Cerita bersambung
Karya : Tien Kumalasari
Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada satu bis penuh
yang datang, bersama rombongan pak lurah Mardi. Ini pestanya Bayu dan Lastri.
Pernikahan yang diwarnai oleh gempita bahagia, yang melalui liku peritiwa yang
sangat rumit dan panjang dan semula susah dijalani. Tapi bahagia itu akhirnya
datang, bagai bintang terburai diantara gemerlap pesta yang digelar oleh keluarga
Marsudi.
Timan terus mencari-cari. Ia sudah menyalami pak lurah Mardi dan isterinya, juga bu
lurah sepuh yang ikut bersama, lalu beberapa kerabat desa yang dekat dengan Lastri.
Lalu mBak Kliwon. Timan mengamati mbah Kliwon, ada yang dicarinya, dikiri kanannya,
atau belakangnya, namun yang dicari tak juga ditemukan.
"Nak Timan..." sapaan mbak Kliwon jurstru membuatnya terkejut, karena dia tak
segera menyapanya.
"Eh, pak.. ma'af, selamat datang. Sendiri ?"
"Itu, banyak sekali yang datang bersama."
Timan menebarkan pandangan kesekelilingnya.
"Maksud saya, dik Sri ?"
"Oh... si Sri .. tidak ikut nak, nggak dibolehin sama bapaknya."
Ada yang tiba-tiba hilang dari hatinya. Jadi dia nggak datang. Timan lalu
mempersilahkan tamu-tamu duduk ditempat yang sudah disediakan.
Rasa kecewa menyelimuti hatinya, karema yang diharapkan datang ternyata takada.
Dilarang oleh bapaknya? Mengapa? Ini kan sebuah pesta, dan anak muda mana yang
nggak suka datang kesebuah pesta? Apalagi pesta seapik ini.
Ah, sudahlah, Timan kemudian menghibur dirinya dengan beramah tamah bersama pak
lurah Mardi dan isterinya, yang keli itu juga membawa anaknya yang masih bayi.
"Tidak terasa, belum sempat menengok bu lurah waktu melahirkan, tau-tau sudah
segede ini bayinya," kata Timan sambil mengelus pipi Jarot, anak pak lurah.
"Iya mas Timan, ini sudah lima bulan lebih."
"Wah, lumayan lama tidak kesana saya."
"Kapan mas Timan menyusul?" goda lurah Mardi.
Timan tertawa.
"Belm ada yang mau, pak lurah.."
"Masa sih.."
"Iya, benar, carikan deh pak."
"Benar, mau saya carikan? Gadis desa mau?"
Timan tertawa.
"Ya mau dong pak, kan Timan juga orang desa. Memangnya kenapa kalau orang desa? "
"Baguslah, nanti kita carikan ya bu," kata pak lurah sambil menoleh kearah
isterinya yang sejak tadi diam saja.
"Itu lho mas, si Sri.. dia cantik kan?" tiba-tiba kata bu lurah yang tentu saja
membuat Timan berdebar-debar.
"Haa... iya...itu cucunya mbah Kliwon."
"Ada apa, nyebut-nyebut nama saya," tiba-tiba mbah Kliwon yang duduk dikursi
belakangnya nyeletuk. Pak lurah tertawa.
"Ini mbah, mas Timan, ingin cari jodoh gadis desa. mBah Kliwon kan punya cucu yang
sudah dewasa dan cantik."
mBah Kliwon tertawa.
"Jodoh itu kan Gusti Allah yang menentukan. Kalau memang jodohnya pasti juga nanti
akan kesampaian. Ya kan nak Timan."
"Mengapa tidak diajak pak?" tanya Timan. Ia lupa tadi sudah menanyakannya.
"Anaknya ingin ikut, sudah menyiapkan baju bagus. Bapaknya itu susah. Nggak
diijinin tadi."
"Oh..."
Timan hanya mengangguk-angguk. Jawaban itu sudah didengarnya, rasa kecewa itu juga
sudah dirasakannya.
Gempita penuh bahagia itu masih berlangsung. Timan menoleh kearah pelaminan.
Dilihatnya Lastri dan Bayu dengan wajah berseri seri menerima ucapan selamat dari
para tamu undangan. Timan mengehela nafas. Ada do'a dipanjatkannya. Semoga aku akan
segera menyusulnya. Lalu terbayang wajah lugu dengan senyum malu-malu ketika
bertemu untuk pertama kalinya, tapi membuat dadanya bedebar debar.
***
Si Sri duduk dilincak depan rumahnya, memandangi bulan sepotong yang mengambang
diawang. Ada rasa kecewa ketika ayahnya melarang dirinya ikut bersama mbah Kliwon
untuk datang kepesta pernikahan Lastri.
"Tidak Sri, kamu nggak boleh ikut."
"Tapi aku bersama simbah pak."
"Biar bersama mbahmu, tetap saja nggak boleh ikut. Kamu itu sudah dewasa, nggak
pantas pergi kemana mana." kata pak Darmin sengit.
Si Sri tak menjawab. Ia tak tau mengapa kalau sudah dewasa kemudian nggak boleh
pergi kemana-mana..
"Perempuan kalau sudah dewasa harusnya tinggal dirumah saja. Bapak memberi kamu
ijin untuk membantu mbahmu, karena Lastri memberi kamu gaji yang bagus. Bisa
menambah uang buat kita makan. Tapi selain kesitu, kamu nggak boleh pergi kemana-
mana." kata pak Darmin lagi sore itu.
Si Sri termangu. Ia tetap saja tak bisa mencerna apa yang dikatakan ayahnya. Apa
dia gadis pingitan? Dia punya banyak teman sebaya, tapi orang tuanya tidak begitu
mengikat anaknya sampai nggak boleh keluar kemana-mana.
"Bagaimana ya, pengantin orang kota? Seramai pengantin disini? Lalu menanggap
wayang? Mertua yu Lastri kan orang berada. Atau ada joged-joged seperti ketika pak
lurah Mardi menikah?" gumam si Sri sambil terus memandangi rembulan. Terkadang
segumpal awan lewat, menutupi rembulan itu, sekilas, kemudian bersinar lagi dengan
sangat cemerlang.
"Enaknya jadi rembulan, bisa menatap gumpalan mega, menatap bumi dan sekitarnya,
dan mungkin juga dia sedang menatap aku," lagi-lagi si Sri bergumam.
Terdengar pintu berderit, lalu pak Darmin melongok keluar.
"Sri, kamu itu masih diluar ta?"
"Iya pak, belum ngantuk."
"Ini sudah malam, nggak bagus anak gadis sudah malam masih duduk diluar rumah."
Si Sri menghela nafas. Anak gadis nggak boleh pergi kecuali bekerja, nggak boleh
ada diluar sa'at malam, lalu apa lagi?
Tapi si Sri seorang anak yang patuh kepada orang tuanya, atau lebih tepatnya takut,
karena ayahnya sangat keras dalam bersikap. Tapi sesungguhnya dia kurang suka pada
sikap ayahnya.
Ia merasa, ibunya meninggal karena ayahnya kurang memperhatikannya.
Si Sri masih ingat, ketika ibunya sakit keras, kemudian sampai meninggal, sedih
rasanya.
Darmin adalah seorang penjudi. Harta dan rumahnya sudah habis terjual, dan
meninggalkan banyak hutang.
Kemudian ibunya sakit-sakitan. O, sedihnya ketika itu.
"Bapak, tolonglah, simbok sakit, ayo kita bawa ke dokter." kata si Sri yang waktu
itu masih kira-kira berumur 6 tahun.
"Enak saja ke dokter, memangnya ke dokter itu tidak bayar? Besok bawa saja ke mbah
Kerto, tukang pijat. Dia itu juga orang pintar. Pasti bisa menyembuhkan mbokmu,"
kate Darmin yang baru saja pulang menjelang pagi, lalu langsung masuk kekamarnya
dan tak lama kemudian terdengar dengkurnya yang keras.
"Sudah Sri, kamu tidak usah bilang apa-apa pada bapakmu, simbok tidak apa-apa.,
kembalilah tidur," kata ibunya lemah.
Si Sri membaringkan tubuhnya disamping ibunya, memegangi keningnya yang terasa
panas."
"Simbok panas sekali."
"Tidak apa-apa. Besok carilah daun dadap serep untuk mengompres simbokmu ini. Pasti
panasnya turun."
Si Sri kecil belum bisa berfikir jauh. Ia tidak tau apa benar daun dadap bisa
menyembuhkan ibunya. Pagi-pagi dia berjalan menyusuri kampung dan bertanya kepada
setiap orang apa ada yang mempunyai pohon dadap.
Lalu pohon itu ditemukannya. Si Sri minta beberapa lembar lalu dibawanya pulang.
Dirumah bapaknya belum bangun.
Ibunya masih tergolek ditempat tidur.
Si Sri membawa daun dadap itu kepada ibunya.
"mBok, ini daun dadapnya," katanya sambil menunjukkan daun yang sudah dicucinya.
"Remas-remas dan tempelkan dikening simbok ini."
Si Sri menurut, suara ibunya sangat lemah, panasnya masih tinggi. ia menempelkan
daun yang sudah diremasnya di kening ibunya.
Kemudian ia pergi kedapur untuk membuatkan minuman hangat, dan merebus ketela untuk
sarapan.
Tapi hari itu juga sang simbok meninggal.
Si Sri menangis tak henti-hentinya.
Terdengar lagi pintu berderit.
"Sri...masih disitu? Masuklah..."
Kali itu si Sri menurut.
Udara dingin menusuk tulang.
Si Sri hampir menggigil.
Ia masuk kekamarnya dan mencoba merebahkan dirinya.
Tapi ingatan akan simbok membuatnya tak bisa tidur.
Lalu rasa kesal terhadap ayahnya kembali meliputi hatinya.
***
Darmin juga sudah masuk kedalam kamarnya.
Ia merasa semakin tua, dan tak mampu bekerja.
Ia tak merasa sungkan makan dari jerih payah si Sri, dan terkadang diberi oleh ayah
mertuanya.
Ia ingat, dulu ketika muda dia amat kuat dan perkasa.
Ia bekerja dikebun tuan Cokro dan dipercaya membawahi pekerja-pekerja disana.
Namun Darmin punya kebiasaan buruk. Ia suka berjudi dan minum minuman keras.
Kalau saja dia bisa memanfa'atkan gajinya, ia bisa hidup layak bersama isteri dan
seorang anaknya. Tapi tidak, uang dihabiskannya dimeja judi.
Rumah pemberian mertuanya sudah masuk gadai.
Lalu dia tak mampu menebusnya, lalu rumah itu hilang, lalu isterinya meninggal,
lalu hidupnya terlilit utang.
Ia kembali ke desa Sarangan dan mertuanya membuatkan gubug sederhana untuk dirinya
dan Si Sri.
Beruntung kemudian si Sri bisa membantu mbah Kliwon untuk mencatat barang-barang
yang diperdagangkan.
Karena Lastri, dia bersama ayahnya bisa makan sehari tiga kali.
Terkadang mbah Kliwon membantunya, memberi beras dan sayuran.
Darmin tak mampu bekerja, atau mungkin juga sedikit malas.
Sebenarnya bisa saja dia membantu para petani, menggarap kebun mereka dan
mendapatkan sedikit upah, tapi dia tidak melakukannya.
Badannya yang kurus membuat dia merasa lemah. Yang dikerjakannya dirumah hanya
duduk, dilayani oleh anak semata wayangnya sebelum berangkat kerumah mbah Kliwon.
Selebihnya dia hanya tiduran, dan masih merokok pula.
Si Sri membiarkannya. Mungkin segan menegur ayahnya, atau justru takut dihardiknya.
Jadi sepenuhnya dialah yang mencari makan untuk dirinya dan ayahnya.
mBak Kliwon bukannya tak tau kelakuan menantunya, tapi dia seorang tua yang tidak
banyak bicara. Ia melakukan apa yang bisa dilakukan. Tak pernah sekalipun dia
menegurnya.
***
Jam sembilan malam, pesta pernikahan Bayu dan Lastri sudah usai. Bayu dan Lastri
menemui pak Lurah dengan wajah berseri.
"Terima kasih pak lurah, sudah bersusah payah datang menghadiri pernikahan kami,"
kata Bayu.
"Sudah seharusnya kami datang. Ini pesta yang sangat luar biasa. Saya ikut
merasakan suka dukanya Lastri ketika jauh dari mas Bayu," kata lurah Mardi sambil
melirik kearah Lastri.
"Tapi sekarang mereka sudah bahagia mas, yang lalu nggak usah diingat ingat lagi,
iya kan Tri?" sambung Marni yang sudah menjadi bu lurah.
"Iya yu, aduh.. Jarot sudah gede, lucunya, kok enak sekali tidurnya, nggak terusik
keramaian yang begini memekakkan telinga," kata Lastri sambil mengelus kepala Jarot
kecil, yang lelap dalam gendongan ibunya.
"Dia kalau sudah tidur nggak perduli suara apapun . Semoga kamu segera dapat
momongan ya Tri."
"Iya yu, do'akan ya yu."
"Mana mbah KLiwon?" kata Lastri lagi sambil mencari-cari.
"Itu, disana, sama mas Timan."
"Oh.. iya, mengapa Si Sri tidakikut?"
"Katanya tadi juga mau ikut, tapi dilarang oleh bapaknya," kata Marni.
"Kok dilarang, memangnya kenapa?"
"Nggak tau tuh, kan kamu tau sendiri, pak Darmin itu orangnya susah."
"Iya, aku belum pernah berbincang sama dia. Kayaknya jarang keluar rumah ya yu."
"Iya, kapan-kapan datang kerumah Tri."
"Iya yu, nanti kalau sudah selesai semuanya."
"Mas Timaaan," teriak Lastri.
Timan sedang berbincang dengan mbah Kliwon.
"Baiklah nak, nanti akan saya sampaikan. Tadi juga mau saya ajak, tapi bagaimana
lagi, bapaknya susah diajak bicara."
"Mas Timaan !" Lastri berteriaklagi.
Timan bergegas mendekat, diikuti mbah Kliwon.
"Pasti ada pesan khusus yang dititipkan mbah Kliwon, ya kan?" gola Lastri.
"Tau aja kamu.." kata Timan tersipu.
"Ya taulah, tapi baguslah, si Sri gadis yang baik."
"Saya dukung mas Timan kalau mau mendekati si Sri," kata pak lurah.
Semua tertawa, dan Timan hanya tersipu.
***
Pagi itu si Sri seperti biasa menyiapkan minum teh hangat dan sarapan untuk
bapaknya, sebelum berangkat bekerja.
