi karena tawa Basuki yang kelewat keras itu tiba-tiba Sri terjaga dari tidurnya.
Masih setengah sadar dibukanya matanya.
"Mas Timaan.." kata itu lagi yang dibisikkannya.
Basuki mendorong tubuh Mery pelan, lalu berdiri dan berjalan mendekati si Sri.
"Hallo.. Cinderrela.. sudah terbangun ?"
Sri mengernyitkan dahinya. Suara siapa disampingnya?"
"Mas Timaan.."
"Heiii... lihat aku.. bukan Timan yang kumal dan lusuh.."
Sri membuka matanya lebih lebar..
Dalam keadaan setengah sadar yang diingatnya hanya Timan dan Basuki. Timan yang
dicarinya selalu, tidak muncul. Yang muncul adalah Basuki, orang yang dia benci.
"Sri.. masih ingat aku kan?"
"Dimana aku? Mana mas Timan?"
Tiba-tiba Sri sadar bahwa dirinya dalam bahaya. Kehadiran Basuki menyiratkan adanya
bahaya itu. Sri menjauhkan tubuhnya dari samping ranjang, agak ketengah supaya
tidak terlalu dekat dengan Basuki. Lalu dia bangkit. Rasa pening itu sudah banyak
berkurang dan Sri mengerti bahwa dia bukan sedang bermimpi.
"Sri, kamu seperti takut melihat aku.." Basuki naik keatas ranjang. Sri ketakutan.
"Pergi... pergi..." teriaknya.
"Ya Tuhan, kamu berdandan sangat cantik. Kamu benar-benar seperti Cinderela yang
sedang menunggu pangeranmu. Ini aku, sang pangeran tampan."
"Pergiiii..." teriak Sri lebih keras, ketika tangan Basuki mencoba menjamah
wajahnya. Sri merosot turun dari sisi ranjang yang lain. Lalu berlari mendekati
Mery yang masih duduk diatas sofa.
"Tolong aku... antar aku pulang.." tangisnya.
"Ada apa ini? Apa obat itu tidak kamu berikan?" tanya Basuki sambil menatap Mery
kesal, dengan masih duduk diatas ranjang.
"Sudah, pelayan yang memberikannya," jawab Mery. Ia membiarkan Sri duduk
disampingnya dengan wajah pucat pasi.
"Tolong aku, tolong antar aku pulang." katanya sambil menggoyang-goyangkan lengan
Mery.
Basuki turun dari ranjang dengan wajah muram.
"Rupanya kamu sudah sadar, tapi kamu tidak minum obat itu bukan? Kalau kamu
meminumnya pasti kamu akan menyambut aku dengan hangat."
Sri mengingat ingat tentang obat. Kesadarannya semakin pulih. Apakah obat itu
adalah obat yang diberikan laki-laki yang memberikannya diatas cawan kecil? Pil
berwarna biru itu, yang kemudian terjatuh entah kemana? Sri mencoba mencerna kata-
kata Basuki, kalau dia meminumnya maka dia akan menyambut Basuki dengan hangat? Sri
pernah mendengar tentang obat perangsang, yang konon bisa menimbulkan birahi. Ya
Tuhan, aku hampir meminumnya, dan aku akan celaka ditangan Basuki. Mungkin
diperkosa. Kata batin si Sri.
Tapi dia masih heran, mengapa dirinya tadi mengikuti wanita cantik yang sekarang
ada disampingnya.
Basuki menengok kearah meja marmer disamping ranjang. Ada cawan obat yang sudah
kosong, berarti Sri sudah meminumnya. Mengapa tak ada reaksi apapun? Atau belumkah
bereaksi?
"Apa yang terjadi? Jawab Mery !" Basuki mendekat kearah sofa. Sri berdiri menjauh.
"Kamu harus sabar." kata Mery.
"Aku tidak suka memaksa. Aku mau perempuan-perempuan tunduk dan takluk kepadaku.
Aku benci perlawanan." kata Basuki sambil menuding kearah Sri, lalu melangkah
keluar dari kamar itu.
Sri menghela nafas lega, tapi kemudian dia memandang wanita itu dengan marah.
"Mengapa saya dibawa kemari?"
"Kamu beruntung, Basuki menyukai kamu. Kalau tidak kamu sudah dibuang ketempat
sampah." kata Mery tanpa menjawab pertanyaan Sri.
"Mengapa saya dibawa kemari? mBak yang membawa saya kemari kan? Ini dimana,
antarkan saya pulang."
"Tidak bisa Sri, kamu sudah disini dan tak akan bisa kembali."
"Apa?"
"Kamu berada ditangan Basuki."
"Tolong, antarkan aku pulang.. tolonglah, mas Timan dan simbah akan mencari aku,"
kata Sri memelas.
"Sebaiknya kamu tenang dulu disini, aku akan menemani kamu nanti."
"Tidak, aku mau pulang.."
"Tak mungkin bisa pulang. Diluar banyak penjaga.."
"Penjaga? Ini rumah apa? Mengapa mbak bawa saya kemari?"
"Karena aku kekasihnya Basuki.."
Sri terpana, seorang wanita.. kekasihnya Basuki.. menculik gadis untuk Basuki ?
"Kamu tidak percaya ? Aku.. karena sangat cinta dia, maka aku penuhi semua
keinginannya, termasuk membawa gadis-gadis yang dia sukai kemari."
Sri menutup mulutnya.
"Basuki sangat menginginkan kamu."
"Tidak, aku sudah punya calon suami..." katanya lirih sambil matanya berkaca-kaca.
Sekarang dia baru sadar sepenuhnya, bahwa dia telah diculik demi Basuki.
Mery membuka jendela besar yang ada dikamar itu. Gelap... Kalau saja Sri bisa
melompati jendela itu, tapi tidak, jendela itu berterali besi. Angin dingin yang
menerobos melalui terali itu membuatnya menggigil. Bukan hanya oleh dinginnya
malam, tapi juga oleh kecemasan yang mencekam.
"Aku ingin pergi dari sini.. tolonglah aku mbak.." kata Sri setelah Mery kembali
duduk.
Pintu kamar terbuka setelah terdengar ketukan halus. Sri berdebar. Tapi bukan
Basuki .yang masuk. Seorang pelayan mendorong sebuah meja kecil berisi makanan dan
minuman
Sa'atnya makan malam," kata Mery"
Pelayan itu mendorong meja penuh makanan kedekat sofa setelah Mery melambaikan
tangannya. Lalu pelayan itu pergi.
"Ayo kita makan."
"Tidak, aku tidak mau makan. Tidak.."
"Manusia harus makan, kalau tidak kamu akan lemas, lalu mati," kata Mery sambil
mengambil piring dan menyendok nasi untuk Sri, yang kemudian diulungkannya kepada
Sri. Sri menggeleng-geleng. Ia masih teringat tentang pil biru yang menggelinding
jatuh, dan ternyata dimaksudkan untuk membuat Sri terlena lalu mau melayani nafsu
bejat Basuki.
"Sri, kamu takut makanan ini beracun? Tidak Sri, lihatlah aku akan memakannya, dan
aku tidak akan mati," kata Mery yang lalu menyendok sayur dan mencomot sepotong
ikan lalu dimakannya dengan lahap.
Sri menatapnya. Sesungguhnya dia lapar, tapi dia tak ingin makan. Ia hanya ingin
pergi dari sana. Pikirannya yang gundah membuat ia melupakan rasa lapar itu. Gundah
dan khawatir.
"Enak, benar kamu nggak mau makan?"
Sri hanya menatapnya. Sungguh ia takut kalau didalam makanan itu terkandung sesuatu
yang membuatnya lupa segalanya, seperti ketika Mery menyuruhnya turun dari mobil,
lalu mengajaknya pergi bersamanya. Ketika itu ia hanya mencium aroma aneh, wangi
yang memabokkan ketika Meru berdiri didepan jendela mobil Timan.
"Bener, nggak mau makan? Dengar Sri, kalau aku mau membuat kamu mabuk dan lupa
segalanya, aku bisa melakukannya tanpa menyuruhmu makan. Aku punya sesuatu dan kamu
pernah merasakannya. Hanya mencium harum yang aku tebarkan didepan hidungmu maka
kamu akan menuruti semua keinginanku. "
Sri masih diam menatap. Lalu ia berfikir, kalau ada kesempatan untuk lari dari
situ, ia harus kuat. Kalau perutnya tak kemasukan sesuatu maka ia akan lemas dan
tak mampu berbuat apapun.
"Ayo, sedikit juga tak apa-apa, aku tak mau kamu mati disini."
Lalu perlahan Sri menyendok nasi dan sayur.
"Bagus Sri, ini ikannya juga enak, koki disini bisa memasak sangat enak. Bahkan
hampir semua yang dimasaknya terasa enak"
Sri mengunyah makannya pelan, seenak apapun kalau hatinya tidak tenang, akan enak
dari mana?
"Basuki itu orangnya aneh. Dia suka perempuan, tapi tak suka perempuan yang
melawan. Ia lebih suka perempuan yang mau menerimanya dengan manis, lembut dan
membuatnya terbang ke awang."
Sri tidak menjawab, tidak sepenuhnya bisa mengerti. Ia sangat awam dalam arti
hubungan antara perempuan dan laki-laki seperti yang dimaksud Mery. Ia masih gadis
lugu yang tak mengenal hubungan diluar nikah. Ia hanya ketakutan ketika Basuki
mendekat, dan merasa bahwa ini semua tidak benar.
"Itu sebabnya dia tidak mau memaksamu."
"Lalu dia memberiku obat tadi supaya aku menurut?"
"Ya.. obat.. tapi aneh, kamu tidak terpengaruh obat itu. Kamu bahkan tampak lebih
sehat dari sebelumnya."
Sri diam saja. Ia juga tak ingin mengatakan bahwa dia sama sekali tak meminum obat
itu.
"Tuhan melindungi orang yang baik," gumam Sri pelan sambil masih mengunyah
makanannya.
"Oh, ya.. bagus kalau orang masih mengenal Tuhan."
Sri menatap Mery. Dia merasa tak membutuhkan Tuhan karena semua yang diingininya
selalu terpenuhi. Sri merinding memikirkannya. Mery lupa bahwa Tuhan sedang
menenggelamkannya kedalam gelimang kenikmatan dunia. Lalu entah apa yang terjadi
nanti, barangkali Mery tak memikirkannya.
Sri meletakkan piringnya.
"Sudah cukup? Kamu makan seperti kucing. Pantas badanmu kecil. Tapi Basuki suka
tubuh mungil seperti kamu."
Mery memencet sesuatu dibawah meja, lalu pelayan muncul dan membawa pergi sisa
makanan itu.
Sri benar-benar takjub. Kehidupan yang serba mudah, tinggal memencet sesuatu lalu
pelayang datang melayani.
Sri meraih gelas yang masih ada dimeja itu. Memagangnya hati-hati.
"Minum saja, jangan khawatir, Bukan melalui makanan dan minuman kalau Basuki ingin
meracuni atau menaklukkan kamu."
Sri meneguk minumannya. Sangat berat masuk kedalam kerongkongannya, walau itu hanya
air.
"Basuki menyuruh aku tidur disini, aku mau tidur di sofa saja. Kamu ingin melihat
televisi?"
Sri menggeleng.
"Tidurlah, ini sudah malam,"
"Kalau mbak itu kekasihnya Basuki, mengapa mbak biarkan Basuki menyukai perempuan
lain?" tanya Sri tanpa beranjak dari tempat duduknya.
"Itu kesenangan dia, kalau aku menghalangi, dia akan marah."
"Apa mbak suka sama Basuki?"
"Aku cinta sama dia, bukan hanya suka."
"Kalau cinta, mbak harus bisa memilikinya hanya untuk mbak seorang."
"Apa maksudmu?"
"Jangan biarkan ada wanita lain kecuali mbak dihati Basuki."
Mery tampak merenung. Selama ini ia sangat mencintai Basuki, tapi ia harus rela
membiarkan Basuki bersenang-senang dengan perempuan lain. Basuki beralasan hanya
untuk kesenangan, Mery masih segalanya.
Benarkah? Lalu Mery mulai merasa ragu. Jangan-jangan Basuki mengatakan bahwa
dirinya adalah segalanya, karena hanya dia yang bisa dipercaya, yang bisa melakukan
apa saja sesuai keinginannya. Jadi dia hanyalah tangan kanan Basuki, yang terkadang
bisa menikmati alunan asmara bersamanya, tapi bukan karena cinta.
"Apakah mbak bahagia?"
Bahagia? Dimana bahagia itu? Ketika Basuki menghamburkan uang untuk membelikan
perhiasan, baju-baju mahal, mobil mewah yang bisa dipergunakannya kapan dia mau?
Atau kepuasan diatas ranjang yang karena kobaran nafsu belaka? Itukah bahagia?
"Saya hidup miskin, orang desa sederhana, tak ada harta berimpah, tapi saya
bahagia. Saya memiliki calon suami yang ,mencintai saya, dan rela berkorban apa
saja untuk saya, dan itulah yang membuat saya bahagia. Sangat bahagia, bisa
memiliki dan dimiliki. Bisa tertawa dalam ketulusan, tersenyum dalam hati yang
damai dan tidak neka-neka. Itulah kebahagiaan saya mbak. Lalu mbak mengusiknya,
membuat saya terpuruk dan meraba-raba, dimana cinta saya berada."
Berkedip mata Mery menatap gadis cantik dihadapannya. Gadis sederhana ini memiliki
cinta dan bahagia. Lalu apakah yang dimilikinya? Tiba-tiba Mery merasa bahwa
dirinya tidak pernah merasa bahagia. Tawa dan senyum yang tersungging adalah
kebahagiaan semu, bukan bahagia yang sesungguhnya. Lalu Mery merasakan bahwa
hidupnya hambar, tak punya makna. Cukupkah harta, cukupkah segala kemewahan,
cukupkah pelukan yang diberikan Basuki setiap dia merajuk? Tidak, ternyata itu
tidak cukup. Ternyata itu bukan kebahagiann yang dicarinya.
Mery meneguk segelas minuman yang ada didepannya untuk menenangkan batinnya.
Tiba-tiba pintu terbuka, dan Basuki sudah berdiri disana.
Sri pucat pasi. Apa lagi yang akan dilakukannya?
===========
Sri membuang muka ketika Basuki menatapnya dengan mata penuh gairah. Mata itu
selalu menjijikkan. Basuki mendekati Mery, lalu membisikkan sesuatu.
"Ya aku tau. Kamu harus bersabar," kata Mery dengan wajah kurang senang. Entah
mengapa setelah berbincang dengan Sri perasaannya menjadi lain. Ia merasa bahwa
sesungguhnya ia tak memiliki apa-apa. Ia hanyalah sepotong daging dan tulang yang
memiliki nyawa tapi tak punya rasa.
"Mengapa wajahmu cemberut?" kata Basuki sambil mengelus pipi Mery.
"Aku letih, pergilah.."
"Ayo ikutlah kekamarku," ajak Basuki sambil menarik tangan Mery, tapi Mery
melepaskannya.
"Aku sudah bilang letih, aku ingin segera tidur."
"Baiklah."
"Pergilah.."
"Aku menyerahkan semuanya kepadamu," bisik Basuki ditelinga Mery.
Mery hanya mengangguk, lalu membiarkan Basuki keluar lagi tanpa mengucapkan
apapun .
"Kamu tidurlah, ini sudah malam," kata Mery.
Sri tak bergerak. Mana mungkin ia berani tidur? Bagaimana kalau ketika dia tidur
lalu Basuki masuk dan melakukan sesuatu yang buruk terhadap dirinya?
"Tidurlah, aku akan menjagamu."
"Menjaga aku?"
"Percayalah, Basuki tak akan datang malam ini."
Malam ini, bagaimana dengan besok, pagi, siang, atau malamnya? Sri bergidik. Diam-
diam dicarinya akal agar bisa keluar dari tempat ini. Tapi bagaimana ?
Mery menutupkan kembali jendela yang tadi terbuka, karena angin begitu kencang,
membuat gorden tipis yang menyelimuti jendela itu melambai-lambai.
"Tidurlah.." lalu Mery merebahkan begitu saja tubuhnya disofa panjang.
"Tidurlah diranjang, bukankah ranjang itu terlalu besar untuk aku sendirian?
Lagipula mana bisa aku tidur.. " kata Sri.
"Tidur saja, jangan membuat dirimu kelelahan."
Sri memang sangat lelah, tapi mana bisa dia tidur?
"Bagaimana keadaan mas Timan, simbah.. pasti mereka bingung karena aku menghilang."
Mery menatap Sri dari tempat duduknya disofa. Mata bening itu berlinangan air mata.
Pasti ia sedih sekali. Bagaimana rasanya sedih? Mery selalu merasa apa yang
diinginkannya pasti terlaksana. Ia tidak kekurangan apapun. Ia tak pernah sedih,
apalagi mengeluarkan air mata. Yang ada hanyalah rasa kesal dan marah apabila
Basuki mengecewakannya.Bagaimana sih caranya mengeluarkan air mata? Seperti
linglung Mery mengerjap-ngerjapkan matanya, berharap akan ada air mata yang keluar,
tapi tak bisa. Mery sama sekali tak mengerti, bahwa air mata ada hubungannya dengan
emosi jiwa, Kegembiraan yang meluap, atau kesedihan yang mengiris, bisa membuat
orang menangis.
"Sri.."
Sri menatap Mery yang masih berbaring disofa panjang. Ia mengusap air matanya
dengan ujung bajunya.
Mery mengulurkan tissue.
"Kamu sedih ?"
Sri tak menjawab. Wanita cantik dihadapannya seperti tidak mengerti, bahwa
dipisahkan dari orang-orang yang dikasihi pasti membuat hati merasa sedih. Ia
melakukan apa saja semaunya, tanpa peduli bagaimana perasaan orang.
"Tidurlah, besok aku akan menceritakan sesuatu."
"Mana bisa saya tidur?"
Sri menatap kearah pintu. Tatapan itu menyiratkan sebuah kekhawatiran.Mery tau, Sri
takut Basuki tiba-tiba masuk.
"Dia tidak akan datang malam ini, mungkin besok.." kata Mery sambil memejamkan
matanya.
Mungkin besok ? Sri ingin menjerit sekeras-kerasnya. Bagaimana caranya bisa keluar
dari sini? Sri berjingkat menuju pintu, ia memutar gerendel pintu itu dan berusaha
membukanya. Tapi tak bisa.
"Kalau kamu keluar, bisa-bisa ketemu Basuki, dan dilahapnya kamu mentah-mentah."
kata Mery tiba-tiba.
Sri surut dengan hati bergidik. Kata-kata Mery sangat membuatnya ngeri.
"Mau mencoba? Aku bisa membukanya dari sini kok."
Mencoba? Lalu bertemu Basuki dijalan? Aduuh, bisa mati berdiri dia.
"Basuki sangat tergila -gila sama kamu. Dia akan melakukan segala cara untuk
mendapatkan kamu."
"Ya Tuhan.. tidak.. " Sri terduduk lagi disofa.
"Lebih baik kamu tidur, tenang saja. Malam ini kamu bisa tidur dengan nyenyak.
Basuki sedang punya permainan baru."
Permainan baru? Sri tidak mengerti, ia hanya meraba-raba. Apakah ada perempuan lain
yang menjadi mangsanya?
"Tapi dia akan terus mengejar kamu, karena kamu sulit ditundukkan, tidak gampang
menyerah seperti yang lainnya."
Meremang bulu kuduk Sri mendengarnya.
"Mas Timaaan, tolong aku...." bisiknya lirih, penuh ketakutan.
Mery membuka matanya, kemudian bangkit dan duduk sambil membenahi rambut sebahunya
yang acak-acakan.
"Kamu nggak mau tidur?"
"Saya nggak akan bisa tidur.."
Mery menghela nafas. Ternyata dia juga sama, nggak bisa tidur walau mata terpejam.
"Aku mau pulang, tolong mbak.. " rintih Sri.
"Sri, ketika kamu sudah masuk kemari, susah untuk bisa keluar lagi. Rumah ini
berada jauh diluar kota. Tak seorangpun tau ini rumah siapa. Dan kalaupun kamu
keluar, kamu tak akan tau arah kemana yang bisa membawa kamu pulang."
"Ya Tuhan.... tolonglah hambamu ini..."
Tiba-tiba Mery merasa, Sri selalu menyebut Tuhan-nya. Dan itu sesuatu yang tidak
dimengertinya.
"Mengapa kamu selalu menyebut Tuhan?"
"Dalam sedih dan suka, saya selalu menyebutNya. Semoga Dia mendengar jeritku, dan
menolongku.
Dulu aku seorang yang sebatang kara. Bapak dan ibuku sudah meninggal sejak aku
masih kanak-kanak, lalu aku tinggal disebuah panti asuhan. Ketika aku menjadi gadis
remaja, aku bertemu seorang priya yang menurutku sangat ganteng dan menarik.
Pertemuan itu terjadi ketika aku sedang berjalan sendirian sehabis belanja, lalu
sebuah mobil menghampiriku."
"Hallo cantik, sendirian saja ?" sapanya begitu turun dari mobil.
Aku terpesona oleh ketampanannya. Aku tersenyum dan mengangguk.
"Rumahnya dimana ?" tanyanya.
"Aku nggak punya rumah."
"Lho, kamu tinggal dimana?"
"Di panti asuhan."
"Dimana?"
"Tuh, didekat situ, "
Pria tampan itu melihat kearah yang aku tunjukkan.
"Mau ikut aku?"
"Kemana ?"
"Kerumahku."
"Harus ijin dulu sama kepala panti."
"Iya, aku pasti meminta ijin nanti. Ayo aku antar.."
"Jalan kaki saja, sudah dekat tuh."
Lalu dia mengantar aku, lalu setelah itu sering datang dan mengajakku jalan, lalu
dia meminta ijiin kepala panti bahwa aku akan dibawa kerumahnya. Dia memberi
imbalan uang yang banyak, dan berjanji akan menikahi aku.
"Kamu tau Sri, aku benar-benar jatuh cinta pada dia."
Sri menebak-nebak, apakah laki-laki itu adalah Basuki ?
"Aku dibawa kerumah mewah ini, diberi pakaian bagus, lalu dia juga memberikan apa
saja yang aku minta. Beberapa bulan aku bergelimang harta dan cinta, menyerahkan
tubuh dan segala yang aku miliki demi cinta itu. Lalu aku kemudian tau bahwa dia
sering berganti-ganti wanita."
"mBak tidak sakit hati ?"
"Dia selalu menghiburku bahwa aku adalah yang nomor satu baginya, karena aku
istimewa. Aku bahkan sering membantunya membawa gadis-gadis yang disukainya."
Sri menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Berkali-kali aku menuntut agar dia menikahi aku, tapi dia selalu mengelak, katanya
apa artinya pernikahan kalau semua yang aku inginkan bisa aku dapatkan."
Sri menatap wajah cantik yang seakan bicara dengan dirinya sendiri.
"Dan itu benar. Tapi sungguh aku mencintainya, sejak belasan tahun lalu."
Mery menyandarkan tubuhnya, menatap kearah langit-langit kamar.
"Mengapa mbak tidak memperjuangkan cinta itu?"
"Apa maksudmu?"
"Kalau cinta, milikilah dia seutuhnya. Jangan berbagi dengan siapapun juga."
Mery menegakkan tubuhnya, menatap Sri tanpa berkedip.
"Apakah berbagi cinta itu tidak sakit?" tanya Sri pelan.
Sakit itu apa, Mery tidak menyadarinya. Sakitkah ia ketika Basuki memaksa ingin
memiliki Sri, menatap Sri dengan pandangan penuh gairah, memberikan ranjangnya
untuk diberikan kepada Sri, dengan harapan akan bisa menikmati hari-hari bersama
Sri. Lalu dia.. hanya disuruh menjaganya, merayunya, membuatnya takluk dan berusaha
agar Sri menyerahkan tubuhnya pada laki-laki yang dicintainya.
Tiba-tiba dada Mery berdesir. Ada rasa tak senang ketika melakukan itu, ada rasa
cemburu karena Basuki tampak tergila-gila pada Sri. Itukah sakit? Sebuah ucapan si
polos dari dusun itu cukup membuat Mery kemudian menjelajahi hari-harinya, sejak
dia masih remaja sampai belasan tahun berjalan dan hanya menjadi pemuas nafsu bagi
laki-laki yang sesungguhnya amat dicintainya.
Apakah Basuki mencintainya? Cinta yang bagaimana ketika belasan tahun tak berujung
dan hanya menjadi pelayan baginya?
Mery berjalan kearah jendela dan membukanya lebar-lebar. Sri menoleh kearah sana
dan melihat remang pagi mulai membayang. Rupanya dia dan Mery tidak tidur
semalaman.
***
mBah Kliwon bangun dengan bingung, ia berjalan kesana kemari seperti sedang
mencari-cari.
"mBah.." Timan yang ternyata tidur dirumah itu melihat kegelisahan mbah Kliwon,
karena memang hampir semalaman dia tidak bisa memejamkan mata.
"Sri.. ini jam berapa Sri... dimana kamu?" kata mbah Kliwon masih dengan mondar
mandir.
Timan bangkit, lalu menghampiri mbah Kliwon, mengajaknya duduk.
"Nak Timan ?" mbah Kliwon baru sadar bahwa ada Timan dirumahnya.
"Ya mbah..."
"Aku bingung, aku mencari si Sri... . Ya Tuhan, si Sri kan diculik si keparat itu?"
"Sabar mbah, nanti saya akan mencarinya, saya berjanji akan membawanya pulang,"
kata Timan sambil menepuk-nepuk bahu mbah Timan.
"Dosa apa yang aku lakukan, sehingga cucuku mengalami nasib seperti ini?" ratap
mbah Timan.
"Bukan karena dosa siapa mbah, Allah sedang menguji kita. Kita harus bersabar dan
selalu berdo'a agar Sri selamat."
"Bagaimana kalau Basuki mencelakai Sri?"
"Semoga saja tidak, mbah sudah.. sekarang simbah tidur saja lagi, pak lurah sudah
menyuruh orang untuk menggantikan tugas mbah Kliwon dan Sri selama Sri belum
kembali. mBah Kliwon jangan memikirkannya terlalu berat. Banyak yang akan membantu
Sri."
"Ini sudah pagi, bagaimana bisa tidur lagi? Biasanya Sri sudah datang.."
"Biar saya menjerang air ya mbah, oh ya, simbah kan suka wedang jahe? Saya biasa
buat kalau dirumah, biar saya membuatnya," kata Timan sambil berdiri, meninggalkan
mbah Kliwon tercenung dikursi."
Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat.
"mBah, sudah bangun mbah?" suara Marni terdengar diluar pintu. mBah Kliwon berdiri
lalu membuka pintu.
"Bu lurah..."
"Mas Timan masih tidur ?"
"Tidak, sedang dibelakang."
"Ini saya bawakan sarapan untuk simbah dan mas Timan ya," kata Marni sambil
meletakkan rantang yang dibawanya diatas meja.
"Apa aku bisa menelan makanan, sementara hatiku sedang gelisah seperti ini?"
"Simbah harus makan, harus kuat. Semuanya akan membantu Sri. Percayalah mbah, Sri
akan selamat. Jangan sampai tidak makan, nanti malah jatuh sakit."
mBah Kliwon menghela nafas panjang, lalu kembali duduk. Badan rasanya lemas.
"mBah Kliwon jangan memikirkan pekerjaan. Mas Mardi sudah menyuruh orang un tuk
menggantikan tugas simbah dan Sri. "
"Terimakasih Marni."
"Sekarang simbah harus makan."
Timan tiba-tiba muncul dari belakang sambil membawa nampan.
"Bu lurah..."
"Mas Timan bikin apa?"
"Buat wedang jahe untuk simbah. Ini mbah, diminum biar anget badannya."
"Itu saya bawakan sarapan mas, dimakan dulu sama mbah Kliwon. Dari kemarin pada
nggak doyan makan semua."
"Terimakasih bu lurah. Nanti saya temani simbah makan, sebelum saya pergi."
"Mas Timan jangan memberi tau pak Darmin dulu, nanti dia juga malah bertambah
bingung."
"Ya, saya ditunggu mas Bayu untuk melakukan apa yang sebaiknya kita lakukan. Tapi
untuk melapor ke polisi saya kira jangan dulu, demi keselamatan Sri."
"Semoga segera menemukan jalan terbaik ya mas."
"Terimakasih bu lurah. Ayo mbah, diminum dulu. Bu lurah mau menemani?"
"Tidak. Saya harus segera kembali karena Jarot tadi tidak saya ajak. Takutnya dia
rewel."
"Baiklah, terimakasih bu lurah."
mBah Kliwon memegang gelas wedangnya, tangannya gemetar. Timan membantu
memegangnya.
"Masih panas mbah?"
"Tidak, biar saja saya meminumnya pelan-pelan."
Perlahan mbah Kliwon minum, lalu Timan memaksanya agar mau makan.
"Simbah harus makan dulu, lalu saya akan pamit, semoga segera bisa menemukan Sri,
ya mbah?"
***
"Kamu harus mandi, biar terasa segar. Aku siapkan baju gantinya," kata Mery.
Agak lama dia berdiri didepan jendela itu, menatap kebun luas yang menghijau, dan
burung-burung kecil berterbangan kesana kemari.
"Alangkah senangnya burung-burung itu. Bisa terbang bebas sesuka hatinya," desis
Sri yang menyusul Mery berdiri didepan jendela.
"Ini istana, tapi seperti penjara," sambung Sri lagi.
Mery menatap Sri, tanpa ekspresi. Lalu duduk disofa lagi.
"Mandilah, setelah itu baru aku. Aku akan menyiapkan ganti bajumu."
"Tidak, mana baju saya yang kemarin, saya mau memakai baju saya sendiri."
"Sudah aku buang."
Sri terbelalak.
"Dibuang? Itu baju yang masih bagus," katanya kesal.
"Nanti aku ganti dengan yang lebih bagus. Sudahlah mandi, dan tenangkan hati kamu."
Sri bersungut, berjalan menuju kamar mandi setelah Mery mengambilkan handuk. Kimono
handuk yang lain lagi, masih bersih dan baru dikeluarkan dari dalam lemari.
Sri tak perduli, ia masuk kekamar mandi dan segera mengguyur tubuhnya dengan air
dingin. Beribu rasa berkecamuk dalam dirinya. Dan itu semua adalah rasa cemas. Apa
yang akan terjadi pada diriku? Akan celakakah aku ditangan Basuki? Kalau sedikit
saja dia berani menjamah tubuhku, aku lebih baik mati.
Lalu air matanya bercucuran, teringat Timan yang sangat mencintainya dan sudah
banyak berkorban untuk dirinya. Derasnya air yang mengguyur seakan berpacu dengan
derasnya air matanya. Lama ia membiarkan dirinya disana, menumpahkan air matanya
dalam sedu sedan yang tak terbendung.
Tiba-tiba terdengar ketukan keras dipintu kamar mandi. Tercekat hati Sri, apakah
Mery yang mengetuk pintunya, atau jangan-jangan Basuki.
Bersambung #9

CERITA WA: Kembang Titipan #9


Cerita bersambung
Air masih mengucur deras, rintih dan tangisnya terhenti, berganti rasa was-was akan
bahaya yang mengancamnya.Ia menoleh kekiri kanan, dan mencoba mencari sesuatu yang
barangkalibisa dipergunakan untuk membela diri. Tapi tak ada apapun disana, ada
sikat dengan gagang yang tak begitu panjang, disudut yang tersembunyi. Sri
mematikan keran, lalu mendengar ketukan semakin keras. Ia melangkah kearah sikat
itu dan memegangnya erat. Asal saja dipegangnya, walau tak yakin apakah sikat itu
bisa melindunginya.
Sri mendekat kearah pintu. Ia sudah mengenakan kimono dan menalikannya erat.Lalu
lamat terdengar suara memanggilnya.
"Sri.. kamu masih hidup kan?"
Sri bernafas lega, itu suara Mery. Ia meletakkan sikat itu kembali ketempatnya,
lalu berjalan kepintu dan membukanya.
"Lama sekali,.." kata Mery sambil menuntun Sri keluar.
"Ganti pakaianmu, sekarang aku mau mandi," kata Mery yang sudah melepas hampir
seluruh pakaiannya dan hanya membalutkan handuk ditubuhnya, lalu berjalan kearah
kamar mandi dan menguncinya.
Sri mengamati baju yang disiapkan Mery, dan mengenakannya tergesa-gesa. Ia takut
kalau tiba-tiba seseorang masuk dan melihatnya setengah telanjang.
"Aduuh... mengapa baju ini terbuka sekali?" Belahan dada sangat lebar dan Sri tidak
suka. Tapi tak ada yang lain, Sri ingin membuka almari dimana tadi Mery
mengambilnya, tapi tidak berani. Akhirnya tetap dipakainya sambil ditariknya agak
kebelakang. Nanti kalau Mery selesai mandi ia akan minta agar Mery memberikan yang
lain.
Lalu Sri menuju kedepan kaca, mengambil sisir dan menyisir rambutnya yang sebatas
lutut. Ada bermacam alat make up disitu, tapi Sri tak menyentuhnya. Yang mana
bedak, yang mana alas bedak saja Sri tidak tau. Lalu Sri duduk disofa, sambil
sebentar-sebentar matanya menatap kearah pintu. dengan rasa khawatir.
"Mas Timaaan, aku disini mas, tolong akuu..." rintihnya lirih, lalu matanya kembali
berlinang.
Lalu Sri berjalan kearah jendela. Angin pagi menerobos masuk ketika korden
disilangkan. Rambut Sri yang masih basah tergerai dan dibiarkan angin mengelusnya.
Remang pagi itu memberikan bayang-bayang dedaunan yang melambai . Sri memegangi
jeruji besi yang menutup jendela itu. Ia mencoba menggoyangkannya, tak bergeming.
Basuki membuat teralis yang kokoh melingkupi jendela kamar itu. Barangkali ia sudah
menduga kalau suatu sa'at akan ada perempuan yang kabur karena tidak suka pada
perlakuannya.
"Mas Timan... semoga angin ini membawa pesanku... bahwa aku ada disini.. " bisiknya
sendu.
Bau harum yang menyeruak tercium, Sri menoleh, Mery keluar dari kamar mandi dengan
menyarungkan handuk pada tubuhnya. Sedikit dada yang tertutup,. Sri merinding. Ia
tak akan sampai hati melakukannya. Sesuatu yang harus ditutupi, tak harus terbuka
agar orang lain bisa menikmatinya.
"mBak, aku nggak mau baju yang ini," kata Sri begitu Mery membuka almari.
"Apa?" Mery menoleh heran.
"Ini, aku nggak mau, belahannya terlalu rendah," kata Sri sambil menunjuk kearah
dadanya.
"Oh, ya ampuun..."
Lalu Sri membuka-buka baju yang berderet digantungan. Hampir semuanya tak disukai
Sri.
"Aku mau bajuku sendiri saja.."
"Kan aku sudah bilang bahwa bajumu sudah aku buang?"
Sri merasa kesal. Lalu dilihatnya selembar scraft tersampir, Sri mengambilnya.
Ditalikannya kedua ujungnya dan dibiarkannya bagian yang lebar terletak didepan.
"Nah, ini bagus." Sri menata bajunya agar berada diluar scraft itu.
Dan selesai, bagian yang terbuka tak tampak lagi.
Mery tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Gadi desa ini sangat santun.." bisiknya dalam hati.
Mery selesai berdandan, sedikit lama, lalu wajahnya sudah terpoles oleh bedak dan
kawan-kawannya. Memang Mery cantik. Tanpa make up pun sudah cantik.
Lalu Mery melambaikan tangannya kearah Sri.
"Sini aku dandanin.."
Sri menggeleng. Kalau kemarin dia menurut itu karena dia berada dalam kondisi
setengah sadar.. Tapi kini ia sudah sadar sesadar-sadarnya.
"Sini...! ulang Mery.
"Nggak, aku begini saja."
"Ya sudah, bedak sama lipstick tipis saja dan.."
"Aku begini saja."
Mery membiarkannya.
Lalu keduanya duduk diatas sofa.
"Membosankan bukan?"
"Biarkan aku pergi, tolonglah aku mbak.."
Mery menghela nafas.
"Mas Timan .... aku disini..." rintih Sri lagi.
"Mas Timan mencintai kamu?"
"Dia melakukan apa saja untuk aku. Bukan hanya tenaga, juga harta.. Ia ingin
menggantikan uang yang telah dibayarkan Basuki untuk melunasi hutang ayahku, tapi
Basuki menolak."
"Walau nilainya sangat banyak?"
Sri mengangguk. Lalu Sri juga bercerita tentang ayahnya yang ditahan gara-gara
memukul orang, dan Timan menyelesaikan semua urusan dengan membayar semua beaya.
"Itukah cinta?"
"Bukan pengorbanan uangnya, tapi perhatian dan kasih sayang yang ada."
"Kamu pernah tidur bersamanya?" Pertanyaan ini membuat Sri terperanjat.
"Bagaimana mungkin tidur bersama lawan jenis yang belum menjadi suami isteri? Itu
tidak boleh, tidak benar."
"Siapa melarang?"
"Norma susila yang ada di negeri ini bukan ? Saya orang desa, tapi saya sering
melihat dan membaca. Saya mengerti mana yang bisa dan benar dilakukan, dan mana
yang tidak."
Mery terbelalak. Dia tau semuanya karena ketika di panti ada pelajaran budi pekerti
dan tata susila. Tapi Basuki merusak semuanya. Pesonanya membuat dia lupa segala-
galanya, dan membuatnya mengabdi sepenuh hati. Dia mengira itu jugalah yang
dilakukan Timan dan Sri. Ternyata tidak ya?
Terdengar pintu diketuk, lalu terbuka, Sri kehilangan ketenangannya ketika
berbincang dengan Mery., berganti rasa cemas yang menyesak dadanya. Tapi yang
datang adalah pelayan dengan mendorong meja, seperti semalam, berisi makanan dan
minuman.
"Sa'atnya makan pagi," kata Mery.
Sri menyandarkan tubuhnya. Sungguh ia tak memiliki selera makan. Hidupnya serasa
diujung tanduk. Ia merasa, Mery mengajaknya berbincang agar dia melupakan kecemasan
yang terus menderanya. Terkadang sedikit terlupa, tapi kembali ia menyadari
keberadaannya yang seakan sebagai pesakitan. Seperti sekarang ini. Ia teringat kata
Mery bahwa semalam Basuki tak akan mengganggunya, tapi ini sudah esok hari. Setiap
sa'at Basuki akan datang.
"Makanlah.." kata Mery ketika pelayan itu pergi.
Tapi Sri tak menjawabnya. Kecemasan mulai menggerayangi jiwanya. Ia diam tak
bergerak dan tak ingin menyentuh nasi goreng udang yang dihidangkan diatas meja.
"Sri.. makan saja, dan tenangkan hatimu."
Dari kemarin selalu kata 'tenang' itu yang dilontarkan Mery. Bagaimana dia bisa
tenang?
Tiba-tiba Sri melihat ada buah apel terletak dimeja itu. Bukan buah apelnya yang
membuatnya tertarik, tapi pisau yang ada disebelahnya. Sri pura-pura mengambil
sebutir apel berikut pisaunya. Ia mengiris sedikit apel, mengunyahnya pelan, tapi
tidak mengembalikan pisau itu ketempatnya. Sri merasa bahwa pisau itu akan ada
gunanya.
***
Bayu merasa kasihan melihat Timan datang dengan wajah lesu.
"Mas Timan, semua yang terjadi harus dihadapi dengan tenang. Jangan sedih, kami
semua akan membantu."
"Pak lurah memberikan tiga buah alamat yang katanya milik Basuki, tapi tak
seorangpun diantara penjaga itu yang tau dimana sebenarnya Basuki menetap."
"Benar, kabarnya Basuki memiliki banyak rumah dan banyak perusahaan. Tapi tempat
tinggalnya yang jelas tidak ada yang tau."
"Saya bingung mas, kalau lapor polisi nanti Sri di apa-apain, atau bisa juga
nyawanya terancam, kalau tidak lapor, bagaimana.."
"Saya sudah menghubungi teman saya, polisi akan bergerak diam-diam. "
"Tapi bisakah kita menemukan dimana dia menyembunyikan Sri?"
"Pasti nanti bisa. Tunggu, ini ada pesan singkat dari pak lurah."
Bayu membuka pesan itu.
"Lihat mas, pak lurah mengabarkan ada tiga rumah lagi yang belum pernah didatangi.
Aku akan mengantar mas Timan kesana. Ini ada alamatnya, tapi hanya nama desanya.
Rupanya beberapa rumahnya ada di pedesaan."
"Saya mau kesana sekarang saja."
"Jangan sendirian mas, saya akan mengajak beberapa teman. Sebentar saya akan
menelpone nya."
Timan berdebar. Dia berharap disalah satu tempat itu dia bisa menemukan Sri.
"Tapi kita harus ber-hati-hati, karena sedikit saja Basuki mengetahui bahwa kita
sedang mengejarnya, nyawa Sri jadi taruhannya."
Meremang bulu kuduk Timan.
***
Mery memasuki kamar Basuki karena Basuki memanggilnya. Tapi kali itu Mery langsung
duduk disofa, tidak perlu memeluk dan menciumnya seperti yang biasa dia lakukan.
Basuki heran, ada yang aneh pada kekasihnya.
"Ada apa?"
"Kamu yang memanggil aku, harusnya aku yang bertanya."
"Kamu datang tanpa mencium aku."
"Aku lelah sekali, semalam tidak bisa tidur," katanya sambil menyandarkan kepalanya
disandaran sofa.
"Bagaimana dia?"
"Apanya yang bagaimana? Dia baik-baik saja, hanya nangis ingin pulang."
Basuki tersenyum.
"Dia tak akan pulang. Dia milikku, dia lain daripada yang lain, aku harus
mendapatkannya," kata Basuki sambil tersenyum. Senyuman itu tiba-tiba tampak sama
sekali tak menarik seperti biasanya.
Mery menatap Basuki. Heran, ada cemburu yang menyesak dadanya. Mengapa aku ini?
Kata batin Mery. Apakah karena perbincangannya dengan Sri?
"Aku tak tahan lagi...gemas setiap kali melihatnya." gumam Basuki tanpa menatap
Mery.
Wajah Mery muram, ia ingin menangis. Haa... menangis? Sejak kapan aku memiliki air
mata? kata batin Mery lagi. Air mata itu baru mengambang dimatanya, dan membuat
dadanya sedikit sesak. Laki-laki ganteng ini dicintainya setengah mati, dan
sekarang mendengar dia tak tahan lagi untuk memiliki perempuan lain?
"Mery, kamu sakit?" tanya Basuki ketika melihat Mery tak bereaksi.
"Sakit.. " bisiknya pelan.
"Haa.. ini luar biasa... kekasihku bisa sakit?"
Mery tak menjawab. Tapi Basuki seperti tak memperdulikannya mendengar dia mengeluh
sakit. Minumlah obat misalnya, tidak sama sekali. Batin Mery teriris. Ini perasaan
yang luar biasa.
"Dengar Mery. Bagaimana caranya terserah kamu.. tapi aku ingin hari ini
terlaksana," kata Basuki tandas sambil menyerahkan sebuah botol kecil kepada Mery.
Mery menerimanya dengan mata terpejam. Kepalanya masih terkulai di sandaran sofa.
"Heiii... buka matamu...," kata Basuki sambil mengacak rambut Mery.
"Kalau kamu berhasil, aku akan mengajak kamu jalan-jalan keluar negri."
Biasanya kalau mendengar iming-iming seperti itu, Mery pasti langsung bersemangat,
tapi tidak kali itu.
"Sekarang kamu boleh kembali. Urus dia baik-baik dan jangan mengecewakan aku."
Mery berdiri dan keluar dari kamar dengan langkah gontai.
***
Sri gelisah dikamar sendiri.
"Mas Timaaan... " ia merintih tak henti-hentinya sambil berdiri didepan jendela
kamar.
"Wahai angin, sampaikan kepada kekasihku, bahwa aku ada disini..." bisiknya lagi.
Terdengar pintu terbuka, Sri meraba sesuatu yang disimpan didalam sakunya. Pisau
pengiris apel itu. Tapi yang muncul adalah Mery.
Mery membanting tubuhnya begitu saja diatas sofa.
Sri mendiamkannya.
Mery merasa dirinya bukanlah Mery yang sebelumnya. Ia punya rasa yang aneh, ingin
menangis, ingin berteriak sekerasnya karena marah.
Dan tiba-tiba juga ia kemudian menangis. Menumpahkan air mata yang tadi ditahannya.
Sri membalikkan tubuhnya ketika mendengar isak tertahan, dan dengan heran melihat
Mery menangis. Betapapun sedih hati Sri, ia tetap tak sampai hati melihat orang
lain menangis.
"Ada apa?"
"Sri, aku senang bisa menangis.."
Sri menatap heran.
"Aku ternyata juga manusia, punya hati dan rasa."
Sri tak mengerti, ia mendekat dan duduk didepan Mery.
"Setelah bertemu kamu, aku benar-benar menjadi manusia."
"Apa?"
"Aku tidak pernah sedih, tidak pernah kecewa, dan tidak pernah mengeluarkan air
mata. Tapi sekarang aku merasakannya."
Mery mengusap air matanya, lalu meletakkan sebotol kecil yang entah berisi apa,
diatas meja.
"Itu apa?"
"Itu obat perangsang."
Sri menggeser tubuhnya menjauh dari Mery. Wajahnya pucat pasi. Akhirnya hal itu
akan terjadi, diberinya dia obat agar memenuhi semua keinginan Basuki.
Mery melihat ketakutan diwajah Sri, dan tiba-tiba juga ia merasa tak rela Basuki
melakukannya.
"Aku mohon, jangan lakukan itu. Aku memiliki cinta dari calon suamiku, dan aku akan
menjaganya."
Alangkah indahnya cinta Sri, dan Mery tidak memilikinya.
Tiba-tiba ia merasa benci kepada Basuki. Sangat benci.
"Sri, aku mendapat perintah untuk meminumkan obat ini .."
"Untuk aku ?"
Mery mengangguk. Sri berdiri, menjauh. Wajahnya pucat, air mata mengucur deras,
membasahi pipinya.
"Sri, aku harus melakukannya, karena kalau tidak aku bisa dihukum berat."
"Tolong aku.. tolong aku mbak.." rintihnya.
"Kamu takut?"
"Kalau dia melakukannya, lebih baik aku mati," kata Sri setengah berteriak.
Mery terpana, demi menjaga kehormatan, Sri rela mati. Lalu apakah dirinya yang
dengan suka rela menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki yang sesungguhnya hanya
mempergunakannya sebagai pemuas nafsu? Ia harus mati beribu-ribu kali.
Mery berdiri, melangkah mendekati Sri. Sri mundur beberapa langkah.
"Jangan mendekat. Mbak mau memaksa aku agar minum obat itu? Sebelum mbak
melakukannya aku akan bunuh diri." Sambil menangis Sri mengeluarkan pisau dari
dalam sakunya.
Mery terkejut. Ini benar-benar diluar dugaannya.
"Mengapa ketakutan Sri, aku tidak membawa obat itu, lihat masih diatas meja."
Sri menatap botol kecil itu, lalu membiarkan Mery mendekatinya. Sri heran ketika
Mery memeluknya.
"Sri, aku belajar menjadi manusia dari kamu. Aku merasa hina, kotor dan nista,"
bisik Mery ditelinga Sri.
Sri heran, belajar apa yang dimaksud Mery?
"Jangan takut Sri, aku tak akan melakukannya."
Sri mendorong tubuh Mery, dan menatap kesungguhan pada matanya.
"Benarkah ?"
Ayo duduk, dan mari kita berencana memperdaya Basuki.
==========
Sri tak percaya apa yang didengarnya. Sri takut, terlalu banyak berharap lalu ia
kembali bermimpi atau berhalusinasi.
"Sri, duduklah dulu."
Sri melangkah mendekati sofa, tapi matanya melirik kearah meja. Obat itu masih
terletak manis disana, suatu sa'at akan dipaksanya memasuki kerongkongannya,
kemudian apapun bisa terjadi.
"Jangan hiraukan ini." kata Sri sambil meraih botol itu. Sri kembali berdiri, tapi
kemudian dilihatnya Mery berjalan kearah jendela, dan membuang isi botol itu.
Sri kembali duduk setelah Mery meletakkan botol kosong itu kembali.
"Aku mengerti, sekaranglah sa'atnya membalas semua perlakuannya."
"Apa yang akan kita lakukan?"
"Kamu harus menurut apa yang aku katakan nanti."
"Nurut bagaimana? Aku takut mbak.."
"Jangan takut, kamu tidak sendiri..."
Lalu Mery membuka almari.
"Bantu aku Sri," kata Mery sambil menurunkan tas besar dari atas almari.
Sri mendekat.
"Bawa beberapa baju ini, tolong masukkan kedalam tas."
"Semuanya?"
"Tidak, hanya beberapa, barangkali dijalan kita memerlukan berganti pakaian. Ini
uang, beberapa, barangkali kita kelaparan dijalan. Masukkan semuanya, dompetnya
taruh dikantong samping."
"Sudah ?"
"Nah, taruh disudut sini supaya nggak kelihatan. Kita akan lari bersama-sama."
"Begitu mudahkah?"
"Mintalah kepada Tuhan mu agar memudahkan usaha kita ini," kata Mery.
"Itu juga Tuhanmu mbak, mohon ampunlah dan mohon pertolonganNya.. mBak harus
percaya."
"Baiklah, aku percsya."
***
"Bener ya.. ini alamatnya? Masuk ke lorong-lorong sempit begini? " tanya Timan
ketika bersama Bayu mendatangi salah satu alamat yang diberikan pak lurah.
"Iya, tuh, nama desanya benar.. coba terus mas, mungkin diujung sana ada orang yang
bisa kita tanya tentang rumah Basuki. Atau perkebunan milik Basuki. Atau bisa juga
sebuah pabrik."
Bayu dan Timan terus menyusuri jalanan berbatu dan berdebu.. memasuki sebuah dusun
terpencil yang disana sini ditumbuhi semak pohon-pohon perdu. Tak banyak rumah
disetiap ujung semak, kalaupun ada seperti tak berpenghuni. Mungkin penghuninya
sedang bekerja disawah atau dikebun yang letaknya jauh.
Debu mengepul tinggi begitu mobil Timan melintasi tanah kering karena lama tak
turun hujan. Kalaupun hujan pasti lumpur menggenang dan akan lebih sulit dilalui.
"Lihat mas, ada orang didepan sana. Kita bisa bertanya nanti," seru Timan.
"Benar."
"Untunglah tadi memakai mobil saya mas, kalau saja pakai mobilnya mas Bayu, sayang
dipakai melewati jalanan berbatu seperti ini."
"Nggak apa-apa sebenarnya, yang penting kan bisa sampai ditempat tujuan."
Ditengah perkebunan tebu mobil Timan berhenti karena melihat seseorang sedang
berjalan. Bayu melongok keluar jendela.
"Ma'af pak, apakah di daerah sini ada rumah atau pabrik atau apa.. yang miliknya
pak Basuki?"
Orang itu laki-laki setengah tua memakai caping dan membawa semacam arit, senjata
untuk membersihkan rumput. Ia berhenti dan menatap Bayu dengan heran.
"Sampeyan ini siapa?".
"Saya ini orang dari kota pak, saya temannya pak Basuki. Bapak tau rumah Basuki
dimana?"
"Saya menunggu rumahnya tuan Basuki."
"Haa, bagus kalau begitu, dimana rumahnya?"
"Agak jauh dari sini. Saya mau bersih-bersih kebun, ini tadi baru pulang mengambil
arit."
"Baiklah, bapak naiklah ke belakang mobil saya, antar saya sampai kerumahnya ya."
"Lha untuk apa bapak mau kesana? Rumah itu kosong, tak ada penghuninya."
"Kosong? Apa dia tidak pernah pulang kemari?"
"Tidak, rumah itu hanya dipakai untuk gudang, kalau sa'at panen tiba."
"Jadi hanya setiap panen pak Basuki datang?"
"Tidak juga. Ada orang yang bertugas mengurusi semuanya."
"Siapa dia ?"
"Namanya pak Herman, tapi saya juga tidak tau dia tinggal dimana. Hanya kalau sa'at
panen dia datang, menjual hasil panen dan menyetorkannya. Tapi dia juga tidak
pernah bertemu tuan Basuki. "
Bayu dan Timan saling pandang. Bayu mengangkat bahunya.
"Ada lagi rumah rumah pak Basuki yang lain?"
"Banyak pak, dia orang kaya."
"Didaerah sini?"
"Hanya satu. Bapak mau melihat rumahnya? Tapi itu bukan rumah, hanya gudang."
Bayu menoleh kearah Timan.
"Mau melihatnya?"
"Saya kira nggak ada gunanya mas, kita ke alamat yang lainnya saja.,"
"Baiklah pak, saya permisi dulu," kata Bayu.
Timan mencari tikungan didepan, untuk memutar balik mobilnya. Tapi tiba-tiba ada
mobil menuju kearahnya. Mobilnya bagus, Timan sudah memundurkan mobilnya ke
tikungan agar bisa berbalik arah ketika mobil itu berhenti disamping pak tua dimana
tadi Bayu bertanya-tanya. Timan belum jadi memutar balik mobilnya. Lagipula jalanan
sempit susah untuk bersimpangan.
"Jangan-jangan itu Basuki." kata Bayu.
"Kita kesana ?"
"Sebentar, Dia berbicara dengan pak tua itu. Nah dia berjalan terus."
"Kalau jendela tertutup mana bisa melihat wajahnya."
"Kita samperin pak tua itu lagi saja. Kita bisa bertanya dia itu siapa."
Mobil itu sudah melintas didepan mobil Timan. Lalu Timan berbalik arah, lalu
berhenti didekat pak tua itu tadi.
"Pak..pak, numpang tanya lagi pak," teriak Timan.
Pak tua itu mendekat.
"Ya.."
"Itu tadi bukan pak Basuki?"
"Oh, bukan, itu pak Herman, mau mampir sebentar kegudang."
"Kita temui dia?"
"Ya, kepalang tanggung, kita sudah sampai disini," kata Bayu.
"Pak, saya mau ketemu pak Herman, bapak naiklah, supaya bisa menunjukkan dimana
tempatnya."
"Baiklah."
Timan turun, lalu membuka penutup jok belakang, agar pak tua bisa naik lebih
gampang.
"Balik kesana ya pak?"
"Iya, arahnya kesana, masih agak lumayan."
Timan harus memutar lagi mobilnya. Tak apa, mereka berharap mendapat keterangan
dari orang yang namanya pak Herman.
Namun ketika akhirnya mereka bertemu, pak Herman tak bisa mengatakan apapun tentang
Basuki. Laki-aki bertubuh pendek dan berwajah tambun, tubuhnya gemuk penuh lemak,
menemui Timan dan Bayu dengan wajah kurang ramah.
"Tuan Basuki itu majikan saya, tapi saya tidak bisa berhubungan langsung dengan
dia. Saya tidak tau dimana rumahnya,"
"Berarti ada nomor kontaknya kan?"
"Saya tidak bisa menghubungi kalau bukan tuan Basuki yang menghubungi saya" kata
pak Herman dengan wajah kurang senang.
"Dimana dia tinggal, bapak juga tidak tau?"
"Apa lagi itu. Ma'af, saya sedang terburu-buru, dan saya kira tak banyak keterangan
tentang tuan Basuki yang bisa anda dapatkan dari saya."
Timan dan Bayu berpandangan. Itu isyarat mengusir dengan halus.
"Ayo kita pergi," ajak Bayu.
Timan mengangguk, tapi diam-diam dia mencatat nomor polisi mobil Herman.
***
Sri masih menunggu apa yang nanti akan dilakukannya bersama Mery. Tampaknya Mery
merasa bahwa akan dengan mudah mereka pergi dari tempat itu. Tapi Sri berdebar. Ini
perjuangan yang bukan main-main. Mereka harus melumpuhkan Basuki terlebih dulu
sebelum bisa pergi. Dan caranya sungguh membuat Sri pucat pasi.
"Nanti kamu pura-pura menyerah pada Basuki," kata Mery enteng.
"Apa?" Sri terkejut setengah mati.
"Pura-pura saja. Pura-pura itu tidak sungguhan."
"Tapi pura-pura menyerah itu kan berarti aku harus bersentuhan dengan dia? Tidak
mbak, aduh.. jangan membuatku takut."
"Sri, apa kamu mau selamanya tinggal disini? Percayalah bahwa tak akan mudah bagi
kita untuk keluar dari sini tanpa tipu daya seperti yang aku rencanakan ini."
"Aduuh... bagaimana ini..." gemetar Sri lalu terduduk lemas.
"Dengar Sri, Basuki menyuruh aku memnberi kamu obat perangsang, artinya, ketika
Basuki datang kamu tidak akan melawan."
"Ya Tuhaan.. ya Tuhaan..." Sri hampir menangis.
"Sri, ini tergantung kamu..."
"mBak, kalau aku pura-pura menyerah, lalu dia terlanjur ngapa-ngapin aku bagaimana?
Aku hanya perempuan, dia laki-laki, tinggi besar dan pasti kuat, mana bisa aku
menghindar? Carilah cara yang lain mbak, aku tidak akan sanggup."
"Dasar bodoh !" kata Mery kesal.
"mBak, tolonglah ... cari cara yang lain."
"Nggak ada cara yang lain Sri, kalau kamu tidak sanggup ya sudah, aku mau pergi
sekarang dan terserah kamu mau ngapain disini," kata Mery sambil berdiri.
Sri menubruknya sambil menangis.
"Dengar, Basuki nanti paling hanya sesa'at menjamah kamu."
Sri merinding..
"Huh, kamu belum-belum sudah ketakutan. Basuki akan minum obat buatanku. Itu obat
yang akan membuatnya pulas selama beberapa jam. "
"Nah, itu saja mbak, segera lakukan."
"Ya nggak bisa begitu saja Sri, kamu harus pura-pura sudah meminum obat yang dia
berikan, Kalau tidak dia tak akan mau meminum minuman yang aku berikan."
"Mas Timaaan..." rintih Sri.
"Jangan gila Sri, mas Timanmu tak akan mendengar suaramu. Panggil mas Basuki, baru
dia akan datang," kata Mery kesal.
"Jangan begitu mbak."
"Ya sudah. Sekarang kamu tiduran dulu disana,,"
"mBak..."
"Cepat Sri, sudah sa'atnya dia datang kemari."
Mery menyiapkan gelas minuman dimeja. Minuman yang sudah dibubuhi racun untuk
menidurkan Basuki beberapa sa'at lamanya.
Sri duduk dipinggir ranjang, wajahnya pucat pasi.
"mBak..." rintihnya cemas.
"Diamlah Sri..."
"Aku kan nggak tau, bagaimana caranya orang bersikap kalau sudah minum obat
perangsang. Ia akan memejamkan matanya, diam, atau..."
"Tidak, ia akan menari-nari seperti kuda lumping." kata Mery seenaknya.
"mBak Mery... aku benar-benar nggak ngerti."
"Kamu berbaring, ketika dia datang kamu senyumlah, raih tangannya..lalu..."
"Tidaaaak..." pekik Sri. "Masa aku harus begitu..."
"Sri, ya sudah, aku sudah capek memberi tau kamu. Kalau kamu tidak mau berarti kita
akan gagal."
Sri terisak. Berat rasanya kalau harus melakukan hal yang bertentangan dengan
nuraninya. Ia belum pernah bersentuhan dengan lelaki, dalam arti bersentuhan pada
suasana sedang terbakar asmara. Ini sungguh beban yang berat. Tapi ia harus
melakukannya. Aduhai..
"Nah, minuman Basuki sudah siap."
Mery mendekati Sri.
"Begini, aku ajari kamu, tidurlah, lalu senyum. Ini aku pura-pura jadi Basuki ya,
nah.. gimana dong senyumnya, kok mewek sih? Senyum Sri.. aduh, itu sih bukan
senyum, itu mencibir. Senyumnya begini.. ayolah, berkorban sedikit saja Sri. Nah,
kalau Basuki mendekati kamu, kamu harus pura-pura mau .. dan raih tangannya..."
"Ya.. Tuhaan.."
"Berkorban sebentar saja Sri, jangan bawel."
"mBak, aku tuh belum pernah merasakan yang begitu-begitu. Susah.."
"Sekarang ayo latihan dulu.. begini.. lalu kamu tarik Basuki agar tidur disamping
kamu.."
"Ampuuun..."
"Tarik aku, kuat..."
Sri menarik tangan Mery lalu Mery melompati tubuh Sri dan terkapar disamping Sri.
"Gampang kan?"
"Lha dia tidur disamping Sri begini, lalu aku bagaimana?"
"Sa'at itu dia sudah tak mampu membuka matanya."
"Masa?"
"Benar, aku tidak bohong. "
"Ya Tuhan..."
"Buat agar ini hari terakhir dikamar ini, semua sudah aku siapkan, nanti kita lari
dengan mobilku, tak akan ada yang menghalangi karena semua penjaga tau siapa aku."
Seperti begitu mudah. Pura-pura terpengaruh obat, lalu pura-pura tersenyum, lalu
menarik tubuh Basuki, dan Basuki terkapar. Benarkah?
"Sri, kamu sudah siap?"
Sri mengangguk ragu-ragu.
"Sri..!!"
"Iya... iya.."
"Kamu mau pergi dari sini nggak?"
"Iya, aku mau.."
"Ya sudah, kamu siap kan, aku akan memanggil Basuki agar datang kemari."
"Adduuh... " Sri merintih. Alangkah berat jalan yang harus dilewati.
Mery sudah keluar dari kamar, Sri ingin menjerit sekuat-kuatnya. Tapi jangan sampai
ia berurai air mata agar Basuki tak curiga.
***
Mery menarik Basuki masuk kedalam kamarnya.
"Sudah oke ?"
Mery membentuk bulatan dengan ibu jari dan telunjuknya. Mery melirik kearah
pembaringan. Sri terbaring sambil memeluk guling.
"Minumlah dulu, supaya kamu bisa melakukannya dengan baik."
"Kamu memang kekasihku yang paling cantik," kata Basuki sambil mencium pipi Mery.
Mery tersenyum, senyum yang sangat masam, untunglah Basuki tidak melihatnya.
"Minum dulu, setelah itu aku akan keluar."
"Setelah ini kamu mau hadiah apa? Ohooo.. bagaimana kalau kamu, aku dan dia jalan-
jalan keluar negeri?"
"Terserah kamu saja. Sekarang sebaiknya kamu minum dulu, supaya tenagamu kuat
seperti kuda."
Basuki terbahak. Aku selalu kuat, apa kamu lupa?"
"Minumlah, jangan mengecewakan aku yang sudah menyiapkan semua ini untuk kamu,"
"Oke..."
Basuki meraih gelas dimeja, Mery menatapnya dengan berdebar.
Namun tiba-tiba ponsel Basuki berdering.
"Aduh, siapa ini mengganggu saja..."
Basuki meletakkan gelas yang sudah dipegangnya.
"Ada apa Herman? Siapa? Dua orang? Kamu tanya nggak siapa mereka? Goblog !! Mengapa
tidak tanya siapa namanya?"
Bersambung #10