Ada teh hangat dan kimpul rebus yang diletakkan di piring.
Darmin belum bangun, tapi si Sri telah menanak nasi dan oseng kangkung yang
diletakkannya dimeja. Ada sepotong ikan asin sisa kemarin yang sudah digoreng
ulang.
Si Sri bersiap untuk berangkat ketika tiba-tiba pak Darmin memanggilnya.
"Sri..!"
"Ya pak, ada apa, si Sri mau berangkat," kata si Sri sambil menghentikan
langkahnya.
"Hari masih pagi. Masih gelap begini," kata pak Darmin sambil melangkah keluar dari
kamarnya.
"Biasanya Sri juga berangkat ketika hari masih gelap. Keburu banyak barang yang
datang dan nanti simbah kebingungan sendiri."
"Tunggu sebentar."
"Ada apa?"
"Rokok bapak habis nduk," kata pak Darmin tanpa sungkan.
Si Sri menghela nafas. Ia membuka dompet kecilnya dan mengeluarkan selembar puluhan
ribu."
"Mengapa cuma sepuluh ribu?"
"Uang Sri tinggal duapuluh ribu pak."
"Ya sudah mana yang duapuluh ribu itu sekalian, nanti bapak akan beli sekalian
untuk persediaan."
Si Sri mengambil lagi puluhan ribu yang tertinggal, diserahkan ayahnya lalu dia
melangkah keluar rumah.
Pak Darmin meletakkan uang pemberian si Sri diatas meja, menghirup tehnya,
menyantap tiga potong kimpul yang disediakannya.
Ia menghabiskannya dengan lahap, lalu menutupkan pintu depan, kemudian kembali
kekamarnya, tidur.
***
"Aku kesiangan ya mbah ?" kata si Sri sambul memasuki ruangan, dimana mbah Kliwon
sedang menerima beberapa keranjang sayuran dirumah Lastri.
"Enggak, sudah simbah pilah-pilah semuanya, kamu tinggal mencatat."
"Oh.. ya."
"Kamu sudah sarapan?"
"Nanti saja mbah."
"Sarapan saja dulu, ada nasi jagung sama sambal teri pemberian bu lurah baru saja."
"Wah, enaknya.. yu Marni rajin ya mbah, jam segini sudah masak."
"Iya benar, hampir setiap pagi simbah dikirimi sarapan."
"Rajin dan baik hatinya."
"Ya sudah sarapan dulu."
"Ayo sama simbah kalau begitu."
Selama sarapan itu, mbah Kliwon menatap wajah cucunya. Ada duka disembunyikannya.
Pasti karena ulah bapaknya.
"Kamu kenapa?"
"Apanya mbah?"
"Wajahmu kusut begitu.."
Si Sri meneguk air putih yang ada didekatnya, sambel buatan yu Marni sangat pedas.
"Kenapa?"
"Sambelnya pedas sekali mbah, tapi enak."
"Maksud simbah, wajahmu kusut begitu, ada apa?"
"Nggak apa-apa mbah."
"Dimarahi bapakmu lagi?"
"Enggak mbah.."
"Jangan bohong."
Si Sri terdiam.
"Kamu masih kecewa karena kemarin nggak boleh ikut ke pesta pernikahannya Lastri?"
"Iya sih mbah, kecewa. Bagaimana yu Lastri? Pasti cantik sekali dengan pakaian
pengantinnya."
"Iya lah, kan Lastri memang cantik."
"Alangkah beruntungnya dia."
"Kamu sudah pengin nikah?"
"Ah, simbah.. enggak.. "
"Enggak gimana, kamu itu sudah dewasa, sudah sa'atnya disunting priya. Lagian kalau
kamu sudah menikah bapakmu tidak akan mengganggu kamu lagi. Yaah, mungkin masih
menjadi beban kamu karena memang dia nggak becus mencari nafkah, tapi setidakn ya
kalau sudah nggak lagi kumpul sama kamu, tidak setiap hari dia mengganggu kamu."
Si Sri termenung. Benarkah dia sudah pantas menikah? Siapa yang mau sama gadis
miskin yang anak bekas penjudi?
"Kamu dapat salam Sri.."
"Salam, dari siapa?"
"Kamu ingat mas Timan kan?"
"O, mas Timan yang temannya yu Lastri itu."
"Iya.. "
Si Sri tersenyum. Ia ingat cara Timan menatapnya ketika malam-malam dia
mengantarkannya pulang bersama simbahnya. Tatapan yang menurutnya aneh, tapi si Sri
menyukainya. Dalam remang malam itu, tersirat wajah tampan dan ramah, serta sangat
baik hati. Aduhai. Si Sri tersedak-sedak.
"Pelan-pelan, minum dulu," kata mbah Kliwon.
Si Sri minum, wajah itu terbayang lagi.
"Tampaknya dia suka sama kamu."
Si Sri terbatuk lebih keras,
"Kenapa kamu itu, dapat salam dari mas Timan, malah tersedak, terbatuk.."
"Sayang Sri nggak ikut ya mbah,"
"Menyesal kan, tidak bertemu dia?"
"Simbah ada-ada saja, cuma titip salam saja dibilang suka. Mana ada laki-laki suka
sama si Sri?"
Lalu si Sri berdiri, menumpuk piring-piring nyang sudah kosong, dibawanya
kebelakang.
mBah Kliwon tersenyum, setidaknya tidak ada penolakan dari cucunya. mBah Kliwon
berharap Timan bisa mnjadi jodohnya si Sri. mBah Kliwon tau, Timan laki-laki yang
baik.
***
Sore itu si Sri pulang dengan membawa rantang berisi lauk. Ada sayur sawi dan tahu
bacem yang tadi siang dimasaknya dirumah mbahnya, lalu sebagian disuruhnya si Sri
membawanya pulang.
Hampir setiap hari begitu karena mbah Kliwon tau bahwa beban kebutuhannya dan
ayahnya ada dipundak si Sri.
Hari masih terang ketika si Sri memasuki pagar rumahnya. Ada mobil diluar sana,
yang entah milik siapa.
Ketika dia masuk rumah, dilihatnya ayahnya sedang duduk bersama seorang laki-laki.
Laki-laki itu tinggi besar dan tidak muda lagi.
Barangkali sudah empatpuluh tahunan atau lebih umurnya.
Si Sri merasa pernah melihat laki-laki itu, tapi lupa kapan dan dimana.
Si Sri mau langsung masuk kebelakang ketika laki-laki itu memanggilnya.
"Kamu si Sri kecil itu kan?"
Si Sri berhenti sebentar, lalu mengangguk.
Ia ingin segera berlalu, karena risih melihat tataoan laki-laki itu. Itu tatapan
yang tidak menyenangkan.
Menatap sambil bibirnya tersenyum nakal. Si Sri terus melangkah masuk.
Tapi tiba-tiba ayahnya memanggilnya.
"Sri, sini dulu, kamu lupa ini siapa?"
==========
Namun sin Sri sungguh tidak ingat, dimana pernah mengenal laki-laki ini.
Wajahnya bersih, tubuhnya tegap, barangkali sih, so'alnya ketika duduk tampak
badannya besar dan tegap.
Bukan anak muda, tapi wajahnya lumayan ganteng. Hanya saja Si Sri benci melihat
mata dan senyumnya.
Si Sri belum banyak bergaul dengan laki-laki, tapi pandangan matanya sungguh
membuatnya muak. Sepertinya dia laki-laki penyuka perempuan.
Mendengar panggilan bapaknya, si Sri mendekat.
"Duduklah."
Si Sri duduk.kepalanya menunduk.
"Kamu sungguh pemalu Sri, coba tatap mataku.," kata laki-laki itu.
Tapi si Sri masih tetap menunduk.
Laki-laki itu terbahak. Tertawanya sangat membuat Si Sri merinding.
"Sri, ini namanya tuan Basuki. Ia anaknya tuan Cokro yang dulu memperkerjakan bapak
diperkebunan miliknya.".
Si Sri baru ingat Benar, namanya Basuki, anaknya tuan Cokro.
Ketika dia dan bapaknya pindaah kedesa itu, Basuki masih remaja. Tapi si Sri sering
melihat dia membawa banyak teman-teman wanita, diajaknya bersenang senang
dirumahnya.
Basuki juga sering mengganggunya setiap kali dia datang kerumah bapaknya.
Menowel lengannya, mengelus kepalanya, sungguh menyebalkan.
Tak disangka sore itu dia datang, dan berbincang akrab dengan bapaknya.
Si Sri ingin pergi kebelakang. Risih berada dihadapan tamu menyebalkan itu berlama-
lama.
Ia bangkit berdiri.
"Hei.. mau kemana cantik?"
"Kemana nduk?"
"Buat minuman," jawab si Sri sekenanya.
Menurutnya lebih baik dia pergi, dengan alasan apapun.
"Tidak Sri, aku tidak ingin minum. Aku hanya datang sebentar, untuk mengingatkan
bapakmu. Bagus, si Sri sudah tumbuh dewasa, aku suka. Tapi sekarang aku harus
pergi."
"Syukurlah, syukurlah, lebih cepat lebih baik," bisik hati si Sri.
Laki-laki bernama Basuki itu berdiri. Ya, tinggi sekali, pak Darmin yang berdiri
disampingnya hanya setinggi pundaknya.
Si Sri masih berdiri didepan kursi yang semula didudukinya.
"Sri, antarkan tuan Basuki kedepan," perintah pak Darmin.
"Hiih.. ngapain harus mengantarkan? Kayak anak kecil saja," kata hati si Sri dengan
wajah cemberut.
"Sri..."
Si Sri melangkah pelan, tuan Basuki sudah sampai didepan pintu, ia harus menunduk
kalau tak ingin kepalanya terantuk kepintu yang tidak begitu tinggi.
"Aku pergi dulu, cantik," kata Basuki, sambil menowel pipi si Sri.
Wajah si Sri pucat, Bencinya tak tertahankan. Mengapa bapaknya diam saja? Banyak
batasan-batasan yang harus dipatuhinya.
Tidak boleh keluar rumah kecuali bekerja, jangan lama -lama berada diluar, tidak
belh datang ke pesta.. tapi mengapa dibiarkannya laki-laki asing menjamah wajahnya?
Si Sri berlari masuk kedalam.
Membasuh wajahnya berkali-kali. Jijik pipinya dijamah laki=laki itu.
"Sriiiii..." teriak bapaknya.
Sei mengelap wajahn ya dengan handuk. Ia ingin mandi, tapi lebih dulu menghampiri
bapaknya, karena kalau tidak akan bertambah keras teriakannya.
"Kamu itu bagaimana, ada tuan Basuki tidak menyambutnya dengan baik,"
"Memangnya mengapa? Sri kan dilrang bergaul dengan sembarang orang?"
"Dia itu lain. Lihat, buka bungkusan besar itu," kata pak Darmin sambil menunjuk
keatas meja.
Sri menoleh kearah yang ditunjuk bapaknya.
Karena kesal dia tak memperhatikan. Ternyata diatas meja ada sebuah bungkusan
besar.
Dari laki-laki kurangajar itu?
"Buka isinya, kata tuan Basuki itu buat kamu."
"Buat Sri?"
"Iya, buat kamu, bukalah."
"Nggak pak, Sri mau mandi dulu."
"Eeeh... mandinya nanti saja. Buka dulu."
Itu sebuah perintah, dan si Sri tak berani mmbantahnya.
Dengan muka cemberut dibukanya bungkusan itu.
Sri terkejut. Isinya baju-baju perempuan.
Ada banyak. Ada celana panjang, blouse dari kaos, rok dengan aksen yang mewah,
Celana lagi, yang ini jean, ada atasan berwarna biru muda, pokoknya ada banyak.
Sri sama sekali tak tertarik.
"Dia minta kamu memakainya."
"Nggak ah, Sri nggak suka."
"Apa katamu? Itu pemberian orang kaya, pasti bukan barang murah."
"Ini pakaian orang kota, mana pantas Sri memakainya?"
"Jangan bandel! Kamu harus memakainya, dan buang baju-baju kamu yang lusuh dan
kumal."
Si Sri membalikkan tubuhnya, tak memperdulikan baju-baju yang terserak diatas meja.
"Eeeh... Sriii!!"
"Si Sri berhenti melangkah."
"Simpan dulu barang-barang ini kedalam kamar kamu!"
Sri membalikkan badan, dengan satu raupan dibawanya tumpukan baju itu kekamarnya,
lalu disebarnya dilantai.
***
Pagi itu Marni mengajak anaknya jalan-jalan.
Ditangannya menjinjing rantang. Berisi nasi dan balur dimasak pedas.
Ia akan memberikannya kepada mbah Kliwon. Pagi masih remang, Marni berjalan
seenaknya.
Tiba-tiba ia berpapasan dengan si Sri.
"Sri...!" panggilnya
"Eh, yu Marni.. eh.. bu lurah..."
"Ya sudah, yu Marni saja seperti biasanya, pakai diralat segala."
"Hehee.. iya yu. Aduuh.. Jarot, sini digendong yu Sri ya..."
Si Sri meminta Jarot yang berada dalam gendongan Marni.
"Kamu sudah pengin punya anak Sri?"
"Wah... seneng banget aku kalau punya anak, tapi kan aku belum bersuami, mana bisa
punya anak?"
"Sudah pengin punya suami?"
"Nggak ah, belum mikirin suami yu. Gendong Jarot aja aku mau.. ya le?" katanya
sambil menciumi pipi Jarot dengan gemes."
"Wong ya sudah pantes gitu lho..."
"Pantes ngapain yu?"
"Itu, pantes gendong anak."
"Ah, yu Marni ada-ada saja."
"Tapi diam-diam ada yang suka sama kamu lho."
"Haaa... ada yang suka sama aku?"
"Iya, bener."
"Siapa to yu, yang suka sama gadis seperti si Sri?"
"Ada pokoknya."
"Siapa yu? Jadi penasaran."
"Orangnya ganteng, sudah mapan pokoknya."
"Hm... siapa sih?"
"Tapi memang umurnya sama kamu terpaut agak jauh sih, cuma saja apa pentungnya
umur? Yang lebih penting adalah, bahwa dia bisa mencintai kamu apa adanya, bisa
membahagiakan kamu. Ya kan?"
"Iya sih, tapi siapa?"
"Kamu ingat mas Timan ?"
Berdegup dada si Sri mendengar nama itu. Beberapa hari yang lalu mbah Kliwon
mengatakan bahwa ada salam dari mas Timan. Aduhai...
"Oh, ya ampun.. dia.. ingat sih."
"Mau nggak kamu jadi isterinya dia?"
"Ya ampun yu.. aku ini siapa .. takut aku yu."