CERITA WA: Kembang Titipan #10


Cerita bersambung
Mery berdebar, harusnya air dalam gelas itu diminum dulu, tapi ternyata malah ada
telephone, dan Basuki sepertinya marah-marah.
"Iya aku tau, mengapa tidak kamu tanya siapa mereka, dan apa maksudnya? Apa? Dia
bilang temanku? Aku nggak punya teman. Mobilnya apa? Jok terbuka? Yaaah, jangan-
jangan dia, orang kampung yang namanya Timan. Baiklah, aku tunggu kamu, kita bicara
disini."
Sri yang mendengar pembicaraan terakhir itu terkejut. Sepertinya entah siapa, atau
mungkin anak buahnya Basuki, bertemu Timan, atau apa, lalu bagaimana kelanjutannya?
Sri berdebar-debar. Bisakah Mery menanyakan masalah mobil colt terbuka itu, dan ada
apa?
Basuki menutup pembicaraan itu dengan uring-uringan.
"Ada apa?" tanya Mery.
"Ada orang yang mencari-cari aku."
"Siapa? "
"Dua orang laki-laki, mengendarai mobil colt terbuka. Pasti si bocah dusun itu,"
kata Basuki yang kemudian berdiri lalu beranjak keluar kamar.
"Bas, kemana?"
"Menunggu orang-orang, mau bicara didepan."
"Jadi..?"
"Sudah, aku kehilangan selera. Lain kali saja," katanya sambil menuju pintu, lalu
keluar dan menutupkannya.
Sri menghela nafas lega.
"Hm, ada-ada saja... hampir kena dia."
"Cari jalan lain saja mbak."
"Kamu itu.. Kalau rencana kita itu berjalan, barangkali sekarang kita sudah ada
diperjalanan dan tak akan kembali lagi kemari."
Ada kecewa karena belum bisa kabur, tapi ada lega karena Sri tak jadi berpura-pura
suka didekati Basuki.
"Lalu apa mbak?"
"Tunggu ada kesempatan lain."
"Semoga jalannya juga lain, jangan sampai aku bersentuhan dengannya."
Mery menghela nafas. Tampaknya ia menemukan cara lain. Kemudian ia memanggil
pelayan yang biasa melayaninya.
"Bawa semua gelas kotor ini," perintah Mery.
"Ini masih utuh bu?"
"Nggak apa-apa, buang saja."
Pelayan itu mengangguk dan membawa keluar dua atau tiga gelas yang sudah tidak
dipergunakan.
***
"Jangan bodoh Herman, kamu itu ceroboh !"
"Tapi saya tidak mengatakan apapun tuan, saya bilang tidak pernah bertemu tuan."
"Kamu kira mereka tidak berbuat sesuatu?"
"Saya keluar ketika mereka sudah pergi. Tidak mungkin mereka mengikuti saya sampai
kemari."
"Kamu kira mereka tak melakukan sesuatu? Mereka mencatat plat nomor mobil kamu."
"Benarkah ?"
"Dengar Herman, kalau sampai kamu ditangkap polisi, jangan sekali-kali melibatkan
aku, jangan bilang pernah bertemu aku. Kalau itu kamu lakukan, maka ingatlah
keluarga kamu. Kamu akan menyesal !" kata Basuki mengancam. Herman merinding.
Basuki tak pernah membatalkan ancamannya. Basuki sangat kuat karena tak pernah
muncul disembarang tempat.
"Ya, saya mengerti. Saya akan segera mengganti plat nomor mobil saya."
"Sudah terlambat 'kali," kata Basuki kesal.
"Ah.. iya, benar.. tapi saya tak melihat mereka mencatat sesuatu."
"Mereka tidak perlu mengatakan atau memperlihatkan, bagaimana mencatat plat nomor
mobil kamu."
Herman terdiam. Ia tak percaya apa yang dikatakan Basuki.
"Kamu boleh pergi, dan ingat apa yang aku katakan. Kamu tak pernah mengenal aku,
mengerti?"
"Baik, saya mengerti."
***
Mobil Timan kembali menyusuri sebuah jalan yang disekitarnya ditumbuhi tanaman
cengkeh. Udara sejuk terasa menembus kedalam mobil karena Timan dan Bayu memang tak
menutup jendela.
"Semoga disini kita mendapatkan apa yang kita cari." kata Timan sedih.
"Mas Timan tadi mencatat plat nomor mobil Herman kan?"
"Ya mas.. sudah saya catat."
"Nanti bisa kita jadikan bahan untuk melapor ke polisi. Mereka akan bisa menemukan
Herman dan mungkin bisa mengorek keterangan darinya."
"Tapi harus hati-hati mas, kalau Basuki tau kita menghubungi polisi, keselamatan
Sri akan terancam."
"Ya, nanti kita atur bagaimana sebaiknya. Polisi kan bisa bergerak diam-diam."
"Lihat mas, didepan ada portal yang dijaga beberapa orang."
"Iya benar, ada apa ya kira-kira?"
Timan menghentikan mobil didepan portal yang dipalangkan. Seseorang mendekati mobil
Timan.
"Mau kemana mas ?"
"Mau kesana. Mm.. ada apa ya, kenapa jalannya dipalang?"
"Mas tidak bisa terus, didepan ada tanah longsor."
"Oh, tanah longsor?"
"Ada jalan putar yang bisa langsung kesana?"
"Sebenarnya mas mau kemana?"
"Mau.. mengunjungi teman saja. Tapi sebenarnya saya juga belum tau rumahnya sih,
hanya ancar-ancar saja."
"Rumah siapa ya mas?"
"Namanya Basuki..."
Orang itu menatap Timan tajam.
"Bapak tau? Rumahnya ada didepan sana kan ?"
"Tidak ada. Saya penduduk sini dan mengetahui siapa saja yang tinggal disini. Nama
Basuki tidak dikenal. Barangkali mas salah mencatat alamat."
"Saya kira tidak."
"Saya minta ma'af, disini tidak ada nama itu. "
Timan memandang kearah Bayu. Dan Bayu memberi isyarat untuk kembali saja.
"Kita kembali?" tanya Timan.
"Sebaiknya kembali, anda tak akan bisa meneruskan perjalanan kesana. Bahaya." kata
orang itu tadi.
Timan memundurkan mobilnya, mencari tikungan untuk bisa memutar balik.
***
"Mas, untunglah mas Mardi segera pulang, lihat ini." kata Marni kepada suaminya
sambil menunjukkan selembar amplop.
"Apa ini ?"
"Dilempar dipelataran sana. Seseorang memakai sepeda motor melemparkannya kemudian
memacu motornya pergi."
"Kamu melihatnya?"
"Aku kebetulan sedang berada didepan, tiba-tiba seorang pengendara motor lewat,
tadi nya cuma berjalan perlahan, lalu melempar sesuatu ke pelataran, habis itu
langsung dipacunya motornya, nggak tau pergi entah kemana. Itu surat yang dilempar
tadi, ada batu didalamnya."
"Ada batu supaya bisa dilempar, kalau enggak ya pasti kabur terbawa angin," kata
lurah Mardi sambil membuka amplop- itu. Selembar kertas bertulikan spidol merah.
SAYA SUDAH PERINGATKAN, JANGAN MELAPOR KE POLISI KALAU INGIN SRI SELAMAT.
"Apa mas Bayu lapor ke polisi?" tanya Marni cemas.
"Dia sama mas Timan mencari alamat yang aku berikan kemarin. Nanti saya hubungi,
apa dia sudah melapor ke polisi atau belum."
"Hebat mas Bayu ya, bela-belain nggak masuk kerja hanya untuk menemani mas Timan,
sementara Lastri lagi ngidam."
"Benar, persahabatan mereka sangat erat. Sebentar bu, aku ganti baju dulu lalu
menelpone mas Timan atau mas Bayu."
"Ya mas, jangan sampai belum cuci kaki tangan sudah pegang-pegang anakmu."
"Iya.. iya, aku tau..." kata pak lurah sambil menjauh.
Marni sangat gelisah. Sri dalam ancaman. Apa yang terjadi pada dirinya sekarang,
tak seorangpun tau. Tak ada yang bisa menghubungi, apalagi mengetahui dimana Sri
berada.
Tiba-tiba ponsel Mardi berdering, Marni menghampirinya karena Mardi masih ada
dibelakang. Ternyata dari Lastri.
"Hallo Tri, ini aku."
"Walah yu, kang Mardi belum pulang?"
"Sudah, lagi dikamar mandi. Bagaimana keadaanmu? Masih muntah-muntah terus ?"
"Tidak yu.. beberapa hari ini anakku tidak rewel. Ada obat, dan hanya ingin yang
asem-asem. Kalau sudah makan rujak atau apalah, yang asem-asem gitu, mualnya
langsung hilang."
"Bagus Tri, semoga selalu sehat ya. Oh ya, menelphone mas Mardi ada apa? Sebentar
aku lihat kebelakang, sudah selesai atau belum."
"Nggak yu, sama saja sama yu Marni atau kang Mardi. Cuma mau nanya, mas Bayu kemari
nggak?"
"Enggak, kan pergi sama mas Timan ?"
"Oh, ya sudah yu, so'alnya dari tadi aku hubungi kok nggak bisa."
"Mungkin didaerah pedesaan, nggak ada sinyal 'kali."
"Mungkin yu."
"Kamu nggak apa-apa ditinggal mas Bayu lama-lama?"
"Nggak apa-apa yu, semuanya lagi prihatin memikirkan Sri, aku juga sedih yu,
kasihan dia itu."
"Iya, tapi ingat lho Tri, kamu lagi hamil, jangan terlalu memikirkan yang berat-
berat. Nanti anakmu ikutan sedih lho."
"Masak sih yu?"
"Iya, bayi dalam kandungan itu selalu terpengaruh pada apa yang dipikirkan ibunya.
Jadi kamu jangan terlalu memikirkannya, karena kami semua juga sedang berusaha."
Marni sebenarnya ingin mengatakan tentang surat ancaman itu, tapi khawatir akan
menambah beban pikiran Lastri, jadi diurungkannya.
"Jadi belum ada berita apa-apa ya yu?"
"Belum Tri, kalau ada apa-apa pasti kamu aku kabari."
"Ya sudah yu, aku cuma mau menanyakan itu, salam untuk kang Mardi ya."
"Iya, nanti aku sampaikan."
Begitu ponsel ditutup, Mardi muncul dari belakang.
"Mana ponselku?"
"Ini, barusan Lastri menelphone."
"Ada apa?"
"Cuma menanyakan suaminya, dikiranya ada disini."
"Kamu nggak bilang tentang surat ancaman itu kan?"
"Nggak, aku sudah tau, kalau aku bilang pasti akan menambah beban pikiran Lastri,
kasihan dia lagi hamil muda."
"Ya sudah, aku mau menelphone mas Timan dulu."
"Tadi Lastri bilang bahwa susah menghubungi mereka."
"Iya... ini nggak bisa nyambung...lagi dimana mereka ya."
"Mungkin didaerah yang agak masuk kedesa, lalu nggak dapat sinyal.."
"Mungkin juga."
"Ya sudah, makan dulu saja mas, nanti dicoba menelpone lagi."
"Tolong simpan surat ancaman tadi bu, pada suatu hari nanti bisa dijadikan alat
bukti."
"Iya, akan aku simpan mas."
***
"mBak, apa yang harus kita lakukan ?" tanya Sri ketika dilihatnya Mery diam sejak
tadi. Tampaknya ada yang sedang difikirkannya.
"Tenang saja Sri, aku sedang memikirkannya. Tampaknya kali ini Basuki sedang sibuk
dengan anak buahnya. Kabarnya jalan kearah rumah ini sudah dipasang palang sehingga
tak akan ada orang asing bisa masuk kemari."
"Dipasang palang bagaimana?"
"Ada penjaga yang berjaga diujung desa. Kalau ada orang asing yang mau masuk
disuruhnya kembali. Mereka disuruh berbohong dengan mengatakan jalan ditutup karena
ada tanah longsor."
"Padahal tidak ?"
"Tidak, itu perintah Basuki yang aku dengar, katanya setelah ada dua orang mencari-
cari Basuki di rumah Basuki yang lain."
"mBak, tadi itu, aku dengar dua orang mengendarai pickup terbuka, jangan-jangan itu
mas Timan mencari aku ya yu."
"Mungkin juga. Mobil itu ya.. yang aku ketemu kamu lalu aku ajak kamu pergi?"
"Iya mbak, aduh.. gimana caranya bilang sama mas Timan bahwa aku ada disini ?"
"Kamu tau nomor telephone pacar kamu itu?"
"Tidak mbak, aku kan tidak punya ponsel. Mana bisa menghafal nomor kontak mas
Timan?"
Tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Sri menatap pintu dengan cemas.
"Bukan Basuki, tak mungkin dia mengetuk pintu dulu sebelum masuk."
Mery memencet sesuatu dibawah meja dan pintu itu terbuka. Seorang pelayan masuk,
tapi bukan yang biasanya. Ia mendorong meja kecil untuk makan siang.
"Kok kamu? Mana yang biasanya melayani kamar ini ?" tanya Mery.
"Manto tidur bu, seperti terkena bius, sudah sejak sejam yang lalu, kami
mengusungnya kekamarnya dan dia seperti orang mati."
Mery terkejut. Jangan-jangan pelayan goblog itu minum minuman yang sedianya mau
diberikan pada Basuki.
"Dengar, biarkan dia tidur dan jangan sampai hal ini terdengar oleh tuan Basuki,
mengerti?"
"Mengerti bu."
Pelayan itu pergi.
"Ada apa mbak?"
"Pelayan itu benar-benar bodoh, pasti dia meminum minuman yang sedianya harus
diminum Basuki, jadi dia pulas selama berjam-jam."
"Ya ampun, mengapa mbak tidak membuangnya terlebih dulu?"
"Ya, tidak terfikir olehku. Ayo makan dulu," kata Mery sambil mengambil piring yang
sudah disediakan.
"Nggak mbak, aku nggak lapar."
"Kamu jangan bandel, enak atau tidak, nyaman atau tidak perasaanmu, kamu harus
mengisi perutmu. Ingat, siapa tau kita bisa kabur hari ini. Dan kalau kamu lemas
lalu tak punya tenaga, bagaimana?"
Sri menurut. Iming-iming untuk segera bisa kabur membuatnya kemudian meraih piring
dan mengisinya dengan sesendok nasi.
"Yang banyak.."
***
Setelah makan itu Mery memasuki kamar Basuki. Dilihatnya Basuki baru saja selesai
menelphone.
"Dari siapa?"
"Orang-orang yang berjaga mengatakan baru saja dua laki-laki dengan colt terbuka
itu mau masuk kemari."
Mery terkejut.
"Apakah itu colt terbuka milik.. calon suaminya Sri?"
"Haahh.. milik laki-laki dusun itu, bukan calon suaminya Sri, akulah calon
suaminya."
Mery merasa batinnya teriris. Bertahun-tahun dia mengabdi, dan Basuki tak mau
mengambilnya sebagai isteri, sekarang dia mengatakan bahwa dirinya calon suaminya
Sri. Tapi tidak, Mery tak akan sakit hati, dia bertekat akan menghilangkan rasa
cintanya kepada Basuki. Laki-laki itu tak pantas dicintai. Dia hanya mengejar nafsu
dan merasa bahwa dirinyalah orang berkuasa.
Mery tersenyum, atau tepatnya mencoba tersenyum.
"Kamu nggak usah cemburu, bagi aku, kamu tetap nomor satu."
Kata-kata itu selalu diperdengarkannya ditelinganya.
"Bagaimana Sri, aduh.. aku sampai melupakannya, banyak urusan hari ini yang membuat
aku pusing. Menata ini, menata itu.."
"Sri sudah pulas tertidur. Mungkin tadi dia menunggu kamu."
"Ahaa.. sayang sekali. Lakukan lagi malam nanti."
"Tapi sekarang ini aku sedang ingin bersama kamu Bas."
"Benarkah ?"
"Aku akan membuatkan minuman dulu untuk kamu ya."
"Baiklah.."
"Kamu tiduran dulu saja, aku akan menyusulmu sambil membawakan minuman segar untuk
kamu." kata Mery sambil mendorong Basuki pelan kearah ranjangnya.
==========
Mery melangkah kearah bangku dimana berjajar sederet minuman kesukaan Basuki. Kamar
yang luas itu dilengkapi dengan semacam bar kecil, dimana ia bisa melepaskan dahaga
dengan memilih mana yang disukainya. Tapi Mery tidak hanya menuangkan segelas
minuman. Ada sesuatu yang tadi disembunyikan dibalik bajunya yang kemudian
dibubuhkan pada minuman itu., Kali ini ia harus berhasil.
Dengan senyum paling manis yang pernah disunggingkan dibibirnya, Mery mendekati
Basuki. Basuki menatapnya sambil berbaring.
"Silahkan sayang, bangunlah dulu, jangan seperti bayi dong," kata Mery sambil
mengacungkan minumannya.
"Aku suka dilayani seperti bayi," canda Basuki. Mery hanya tersenyum, candaan itu
tak terasa lucu karena hatinya sedang berdebar.
Tiba-tiba ponsel Basuki berdering.
"Jangan hiraukan Bas, itu akan mengganggu keasyikan kita. Ayo minumlah dulu," kata
Mery sambil mendekatkan gelas diwajah Basuki. Basuki bangkit duduk.
"Jangan-jangan penting," gumamnya.
"Adakah yang lebih penting dari ini?" Mery merayu sambil mendekatkan tubuhnya.
Basuki meneguk minuman yang diberikan Mery. Mery berdebar. Ia yakin usahanya akan
berhasil.
"Segar sekali."
"Kamu tampak sangat tampan, Taukah kamu bahwa aku sangat mencintai kamu?"
"Benarkah? " Basuki tersenyum sambil mengelus rambut Mery.
"Kamu saja yang tidak memperdulikan aku," kata Mery sambil berbaring disisi Basuki.
Ponsel itu berdering tak henti-hentinya.
"Ponselku.."
"Biarkan saja, jangan sampai kesenangan kita terganggu , biar aku matikan ya," ksts
Mery sambil kembali turun untuk mematikan ponsel itu.
Basuki menatapnya dengan pandangan sayu.
"Mery..." bisik Basuki.
"Sebentar..."
Mery mematikan ponsel Basuki. Lalu ia kembali mendekati ranjang.
"Mengapa kepalaku ini.." tiba-tiba Basuki memegangi kepalanya.
"Pusing? Mengapa tiba-tiba pusing?" Mery mengelus kepala Basuki, Basuki meraih
tubuh Mery, tapi tiba-tiba Basuki terkulai lemas.
"Bas..."
"Hm..." jawab Basuki pelan, ia mulai memejamkan matanya, tangannya terkulai.
"Apa kamu sudah mampus?"
"Hm..." suara itu semakin lemah. Lalu tubuh tegap itu terdiam.
Mery merasa lega, bergegas ia keluar dari kamar dan menguncinya.
***
Sri terkejut ketika tiba-tiba Mery muncul.
"Ayo kita siap-siap," kata Mery.
"Apa?"
"Atau kamu mau tetap tinggal disini?"
Mery mengambil sebuah bungkusan dibawah bangku sofa.
"Ini, kenakan pakaian ini dan jangan banyak bertanya," katanya sambil melemparkan
bungkusan itu.
Sri menangkapnya, lalu membukanya.
"Baju.. seragam pelayan?"
"Pakailah cepat sebelum dia tersadar."
Mery mengenakan jacket, lalu meraih tas yang sejak tadi sudah disiapkannya.
"Dia sudah... "
"Sudah setengah mampus, ayo kita pergi."
"Pri, siapkan mobilku didepan ya," pesannya kepada sopir Basuki.
Lalu Sri dengan tergesa mengenakan baju pelayan. Hanya seperti jas berwarna putih
dengan setrip biru. Tak memakan waktu lama untuk mengenakannya. Ada topi berwarna
putih yang harus dikenakannya juga.
"Sekarang ?" tanyanya begitu selesai.
"Nggaaak, bulan depan..!" kata Mery sambil melangkah menuju pintu.
Sri bergegas mengikuti.. Sebelum membuka pintu Mery berpesan.
"Bersikaplah biasa sampai menaiki mobilku, seakan akan kamu pelayan yang mengikuti
majikan. Jadi jalannya di belakangku dan jangan mengucapkan apapun. Jangan tampak
gugup dan jangan menoleh kesana kemari."
Aduuh, banyak banget pesannya. Tapi Sri mencoba mengerti. Ia mengikuti keluar
ketika Mery sudah diluar.
"Bawakan tasnya," katanya sambil mengulurkan tasnya. Tas agak besar yang berisi
pakaian yang tadi disiapkannya.
Sri mencoba bersikap biasa. Ternyata dari kamar Mery untuk sampai didepan rumah
memerlukan waktu cukup lama.Rumah itu lumayan besar, dan beberapa kamar tampak
berjajar sebelum sampai ke teras. Entah untuk apa kamar-kamar itu. Diujung teras
seorang penjaga mengangguk hormat. Hm, benar-benar seperti pembesar. Dan rasanya
baru beberapa sa'at lalu Mery berpesan, mobil Mery sudah siap didepan teras.
Mery membuka pintu samping dan menyuruh Sri masuk kedalamnya, lalu dia sendiri
berjalan memutar untuk duduk dibelakang kemudi.
Mobir melaju cepat keluar dari halaman rumah megah yang terletak jauh terpencil
dari keramaian.
Tapi Mery sudah biasa melewatinya. Sebelum tampak perkebunan cengkeh didepan, Mery
benar-benar melihat palang yang menghalangi jalan. Mery membuka kaca mobil, dan
beberapa penjaga mengangguk. Mereka tau siapa Mery, kekasih dan tangan kanan
Basuki. Lalu dengan penuh hormat mereka membuka palang itu.
"Hati-hati bu, beberapa jam yang lalu ada dua orang laki-laki mau memasuki daerah
kita, untung saya bisa melarangnya, lalu dia kembali,"
Mery urung menjalankan mobilnya.
"Siapa mereka?"
"Dua orang laki-laki muda, mencari rumah tuan Basuki. Mereka mengendarai pickup
terbuka."
Sri hampir saja memekikkan nama Timan, tapi Mery memelototinya.
"Ya sudah, hati-hati kalian berjaga ya, jangan sampai ada yang bisa masuk kecuali
orang kita sendiri."
"Siap bu."
Mery menjalankan mobilnya. Tak bisa ia memacunya karena jalannya berbatu.
"Ya ampun mbak, itu pasti mas Timan, dia hampir ketemu aku."
"Siapa bilang? Dia nggak akan bisa masuk, kamu tau sendiri kan, banyak orang
berjaga disitu?"
"Iya juga sih, lalu kemana dia sekarang ya mbak."
"Kalau kamu tau nomor kontaknya, kita bisa menghubunginya."
"Sayangnya tidak," keluh Sri sedih.
"Ya sudah, toh kita sudah akan bertemu dia kan?"
Mobil Mery terus menyusuri perkebunan cengkeh yang luas. Beberapa orang yang
kebetulan lewat, mengangguk hormat begitu melihat mobil Mery.
"mBak Mery seperti ibu pejabat," gumam Sri.
"Hanya seperti, sebentar lagi aku akan menjadi wanita biasa. Mungkin aku akan
kembali ke panti dimana dulu aku dibesarkan."
"Bagus mbak, barangkali mbak Mery akan lebih merasa tenang disana."
"Aku ingin kembali mengenal Tuhan, sudah lama aku melupakannya."
"Syukurlah mbak."
"Kamu tau bagaimana menguhungi lurah desamu ?"
"Mestinya di kantor kelurahan mbak."
"Nanti kalau sudah keluar dari area ini aku akan mengabarkan kepada lurah desa agar
tau bahwa kamu sudah bebas. Mereka harus segera melapor ke polisi, dan tak perlu
takut akan ancaman Basuki."
"Basuki mengancam apa?"
"Ya, dia mengancam akan mencelakai kamu kalau mereka berani lapor polisi."
"Oh, ya Tuhan..."
Mobil melaju, ketika jalanan berbatu sudah lewat, tapi mereka masih berada
dilingkungan perkebunan itu.
"Kita sudah bebas?" tanya Sri dengan mata berbinar.
"Hampir. Masih jauh kita berjalan untuk mencapai kota."
Sri bernafas lega.
"Boleh aku lepas pakaian pelayan ini?"
"Lepas saja, sudah nggak ada gunanya.Tapi kita belum aman benar, perkebunan ini
milik Basuki, dan orang-orang Basuki ada disekitar sini. Untungnya mereka mengenal
aku. Selama Basuki belum sadar, kmudian menginstruksikan agar kita dihentikan, kita
aman, karenanya begitu memasuki kota mobil ini akan aku tinggalkan."
"Ditinggalkan?"
"Ya, aku tidak butuh mobil lagi. Dan dengan mobil ini akan gampang Basuki menemukan
aku lalu aku dibantainya."
Merinding Sri mendengarnya.
"Tenangkan hatimu, kamu akan segera bertemu calon suami kamu."
"Aku boleh memakai jacketnya? Pakaian ini terlalu terbuka, risih rasanya kalau
nanti kita sampai ditempat yang banyak orang."
"Ada jacket didalam tas, ambillah."
***
Timan mengendarai mobilnya dengan perasaan yang mengharu biru. Rasa khawatir akan
keselamatan Sri terus menghantui dirinya.
"Sekarang ada sinyal mas.." seru Bayu ketika mereka menyusuri jalanan menuju kota.
"Iya, dari tadi macet."
"Beberapa telephone tak terjawab dari pak lurah. Dan ada pesan singkat nih."
"Apa pesannya mas?" tanya Timan.
BASUKI MELEMPARKAN SURAT ANCAMAN LAGI
"Nah, ini pak lurah memfoto surat ancaman itu. Kurangajar bandit yang satu ini."
Surat ancaman dari Basuki terbaca oleh Bayu dengan geram.
"Kalau kita melapor polisi keselamatan Sri akan terancam. Dia mengingatkannya lagi,
atau sudah ada yang melapor bahwa kita mencari-cari dia?"
"Aku curiga pada Herman."
"Benar, dia tampak tak suka melihat kita datang. Dan dia bilang belum ernah bertemu
Basuki sementara dia adalah anak buahnya. Percaya mas?"
"Aku nggak percaya."
"Nanti aku akan bicara dengan teman dikepolisian, mungkin plat nomor itu bisa kita
pergunakan untuk mencari orangnya kemudian memaksanya untuk mengaku."
"Saya sudah tak sabar mas, takut Sri kenapa-kenapa."
"Sama mas, saya juga prihatin nih."
Tapi tiba-tiba ponsel Bayu berdering.
"Dari pak lurah."
Bayu membuka ponselnya, dan memencet speaker agar Timan juga bisa mendengarnya.
"Hallo pak lurah,"
"Susah menghubungi mas Bayu sama mas Timan."
"Iya, tadi tidak ada sinyal. Baru saja membuka pesan pak lurah."
"Syukurlah, ini tadi saya mendapat pesan dari penjaga piket di kelurahan, katanya
ada yang menelpone, dan mengatakan bahwa Sri bisa kabur dari cengkeraman Basuki."
"Alhamdulillah..."
"Siapa mengabarkannya?" seru Timan sambil menyetir.
"Sayangnya penjaga itu tidak menanyakan namanya, katanya seorang wanita," kata pak
lurah lagi.
"Mungkinkan Sri?" tanya Bayu
"Ya itulah, karena sudah lewat jam kerja jadi saya tidak bisa menerimanya dan
menjelaskannya. Penjaga itu juga hanya menerima pesannya. Katanya suruh bilang ke
pak lurah bahwa Sri sudah bisa lolos dari cengkeraman Basuki. Cuma itu."
"Lumayan melegakan, tapi sekarang Sri dimana?"
"Itulah mas, informasi nggak jelas, jangan-jangan informasi bohong."
"Begini saja, Kita langsung lapor ke polisi."
"Sebaiknya begitu mas, tidak usah berandai-andai, kelamaan."
***
Basuki membuka matanya, tubuhnya terasa lemas, dengan bingung ia melihat
kesekeliling, tak ada siapapun.
"Mery..." panggilnya pelan. Tak ada jawaban.
Basuki bangkit lalu duduk ditepi ranjang.
"Mery.. " dengan heran dia turun, dan terhuyung langkahnya menuju sofa.
Basuki mencoba mengingat ingat apa yang tadi terjadi. Ia merasa sedang bersama
Mery, lalu Mery merayunya, lalu memberinya minum, lalu... apa yang dilakukannya?
Bajunya masih utuh, tak ada yang terbuka, berarti tak ada yang dilakukannya.
Ranjang itu masih rapi tanpa kusut. Apa yang terjadi? Ia melihat kearah jam besar
tang tegak disudut ruangan.
"Astaga... jam empat lebih sepuluh menit.. ini sudah sore?"
Basuki memencet sesuatu dibawah meja, lalu muncul seorang pelayan. Dirumah itu
setiap kamar memiliki pelayan masing-masing. Mana yang melayani Mery, mana yang
melayani Basuki.
"Aku mau kopi panas, perintahnya."
Pelayan membungkuk dan berlalu. Sambil menunggu pelayan membawakan kopi yang
dipesannya, Basuki mengingat ingat. Ia meraih ponselnya, ingin memanggil Mery, tapi
ponsel itu mati..
"Oh ya, aku ingat, tadi Mery mematikannya karena katanya tak ingin diganggu,"
gumamnya sambil menyalakan lagi ponselnya.
Ia meneguk dulu kopi panasnya ketika pelayan datang membawakan pesanannya itu.
Ia memencet nomor Mery, tapi jawabannya adalah..'nomor yang anda panggil sedang
dialihkan.'
"Gila Mery. Tidurkah dia?"
Lalu pelayan yang hampir menutupkan pintu dipanggilnya.
"Coba panggilkan Mery," perintahnya.
"Tapi bu Mery pergi sejak siang tuan," jawab pelayan itu.
"Pergi?" mata Basuki melotot.
"Sudah siang tadi, sama salah satu pelayan."
"Kemana dia pergi, mengapa tidak bilang?"
Basuki menenggak habis kopinya, lalu berdiri dan bergegas menuju kekamar Mery.
"Mengapa Sri ditinggalkannya? Sangat perlukah ?" gumamnya sambil berjalan.
Namun dengan terkejut didapatinya Sri tidak ada didalam.
"Sriii!!" teriaknya.
Lalu dia masuk kekamar mandi.
"Sriii !" teriaknya kalap, ketika tak didapatinya Sri dikamar mandi.
Basuki kembali menelpon Mery, tetap tak ada jawaban. Ponselnya mati. Basuki pergi
kearah depan. Tapi penjaga didepan mengatakan hal yang sama. Mery pergi dengan
salah seorang pelayan.
"Apa Mery menghianati aku??" Basuki semakin kalap.
Ditelponnya penjaga palang.
"Bu Mery pergi dengan salah seorang pelayan, sudah sejak siang tadi," jawaban yang
sama dan membuat Basuki semakin geram.
"Mery menghianati aku!! Apa salahku? Perempuan laknat !! Yang dikira pelayan itu
pastilah Sri.!!" Basuki berteriak-teriak, dan teriakannya menggema diseluruh
ruangan, membuat para pelayan bergidik.
Ia kembali memasuki ruangan Mery dan mengobrak abrik hampir seluruh isi ruangan.
Mery tak membawa alat-alat make up yang dibelikannya dengan harga mahal. Ia
mengacak semua alat make up itu dan membuatnya berserakan dilantai. Gelas diatas
meja juga berhamburan, hancur berkeping keping. Basuki membuka almari, masih banyak
pakaian bergantung, sepatu masih penuh di rak, apa yang dibawanya? Dan apa
maksudnya? Semua pakaian dikeluarkannya, sepatu, tas yang bagus dan semuanya
keluaran luar negeri, dihambur-hamburkannya ke lantai.
"Bedebah ! Laknat! Penghianat kamu Mery !! Apa maksudmu !!"
Basuki mencoba menelpone lagi, 'nomor yang anda putar, salah"
"Orang gila!! Perempuan keparatt!!
Basuki bergegas kedepan.
"Prii!! Kejar Mery dan bawa dia kembali!!" perintahnya kepada Supri, orang
kepercayaan yang terkadang menjadi sopir pribadinya.
***
Basuki duduk diteras depan. Rambutnya awut-awutan. Kemarahannya sudah sampai di
ubun-ubun. Ancaman-ancaman mengerikan terbayang dikepalanya.
"Awas kamu Mery, kalau kamu kembali, akan aku hancurkan wajahmu, aku patahkan kaki
tanganmu agar kamu tak bisa melakukan apa-apa."
Seorang pelayan membawakan minuman dingin, tapi dengan sebelah tangan Basuki
mendorongnya sehingga nampan itu terjatuh dan gelas pecah berantakan.
Pelayan bergegas kebelakang untuk mencari alat pembersih pecahan kaca.
Basuki tak perduli, ia meninggalkan pelayan itu dan berjalan kembali kekamar.
"Mana ponselku ?" teriaknya.
"Ada disini tuan," kata pelayan yang melihat ponsel majikannya terletak dimeja.
Basuki menghampiri ponselnya, mengambilnya dengan kasar, sehingga ponsel itu justru
terpelanting jatuh.
"Setan !! Kamu juga mau aku hancurkan?" matanya mendelik kearah ponel yang
dipungutnya. Basuki hampir benar-benar membanting ponselnya ketika tiba-tiba ponsel
itu berdering.
Basuki memelototi ponsel itu dan melihat siapa yang menelpone.
"Herman ? Ada apa? Aku hampir memanggil kamu dan memaki-maki kamu !" hardiknya
menjawab telephone itu.
"Ma'af, saya isterinya Herman."
"Kamu ? Mana Herman?"
"Saya ingin memberi tau, baru saja mas Herman ditangkap polisi."
Gemetar tangan Basuki menahan kemarahan yang tak terbendung.
Berambung #11