"Takut apa? Sudah besar pakai takut segala."
"Aku ini siapa yu, apalagi kalau nanti dia tau bagaimana bapakku, pasti dia akan
kecewa."
"Yang jelas kamu itu gadis yang baik. Dan kamu juga sudah sa'atnya punya suami lho
Sri."
"Nggak taulah yu, aku bingung. Lha ini yu Marni mau kemana?"
"Lha ini, mau ketemu mbahmu, aku bawakan nasi buat sarapan."
"Wah, yu Marni tiap hari kok mesti kirim makanan buat simbah. Lha itu yang makan
aku juga lho yu."
"Ya nggak apa-apa, memang itu untuk kamu berdua."
"Yu Marni rajin ya, jam segini sudah masak."
"Aku tuh masak sore hari Sri, jadi kalau mas Mardi keburu harus berangkat pagi-
pagi, sarapan sudah siap."
"Oh, pantesan. Nah, itu simbah sudah sibuk didepan rumahnya yu Lastri." kata Lastri
sambil menunjuk kearah mbah Kliwon yang sedang menerima beberapa petani sayur.
"Iya, mbah Kliwon memang rajin. Sudah tua masih giat mengerjakan apapun."
"Kapan yu Lastri kesini yu, sekarang sudah jadi isteri orang, pasti akan jarang
datang kemari."
"Iya, semuanya diserahkan pada mas Mardi untuk mengurusnya, dibantu mbahmu itu."
"Aku sedih kemarin pas perikahannya yu Lastri nggak bisa ikut."
"Iya, Lastri juga menanyakan kamu. Mas Timan juga."
Si Sri tersenyum.
"Itu lagi.."
"Memang iya. Mas Mardi bilang akan mengundang mas Timan kemari."
"Oh ya, kapan?"
"Belum tau waktunya, maksudnya biar bisa ketemu kamu."
Si Sri berdebar. Wajah tampan ramah itu terbayang lagi. Apakah dia suka?
"Sini, Jarot sama ibu dulu, yu Sri mau bekerja, ya le?" kata Marni sambil
mengulurkan tangannya untuk menggendong Jarot, lalu menyerahkan rantangnya kepada
si Sri.
"Ini Sri, nanti dimakan sama simbah ya."
"Terimakasih ya yu. Hm, baunya enak."
"Itu balur dimasak pedas."
"Waah, belum-belum sudah ngiler aku yu."
Mereka berpisah, karena si Sri harus membantu mbah Kliwon.
Tapi kata-kata Marni masih membekas dihatinya.
Benarkah Timan suka sama dia? Diam-diam si Sri merasa senang, aduhai, seandainya
itu benar.
"Bawa apa Sri?" tiba-tiba pertanyaan mbah Kliwon mengejutkan si Sri.
Dia sedang membayangkan laki-laki tampan dengan pandangan teduh dan mendebarkan
itu.
"Oh, ini mbah, ketemu bu lurah disana."
"Dari bu lurah?"
"Iya, simbah sarapan dulu."
"Ayo, sarapan sama kamu, setelah itu baru bekerja."
***
Begitu memasuki rumah, pak Darmin marah-marah karena si Sri tidak memakai pakaian
yang diberikan Basuki.
"Apa maksud kamu Sri, sudah diberi barang-barang bagus, tapi kamu tidak mau
memakainya."
"Si Sri kan mau bekerja, pekerjaannya itu kadang mengangkat sayur yang mungkin
masih kotor oleh tanah, jadi untuk apa memakai pakaian bagus?"
"Biar nanti jadi kotor, tapi kan kamu harus menghargai pemberian orang. "
"Iya, lain kali Sri akan pakai." jawab Sri kesal, lalu langsung masuk kedalam
rumah.
Ketika si Sri berangjkat, pak Darmin masih tidur, itulah sebabnya dia tidak tau
kalau si Sri tetp memakai bajunya sendiri.
"Buang baju-baju kamu yang kumal itu."
Si Sri tidak menjawab
Ketika mau memasuki kamar, hidungnya mencium sesuatu.
Sesuatu yang sudah lama tidak tercium dirumahnya.
Bau minuman keras. Si Sri melongok kekamar bapaknya, dan melihat beberapa botol
minuman keras terletak dimeja.
Beberapa botol kosong terserak dilantai.
Si Sri geram, apa laki-laki kurangajar itu yang memberinya?
"Ada apa kamu melongok kekamarku?" tanya pak Darmin yang tampak gusar.
"Bapak beli minuman keras lagi?"
"Jangan kamu kira aku memakai duitmu untuk membelinya. Ini, aku kembalikan uang
yang kamu berikan kemarin. Masih utuh duapuluh ribu," katanya sambil melemparkan
dua lembar puluhan ribu kewajah si Sri.
"Lalu dengan apa bapak membelinya?"
"Kamu tidak usah tanya, apa kamu nggak suka kalau bapak senang?"
"Aku tidak suka bapak minum-minum lagi."
"Berani kamu melarang aku?"
"Pak, bapak itu sudah sering sakit. Batuk nggak berhenti-berhenti, kenapa masih
suka merokok dan sekarang ditambah minum-minuman keras?"
"Minuman ini tidak membuat aku sakit, justru membuat aku sehat. Lihat, hari ini aku
sangat bersemangat."
Si Sri tak menjawab, ia masuk kekamarnya, lalu menguncinya dari dalam.
Sedih hatinya memikirkan perangai bapaknya yang ternyata belum berubah juga, walau
kemiskinan sudah menderanya.
"Pasti laki-laki itu telah memberi uang pada bapak," gumamnya kesal.
Sore itu si Sri tidak melayani bapaknya makan. Ia melihat beberapa bungkusan
makanan terserak dimeja, berarti bapaknya sudah makan, tapi si Sri enggan
membersihkannya.
Kira-kira berapa banyak laki-laki itu memberi bapak uang sehingga bisa membeli
makanan dan minuman keras begitu banyak? pikir si Sri dengan wajah kusut.
"Tak mungikin bapak mau mendengarkan kata-kataku."
***
Beberapa hari ini wajah si Sri tampak kusut.
mBah Kliwon sudah tau, pasti karena ulah bapaknya.
"Sri, kamu kan sudah tau tabiat bapak kamu, jadi sebaiknya kamu tak usah
memikirkannya.
Biarkan saja dia mau melakukan apa, agar tidak menjadikan beban buat kamu." kata
mbah Kliwon ketika mereka sedang istrirahat siang.
"Sedih si Sri mbah. Beberapa hari yang lalu ada tamu, bapak memanggilnya tuan
Basuki. Hanya sebentar si Sri melihatnya, karena ketika si Sri datang sore itu, dia
sudah mau pulang. Tampaknya laki-laki itu memberi bapak uang. Dia juga memberi si
Sri banyak pakaian."
"O, apakah itu Basuki anaknya tuan Cokro?'
"Ya, mbah. Tapi yang membuat si Sri sedih, bapak akhir-akhi ini jadi sering membeli
minuman keras."
"Masa nduk?"
"Iya mbah, sudah Sri peringatkan, tapi justru bapak marah. Sri jadi sedih mbah."
mBak Kliwon menghela nafas panjang.
Ia teringat anak perempuannya, mboknya si Sri, yang akhirnya meninggal karena
suaminya tak memperhatikannya ketika dia sakit.
Tapi mbah Kliwon bisa menerimanya dengan ikhlas. Ia hanya mengingat cucunya yang
hanya satu-satunya.
"Ya sudah, seperti kata simbah tadi, nggak usah dipikirkan. Yang penting kamu
berangkat kerja pagi hari, pulang sore, lakukan apa yang menjadi tugasmu dan jangan
hiraukan bapakmu."
Si Sri mengangguk. Hanya mbah Kliwon yang bisa menghiburnya.
Si Sri mau melanjutkan pekerjaannya mencatat pemasukan hari itu, ketika tiba-tiba
didengarnya sebuah mobil berhenti didepan rumah.
Si Sri melongok keluar, dan dadanya berdebar kencang begitu melihat siapa yang
datang.
Bersambung #2
CERITA WA: Kembang Titipan #2
Cerita Bersambung
mBak Kliwon yang juga mendengar bergegas keluar. Wajahnya berseri begitu melihat
siapa yang datang.
"Sri.. tuh ada tamu.. kamu malah bengong disitu?" tegur mbah Kliwon.
Sri tiba-tiba merasa gugup. Bukannya jalan kearah depan, malah menuju kebelakang.
"mBah Kliwon, apa kabar?" sapa Timan yang kemudian lebih suka memanggil 'mbah',
"Aduh nak Timan, iya.. kabar baik. Sendirian saja?"
"Iya mbah, sekaian cari dagangan, trus mampir kemari."
"Ayo masuk nak.. silahkan.."
"Kangen sama ketela rebusnya," kata Timan sambil duduk di kursi bambu, kursi yang
pernah didudukinya, bahkan pernah tidur disitu ketika mencari Lastri.
"Ketela rebus, ada.. jangan khawatir nak, nanti juga boleh membawa ketika pulang,
yang masih mentah juga banyak."
"Kursi ini masih seperti dulu."
"Iya nak, tidak berubah sejak setahun lalu. Ingat ketika nak Timan tiduran diisitu
sa'at mencari Lastri."
"Benar mbah," jawab Timan, sambil matanya mencari-cari.
"Sriiii.. ada tamu kok malah sembunyi," teriak mbah Kliwon.
Si Sri bukan sembunyi. Ia sedang menata batinnya sambil membuat minuman.
"Sriiii.." mbah Kliwon mengulangi teriakannya.
"Yaaa.. " jawab si Sri dari arah belakang.
Berdebar hati Timan mendengar suaranya. Hm, kalau orang lagi jatuh cinta tuh ya,
baru mendengar suaranya saja sudah dag dig dug.
Tak lama kemudian si Sri keluar sambil membawa nampan berisi dua gelas teh.
"Apa kabar Sri?" sapa Timan sambil terus menatap kearah si Sri.
"Kabar baik mas Timan," jawab Sri sambil meletakkan gelasnya dimeja. Tersipu
dipandangi Timan seperti itu. Pandangan yang membuatnya berdebar, bukan pandangan
kurangajar seperti Basuki melakukannya.
"Masih ada ketela rebus didalam?"
"Ada mbah, sedikit, mas Timan mau?"
"Ya mau, kan aku kesini karena kangen ketela rebusnya mbah Kliwon," kata Timan
sambil tersenyum.
Aduh, si Sri kecewa berat nih, ternyata datang hanya untuk ketela, bukan untuk
dirinya, Sri melangkah kebelakang, dan mengambil ketela rebus yang hanya tinggal
beberapa potong.
"Ini, tinggal sedikit mas," kata Sri ketika kembali dengan membawa ketela rebus.
"Sudah dingin nak..ayo silahkan diminum dulu."
"Terimakasih, ketelanya dingin nggak apa-apa mbah, yang penting sambutan dirumah
ini begitu hangat," kata Timan sambil menghirup tehnya.
"Benarkah?"
"Iya mbah, saya makan ketelanya ya.."
"Silahkan nak, tinggal beberapa potong, nanti kalau pulang boleh membawa, masih ada
sekarung kecil yang masih mentah."
"Waduh.. terimakasih banyak ya mbah."
"Sri, duduk disini, kamu itu gimana, lagi ada tamu.. main kabur aja.." tegur mbah
Kliwon ketika Si Sri mau beranjak kebelakang.
"Iya ta Sri, aku jauh-jauh kemari kok malah ditinggal pergi," sambung Timan.
Si Sri membalikkan tubuhnya, lalu duduk dikursi didepan Timan. Baguslah, pikir
Timan, sehingga aku bisa puas memandangi kamu.
Tapi si Sri itu gadis pemalu, setidaknya itulah yang ditangkap Timan dari sikapnya.
Iya lah malu, orang siapa-siapa mengatakan kalau dia suka sama dirinya. Jadi deg-
degan kan.
"Sri, kok diam sih.. ngomong dong.."
Si Sri tersenyum. Timan menelan ludah.. alangkah manis gadis ini pikirnya. Dulu
ketika melihat pertama kali, hari sudah malam. Temaram lampu memantulkan wajah
cantik yang hanya sekilas. Sekarang, sa'at siang, Timan bisa menikmati wajah itu
sepuasnya. Lalu batinnya berkata, aku jatuh cinta sama gadis ini. Akankah
bersambut?
"Sri... kamu tuh biasanya cerewet, kok tiba-tiba jadi pendiam?" tegur mbah Kliwon
lagi. Kemudian mbah Kliwon berdiri.
"Aku mau memilihkan ketela yang bagus dulu, temani mas Timan ya nduk," kata mbah
Kliwon sambil berlalu.
"Ayo ngomong dong Sri." kata Timan sambil mengupas ketela yang dicomotnya lagi,
bukan karena lapar, tapi karena ingin menenangkan debar jantungnya.
"Nggak tau mau ngomong apa.." kata Sri pelan sambil mengangkat wajahnya yang semula
menunduk.
"Ngomong aja tentang diri kamu.. kesukaan kamu..." kata Timan.
"Nggak ada yang pantas diceritakan tentang diri saya."
"Masak sih?"
"Saya hanya gadis dusun yang bodoh. Tidak berpendidikan," katanya masih dengan
suara pelan. Matanya menatap kearah Timan, dan Timan juga sedang menatapnya. Ada
getar dihati masing-masing kedua insan itu ketika mata mereka bertatapan.
"Terus.. mengapa kalau gadis dusun.. mengapa kalau tidak berpendidikan?"
"Apa yang pantas diceritakan?"
"Bahwa kamu pemalu, pendiam, suka merendahkan diri.."
"Saya kan memang dari kalangan rendah."
"Wadouww.. coba berdiri deh, serendah apa kamu? Kalau berdiri sejajar sama aku, ya
jelas lebih rendah kamu. Tapi kalau aku duduk, lalu kamu berdiri, nah. baru rendah
aku."
Si Sri tertawa, menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Timan suka melihat tawa
itu, sederet gigi putih kelihatan, menambah manis sang pemilik wajah lugu itu."
"Kenapa ditutup pakai tangan? Bukankah tawa itu indah?"
"Mas Timan lucu."
"Iya, aku memang pelawak."
Sri masih tertawa.
"Dengar Sri, aku juga orang desa. Hanya kebetulan saja kemudian aku tinggal dikota,
karena pekerjaanku kan penjual buah dipasar. Apa hebatnya seorang penjual buah?
Bukan kalangan orang yang punya derajat. Aku orang biasa saja."
"Apakah penjual buah itu pekerjaan rendah? Kalau saja saya punya modal, saya mau
jadi penjual sayur dipasar."