CERITA WA: Kembang Titipan #11


Cerita Bersambung
Sekarang Basuki benar-benar membanting ponselnya. Hancur berkeping-keping. Pelayan
yang melihatnya bergegas pergi, takut kalau ia juga bernasib seperti ponsel itu.
Basuki bergegas kekamar, mencari ponselnya yang lain. Ternyata dia masih butuh
berkomunikasi. Dengan mata merah penuh amarah dia menelpon sopirnya.
"Priiii... " teriaknya sa'at menelphone.
"Ya tuan.." jawab Pri gugup karenaa begitu membuka percakapan langsung berteriak.
"Bagaimana? Ketemu tidak?"
"Belum tuan, saya masih mengejarnya, ini belum keluar dari perkebunan."
"Buruaaan !! Temukan dan seret kehadapanku !!
"Baik tuan."
Basuki menghempaskan tubuhnya disofa yang berada didalam kamarnya. Geram memikirkan
Mery yang tiba-tiba berbalik menentangnya. Malah minggat bersama Sri, gadis yang
diincarnya.
"Mengapa Mery... mengapa kamu lakukan ini? Bodoh ! Goblog! Mencari mati kamu
Mer !!" berkali-kali ia berteriak sendiri didalam kamarnya.
"Ditambah lagi Herman ditangkap polisi? Bagaimana bisa? Apa yang terjadi? Awas kamu
Herman, kalau sampai kamu menyebut namaku disana, habis keluargamu."
Basuki berdiri, mengambil sebotol minuman, lalu ditenggaknya begitu saja.
Tiba-tiba Basuki teringat minuman itu. Minuman yang diberikan Mery.
"Sialan Mery ! Kamu meracuni aku dengan minuman itu ! Kamu pura-pura bersikap manis
lalu memberikan minuman itu ! Bedebah ! Setan alas kamu Mery ! Apa yang membuatmu
menjadi begitu? Gadis desa bernama Sri itu mempengaruhi kamu?! Tidak, bisa apa dia?
Hanya bisa meratap dan menangis. Bagaimana bisa membujukmu untuk melakukan semua
ini?Apa Mery? Siapa merubahmu? Setan apa yang menuntunmu sehingga kamu bisa
menghianati aku? Aku orang yang mengangkatmu dari comberan Panti itu! Ada apa
Mery !!
Ponsel Basuki berdering. Dari Herman lagi?
"Semoga Herman sudah keluar dari kantor polisi," gumamnya sambil mengangkat ponsel.
"Hallo, Herman, kamu sudah pulang?"
"Ma'af pak, eh.. tuan.. saya isterinya mas Herman."
"Kamu lagi?"
"Saya menghubungi telephone yang satunya tidak bisa,"
"Apa perduli kamu?" hardiknya
"Saya mau bilang, mas Herman ditahan, tidak diperkenankan pulang," kata isteri
Herman lemas.
"Biar saja dia mampus disana !!"
Lalu Basuki mematikan ponselnya.
Hari sudah malam, pelayan masuk kekamar membawakan makan malam untuk Basuki, tapi
Basuki menghardiknya keras.
"Bawa kembali semua itu ! Aku tidak mau makan !!" teriaknya.
Pelayan itu surut, memutar balik dan keuar dari kamar majikannya dengan wajah
kecut.
Basuki benar-benar tak ingin sesuatu. Ia hanya ingin marah dan menghardik semua
orang. Malam itu ia merasa bahwa ketenangan, bahkan keselamatannya terancam.
Lalu ia mengangkat telephonenya dan memerintahkan kepada seseorang.
"Cari Sri didesanya ! Habisi dia !!"
Lalu dibantingnya ponsel itu kemeja.
***
"Sekarang sudah malam dan aku lapar. Kalau ada rumah makan kita berhenti dulu ya."
"Ya, terserah mbak saja."
"Aku tadi menghubungi lurah desa kamu, eh maksudnya kantor kelurahan desa kamu, apa
pesanku sudah disampaikan ke pak lurah ya?"
"Mungkin sudah. Tapi mbak Mery tadi tidak mengatakan berapa nomor kontak mbak
Mery?"
"Sayangnya tidak. Iya, pasti mereka bingung ya..Aku juga tidak mengatakan nama.
Menurut aku tadi yang penting mereka tau baha kamu sudah lolos dari cengkeraman
Basuki."
"Semoga mereka sudah mengabari mas Timan juga."
"Ada warung disitu, kita berhenti sebentar," kata Mery yang langsung menghentikan
mobilnya ditepi jalan. Mereka memasuki warung yang tidak begitu besar dan sepi.
"Nggak apa-apa disini, yang penting kita tidak kelaparan."
"Iya mbak, sekarang saya merasa lapar."
Mereka memilih duduk agak disudut, lalu memesan minuman hangat dan nasi ayam. Hanya
itu menu yang menarik Mery. Sri mengikutinya.
"Disana kamu hampir tidak makan, pastilah sekarang kelaparan."
"Setelah saya merasa sedikit lega, rasa lapar itu baru terasa."
"Syukurlah, kita sudah keluar dari kawasan perkebunan Basuki. Pasti sekarang Basuki
sudah bangun dan marah-marah."
"Pasti dia heran mengetahui bahwa mbak Mery kabur."
"Menurutku, kita tidak akan langsung pulang."
"Mengapa mbak? Mereka pasti menunggu kedatangan kita. Apalagi mas Timan."
"Besok kira-kira pak lurah ada di kelurahan aku akan menelpone lagi, dan
mengabarkan keadaanmu. Kamu juga bisa bicara, tapi kamu jangan pulang dulu."
"Mengapa ?"
"Kamu belum tau Basuki. Sa'at ini dia pasti sedang mencari kita. Tapi makanlah,
kita tidak boleh berlama-lama disini. Kita bicara sambil makan," kata Mery sambil
meneguk minuman hangatnya dan mulai menyantap nasi yang sudah dihidangkan.
"Bukankah akan aman kalau kita sudah dirumah?"
"Belum tentu. Keselamatan kita masih terancam. Basuki tidak akan berhenti, dengan
segala cara, dan kalau kita ditemukan, mungkin nyawa kita akan melayang."
"Aduuh..." bergidik Sri mendengarnya.
"Makan cepat. Sri. Setelah ini kita tidak akan naik mobil itu lagi."
"Ditinggal disini ?"
"Ya, kita akan mencari angkutan umum,"
"Lalu ?"
"Bersembunyi disuatu tempat."
Sri melahap makanannya, ia benar-benar merasa lapar.
"Oh, di panti ya ?"
"Tidak Sri, Basuki sudah tau panti itu. Dia pasti langsung mencari kesana."
"Lalu dimana dong?"
"Nanti aku pikirkan. Setelah makan kita akan mencari angkutan umum, menuju Solo."
"Berapa lama kita akan bersembunyi?"
"Haa, kamu sudah sangat rindu sama mas Timanmu ya?" ledek Mery.
"Bukan begitu. Mereka juga pasti cemas kalau aku tidak segera kembali."
"Besok aku akan mengabarkan kepada mereka, bahwa kamu baik-baik saja. Jangan
khawatir Sri."
"Semoga besok bisa bicara dengan kang Mardi."
"Siapa kang Mardi?"
"Kang Mardi itu pak lurah. Saya mengenalnya sejak belum jadi lurah, dan
memanggilnya kang Mardi. Tapi sekarang tidak."
"Oh," kata Mery sambil memasukkan suapan terakhirnya, lalu meraih minuman yang
tersisa setengah gelas.
"Aku habiskan dulu ya mbak, tinggal dua tiga suapan nih."
"Habiskan saja, aku mau menurunkan tas yang masih tertinggal dimobil," kata Mery
sambil berdiri dan keluar dari warung itu.
Sri menghabiskan makanannya. Ia tak lagi merasa lapar sekarang. Tapi hatinya masih
berdebar. Semua yang dikatakan Mery membuatnya was-was. Basuki pasti memburunya.
"Sudah Sri?"
"Sudah mbak."
Mery membayar makan minumnya dan membeli dua botol minuman yang kemudian
dimasukkannya kedalam tas. Mereka berdiri ditepi jalan, menunggu angkutan lewat,
kemanapun arah tujuannya. Yang penting semakin menjauh dari Basuki.
***
"Mas, baru pulang?" tanya Lastri ketika malam itu Bayu sampai dirumahnya diantar
Timan.
"Ya sudah, kalau nggak pulang nanti kamu kangen.."
"Ih, pasti bercanda deh. Mas Timaaan, ayo masuk dulu," teriak Lastri ketika melihat
Timan turun dari mobil.
"Kayaknya aku pulang dulu saja, bau nih badan."
"Aku buatin minum dulu sebentar, sambil cerita, gimana nih petualangan mas Timan
sama mas Bayu."
"Nanti mas Bayu akan cerita, aku langsung pulang saja. Yang penting ada titik
terang, semoga semuanya lancar," kata Timan sambil menyalami Bayu. Wajah mereka
tampak lebih segar, walau letih sekali pastinya, dan itu melegakan Lastri.
"Aku pulang dulu, besok kemari lagi. Tapi mas Bayu apa tidak terganggu dengan terus
menerus mendampingi saya?"
"Tidak, saya cuti seminggu mas, jangan khawatir."
"Terimakasih banyak ya mas, sekarang saya permisi. Lastri, pamit dulu.." kata Timan
yang langsung naik kemobil dan meluncur perlahan keluar dari halaman.
Bayu memasuki teras.
"Apa kabar anakku?"
"Mas harus mandi dulu sana, lalu ganti baju, aduuh... baunya mas... nggak tahan
aku.." teriak Lastri sambil menjauh."
"Ya ampuun, ditinggal seharian bukannya dikangenin malah diusir-usir," sungut Bayu.
"Aku juga kangen banget mas, tapi aku nggak mau bau tubuhmu itu... mandi dulu
sementara aku siapkan minum dan makan.."
"Iya.. iya..." kata Bayu sambil melangkah kebelakang.
"Baru pulang Bayu, bagaimana Sri?" tanya bu Marsudi yang berpapasan didepan
kamarnya.
"Sudsh ada titik terang bu, semoga segera selesai dan Sri akan kembali pulang."
"Syukurlah, ibu ikut prihatin."
"Ya bu, saya mau mandi dulu, tuh.. tuan puteri marah-marah."
"Habisnya tubuhmu benar-benar bau. Sudah mandi sana. Kelihatannya Lastri lagi
menyiapkan makan malam. Ibu sama bapak sudah makan tadi, tapi Lastri belum mau,
katanya menunggu kamu."
"Iya bu."
Dan setelah makan malam itu Lastri duduk disofa panjang sedangkan Bayu berbaring
dipangkuannya sambil mengelus perut isterinya.
"Syukurlah kalau sudah ada anak buah Basuki yang ditangkap mas. Semoga semuanya
segera berakhir. Tapi benarkah Sri sudah keluar dari rumah Basuki?"
"Menurut pak lurah sudah ada yang menelpone ke kelurahan, tapi karena pak lurah
nggak ada jadi belum jelas benar. Semoga besok ada berita yang lebih melegakan."
"Lastri ikut sedih memikirkan Sri. Tadi Lastri juga menelpone kang Mardi, habis mas
Timan sama mas Bayu sama sekali tidak bisa dihubungi."
"Tempatnya di pelosok, tak ada sinyal. "
"Sebuah desa yang jauh dari perkotaan ya?"
"Ya, itu ancar-ancar yang diberikan pak lurah, tapi kami tak bisa masuk ke desa
itu, Jalan masuk dipalang, katanya ada tanah longsor."
"Jadi yang kedua tidak bisa menemui siapapun ?"
"Tidak, hanya yang pertama, ketemu rumahnya, tapi katanya itu gudang. Ada anak buah
Basuki disana yang katanya tidak pernah bertemu Basuki, namanya Herman."
"Masa anak buah tidak pernah bertemu majikannya?"
"Katanya begitu, tapi sekarang dia sudah ditangkap polisi. "
"Tiba-tiba polisi tau alamatnya?"
"Mas Timan mencatat plat nomor mobilnya, dari situ polisi bisa melacak alamat
rumahnya. Sore tadi kabarnya langsung ditangkap."
"Syukurlah. Semoga semuanya segera berakhir ya mas."
"Anak bapak ini tidak rewel?" kata Bayu sambil terus mengelus perut Lastri.
"Tidak bapak, tadi sepulang dari pasar ibu membawakan rujak."
"Hm, senengnyaaa.."
"Ya sudah, mas istirahat dulu, pasti capek seharuian dijalan."
"Aku kan hanya duduk, mas Timan yang nyetir, habis nggak mau aku gantiin."
"Meski begitu kan capek duduk terus seharian."
"Ini aku kan sudah berbaring dipangkuan kamu, biar anak kita mendengar pembicaraan
bapak ibunya."
"Ayo berbaring dikamar saja, nanti kalau mas ketiduran disini siapa yang mau
mengangkat masuk kekamar?"
"Masa kamu berdua tidak kuat mengangkat?"
"Berdua sama siapa?"
"Ya sama anak kita didalam perut kamu itu."
"Hiih, mas Bayu ada-ada saja."
Bayu tertawa, sambil bangkit kemudian menarik tangan Lastri menuju kamarnya.
Sesungguhnya ia memang letih.
***
Belum lama lurah Mardi duduk, telephone kantor berdering. Sekretaris desa mau
mengangkatnya, tapi tangan lurah Mardi melambai, memberi isyarat agar dia saja yang
mengangkatnya.
"Selamat pagi dengan kantor kelurahan Balerejo."
"Selamat pagi, dengan pak lurah bisa?"
"Saya sendiri, ada yang bisa saya bantu ?"
"Ada yang mau bicara ini," lalu seseorang menyambung pembicaraan itu.
"Hallo kang Mardi... eh.. pak lurah.."
"Sri, ini kamu Sri?"
"Iya pak lurah," terdengar isak Sri perlahan.
"Sri? Ya ampun Sri, kamu baik-baik saja?" suara lurah Mardi bersemangat.
"Baru kemarin siang saya bisa meloloskan diri kang," kata Sri masih
terisak,terkadang memanggil kang Mardi terkadang juga memanggil pak lurah.
"Alhamdulillah Sri, lalu kamu sekarang ada dimana, mengapa tidak segera pulang?"
"Apa kabar simbah ?"
"mBah Kliwon baik-baik saja, mungkin besok sudah boleh keluar dari tahanan."
"Alhamdulillah pak, terimakasih atas semuanya.
"Sri, ini kamu dimana? Mengapa tidak segera pulang?" tanya lurah Mardi mengulang
pertanyaannya.
"Saya ditolong oleh mbak Mery, tangan kanan Basuki yang sekarang melarikan diri
bersama saya. Tapi kata mbak Mery, Basuki masih memburu saya. Kalau saya pulang
sekarang takutnya Basuki mengetahui dan saya akan merasa tidak tenang pak lurah.
Karenanya saya dengan mbak Mery masih bersembunyi disuatu tempat."
"Sa'at ini tangan kanan Basuki sudah ditahan. Tak lama lagi mereka akan meringkus
Basuki."
"Syukurlah, tapi untuk beberapa hari ini saya tidak pulang dulu saja. Yang penting
saya baik-baik saja dan pasti akan segera kembali."
"Baiklah, boleh saya minta nomor kontak? Nanti akan saya berikan mas Timan, supaya
bisa menghubungi kamu."
"Ya baiklah, sebentar, ini nomor baru, belum hafal, barusan mbak Mery memberi saya
ponsel."
"Baik sekali dia, semoga kita segera bisa bertemu."
Pak lurah mencatat nomor Sri dengan wajah yang berseri-seri. Tinggal menunggu
kepulangan Sri, dan berharap agar semua baik-baik saja. Ia juga memberikan nomor
ponselnya barangkali Sri ingin berkomunikasi dengan isterinya.
***
"Jangan banyak bertanya! Lksanakan semua perintahku." suara Basuki yang selalu
terdengar keras dan kasar.
Lalu ia menelpone lagi.
"Priii!!"
"Ya tuan," jawaban Pri dari seberang.
"Kamu tadi menelpone aku? Aku baru bicara sama orang-orang goblog itu. Ada apa?"
"Saya menemukan mobil bu Mary tuan."
"Bagus, tinggalkan saja mobilnya, masukkan keduanya kedalam mobilmu dan bawa kemari
!!"
"Tapi bu Mery tidak ada pak."
"Apa maksudmu? Kalau tidak ada berarti dia sedang ada dimana, gitu. Ini sudah pagi,
mungkin dia menginap disekitar tempat itu.
"Tidak ada tuan, saya sudah mencarinya kesekeliling tempat ini. Didepan ada warung,
tapi masih tutup."
"Suruh pemilik warung membukanya, mungkin kedua tikus itu bersembunyi disitu !!"
"Tt..tapi.."
"Tapi apa? Kamu takut? Atau aku sendiri yang harus datang kesitu ?"
"Bba..baiklah tuan, saya akan menanyakannya."
"Cepat, aku tunggu beritanya."
Lalu begitu Basuki selesai menelphone, ponselnya berbunyi lagi.
"Apa So? "
"Saya sudah berada didesa Balerejo tuan, tapi menurut berita, Sri belum kembali
sejak dua hari yang lalu."
"Tungguin disitu, kalau Pri tidak menemukan, berarti dia sudah kembali. Kamu tetap
mengawasi keadaan, lakukan apa saja supaya kamu bisa membawa Sri kepadaku!!"
==========
Basuki seperti orang kehilangan akal. Ia lebih marah lagi ketika Pri menelponnya
bahwa tak ada Mery di warung itu.
"Saya sudah mengetuk pintunya, bu Mery tidak menginap disitu, tuan."
"Goblog! Jangan-jangan dia berbohong?"
"Dia sudah menyuruh saya memeriksa seisi warung. Itu warung kecil, hanya ada satu
kamar dan dapur."
"Lalu mengapa bisa menghilang? Mobilnya ada, pasti mereka ada disekitar tempat
itu."
"Pemilik warung mengatakan bahwa tamu mereka dua prang wanita, meninggalkan
mobilnya dan menyetop kendaraan umum, entah kemana."
"Apa?"
"Mereka sudah pergi dengan kendaraan umum tuan."
"Setan alas !!"
"Saya harus mengejarnya lagi?"
"Tidak, kamu kembali saja, aku yang akan mencari mereka !!"
Basuki menutup ponselnya dengan geram. Lalu menelphone lagi.
"Ya tuan," jawab salah seorang anak buahnya.
"Mery dan Sri sudah pergi, kemungkinannya mereka kembali kedesa ini. Awasi terus
dan laksanakan perintahku."
"Baik tuan."
Basuki menghempaskan tubuhnya ke sofa. Minuman dan sarapan pagi masih terhidang
dimeja, tapi dia tidak menyentuhnya. Wajahnya kusut, rambut ikallnya awut-awutan.
"Mery...Mery..Mery...! Awas kamu Mery !!" gemeretak giginya ketika menyebut nama
Mery. Kemarahannya tak tertahankan lagi.
***
"mBak, benar, ini ponselnya diberikan sama saya>"
"Iya, aku punya dua yang bagus, yang satu aku pakai, satunya untuk kamu, supaya
kamu bisa berhubungan dengan pacar kamu."
"Trimakasih banyak mbak, ini pasti mahal."
"Ada dua lagi aku tinggal dikamar. Nggak ada gunanya punya banyak, aku sekarang mau
memulai hidup sederhana."
Sri mengangguk terharu. Wanita cantik yang semula bermaksud mencelakakannya,
sekarang mulai sadar akan kekeliruannya, dan bermasud menjalani hidup dengan lebih
baik."
Mereka menginap disebuah losmen yang cukup baik, tapi tidak mewah. Barangkali untuk
sementara mereka bisa menenangkan diri disitu.
"Oh ya, aku lupa menelpon simbah. Tapi nomornya aku nggak tau."
"Simbah kamu ?"
"Simbah saya, namanya Kliwon, orang-orang menyebutnya mbah Kliwon. Dia sangat
mangasihi saya, dan prihatin karena ulah bapak saya yang kurang terpuji. Untunglah
bapak sudah sadar, dan mungkin besok sudah keluar dari tahanan."
"Hidup kamu penuh derita ya Sri, aku merasa selama ini aku lupa diri."
"Sudah mbak, jangan diingat-ingat lagi, bukankah mbak sudah berjanji ingin
bertobat?"
"Gemerlapnya harta tak ada gunanya untuk hidupku, justru membuatku lupa bahwa aku
hanyalah mahluk yang bagai sebutir debu, tak berharga."
"Kesalahan yang telah lalu bia ditebus dengan perilaku yang baik.Seperti ayah saya
yang sejak muda sudah bergelimang maksiat, akhirnya juga sadar bahwa dunia yang
dilaluinya ternyata sangat gelap dan menjerumuskannya kedalam derita
berkepanjangan."
"Dan hampir mengorbankan gadis semata wayangnya, ya kan Sri?"
"Benar mbak, dan mbak Merylah penyelamatku."
"Besok kita jalan-jalan kepasar ya, kita harus beli baju-baju untuk kamu. Baju yang
sopan menurut kamu, bukan yang memperlihatkan sebagian tubuh yang seharusnya
disembunyikan."
"mBak Mery punya uang?"
"Aku membawa uang yang cukup. Basuki memberiku kartu ATM yang biasanya bisa aku
pergunakan semau aku, tapi aku yakin dia sudah memblokirnya. Untungnya aku masih
menyimpan beberapa uang cash. "
"Tapi mbak harus berhemat, kalau sebelum pulang uang itu habis bagamana?"
"Iya, aku sudah mengaturnya, tapi kalau untuk beli beberapa baju sederhana masih
cukup. Baju-baju itu perlu, kan kamu nggak punya ganti? Aku juga akan membeli baju-
baju yang tertutup."
"Senang mendengarnya mbak.."
Ponsel Sri berdering.
"Sri, itu ponsel kamu," tegur Mery karena Sri membiarkannya.
"Oh, aku ya?"
Lalu Sri mengangkat ponselnya.
"Hallo..."
"Sri...?"
"Mas Timan ya?" Sri berteriak saking gembiranya. Mery tersenyum melihat ulah Sri.
"Kamu baik-baik saja?"
"Ya, saya baik mas, berkat bantuan mbak Mery, aku bisa lolos ."
"Siapa dia?"
"Dia itu sebenarnya yang dulu mengajak aku pergi meninggalkan mas Timan waktu masih
bicara sama Basuki. Tapi kemudian dia berbalik menolong aku. Sekarang ini dia kabur
bersama aku."
"Oh, lalu dimana kamu sekarang ini?"
"Kami menginap disebuah losmen, belum berani pulang karena Basuki sedang mencari-
cari kami."
"Iya, losmen mana? Di Solo kah?"
"Belum, masih diluar kota."
"Bagaimana kalau dirumahku saja. Nanti aku jemput?"
"mBak, mas Timan menawarkan kita tinggal dirumahnya, bagaimana?" Sri menoleh kepada
Mery minta pendapatnya.
"Nanti aku merepotkan.." kata Mery.
"Mas, mbak Mery bilang, nanti merepotkan."
"Tidak, kalau aku dipasar, rumahku kosong. Ada beberapa kamar, kamu dan mbak Mery
bisa tinggal disana sementara waktu." kata Timan.
"Gimana mbak?"
"Terserah kamu Sri, pokoknya jangan pulang dulu."
"Kata mbak Mery terserah aku. Kalau tidak merepotkan ya gak apa-apa mas."
"Baiklah, berikan alamatnya, aku semput sekarang."
"Ya mas, tapi sebelumnya aku mau minta nomor kontaknya simbah dulu, aku harus
bicara sama simbah, agar simbah tenang."
"Benar Sri, simbah sedih memikirkan kamu. Sebenarnya aku juga mau mengabari simbah,
tapi lebih bagus kamu sendiri yang bicara, supaya simbah senang."
Ketika pembicaraan itu selesai, wajah Sri tampak berseri-seri.
"mBak, aku menelpon simbah dulu ya."
"Terserah kamu Sri, itu kan ponsel kamu."
"Mas Timan mau menjemput, setelah menelpon aku mau bersiap-siap ya mbak."
"Sebenarnya aku sungkan, aku kan bukan siapa-siapa," keluh Mery.
"Mengapa mbak Mery bicara begitu, saya bisa lepas dari tangan Basuki kan karena
mbak Mery. Jadi jangan menganggap kita orang lain. Lagipula apa yang harus kita
lakukan nanti kita bicarakan lagi, menurut saya lebih baik mbak Mery tidak usah
kembali ke panti."
"Aku ini tidak punya siapa-siapa Sri, sejak kecil aku di panti."
"mBak Mery punya aku. Kita bisa tinggal didesa dengan aman. Rumah yu Lastri juga
kosong, hanya simbah yang tinggal disana. Pokoknya nanti kita bicara lagi. Selalu
ada tempat buat mbak Mery."
Mery mengangguk-angguk.
"Hallo mbah, ini Sri mbah.." teriak Sri begitu menelpon mbah Kliwon.
"Sri, kamu Sri cucuku?"
"Iya mbah, aku Sri.. simbah sehat kan mbah?"
"Cucuku ngger, simbah nangis setiap hari memikirkan kamu nduk, kamu baik-baik
sajakah?"
"Sangat baik mbah, sekarang simbah tidak boleh nangis lagi, sebentar lagi Sri
pulang."
"Sekarang kamu dimana nduk?"
"Masih sembunyi mbah, karena Basuki masih mengejar Sri. Yang penting Sri baik-baik
saja, dan nanti mas Timan mau menjemput Sri. Barangkali Sri akan tinggal dirumah
mas Timan sementara waktu, sampai keadaan aman kembali."
"Syukur alhamdulillah nduk, Gusti Allah mendengarkan do'a-do'a simbah. Simbah
senang kamu selamat dan baik-baik saja."
"Ya sudah ya mbah, Sri mau siap-siap karena mas Timan mau menjemput Sri."
"Ya nduk, baiklah, pokoknya simbah sudah lega. Kabarnya bapakmu juga sudah boleh
bebas hari ini atau besok."
"Iya, pak lurah sudah memberi tau Sri, sudah ya mbah."
"Ya nduk.. slamet.. slamet.. slamet nduk.." mbah Kliwon pun mengusap air matanya,
dan kali ini air mata bahagia."
***
"Lastri, dengar, mas Timan sudah ketemu Sri."
"Apa? Benarkah ?"
"Ya, baru saja mas Timan menelpone mau menjemput Sri. Katanya sementara waktu Sri
dan penolongnya itu biar tinggal dirumah mas Timan dulu."
"Tidak langsung pulang?"
"Basuki masih mengejarnya. Bahaya kalau langsung pulang."
"Syukurlah mas, senang aku mendengarnya."
"Tapi mas Timan aku suruh kesini dulu. Biar dia membawa mobil kita. So'alnya yang
mau dijemput kan dua orang, mana cukup kalau pakai mobil mas Timan."
"Oh iya mas, baguslah, aku boleh ikut?"
"Lastri, kamu itu sedang mengandung, jangan pergi kemana-mana dulu, apalagi
tempatnya jauh. Kasihan anak kita."
"Aku pengin ketemu Sri."
"Nanti kalau Sri sudah sampai dirumah mas Timan, kita kesana."
"Baiklah kalau begitu. Aku sudah nggak sabar ingin ketemu Lastri."
"Yang penting dia selamat tak kurang suatu apa."
"Tuh orangnya sudah datang mas, panjang umur ya.." pekik Lastri begitu melihat
mobil Timan memasuki halaman."
Timan turun dari mobl, wajahnya berseri, tidak kusut seperti beberapa hari
sebelumnya. Maklumlah, dia sudah berkomunikasi dengan Sri, dan sebentar lagi mau
bertemu.
"Baru saja kami membicarakan mas Timan," kata Bayu menyambut sahabatnya.
"Pantesan saya kedutan terus mas," canda Timan.
"Wah senengnya yang mau ketemu pacar.." ledek Lastri sambil mengikuti suaminya
turun ke halaman.
"Aku benar-benar merasa lega. Semua ini atas jerih payah mas Bayu juga."
"Kok saya, mas Timan yang begitu keras berusaha, saya kan hanya membantu."
"Tapi dengan adanya mas Bayu disamping saya, saya merasa lebih kuat. Terimakasih
banyak ya mas," kata Timan sambil menggenggam tangan Bayu erat-erat.
"Ya sudah, itu mobilnya sudah aku siapkan, nanti Sri kelamaan menunggunya."
"Sebenarnya aku pengin ikut, tapi nggak boleh sama mas Bayu," sela Lastri.
"Nanti kalau dijalan nggak ada yang jual rujak bagaimana?" kata Bayu
"Iih, mas Bayu..."
"Emang iya kan."
"Ini kunci mobil saya mas," kata Timan menyerahkan kunci mobilnya.
"Ya mas, dan itu mobilnya sudah saya siapkan, kuncinya sudah ada didalam. Apa saya
perlu ikut?"
"Terimakasih banyak mas Bayu, saya sendiri saja, mas Bayu kan sudah capek kemarin
seharian. Semoga semuanya lancar."
"Njemputnya kemana sih mas ?" tanya Lastri.
"Didaerah Salatiga, lumayan jauh."
"Hati-hati, selamat ketemu pacar, eh.. calon isteri."
Timan tertawa sambil berjalan menuju mobil Bayu.
Lega rasanya ketika melihat Timan berlalu dengan wajah berseri-seri.
"Semoga semuanya segera berlalu, dan Sri segera bisa pulang kerumah ya mas."
"Iya. Dan sebentar lagi akan ada pesta pernikahan nih."
"Wah, senang medengarnya mas." kata Lastri sambil mengikuti suaminya masuk kedalam
rumah.
***
"Pak lurah.. pak lurah..." tergopoh-gopoh mbah Kliwon mendekati rumah pak lurah.
Tapi yang keluar Marni.
"Mas Mardi belum pulang mbah, mungkin sebentar lagi, ayo masuk dulu."
mBah Kliwon masuk lalu duduk dibangku depan rumah.
"Kok disitu sih mbah, masuk saja, ayo.. Marni buatkan minuman."
"Disini saja bu lurah, cuma mau bilang, tadi Sri menelpone saya."
"Oh iya? Mas Mardi juga sudah mengabari kalau Sri baik-baik saja. Cerita apa tadi
si Sri?"
"Katanya dia belum berani pulang karena Basuki masih mengancam akan mencari Sri.
Katanya hari ini nak Timan mau menjemputnya, tapi untuk sementara mau tinggal
dirumah nak Timan dulu."
"Bagus mbah, itu lebih baik, demi keselamatan Sri. Saya malah belum bicara sama
Sri, mungkin nanti kalau dia sudah merasa lebih tenang."
"Iya, lega rasanya karena ada yang melindungi cucu saya."
"Mas Timan sangat mencintai Sri mbah, simbah harus merasa tenang selama Sri sudah
bersamanya."
"Iya, benar. Saya bersyukur Sri menemukan laki-laki baik seperti nak Timan."
"Nanti kalau Sri sudah dirumah mas Timan, kita pergi kesana bersama-sama ya mbah?"
"Oh ya, saya juga sudah sangat kangen dan ingin mendengar ceritanya. Hanya karena
do'a kita maka Sri bisa selamat."
"Iya mbah, kata mas Mardi, wanita yang dulu menculik Sri, berbalik menolong Sri
kabur. Jadi mereka kabur bersama. Dia itu sebenarnya orang kepercayaan Basuki."
"Sungguh semuanya adalah mujizat Yang Maha Kuasa."
"Benar mbah, sebentar, sambil menunggu mas Mardi, saya akan buatkan minum untuk
mbah Kliwon."
"Jangan repot-repot bu lurah."
"Bukannya repot, tinggal mengambil saja kok mbah," kata Marni sambil berjalan
kebelakang.
***
Basuki sedang menerima laporan dari beberapa anak buahnya yang mendapat tugas
memburu Mery dan Sri. Tak satupun membuatnya senang karena tak satupun menemukan
titik terang.
"Bodoh semua !! Bagaimana mungkin mencari orang kabur yang sudah jelas kemana
tujuannya saja tidak bisa?"
"Ma'af tuan, mungkin mereka belum sampai didesanya Sri."
"Masa dari kemarin nggak sampai juga? Pokoknya kalian semua itu bodoh, goblog !!"
Aduh.. kalau sudah keluar kata-kata kasar begitu, tak seorangpun berani membuka
mulut. Lebih baik mendengarkan daripada kena semprot.
Basuki membuka telephone lagi.
"So, kamu tetap berjaga-jaga disitu. Awasi rumah Darmin dan rumah simbahnya si Sri.
Mau kemana dia kalau tidak kesitu. Mengerti ?? Jangan beranjak dari sana. Bawa
kemari kedua betina itu.!!"
Tanpa menunggu jawaban Basuki menutup ponselnya.
"Kalian boleh pergi, kalau ada berita apapun cepat melapor."
Beberapa anak buah yang tadinya menghadap sang bos perlahan berdiri. Bersyukur
karena disuruh pergi.
Basuki menghempaskan tubuhnya disofa. Wajahnya merah padam, nafasnya terasa sesak.
mBah Kliwon pulang dari kelurahan, wajahnya berseri-seri. Kalau masih pantas
rasanya simbah tua itu ingin bernyanyi dan melangkah penuh irama.
Tapi sebelum sampai dirumahnya, dilihatnya seorang laki-laki yang tampak mengawasi
rumah Lastri yang ditinggalinya. mBah Kliwon mendekati.
"Nak, mau mencari siapa?"
Laki-laki itu tampak terkejut.
"Ss..saya.. kalau.. boleh, hanya ingin minta segelas air. Bolehkah ?"
"Oh, tentu saja boleh, sebentar, duduklah dulu, saya ambilkan sebentar kebelakang,"
kata mbah Kliwon ramah sambil bergegas kebelakang.
Laki-laki itu duduk di lincak depan rumah.
Ketika keluar, mbah Kliwon tidak hanya membawa segelas air, tapi juga sepiring
ketela rebus.
"Ini nak, silahkan diminum, ini ketela yang saya rebus sejak pagi. Biarpun sudah
tidak anget, tapi enak kok."
"Terimakasih kakek. Saya cuma butuh air minum, kok malah diberi makanan."
"Tidak apa-apa nak, saya sedang bergembira. Temanilah saya menikmati makanan walau
sederhana tapi enak. Ayo nak, maniis.. ketelanya."
"Terimakasih kakek. Kakek sedang bergembira? Kenapa? Menang lotre?"
"Ah, lotre itu apa, saya tidak mengenal lotre."
"Habisnya kakek tampak sedang senang hati."
"Cucu saya sudah kembali. Itu sebabnya saya bergembira."
Laki-laki itu tampak memperhatikan kata-kata mbah Kliwon.
"Kembali dari mana kek?"
"Sebelumnya kan diculik orang jahat, tapi ia berhasil lolos, alhamdulillah," kata
mbah Kliwon sambil menadahkan tangannya keatas seperti orang sedang bersyukur.
Laki-laki itu menoleh kekanan dan kekiri, seperti mencari sesuatu.
"Dimana cucu kakek itu?"
"O, tidak disini nak, disembunyikan oleh calon suaminya, karena si penculik itu
masih mengincarnya," mbah Kliwon terus mengoceh tanpa sadar bahwa dia sedang bicara
dengan orang asing.
"Disembunyikan dimana kek?" laki-laki asing itu terus mendesak. Ketela yang sudah
dilahapnya separo diletakkannya lagi dipiring.
"Saya belum tau dimana, tapi nanti saya akan minta calon suaminya itu menjemput
saya, agar saya bisa bertemu cucu saya itu."
Laki-laki itu tersenyum, dan mengangguk-angguk. Dan mbah Kliwon tetap tersenyum
dengan kebahagiaan yang dirasanya hampir sempurna.
Bersambung #12

CERITA WA: Kembang Titipan #12


Cerita Bersambung
Laki-laki asing itu kemudian berdiri setelah meneguk habis air didalam gelas yang
disuguhkan mbah Kliwon.
"Lho nak, mau kemana ?"
"Mau melanjutkan perjalanan kek."
"Oh ya, kita sudah ngomong banyak, tapi belum saling memperkenalkan diri. Saya mbah
Kliwon, anak ini siapa dan darimana? Tampaknya bukan penduduk desa ini kan?"
"Iya, saya hanya lewat kek, tadi kehausan terus singgah disini. Kebetulan kakek
baik sekali. Terimakasih banyak ya kek," kata laki-laki asing itu tanpa menyebutkan
namanya dan bergegas pergi.
mBah Kliwon melongo.
"Orang ditanya namanya kok malah langsung pergi. O.. anak muda jaman sekarang
sering tidak memiliki tata krama," keluh mbah Kliwon sambil meengambil gelas dan
piring berisi ketela yang masih tersisa.
"Lha ini, ketela sudah digigit kok dikembalikan ke piring. Hm.. benar-benar bikin
kesal," kata mbah Kliwon yang kemudian meletakkan piring itu lagi, lalu membuang
sisa ketela bekas gigitan tamunya.
"Makanan enak begini kok tidak dihabiskan," gumamnnya sambil bergegas kebelakang
***
Sri dan Mery sudah selesai berkemas. Hanya sebuah tas yang berisi baju-baju baru
yang dibelinya dipasar dekat losmen. Baju-baju sederhana bukan baju-baju bermodel
seronok seperti baju-baju Mery sebelumnya. Sedangkan beberapa baju yang dibawanya
dari rumah Basuki sudah diberikannya kepada seseorang yang kebetulan ditemui mereka
didepan losmen.
"Benar nih, nggak apa-apa ikut kamu?" tanya Mery yang sesungguhnya merasa sungkan
harus ikut Timan kerumahnya.
"Nggak apa-apa mbak, Mas Timan itu orangnya baik, suka menolong, percayalah."
Ketika Mery dan Sri menunggu didepan losmen, dilihatnya sebuah mobil berhenti.
"Itukah mobil mas Timan?"
"Bukan mbak, mas Timan mobilnya colt terbuka, karena sering dipakai mengangkut
buah-buahan dagangannya.
Tapi ketika seseorang turun dari mobil, Sri hampir melonjak kegirangan. Seorang
laki-laki ganteng turun dari mobil itu. Berdebar Sri menyambutnya. Beberapa hari
dia tidak melihat mata teduh yang menghanyutkan itu.
"Itu mas Timan mbak," serunya.
Timan tersenyum lebar melihat Sri. Dipeluknya erat kekasihnya, dengan rasa syukur
yang teramat sangat. Berlinang air mata Sri karena terharu.
"Terimakasih mas."
"Kamu baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja mas. Itu mbak Mery," kata Sri memperkenalkan Mery kepada Timan.
Timan menghampiri Mery dan mengulurkan tangannya dengan wajah ramah.
"mBak Mery, saya Timan, calonnya Sri," katanya.
"Terimakasih banyak mas, tapi apa saya tidak merepotkan ?"
"Tidak, saya senang mbak Mery ikut. Tapi rumah saya tidak bagus lho mbak, rumah
orang kampung."
"Tidak apa-apa mas, yang penting aman."
"Mas Timan mobilnya ganti?" tanya Sri.
"Ini mobil mas Bayu dipinjamkan, karena tau bahwa aku akan menjemput dua orang."
"Oh, mobil mas Bayu."
"Sudah siap? Bisa berangkat sekarang ?"
"Sudah siap mas, sebentar aku mau menelpone simbah."
***
mBah Kliwon sedang mencuci gelas bekas tamu asingnya ketika tiba-tiba ponselnya
berdering.
"Ee.. siapa lagi itu, sebentaaaar," teriak mbah Kliwon sambil meletakkan gelas dan
piring yang sudah dicucinya didapur.
Lalu mbah Kliwon mengangkat ponselnya.
"Hallooo..."
"mBah, ini Sri ..."
"Weee.. nduk, gimana, sudah ketemu nak Timan?"
"Sudah mbah, ini Sri sudah siap mau berangkat."
"Syukurlah Sri, bilang sama nak Timan, hati-hati, gitu ya."
"Hallo mbah," sapa Timan setelah Sri mengulurkan ponselnya.
"Nak Timan?"
"Iya mbah, simbah sehat?"
"Sehat sekali nak. Terimakasih ya nak, sudah mau menjemput Sri. Saya titip cucu
saya, tolong dijaga baik-baik."
"Pasti mbah, saya akan menjaganya."
"Sebetulnya saya sudah kangen sama Sri. Ingin segera bertemu."
"Besok saya akan menjemput simbah, supaya simbah ketemu Sri."
"Benarkah ? Sepertinya bu lurah juga ingin kerumah nak Timan."
"Nanti saya akan bicara dengan pak lurah, kapan mau datang kerumah saya."
"Iya nak."
"Sudah ya mbah, Sri mau berangkat dulu," kata Sri setekah meminta ponselnya dari
Timan.
"Hati-hati ya nduk."
mBah Kliwon menutup ponselnya dengan hati gembira.
"Syukurlah Sri... semoga semuanya segera berlalu." gumamnya dengan wajah berseri.
***
Basuki sedang ingin memejamkan mata setelah sehari semalam tidak sedikitpun
beristirahat, ketika tiba-tiba ponselnya berdering.
"Ada apa? Jangan sebentar-sebentar telephone kalau tidak membawa berita yang
menyenangkan." hardiknya sengit.
"Ma'af tuan, ini berita bagus," suara dari seberang.
"Haa, kamu sudah berhasil menangkap keduanya?"
"Belum tuan.."
"Kalau belum mengapa bilang berita baik? Jangan asal bicara dan memuang-buang
waktuku saja."
"Tuan, saya belum selesai bicara."
"Cepat bicara !!"
"Saya sydah bertemu dengan mbah Kliwon, simbahnya si Sri, tuan."
"Bukan mbahnya yang aku mauuuuu...!"
"Ya, tuan, dari mbahnya itu saya mendapat keterangan tentang Sri."
"Keterangan yang bagaimana?"
"Dimana Sri bersembunyi."
"Haa, bersembunyi, seperti tikus?"
"Dia ada dirumah calon suaminya."
"Bagus, dimana rumahnya, segera selesaikan tugasmu dan kamu akan mendapat bonus dua
kali lipat!"
"Sa'at ini saya belum tau dimana rumah calon suaminya itu, tuan."
"Goblog, kalau begitu untuk apa kamu bicara sama aku?"
"Saya sedang menunggu tuan. mBah Kliwon mau ketemu Sri dirumah calon suaminya, tapi
menunggu dijemput, saya akan mengawasi terus kemudian kalau mereka berangkat saya
akan mengikutinya, dengan demikian saya akan tau dimana Sri bersembunyi."
"Hahaaa..." Basuki tertawa senang.
"Kamu ternyata tidak segoblog yang aku kira. Cepat lakukan tugasmu dan jangan
sampai gagal. Kalau kamu gagal, jangan salahkan aku kalau kamu akan sengsara seumur
hidupmu."
"Siap.. tuan."
Basuki meletakkan ponselnya dan tersenyum lega. Anak buahnya sudah mendapat titik
terang. Tinggal menunggu waktu. Itu bagus. Lalu Basuki memejamkan matanya dan pulas
tak lama kemudian, tertelentang begitu saja disofa didalam kamarnya.
***
Mobil yang dikendarai Timan memasuki halaman yang agak luas, sedikit dipinggiran
kota. Pelataran yang teduh karena beberapa pohon besar tumbuh disana. Ada pohon
jambu yang sedang berbuah, pohon sawo yang rindang dan mangga talijiwa yang sedang
berbunga.
Timan menghentikannya didepan teras rumahnya. Ia turun lebih dulu kemudian
membukakan pintu depan untuk Sri, lalu pintu belakang untuk Mery.
"Silahkan, ini gubug sederhana milik orang kampung," kata Timan sambil mengiringkan
kedua tamunya menaiki teras.
"Sejuk sekali udaranya dirini." seru Mery sambil menarik nafas panjang.
Timan membuka pintu rumah dan langsung mengajak mereka masuk.
"Ada dua kamar kosong yang sudah saya bersihkan dan saya tata sebisa saya. Ini agak
besar, bisa untuk berdua, ini yang satunya agak kecil. Terserah Sri sama mbak Mery
mau memilih yang mana, yang bisa berdua atau sendiri-sendiri," kata Timan ramah.
"mBak Mery mau yang mana?" tanya Sri kepada Mery.
"Bagaimana kalau kita berdua sekamar? Nggak enak sendiri-sendiri."
"Baiklah, aku juga suka kita sekamar."
"Kalau begitu silahkan .."
Sri dan Mery memasuki kamar itu. Ada dua tempat tidur yang sudah diberi alas baru,
dua meja dan dua lemari serta ada kaca untuk berhias. Semuanya barang-barang kuna
yang tidak gemerlap seperti rumah Basuki.
"Ma'af mbak Mery, hanya seperti ini rumah saya."
"Mas Timan, ini sangat menyenangkan. Begitu masuk saya merasa adem. Sungguh saya
akan kerasan berada disini."
"Alhamdulillah," kata Timan senang.
"Tapi hanya ada satu kamar mandi disini, dan tidak didalam kamar."
"Tidak apa-apa mas. Terimakasih banyak ya."
"Kalau begitu silahkan mandi dulu, atau perlu air panas?"
"Tidak, tidak.. lebih segar air dingin."
"Silahkan mbak. Sri.. tata barang-barangmu didalam almari, ada dua, mbak Mery dan
kamu masing-masing satu almari."
"Ya mas, barang kami tidak banyak, hanya beberapa lembar pakaian."
"Ya sudah, saya buatkan minum dulu, sementara kedua tamu saya mandi," kata Timan
sambil menjauh.
Sri menutup pintu kamar.
"mBak Mery suka kamar ini?"
"Sangat suka Sri, ini luar biasa. Aku tidak pernah merasa senyaman ini."
"Syukurlah. Sekarang mbak Mery mandi dulu sana, saya mau membantu mas Timan buat
monuman."
Sri keluar dari kamar, menuju dapur. Dilihatnya Timan sedang menyiapkan gelas dan
mengambil botol sirup dari dalam kulkas.
"Mas, biar aku saja yang buat, mas Timan kan capek."
"Tidak Sri, kalau aku bersamamu tidak akan merasa capek."
"Ah, mas Timan bisa saja," kata Sri sambil meraih botol sirup dari tangan Timan,
tapi Timan tidak mau melepaskannya sehingga tangan mereka bersentuhan. Ada getar
aneh terasa disana. Mereka berpandangan, lalu Sri tersenyum sambil menundukkan
muka.
"Sri..."
"Ya.." kata Sri setelah botol sirup dipegangnya, lalu siap menuangkannya kedalam
gelas.
"Aku takut sekali kehilangan kamu. Aku bahagia bisa menemukan kamu."
"Aku hampir kehilangan akal mas, untunglah mbak Mery tiba-tiba berbalik
menolongku."
"Apa yang membuat mbak Mery tiba-tiba berfihak kepadamu?"
"Entahlah, aku hanya bercerita tentang cinta kita, tentang hidupku yang penuh
derita."
"Pasti ada sesuatu yang membuatnya tiba-tiba bersikap begitu."
"Dia sangat mencintai Basuki."
"Ooo ?"
"Aku bilang, kalau cinta, milikilah dia, jangan membiarkannya mencumbu wanita
lain."
"Mungkin tadinya dia kesal karena Basuki menginginkan aku, lalu tiba-tiba dia
membenci Basuki."
"Bagaimana caranya kalian bisa pergi dengan tanpa halangan sementara katanya rumah
Basuki banyak penjaganya?"
"mBak Mery memberinya minuman yang dibubuhi obat tidur, sehingga dia terlelap
sampai beberapa jam."
"Lalu kalian pergi dan tak ada yang menghalangi?"
"Disana semua orang menghormati mbak Mery. Mereka mengira mbak Mery mau belanja
atau apa bersama salah seorang pelayan. Oh ya, mbak Meri memberi aku baju seragam
pelayan sebelumnya," kata Sri yang tak bisa menahan tertawanya.
Timan ikut tertawa.
"Pelayan cantik, tak adakah yang curiga?"
"Semua pelayan menghormati mbak Mery, mungkin tak ada yang memperhatikan wajahku,
yang penting aku berpakaian pelayan."
Sri meletakkan tiga gelas sirup yang sudah selesai dibuatnya, dibawanya ke meja
tamu. Timan mengikuti dibelakangnya.
"Pengalaman yang mendebarkan. Lalu... mmm..." Timan seperti ragu-ragu
mengatakannya.
"Lalu apa?"
"Apa Basuki... mm... sempat menjamah... kamu?"
"Oh, tidak mas, untunglah mbak Mery selalu melindungi aku."
"Syukurlah."
Sri dan Timan duduk berhadapan, menunggu Mery selesai mandi.
"Kalian keluar dari sana naik apa?"
"mBak Mery punya mobil, maksudnya ada mobil yang khusus dipakai mbak Mery disana."
"Lalu mobil itu?"
"mBak Mery meninggalkannya didepan sebuah warung ketika kami makan. Lalu kami naik
bis umum yang untungnya masih ada.
"Ya ampun Sri, pengalamanmu benar-benar membuat aku takut."
"Aku bersyukur sudah ketemu mas Timan. Tapi aku kangen simbah."
"Besok pak Darmin bisa pulang kerumah. Nanti aku akan menjemput simbah dan pak
Darmin agar datang kemari.
"Wah, senangnya."
"Sri, aku sudah selesai," teriak Mery dari dalam kamar."
Sri bangkit.
"Aku mandi dulu ya mas, nanti omong-omong lagi." kata Sri sambil bergegas menuju
kamarnya.
"Suruh mbak Mery minum disini."
***
Tapi hari itu yang menjemput mbah Kliwon dan pak Darmin bukan Timan, karena pak
lurah melarangnya.
"Mas Timan tidak usah menjemput kemari, biar saya saja yang mengantar pak Darmin
dan mbah Kliwon kerumah mas Timan." kata lurah Mardi waktu itu.
Hari masih pagi ketika mobil pak lurah sudah ada didepan rumah mbah Kliwon. Darmin
sudah ada disamna menunggu didepaan rumah dan berpakaian sangat rapi.
"Pak Darmin sudah siap?"
"Sudah pak lurah, terimakasih banyak telah bersedia repot-repot mengantar kami."
"Tidak apa-apa pak Darmin, Marni juga sudah kangen sama Sri."
"Saya tidak tau ada peristiwa yang membuat cemas semua orang ini, tak ada yang
memberi tau kepada saya," sesal pak Darmin.
"Memang kita sepakat tidak memberi tau pak Darmin, takutnya pak Darmin yang masih
berada didalam tahanan akan kepikiran."
"Iya, terimakasih banyak kepada semuanya."
"Mana mbah Kliwon?" tanya lurah Mardi sambil menjenguk kedalam rumah.
"Sebentar, ini membawa ketela dua karung, untuk nak Bayu dan nak Timan," teriak
mbah Kliwon dari dalam. Darmin segera bergegas kedalam membantu mengangkat hasil
kebun yang mau dibawanya kepada calon cucu mantunya.
Lurah Mardi hanya tertawa, dan membiarkan mbah Kliwon dan pak Darmin memasukkan dua
karung ketela kedalam bagasi mobilnya.
Mobil lurah Mardi segera meluncur, meninggalkan rumah mbah Kliwon. Wajah-wajah
ceria memenuhi isi mobil itu.
Namun kira-kira sepuluh meter dibelakangnya, dua orang mengikutinya. Mereka
berboncengan dengan sepeda motor tanpa mau melepaskan pandangannya kearah mobil
didepannya.
==========
Disepanjang perjalanan itu tak henti-hentinya pak Darmin mengucap syukur karena Sri
selamat dari cengkeraman Basuki.
"Saya sungguh menyesal atas perbuatan saya, tapi sungguh banyak pertolongan ketika
saya ingin berbuat baik," kata Darmin memelas.
"Benar, dan itu akan membuat hidup kamu lebih tenang," kata mbah Kliwon yang duduk
disamping menantunya itu.
"Sekarang saya tinggal berfikir, bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan," keluh
pak Darmin.
"Pak Darmin bisa membantu mbah Kliwon, banyak yang bisa dikerjakan disana pak,"
sela lurah Mardi sambil menyetir.
"Benar pak, apapun itu, yang penting bisa mendapatkan penghasilan yang halal,"
sambung Marni.
"Baiklah, apapun akan saya lakukan. Selama ini saya menjadi ayah yang tidak pantas
disebut ayah, karena memeras tenaga Sri agar aku bisa makan dan mendapatkan
kesukaan saya."
"Yang penting sekarang sudah sadar pak Darmin."
"Saya akan melakukan yang terbaik untuk hidup saya dan untuk anak saya, Sri,
harusnya saya yang mencari nafkah, bukan Sri."
"Dan jangan lupa, pak Darmin akan segera punya gawe lho," sambung Marni lagi.
"Apa itu bu lurah?"
"Lho, mas Timan akan segera melamar Sri, dan pak Darmin kan harus siap-siap
menikahkan Sri?"
"Oh iya, saya sampai lupa. Syukurlah Sri mendapat jodoh seorang laki-laki yang baik
seperti nak Timan."
"Dia sudah berkorban banyak untuk kamu Darmin, kalau tidak ada dia kamu pasti masih
mendekam ditahanan, dan segera masuk penjara," sambung mbah Kliwon.
"Dan tadinya dia juga mau menggantikan uang Basuki lho. " sambung Marni lagi.
"Bagaimana kelanjutannya tentang uang pengganti itu pak lurah?"
"Tidak usah, kami sudah mengajukan tuntutan atas perlakuan Basuki. Dia harus
melupakan uang yang sudah dibayarnya dan membebaskan Sri."
"Saya pasti juga akan kena hukuman karena perbuatan itu," kata Darmin sedih.
"Nanti dibicarakan lagi, tergantung Sri, tak mungkin dia membiarkan ayahnya
dipenjara."
"Kabar anak buah Basuki yang tertangkap itu bagaimana mas?" tanya Marni kepada
suaminya.
"Kabarnya belum mau mengaku kalau pernah bertemu Basuki. Tapi mana mungkin polisi
percaya begitu saja? Lama kelamaan dia pasti juga akan mengaku."
"Semoga Basuki segera tertangkap."
"Aamiin.." seru mbah Kliwon dan Darmin hampir bersamaan.
"Mas, ini kita mampir kerumah mas Bayu dulu kan?"
"Iya, alamatnya sudah diberikan, nanti kita berangkat bersama-sama."
***
"Bagaimana So, sudah ada titik terang?" tanya Basuki penuh harap. Kali ini tak
sabar menunggu laporan.
"Ini kami sedang mengikuti mobil yang menuju kesana tuan."
"Benar itu mau menuju ketempat Sri bersembunyi?"
"Iya tuan, kan saya sudah mendapat informasi dari pak tua itu, setelahnya saya
terus mengawasi situasi disitu. Pagi ini ada mobil menjemput pak tua, arahnya
kekota, pastilah kesana."
"Baiklah, segera laporkan perkembangannya."
"Siap tuan."
Basuki menutup ponselnya sambil tersenyum senang. Ia yakin anak buahnya tak akan
gagal, entah bagaimana caranya.
Tiba-tiba ponselnya berdering lagi, nomornya tak dikenal. Basuki enggan
mengangkatnya, tapi ponsel itu terus berdering. Terpaksa dia mengangkatnya dengan
hati-hati.
"Hallo, tuan," suara perempuan dari seberang.
"Bu Herman ?"
"Iya tuan"
"Ada apa lagi?"
"Tadi polisi datang kemari tuan."
"Polisi datang untuk apa? Herman sudah ada dirumah?"
"Belum tuan, katanya setiap hari ditanya tentang tuan Basuki."
"Herman jawab apa?"
"Tetap menjawab tidak tau, tapi tadi polisi datang kemari, memaksa saya untuk
bicara."
"Apa? Lalu kamu bicara apa?"
"Saya tetap bilang tak tau apa-apa tuan, tapi ponsel milik mas Herman diminta oleh
polisi."
"Lalu kamu berikan?"
"Mereka memaksa tuan, saya takut sekali."
"Dasar bodoh !!" Disitu kan ada nomor kontakku? Sudah dihapus belum?"
"Belum tuan, saya tidak tau cara menghapusnya."
"Bodoh !!"
"Setiap hari saya menjenguk mas Herman ditahanan, mas Herman tidak bilang apa-apa
tentang ponsel itu."
"Dia itu lebih bodoh lagi, goblog malah."
Lalu Basuki menutup ponselnya, membukanya dan membuang simcard yang ada didalamnya.
Tampaknya ia ingin melakukan sesuatu. Ia merasa hidupnya dalam bahaya. Ada
kegelisahan yang tiba-tiba menyentak.
Ia keluar masuk kamar, bingung akan apa yang sebaiknya dilakukan. Tetap dirumah
saja, atau harus pergi. Bagaimana kalau polisi menyatroni tempat tinggalnya? O,
ternyata Basuki punya rasa takut. Brtumpuk dosa yang dibuatnya, baru kali ini
membuatnya takut.
"Kalau sampai Herman ditekan terus, pastilah dia akan membuka mulutnya. Orang
eddan, gendeng.. semboro.. ceroboh !!" umpatnya berkali-kali.
Lalu dia mamsukkan nomor lain kedalam ponselnya, ia harus menelpon bandara. Satu-
satunya jalan adalah kabur keluar negri. Tapi bagaimana dengan Sri? Basuki benar-
benar jatuh hati pada Sri. Apakah itu cinta? Bukankah cinta itu tidak menyakiti?
Tapi Basuki sungguh-sungguh ingin memiliki. Itu bukan cinta, tapi nafsu. Bukan
nafsu, nafsu bisa terlampiaskan dengan siapa saja. Begitu gampang dia mendekati
seorang gadis, lalu memintanya melayani apa yang diinginkan. Jadi apa yang
dirasakan Basuki sa'at ini terhadap Sri? Pertanyaan itu juga berkecamuk dalam diri
Basuki. Sambil memegangi kepalanya disandarkannya tubuhnya ke sandaran sofa.
"Sri... Sri.. Sri.... mengapa kamu membuatku seperti ini?" keluhnya pilu.
Basuki urung menelpone bandara. Kalau polisi sudah mencurigai dirinya, Basuki yakin
justru di bandara dia akan ditangkap, karena prediksi lari keluar negri sudah pasti
ada.
Wajah Sri yang lugu sangat membuatnya tergila-gila. Banyak wanita dengan suka rela
menyerahkan tubuhnya karena dia ganteng dan banyak harta, tapi Sri berbeda, itu
membuatnya jatuh bangun.
"Sri.. kembalilah padaku Sri, aku tak akan menyakiti kamu, dan percayalah setelah
ada kamu aku tak akan mencari perempuan lain," gumamnya pelan.
Aduhai.. benarkah cinta bisa merubah segalanya? Tapi luka dan noda yang tergores
telah merusak segalanya. Merusak citranya dan tak ada yang menganggapnya sebagai
laki-laki terhormat.
"Mengapa Marso belum menelpone juga? Jauhkah jarak desanya Sri dengan rumah laki-
laki yang katanya calon suami Sri?"
Basuki lupa bahwa dia telah mengganti nomor kontaknya.
***
Mobil pak lurah Mardi sudah memasuki halaman rumah Bayu. Kedua pengikut itu mengira
disitulah rumah calon suami Sri.
Mereka bergegas pergi dengan wajah puas, dan pujian majikannya yang galak dan
diktator sudah terbayang di angan-angan mereka.
Tapi mengapa ponsel sang majikan malah mati? Berkali-kali dicobanya tidak berhasil.
Keduanya merasa aneh.
"Kita berhenti dulu untuk makan. Aku haus dan lapar," kata anak buah Basuki yang
tadi memboncengkan temannya. Jarak dari Sarangan ke Solo tidak dekat, apalagi
mereka hanya bersepeda motor.
Mereka berhenti disebuah warung, tak seberapa jauh dari rumah Bayu. Mereka memesan
makan dan minum.
"Mengapa ya tuan Basuki susah dihubungi?"
"Lupa di cas 'kali."
"Hm, kalau tidak melapor nanti dimarahi, kalau mau melapor ponselnya mati. Jadi
orang rendahan memang susah, semuanya serba salah."
Tapi sebelum pesanan mereka dihidangkan dimeja, salah satu dari mereka melihat
mobil yang tadi diikutinya melintas didepan mereka.
"Haaa? Itu.. itu..."
"Apa..?"
"Mobil yang kita ikuti... ayo cepat !!
Persis ketika pesanan sampai dimeja, keduanya kabur dan langsung menaiki sepeda
motor mereka dengan tergesa-gesa. Tak perduli pelayan warung berteriak-teriak.
"Eeeh... gimana nih paak.. paaak.."
***
"Kemana mereka? Celaka, jalan ini sangat ramai, awas, terus amati, jangan sampai
kita kehilangan jejak"
"Berarti bukan disitu rumahnya."
"Mereka hanya mampir, atau apa, salah kita, tergesa mengikuti kata hati."
"Bukan mengikuti kata hati, tapi kata tenggorokan nih, dan juga perut."
Udara panas dan perjalanan yang lumayan jauh memang membuat mereka kehausan, dan
juga kelaparan. Mereka terus mencari, dan mencari.
"Haa, itu bukan?"
"Benar, itu mobilnya, syukurlah, kita tidak kehilangan jejak."
"Jangan jauh-jauh dibelakangnya,"
"Nggak bisa, kalau terlalu dekat nanti mereka curiga, dan pasti merasa diikuti.
Biar segini saja, yang jelas dia tetap ada didepan kita."
"Baiklah, asalkan kita masih bisa mengawasi mereka."
Mobil yang mereka ikuti terus melaju, kearah selatan.
"Jauh banget rumahnya, jangan-jangan masuk ke desa-desa lagi."
Tapi mobil Bayu kemudian memasuki sebuah halaman luas, diikuti mobil lurah Mardi.
"Tuh, mereka sudah sampai rupanya."
"Pelankan motormu sambil mengawasi mereka. "
"Terus saja dulu, lalu kita balik lagi."
Mereka melewati rumah Timan, tapi belum kelihatan siapa yang turun, tapi ketika
mereka berbalik, mereka melihat kakek tua yang telah memberinya minum.
"Nah, itu kakek tua, kakeknya Sri."
Keduanya berjingkrak kegirangan.
"Sekarang ayo cari minum sambil mencoba menelpone juragan lagi."
Dengan perasaan lega mereka kemudian mencari sebuah warung. Agak jauh warung itu
dari rumah Timan, tapi mereka tak perduli . Yang penting mereka sudah yakin bahwa
rumah yang menjadi sasaran mereka sudah mereka ketahui. Tinggal bagaimana nanti
mereka harus bertindak.
Mereka sudah duduk diwarung, dan benar-benar menikmati segelas es kelapa puda yang
dipesannya.
"Mengapa ya, juragan tidak bisa dihubungi?"
"Nanti pasti dia menghubungi kita, ayo kita makan dulu dan cari penginapan."
***
Sri benar-benar gembira melihat ayahnya dan kakeknya datang. Dipeluknya mereka satu
persatu dengan linangan air mata.
"Bapak sehat? Simbah juga sehat?"
"Sangat sehat nduk, senang melihatmu selamat tak kurang suatu apa," kata mbah
Kliwon bersahutan dengan Darmin, dengan jawaban yang sama.
"Kang.. eh.. pak lurah, yu Marni...aduh.. Jarot kok tidur, mari aku tidurkan
dikamarku, hm, tidurnya nyenyak sekali."
"Sri, kamu lupa memeluk aku?" sergah Lastri yang belum juga mendapat pelukan Sri.
"Eh, ya ampun yu Lastri, ini, keburu melihat Jarot sampai lupa. Yu, sini aku peluk,
gimana kabar keponakanku ini?" kata Sri sambil mengelus perut Lastri.
"Ia merengek ingin melihat buliknya yang hilang," kata Lastri sambil tertawa.
"Mas Bayu, terimakasih banyak sudah ikut bersusah payah karena saya," kata Sri
menyapa Bayu.
"Tidak apa-apa Sri, yang penting kamu sudah kembali."
"mBak Mery, aduh mana mbak Mery. Sini yu, biar Jarot aku tidurkan dikamar," kata
Sri sambil mengambil Jarot dari gendongan Marni, lalu dibawanya masuk kekamar,
sementara Timan segera mempersilahkan tamu-tamunya duduk.
"mBak Mery kok masih dikamar, ayo keluar, aku perkenalkan sama bapak, simbah, dan
sahabat-sahabat aku."
"Anak siapa ini? Aduuh, ganteng sekali," seru Mery sambil mendekati Sri yang
perlahan menidurkan Jarot di kasurnya.
"Ini anak pak lurah," jawab Sri pelan, takut Jarot terbangun. Ia meletakkan guling
disisi Jarot, untuk menjaga agar dia tak terjatuh.
"Ayo mbak, keluar," kata Sri sambil menarik tangan Mery.
Ketika Sri dan Marni keluar, mereka sedang berbincang tentang dirinya.
"Perkenalkan, ini mbak Mery, yang telah menyelamatkan aku.." kata Sri, lalu Mery
menyalami mereka satu persatu.
"Kami atas nama keluarganya Sri, mengucapkan terimakasih atas semua kebaikan mbak
Mery, sehingga Sri bisa kembali kepada keluarganya." kata lurah Mardi setelah Mery
duduk disamping Sri.
"Terimakasih kembali, saya hanya melakukan karena saya juga ingin keluar dari sana.
Saya justru berterimakasih kepada mas Timan yang sudah memberi saya tumpangan. Saya
tidak punya siapa-siapa," kata Mery sendu.
"mBak Mery kan punya saya sekarang, jangan pernah merasa sendirian," kata Sri
sambil memeluk Mery.
Pertemuan yang penuh keramahan dan suka cita. Mereka juga disuguhin makan siang
dengan lauk yang dimasak oleh Sri.
"Ini semua masakan Sri, saya baru belajar dari dia," kata Mery sambil membantu
melayani tamu-tamu.
"Ada rujak untuk yu Lastri," kata Sri sambil menyodorkan mangkuk berisi rujak.
Lastri menerimanya dengan wajah berseri. Hampir saja ia memarahi suaminya karena
lupa membawa bekal rujak.
"Nanti bapak sama simbah jangan pulang dulu, tidur disini dulu barang sehari dua
hari, ya?" kata Timan disela sela makan.
"Nanti merepotkan, ya Min?"
"Iya, nanti merepotkan, Lagi pula kami tidak membawa ganti." sambung Darmin.
"So'al ganti gampang pak, saya punya beberapa baju yang belum pernah saya pakai,
kalau bapak sama simbah nggak suka nanti beli, didekat situ ada tuko baju lho."
"Lebih merepotlan lagi tuh."
"Tidak pak, rumah ini kalau saya kepasar hanya ada Sri dan mBak Mery, tidak apa-apa
kalau bapak sama simbah mau menginap disini beberapa hari lagi." kata Timan.
"Bagaimana pak lurah?"
"Itu terserah mbah Kliwon saja. Disana kan sudah ada yang mengurus, jadi mbah
KLiwon istirahat disini dulu sama pak Darmin."
"Iya mbah, katanya kangen sama Sri," timpal si Sri.
"Nanti kalau simbah sama bapak ingin pulang, saya yang mengantar." kata Timan.
"Lagi pula kan pak Darmin sama simbah juga ingin bicara tentang hubungannya mas
Timan sama Sri?" kata lurah Mardi.
"Iya pak, ini sebenarnya kurang sopan, harusnya saya menghadap pak Darmin
dirumahnya sana, tapi karena keadaan, saya mengatakannya disini saja ya pak," kata
Timan sambil tersipu.
"Mas Timan kok kelihatan malu-malu, bilang saja sekarang, mau ngelamar, gitu lho,"
kata Bayu menggoda sahabatnya.
"Iya pak, kalau diijinkan, saya ingin minta agar Sri boleh menjadi isteri saya,
menjadi pendamping saya selamanya."
Pak Darmin tersenyum.
"Tidak apalah melamar disini, berhubung keadaan memang sedang tidak mengijinkan,
tapi kan bapak tidak bisa menjawab, bagaimana Sri, maukah kamu menjadi isteri nak
Timan?" tanya Darmin sambil memandang Sri yang tersipu malu.
"Ayo Sri, jawab, ini disaksikan orang banyak lho."
"Terserah bapak saja," kata Sri pelan.
"Kok terserah aku, memangnya yang mau menikah itu kamu apa bapak?"
"Jawab Sri.." kata Marni dan Latri hampir bersamaan.
"Iya.."
"Iya apa?" goda Bayu.
"Iya, saya mau.."
Lalu yang hadir bertepuk tangan riuh sekali. Tiba-tiba terdengar rengekan dari
dalam kamar. Sri berlari kekamar, dan melihat Jarot sudah duduk sambil menangis.
"Ouw, sayang.. kamu sudah bangun? Kaget ya ada suara ramai?"
Sri menggendong Jarot, yang kemudian disambut Marni dengan sebotol susu yang sudah
disiapkannya.
"Berarti acara lamar melamar sudah selesai, dan berakhir bahagia karena calon
mempelai perempuan sudah setuju." kata lurah Mardi.
"Menikah disini saja Sri.. dirumah mas Timan," kata Lastri.
"Bagus, aku juga setuju," seru pak lurah.
"Baiklah, itu so'al gampang, yang penting keadaan harus benar-benar aman dulu, ya
kan?" kata Marni.
***
"Ayo kita melihat keadaan. Apakah kakek tua itu sudah pulang atau menginap disitu?"
Sebelum mereka berangkat, ponsel mereka berdering.
"Kamu sedang dimana?" tiba-tiba suara lantang mengejutkannya.
"Saya sudah di Solo tuan, sejak kemarin menghubungi tuan tidak bisa."
"Aku ganti nomor. Kalian di Solo?"
"Iya tuan, rumahnya didaerah Solo, kami sudah menemukannya."
"Kamu yakin, itu rumah tempat persembunyian mereka?"
"Yakin tuan, saya melihat kakek tua itu disana."
"Baiklah, barikan alamatnya, aku akan menyusul kesana dengan membawa mobil."
Bersambung #13