"Benar?"
Sri mengangguk.
"Kalau begitu kamu harus ikut aku."
"Apa?" Sri membesarkan bola matanya. Sepasang mata bening yang membuat Timan
terpana.
"Ikut bersama aku, atau menjadi isteri aku." kata Timan tiba-tiba. Entah darimana
datangnya keberanian itu, Timan terkejut sendiri, tapi kata itu sudah terlanjur
terlontar dan tentu saja Si Sri mendengarnya.
Mata bulat itu bertambah membulat.
"Ap...apa?"
"Ah, ma'af.. "
"Jangan bercanda dong mas."
Aduh, mengapa Sri mengira bahwa dirinya bercanda?
"Kalau itu benar, apa kamu marah?"
"Marah? Saya.. "
"Barangkali kamu sudah punya pacar, atau calon.. saya lancang bukan?"
"Tidak.."
"Tidak apa?"
"Tidak punya itu.."
"Itu apa?"
"Itu.. calon.. siapa mau ?"
"Jangan suka merendah, jangan merasa jadi orang rendah. Bukankah derajat seseorang
dilihat dari kelakuan dan budi yang disandangnya?"
Si Sri terdiam. Keberanian Timan mengatakan hal yang mendebarkannya membuatnya
kagum.
"Sri, kamu tidak marah saya mengatakan hal itu?"
"Hal apa..?" ah,, si Sri kan sudah tau, pakai nanya lagi.
"Maukah kamu menjadi isteriku,,:" sudah kepalang tangung, dan Timan juga nggak
ingin kelamaan memendam rasa. Dia sudah bukan anak muda lagi.
"Begitu cepat? Mas Timan belum tau siapa saya."
"Kamu si Sri kan? Siapa kepanjangan nama kamu?"
"Bukan itu, mas Timan belum tau keluarga saya."
"Kamu kan cucunya mbah Kliwon ?
"Bapak saya?"
"Iya, lain kali aku akan menemui bapak kamu."
"Dia bukan orang baik."
"Maksudnya?"
"Nanti mas Timan bisa bertanya pada simbah."
mBah Kliwon sebenarnya sudah selesai memilih ketela yang akan dibawakannya pada
Timan, tapi dia memang memberi kesempatan pada Timan untuk bicara. Laki-laki tua
itu mendengar bagaimana Timan mengutarakan isi hatinya. Lega rasanya, karena Timan
tidak berlama-lama mengatakannya.
"Buat aku, yang penting kamu. Apa kamu menolak aku?"
"Mas Timan tanya pada simbah."
"Ini kan perasaan kamu, masa aku tanyanya sama simbah?"
"Simbah sudah tau bagaimana jawaban saya."
"Oh ya?"
Timan menatap lagi wajah itu, mata bening itu, hidung mancung dan bibir tipis itu.
Semuanya indah dalam kesederhanaan. Dia mirip Lastri yang pernah dikaguminya.
Semuanya mirip. Ia lugu, ia sedikit malu disa'at pertama berbincang, Lalu bisa
banyak bicara ketika ada yang memulainya.
"Minggu depan aku akan datang lagi, dan aku harap sudah ada jawaban yang pasti dari
kamu. Setelah itu aku akan menemui bapak kamu."
Si Sri menunduk. Laki-laki baik ini sudah lama singgah dihatinya. Tak mungkin dia
menolaknya, tapi ketika Timan bilang mau menemui bapaknya, Sri jadi ragu. Maukah
bapaknya menerima Timan sebagai menantu? Tak mudah menjajagi hati Darmin.
***
Pagi itu Lastri pergi kepasar. Ia sudah membeli beberapa sayur dan daging yang tadi
sudah dicatatnya. Tiba-tiba dilihatnya Timan melambaikan tangannya. Lastri jadi
ingat, ia harus membeli buah. Didekatinya Timan.
"Aku mau jeruknya saja mas, tapi janji ya, aku nggak mau gratis, nanti mas Bayu
marah."
Timan tertawa.
"Iya.. iya, aku kasih harga mahal kamu nanti."
"Boleh memilih ya mas."
"Iya, pilih aja. Masih baru semuanya."
"Pisangnya mas, tapi aku mau pisang kepok kuning yang sudah matang. Ibu mau membuat
kolak."
"Beres, ini matang dipohon semuanya."
"Tapi ngomong-ngomong wajah mas Timan kok tampak beda dari biasanya ya?"
"Wajahku kenapa sih? Berlepotan angus? Padahal aku tidak memasakpakai kuali yang
banyak angusnya."
"Bukan, kelihatan berseri-seri. Lagi bahagia ya?"
"Kemarin aku ketemu si Sri."
"Haaa... sudah berani berangkat sendiri ya?"
"Iya lah, nungguin kamu, kelamaan."
"Baiklah, aku senang mendengarnya, terus.. gimana mas, sekalian melamarnya?
Harusnya begitu, keburu tua mas."
"Iya, aku sudah melamarnya."
"Waaauuuw... hebat mas... lalu kapan peresmiannya?"
"Belum-belum peresmian..."
"Katanya sudah melamar.."
"Baru ngomong sama Sri. "
"Sudah dijawab kan? Beres kalau begitu, ayo cepet mas.."
"Aku baru mau kesana seminggu lagi. Sri jawabnya belum jelas. Tapi dia tidak
menolak."
"Ya udah, itu sudah 90 persen mau."
"Do'akan ya Tri.."
"Iyalah.. aku do'akan, nanti pas melamar aku sama mas Bayu akan mengantar kamu."
"Ya, siip lah. Ini pisangnya, langsung enak buat kolak."
"Sama jeruknya jadi berapa?"
"Berapa lah terserah."
"Gimana sih, orang jualan kok nggak mau kasih harga. Ya sudah, ini saja, mana, saya
bawa sekalian."
"Kamu sama siapa?"
"Sendiri lah, biasanya kan juga sendiri."
"Pengantin baru kan kemana-mana harus berdua."
"Ya enggak, mas Bayu sudah harus bekerja. Saya dirumah sama ibu saja. Ya sudah mas,
terimakasih banyak," kata Lastri sambil berlalu.
"Eit.. kembaliannya.." teriak Timan.
"Nggak usaaah.." dan Lastri mempercepat langkahnya, takut Timan mengejarnya.
***
"Hayo, ngelamun saja dari tadi," tegur mbah Kliwon ketika melihat si Sri banyak
melamun pagi itu.
"Enggak mbah.."
"Simbah mendengar apa yang dikatakan mas Timan kemarin. Kamu bagaimana?"
"Itu mbah.. so'al......"
"Dia ingin menjadikan kamu isterinya.. kamu suka kan?"
"mBah.. saya takut bapak menolaknya.."
"Nanti aku mau bicara sama bapakmu. Dia tak bisa memaksakan kehendak. Ini demi
hidup kamu Sri, simbah tau kamu sangat menderita, apalagi setelah mbokmu
meninggal," kata mbah Kliwon sendu.
Berlinang air mata si Sri. Ingatan akan ibunya membuatnya sangat membenci ayahnya.
Kalau saja waktu itu ayahnya mau membawanya kerumah sakit, barangkali ibunya masih
ada sampai sekarang.
"Tapi ya sudah nduk, nggak ada yang perlu disesali, karena manusia hidup itu kan
hanya bisa berpasrah diri. Jadi ya memang harus beginilah jalannya, kita harus
ikhlas menerimanya."
"Iya mbah."
Nanti aku akan ikut kamu sa'at pulang, aku akan bicara sama bapakmu."
Si Sri hanya mengangguk,
***
Namun sore itu Darmin tampak sedang mabuk. Ketika mbah Kliwon datang bersama si
Sri, dia sama sekali tak berdiri untuk menyambutnya.
"Sri.. mengapa kamu belum juga memakai baju-baju bagus itu? Nanti bapak akan bakar
semua baju kumal kamu!!" hardik Darmin begitu melihat si Sri pulang. Si Sri tak
menjawab, langsung melangkah kebelakang.
"Min, ini aku Min.." kata mbah Kliwon/
"O.. bapak.."
Tanpa menunggu dipersilahkan mbah Kliwon langsung duduk dikursi.
"Jangan teriak-teriak begitu. Apa nggak malu didengar tetangga?"
"Ada apa, tumben bapak datang kemari," kata Darmin tanpa mengacuhkan apa yang
dikatakan mertuanya.
"Ada perlu, duduklah disini, dedekatku," kata mbah Kliwon karena melihat Darmin
masih duduk didepan kamarnya sambil merokok, tanpa perduli pada kedatangan
mertuanya.
Kemudian Darmin mendekat, duduk dihadapan mbah Kliwon.
"Aku mau bicara penting."
"Ya, ada apa?" tanya Darmin dingin.. Tak ada rasa hormat sedikitpun walau mbah
Kliwon adalah mertuanya, bahkan yang memberinya tempat bernaung, dan juga berbagi
makanan kalau mbah Kliwon punya lebih.
"Ini tentang anakmu."
"Kenapa dia?"
"Anakmu kan sudah dewasa, sudah sa'atnya berkeluarga."
Mata Darmin menyala kemerahan, terbawa oleh minuman keras yang belum lama
diminumnya, dan rasa kesal karena merasa terganggu oleh kedatangan mbah Kliwon.
"Ada seorang laki-laki, baik, mapan, mau mengambilnya sebagai isteri."
"Apa? Ada yang mau memperisteri si Sri?
Tangan Darmin terkepal, lalu dipukulkannya ke meja.
"Tidaaaakkk! Tidak boleh !!""
mBah Kliwon terkejut. Ia sudah tua, dan suara keras membuat dadanya sakit.
==========
mBah Kliwon tak bisa menjawab. Matanya memancarkan kemarahan. Bukan karena
penolakan Darmin atas lamaran yang diutarakannya, tapi atas sikap menantunya yang
tak menaruh hormat.
mBah Kliwon merasa dadanya sesak. Lalu nafasnya terengah-engah. Sri yang sejak tadi
mendengarkan pembicaraan itu dari balik pintu, melongok keluar, dan melihat wajah
simbahnya pucat dan nafasnya terengah-engah. Si Sri mengambil air yang ada diatas
meja, dituangkan kedalam gelas, lalu tergopoh menghampiri simbahnya.
"mBah, minum dulu mbah.."
mBah Kliwon minum seteguk air lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.
Nafasnya masih terengah-engah. Si Sri menatap bapaknya penuh kebencian.
Melihat keadaan mertuanya, Darmin mengendorkan suaranya.
"Pak, Si Sri itu anakku, biar aku yang mengurusnya. Bapak itu sudah tua, jangan
banyak pikiran."
"Ya sudah, simbah mau pulang dulu Sri," kata mbah Kliwon yang kemudian berdiri.
"Saya antar pulang mbah," kata si Sri sambil menggandeng lengan simbahnya.
Darmin memelototi anaknya, ingin melarang, tapi si Sri tak perduli, ia terus
menggandeng mbah Kliwon keluar dari rumah.
"Sudah Sri, nanti kamu dimarahin bapakmu," kata mbah Kliwon masih dengan nafas
tersengal.
"Biar saja bapak marah mbah. Si Sri tidak takut."
"Heran.... dia nggak bisa diajak bicara.."
"Sri sudah menduganya mbah.. sabar ya mbah, dan jangan difikirkan. Nanti biar si
Sri sendiri yang bicara, tak perduli bapak akan marah."
"Kasihan sekali hidupmu ini nduk, anak baik, dilahirkan di keluarga kasar seperti
itu."
"Tidak apa-apa mbah. Sudah jangan difikirkan. Nanti sampai rumah, Sri akan
membuatkan wedang jahe buat simbah."
"O alah nduk.. nduk.. semoga nanti kamu bisa mendapatkan hidup enak, bahagia,
mulia, dunia dan akhirat ya nduk."
"Aamiin, mbah..
Mereka sudah sampai dirumah Lastri. Memang sejak Lastri kembali kekota, mbah Kliwon
diminta untuk tinggal saja dirumah itu, daripada kosong.
Si Sri menuntun mbah Kliwon kekamarnya.
"Simbah berbaring saja dulu, Sri akan membuat wedang jahe, dikasih sereh sama daun
jeruk ya mbah?"
mBah Kliwon mengangguk angguk.
Mata tuanya menyipit, berusaha menahan air mata yang mengambang disana. Mata tua
yang penuh dengan derita, tapi selalu diterimanya dengan pasrah.
"Aku boleh menderita, tapi janganlah cucuku juga merasakan derita yang begitu
berat, ya Allah ya Tuhanku.. berilah kebahagiaan pada hidupnya, entaskanlah dari
kehidupan yang membuatnya tersiksa.."
Tak urung air mata itu runtuh. mengaliri pipi yang mulai keriput dimakan usia.
"mBah, ini wedangnya sudah siap.. hm.. baunya sedap banget ya mbah, tadi si Sri
kasih gula batu."
"Iya nduk, terimakasih ya nduk, taruh dulu disitu, biar dingin."
"Ini saya tuang di cawan saja ya mbah, biar cepat dingin, biar bisa segera diminum
oleh simbah."
Si Sri kebelakang, mangambil cawan, lalu menuang sedikit wedang itu ke cawan. Si
Sri menyendokkannya sedikit demi sedikit kemulut mbah Kliwon.
"Segar Sri, simbah mau duduk saja, seperti orang sakit kalau disuapi begini," kata
mbah Kliwon sambil bangkit.
Dia kemudian menyendokkan wedang jahe itu sendiri.
"Sudah nduk, nanti lagi."
"Sudah merasa enakan mbah?"
"Sudah nduk," kata mbah Kliwon sambil mengelus kepala cucunya.
"Semoga kamu mendapatkan jodoh yang baik, yang bisa membahagiakanmu ya nduk. Jangan
jodoh seperti bapakmu. Dulu simbokmu tergila-gila karena bapakmu tampan, dan
menjadi pekerja dikebun milik tuan Cokro. Tapi ternyata semuanya tidak seperti yang
diharapkan. Kehidupan itu, kamu menyaksikannya bukan>?"
Sri mengangguk, ia duduk ditepi pembaringan, kemudian menyandarkan kepalanya dibahu
simbahnya. Hanya mbah Kliwon tempatnya bersandar, tempatnya mengadu, tempatnya
mencari ketenangan.
"Ya sudah, kamu pulang saja, nanti bapakmu bertambah marah kalau kamu kelamaan
disini."
"Saya ambilkan simbah makan dulu, baru pulang."
"Kalau begitu kita makan bersama saja ya nduk, tenang rasanya kalau ada kamu," kata
mbah Kliwon sambil merosot turun. Rasa sesak didadanya sudah berkurang banyak. Ia
menghirup lagi sisa wedang jahe yang ada digelas.
"Enak, nduk.."
"Rasanya bagaimana sekarang mbah, sudah lebih baik?"
"Sudah nduk, ayo kita makan, sebelum kamu pulang."
Sri menuntun mbah Kliwon keluar dari kamar. Menuju dapur.
"Aku sudah tidak apa-apa, mengapa harus dituntun-tuntun?"
Sri mengambil piring, meletakkan nasi dan sisa asem-asem buncis ddimeja. Ada dadar
telur sisa tadi siang.
"Ayo mbah, makanlah,"
Sri menyendokkan nasi dipiring simbahnya, dan asem-asem, serta seiris telur dadar.
Sesungguhnya mbah Kliwon tidak lapar. Ia hanya ingin si Sri ikut makan, karena
belum tentu kalau dirumah bisa makan dengan rasa nyaman.
"Simbah sedikit saja nduk."
Si Sri ikut makan, juga bukan karena lapar. Ia ingin simbahnya makan walau hanya
sedikit saja.
"Besok Sri akan masak sayur gori ya mbah."
"Iya, terserah kamu saja."
"Benarkah simbah sudah merasa enakan?"
"Sudah nduk, tadi simbah agak merasa sesak nafas, karena kaget. Simbah tidak
mengira bapakmu bisa bersikap sekasar itu pada ayah mertuanya."
"Bapak itu sering kemasukan setan. Apalagi kalau sudah minum-minum. Entah berapa
banyak laki-laki kurangajar itu memberi uang pada bapak, sehingga setiap hari bisa
beli makanan enak dan minuman yang memabokkan itu.
"Sekarang simbah merasa khawatir nduk."
"Khawatir kenapa mbah?"
"Khawatir kalau bapakmu akan menjual kamu."
"Menjual saya bagaimana mbah?"
"Dia minta banyak uang pada Basuki, lalu memberikan kamu agar jadi isterinya."
Si Sri berhenti mengunyah nasinya. Kata-kata mbah Kliwon sangat membuatnya takut.
"Sudah, semoga saja tidak, ayo habiskan makananmu."
Sri meneguk air digelas yang sudh dipersiapkannya, karena nasi yang belum selesai
dikunyahnya tak bisa tertelan olehnya. Terbayang lagi bagaimana Basuki menowel
pipinya.
Wajah Sri mendadak muram.
"Kamu harus bersiap menerimanya kalau itu terjadi."
"Tidak mbah, Sri tidak sudi. Laki-laki itu sangat kurangajar. Sri benci sekali sama
dia."
"Semoga Alloh melindungi kamu nduk."
"Simbah tidak apa-apa kalau saya pulang?"
"Tidak nduk, simbah sudah merasa baik. Maklumlah orang tua, mendengar barang jatuh
agak keras saja dada rasanya seperti ditendang, apalagi suara dari mulut, ditambah
gebrakan meja. Untunglah ada kamu Sri, kamulah yang menguatkan simbah. Semoga
simbah tidak akan mati dulu sebelum kamu hidup bahagia," kata mbah Kliwon sambil
berlinang air mata.
"Jangan begitu mbah, simbah harus tetap menemani Sri, sampai kapanpun, kata si Sri
sambil memeluk simbahnya.
***
"Si Sri pulang kerumah ketika hari sudah gelap. Ia membuka pintu, dan mendengar
suara ayahnya terbatuk-batuk dengan sangat keras. Sebenarnya Sri tak ingin menemui
ayahnya, ia ingin langsung masuk kekamar dan tidur. Tapi mendengar ayahnya terbatuk
tak henti-hentinya, miris juga hati si Sri. Perlahan ia mendekati kamar ayahnya,
membuka sedikit pintunya. Dilihatnya ayahnya duduk dipinggir ranjang, sambil
memegangi botol minuman keras.
"Bapak sudah terbatuk batuk seperti itu, masih minum begituan juga," tegur Sri
sambil masuk, lalu mengambil botol dari tangan ayahnya.
"Heeiii... mana botolku... kembalikaaan.." teriaknya marah.
"Jangan lagi pak, bapak sakit.."
Darmin kembali terbatuk-batuk, sampai terbungkuk-bungkuk
Sri masuk kebelakang dan mengambil air yang dicampurnya dengan air panas dari
termos lalu masuk kedalam kamar bapaknya.
"Minum air hangat ini saja pak.. biar batuknya reda."
"Nggak mau, mana botolnya tadii?"
"Coba bapak minum ini dulu," kata Sri memaksa.
Darmin meneguk minuman yang setengah panas itu, dihabiskannya satu gelas besar yang
diulurkan anaknya.
Batuk itu mereda. Sri keluar dari kamar dengan perasaan kesal. Kesal dan marah
kepada bapaknya, tapi dia adalah orang tuanya, yang mengukir jiwa raganya. Sri
terbaring dikamarnya, dengan perasaan tak menentu.
***
Pagi itu bu lurah Marni seperti biasa menggendong Jarot, berjalan membawa rantang
kerumah Lastri. Tapi dengan heran dia melihat beberapa keranjang sayuran menunmpuk
diluar rumah, sementara rumah itu masih tertutup.
Marni mengetuk pintunya pelan.
"mBah, mbah Kliwon... mbah.."
Agak lama Marni mengetuk, lalu didengarnya langkah mendekat dibelakangnya.
"Yu Marni?"
"Oh, Sri.. kamu juga baru datang? Heran aku Sri,mengapa pintunya masih tertutup?"
"Iya, apa simbah sakit?"
Sri ikutan mengetuk pintu.
"mBah.. simbah..."
Diketuknya terus pintu itu. Ada rasa khawatir menyelinap dihatinya. Kemarin
simbahnya tampak sakit, nafasnya terengah, lalu diketuknya pintu lebih keras.
Terdengar langkah menyeret sandal, mendekati pintu, lalu pintu itu terbuka.
"mBah, sakitkah?" tegur bu lurah khawatir.
"Tidak, tidak, saya baik-baik saja. Hanya semalam nggak bisa tidur, jadi bangun
kesiangan. Ma'af bu lurah. Sri.. masuklah.. benar-benar simbah kesiangan."
Bu lurah Marni masuk kedalam, diikuti Sri. Bau minyak gosok menyeruak. Tampaknya
mbah Kliwon memakai obat gosok semalam.
"Simbah sakit?" tanya Sri meyakinkan.
"Tidak... aduh, tolong bantuin mengurus barang-baramg itu Sri.."
"Bau minyak gosok, mau dikerokin mbah?"
"Enggak, semalam simbah menggosok dada dan perut pakai minyak gosok, sekarang sudah
baik kok."
"Baiklah mbah." jawab Sri sambil melangkah kedepan.
Dilihatnya mobil pick up bertuliskan LASTRI sudah siap mengangkut sayuran.
"mBah, ini Marni bawakan nasi buat sarapan," kata bu lurah sambil meletakkan
rantang dimeja.
"Setiap hari dikasih sarapan, duuh.. terimakasih lho .. "
"Itu nasi sama oseng sawi, ada tahu goreng sama kerupuk."
"Terimakasih banyak bu lurah.. nanti bisa buat sarapan sama si Sri. Rantangnya
nanti saya titipkan sopir... kan lewat sana, seperti biasanya."
"Iya mbah, sekarang saya pamit dulu, mau memandikan thole," kata Marni sambil
keluar dari rumah.
mBah Kliwon duduk di kursi bambu. Memang dirasanya badannya kurang enak. Mungkin
karena semalam nggak bisa tidur, atau memang sedang masuk angin.
Ia pergi kebelakang, merebus jahe dan sereh yang selalu siap didapur,
Sedikit segar ketika wedang jahe diteguknya, mbah Kliwon duduk menyandarkan
tubuhnya dikursi bambu itu. Ingatan tentang penolakan Darmin atas lamaran yang
diajukan Timan membuatnya sedih. Ia belum mengatakan siapa orangnya, Darmin sudah
menolaknya dengan kasar. Memang benar Sri hanyalah cucunya, yang lebih berhak
adalah bapaknya, tapi kalau bapaknya membuat cucunya menderita haruskah dia diam
saja?
"mBah, Sri sudah selesai, lho simbah sudah buat wedang jare sendiri?" tanya Sri
sambil mendekati simbahnya.
"Sudah, itu masih sisa kalau kamu mau, tinggal disaring saja."
"Simbah sarapan dulu ya.. saya tata dimeja saja."
"Ya, simbah mau mandi dulu, tadi sudah menjerang air."
"Baiklah.saya bersih-bersih rumah ya mbah."
***
Hari itu tak banyak yang dikerjakan mbah Kliwon. Sri melarangnya, karena mbah
Kliwon tampak kurang sehat. Selesai mengurus barang-barang, Sri memasak didapur.
Kemarin sudah bilang mau masak sayur gori. Ada balur yang dibelinya beberapa hari
lalu, yang kemudian digoreng. mBah Kliwon suka sekali sayur gori sama ikan asin.
Ketika selesai memasak, dilihatnya mbah Kliwon duduk di kursi bambu. Sri mendekati
lalu menawarkan makan siang.
"Nanti saja Sri, simbah belum lapar. Kalau kamu lapar, makan saja dulu."
Sri duduk didepan mbahnya. Ditatapnya wajah tua itu dengan rasa iba. Tampaknya ia
sedang memikirkan sesuatu. Pasti sikap ayahn ya sangat menyakiti perasaannya. Ia
sudah berbuat banyak untuk menantu yang sejatinya nyaris tak berguna. Tapi balasan
yang diterimanya sungguh membuat sakit. Bukan hanya hatinya, tapi raganya ikut
terguncang. Tubuh tua itu seharusnya sudah beristirahat, dilayani dan dituruti apa
yang menjadi keinginannya. Tapi mbah Kliwon tidak merasakannya. Seakan ada beban
berat yang disandangnya.
"mBah.." pelan Sri memanggil simbahnya.
mBah Kliwon menatap cucunya.
"Mengapa kamu tidak makan saja duluan?"
"Sri juga belum lapar mbah, nanti saja kita makan bersama-sama."
"Ya sudah.."
"Kalau simbah agak kurang enak badan, tiduran saja dahulu. Atau mau Sri kerokin?"
"Nggak usah, simbah baik-baik saja."
Tapi Sri tau bahwa simbahnya tidak sedang baik baik saja. Mungkin tubuhnya tidak
merasakan sakit, tapi dari sorot matanya, ada yang terasa menyiksa. Sri sedih, ia
tau ayahnya lah yang membuat semua ini.
"Apa yang dikatakan bapak, simbah nggak usah memikirkannya. Dia memang begitu,
susah diajak bicara, tak pernah mau mendengar kata orang."
mBah Kliwon menatap cucunya dengan iba. Ssungguhnya bukan menantunya yang dia
pikirkan, tapi justru cucunya. mBah Kliwon sangat menghawatirkan nasib si Sri.
Kalau si Sri sengsara, mbah Kliwon tak akan terima. Anak perempuannya sudah
meninggal dalam kehidupan yang tidak bahagia. Bagaimana kalau si Sri juga
merasakannya?
"mBah, apa simbah memikirkan sesuatu?" tanya Sri karena mbah Kliwon tak mengatakan
apa-apa, hanya memandanginya dengan perasaan yang tak dimengertinya.
"Simbah menghawartirkan kamu Sri.."
"Mengapa simbah menghawatirkan Sri? Sri tidak apa-apa."
"Kamu tak akan bisa melawan bapakmu."
Sri termenung. Selama ini dia selalu patuh pada bapaknya, tapi sejak mendengar
bapaknya membentak simbahnya, sakit hati si Sri. Dia sangat menyayangi simbahnya.
Dia membenci ayahnya karena kelakuannya yang sangat buruk.
"Kali ini Sri akan melakukannya. Sudah lama Sri memendam rasa kesal pada bapak."
"Sesungguhnya melawan orang tua itu dosa."
"Tapi bagaimana dengan kelakuan orang tua yang tidak benar?"
"Simbah berharap, kamu akan kuat Sri."
"Simbah jangan khawatir. Sri bisa menjaga diri. Simbah jangan menghawatirkan Sri.
Sri akan kuat, percayalah mbah."
Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar rumah.
"Srii!! Srii !!" itu suara Darmin. mbah Kliwon mengangkat kepalanya.
"Simbah tidak usah keluar, biar Sri saja."
Sri berdiri dan keluar, didepan pagar dilihatnya bapaknya sedang berdiri sambil
berkacak pinggang.
"Ada apa?"
"Kamu harus pulang sekarang, bapak mau bicara."
"Pekerjaanku belum selesai, bicara nanti sore saja," kata Sri dingin. Ia sudah
membulatkan tekat, tidak semua perintah ayahnya harus dipatuhi.
"Sekarang kataku !!"
"Tidak, simbah sedang tak enak badan, Sri tak bisa meninggalkannya."
"Kamu mulai berani menentang bapakmu?" hardik Darmin sambil matanya melotot. Mata
merah yang disebabkan oleh banyaknya minum minuman keras.
"Bukan menentang. Ini sa'atnya Sri masih bekerja."
"Ada hal penting yang kamu harus tau ! Pulang tidak??!
Sri menggeleng. Ia ingin kembali masuk kerumah, tapi kemudian Darmin mendekat dan
menarik tangannya.
Sri menjerit.
"Tidak bapak, lepaskaaan!! Sri berteriak. Tapi Darmin terus saja menariknya.
mBah Kliwon yang mendengarnya segera berdiri dan melangkah keluar, tapi bersamaan
dengan itu, sebuah mobil berhenti, tepat didepan pagar.
Bersambung #3
CERITA WA: Kembang Titipan #3
Cerita Bersambung
Sri meronta, pegangan ayahnya terlepas, karena Darmin sedang menatap mobil yang
baru datang. Seorang laki-laki dengan masih berseragam warna khaki.. turun dari
dalam mobil. Pak lurah Mardi.
"Ada apa ini ?" Tegur pak lurah sambil menatap si Sri..
"Ini kang.. eh..pak lurah.." kata si Sri sambil menuding kearah ayahnya.
Darmin melangkah keluar dari halaman. Ia sungkan terhadap lurah dusun yang tiba-
tiba datang. Ditinggalkannya si Sri begitu saja.
"Bapak tunggu kamu dirumah !!" kata Darmin sambil menjauh, sambil melotot kearah
anaknya.
"Ada apa Sri?"
"Silahkan masuk .. tiba-tiba mbah Kliwon sudah keluar juga. Lega rasanya melihan
Darmin sudah pergi.
"Saya dengar dari Marni, katanya mbah Kliwon sakit, makanya dari kelurahan saya
langsung kemari." kata pak lurah Mardi sambil mendekati mbah Kliwon.