CERITA WA: Kembang Titipan #13


Cerita Bersambung
"Apa katanya ?"
"Kita harus menunggu."
"Menunggu apa?"
"Jelas kita tak bisa bekerja sendiri, tadi aku bermaksud mencari orang yang mau
membantu, minimal yang punya mobil.. Tapi ternyata juragan mau datang kemari."
"Baguslah, kalau ada dia pasti semuanya beres. Kalau begitu aku mau tidur lagi
saja."
"Sebentar, aku akan mengirimkan alamat tempat iui, biar dia datang kemari."
"Tak bisa cepat, memakan waktu dua atau tiga jam dari rumah juragan kemari. "
"Biar saja, berarti kita bisa melanjutkan tidur kita lagi pagi ini. Cepek berhari-
hari memburu orang. Aku heran pada juragan kita. Banyak orang cantik, mengapa
mengejar seorang gadis dusun yang tampak lugu dan tidak tau apa-apa."
"Justru yang lugu itu yang menarik So, juragan bosan sama gadis-gadis cantik yang
bawaannya manja, banyak menuntut. Kalau Sri ini sangat sederhana, dan barangkali
itu yang menarik."
"Mungkin juga, kalau aku sih, nggak sempat mikir perempuan cantik, bini saja jarang
ditengok, karena macam-macam tugas dari juragan."
"Yang penting kan sudah dikirim uang. Perempuan itu kalau sudah dikasih uang, sudah
pasti langsung diam dan menurut."
"Iya, kamu bener. Sekarang kita istirahat dulu, lumayan bisa merem, sambil menunggu
juragan datang. Ini kan masih pagi, lihat diluar masih remang. Matahari juga belum
tampak."
***
"Mas Timan mau ke pasar?' tanya Sri.
"Iya Sri, mau ikut?"
"Mau, mbak Mery maukah ke pasar? Aku sambil belajar jadi tukang jual buah."
"Mau, masa aku dirumah sendiri, lagi pula siapa tau aku bisa belajar berjualan dari
mas Timan. Aku masih punya uang beberapa, barangkali cukup untuk modal."
"Bagus mbak Mery, nanti saya bantu. Banyak peluang kalau mau berusaha. Kadang agak
susah sih, tapi namanya berusaha yang ada pasang surutnya."
"Nggak apa-apa mas, apapun itu kalau kita punya usaha kan lumayan bisa untuk
menyambung hidup. Jadi ini nanti sekalian mau lihat-lihat ya Sri."
"Iya. Hari masih pagi."
"Ini sudah agak kesiangan. Tapi nggak apa-apa, beberapa hari aku tinggal
daganganku, jangan-jangan ada yang busuk."
"Ayo, aku sama mbak Mery juga sudah mandi."
"Bapak sama simbah mau jalan-jalan?"
"Daripada bengong dirumah ya nggak apa-apa jalan-jalan dikota ya Min?" tanya mbah
Kliwon.
"Iya, berangkat bareng nak Timan saja, nggak apa-apa aku duduk dibelakang." Jawab
pak Darmin.
"Benar nggak apa-apa mbah?"
"Nggak apa-apa, wong cuma sebentar saja. Lagian masih pagi jadi nggak terlalu
panas."
"Nanti kalau ada apa-apa simbah telepone saya ya?"
"Iya, baiklah."
"Ayo kita berangkat sekarang," ajak Timan.
Sri memberikan sejumlah uang untuk bapaknya dan simbahnya. Sesungguhnya uang itu
dari Timan, tapi Sri yang disuruh memberikannya. Takutnya kalau Timan yang
memberikan nanti pak Darmin sama mbah Kliwon jadi merasa sungkan.
"Ini uang untuk apa nduk?"
"Kalau nanti dijalan bapak sama simbah ingin sesuatu."
"Banyak sekali."
"Sudah mbah, terima saja, kan dikota banyak barang-barang yang mungkin bapak sama
simbah ingin membelinya, misal nya baju.. atau celana.. atau sarung... Sudah dibawa
saja. Ayo kita berangkat, nanti mas Timan kesiangan.Oh ya mbah, nanti kalau simbah
sama bapak pulang duluan, kuncinya tergantung di saka teras itu."
Mau tak mau mbah Kliwon dan Darmin menerimanya. mBah Kliwon punya uang sih, kan dia
mendapat gaji dari pak lurah. Sebenarnya ia akan membaginya dengan menantunya, tapi
karena Sri memberinya, keinginan itu diurungkannya.
Pagi itu mereka berangkat bersama Timan. Mery dan Sri berdesakan didepan.
"Nggak apa-apa sempit ya mbak, kan cuma sebentar. Nggak ada setengah jam kita
sampai."
"Nggak apa-apa mas, begini-begini aku senang kok. Ini dunia saya yang baru, saya
sedang menikmatinya."
" Besok kalau usaha mbak Mery jadi, beli mobil yang bagus ya mbak," kata Sri.
"O iya... nanti buat jalan-jalan sama Sri."
"Wah.. senangnya."
"Tapi sebentar lagi kamu kan mau menikah, sebaiknya aku cari kontrakan saja."
"Mengapa harus cari kontrakan segala mbak, sumah saya kan cukup besar. Rumah
kampung sih, tapi sayang kalau uangnya buat ngontrak, mending dipakai buat modal
saja."
"Tapi kalau kalian sudah menikah kan nggak enak aku menunpang disini."
"Nggak ada yang nggak enak, kita sekarang bersaudara, susah dan senang akan kita
pikul bersama," kata Timan.
Mery terharu atas kebaikan Timan. Ini benar-benar dunia yang indah, banyak teman,
banyak saudara, banyak perhatian dan kasih sayang. Sangat berbeda dengan
kehidupannya ketika bersama Basuki. Tidak ada lelah, tidak ada pemikiran untuk
sesuatu, yang ada hanya gelimang kesenangan dan harta. Mery benar-benar menikmati
dunia barunya dan yang dianggapnya sangat indah. Inilah hidup, ada gerakan untuk
mencapai sesuau, ada yang harus dipikirkannya, dan ini membuatnya bersemangat.
***
Ketika tiba dipasar, Sri dan Mery melihat pasar itu sudah ramai. Timan langsung
mengajak keduanya kekios miliknya, dan membantu Timan menata dagangannya.
Sedangkan pak Darmin dan mbah Kliwon hanya turun didepan pasar, lalu berjalan-jalan
sendiri.
"Ada beberapa jeruk yang sudah kurang bagus Sri, bisa minta tolong memilih-milih?
Yang sudah busuk atau yang busuk buang saja kesini, ada tempat sampahnya," kata
Timan.
"Iya Sri, mari aku bantu," kata Mery.
Keduanya asyik memilih buah-buah yang masih pantas ditata dan yang harus disortir.
Tiba-tiba Mery merasa bahwa ini benar-benar menyenangkan.
Beberapa pedagang kasak-kusuk, yang didengar Timan sambil tersenyum.
"Itu sepertinya calon isterinya Timan," kata tukang buah disampingnya.
"Iya, yang baju kuning itu kan?" kata yang lainnya.
"Cantik."
"Syukurlah Timan sudah menemukan jodohnya."
"Kalau sudah begitu kan nggak ada lagi gadis-gadis yang selalu mengganggu."
"Iya, cah bagus alus.. siapa yang nggak suka. Kalau aku punya anak gadis juga mau
menjadikannya menantu."
"Kalau aku masih perawan aku juga mau,"
Lalu disambut beberapa orang tertawa lucu. Timan bukannya tidak mendengar celotehan
ibu-ibu pedagang itu, tapi ia menanggapinya sambil tersenyum.
"Orang pasar pada sibuk ngomongin kamu Sri," bisik Mery sambil menata apel
ditempatnya.
"Jadi malu aku." bisik Sri tersipu.
"Nanti kalau sudah selesai, aku kenalkan kamu pada mereka," kata Timan.
"Ibu-ibu pada suka sama mas Timan," kata Sri.
"Iya, kan sederet ini akulah yang paling ganteng," kata Timan berseloroh.
"Iya lah mas, yang lainnya kan ibu-ibu, mana ada ibu-ibu ganteng," kata Sri.
"Mas Timan, kok lama nggak kelihatan?" tiba-tiba seorang ibu mendekat dan memilik
jeruk yang selesai ditata.
"Bu, mas Timan lagi cari calon isteri, tapi sekarang sudah dapat lho." celetuk ibu
disebelah Timan.
"Oh gitu ya, mana isterinya? Ini ya, yang baju kuning mas?"
"Baru calon bu, do'akan ya," kata Timan.
"Duuh, pinternya, cari isteri cantik bener."
"Teruimakasih bu."
"Aku minta dua kilo saja, harganya nggak naik kan?"
"Untuk ibu harga biasa, Dua kilo saja?"
"Ya, pilihkan yang seger ya," kata ibu itu sambil terus mengawasi Sri yang
menundukkan muka sambil masih memilih-milih.
"Ini bu, ada yang lain?" kata Timan sambil mengulurkan bungkusan jeruk.
"Ini saja dulu. Selamat ya mas, besok aku diundang lho, kalau nikahan."
"Mohon do'anya ya bu."
"Ini uangnya mas." ibu itu tersenyum dan berlalu.
"Hari ini benar-benar heboh," gumam Timan.
"Heboh ya mas, lama tidak kelihatan, begitu kelihatan sudah membawa calon isteri,"
goda Mery.
"Hebohnya lagi, hari ini ada yang ngebantuin menata dagangan saya, mbak Mery, kalau
sendirian pasti repot sekali."
"Ternyata saya senang melakukannya."
"Oh ya?"
"Saya ingin membuka kios buah, mungkin ngontrak dulu, lalu ambil buah dari mas
Timan."
"Bagus mbak, nanti saya bantu."
"Mas, pisangnya sudah masak semua," teriak Sri.
"Taruh didepan sini,.. bagus, itu beberapa hari yang lalu saya beli masih mentah."
"Pisang kepok ini enak kalau dibuat kolak." kata Sri.
"Jadi pengin," seru Mery.
"Nanti kaau pulang bawa dua sisir, kamu yang masak ya Sri."
"Siap mas, nanti saya beli bumbunya."
"Apa sih bumbu kolak?" tanya Mery.
"Bumbu kolak itu gula jawa, kayu manis, boleh ditambah vanili atau daun pandan.
Lalu dikasih santan," jawab Sri.
"Wah, Sri itu belum menikah sudah pinter masak ya. Aku harus belajar banyak dari
kamu Sri."
"Nanti kita belajar sama-sama mbak. Saya kan bisanya masakan desa."
"Justru itu yang enak."
"Aku yang senang nih, ada yang masakin.." kata Timan.
"Makanya cepet menikah mas, jadi Sri nggak usah pulang ke desanya."
"Siaaap mbak, tunggu waktu.."
***
Setelah membantu menata dagangan Timan, Sri mengajak jalan=jalan diseputar pasar.
Banyak orang jualan makanan. Mery heran melihat semuanya. Selamanya dia belum
pernah pergi kepasar.
"Itu jual apa, kelihatannya aneh, ayo kita mendekat," kata Mery sambil menarik
tangan Sri.
"Bu, itu apa?"
"Ini namanya gempol pleret. Cah ayu bukan dari Solo ?"
"Bukan bu, enakkah ?"
"Ayo kita beli mbak, diminum disini ya bu?
"Iya, itu ada dingkliknya, duduk disitu dulu cah ayu."
Keduanya duduk dibangku pendek. Penjual gempol itu menamakannya dingklik. Dua
mangkok diterima Sri dan Mery.
"Ini apa bu?"
Yang bulat-bulat putih itu namanya gempol, lha pleretnya itu yang kecolatan
digulung kecil-kecil itu."
"Hm, enak, manis-manis gurih." kata Mery.
"Boleh dibungkus bu?"
"Boleh, Mau berapa bungkus?"
"Tiga ya bu." kata Sri.
"Eh, lima.. nanti aku masih mau lagi .." kata Mery tersipu.
Sri tertawa.
"Iya aku juga mau. Jadi lima ya bu."
Mery begitu senang ber-putar-putar dipasar. Lalu ia mengajak Sri makan disebuah
warung. Mery heran melihat nama warung itu.
"Timlo itu apa ?"
"Ayo kita masuk, aku juga pengin timlo. Kalau tidak salah timlo itu sayur berkuah,
isinya wortel, so'un, kentang goreng tipis, ada telur rebus, sama irisan sosis."
"Kelihatannya enak."
Keduanya masuk kedalam warung, dan memilih duduk didekat jalan. Sri mengabari Timan
bahwa mereka makan diwarung supaya Timan tidak menunggu mereka.
***
"Mau beli hem batik itu ya pak, kok murah harganya, barangnya bagus."
"Beli saja mana yang kamu suka, mumpung masih disini."
"Kapan kita pulang pak?"
"Kamu tidak kerasan tinggal dirumah calon menantumu?"
"Bukannya tidak kerasan, tapi sungkan kalau lama-lama."
"Ya nanti bilang saja, besok ingin pulang, gitu. Tapi nggak usah diantar kan nggak
apa-apa, yang penting kita naik kendaran umum ke Sarangan, pasti sampai dirumah."
"Saya juga mau tanya pak lurah tentang menikahkan Sri itu, kan ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi."
"Benar, itu harus difikirkan, jangan kelamaan, kasihan nak Timan tampaknya ingin
buru-buru menikah."
"Iya pak, nanti sampai dirumah kita fikirkan. Ayo ke toko itu pak, saya kok pengin
beli hem batiknya."
"Ayo, kalau ada yang cocog warnanya aku juga mau."
"Setelah ini kita cari makan, lalu pulang. Aku sudah tau harus naik angkutan kearah
mana supaya sampai dirumaah nak Timan."
Hari itu mbah KLiwon, pak Darmin Sri dan Mery menikmati jalan-jalan dikota. Tapi
tanpa mereka sadar, bahaya sedang mengancam.
***
Basuki sudah bersama kedua anak buahnya, berhenti didepn rumah Timan.
"Inikah rumahnya?"
"Iya tuan, disini rumahnya."
"Kamu yakin ?"
"Sangat yakin. Saya melihat pak tua itu turun dari mobil. Saya yakin tidak akan
keliru. Lalu apa yang akan kita lakukan?"
"Aku akan memajukan mobilku, kamu turun saja, pura-pura menanyakan sesuatu."
"Jangan saya tuan, Marso saja, kan dulu itu saya sudah pernah bertemu pak tua itu,
nanti belum-belum ketahuan kalau kita punya maksud tertentu karena tau bahwa saya
mengikuti dia."
"Ya, turun So..! Tapi kok sepi ya, seperti nggak ada orang."
Basuki memajukan mobilnya, tidak persis didepan pintu pagar. Salah seorang anak
buahnya memasuki halaman.
"Sepi.." gumamnya.
Ia naik keteras, lalu mengetuk pintu perlahan. Tak ada jawaban, tentu saja, karena
Timan mengajak tamu-tamunya jalan-jalan dikota.
"Permisi..." sapanya sambil mengetuk pintu lebih keras.
Ia kemudian berjalan dari samping rumah. Ada dua buah jendela, tertutup rapat.
Kearah belakang, sama saja, pintunya tertutup rapat.
"Berarti mereka pergi. Celaka kalau Sri tidak ditemukan disini, pasti juragan
marah-marah."
Marso kembali keluar dari halaman., berdebar karena tak menemui siapapun. Pasti
Basuki akan mendampratnya.
"Bagaimana ?" Hampir terlonjak Marso karena bentakan itu.
"Tidak ada tuan?"
"Tidak ada bagaimana? Kamu itu kalau memberi informasi yang jelas !"
"Kalau rumahnya benar ini tuan, cuma rumahnya kosong. Mungkin mereka sedang pergi."
"Bagaimana ini, kalau kamu cari pondokan didekat sini, pasti kamu bisa tau mereka
pergi atau tidak."
"Ma'af tuan."
"Ya sudah, aku mau menunggu disini saja. Kalian keluar, carikan aku makan dan
minum."
"Tuan mau makan apa?"
"Terserah, minumnya apa kan kalian sudah tau yang aku suka. Minta yang dingin.
Makannya pokoknya ada ikan. Cepat, aku akan mengawasi rumah itu."
Keduanya bergegas pergi, khawatir akan ada dampratan lain yang akan didengarnya.
***
Hari sudah siang, Basuki setengah mengantuk dibelakang kemudi, ketika tiba-tiba
dilihatnya dua orang berjalan kearahnya. Ia mengenal salah satunya adalah Darmin.
"Itu kan Darmin. Sudah bebas dia rupanya. Mana Sri? Kok tidak bersama bapaknya?
Yang tua itu kan simbahnya?? gumam Basuki. Matanya berbinar. Ada satu cara untuk
mengambil Sri. Dibiarkannya Darmin dan mbah Kliwon masuk kehalaman rumah. Basuki
turun, berdiri disudut pagar. Ada pohon perdu disitu, yang bisa dipergunakan Basuki
untuk sembunyi, sambil mengamati keduanya. Dilihatnya kedua masuk kerumah dan
menutupnya kembali.
Basuki bergegas mendekat, lalu mengetuk pintu.
==========
mBah Kliwon sedang memegang baju yang baru dibelinya, agak kebesaran, ia mencari
gunting untuk membuka jahitan pada bajunya, lalu kemudian akan dijahitnya sedikit.
Ketika mendengar ketukan itu, mbah Kliwon segera berdiri, dan gunting yang
dipegangnya dimasukkannya kedalam sakunya.
Basuki mengetuk lagi. Lalu terdengar langkah mendekat, dan seseorang membuka pintu.
"Selamat sore."
mBah Kliwon terkejut bukan alang kepalang. Ia pernah melihat Basuki sebelum Sri
diculik. Dan sekarang laki-laki jahat itu sekarang berdiri didepannya? mBah Kliwon
ingin menutupkan kembali pintunya, tapi sebelah kaki Basuki mengganjalnya.
"mBah, kan saya datang baik-baik, mengapa pintunya mau ditutup?"
"Kamu kan orang jahat yang telah menculik cucuku ?"
"Saya berniat baik mbah, ingin membahagiakan Sri, mengapa dihalangi?"
"Darmiiin," mbah Kliwon berteriak, tapi Basuki menariknya keluar, dan memegang
lengannya kuat, lalu membawanya turun kehalaman. Darmin yang waktu itu masih
dikamar mandi terkejut mendengar teriakan mertuanya.
Bergegas Darmin menuju depan rumah dan melihat mertuanya sedang ditarik-tarik
Basuki. mBah Kliwon meronta, tapi mana bisa melawan kekuatan laki-laki tinggi besar
yang dengan erat mencengkeram lengannya ?
"Basuki !! Lepaskan dia !!" Teriak Darmin marah.
Basuki menoleh, menghentikan langkahnya.
"Haa, Darmin.. kamu sudah berani menentang aku. Lupa kalau aku ini disebut tuan,
Darmin?"
"Bagiku kamu adalah setan yang merusak !! Tak akan ada hormat untuk manusia rendah
seperti kamu. Lepaskan ayah mertuaku !!"
Basuki tertawa gelak-gelak.
"Darmin.. Darmin! Darimana kamu mendapat keberanian seperti itu? Diamlah, bukankah
anakmu sudah kamu berikan kepadaku ?"
"Tidak manusia laknat ! Tidak akan aku berikan anakku kepada manusia rendah seperti
kamu. Lepaskan dia!"
Darmin semakin mendekati Basuki, betapapun kurus badannya, tak ada ketakutan
dimatanya. Ia terus mendekati Basuki, dan siap bertarung melawannya. Basuki hanya
tertawa. Ia tak hendak melepaskan mbah Kliwon yang terus meronta-ronta.
Darmin mengayunkan tangannya kearah wajah Basuki, dan dengan mudah Basuki
menepisnya dengan sebelah tangan. Justru Darmin terhuyung-huyung.
"Tuaaan.." tiba-tiba salah seorang anak buahnya yang tadi membeli makanan sudah
datang dan melihat Basuki ada dipelataran rumah Timan.
"Kemari kamu, pegang pak tua ini !!"
Marso mendekat, lalu menarik tangan mbah Kliwon sehingga mengikuti langkah Marso.
mBah Kliwon sudah terlalu tua untuk bisa melakukan perlawanan. Ia pasrah ketika
anak buah Basuki itu menariknya.
"Tolooong," mbah Kliwon berteriak dengan suara serak, berharap ada tetangga yang
mendengarnya. Tapi rumah Timan jauh dari tetangga. Disebelahnya adalah kebun-kebun,
dan beberapa ratus meter lagi baru ada rumah orang lain.
"Tolooong..." mbah Kliwon berteriak lagi.
"Diam atau aku sumpal mulut kamu, pak tua."
Kecuali tetangga agak jauh dari rumah Timan, teriakan mbah Kliwon juga tidak begitu
keras, ditambah oleh rasa gemetar ketakutan yang menghinggapinya, karenanya tak
seorangpun bisa mendengarnya.
Basuki masih menghadapi Darmin yang mengamuk, namun berkali-kali Darmin jatuh
tersungkur.
"Tuaan, ada telephone dari Supri! teriak Marso tiba-tiba."
"Biarkan saja, mau apa dia?"
"Katanya rumah disatroni polisi."
Basuki tertegun. Ia lupa bahwa Darmin masih kuat melawannya. Sebuah pukulan
menghampiri tengkuknya dan membuatnya terhuyung. Basuki meninggalkan Darmin sambil
mengelus tengkuknya. Kata-kata polisi menyatroni rumahnya membuatnya terkejut.
"Mana ponselmu !!"
"Ini tuan, Supri memnghubungi tuan tidak bisa."
Basuki mengganti nomor kontaknya dan lupa berpesan pada Supri.
"Ada apa?" tanya Basuki.
"Polisi sedang menggeledah rumah tuan, ia membawa dua wanita pelayan dan beberapa
penjaga."
Basuki menutup ponsel itu dan bergegas menuju mobil, diikuti kedua bawahannya yang
salah satunya menarik tubu mbah Kliwon.
"Berhentiiii...! Lepaskan bapakku !!" teriak Darmin yang sudah kelelahan dan
tertatih memburu kearah mobil Basuki. Namun dilihatnya mereka telah membawa mbah
Kliwon dan pergi begitu saja.
"Ya Tuhan.. ya Tuhan.. lindungilah mertuaku.." keluhnya lemas.
Darmin bingung akan melakukan apa. Ia masuk kerumah, mencari ponsel mbah Kliwon,
barangkali tidak dibawa, karena dia sendiri tidak mempunyai ponsel. Ia merasa lega
ketika melihat ponsel mbah Kliwon tergeletak diatas meja. Dibukanya ponsel itu dan
dicarinya nama Timan.
***
Tanpa menyadari apa yang terjadi dirumah, Timan mengajak Mery dan Sri mampir
kesebuah mal untuk belanja.
Sri tampak sangat takjub, karena seumur-umur baru sekali ini memasuki mal. Kali ini
Mery lah yang menuntun Sri ketika ia ingin membeli sesuatu.
"Balanjalah apa saja Sri, untuk memasak besok, membuat kolak, disini semua ada."
"Ya mas, aku bingung jadinya, ada pasar sebagus ini, sebersih ini dan selengkap
ini."
Sebenarnya Timan lebih suka belanja dipasar, serba murah dan tidak perlu mengantri
setiap kali mau membayar belanjaan. Tapi ia ingin menunjukkan kepada Sri, bahwa ada
pasar seperti ini. Sri harus tau, walau untuk selanjutnya tidak suka belanja
disitu.
Selesai membawa belanjaan, Timan menyuruhnya menitipkan di penitipan barang, lalu
mengajak keduanya naik kelantai dua, dengan melalui eskalator. Sri ketakutan ketika
Mery menuntunnya menaiki tangga berjalan itu. Ia berpegang erat pada Mery, kemudian
melompat tiba-tiba ketika sudah sampai diujungnya. Sri mengelus dada karena
berdebar-debar.
"Ya ampuun, aku takut sekali mas.."
"Kalau mau lewat tangga juga bisa, tapi capek. jadi lebih baik lewae eskalator.
Baru sekali pasti kamu sedikit takut, tapi lama kelamaan akan terbiasa."
"Ah, lebih gampang belanja dipasar ya.."
"Setidaknya kamu harus tau Sri, supaya pada suatu hari nanti kalau diajak ke mal
tidak akan merasa canggung."
"Terimakasih mas, telah memberi aku banyak pengalaman."
Dilantai dua ada banyak baju-baju bagus dipajang. Mery sudah biasa beli baju bagus,
bahkan yang harganya jutaan. Dia sama sekali tidak tertarik untuk membeli. Ia sudah
berjanji akan menjalani hidup dengan cara yang sederhana. Toh banyak baju bagus dan
pantas, dan harganya tidak harus menjulang tinggi.
"Sri, kamu mau membeli baju?"
"mBak Mery saja."
"Nggak Sri, disini semua mahal."
"Iya ya mbak, bukan main, ratusan ribu hanya untuk selembar baju. Nggak ah, beli
dipasar lebih murah." kata Sri yang terus terheran-heran melihat pajangan barang-
barang bagus disana.
"Kalau kamu mau, ambil saja."
"Ayo mbak Mery, ambil saja.. sekali-sekali pengin belanja barang mahal.." kata
Timan sambil tertawa.
Lalu keduanya memilih membeli blouse... dengan model yang sama tapi warna berbeda.
"Ini saja, tidak terlalu mahal, hanya 70.000 an."
"Iya mbak, biar mas Timan senang," bisik Sri.
Lalu mereka melihat-lihat counter sepatu...
"Aduuh, tidak.. aku sudah punya sepatu. Ini apa.. sepatu tigaratus ribu... "
Mery tersenyum, jangankan ratusan ribu, sepatu seharga jutaan dia pernah punya,
tapi tak satupun dibawanya.
"Yang diatas itu apa?" tanya Sri sambil menunjuk kelantai diatasnya.
"Itu ada arena bermain untuk anak-anak, dan ada gedung bioskup."
"Gedung bioskup? Itu untuk melihat film-film begitu?"
"Iya Sri, pada suatu hari nanti kita jalan-jalan kemari lagi untuk melihat
bioskup." kata Timan.
Sri mengangguk senang.
"Sebentar, ini kelihatannya mbah Kliwon menelpone ber-kali-kali. Ayo ke kasir dan
segera pulang. Disini terlalu ramai, tidak enak untuk menelpone," kata Timan.
Mereka pergi ke kasir, antri lumayan panjang. Sri kembali terheran-heran, mau bayar
saja pakai ngantri begitu panjang, padahal ada beberapa kasir berjajar.
"Sri, kamu tidak lupa memberi tahu bapak atau simbah bahwa kuncinya ada dibalik
saka kan?"
"Iya, sudah aku beri tahu," jawab Sri.
"Ya sudah, berarti simbah menelpone bukan karena tidak bisa membuka pintu.
Begitu keluar, Timan menelpone mbah Kliwon, yang menerima pak Darmin, dan apa yang
dikatakannya membuatnya terkejut bukan alang kepalang.
Segera ditariknya Sri dan Meri agar cepat-cepat naik ke mobil.
***
"Ada apa sih mas, kok kelihatan seperti bingung begitu?" tanya Sri yang heran
melihat sikap Timan.
"Ini gawat Sri.."
"Gawat kenapa mas?" tanya Mery ikut kaget.
"Basuki bisa sampai kerumah."
"Apa? Kerumahnya mas Timan?" pekik Sri dan Mery hampir bersamaan.
Timan mengangguk.
"Lalu apa yang dilakukannya?"
Timan tak menjawab, ia memacu mobilnya kencang, menyelinap diantara lalu lalang
kendaraan disore hari.
"Pelan-pelan mas."
"Ada apa sih mas?" tanya Sri lagi.
Timan belum menjawab, kalau dia menjawab pasti Sri langsung menangis menjerit-
jerit.
"Maaas..."
"Sebentar Sri, jalanan lagi ramai nih," Timan memberi alasan.
"Mengapa sih pakai ngebut segala? Seperti lagi diburu macan saja." keluh Sri. Tapi
ada perasaan tak enak melihat sikap Timan. Hatinya berdebar-debatr, apalagi katanya
Basuki datang kerumah Timan. Bagaimana bisa tau rumah mas Timan? pikir Sri.
Mery juga merasa cemas, kalau Basuki datang, tak mungkin dia tak melakukan apa-apa.
Disebuah perempatan Timan harus berhenti karena lampu merah. Dipergunakannya
kesempatan itu untuk menulis pesan singkat kapada Bayu, tentang kedatangan Basuki
yang membawa mbah Kliwon.
***
Bayu tekejut menerima pesan singkat dari Timan. Ia mencoba menelpone Timan tapi
tidak diangkat. Timan sedang memburu waktu, ia berharap Bayu akan menghubungi
polisi. Ia yakin tak akan bisa menyelesaikannya sendiri.
Ponsel berdering lagi. Dari pak lurah Mardi.
"Hallo pak lurah, saya baru saja mau menelpone," sapa Bayu.
"Saya tadi menelpone mas Timan tapi tidak diangkat. Teman saya di kepolisian
mengabari saya bahwa rumah Basuki sedang digeledah, tapi Basuki tak ditemukan
disana."
"Iya pak lurah, Basuki menyatroni rumah mas Timan sore ini."
"Apa?"
"Mas Timan baru saja mengirimkan pesan singkat, tapi ketika saya mencoba menelpone
tidak diangkat. Saya bermaksud mau kerumahnya sekarang, tapi mau menghubungi teman
saya dulu."
"Baiklah mas, langsung saja dilaporkan."
"Tapi dia membawa mbah Kliwon bersamanya,"
"Ya Tuhan. Segera laporkan mas, mas Bayu yang lebih dekat kan."
"Baik, lalu saya akan menyusul kerumah mas Timan, tampaknya ketika mengirim pesan
dia masih dijalan, mungkin baru keluar dari pasar."
***
Begitu memasuki pekarangan, dilihatnya pak Darmin sedang duduk di tangga teras.
Wajahnya babak belur. Sri berlari mendekati.
"Bapak, ada apa?" kata Sri sambil menubruk ayahnya. Dielusnya wajah ayahnya yang
sudah dibubuhi obat merah.
"Aku berusaha mencegah, tak berhasil, simbahmu dibawanya."
Sri menangis meraung-raung. Mery mendekati dan memeluknya.
"Sabar Sri."
"Bagaimana dia bisa sampai kemari?" tanya Timan heran.
"Aku juga heran, bagaimana dia bisa tau bahwa Sri ada disini."
"Sri, sudahlah, mas Bayu pasti sudah melapor ke polisi, simbah akan selamat."
"Jangan-jangan dia!" tiba-tiba Darmin menuding Mery dengan pandangan penuh curiga.
Sri terkejut.
"mBak Mery menolong aku, mana mungkin dia melakukannya?"
"Nyatanya Basuki tau kalau kita ada disini."
"Basuki punya banyak anak buah, siapa tau ada yang mengikuti ketika simbah menuju
kemari," kata Mery dengan suara bergetar. Dia benar-benar takut kalau orang-orang
tak mempercayinya.
Sri memeluk Mery.
"Aku percaya pada mbak Mery. Dia tak mungkin melakukannya. Mungkin benar, ada yang
mengikuti ketika pak lurah bersama bapak dan simbah datang kemari," kata Sri masih
dengan menangis.
Tapi tampaknya pak Darmin masih curiga. Demikian juga Timan.
Tapi kemudian Timan bisa berfikir lebih jernih, kalau memang Mery mau mencelakai
Sri dirumah ini, mana mungkin dia bersusah payah membawa Sri kabur dari sana.
Bayu kemudian sudah datang, bersama dua orang temannya. Mereka polisi berpakaian
preman.
Timan segera mendekat dan menceritakan semuanya. Ia juga menyesal tadi mampir ke
mal dan belanja disana.
"Kemana mereka pergi?" tanya salah seorang polisi.
"Kearah sana," jawab Darmin. Kecurigaannya pada Mery masih belum hilang.
Ketika Bayu dan temannya mau pergi, Sri dan Mery berkeras mengikutinya.
***
"mBah Kliwon bukan penakut, tapi kalau Basuki menawannya untuk kemudian ditukar
dengan Sri, itu adalah bencana
.Salah satu anak buah Basuki duduk didepan, satunya lagi duduk disamping mbah
Kliwon.
"Bolehkah saya duduk dibelakang saja?
"Mana bisa? Kamu mau kabur kan?"
"Tidak, saya ini gampang mabuk, lebih baik dibelakang saja, dan tolong dibuka
jendelanya biarpun hanya sedikit."
"Bagaimana tuan, pak tua minta dibelakang."
"Kalau aku tidak boleh duduk dibelakang, jangan salahkan kalau aku muntah-muntah
didalam mobil."
Basuki merasa jijik membayangkan ada orang yang muntah didalam mobilnya.
"Baiklah, suruh dia duduk dibelakang, tapi awasi terus."
mBah Kliwon dibiarkannya duduk dibelakang, dan dibukanya jendela sedikit saja.,
mBah Kliwon menyandarkan kepalanya, tapi begitu anak buh Basuki mau ikut duduk
dibelakang, mbah Kliwon pura-pura mau muntah.
"Huuaackkkkh..". Lalu anak buah Basuki mengurungkan niyatnya duduk dibelakang
mendaampingi mbah Kliwon.ah Kliwon merasa sedikit lega. Ia berfikir untuk kabur,
tapi bagaimana caranya? Melompat turun adalah tak mungkin. Bisa-bisa dia
terpelanting jatuh, lalu tergilas mobil yang ada dibelakangnya.
"Ya Tuhan, tolonglah hambaMu ini.." do'anya dengan bibir bergetar.
"Beri minyak angin, adakah?" teriak Basuki.
"Tidak punya tuan.."
"Awas ya, kalau mau muntah bilang, supaya jendela bisa dibuka lebih lebar, dan kamu
bisa muntah keluar. Kalau sampai muntah didalam mobil, aku hajar kamu pak tua,"
ancam Basuki tanpa belas.
mBah Kliwon terus memutar otaknya, lalu diingatnya ia membawa gunting disakunya.
Bersambung #14

CERITA WA: Kembang Titipan #14


Cerita Bersambung
Hari mulai remang ketika Sri bersama Mery mengikuti Timan. Namun tiba-tiba Sri
merasa sangat pusing . Kepalanya berdenyut dan tubuhnya merasa lemas. Tempaan
peristiwa yang bertubi-tubi membuatnya tumbang, Ia terkulai lemas, dipundak Mery.
"Sri... Sri.."
"Ada apa?" tanya Timan.
"Lihat mas, Sri pingsan." kata Mery sambil merangkul tubuh Sri
"Waduh, dingin sekali badannya. Bagaimana kalau kembali kerumah saja."kata Timan
khawatir.
"Ya mas, kembali dulu, Sri harus diberi pertolongan secepatnya."
Timan terpaksa memutar mobilnya kembali kerumah, dengan perasaan bingung.
Kejadian yang menimpa keluarga Sri membuatnya sedih. Lalu ia menyesali kepergiannya
ke mal siang tadi.
"Menyesal aku, tadi kita mampir di mal segala, padahal dirumah ada kejadian seperti
itu."
"Semoga mereka bisa menangkap Basuki. Aku sedih ketika mendengar pak Darmin tidak
mempercayai aku. Kalau aku ber niyat jahat pada Sri, pasti sudah aku lakukan sejak
kami masih ada dirumah Basuki."
"Ya sudah, lupakan saja. Pak Darmin kan sedang bingung karena kejadian itu."
"Sri... Sri.." badannya dingin sekali. Aku tidak membawa obat gosok."
"Kita sudah hampir sampai rumah. Nanti kalau tidak membaik kita bawa saja kerumah
sakit."
Begitu sampai dirumah, Timan langsung menggendong Sri dan dibawanya masuk.
"Kunci kembali pintunya mbak," pesan Timan kepada Mery sambil membawa Sri
kekamarnya. Mery mengunci kembali pintunya dan bergegas menuju kekamar Sri.
Diambilnya obat gosok yang kemudian dibalurkannya keseluruh tubuhnya yang dingin .
"Aku ambilkan teh panas dulu," kata Timan sambil melangkah keluar, membiarkan Mery
menggosok seluruh tubuh Sri dengan minyak gosok.
"Sri... sadarlah Sri... kasihan kamu Sri.. terlalu berat beban yang harus kamu
pikul," bisik Mery trenyuh sambil menggosok-gosok telapak kaki dan tangan Sri yang
terasa dingin.
Tiba-tiba Sri membuka matanya.
"Sri..."
"Mana... mana...?"
"Sri..."
"Simbah mana.. simbah mana..." bisik Sri sambil tangannya diangkat keatas. Mery
memegangnya dan mengelusnya perlahan.
"Sri.. simbah sedang dijemput mas Bayu."
"Mengapa aku disini ?"
Timan tiba-tiba masuk membawa secangkir teh hangat. Ia merasa lega melihat Sri
sudah sadar kembali.
"Sri, minum dulu tehnya," kata Timan sambil mengulurkan cangkirnya. Mery
membantunya duduk.
Sri meneguk minuman itu beberapa teguk, lalu kembali berbaring.
"Masih dingin?" tanya Timan kepada Mery.
"Sudah agak hangat, tidak dingin seperti tadi."
Timan duduk ditepi pembaringan, menatap Sri dengan pandangan trenyuh.
"Mana simbah?"
"Kamu tidak boleh terlalu memikirkan simbah, sudah banyak yang mengurus. Percayalah
bahwa simbah baik-baik saja."
"Basuki tak akan menyakiti simbah, karena dia mempergunakannya sebagai tameng."
kata Mery.
Sri terdiam, matanya berinang.
"Kemana kira-kira Basuki membawa mbah Kliwon? Ada satu tempat yang diberikan pak
lurah yang belum sempat aku datangi karena sudah ketemu Sri. mBak Mery tau? Kalau
tidak salah disebuah desa bernama Kemuning." kata Timan.
"Iyu aku tau mas, tapi menurut aku nggak mungkin Basuki membawa mbah Kliwon kesana.
Ia tak akan berani pulang kerumahnya yang dimanapun, karena polisi sudah mengetahui
semua rumah Basuki."
"Jadi dia membawa ketempat lain?"
"Sepertinya begitu mas, dan aku kira polisi sudah melacaknya kesana."
"Aku mau ikut mencari simbah.." bisik Sri.
"Baiklah, sekarang kamu harus kuat dulu, besok kita mencari lagi."kata Timan yang
mencoba menenangkan Sri.
"Mau makan Sri? "
"Tidak, kepalaku pusing."
"Makanlah dulu, aku punya persediaan obat. Setelah makan baru minum obat, lalu kamu
harus tidur."
"Besok aku boleh ikut ?"
"Tentu saja boleh Sri, tapi sekarang makan dulu ya."
Sri bangkit duduk.
"Makan disini saja, aku ambilkan," kata Mery.
"Tidak, aku tidak apa-apa," kata Sri sambil turun dari pembaringan."
"Ya sudah, mari makan bersama sekalian ya mbak Mery."
"Toong tuntun Sri mas, biar aku menyiapkan makan sekarang," kata Mery.
***
Basuki sebenarnya tidak membawa mbah Kliwon ketempat yang jauh. Ia masih ada
didalam kota. Rumah Basuki yang tak seorangpun tau, walau anak buahnya sekalipun.
Begitu turun dan mobil, Basuki heran karena mbah Kliwon keluar tanpa mengenakan
baju.
"Kemana bajumu pak tua? Kok telanjang begitu?"
"Tertinggal dimobil barangkali, coba aku lihat, kata salah seorang anak buahnya.
Tapi tak ada baju tertinggal disana.
"Tak ada baju tertinggal dimobil tuan."
"Kemana bajumu pak tua?" Basuki mengulang pertanyaannya.
"Tadi.. aku muntah.. bajuku aku pakai untuk muntahanku, lalu aku buang."
"Waduh, So.. coba lihat dimobil, apa mobilku bau muntahan?"
Salah seorang pembantu Basuki membuka pintu mobil.
"Agak apek tuan.."
"Kurangajar, semprot dengan pewangi sekarang juga,"
Basuki membuka pintu rumah diikuti pembantunya yang mengganeng lengan mbah KLiwon.
"Masukkan dia kekamar belakang dan beri dia baju."
"Sebenarnya untuk apa aku yang sudah tua ini kamu bawa kemari? Kalau untuk ditukar
dengan Sri, maka aku lebih baik mati disini, karena aku tak rela cucuku berada
ditangan orang jahat seperti kamu." kata mbah Kliwon sengit.
"Sudah, kamu diam saja pak tua, dan jangan banyak bicara. Aku sedang dikejar-kejar
polisi."
"O, jadi aku kamu jadikan tameng agar polisi tak berani menangkap kamu? Aku kira
kamu salah, polisi mana peduli sama nyawa seorang kakek tua seperti aku?"
"Sdah, jangan banyak bicara. Cepat masuk dan pakai baju yang diberikan pembantuku."
Marso menarik lengan mbah Kliwon.
"Dimana saya harus mengambil baju tuan?" tanya Marso yang memang belum pernah
menginjakkan kaki dirumah itu.
"Dibelakang ada almari. Itu tempat baju-baju pembantu kalau aku sedang berada
disini."
"Baik tuan."
Rumah itu tak begitu besar, tapi bagus. Tak seorangpun anak buahnya tau bahwa
Basuki punya rumah disitu, dan memang hal itu dirahasiakan karena kalau Basuki
sedang tak ingin diganggu maka ia tidur disitu. Ada orang-orang disekitar yang
disuruh membersihkan rumah itu setiap hari, tanpa tau siapa sebenarnya orang yang
menyuruhnya.
Basuki merasa sangat letih. Berita bahwa rumahnya diobrak abrik polisi membuatnya
kesal dan marah. Ia merasa keselamatannya sedang terancam. Tapi ia tak berani pergi
kemana-mana. Barangkali rumah itulah yang paling aman, dan mbah Kliwon akan
dijadikan senjata atau tameng apabila ada yang mengancamnya.
***
"Gimana mas, berhasil ?" tanya Lastri begitu suaminya pulang malam itu.
"Tidak Tri, rumah satunya yang katanya juga rumah Basuki ternyata kosong. Berarti
polisi masih mencari."
"Kasihan mbah Kliwon mas, sudah tua, dijadikan sandera." kat Lastri sedih.
"Tampaknya sekarang sasarannya bukan cuma Sri, sehingga dia menyandera mbah Kliwon
itu bukan untuk Sri, tapi untuk tameng apabila polisi menangkapnya.
"Kok ya ada manusia sejahat itu."
"Kasihan Sri, kata mas Timan tadi Sri pingsan, jadi nggak jadi ikut bersama aku."
"Pingsan ? Sri sakit ?"
"Mungkin karena sedihnya mendengar mbah Kliwon dibawa Basuki."
"Iya mas, orang sudah tua. Dan Sri itu kan dekat sekali dengan mbah Kliwon. Tak
heran kalau Sri sedih sekali.
"Bapaknya saja kalah ya Tri?"
"Bapaknya kan nggak pernah dekat sama Sri. Orang setiap hari dimarahi.. Tapi
untunglah sekarang pak Darmin sudah sadar."
"Mas Timan bilang, besok Sri mengajak mencari mbah Kliwon, nggak tau kemana akan
mencarinya."
"Basuki tak mungkin pulang kerumahnya mas, kan sudah tau kalau dicari polisi, dan
anak buahnya sudah banyak yang ditangkap, pasti mereka mengatakan dimana saja rumah
Basuki.,"
"Betul. Polisi juga beranggapan begitu."
"Lalu gimana mas, aku juga ikut sedih memikirkannya."
"Lastri, kamu itu sedang mengandung, jangan ikut-ikutan memikir berat. Cukup
mendo'akan saja. Nanti anakmu juga akan ikut sedih."
Lastri mengelus perutnya sendiri.
"Jangan sedih ya nak, ibu hanya prihatin memikirkan sahabat ibu," kata Lastri
lembut.
Bayu ikutan mengelusnya.
"Iya nak, jangan cengeng seperti ibu ya."
"Mas Bayu gitu ah !!" kata Lastri cemberut.
"Kan bener yang aku bilang tadi. Apa kamu tidak cengeng?"
"Kalau aku cengeng, itu karena kamu mas."
"Kok aku sih."
"Yang sering membuat aku menangis kan kamu?"
"Oh, gitu ya, kangen aku, nangis.. pengin ketemu aku.. nangis.. gitu kan? canda
Bayu.
"Ge er deh.. Mas Bayu sendiri kan.. kangen aku sakit.. aku nggak datang.. nggak mau
sembuh.." Lastri ganti meledek suaminya.
Bayu tertawa, lalu memeluk isterinya.
"Salahnya, mengapa kamu cantik..?"
"Kok salah sih."
"Salah dong, kalau kamu jelek, kudisan, nggak pernah mandi.. ya aku nggak mau lah
sama kamu, jadi salahnya kamu mengapa kamu cantik, kamu baik, kamu pintar, kamu
nggemesin."
"Mas Bayu nih, lama-lama nglantur, sudah ah.. keringatmu mulai bau nih."
"Tuh kan, mlai deh !!" kata Bayu sambil cemberut, lalu menjauh.
Lastri hanya tersenyum melihat ssuaminya masuk kekamar. Pasti ia mandi lalu
berganti pakaian yang berbau wangi.
"Cewekkah bayi yang aku kandung ini? Maunya yang wangi-wangi saja," bisik Lastri
sambil mengelus perutnya.
***
"Sri, kok belum tidur sih?"
"Aku memikirkan simbah. Sedang apakah simbah sa'at ini? Bisa tidurkah, atau jangan-
jangan disiksa oleh Basuki?" jawab Sri pilu.
"Jangan berfikir begitu. Basuki membawa mbah Kliwon, pasti maksudnya akan dijadikan
sandera, jadi tak mungkin dia menyakitinya."
"Mengapa simbah yang sudah tua itu yang dibawanya ya mbak?"
"Mungkin waktu itu dia hanya ketemu simbah."
"Simbah pasti sedih. Sudahkah dia makan?"
"Sri, sudahlah Sri, pastilah simbah dikasih makan. Ayo tidur, besok katanya mau
mengajak mas Timan mencari simbah."
"Iya, aku harus ikut mencarinya. "
"Itu sebabnya kamu harus tidur sekarang. Mau aku pijitin biar enakan tidurnya?
Masih pusingkah kamu ?"
"Nggak mbak, sudah nggak pusing lagi. "
"Dipijitin ya?"
"Ah, mbak Mery, mana mungkin aku tega melihat mbak Mery mijitin aku ?"
"Nggak apa-apa, kalau memang itu bisa membuat kamu lebih nyaman, sehingga bisa
tidur nyenyak."
"Nggak usah mbak, baiklah aku akan mencoba tidur," kata Sri kemudian memejamkan
matanya. Mery menatapnya dengan iba.
***
mBah Kliwon tidak disuruh tidur disembarang tempat. Ada sebuah kamar yang bersih
dengan dua tempat tidur yang nyaman. mBah Kliwon tidur dalam ranjang sendiri,
sedangkan Marso dan temannya diranjang yang lain yang agak besar.
Keduanya menjaga agar mbah Kliwon tidak kabur. Pastilah pintu kamar itu dikunci
rapat.
Tapi sama juga Sri, sangat susah bagi mbah Kliwon untuk memejamkan mata. Pasti
Darmin, terutama Sri, sangat sedih memikirkannya.
Makanan yang tadi dihidangkan dihadapannya, sama sekali tak disentuhnya. Mana bisa
ia menelan makanan sementara ia berada ditempat yang sama sekali ia tak tau
letaknya dimana.
"Mengapa belum tidur kek?" tanya salah satu dari penjaga itu.
mBah Kliwon ingat, dialah orang yang datang kerumahnya dan minta minum. Kemudian
ketika disuguhkannya juga ketela rebus, dia hanya menggigitnya sedikit kemudian
sisanya dikembalikannya dipiring. Kemudian mbah Kliwon baru merasa, pastilah ketika
itu dia sedang menyelidiki dimana Sri berada, dan mbah Kliwon menyesali kata-
katanya yang berceloteh tentang keberadaan Sri, kemudian dia juga mengatakan akan
mengunjunginya ketempat Timan. Pasti setelah itu dia terus mengawasi disekitar
rumah, lalu mengikuti ketika pak lurah membawanya bersama Darmin kerumah Timan.
"Ya Tuhan, ternyata semua adalah salahku." gumam mbah Kliwon pelan.
"Mengapa belum tidur mbah?" tanya yang satunya lagi.
mBah Kliwon tidak menjawab. Ia memejamkan mata, pura-pura tidur.
***
Pagi-pagi sekali Sri sudah bangun, lalu mandi dan berpakaian rapi.
"Sri, kamu sudah mandi sepagi ini?" tanya Darmin yang telah bangun terlebih dulu.
Seperti yang lainnya, Darmin juga tidak bisa tidur nyenyak. Luka-luka diwajah
akibat tersungkur beberapa kali masih terasa nyeri, walau Timan sudah memberinya
obat.
"Iya bapak, aku akan ikut mas Timan mencari simbah."
"Kamu kan semalam sakit, apa tidak lebih baik dirumah saja?"
"Sri sudah sembuh pak, sudah minum obat."
"Benar ?"
"Benar, bapak saja yang nanti nggak usah ikut, bukankah luka-luka itu masih nyeri?"
"Tidak, aku juga sudah minum obat, dan luka-luka ini sudah diobati oleh nak Timan."
"Sri, pak Darmin, ayo sarapan dulu, sudah ditungguin mas Timan nih." teriak Mery
dari belakang.
"Ayo bapak, kita sarapan dulu."
"mBak Mery masak apa?' Tanya Sri sambil mendekat.
"Masak nasi goreng. Kan kamu kemarin yang ngajarin. Rasain deh.. kurang apa," kata
Mery.
"Baunya sedap, rasanya pasti enak."
"Rasain dulu.. belum-belum sudah memuji."
"Ayo bapak, silahkan, nih aku sudah merasakan mbak, enak kok.."
"Ah, mas Timan pasti bohong."
"Bener kok, ya nggak pak, cobain Sri.."
Sri sudah menyendok nasi itu dan mencicipinya.
"Enak mbak.."
"Iya, enak," seru pak Darmin yang sudah bisa menghilangkan kecurigaannya pada Mery
karena Sri berkali-kali mengingatkannya.
Mery tersenyum senang. Mereka makan tapi tak banyak yang dibicarakan. Semuanya
tenggelam dalam pikiran masing-masing, tentang hilangnya mbah Kliwon.
"Bapak, nanti kalau bapak mau ikut, jok belakang sudah saya pasangi kap, sehingga
tertutup."
"Oh, iya nak, terimakasih banyak."
"Tapi benarkah bapak mau ikut? Sudah tidak sakitkah luka bapak itu?"
"Tidak nak, sudah baik, tidak begitu sakit."
"Baiklah, kalau sudah selesai kita siap berangkat ya, kearah yang kemarin
ditunjukkan bapak, barangkali kita bisa menemukannya.
***
Mobil Timan terus menyusuri jalanan yang arahnya ditunjukkan oleh Darmin. Ada
harapan untuk bisa menemukan mbah Kliwon, walau perjalanan itu tak tentu arah.
Sri yang duduk didepan tak banyak bicara. Dalam hati ia terus berdo'a agar bisa
menemukan simbahnya yang sangat dia sayangi, seperti simbahnya juga menyayangi
dirinya.
"Sri, kok diam saja," tegur Timan sambil menoleh kearah Sri.
"Mas.. mas... sebentar.."tiba-tiba Sri berteriak.
"Ada apa?" kata Timan kaget.
"Berhenti sebentar mas."
Timan menghentikan mobilnya dengan heran. Lalu Sri menyuruh Mery yang duduk
dipinggir untuk turun.
"Sebentar mbak, aku mau turun."
Mery juga tak mengerti, tapi ia menuruti kemauan Sri.
Sri turun dan berjalan kebelakang, agak jauh, sepuluhan ,meter dia berjalan, lalu
memungut sesuatu ditengah jalan.
"Lihat mas.." kata Sri kemudian setelah kembali kemobil. Ia menunjukkan sobekan
baju yang ditemukannya."
"Apa ini Sri?" tanya Timan heran.
"Ini sobekan baju simbah, aku mengenalnya. Bukan disobek tapi digunting," kata Sri.
Timan mengamatinya dengan heran, lalu beberapa puluh meter didepan juga
ditemukannya sobekan yang sama.
==========
Dengan heran Sri memunguti guntingan-guntingan baju mbah Kliwon.
"Ini lagi mas... ada apa ya mas, apakah mereka menyiksa simbah?" kata Sri hampir
menangis.
"Sri, jangan begitu, ayo naiklah, aku justru berfikir lain," kata Mery.
"Ini bapak.. lihatlah.., baju simbah digunting-gunting."
"Tenang dulu Sri, jangan panik begitu," kata pak Darmin yang sudah turun lalu
mendekati Sri.
"Naiklah Sri.. saya itu bukan karena simbah disiksa," kata Timan. sambil naik
kembali kemobilnya.
Mery membantu Sri agar segera duduk.
"Sudah, mbahmu tak apa-apa Sri.." kata Darmin yang kemudian naik ke jok belakang.
Sri mengusp air matanya.
"Simbah diapakan ya?" tanyanya pilu.
Timan menstarter mobilnya untuk berjalan lagi.
"Sri, jangan-jangan simbah sengaja menggunting gunting pakaiannya," kata Mery.
"Nah, aku sependapat. Ini akan membuat kita bisa menemukan dimana simbah
disembunyikan."
"Apa maksudnya?"
"Simbah ingin memberi tanda, kemana dia dibawa pergi."
"Memberi tanda ?"
"Iya Sri, agar kita bisa menemukan dia," sambung Mery.
"Aku tidak mengerti."
"Tenng dulu, amati disetiap jengkal yang kita lewati, apakah kita bisa menemukan
guntingan baju simbah lagi," lanjut Timan.
Beberapa ratus meter kemudian, Sri juga melihat guntingan baju mbah Kliwon. Timan
menghentikan mobilnya, membiarkan Sri memungut guntingan itu. Ia mulai merasakan
apa yang dikatakan Timan dan Mery.
"Benarkah simbah sengaja menggunting-gunting bajunya untuk memberi tanda kemana
Basuki membawanya pergi?" tanya Sti sambil naik kembali ke mobil.
"Percayalah Sri, dan ini adalah pertanda baik."
"Mas Timan, barangkali kita perlu mengabari polisi untuk penemuan tanda-tanda ini,"
kata Mery.
"Benar, aku akan mengirim pesan singkat ke mas Bayu saja, biar dia yang mengabari
kawan-kawannya."
***
"Benar pak lurah, saya juga sudah mendengar kalau pencarian dirumah Kemuning itu
gagal. Baiklah, terimakasih banyak pak lurah."
Bayu baru saja selesai berbicara dengan lurah Mardi. Mereka sudah tau bahwa
dirumah-rumah milik Basuki tidak diketemukan Basuki.
"Mas, jangan-jangan Basuki sudah kabur keluar negri." kata Lastri.
"Aku kira tidsk mungkin, yang berwajib sudah memberi tau setiap bandara untuk
perjalanan keluar negri atau kemana saja. Basuki sudah dicekal dimana-mana."
"Itu mas, ada pesan di ponselmu." kata Lastri ketika melihat dering di ponsel Bayu.
"Oh iya, dari mas Timan."
Bayu membaca pesan itu dan tampak senang.
"Ada apa mas ?"
"Mas Timan dan Sri menemukan serpihan-serpihan baju mbah Kliwon. Kemungkinan besar
mbah Kliwon memberi tanda."
"Oh, seperti memberikan tanda bagi pelacak ya mas. Ingat jaman pramuka. Lalu mereka
menemukannya?"
"Belum, mas Timan memberi alamat perjalanannya, aku akan mengabari ke kantor
polisi. Teman-temanku pasti senang mendengar berita ini."
"Kok bisa mbah Kliwon memberi tanda, bagaimana caranya? Apa tidak diawasi ?"
"Entahlah. Aku juga belum bisa membayangkannya. Kebetulan tadi Sri yang melihat
guntingan kain yang dikenalinya sebagai serpihan baju mbah Kliwon."
"Semoga itu memang sebuah petunjuk ya mas."
"Semoga. Sebentar, aku mengabari temanku dulu, lalu mau menelpon pak lurah juga."
***
Timan terus menyusuri jalan, dimana ditemukannya serpihan-serpihan baju mbah
Kliwon, disetiap seratus atau duaratusan meter.
Ada secercah harapan mereka akan bisa menemukan mbah Kliwon.
"Semoga simbah baik-baik saja."
Mery menepuk-nepuk paha Sri.
"Kamu harus tenang Sri, dan teruslah berdo'a. Bukankah kamu yang mengajari aku
bahwa disa'at sedih atau senang kita harus selalu mengingatNya?"
Sri mengangguk. Serpihan-serpihan baju itu masih digenggamnya.
Tapi didepan itu ada perempatan. Kemanakah Timan akan melanjutkan perjalanannya?
"Semoga diperempatan itu kita temukan lagi serpihan yang akan menunjukkan kemana
kita harus berjalan," kata Timan.
Sebelum perempatan itu Timan menghentikan mobilnya.
Pak Darmin yang ikut turun menatap kekiri dan kanan.
Harus ada yang berjalan kesemua arah, barangkali tak berapa jauh kita akan
menemukan serpihan baju bapak," kata pak Darmin.
Semuanya setuju.
Ketiganya turun dan berbagi tugas. Tiga arah didepannya harus ada satu yang
terdapat serpihan baju mbah Kliwon.
Sri berjalan kearah kiri, Mery kekanan, dan Timan lurus kedepan. Pak Darmin
menunggu di mobil.
Beberapa sa'at mereka berjalan, kemudian terdengar teriakan Mery.
"Aku mendapatkannya !!" lalu Meri setengah berlari kembali kemobil.
"Aku juga mendapatkannya !!" teriak Timan dari arah depan.
"Bagaimana ini? Mengapa bisa ada serpihan di dua arah?"
Timan kebingungan.
"Bagaimana ini mas?"
"Mungkin salah satu dari serpihan itu diterbangkan angin, atau terbawa kendaraan
lain," kata pak Darmin.
"Lalu bagaimana ini?" kata Sri bingung.
"Ayo naiklah. Aku akan berjalan terus, kalau kita tidak menemukan lagi serpihan,
berarti yang benar adalah kearah kanan."
Sri mulai khawatir, karena sudah sejauh hampir satu kilometer, tak ditemukannya
serpihan itu lagi.
"Jangan panik Sri, kita akan terus berusaha," kata Timan yang kemudian membalikkan
mobilnya, lalu berbelok kearah dimana tadi Mery menemukan serpihannya.
"Semoga ini arah yang benar," gumam Timan.
Sri berdebar ketika dikejauhan, agak ketepi dilihatnya serpihan putih.
"Itu mas, benar.. ini arah yang benar." teriak Sri.
Timan menghentikan mobilnya, membiarkan Sri mengambil serpihan itu, lalu
melanjutkan perjalanannya.
Mereka bersyukur, karena tidak salah jalan.
***
mBah Kliwon masih ada didalam kamar itu, makan dan minum dimasukkannya kedalam
kamar, Ia boleh keluar kalau ingin kekamar mandi. Tapi ia hanya sedikit memakan
makanan yang diberikan, hanya untuk menjaga agar tubuhnya tidak lemas. Ia selalu
berharap, serpihan bajunya ada yang menemukannya dan mengerti apa maksudnya.
Hari itu ketika ia ingin kebelakang, lalu salah seorang membukakan pintu untuknya,
ia mendengar Basuki berbicara dengan anak buahnya.
"Lepaslah sekarang dan ganti dengan plat nomor yang baru."
"Baiklah tuan."
"Hari ini kita akan pergi, ada rumah kontrakan diluar kota yang barangkali lebih
nyaman ditinggali."
"Jadi kita akan pindah lagi tuan?"
"Ya, aku merasa disini tidak aman.Aku sudah memesan rumah itu dan aku bayar
kontrakannya baru saja."
"Tapi tuan kan belum tau rumahnya, bagaimana kalau nanti tuan kecewa?"
"Yang penting kita jauh diluar kota, dan pemilik rumah meyakinkan aku bahwa
rumahnya tidak akan mengecewakan. Yang penting kita pergi ketempat yang tidak
terduga oleh polisi."
"Berapa lama kita akan pergi tuan?"
"Mengapa kamu bertanya begitu? Kamu bosan mengikuti aku?" hardik Basuki dengan
suara keras.
"Ma'af, bukan begitu tuan, hanya ingin tau saja."
"Diam dan lakukan saja perintahku."
"Mengapa kita harus membawa serta kakek itu tuan? Bukankah lebih baik ditinggalkan
saja disini agar tidak menjadikan beban?"
"Bodoh ! Dia harus ikut kita. Sudah, kerjakan saja apa yang aku suruh. Gantikan
sekarang juga plat nomornya."
mBah Kliwon berdebar. Kalau harus pergi lagi dari sini, maka seandainya ada yang
menemukan serpihan baju itu, lalu sampai ditempat ini, pasti akan menemukan tempat
kosong. mBah Kliwon harus mencari akal lagi.
Ketika ia kembali dari kamar mandi dilihatnya Marso sudah ada didalam kamar.
"Kita akan pergi lagi," katanya.
"Bolehkah aku meminta baju ganti, dan celana?"
"O.. ya, aku akan ambilkan. Pasti kamu takut muntah lagi dijalan kan Awas kalau
sampai membuat mobil tuan Basuki bau."
"Yang bau adalah keringat kamu !!" kata mBah Kliwon kesal.
Marso hanya nyengir kuda sambil mencium ketiaknya sendiri.
"Sebenarnya aku sudah lelah," keluh Marso.
"Itu kan salahmu sendiri, mengapa mengikuti orang kabur. Kamu tidak bersalah,
mengapa harus ikut kabur?"
"Kalau aku tidak mau ikut, aku pasti dihukum. Dan yang namanya dihukum oleh tuan
Basuki itu, hidupnya akan sengsara. Bukan hanya aku, tapi juga anak isteriku. Kalau
kesalahannya berat bisa langsung dihabisi. "
"Tapi kalau Basuki tertangkap polisi, mana bisa dia menyiksa kamu? Kamu saja yang
bodoh."
Marso terdiam.ia seperti memikirkan sesuatu. Rasa lelah tiba-tiba melingkupi
seluruh tubuhnya, seperti menderanya dalam kekalutan yang tak dimengertinya.
"Dan kalau kamu terus mengikutinya, apabila suatu sa'at Basuki tertangkap, kamu
pasti akan ikut masuk penjara." mbah Kliwon terus memanasinya ketika melihat Marso
seperti memakan kata-katanya.
Marso masih terdiam, tapi yakinlah bahwa ia mulai takut. Penjara? Tempat yang
kotor, bau, makan seadanya, kadang dibentak-bentak. Yaa, ia pernah melihat sebuah
film di televisi, bagaimana sengsaranya orang dipenjara.
"Tidaaak," gumamnya agak keras.
"Apa yang tidak?"
"Aku tidak mau ikut masuk penjara. Aku hanya bawahan yang diperintah majikan."
"Mana polisi mau tau? Kalau kamu mengikuti apa kata dan perintahnya, berarti kamu
ikut melakukan kejahatan."
Lagi-lagi Marso terdiam. Ia mulai berfikir, apa yang harus dilakukannya supaya
terlepas dari belenggu tuan Basuki.
"Ya sudah, mana baju dan celana buat ganti, kalau diajak pergi lagi takutnya muntah
lagi," kata mbah Kliwon ketika melihat Marso diam saja. Tapi kelihatan bahwa Marso
mulai simpati terhadap mbah Kliwon.
"Ya kek, sebentar aku ambilkan," kata Marso sambil keluar dari kamar.
Ketika pintu terbuka itu mBah Kliwon mendengar teriakan Basuki.
"So.. ayo berangkat sekarang !! Telingaku seperti mendengarsirene mobil polisi,"
teriaknya sambil berjalan kedepan. Dilihatnya anak buahnya sudah selesai memasang
plat nomor baru, yang pastinya plat nomor palsu.
"Ayo berangkat." katanya sambil naik keatas mobil.
"Biar kakek ini masuk lebih dulu, ia akan duduk dibelakang sendiri," kata Marso
kepada temannya.
mBah Kliwon membawa bungkusan, celana dan bajunya sudah berganti dengan celana dan
baju yang diberikan Marso, sedangkan yang dibungkus adalah celananya sendiri. Ia
duduk dibelakang seperti ketika datang.
***
"Benarkah mas? mBah Kliwon bisa memberi tanda dengan menggunting-gunting pakaiannya
dan disebar disepanjang jalan yang dilaluinya?" tanya Marni.
"Iya, rupanya dalam keadaan terdesak, keluar juga akal untuk lepas dari kesulitan."
"Kisah hilangnya Sri beberapa hari yang lalu ternyata membawa sederet peristiwa
yang bukan main. Semuga dengan ini Basuki segera bisa mengakhiri petualangannya."
"Bisa aku bayangkan bagaimana paniknya Sri dengan terjadinya peristiwa ini."
"Kehilangan mbahnya pasti membuatnya sedih. Seperti ketika mbah Kliwon kehilangan
Sri. Sampai nggak doyan makan, badannya pucat. Sekarang sebaliknya gantian Sri yang
panik."
"Benar mas, Tapi yang aku heran, bagaimana Basuki bisa menemukan rumah mas Timan."
"Itulah bu, tadinya pak Darmin dan mas Timan mencurigai Mery, tapi kalau dipikir-
pikir, mengapa Mery melakukannya?"
"Kalau aku ya nggak mungkin mbak Mery, bukankah mbak Mery sendiri yang mengajak
kabur Sri? Kalau dia mau mencelakakan Sri pasti sudah dilakukannya sejak masih
dirumah Basuki."
"Benar bu, tapi teka-teki itu belum terjawab sampai sekarang."
"Ini aku mau ke belakang dulu bu, nanti kalau ada telephone ibu angkat saja. Aku
sudah berpesan pada mas Bayu agar kalau ada apa-apa aku selalu dihubungi."
"Ya, aku dikamar mas, nungguin Jarot. Mungkin sudah sa'atnya bangun, tidurnya sudah
sejak tadi."
***
Perjalanan Timan dan Sri agak lambat karena sebentar-sebentar berhenti memungut
serpihan baju mbah Kliwon. Kadang-kadang serpihan itu sudah terlewat dan Timan
harus memundurkan lagi mobilnya agar Sri bisa mengambil serpihan itu.
"Sri, bagaimana kalau kita tidak harus selalu berhenti setiap melihat serpihan-
serpihan baju simbah?"
"Maksudnya kita lewati saja, begitu?"
"Iya Sri, so'alnya kalau sebentar-sebentar berhenti kita tidak akan segera sampai
ditempat yang kita tuju. Kita berangkat pagi-pagi dan ini hampir tengah hari."
"Iya Sri, pokoknya kita yakini bahwa itu serpihan baju mbah Kliwon, kita langsung
jalan terus saja."
"Tidak usah harus melihat apa itu benar bajunya simbah atau bukan?"
"Tidak usah, kan warnanya sudah kelihatan, putih berkembang biru."
"Ya sudah, aku ngikut saja," akhirnya kata Sri.
"Yang penting kita tidak salah jalan." sambung Mery.
"Tapi ini sudah siang, mbak Mery sama Sri tidak lapar? Kita mampir ke warung
sebentar?" Timan memperlambat laju mobilnya.
"Tidak mas, aku belum lapar, kata Mery."
"Aku juga belum. Aku ingin segera sampai ditempat simbah disembunyikan," kata Sri.
"Baiklah. So'al makan nanti gampamg ya?"
Mobil Timan terus melaju, sementara Sri dan Mery terus mengawasi serpihan yang
tampak. Setiap kali melewati jalan yang bersimpang, mereka mencoba salah satunya
dulu, kalau tidak ditemukan serpihan baju mbah Kliwon baru kembali kejalan lain,
seperti ketika pertama kali menemukan perempatan.
"Masih jauhkah?"
"Tampaknya serpihan sudah semakin jarang."
"Kapan ya berhentinya?"
"Kamu lelah Sri?"
"Tidak, aku ingin segera bertemu simbah dalam keadaan selamat."
Tiba-tiba terdengar sirene polisi melintas.
"Rupanya mas Bayu sudah melaporkan situasi ini."
"Apa mas Bayu ikut dengan polisi itu?"
"Entahlah, aku tidak tau. Biar aku telepone dia. Tolong mbak Mery, putarkan nomor
mas Bayu, biar nanti aku tinggal bicara," kata Timan sambil mengulurkan ponselnya.
Tapi sebelum Mery menerima ponsel itu, dilihatnya sebuah mobil seperti yang
dikenalnya.
"Tunggu mas, berhenti dulu." tiba-tiba kata Mery.
"Ada apa?" kata Timan sambil menghentikan mobilnya.
"Itu tadi yang lewat mobil Basuki."\
"Benarkah?"
Tanpa disuruh Timan segera memutar mobilnya.
"Itu, benar, cepat mas.."
Timan memacu mobilnya semakin dekat dengan mobil yang ditunjukkan Mery. Untunglah
mobil itu tidak berjalan terlalu cepat.
"Plat nomornya ganti, tapi aku kenal sekali mobil itu."
Bersambung #15