"Ooh, bu lurah berlebihan. Cuma kemarin saya masuk angin. Ayo pak lurah, silahkan
masuk.." kata mbah Kliwon sambil mendahului masuk kerumah.
Wajah Sri masih pucat, ia berjalan agak sedikit dibelakang pak lurah.
"Ada apa Sri?"
Si Sri hanya menunduk. Tak terbayangkan kalau tadi pak lurah tidak datang, pasti ia
akan diseret disepanjang jalan menuju rumahnya, lalu semua orang melihatnya.
"Silahkan pak lurah. Ayo Sri, buatkan minum untuk pak lurah," ujar mbah Kliwon .
Lurah Mardi duduk, Sri beranjak kebelakang untuk membuatkan minuman.
"Kemarin agak kurang enak badan, lalu nggak bisa tidur, jadi bangunnya kesiangan.
Tapi saya tidak apa-apa kok."
"mBah, kalau memang badan kurang enak, lebih baik ke puskesmas saja, disana ada
dokter yang menangani, lalu dikasih obat.,"
"Iya, Sri sudah membuatkan saya wedang jahe, lalu saya merasa lebih baik."
"Syukurlah mbah, tapi ingat ya, kalau terasa badan kurang enak, harus periksa ke
dokter."
"Baik pak lurah."
"Itu tadi kan pak Darmin. Kenapa dia? Sepertinya marah sama Sri."
"Dia itu kan pemabuk, jadi ya begitulah kalau orang lagi mabuk."
"Pemabuk? Saya dengar sudah lama dia tidak pernah minum-minum."
"Ya, beberapa waktu berhenti minum karena tidak punya uang, tapi tampaknya ada yang
memberi dia uang, sehingga kumat."
"Oh, bekerja apa dia?"
"Bekerja apa, ya cuma lontang lantung begitu. Merokok nggak mau berhenti, uangnya
minta dari si Sri."
"Aduh, kasihan Sri ya mbah."
Sri datang menghidangkan minuman.
"Silahkan pak lurah."
"Srii.."
"Ya pak lurah.."
"Tadi tuh kenapa bapakmu narik-narik kamu?"
"Saya disuruh pulang, tapi saya nggak mau. Simbah agak masuk angin, dan pekerjaan
belum selesai."
"Ada apa sampai maksa-maksa begitu?"
"Ah, nggak tau pak lurah.. bapak memang suka memaksakan kehendak."
"Sepertinya tadi sedang mabuk, aku mencium bau minuman keras."
"Benar pak lurah."
"Lain kali akan aku suruh petugas untuk memperingatkan. Mabuk-mabukan itu
dilarang."
"Mungkin hanya pak lurah yang bisa memperingatkannya."
"Mudah-mudahan mbah."
"Silahkan diminum .." kata Sri.
Pak lurah meneguk minuman yang disuguhkan.
"Beberapa hari yang lalu mas Timan kemari kan?" katanya sambil menatap si Sri.
"Ya..." jawab Sri pelan.
"Semoga ada pembicaraan yang lebih serius ya Sri?"
Sri menunduk tersipu.
"Ya itulah pak lurah, nak Timan kan sudah bilang mau mengambil Sri sebagai
isterinya. Kemarin saya sebetulnya ingin bicara so'al itu sama Darmin, tapi
jawabannya sungguh diluar dugaan."
"Maksudnya?"
"Dia bicara kasar sama saya, dan bilang supaya saya tidak usah memikirkan Sri,
karena Sri adalah anaknya."
"Dan karena itu simbah jadi sakit semalam."
"Ya ampun, mengapa dia menolak? Bukankah mas Timan orangnya baik, dan sudah mapan?"
"Saya belum sempat mengatakan siapa dia dan bagaimana dia, dia sudah menggebrag
meja dengan kata-kata yang menyakitkan."
"Jangan-jangan Sri sudah dijodohkan dengan seseorang.."
"Saya juga mengira begitu," kata mbah Kliwon.
"Kamu tau siapa kira-kira orang yang dijodohkan sama kamu?"
"Nggak tau saya, tapi kalau laki-laki setengah tua yang memberi uang sama bapak,
dan baju-baju buat saya, saya tidak akan mau."
"Oh, kenapa? Dia jelek? Kurang tampan?" goda pak lurah.
"Dia laki-laki setengah tua, tapi sangat kurangajar. Sri benci, dia jelas bukan
laki-laki yang baik. Tapi Sri nggak tau, apa maksud laki-laki itu dengan semua
pemberiannya."
"Kemungkinan besar ya. Tapi kalau dia bukan laki-laki baik, harusnya pak Darmin
mencegahnya. Masa anak gadisnya akan diberikan kepada laki-laki yang tidak akan
bisa membuat anaknya bahagia?"
"Ya, kalau itu orang waras, tapi apa dia itu waras?"
"Nanti kalau mas Timan datang, saya akan mengantarnya menemui pak Dar,min,
tampaknya pak Darmin punya rasa segan sama saya."
"Terimakasih sebelumnya pak lurah," kata mbah Kliwon penuh harap.
***
Sore itu Sri langsung mandi, lalu masuk kedalam kamarnya. Dia tak perlu melayani
bapaknya karena akhir-akhir ini Darmin selalu beli makanan sendiri yang
dihabiskannya tanpa perduli pada anaknya. Dan tampaknya sejak tadi dia juga tak
melihat bayangan ayahnya. Mungkin pergi entah kemana, membeli minuman keras kekota,
atau berfoya foya dengan uangnya.
Sri merebahkan tubuhnya dan berusaha memejamkan matanya. Tiba-tiba wajah tampan
dengan mata teduh itu membayang dipelupuk matanya.
"Kalau kaamu ingin, jadilah isteriku.." kata-kata itu terngiang kembali, ketika Sri
mengatakan keinginannya bisa berjualan dipasar.
Sri tersenyum. Seperti mudah mengatakan itu, membuat hatinya berbunga bunga.
Seandainya dia adalah kembang liar yang tumbuh ditepi jalan, betapa mudah ketika
Timan ingin memetiknya. Tapi dia adalah kembang yang tumbuh ditanah kering,
kerontang tanpa air sebagai penyiram dahaga. Dan tanah kering itu berada dalam
kekuasaan raksasa yang maha kejam dengan taring sebesar pisau belati, dan mata
selalu memancarkan api.
Sri teringat dongeng ibunya ketika masih kecil.
"Sang putri jelita diculik oleh raksasa, disembunyikan didalam gua yang hanya punya
satu pintu, dan dipintu itu duduk seekor singa yang siap menerkam siapa saja yang
berani memasukinya."
"Apakah puteri itu menangis?" tanya Sri kecil yang mendengarkan dongeng itu sambil
berlinang air mata, karena kasihan pada sang putri.
"Tentu saja puteri itu menangis, siang dan malam."
"Kasihan..."
"Tapi, sang puteri yang baik hati dikasihani oleh Allah Yang Maha Pengasih."
"Lalu Dia menolongnya?"
"Ya, seorang pangeran dengan kuda putih berhenti dimulut guha, karena mendengar
tangisan sang putri. Pangeran tampan itu turun dari kuda, berjalan menuju guha.
Tapi tiba-tiba terdengar auman keras, lalu muncullah seekor singa yang menampakkan
gigi-gigi runcingnya.
"Berhenti !!" kata singa itu.
"Siapa yang menangis didalam sana?"
"Itu bukan urusanmu. Segera pergi kalau tak ingin aku mengunyak-ngunyah tubuhmu."
Sri kecil menutup mulutnya.
"Tapi sang pangeran tidak takut. Dia mengeluarkan pedangnya dan bertarung melawan
singa itu. Dan berkali-kali pedang sang pangeran melukai tubuh singa yang mengamuk
membabi buta. Akhirnya singa itu kalah dan mati."
"Syukurlah.. lalu bagaimana sang putri?" Sri kecil memeluk ibunya.
Sang pangeran kemudian masuk kedalam gua, mendekaati sang putri dan
menggendongnya."
"Asyiiiik.." teriak Sri kegirangan.
"Lalu sang putri didudukkannya diatas kuda putih, dan sang pangeran membawanya ke
istananya."
Sri menghela nafas, matanya setengah terpejam, seandainya dia puteri itu, siapakah
pangeran berkuda putih yang akan membawanya ke istananya?
Sri terlelap dalam mimpi, tentang pangeran berkuda putih, yang membawanya
berkeliling dunia, melihat pemandangan indah yang terhampar disekelilingnya.
Bahagia rasanya, bersandar didada pangeran yang memeluknya dari belakang, mendengar
bisikan-bisikan cinta yang membuatnya terbuai disepanjang perjalanan.
***
Tapi pagi itu sebelum berangkat, ayahnya memanggilnya. Rupanya belum lama dia
pulang, dan baru mau berangkat tidur.
"Sriii !!"
Sri yang baru mau melangkahkan kakinya keluar dari pintu, kemudian berhenti.
"Sini kamu !"
Sri kembali masuk, dilihatnya ayahnya berdiri didepan pintu kamarnya.
"Kamu itu bandel ya. Kan bapak sudah bilang, jangan memakai baju-baju kumal itu
lagi!"
"Ini bukan baju kumal. Ini bersih dan masih bagus."
"Itu baju perempuan dusun yang tidak berkelas."
Sri melebarkan matany. Darimana bapaknya mendapatkan kata-kata berkelas itu? Selama
ini dia adalah gadis dusun. Kelas itu dipandang dari mana?
"Kamu harus menjadi perempuan yang punya kelas."
"Kelas itu apa?" tanya Sri dengan wajah kesal.
"Bodoh !! Kelas adalah nilai derajat seseorang."
"Haaa.. darimana derajat itu dilihat? Bukankah derajat adalah sebuah perilaku yang
tampak dan yang terpuji? Bukan dari pakaian yang dikenakan?" kata Sri dengan
berani. mBah Kliwon sering mengatakan itu dan terpateri dalam ingatannya.
"Apa katamu? Siapa mengajarimu?"
"Hidup yang mengajari Sri. Ma'af ya pak, kelakuan bapak itu yang tidak berkelas."
kata Sri makin berani, karena kebencian pada ayahnya semakin memuncak.
Darmin maju selangkah dan sebuah tamparan mendarat dipipi si Sri.
"Auuw !" Sri menjerit lirih sambil memegangi pipinya. Kalau saja ada kaca disana
pasti Sri akan melihat bahwa pipinya berbekas merah.
"Kamu semakin kurangajar pada bapak? Kamu tidak punya rasa hormat !"
"Bapak tidak mengajari saya bicara dengan hormat. Bapak menyakmiti simbah, dan
tidak menghormati simbah sebagai ayah dari almarhum ibu."
Darmin mengayunkan lagi tangannya, siap menyakiti Sri dengan tamparan yanglebih
keras, tapi Sri sudah membalikkan tubuhnya.
"Heii! Dengar !! Bilang pada simbahmu, jangan ikut-ikutan mengurusi kamu!!"teriak
Darmin penuh amarah.
Lalu Sri berlari keluar, membiarkan air matanya terburai sepanjang perjalanannya
kerumah Lastri.
Darmin urung mengejarnya karena rasa kantuk memberati matanya. Ia memasuki kamarnya
sambil membanting pintu.
***
Ketika tiba dihadapan mbah Kliwon, Sri melihat mbah Kliwon sudah duduk di kursi
bambu, dan dua gelas wedang jahe terhidang dihadapannya. Tidak hanya wedang, ada
sepiring ketela menemani wedang itu. Masih panas.
"mBah.. simbah bangun sangat pagi," sapa Sri sambil duduk didepan simbahnya.
"Ya, simbah merasa lebih enak. Itu wedang buat kamu, minumlah dulu," kata mbah
Kliwon.
Sri mengambil wedangnya dan menghirupnya pelan.
"Hm, enak mbah.. "
"Kamu tadi menangis?" tanya mbah Kliwon sambil menatap cucunya. Rupanya mata tuanya
masih sempat melihat sembab diwajah si Sri.
Sri menghirup lagi wedangnya.
"Bapakmu marah-marah? Apa yang dikatakannya kemarin begitu kamu sampai dirumah?"
"Ketika Sri sampai dirumah, bapak tidak ada. Entah pergi kemana..Baru pagi tadi
pulang, ketika Sri mau berangkat."
"Bilang apa dia?"
"Biasa mbah, tidak perlu Sri ceritakan."
"Kamu menangis?"
"Hampir setiap hari Sri menangis." kata Sri sambil mengupas ketela sepotong yang
diambilnya. Masih panas, Sri mengupasnya pelan.
"Apa bapakmu mengatakan bahwa kamu akan dijodohkan dengan seseorang? Yang namanya
Basuki itu.. misalnya?"
"Tidak, bapak belum mengatakan apa-apa. Tapi kalau demikian halnya, maka Sri akan
menolaknya. Tak mungkin dia bujangan. Umurnya sudah setengah abad kira-kira, dan
matanya kelihatan bukan mata orang baik-baik. Jijik Sri melihatnya."
"Kebangetan bapakmu itu.. pikirannya sudah tidak waras. Keracunan minuman keras.
Tidak memikirkan perasaan anaknya."
"Ya sudah mbah, jangan difikirkan, mari kita bekerja..," kata Sri sambil berdiri.
***
Sore itu Sri pulang dengan perasaan segan. Sungguh menyebalkan dirumah sendiri,
bersama orang tuanya, tapi tak membuat hatinya nyaman. Salah siapa kalai Sri lebih
menyayangi simbahnya daripada bapaknya?
Kalau ada kesempatan nanti Sri akan minta kepada ayah nya agar boleh tinggal
bersama simbahnya saja. Bolehkah? Bagaimana kalaau tidak boleh? Beranikah dia
nekat? Beribu pertanyaan memenuhi benaknya.
Tapi untuk terus bersama ayahnya, dia merasa tak betah. Darmin sepeerti orang asing
baginya. Seperti tak ada ikatan darah yang membuatnya merasa sayang. Air mata Sri
menitik, lalu diusapnya.
Sri memantapkan hatinya untuk bicara dengan ayahnya. Ia harus berani.
Namun kira-kira sepuluh langkah sebelum dia memasuki pagar rumahnya, dilihatnya
sebuah mobil berhenti. Sri terkesiap. Itu seperti mobil si kurangajar itu. Sri
membalikkan tubuhnya karena tak ingin bertemu Basuki. Ia mempercepat langkahnya,
namun sebongkah batu membuatnya tersandung sehingga dia jatuh tersungkur. Sebuah
langkah cepat menghampiri. Wajah Sri pucat pasi. Tartatih berusaha bangun, tapi
sebuah tangan menangkap lengannya. Lengan yang kuat dan sedikit berbulu. Sri
bergidik, mencoba meronta, tapi tangan itu begitu kuat.
==========
Sri terus meronta, tapi tangan kekar itu semakin kencang menggenggam lengannya.
"Lepaskaaan!! " pekik Sri marah.
"Wauuw... kelinci cantik.. galak bener..." kata Basuki sambil tertawa, lalu
mengulurkan kedua tangannya untuk menarik tangan Sri.
Sri berdiri, mengibaskan tangannya sampai terlepas dari pegangan Basuki, lalu
melangkah pergi. Tak dirasakannya rasa perih pada lututnya akibat terbentur tanah
berbatu.
"Heiii... tungguu...." teriak Basuki sambil mengejar.
"Kalau kamu nekat, aku akan berteriak maling, supaya orang-orang keluar dan
menghajar kamu," ancam Sri keras.
"Yaah, kejam amat, aku kan menolong kamu, kok mau diteriakin maling? " omelnya
sambil terus mengikuti Sri.
Sri membalikkan badannya dan menuding kearah Basuku.
"Berhenti disitu. Atau bener nih, aku teriak?"
Basuki ternyata keder dengan ancaman si Sri. Bisa habis aku kalau orang sekampung
menangkap aku lalu memukuli aku, pikirnya sambil membalikkan tubuhnya kembali
kerumah Darmin.
Darmin yang menunggu didepan pagar heran melihat Basuki berjalan kembali sendirian.
"Mana Sri?"
"Kabur dia."
"Kabur ?"
"Yah, kabur.., kesana.."
"Anak kurangajar. Mengapa tuan tidak menyeretnya kemari?" sesal Darmin sambil masuk
kedalam, diikuti Basuki.
"Anak itu memang kurangajar. Aku tau .. semuanya atas hasutan si Kliwon," gerutu
Darmin tanpa rasa hormat padahal yang disebut adalah mertuanya.
"Siapa Kliwon?"
"Kliwon itu bapaknya isteri saya, jadi ya mbahnya si Sri itu."
"Oh, tapi biarkan saja, aku tidak tergesa-gesa. Selama kamu masih bisa menjaga Sri,
aku akan terus menunggu sampai dia mau melayani aku. Aku maklum, gadis desa, lugu,
pasti takut melihat laki-laki yang belum begitu dikenalnya. Tapi aku suka
itu.Berarti dia benar-benar perawan." Katanya sambil tertawa menjemukan.
"Ya perawan lah tuan, belum ada yang pernah menjamahnya."
"Ya, aku tau, kebanyakan perempuan pasrah setiap kali aku mendekatinya."
"Ya iyalah, tuan banyak duitnya, ganteng lagi, mana ada perempuan menolak?" kata
Darmin dengan nada menjilat.
" Iya, benar.. jadi aku tidak mau nanti dia melawan setiap aku dekati."
"Saya akan terus memberinya pengertian, tuan."
"Apa dia suka baju-baju yang aku berikan?"
"Suka sekali tuan, sangat suka.. dia pakai baju-baju bagus itu setiap hari," kata
Darmin yang tentu saja berbohong.
"Bagus, tapi mengapa tadi dia tidak memakai baju pemberianku?"
"Oh, itu karena dia sudah ganti baju tuan, tadi dipakainya. Namanya gadis desa, ya
pasti senanglah dikasih baju-baju bagus."
Basuki mengangguk angguk, lalu berdiri, sambil meninggalkan amplop dimeja Darmin.
Mata Darmin berkilat-kilat melihat amplop itu. Kalau pantas dia ingin segera
mengusir Basuki agar dia segera lari kekota untuk bersenang-senang.
***
Sri memasuki rumah Lastri dan bergegas kebelakang. mBah Kliwon baru saja keluar
dari kamar mandi. Terkejut melihat Sri datang kembali.
"nDuk, ada apa?"
"mBah, bolehkan saya meminjam baju yu Lastri ?"
"Oh, boleh saja, memang baju Lastri masih banyak yang tertinggal disini, dan
sebenarnya boleh diberikan kepada siapa saja yang mau. Ayo ikut simbah," kata mbah
Kliwon yang lalu berjalan kearah kamar Lastri dan membuka pintunya.
"Almari itu tidak terkunci, ambil saja mana yang kamu mau. Tapi kenapa Sri? Tumben
kamu butuh bajunya Lastri.
"Sri mau mandi disini dan berganti baju."
"Kamu belum pulang?"
"Sudah mbah, tapi saya melihat Basuki baru saja datang, lalu saya balik kemari. Ada
obat merah mbah?"
"Ada, itu didekat almari. Kenapa pula?"
"Tadi Sri berlari, lalu terjatuh."
Sri mengambil obat merah yang ditunjukkan simbahnya. Mengambil sedikit kapas yang
kebetulan ada dan membersihkan lukanya, lalu memberinya obat merah. Perih, tapi Sri
tidak merasakannya. Perih dihatinya lebih menyakitkan daripada luka pada lututnya.
"Sampai jatuh begitu Sri?"
"Sudah mbah, hanya luka kecil. Sekarang Sri mau mandi dulu."
Mbah Kliwon menghela nafas panjang, sedih memikirkan cucunya. Ia ingin melakukan
sesuatu, tapi apa, Darmin lebih berkuasa atas anaknya. Tapi kalau Sri menderita,
mbah Kliwon sangat tidak rela.
Ia membuat wedang jahe kesukaannya, dan menyiapkannya juga untuk Sri. Lalu ia duduk
menunggu si Sri selesai mandi.
Ketika Sri mendekat, dia sudah memakai pakaian milik Lastri. Sangat pas untuk Sri.
Memang sih, bentuk tubuh dan tingginya si Sri tak berbeda jauh dengan Lastri.
"Sangat pas kamu pakai Sri. Kalau kamu mau mandi disini, pakai saja baju-baju itu."
"Nanti Sri mau bilang sama yu Lastri kalau dia kemari."
"Sebenarnya simbah punya nomor kontaknya Lastri. Dia meninggalkan ponsel untuk
simbah, supaya kalau ada apa-apa bisa menghubungi dia."
"Bagus mbah, bolehkah Sri menelponenya?"
"Boleh saja, tapi minum dulu wedang jahemu. Mumpung masih anget."
"Simbah repot-repot membuat wedang untuk Sri.."
"Tidak nduk, sebelum kamu datang simbah sudah merebusnya. Simbah minum wedang ini
sebelum tidur."
"Sri mau tidur disini ya mbah?"
"Simbah senang kalau kamu mau tidur disini. Tapi apa bapakmu tidak marah?"
"Tadi ada Basuki, biarkan saja. Sri tidak akan mau bertemu dia."
"Kamu sudah makan?"
"Kan tadi sudah makan sebelum pulang."
"Barangkali masih mau, nasinya masih ada."
"Tidak mbah. Sri tidak lapar."
"Nanti tidurlah dikamar Lastri, setiap hari simbah membersihkannya."
"Oh iya, Sri mau menelpone yu Lastri ya mbah?"
"Baiklah, simbah ambilkan dulu ponselnya."
***
Lastri sedang berbincang dengan Bayu ketika mereka selesai makan malam. Sore tadi
lurah Mardi barusan menelpone, mengatakan bahwa Timan mau melamar.
"Pak lurah meminta kita nanti bersama mas Timan kerumah Sri." kata Bayu.
"Baguslah, aku juga sudah kangen pulang ke desa mas. Kapan itu?"
"Belum tau tuh. Mas Timan sendiri kok belum mengabari kita ya."
"Mungkin lagi sibuk, jualannya laris."
Tapi tiba-tiba sebuah mobil masuk ke halaman. Lastri langsung berteriak.
"Itu kan mobilnya mas Timan?"
"Yaaa.. panjang umur dia. Baru diomongin sudah nongol," kata Bayu yang kemudian
berdiri menyambut datangnya Timan.
"Selamat malam, saya mengganggu?"
"Tidak, baru saja kami ngomongin mas Timan. Panjang umur .. so'alnya yang diomongin
tiba-tiba muncul."
"Oh ya? Alhamdulillah kalau begitu."
"Silahkan duduk, mas."
"Ayo mas, duduk, aku buatkan minum dulu ya," kata Lastri yang beranjak kebelakang.
"Lagi santai ya mas, ini sudah malam, saya takut mengganggu."
"Tidak, senang mas Timan datang. Hm, calon pengantin nih ya?" goda Bayu.
"Baru mau ngomong nih."
"Aku ikut lho mas, kalau ngelamar," kata Lastri sambil membawa minuman untuk
tamunya.
"Tadi pak lurah menelphone."
"Iya, tadi juga menelphone kemari, mengajak kami mengantar mas Timan ."
"Tapi aku kok deg-degan ya?"
Bayu dan Latri tertawa.
"Baru mau ngelamar sudah deg-degan, belum nanti kalau sudah nikahan, lalu berduaan
dikamar sebagai pengantin baru," goda Bayu lagi.
"O, itu pengalaman pribadi bukan?" Timan membalas candaan Bayu.
"Iya lah, mesti sudah sering ketemu, tapi tetap deg-degan juga, ya kan Tri."
"Nggak tau lah, sudah lupa. Ini ngomongin apaan sih, kan mas Timan mau nglamar, ya
ayo bicara tentang lamaran, iiih.. yang enggak-enggak aja nih para lelaki kalau
sudah bercanda.' gerutu Lastri tapi tidak meninggalkan senyuman.
Bayu dan Timan tertawa keras.
"Oke mas, saya tadi kan bilang deg-degan. Itu bukan tanpa alasan. Tadi mas lurah
bilang bahwa bapaknya Sri itu susah diajak bicara. Dia justru kasihan sama si Sri
yang selalu mendapat tekanan dari bapaknya."
"O.. iya, pak Darmin itu orangnya susah, jarang bergaul dengan tetangga desa. Dulu
mereka tinggal dikota, tapi waktu Sri masih gadis kecil."
"Nah, itu yang membuat saya deg-degan."
"Nggak apa-apa mas, kan yang nganterin mas Timan nanti banyak, jadi mas Timan harus
tegar, jangan deg-degan," kata Bayu.
Tiba-tiba bu Marsudi berteriak dari dalam.
"Lastri, ada telephone tuh."
Lastri berlari kedalam, ketika keluar lagi, dia masih bicara.
"Iya, nggak apa--apa Sri pakai saja semuanya. Iya, aduuh, aku juga kangen sama
kamu, terus ini ada lagi yang kangen sama kamu.. ada deh, dengar aja suaranya."
"Ini mas.." kata Lastri sambil mengulurkan ponselnya kepada Timan.
"Siapa?"
"Terima dulu..."
"Haloo.. " sapa Timan.
"Ini siapa?" suara dari seberang.
"lho, ini juga siapa?"
"Aduh, yu Lastri mana sih, aku bingung."
"Oh, ya ampun, aku sudah ingat suara kamu, kamu Sri kan?"
"Mas Timan ya ?" bergetar suara dari seberaang sana.
"Apa kabar Sri?"
"Kabar baik mas, kok ada disini ?"
"Iya, lagi main kerumah mas Bayu. Kamu dirumah? Ini nomor telephone kamu? Aku catat
ya?"
"Bukan, aku nggak punya ponsel, ini punya simbah."
"Oh, nggak apa-apa, akan aku catat, dulu belum sempat mencatatnya."
"Ya mas, mana yu Lastri?"
"Aduh, mengapa dia yang dicari? Bukan aku?" goda Timan.
"Ah..."
"Kok 'ah' sih?"
"Mas Timan lucu.."
"Lho.. memangnya aku pelawak?"
"Mirip..."
Timan tertawa. Bayu dan Sri senang melihatnya.
"Sri.."
"Ya.."
"Tak lama lagi aku mau kerumahmu."
"Ngapain ?"
"Ngebantuin nyapu halaman..."
Sri tertawa diujung sana, dan Timan membayangkan sederet gigi putih dan pipi lesung
yang menawan.
"Beneran deh, lucu..."
"Iya, aku pengin ngelihat kamu tertawa sih, bisa vc nggak?"
"Apa tuh VC ?"
"Video call.. biar bisa lihat wajah kamu."
"Oh, ini ponsel jadul.. boleh ngebayangin saja.." Sri mulai lancar berbicara, ini
pertama kalinya bisa bercanda lepas, dan itu membahagiakannya.
"Iya, ini sudah aku bayangin.. pipi lesung, bibir tersenyum, mata berbinar.. itu
kamu kan?"
"Nggak tau deh, didekat aku nggak ada kaca .. jadi nggak bisa lihat wajah sendiri."
"Ya sudah nggak apa-apa, aku sudah bisa lihat kok."
"Darimana?"
"Dari ngebayangin aja.."
"Oh..."
"Kok oh sih?"
"Sudah ya, kelamaan mengganggu.. besok lagi saja.."
Timan juga merasa sungkan kelamaan bicara, padahal ia mau menelpone semalama,
sampai pagi, sampai siang.. sampai sore dan kembali malam.. Aduhai..
"Ini kamu dirumah simbah?"
"Ya, pengin tidur dirumah simbah."
"Baiklah, selamat tidur, besok aku boleh menelphone lagi kan?"
"Iya, boleh..."
"Aku akan segera kerumah kamu, nemuin bapak kamu."
"Oh..."
Timan mengembalikan ponsel Lastri setelah pembicaraan itu selesai, wajahnya
berseri-seri.
"Ehem... " Bayu berdehem sambil menatap Timan dengan pandangan lucu.
"Ada apa mas?"
"Seneng dengernya, tapi agak sungkan juga ya Tri, ngedengerin orang lagi pacaran."
"Mas Bayu ada-ada saja, cuma gitu aja dibilang pacaran."
"Sedikit.."
"Tapi aku senang, mas Timan sama Sri semakin dekat. Kapan akan kesana?"
"Menunggu kabar dari pak lurah, nanti saya bilang ke mas Bayu."
***
"Ngomong sama siapa nduk, kok kelihatannya asyik banget..?" tanya mbah Kliwon
ketika Sri mengembalikan ponselnya.
"Sama yu Lastri... lalu sama... mas Timan.."
"Lho, apa Lastri lagi dirumah nak Timan, atau sebaliknya nak Timan ada drumah
Lastri?"
"Mas Timan lagi ada disana."
"Syukurlah, kamu jadi bisa bercicara sama dia. Ngomong apa saja?"
"Bercandaan saja mbah, mas Timan bisa lucu. Oh ya, sama bilang katanya mau kesini.
Sri lupa nanya, mau ngapain datang kemari."