CERITA WA: Kembang Titipan #15


Cerita bersambung
Sri berdebar, apakah kakeknya ada didalam mobil itu?
"Benarkah mbak Mery, itu mobilnya Basuki ?" tanya Timan.
"Benar, saya yakin. Plaat nomornya diganti, tapi saya tak bisa melupakan stiker
yang ada di kaca belakang. Itu punya Basuki," kata Mery bersemangat.
Jalanan mendadak ramai, beberapa mobil menyalip mobil Timan.
"Adduh.. mengapa tiba-tiba jalanan ramai?" keluh Timan.
"Ada gedung pertemuan didepan, ini bubaran para tamu," kata Mery.
"Waduh... gimana mas?" kata Sri bingung. Sri sangat antusias agar bisa segera
ketemu simbahnya. Tapi halangan ada saja yang menghadang.
"Sabar ya Sri, setelah keramaian ini nanti aku ngebut deh, supaya bisa
mengejarnya," kata Timan melihat kegelisahan Sri.
Namun Sri benar-benar panik. Kepalanya terus melongok kedepan, dan panik karena
mobil hutam bersticker bintang itu tak lagi tampak. Mery terus menepuk-nepuk tangan
Sri untuk menenangkannya.
Kerumunan dan lalu lalang kendaraan itu mulai menyusut, Timan mempercepat laju
mobilnya.
Mobil hitam didepannya benar-benar tak tampak lagi. Timan terus memacu mobilnya.
"Hati-hati mas..." Mery mengingatkan.
Tiba-tiba Sri berteriak.
"Mas, berhenti dulu."
Timan serta merta menghentikan mobilnya kepinggir.
"Tolong mbak, aku mau turun sebentar." kata Sri karena memang Sri duduk ditengah.
Mery turun lebih dulu, membiarkan Sri turun. Pak Darmin melongok heran. Gemboskah
ban mobilnya?
"Ada apa Sri?"
"Itu pak.."
Setengah berlari Sri menuju kebelakang mobil, dan menemukan serpihan lagi. Kali itu
potongan berwarna abu-abu tua. Sri memungutnya lalu berlari mendekati mobil.
Ditunjukkannya serpihan itu.
"Bapak, ini potongan celana simbah." kata Sri sambil menunjukkan potongan kain itu.
"Simbahmu memotong-motong bajunya lagi?"
"Ini potongan celananya," lalu Sri kembali naik ke mobil.
"Ada apa Sri? " tanya Timan.
"Ada lagi serpihan kain, ini celana simbah, coba mas ikuti, barangkali simbah
kembali memberi tanda kepada kita."
"Oh iya, syukurlah, coba lagi didepan, apakah masih ada."
Dan serpihan-serpihan berwarna abu-abu itu terus ditemukannya disepanjang jalan.
Timan menelpone Bayu.
"Kami menemukan Rumah itu tapi sudah kosong," kata Bayu.
"Balik kearah timur mas, tampaknya dia menuju keluar kita. Kami menemukan lagi
jejaknya."
"Posisi mas Timan dimana?"
"Saya sudah diluar kota, sharelok ya mas."
***
"Apa ada yang mengikuti kita?" kata Basuki sambil melihat ke spion.
"Tidak ada tuan."
"Perasaanku kok tidak enak."
"Tidak ada siapa-siapa yang tampak seperti mengikuti kita, tuan."
"Pak tua membuang apa itu, kok sebentar-sebentar membuka jendela?"
"Tissue kotor, kan aku sudah bilang bahwa aku suka mabuk?" jawab mbah Kliwon.
Basuki diam, entah mengapa hatinya terasa gelisah. Ia belum pernah merasakan yang
seperti ini.
"Sebaiknya aku melalui jalan-jalan desa saja, kita hampir sampai."
"Kalau melalui jalan desa nanti kelamaan tuan, harus belok kesana kemari."
"Tidak apa-apa, aku kok merasa ada yang mengikuti."
"Ya sudah terserah tuan saja."
Basuki membelokkan mobilnya memasuki jalan kampung.
mBah Kliwon terkejut, ia pura-pura batuk lalu membuang sesuatu lewat jendela,
ketika mobilnya masih berada diujung jalan itu.
"Pak tua itu sering kali membuang-sesuatu keluar sih."
"Lha apa saya muntahkan didalam? Kalau boleh bagi saya nggak apa=apa, yang penting
perut saya lega," jawab mbah Kliwon seenaknya.
Basuki sangat kesal, tapi apa boleh buat. Tak ada yang bisa dia lakukan kecuali
mendiamkannya.bawa saja,
Mobilnya terus berjalan, walau tidak secepat ketika dijalan raya.
"Nanti kalau ada warung, belilah nasi bungkus, dimakan disana. Rumah itu bagus,
perlengkapan makan ada, kamar sudah ditata."
"Baik tuan."
"Barangkali begitu ada warung kamu turun So, mendung sangat tebal, kalau hujan kita
tidak bisa berhenti," kata Basuki.
"Baik tuan, tuan mau makan apa?"
"Apa saja, pokoknya ada ikan, toh belum tentu aku makan. Yang penting kalian, aku
tidak mau kalian mati kelaparan ketika bersama aku," kata Basuki seenaknya.
Kedua anak buahnya berpandangan lalu mengangkat pundaknya. Kendati dibantu mati-
matian, selalu kata-kata kasar yang diucapkannya.
***
Mobil Timan sudah berjalan jauh, tapi serpihan-serpihan itu tak tampak lagi.Timan
bingung, apalagi Sri.
"Kok tidak ada lagi? Jangan-jangan sebelum kita ketemukan serpihan terakhir tadi
mereka berhenti, dan tiba ditujuan," kata Sri.
Sepertinya tak ada rumah atau tempat singgah," kata Timan sambil menghentikan
mobilnya.
"Jangan-jangan dia berbelok, masuk jalan kampung," kata Mery.
"Baiklah, ayo kita kembali."
Timan pun memutar mobilnya kembali sambil mengamati kalau kalau ada belokan yang
sekiranya dilewati mobil Basuki.
"Ada belokan kekiri, kita coba masuk ya," kata Timan sambil membelokkan mobilnya.
Dan memang benar, mereka menemukan serpihan-serpihan seperti semula. Rupanya mobil
Basuki Keluar masuk kampung, tapi mereka tak akan kehilangan jejak karena selalu
ada tanda yang diberikan mbah Kliwon.
***
Namun sebelum keluar lagi ke jalan raya, hujan turun dengan tak terbendung. Dijalan
air menggenang, dan mengalirkan apa saja yang gampang hanyut. Timan benar-benar
bingung. Dimana-mana yang tampak hanyalah air.
"Aduuh, bagaimana ini?"keluh Sri.
"Tenang dulu Sri, bagaimana kalau kita berhenti dulu di warung, sambil makan dan
minum. Nanti siapa tau kalau hujan reda, tanda-tanda itu akan tampak lagi," kata
Timan.
Sesungguhnya Timan merasa kasihan kepada pak Darmin dan kedua wanita disisinya,
sudah lewat sa'atnya makan siang, jadi semua harus dipaksa untuk makan. Tanpa
menunggu jawaban mereka, Timan sudah membelokkannya kesebuah warung. Untunglah
mobilnya bisa berhenti didepan warung dimana atapnya agak menjorok keluar, sehingga
mereka bisa turun tanpa kehujanan.
Timan meminta Mery dan Sri turun, dan juga pak Darmin.
"Sebenarnya aku tidak lapar," kata Sri walau akhirnya mengikuti Timan masuk
kedalam.
"Lapar atau tidak, kita harus makan, siapa tau perjalanan kita masih jauh." Kata
Timan sambil memilih meja yang cukup untuk mereka berempat.
"Mari pak, silahkan mau pesan apa, Sri, mbak Mery."
"Sri mau makan apa?"
"Terserah mas Timan saja," kata Sri lesu.
"Jangan begitu Sri, ayo pesanlah. Ayo mbak Mery, bapak.."
"Ya sudah, berhubung hujan, makan makanan berkuah saja, biar anget,, sooto juga
nggak apa-apa." kata pak Darmin.
"Oh iya, apakah bapak kedinginan? Air hujan bisa masuk ya pak?" tanya Timan kepada
Darmin, yang tadi duduk dibelakang.
"Tidak nak, kap nya rapat sekali, tidak ada air yang masuk."
"Ya sudah, syukurlah. Ma'af ya pak, belum bisa beli mobil bagus, yang bisa memuat
lebih banyak orang," kata Timan tersipu.
"Tidak apa-apa nak, itu kan memang mobil untuk berdagang."
"Iya pak. nasi soto ya pak? mBak Mery apa? Sri apa?"
"Aku sama, nasi soto saja. Sri apa?" kata Mery.
"Aku sama saja."
"Minumnya? "
"Teh hangat saja," kata Mery yang kemudian diikuti yang lainnya.
Hujan masih sangat deras. Sri menatap kucuran air yang mengguyur diujung warung
itu, melalui talang yang terpasang.
Bagaimanapun ia tak bisa menghilangkan rasa gelisah yang terus meremas=remas
batinnya. Mery yang duduk disampingnya selalu menepuk-nepuk tangan Sri agar Sri
merasa lebih tenang.
Begitu pesanan terhidang, Sri hanya meneguk sedikit teh yang aesungguhnya
menyegarkan diudara yang dingin itu. Sri juga hanya menyendok beberapa sendok nasi
soto yang dipesankan untuknya.
Timan mendiamkannya. Ia bisa mengerti bagaimana perasaan Sri.
"Makan yang banyak Sri, nanti badan kamu lemas," kata pak Darmin yang sejak tadi
memperhatikan anaknya.
Sri menatap ayahnya sekilas, lalu mengangguk pelan.
Ponsel Timan berdering.
"Dari mas Bayu."
Timan menjawab telephone itu.
"Hallo mas,"
"Mas Timan dimana?"
"Kami sedang makan di warung mas, hujan deras sekali."
"Iya benar, kami juga sedang berhenti disebuah warung, Sudah mendapat titik
terang?"
"Gara-gara hujan ini tanda-tanda itu hilang mas, coba nanti kalau sudah sedikit
reda, karena dijalan penuh air."
"Iya, tumben hujan hari ini, beberapa hari tidak hujan ditempat saya."
"Ini mas, saya share lokasi ya. Syukur-syukur kalau sudah dekat kita bisa bertemu."
"Ya mas.. saya tunggu."
***
Mobil Basuki berhenti disebuah rumah kecil yang halamannya cukup luas. Rumah itu
terletak dipinggiran kota. Basuki merasa dia lebih aman disitu. Ada garasi mobil
disisi sebelah kiri rumah. Seorang laki-laki setengah tua membawakan payung, dan
memayungi Basuki agar tidak kehujanan sampai di teras. Sedangkan Marso dan temannya
berlarian masuk tanpa menunggu payung menjemputnya.
mBah Kliwon enggan turun. Ia menunggu laki-laki yang mungkin pemilik atau penunggu
rumah itu datang dan memayunginya.
Basuki memasuki rumah dan memeriksa kedalam. Tampaknya semua memuaskan. Perabot
yang tertata rapi, tiga kamar tidur yang sudah beralaskan sprei bersih ditiap
kasurnya, dan dapur dengan segala kelengkapannya. Itu sesuai dengan apa yang
dipesannya kepada pemilik rumah.
"Bagaimana pak? Apakah masih ada yang kurang?" tanya laki-laki yang tadi
menyambutnya.
"Tidak ada, bagus, terimakasih banyak."
"Baguslah kalau begitu."
"Bapak yang punya rumah ini?"
"Bukan, saya penunggunya yang disuruh membukakan pintu un tuk bapak."
"Oh, ya sudah, uang sewa untuk sebulan sudah saya trensfer tadi."
"Ya, ya.. ibu sudah bilang. Kalau begitu saya permisi dulu. Kalau ada apa-apa saya
tinggal disebelah situ, ada bel kalau bapak memerlukan sesuatu."
"Ya, baiklah."
"Ada mini market diujung jalan, kalau barangkali bapak ingin membeli sesuatu."
"Ya, ya, terimakasih banyak."
Laki-laki penunggu rumah itu berlalu.
"Kalian makanlah, kan tadi beli nasi bungkus dijalan."
"Tuan tidak makan, didapur lengkap ada piring, sendok, mangkok."
"Tidak, aku ingin istirahat dulu."
"Jangan lupa..Kunci pintu depan dan aku ingin beristirahat. Ada dua kamar, tapi
jangan biarkan pak tua tidur sendirian."
"Baik tuan."
"Oh nya So, masukkan mobil ke garasi. Kalau kelihatan dari luar akan sangat
berbahaya," kata Basuki sambil melemparkan kunci mobil kearah Marso.
"mBah Kliwon masuk ke salah satu kamar, entah siapa yang akan menemaninya, yang
penting ia ingin beristirahat. Nasi bungkus yang tadi diulurkan kepadanya ditinggal
diatas meja yang ada diluar kamar itu.
Pikiran mbah Kliwon tidak tenang sekarang. Hujan deras sejak keluar dari kota
sampai sekarang, apakah tidak membuat serpihan yang dibuatnya menjadi hanyut ? Dan
sebenarnya adakah yang bisa mengenali tanda-yang diberikan melalui guntingan baju
dan celananya?
"Ya Tuhan, tolonglah hambaMu ini.."
mBah Kliwon menerawang menatap langit-langit kamar yang putih bersih. Ia ingin
beristirahat, tapi hatinya tidak tenang. Bagaimana cucuku,bagaimana menantuku, itu
yang difikirkan dalam benaknya.
"Tidak bisa tidur pak?" tiba-tiba Marso muncul dikamar itu, lalu menutup pintunya.
mBah Kliwon lega ditemani Marso, karena teman yang satunya sikapnya kurang
menyenagkan. Dia adalah priya yang makan ketela rebusnya hanya secuil dan sisanya
dikembalikan ke piring, itu selalu diingatnya dan membuat dia kurang menyukainya.
Apalagi kalau diingat bahwa dialah penyebab semua malapetaka ini.
"Sampeyan saja tidurlah, mana bisa seorang tawanan tidur nyenyak," kata mbah Kliwon
kesal.
"Sebenarnya saya kasihan sama bapak."
"Untuk apa, saya tidak butuh dikasihani. Saya hanya ingin pergi."
:Lalu mbah Kliwon membalikkan tubuhnya, memunggungi Marso yang berbaring
disampingnya.
***
Bayu dan beberapa polisi akhirnya bisa menemukan dimana Timan dan yang lainnya
sedang beristirahat. Hujan masih turun, tapi tidak selebat tadi.
Sri menatap kejalanan, dan melihat masih tampak air menggenang. Ia menghela nafas,
dan merasa tak bisa mengendapkan perasaannya,
Ketika hujan reda, mereka kembali melanjutkan perjalanannya. Memang benar, tak
selembarpun serpihan celana mbah Kliwon ditemukan. Air hujan yang menggenangi
jalanan, mengalirkan semua benda yang gampang terhanyut.
Sri menatap jalanan dengan sedih. Ia tak mengucapkan apapun, dan membiarkan Timan
mengendarai mobilnya, mengikuti mobil polisi yang berjalan didepannya.
"Sri, percayalah simbahmu akan selamat. Ia bisa memberikan tanda-tanda, berarti dia
baik-baik saja," kata Mery sambil terus menepuk-nepuk tangan Sri.
***
"Pak, lebih baik bapak makan. Saya ambilkan ya?" tiba-tiba kata Marso.
"Aku tidak lapar," jawab mbah Kliwon.
"Bapak harus makan, supaya tidak lemas. Saya ambilkan ya," kata Marso yang tanpa
menunggu jawaban mbah Kliwon langsung keluar dari kamar.
"mBah Kliwon sedikit merasa senang pada Marso, karena sekarang Marso lebih
menghormati dirinya. Dia tidak memanggil pak tua seperti yang lainnya, tapi
memanggilnya bapak. Itu berarti perasaan Marso terhadap dirinya telah berubah. Dia
tidak menganggap mbah Kliwon sebagai sekedar tawanan. Mungkin ada rasa kasihan
dihati Marso dan mungkin ada kata-kata mbah Kliwon tadi yang membuatnya berubah.
"Ini pak, ayo.. makanlah dulu, saya temani," kata Marso sambil membawa makanan yang
sudah diletakkannya diatas piring.
mBah Kliwon bangkit, ada perasaan tak enak karena Marso sudah bersusah payah
meladeninya makan.
"Ayo pak, saya saja lapar, masa bapak tidak?" kata Marso sambil membuka bungkusan.
mBah Kliwon mengikutinya. Nasi gudeg yang dibawa Marso sedikit menerbitkan
seleranya. Tapi tetap saja tak banyak yang bisa masuk ke perutnya. Hatinya yang
tidak tenang membuatnya tak nyaman walau ada makanan seenak apapun.
"Setelah ini saya mau keluar sebentar."
"Mau kemana?"
"Ada yang harus saya lakukan, eh.. mau membeli.. rokok."
Setelah Makan Marso memasuki kamar temannya.
"Pinjam kunci rumah sebentar. Kamu taruh dimana ?"
"Itu dimeja, kamu mau kemana?"
"Mau, beli rokok."
"Tumben pengin merokok, kayaknya sudah lama kamu tidak merokok."
"Cuma pengin saja," kata Marso sambil mengambil kunci rumah dan bergegas kedepan.
***
"Kita kehilangan jejak," keluh Timan.
Sri berlinangan air mata. Harapan untuk bisa menemukan simbahnya pupus sudah. Mery
merasa iba.
Timan menghentikan mobilnya. Dilihatnya mobil polisi berhenti dibelakangnya
"Sri, tolong jangan menangis ya," kata Timan sambil mengusap air mata yang meleleh
dipipi kekasihnya.
Diperlakukan begitu bertambah deraslah air mata yang mengalir. Mery merangkulnya
dan menepuk nepuk punggungnya.
Tiba-tiba Mery melihat sesuatu. Seseorang berjalan melintasi mobil Timan.
Mery melepaskan pelukan Sri, dan membuka pintu mobil.
"Marso !!!" teriaknya.
==========
"Marso !! Mery mengulang panggilannya karena laki-laki tersebut seperti tak
mendengarnya. Tapi pada panggilan kedua ini Marso berhenti melangkah. Ia menoleh
dan terkejut melihat siapa yang memanggilnya.
"Bu Mery ?"
"Awas, jangan lari! Ada polisi disekitarmu ! Teriak Mery."
Tapi Marso memang tak ingin lari. Ia justru menunjuk kearah mobil polisi yang
diparkir tak seberapa jauh dari mobilnya Timan.
"Bu Mery ada disini ?"
"Ya, kamu sedang mengikuti junjunganmu kan?"
Timan turun dari mobil, dan juga polisi-polisi serta Bayu ikut turun mendengar Mery
berkata-kata dengan keras.
"Saya tadi beli sesuatu di mini market itu dan melihat ada mobil polisi, saya
justru ingin melapor."
"Melapor tentang apa pak?" tanya salah seorang polisi.
"Ini salah satu anak buah Basuki pak, tangkap saja dia."
"Tunggu pak, saya justru akan melaporkan bahwa tuan Basuki ada disekitar sini."
"Bohong kalau dia bilang mau melapor pak," sergah Mery.
"Bukankah bu Mery melihat saya berjalan kearah situ? Saya dari mini market yang ada
disebelah sana, lalu saya melihat mobil polisi dan justru ingin melapor."
"Dimana Basuki ?"
"Dirumah itu, kira-kira seratus meter dari sini," kata Marso sambil menunjuk kearah
rumah dimana Basuki ada disana.
"Apa simbahku ada disana?" tiba-tiba Sri sudah ada disamping Mery.
"Laki-laki tua itu? Ada, Dia sekamar dengan saya.
"Dimana? Dimana?" kata Sri penasaran.
"Ayo kita kesana."
"Tolong, jangan bilang kalau saya melaporkan."
"Mengapa tiba-tiba kamu melaporkan majikan kamu?"
"Saya lelah, lama-lama saya tidak suka apa yang dilakukannya, saya ingin bertobat."
"Dimana rumahnya?"
"Yang ada pohon mangga, kiri jalan, cat biru,"
Salah seorang polisi menggandeng Marso karena belum sepenuhnya percaya apa yang
dikatakan Marso.
Sri sudah lari lebih dulu, tapi kemudian Timan mengejarnya.
"Sri, sabar Sri, tunggu dulu, Basuki itu berbahaya, bagaimana kalau kamu ditangkap
sekalian?"
Sri menurut, ia berjalan dibelakang polisi dengan digandeng Timan. Tak tahan
rasanya ingin segera bertemu simbahnya.
***
"So.. Marso..." " teriak Basuki.
"Marso sedang keluar tuan," jawab salah satu anak buahnya.
"Apa? Keluar kemana?" kata Basuki berteriak.
"Katanya mau beli rokok tuan."
"Orang gila! Eddan ! Mengapa keluar?" Aku mendengar sirene mobil polisi. Apa kamu
tuli dan tidak mendengarnya?"
"Ya tuan, saya mendengarnya."
"Mengapa kamu biarkan Marso keluar?"
"Dia bilang hanya akan membeli rokok."
"Sudah lama dia tidak merokok, mengapa tiba-tiba ingin beli rokok?"
"Tadi bilang ingin sekali, begitu tuan."
"Mana sekarang, mengapa belum kembali? Tadi aku mendengar sirene mobil polisi,
Jangan-jangan dia ditangkap. Celakalah kita."
Lalu Basuki memasuki kamar mbah Kliwon. Dilihatnya mbah Kliwon berbaring sambil
memejamkan mata.
"Pak Tua, bangun.. kita harus pergi."
"Kemana lagi? Aku capek."
"Tidak boleh capek, pak tua harus mengikuti aku terus. Ayo bangun !!"
Basuki menyuruh anak buahnya untuk menarik mbah Kliwon. Terpaksa mbah Kliwon
bangun. Tadi mbah Kliwon juga mendengar sirene mobil polisi. Semoga segera ada
pertolongan, batin mbah Kliwon berharap.
"Mana Marso, mengapa lama sekali ?"
"Iya, saya juga heran mengapa lama sekali. Padahal ada mini market didekat situ."
Basuki melangkah kedepan rumah, diikuti anak buahnya yang menggandeng tangan mbah
Kliwon.
Ia bermaksud membuka garasi untuk mengeluarkan mobilnya. Namun tiba-tiba dilihatnya
beberapa polisi sudah berdiri dihalaman.
Basuki terkesiap. Ia merasa bahwa itu adalah ancaman.
"Berdiri disitu dan jangan bergerak!" hardik salah seorang polisi.
Basuki tiba-tiba menarik tubuh mbah Kliwon, lalu ia mengeluarkan sebilah pisau
belati yang sebenarnya selalu siap terselip dipinggangnya.
" Biarkan saya pergi, atau saya bunuh orang tua ini !" ancam Basuki dengan mata
merah. Sesungguhnya dia ketakutan. Bauki belum pernah berurusan dengan polisi. Ia
punya segalanya dan banyak anak buah, tapi tak seorangpun menentangnya karena ia
banyak uang. Sekarang ia harus berhadapan dengan polisi, itu membuatnya takut.
Tiba-tiba dua orang wanita muncul, Mery dan Sri. Mata Basuki menyala menatap Mery.
"Penghianat busuk !!" umpatnya sambil menudingkan belati itu kearah Mery.
"Simbaaah !!" tiba-tiba Sri berlari mendekat ketika melihat simbahnya dalam
ancaman. Tapi Timan yang ada dibelakangnya melompat dan memegang lengan Sri.
"Sabar Sri, bahaya kalau kamu mendekat," tegur Timan sambil memegangi lengan Sri.
"Aku mau simbah... simbah.."
"Sri, aku baik-baik saja.." kata mbah Kliwon dengan linangan air mata.
Sri menatap Basuki dengan mata berapi-api.
"Laki-laki pengecut !!" hardiknya keras.
Basuki menatap Sri dengan sendu. Gadis yang diimpikannya, dicintainya, berdiri
dihadapannya dengan kemarahan yang meluap-luap. Sejenak hati Basuki bergetar.
Karena gadis itulah semuanya ini terjadi. Basuki yang setengah tua, mencintai gadis
belia yang polos dan lugu, Ini dirasakan Basuki. Ia belum pernah mencintai, baru
kali ini. Dan ternyata dia tak tau bagaimana seorang pecinta harus bersikap. Ia
terlalu sombong dan mengira bahwa semua keinginanya pasti akan tercapai. Sekarang
ini, mendengar Sri menghardiknya, seketika kesombongannya tumbang. Gadis idamannya
itu mengatakan dirinya pengecut. Teriris batin Basuki.
"Sri, jangan membenciku, aku hanya ingin bertahan."
"Kamu laki-laki pengecut ! Tidak berani menghadapi akibat dari kesalahan yang
selama ini kamu lakukan, dan mempergunakan seorang tua sebagai tameng. Benar-benar
menjijikkan ! Aku kira kamu laki-laki perkasa yang tak terkalahkan, ternyata bukan,
kamu laki-laki lemah tapi merasa kuat!! Kamu tak berdaya! Kamu nista! Kamu hina!!"
teriak Sri sambil menangis. Ia juga tak mengerti, darimana datangnya keberanian
itu. Barangkali karena sangat marah melihat simbahnya dicengkeram lengannya dan
diacungi belati di tengkuknya.
Basuki terpana. Tak menyangka gadis polos yang digandrunginya bisa memakinya
demikian tajam. Bagai sembilu yang mengiris-iris jantungnya.
Belum pernah selama ini ada yang berani memakinya, semua orang terbungkuk-bungkuk
dihadapannya, tunduk takluk akan semua perintahnya. Darimana datangnya sembilu yang
ada dibibir tipis menawan itu dan kemudian melukai hatinya?
"Lepaskan simbahku kalau kamu memang laki-laki !!" teriak Sri lagi sambil menuding
kearah Basuki. Sementara polisi sedang menunggu sa'at baik untuk melumpuhkan
Basuki, Sri berhasil melumpuhkannya dengan kata-kata pedasnya. Basuki merasa lemas,
tangannya terkulai dan belati ditangannya terlepas.
Dengan sigap polisi melompat kearahnya dan meringkusnya, berikut salah seorang anak
buahnya.
Sri berlari menubruk simbahnya, merangkulnya sambil menangis haru.
"Cucuku, cucuku yang perkasa, kamu berhasil membebaskan simbah," bisik mbah Kliwon
ditelinga Sri.
Basuki diringkus dengan pasrah. Sebelum polisi memaksanya pergi, ia menatap Sri
dengan pilu.
"Sri, aku mencintai kamu Sri, semua ini karena kamu, aku ingin memiliki dan
membahagiakanmu," katanya ketika melewati Sri yang masih merangkul simbahnya. Sri
melepaskan pelukannya, menatap laki-laki gagah yang nyaris menyiksa hidupnya, dan
melihat air mata mengambang dipelupuknya. Ada rasa iba terbersit dihati Sri ketika
melihatnya. Ya Tuhan, cinta bisa membuat hidup seseorang menjadi porak-poranda.
Cinta yang melalui jalan sesat. Aduhai.
Basuki menurut ketika borgol membelenggu tangannya. Sebelum masuk ke mobil polisi,
ia sempat menatap Mery yang memandangnya tak acuh, dan melihat Marso berdiri
disana. Oo.. ternyata kamu, kata batin Basuki, tapi dia tak berdaya. Ia duduk
terbelenggu dengan salah seorang pembantunya. Merasa seperti mimpi ketika sang tuan
sekarang duduk sebagai pesakitan.
***
Bayu yang semula ikut bersama polisi sekarang mendekati mobil Timan.
"Mas Timan, aku mau duduk dibelakang bersama pak Darmin," kata Bayu.
"Aku juga mau dibelakang bersama simbah," teriak Sri nyaring. Nyaring dan ringan,
setelah semua beban terasa lepas.Tangannya terus menggandeng simbahnya.
"Aku juga mau dibelakang kalau begitu." kata Mery.
Mobilnya ada sebuah, mobil colt terbuka, tapi mereka dengan riang beramai-ramai
duduk dibelakang. Wajah-wajah mereka ceria.
"Waduh, aku sebenarnya juga ingin duduk dibelakang kelihatannya rame nih.. Tapi apa
mobilnya bisa berjalan sendiri ya?" teriak Timan sambil tertawa.
"Ya sudah, saya didepan menemani calon menantu saya," kata pak Darmin yang kemudian
membuka pintu depan.
Yang lain tertawa tawa sambil berdesakan duduk di jok belakang.
Timan mendekati Marso. Tadi polisi sudah mencatat alamat rumah dan ponsel Marso.
"Bapak mau pulang sendiri atau bersama saya?"
"Saya pulang sendiri saja pak, banyak angkutan umum."
"Baiklah, ini sekedar buat ongkos ya pak."
Timan memberikan sejumlah uang yang diterima Marso dengan senang hati.
"Terimakasih banyak pak,"
"Jangan lupa, suatu sa'at bapak pasti akan dipanggil untuk menjadi saksi. "
"Ya pak, tadi sudah diberi tau."
"Saya mengucapkan terimakasih karena bapak telah melakukan hal terbaik, sehingga
bisa membebaskan mbah Kliwon."
"Sama-sama pak, saya tergugah untuk melaporkan juga karena mbah Kliwon."
"Oh ya?"
"Saya juga mulai jenuh dengan kehidupan yang tidak menentu. Saya ingin terlepas
dari semuanya, dan ingin hidup tenang."
"Semoga yang terbaik untuk bapak ya. Hati-hati pak, saya pamit dulu."
"Selamat jalan pak, saya menunggu angkutan umum dulu.
***
Dalam perjalanan itu mbah Kliwon banyak bercerita tentang pengalamannya selama
disandera Basuki. Ia juga mengatakan bahwa yang menunjukkan rumah Timan pastilah
anak buah yang tadi ikut dibawa polisi, karena mbah Kliwon pernah memberinya minum
dan menyuguhkan ketela rebus.
"Jadi simbah tidak mengira kalau itu mata-mata Basuki?" tanya Sri.
"Sama sekali tidak. Simbah baru pulang dari rumah pak lurah, melihat dia celingak-
celinguk didepan rumah, saya tanya katanya mau minum seteguk air. Lha salahnya
mulut orang tua ini, saya ngoceh tentang Sri yang berada dirumah nak Timan, tentang
maksud saya akan menengok kerumah nak Timan segala."
"Jadi setelah itu dia terus mengawasi simbah lalu mengikuti simbah ketika berangkat
kerumah mas Timan bersama pak lurah?"
"Mungkin itulah yang terjadi. Ma'afkan orang tua ini ya, jadi merepotkan banyak
orang."
"Tidak apa-apa mbah, bukankah karena itu lalu kita bisa menangkap Basuki?" kata
Bayu menimpali.
"Iya mbah, jangan merasa bersalah."
"Tertangkapnya Basuki justru karena simbah bicara dengan orang yang salah itu,"
kata Bayu lagi.
"Yah, barangkali memang inilah jalannya."
Mery hanya mendengarkan mereka berbincang. Ia menemukan dunia yang benar-benar
belum pernah dialaminya. Persahabatan, persaudaraan, saling dukung dan berbagi, itu
terasa indah. Mery tidak menyesal telah pergi dari kehidupannya bersama Basuki,
karena ia merasa lebih nyaman sekarang. Namun ada sesuatu yang mengiris, sa'at
Basuki mengucapkan cinta kepada Sri. Laki-laki yang dicintainya, yang menemukan
banyak wanita tapi tak pernah mengucapkan cinta, sekarang kepada gadis belia yang
lugu itu ia benar-benar mengucapkannya. Tapi tidak, Mery tau bahwa ia harus memupus
rasa cintanya. Ia yakin cintanya terjatuh pada orang yang salah. Ia ingin
melupakannya.
"mBak Mery kok diam saja?" tiba-tiba kata Sri mengejutkannya.
"Oh, apa ?"
"mBak Mery melamunkan apa?"
"Tidak ada, aku kan.. mendengarkan cerita mbah Kliwon itu. Seru ceritanya."
"Iya mbak, semoga setelah ini kita hidup lebih nyaman ya mbak?"
"Benar Sri. Sudah aku bayangkan apa yang ingin aku lakukan nanti."
"Besok kita pulang kedesaku dulu ya mbak?"
"Iya Sri, kemanapun kamu, aku ikut."
"Tapi itu desa lho mbak, sepi dan tidak ramai seperti disini."
"Aku justru ingin merasakan bagaimana kehidupan desa, yang jauh dari hiruk pikuk
dan keramaian. Melihat sawah dan kebun yang menghijau, pasti menyenangkan."
"Iya mbak, kita nanti tinggal dirumah yu Lastri, boleh kan mas Bayu?" tanya Sri
kepada Bayu.
"Tentu saja boleh, kan Lastri sudah menyerahkan rumah itu untuk ditinggali mbah
Kliwon."
"Iya nak, dari rumah simbah yang reyot dan sekarang sudah dirobohkan, simbah lalu
tinggal dirumah Lastri yang lebih bagus. Tidak apa-apa nanti ramai-ramai tinggal
disana. Menikmati ketela dan jagung rebus kalau sa'atnya panen." kata mBah Kliwon.
"Hm, membayangkannya sudah senang. Jagung rebus ya, atau bakar barangkali lebih
nikmat ya mbah." kata Mery.
"Ya, pastinya nak. Apa nak Mery pernah makan jagung juga?"
"Ada tukang masaknya Basuki yang pernah membawakan jagung manis mentah, lalu
dibakar, enak sekali.. manis- sangit.. begitu." kata Mery.
"Iya, yang enak kan sangitnya itu," kata Bayu.
Perjalanan itu sungguh perjalanan yang penuh suka cita.
Didepan Timan berbincang dengan pak Darmin. Timan mengatakan ingin segera mengikat
Sri secara resmi.
"Ya nak, terserah nak Timan saja kapan, tapi seperti nak Timan ketahui, saya ini
miskin, tidak punya apa-apa, jadi ya nanti sederhana saja nikahnya." kata pak
Darmin.
"Tidak apa-apa pak, bagi saya yang penting adalah resminya. Nanti di Solo akan saya
rayakan bersama teman-teman pasar, soalnya sudah pada ribut pengin datang di
pernikahan saya nanti.
"Ya nak, terserah nak Timan. Ya beginilah nak, kalau orang tidak mampu."
"Yang penting bukan tidak mampu karena hartanya pak, tapi bapak sudah bisa melewati
kehidupan buruk yang selama ini bapak jalani."
"Saya sudah mertobat nak, sungguh menyakitkan kalau diingat. "
"Semoga dengan kehidupan sekarang kita akan merasa lebih tenang."
"Ya nak, aamiin."
Wah, dibelakang ramai sekali ya, pasti gembira dengan kembalinya simbah."
"Sudah sejak tadi mereka ramai bercanda. Biarkan saja, sudah lama Sri menderita,
semoga selanjutnya dia bisa merasa kan hidup tenang dan senang. Saya serahkan Sri
kepada nak Timan nanti, jaga dan kasihilah dia karena selama ini saya tidak bisa
melakukannya." kata pak Darmin sendu.
"Saya berjanji tak akan membiarkan lagi Sri menderita."
Ada telepon dari lurah Mardi yang menanyakan perkembangan pencarian mbah Kliwon.
Dengan gembira Timan menjawab kalau sudah selesai.
"Sudah ketemu mbah Kliwon?"
"Sudah pak lurah, ceritanya panjang, ini hampir sampai Solo, nanti saya akan cerita
lebih lengkap."
"Syukurlah, ini saya sudah di Solo, dirumah mas Bayu. Tapi mas Bayu saya telepon
tidak diangkat."
"Ooh, mereka duduk dibelakang, dan ramai sekali, mungkin tidak mendengar, pak
lurah."
"Ya sudah, saya menunggu saja, hati-hati dijalan mas Timan. Ini saya bersama isteri
dan Lastri lagi berbincang. Senang mendengar berita baik ini.
***
Sudah malam ketika mobil Timan memasuki kota Solo. Ia langsung menuju rumah, untuk
menurunkan Sri dan lain-lainnya dulu, setelahnya baru akan mengantarkan Bayu.
Karena memang lebih dulu melewati rumahnya daripada kerumah Bayu.
Namun ketika hampir memasuki halaman, Timan terkejut. Lampu teras sudah menyala,
dan ada orang duduk disana, entah siapa karena yang kelihatan hanya kepalanya.
Karena khawatir, ia menghentikan mobilnya diluar pagar, kemudian berjalan kearah
rumah sendirian. Ia melarang yang lainnya ikut turun.
Bersambung #16

CERITA WA: Kembang Titipan #16


Cerita bersambung
Timan melangkah dengan hati-hati, agar langkahnya tak menimbulkan bunyi. Siapa yang
duduk diteras dan menyalakan lampu ya?
Perlahan Timan naik keteras, lalu menepuk jidatnya sambil tertawa.
"Ya ampuun, Lastri sama bu lurah?"
Marni dan Lastri tertawa.
"Oh, rupanya kita dikira maling yu.." kata Lastri sambil merengut.
"Lha mana yang lainnya?" seru Marni.
"Masih diluar, melihat ke teras kok ada yang duduk, jangan-jangan anak buah Basuki.
Lha pak lurah mana?"
"Baru beli bensin. Sama aku nitip rujak," kata Lastri."
"Haa, malam-malam pengin rujak juga?"
"Iya tuh, ini .. yang minta anaknya mas Bayu."
"Oh, gitu ya, kalau lagi hamil dan pengin sesuatu, alasannya yang minta anaknya?"
Lastri hanya tertawa.
"Mana yang laiunya?" tanya Marni.
"Walaah, habisnya nggak kelihatan ada mobi, jadi nggak bisa nebak siapa yang
datang. Saya khawatir ada orang jahat, jadi saya suruh tunggu dulu diluar.
Sebentar, saya masukkan mobil dan isinya," kata Timan sambil tertawa, lalu setengah
berlari kembali ke mobil.
"Ada apa mas?" hampir semua bertanya dengan khawatir.
"Tidak apa-apa, tenang saja, turun nanti kalau sudah didepan rumah," kata Timan
sambil masuk ke mobilnya dan membawanya masuk ke halaman.
Begitu para 'penumpang' turun, terdengar teriakan-teriakan haru, saling peluk dan
bertangisan diantara mereka.
"Alhamdulillah Sri, kamu selamat, mbah Kliwon juga selamat," tangis Marni.
"Senang melihatmu sehat Sri...bahagia kamu sudah kembali," kata Lastri sambil
memeluk erat Sri.
"Atas do'a saudara-saudaraku ini," kata Sri yang kemudian menarik Mery.
"Ini mbak Mery, siapa yang belum kenal?"
"Aku yang belum," kata Lastri yang kemudian mengulurkan tangannya kearah Mery, dan
disambut hangat oleh Mery.
"Saya Mery,"
"Saya Lastri, isterinya mas Bayu, anak desa juga seperti Sri."
"Anak-anak desa yang luar biasa," kata Mery memuji.
"Lhah ini apa?" tiba-tiba Timan berteriak sambil menunjuk kearah meja.
"Itu, aku sama yu Marni membawa nasi dan lauk pauk, karena yakin kalau kalian pasti
lapar."
"Itu kamu yang masak Tri?' tanya Bayu kepada isterinya.
"Ya bukan lah, aku mencium bau bumbu saja mau muntah. Kami beli dijalan. Ayo Sri,
dibawa kebelakang, " kata Lastri.
"Wah, yu Lastri repot-repot, tapi syukurlah, tadi aku berencana masak setelah
sampai. Ee.. sudah ada makanan, ayo mbak kita bawa kebelakang," ajak Sri kepada
Mery.
"Mana pak lurah?" tanya Bayu.
"Lagi keluar, Lastri pengin rujak."
"Tuh kan, kamu merepotkan pak lurah Tri?" tegur Bayu sambil merangkul isterinya.
"Tidak mas Bayu, mas Mardi sekalian mau isi bensin." kata Marni.
"Itulah, karena tidak kelihatan mobilnya, jadi aku curiga, siapa yang menyalakan
lampu dan duduk-duduk diteras."
"Jadi tadi pada takut, dikira kami pencuri," kata Marni.
"Kalau yang ini memang pencuri bu lurah," kata Bayu sambil menunjuk kearah
isterinya.
Lastri melotot menatap suaminya, yang tertawa-tawa.
"Aku mencuri apa sih mas? tanya Lastri masih dengan cemberut.
"Kamu mencuri hatiku?" kata Bayu akhirnya yang disambut Marni dan Timan dengan
tertawa keras.
Lastri mencubit pinggang suaminya.
"Iih, mas Bayu, agak kesana, kamu bau."
"Lho, sudah dipeluk dari tadi baru terasa kalau bau?" kata Bayu sambil menjauh.
"Iya, tadi nggak terasa, lama-lama perutku mual."
"Mas, permisi kebelakang dulu, takut Lastri marah-marah karena bau keringat."
"Aku bawa bajumu mas, ini.. ganti sana," kata Lastri sambil membuka tasnya.
"O, sudah siap-siap rupanya."
Bayu meraih bajunya dan langsung pergi kebelakang.
Timan dan Marni hanya tertawa.
"Semoga besok kalau isteri saya mengandung justu suka mencium bau keringat saya,"
kata Timan.
"Iih, nggak mungkin deh mas. Bau keringat selalu membuat mual."
"Waduh, kalau begitu aku juga mau mandi nih," kata Timan yang langsung berdiri dan
bergegas kebelakang.
"Hari ini benar-benar menyenangkan," kata Marni.
"Eh, mbah Kliwon sama pak Darmin mengapa duduk mojok disitu?"
"Tidak apa-apa bu lurah, mau mandi dulu, nungguin ngantri kamar mandi," kata pak
Darmin.
"Lha itu kang Mardi datang. Aduuh.. mudah-mudahan rujaknya dapat.." kata Lastri
senang.
***
Malam itu pak Darmin dan mbah Kliwon juga Sri dan Mery masih ada dirumah Timan.
Mereka masih ingin menenangkan diri disana.
Pak lurah dan Bayu sudah pulang ,
Timan ingin menutupkan pintu ketika dilihatnya pak Darmin masih duduk diteras.
"Lho, bapak kok masih duduk disitu ? Ini sudah malam lho pak," tegur Timan.
"Iya nak, sebentar lagi, bapak belum bisa tidur."
Timan mendekat dan duduk dihadapan calon mertuanya.
"Bapak sedang memikirkan apa?"
"Nak, bapak ingin mengatakan lagi., bahwa bapak benar-benar titip Sri ya nak. Dia
sudah banyak menderita."
"Mengapa bapak berkata begitu? Bapak harus percaya bahwa saya benar-benar mencintai
Sri. Saya berjanji akan selalu melindungi dia, dan membuatnya bahagia."
"Terimakasih nak," kata pak Darmin dengan linangan air mata. Ia teringat hari-hari
yang telah dilaluinya, dan diyakininya pasti sangat membuat Sri mnderita/
"Aku ini orang tua yang tidak becus."
"Sudahlah pak, jangan berfikir begitu. Bapak sudah melewati semuanya dengan baik,
dan bapak sudah berjanji akan melakukan hal yang baik juga. Itu harus bapak pegang
dan jangan lagi menoleh kebelakang. Kita akan menjalani susah dan senang bersama-
sama."
"So'alnya bapak tau bahwa bapak tak akan luput dari hukuman."
"Oh, bapak memikirkan itu?"
"Basuki pasti akan mengatakan bahwa dia telah membayar bapak untuk semua hutang
bapak, dan seakan bapak telah menjual anak bapak. Itu bisa menjerat bapak dengan
hukuman yang lumayan berat."
"Pak, kami melaporkan Basuki atas penculikan terhadap Sri. Tapi tak bisa dipungkiri
semua akan terlibat. Sri, mbak Mery, pak Marso, semna harus hadir ketika dipanggil
dipersidangan. Tapi jangan khawatir, banyak yang akan membantu."
"Tapi kalau Basuki bercerita tentang hutang bapak itu?"
"Kita semua berharap yang terbaik pak, bapak harus menyerahkan semuanya kepada
Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang/. Sekarang bapak istirahat saja, jangan
memikirkan terlalu berat. Saya akan mendo'akan yang terbaik bagi kita semua."
Timan berdiri, merengkuh pak Darmin dan diajaknya masuk kedalam. Ketika masuk
kekamar, dilihatnya mbah Kliwon sudah terlelap.
***
Basuki adalah orang yang kasar, keras, diktator. Ia merasa bahwa harta yang
dimilikinya bisa mewujudkan apa yang diinginkannya. Ia tak pernah ditentang, ia
seakan disembah-sembah karena gelimang kekayaannya. Ia tak pernah susah dan ia tak
pernah merasa sakit hati.
Tapi kali ini ia merasa menjadi orang yang berbeda. Meringkuk dalam ruang pengap,
tak seorangpun menaruh hormat. Sebelumnya dia dicaci maki. Justru oleh seorang
belia yang dia gandrungi. Basuki merasa aneh. Ia benar-benar jatuh cinta. Ia benar-
benar ingin memiliki seorang isteri, dan isteri itu adalah Sri. Gadis yang berbeda.
Kembang dusun yang cantik dan polos, yang tak bergeming oleh iming-iming harta
miliknya. Ini adalah perempuan idaman dan Basuki ingin memilikinya. Namun langkah
yang salah membuatnya terjebak dalam kubangan derita.
"Sri.. Sri... ini semua karena kamu Sri..." bisiknya pilu. Baru kali ini Basuki
merasa sedih.
"Apapun aku tetap mencintai kamu Sri, aku berharap kamu bahagia, bukankah ini cinta
sejati? Aku ingin melihat kamu bahagia, aku menerima semua ini karena perbuatanku.
Aku pengecut ya Sri, aku nista.. aku hina.. Bibir tipismu yang mengatakan itu,
merajang-rajang jiwaku sampai lumat berkeping-keping," lalu Basuki mengusap air
matanya.
***
Pagi itu ketika Sri terbangun, dilihatnya Mery sudah mandi dan berdandan rapi.
"mBak Mery kok sudah cantik, mau kemana ?"
"Tidak mau kemana-mana Sri, semalam aku tidak bisa tidur."
"Mengapa mbak? Kangen sama Basuki?" ledek Sri.
Mery mencubit lengan Sri pelan.
"Tidak Sri, aku sudah melupakannya."
"Lalu mengapa tidak bisa tidur?"
"Dengar Sri, aku punya beberapa juta rupiah didalam tas merah itu. Aku bermaksud
memakainya sebagai modal berdagang."
"Bagus mbak. bukankah mas Timan sudah berjanji akan membantu? Besok kalau aku sudah
menikah, kita akan tinggal disini bersama-sama."
"Aku titipkan uang itu kepada kamu ya Sri."
"Mengapa? Bukankah mbak Mery bisa membawanya sendiri? Kalau kita pergi ke desaku
nanti, biar saja uang itu didalam almari."
"Kamu tau Sri, kalau Basuki disidang nanti, aku pasti kena. Dan kemungkinan besar
aku juga akan dihukum."
"Mengapa mbak Mery mengatakan itu?"
"Basuki dituduh menculik. Bagaimana cara dia menculik, kan kamu tau sendiri Sri,
akulah orangnya yang membawa kamu kepada Basuki."
"Tapi mbak Mery sudah berbuat baik, membebaskan aku dari cengkeraman Basuki.
Percayalah mbak Mery tak akan terkena hukuman."
"Aku juga berharap begitu, tapi seandainya terjadi, rawatlah uang itu. Aku akan
mempergunakannya ketika aku keluar dari penjara," kata Mery berlinang air mata.
Sri memeluk Mery.
"Jangan berfikir begitu mbak, semoga yang terbaiklah untuk kita semua. Mas Timan
sudah berjanji akan mencari pengacara."
"Semoga tak terjadi sesuatu yang buruk. Sekarang mandilah, aku ingin ikut mas Timan
kepasar dan berjalan jalan seperti beberapa hari yang lalu.Aku ingin melihat
peluang yang ada. Mungkin aku akan berjualan buah, tapi mungkin juga akan membuka
sebuah warung makan."
"Waah, itu hebat mbak."
"Tapi aku harus belajar masak dulu sama kamu."
"Ah, mbak Mery, nanti aku bantuin. Kita akan belajar bersama-sama ya," kata Sri
lalu mengambil handuk dan bergegas kekamar mandi.
***
Ketika sa'at persidangan itu, Sri melihat Basuki duduk dikusri pesakitan. Matanya
merah, tidak segarang biasanya. Namun ketika Basuki menatapnya, Sri merasa bahwa
Basuki sudah berubah. Tak ada mata garang, tak ada mata nyalang dan kurangajar
seperti yang dulu pernah dilihatnya. Ia justru melihat genangan air mata
dipelupuknya.
Basuki mendengarkan semua dakwaan dengan tenang. Tapi ketika ditanyakan mengapa
menculik Sri, dia mengatakan baha dia mencintainya. Tak disebutkannya bahwa dia
pernah membayar hutang pak Darmin. Dia juga mengatakan bahwa penculikan itu dibantu
oleh Mery yang mendapat ancaman darinya. Mery tidak berperan dalam penculikan itu
kecuali mendapat paksaan.
Pak Darmin yang berdebar menghadiri persidangan itu merasa lebih tenang. Tak ada
namanya disebutkan. Mery juga hanya dipanggil sebagai saksi.
Tampaknya Basuki ingin memikul semua kesalahan itu diatas pundaknya. Itu sangat
mengejutkan, sekaligus melegakan.
***
"mBak Mery mengapa melamun?"
"Sikap Basuki itu. Tampaknya aneh. Dia bukan seperti Basuki yang aku kenal. Dia
sangat lemah dan tak berdaya, dia pasrah, dan dia memikul semua kesalahan tanpa
membawa orang lain bersamanya."
"Kita harus bersyukur, bapak kan sudah ketakutan."
"Aku juga Sri."
"Lalu apakah kita harus mema'afkannya?"
"Sebaiknya kita mema;afkan dia. Dia sudah terhukum."
"Aku kasihan melihat dia berlinang air mata ketika menatapku."
"Dia berubah karena kamu Sri. Dia sungguh-sungguh mencintai kamu."
"Itu sangat menakutkan mbak."
"Tapi cinta itu tidak bisa disalahkan Sri, dia bisa saja datang kepada siapa saja,
dan dia mempunyai kekuatan yang maha dahsyat. Buktinya dia bisa berubah karena
cinta itu."
"Iya mbak, kalau teringat waktu itu ya mbak, saya hampir putus asa,"
"Dan kamu memilih mati bukan?"
"Wakyu itu bayangan saya hanya mati."
"Ya sudahlah, jangan diingat-ingat lagi. Kapan kita pulang ke desamu?"
"Besok ya mbak, sudah lama kita tinggal disini. Lagian simbah sama bapak sudah
pulang duluan. Simbah bilang mau membersihkan kamar buat kita."
"Mengapa simbah Sri, aku kan bisa membersihkannya sendiri."
"Itu kemauan simbah, dan bapak juga ingin segera membersihkan rumahnya. Ya sudah
biarkan saja mbak, yang penting mereka sudah merasa senang dan lega."
"Tinggal membucarakan hari pernikahan kamu Sri."
"Ah, mbak Mery.." kata Sri tersipu.
"Alangkah membahagiakan jadi pengantin.." gumama Mery.
"mBak Mery juga tidak bisa selamanya sendiri. Mudah-mudahan segera ada yang melamar
mbak Mery juga."di jualan buah atau warung makan
"Tidak Sri, aku sudah tua, umurku jauh diatasmu, bukan masanya berharap mendapatkan
suami."
"mBak Mery masih kelihatan muda dan cantik lho."
"Sudah, ayo bicara tentang usaha saja. Bagaimana ya sebaiknya, jadi jualan buah
atau warung makan ya."
"Terserah mbak Mery saja, aku selalu mendukung mbak Mery kok."
"Nanti bicara sama mas Timan, dan sebaiknya usaha itu dimulai kalau kamu sudah
menikah. Supaya tidak mengganggu mas Timan. Kan sekarang lagi siap-siap mau jadi
pengantin.
"Iya lah, gampang, nanti kita bicara lagi, yang jelas aku ingin segera mengajak
mbak Mery melihat desaku."
"Iya, aku juga ingin nih."
***
Didesanya, Sri mengajak jalan-jalan Mery mengitari desa dengan berjalan kaki. Mery
sangat takjup melihat pemandangan yang sangat indah disana.
"Ada tempat untuk orang-orang berwisata disana mbak,"
"Aku pernah mendengar Telaga Sarangan. Jauhkah dari sini?"
"Tidak, pak lurah berjanji akan mengajak kita kesana, biar mbak Mery tau."
"Iya Sri, aku mau. Aku juga kagum kepada yu Lastrimu itu. Katanya ia merintis usaha
pengumpulan pedagang sayur dan buah disini."
"Desa ini maju setelah kang Mardi jadi lurah. Dibantu yu Lastri kehidupan para
petani disini menjadi lebih baik. Aku bekerja membantu yu Lastri bersama simbah,
Setelah yu Lastri menikah, usaha ini dipegang sendiri oleh kang Mardi. Aku tetap
membantu bersama simbah."
***
Didesanya, pak Darmin hanya menikahkan Sri dan Timan secara sederhana. Tidak ada
pesta kecuali hanya syukuran diantara tetangga sekitar. Namun begitu Darmin merasa
lega dan pastinya bahagia mendapatkan menantu yang baik seperti Timan.
Setelah seminggu Timan mengadakan syukuran dirumahnya. Tamunya lebih banyak, karena
sesama pedagang dipasar juga diundang. Bayu ikut mengatur acara itu, karena Timan
sudah tidak punya orang tua.
Timan sangat bahagia, dia terus menggandeng isterinya dan menyalami setiap tamu
undangan yang hadir.
Banyak sahabat pedagang pasar mengagumi kedua mempelai. Mereka bak pangeran dan
puteri dari kerajaan antah berantah. Yang satu ganteng, yang satu sangat cantik.
Siapa mengira Sri gadis desa yang lugu sekarang tampak seperti puteri. digandeng
sang pangeran. Sunggingan bahagia menghiasi bibir mereka.
Jam sepuluh malam, tamu-tamu sudah bubar. Mery letih dan pulas dikamarnya.
Tapi Timan dan Sri masih terjaga. Mereka sedang mengamati hadiah-hadiah yang
diberikan para sahababatnya.
Tiba-tiba Sri melihat sebuah bungkusan kecil berwarna merah jambu. Tidak begitu
besar, tapi terbungkus sangat apik.
"Dari siapa ini ya mas? Bagus sekali."
"Buka saja Sri."
Sri membuka bungkusan dengan hati-hati. Seakan merasa sayang apabila sampai merusak
bungkusan itu.
Ada kotak kecil didalamnya, berselimut beludru berwarna kuning keemasan.
Sri berdebar membukanya.
"Haa.. sebuah kalung enas, dengan leontin berbentuk jantung berwarna merah."
"Indah sekali. Dari siapa ini mas ?" kata Sri sambil menempelkan kalng itu
didadanya."
"Coba sini aku kalungkan," kata Timan yang kemudian memasangkan kalung itu kepada
isterinya.
"Wah, cantik sekali Sri. Itu ada tulisannya, dari siapa ya."
"Sri mengambil secarik kertas kecil terselip didasar kotak."
UNTUK SRI DAN SUAMINYA, SEMOGA BAHAGIA. PAKAILAH KALUNG INI AGAR KAMU SELALU
MENDENGAR DETAK JANTUNGKU.
DARI AKU, BASUKI.
Sri melepaskan kertas itu dan terburu-buru mencopot kalungnya.
"Mengapa Sri?
"Dari Basuki, aku tidak akan memakainya."
"Jangan begitu Sri, dia memang mencintaimu. Dan jatuh cinta itu bukan dosa." kata
Timan yang mengenakan kalung ini kembali dileher isterinya.
Sri memeluk suaminya. Cinta itu bukan dosa.
Ada api memercik diperaduan, ada kidung-kidung sorga mengalun disana..
--- T A M A T ---

Anda mungkin juga menyukai