"Oh, mungkin seperti kata pak lurah, mau sekalian menemui bapakmu."
Sri menghela nafas. Tiba-tiba ada rasa takut menderanya. Maukah ayahnya menerima
kedatangan mereka? Bagaimana kalau ayahnya bersikap kasar? Sri malu
membayangkannya. Malu punya ayah yang kasar dan tak pernah menaruh hormat kepada
siapapun.
"Mengapa kamu justru tampak sedih ?"
"Membayangkan bagaimana nanti sikap bapak."
"Semoga bapakmu punya rasa sungkan kepada pak lurah, sehingga bisa bersikap lebih
baik."
"Semoga..."
"Ya sudah, ini sudah malam, kamu tidurlah.. ," kata mbah Kliwon sambil berdiri. Sri
mengikuti masuk kekamar Lastri, membaringkan tubuhnya disana dengan nyaman. Memang
perasaannya benar-benar nyaman. Terbaring lelah, tanpa bayangan akan ada orang yang
membentaknya, atau suara keras membanting pintu. Inilah kehidupan yang sebenarnya
diimpikannya.
Sri memejamkan matanya, lalu teringat kata Timan yang akan datang. Sesungguhnya itu
membahagiakan, ada orang baik, ganteng, mau melamar dirinya, tapi sedih
membayangkan apa kata bapaknya nanti.
Menjelang pagi Sri baru terlelap. mBah Kliwon tak mau membangunkannya, karena
kasihan. Ia pergi kedapur, menyalakan kompor dan menjerang air untuk mandi dan
untuk membuat teh hangat untuk mereka berdua.
Tiba-tiba diluar terdengar teriakan keras.
"Sriii! Sriiii!" itu suara Darmin, sambil menggebrak pintu.
"Sri !!" teriaknya lagi.
"Keluar kamu Sri !!"
Pintu kemudian terbuka, mbah Kliwon muncul disana.
"Mana Sri? Suruh dia keluar. Tidak pantas anak gadis tidur disembarang tempat."
"Ini bukan sembarang tempat. Ini rumahku, simbahnya si Sri !!"
"Saya tidak perduli, yang jelas Sri tidak tidur dirumah !!Aku tidak suka !!
Tiba-tiba muncul seseorang, dengan menggendong bayi. Bu lurah Marni kesal mendengar
kata-kata kasar dari Darmin.
"Tolong, pelankan suaramu, dan hormati orang tua!!" katanya sengit.
Bersambung #4
CERITA WA: Kembang Titipan #4
Cerita bersambung
Darmin menoleh kearah wanita itu. Ia merasa tak pernah melihatnya. Kemarahannya
memuncak karena ada perempuan berani menentangnya.
"Kamu tidak usah ikut campur. Ini urusanku."
"Tapi saya tidak suka mendengar kata-kata kamu. Dia ini orang tua, harusnya kamu
menaruh hormat. Oh ya, apakah kamu bapaknya Sri? Saya heran, Sri yang cantik dan
lembut hati bisa terlahir karena seorang ayah yang seperti kamu."
"Tutup mulut kamu ! Atau aku hajar kamu?!"
"Eeh... lancang kamu Darmin. Kamu tidak tau siapa dia. Dia adalah bu lurah!" hardik
mbah Kliwon.
Darmin mundur selangkah.
"Aku hanya minta agar Sri pulang ! Tidak pantas seorang gadis tidur disembarang
tempat !"
"Ini bukan sembarang tempat. Ini rumahku, rumah mbahnya si Sri." kata mbah Kliwon
tak kalah sengit.
"Mulut kamu bau minuman keras, kamu tidak waras. Aku akan melaporkam kamu agar kamu
ditangkap, karena pemabuk adalah penjahat."
Wajah Darmin merah padam, sudah gatal tangannya ingin menampar bu lurah, tapi ada
rasa segan.
"Ada apa pak?" tiba-tiba Sri terbangun mendengar suara ribut.
"Pulang kamu !!" teriak Darmin sambil menuding kearah si Sri.
"Sri akan tetap disini. Dia bekerja untuk pak lurah." kata bu lurah lantang, sambil
berdiri dihadapan Sri, seakan khawatir kalau-kalau Sri mendekati ayahnya.
Beberapa pemasok sayur sudah datang, heran ada orang berani bicara lantang
dihadapan bu lurah.
Darmin menuding Sri dengan mata menyala.
"Awas kamu !!"
Lalu dia membalikkan tubuhnya dan berlalu.
Bu lurah menghela nafas kesal. Dia memasuki rumah sambil merangkul pundak si Sri.
"Kasihan kamu Sri, bagaimana bapak kamu bisa melakukan hal seperti itu?"
Sri diam, berlinang air matanya.
"Segeralah menikah dengan mas Timan, dan tinggalkan saja bapakmu."
Alangkah mudah kata itu diucapkan. Semudah itu pulakah dia bisa menikah dengan
Timan mengingat sikap bapaknya seperti itu?
"Silahkan duduk bu lurah, saya siapkan minuman hangat," kata mbah Kliwon.
"Terimakasih mbah, tapi saya harus segera kembali. Lagi pula para pemasok sayur
sudah pada datang, dan mobilnya juga sudah siap didepan. Saya akan segera
melaporkan kejadian ini kepada mas Mardi. Mungkin mas Timan harus segera melamar
Sri."
"Terimakasih banyak bu lurah, saya juga sudah tidak tahan menyaksikan penderitaan
Sri. Bagaimana mungkin, hidup bersama ayah kandungnya tapi tidak merasa nyaman."
"Semoga semuanya segera berakhir mbah. Oh ya, ini nasi buat sarapan," kata bu lurah
kemudian sambil meletakkan rantang diatas meja.
"Sri, bu lurah selalu repot untuk kita, bawa rantangnya kebelakang dan urus barang-
barang itu. Mandinya nanti saja."
"Iya mbah, terimakasih banyak yu Marni," kata Sri sambil beranjak kebelakang.
***
Ketika Marni sampai dirumah, dilihatnya suaminya sudah selesai mandi.
"Aduuh, anak bapak yang ganteng.. enak ya tidurnya?"
"Setiap diajak jalan-jalan pasti dia tidur."
"Segar hawa pagi."
"Tadi ada sedikit keributan dirumah mbah Kliwon."
"Keributan apa ?
"Semalam Sri tidur dirumah mbah Kliwon, karena ketakutan melihat laki-laki itu ada
dirumahnya. Darmin tampaknya baru pulang menjelang pagi, kemudian melihat Sri tidak
ada dirumah. Nah, dia marah-marah lalu datang kerumah mbah Kliwon. Aduh mas,
bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan itu... ngeri aku mas."
"Melakukan apa sih? Kamu ngomongnya nggak jelas."
"Darmin itu lho mas, bukankah mbah Kliwon itu mertuanya? Tapi dia berkata kasar dan
sama sekali tidak menghormatinya. Kesal aku mas, aku marah sekali dan memaki-maki
dia."
"Berani kamu ?"
"Berani lah. Melihat orang bersikap kasar seperti itu, nggak tahan aku."
"Dia memang susah diatur, aku akan memperingatkannya, belum sempat juga karena di
kantor sedang banyak pekerjaan."
"Mas harus segera memperingatkannya. Kasihan Sri mas, anak baik seperti dia mengapa
terlahir dari bapak yang kasarnya seperti setan."
"Nanti akan ada yang bertugas memperingatkan. Sudah.. ayo sarapan dulu."
"Tapi mas, tampaknya mas Timan harus segera melamar. Biar Sri segera terlepas dari
bapaknya."
"Ya, nanti aku juga mau bilang sama mas Timan. Sepertinya kemarin juga sudah ketemu
Lastri sama mas Bayu."
"Baiklah, aku tidurkan thole dulu, lalu menyiapkan sarapan buat mas."
***
Sri sudah menyelesaikan pekerjaannya pagi itu. Tapi hatinya merasa gelisah. Pasti
nanti ketika dia pulang, Darmin akan marah-marah. Dan entah apa yang akan
diperbuatnya.
Sri duduk termenung setelah selesai masak. Hanya oseng kangkung dan rempeyek teri
yang sesungguhnya menggugah selera. Tapi Sri masih belum ingin makan.
"Simbah mau makan sekarang?"
"Kamu kok malah duduk disitu? Belum lapar?"
"Sri belum lapar, tapi kalau simbah mau makan sekarang akan Sri siapkan."
"Kalau begitu nanti saja kalau kamu juga sudah ingin makan. Nggak enak makan
sendiri."
Sri tidak beranjak dari tempatnya duduk. mBah Kliwon mendekati dan duduk dihadapan
Sri.
"Kamu sedih memikirkan bapakmu? Takut pulang nanti sore?"
"Nggak tau mbah, Sri bingung."
"Ya sudah, kalau takut pulang ya tidur disini lagi saja."
"Tidak mbah, nanti dia datang kemari dan ngamuk-ngamuk lagi. Nggak tega mendengar
bapak berkata kasar sama simbah."
mBah Kliwon beranjak berdiri karena mendengar dering telephone.
"Hallo... oh.. iya nak.. ada.. sebentar.." suara mbah Kliwon yang kemudian
mendekati si Sri.
"Ini, ada telephone untuk kamu," katanya sambil menyerahkan ponselnya.
"Siapa mbah?"
"Terima saja dulu."
"Hallo..."
"Hallo juga, ingat nggak suara siapa ini?"
Mendadak wajah Sri berseri-seri. Wajah ganteng dengan mata teduh itu terbayang
dimatanya.
"Ingat nggak ?"
"Lupa tuh? kata Sri menggoda..
"Aduh, kasihan deh aku, begitu gampang dilupakan rupanya. Ya sudah aku tutup saja
kalau begitu," kata Timan balas menggoda.
"Mas Timaaaan!"
"Tuh, pura-pura lupa kan ?"
"Ada apa mas?"
"Kok ada apa sih, kan kemarin aku sudah janji mau menelpone."
"Memangnya nggak jualan ?"
"Jualan sih, sudah agak sepi pasarnya. Sebentar lagi mau mengirim buah ke rumah
makan."
"Oh, senangnya seandainya aku bisa membantu.."
"Boleh membantu dong, tapi kan ada syaratnya?"
"Apa tuh?"
"Menjadi isteri aku dulu.."
Sri terdiam, hatinya terguncang. Ia ingat kata bu lurah pagi tadi. Segeralah
menikah dengan mas Timan.. aduhai.. seperti semudah membalikkan telapak tangan.
"Heiii.. kok diam? Kamu marah?"
"Nggak... "
"Kok diam?"
"Ngebayangin..."
"Ngebayangin apa?"
"Benarkah itu akan terjadi ?" tanya Sri pilu.
"Mengapa tidak ? Sri, aku serius, sudah lama keinginanku terpendam. Aku jatuh cinta
pada pandngan pertama," kata Timan begitu lancar. Entah darimana datangnya
keberanian itu. Mungkin karena yakin bahwa Sri tak akan menolaknya. Kelihatan dong
dari sikapnya.
Sri tersenyum, hatinya melambung kelangit bersama seonggok bunga-bunga wangi yang
menghiasi seluruh nurani. Ini pernyataan cinta yang baru didengarnya. Bukan
candaan.
"Sri..."
"Ya..."
"Kok diam?"
"Ngebayangin.."
"Dari tadi ngebayangin melulu."
Sri tertawa. Timan menelan ludah. Pasti sederet gigi putih dibalik bibir tipis itu
tampak sangat mempesona.
"Sudah mas, katanya mau ngirim buah ke rumah makan.."
"Lhoh, kok ngusir? Lagi asyik-asyiknya nih."
Sri tersenyum lebar. Entah mengapa hatinya merasa ringan. Beban yang memberatinya
terlepaskan. Lagi asyik sih, memang iya, ingin rasanya bicara terus seperti ini.
"Nanti ditungguin orang yang lagi pesan buah lho..."
"Bukan karena sebel sama aku ?"
"Ya enggak lah.. "
"Bener?"
"Bener.."
"Yakiin?"
"Ih.. mas Timan.."
Gemas Timan mendengar celetukan si Sri. Seandainya Sri ada didepannya pasti bisa
dilihatnya bibir tipis yang mengucapkan kata-kata, dan mata berbinar yang
membuatnya terpana. Benar-benar kembang desa yang telah berhasil merebut hatinya.
Tapi tiba-tiba ada telephone masuk.
"Sri, sudah dulu ya, tampaknya pak lurah menelphone, aku jawab dulu ya."
"Ya mas."
Sri menutup telephone dengan hati berdebar. Pak lurah menelphone mas Timan, apakah
ada sesuatu yang ada hubungannya dengan dirinya?
"Sudah selesai ngomongnya Sri?" tanya mbah Kliwon ketika Sri mengembalikan
ponselnya.
"Sudah mbah, sepertinya kang Mardi menelpone mas Timan."
"Semoga berbicara tentang kamu Sri."
"Apa iya mbah ?"
"Bu lurah pasti sudah melapor pada suaminya tentang kejadian pagi tadi. Bukankah
dia bilang lebih baik mas Timan segera menikahi kamu?"
Sri terdiam. Sungguh dia merasa was-was.
***
Dan sore itu Bayu mengatakan pada Lastri, bahwa hari Minggu besok mereka akan
mengantarkan Timan menemui bapaknya.
"Bagus dong mas, seneng aku mendengarnya."
"Kita harus membawakan oleh-oleh Tri, coba pikirkan apa.."
"Parcel buah, sama roti.. yang bagus, sudah pantas itu."
"Bukan yang pakai bahan baju.. atau lain-lain yang ditempatkan di baki-baki berhias
itu?"
"Itu kan kalau sudah jadi, trus mau menikah. Kok mas lupa sih?"
"Lho, aku nggak tau ya, kan ibu yang mempersiapkan semuanya."
"Ini kan baru mau ngomong-ngomong, silaturahmi, ya cukup bawa oleh-oleh saja,
pokoknya pantas dan tidak memalukan."
"Yang disukai calon mertua juga kan?"
"Apa tuh? Sarung ? Baju bagus?"
"Bukan, wisky.. brendi... kan dia suka minum-minum katanya?"
Lastri tertawa keras.
"Rupanya mas mendukung kesukaan bapaknya Sri ya?""
"Kalau mau membuat dia senang..ya harus membawa apa yang menjadi kesenangannya. Kan
kalau bapaknya senang langsung anaknya dikasih."
"Hiih... nggak mau aku.. mas nih ada-ada saja."
"Ya sudah, kalau masalah buah, mas Timan kan ahlinya. Biar dia mengatur parcel
buah. Kita akan membawakan makanan atau kue-kue saja."
"Ayuk mas, kita jalan-jalan."
"Tuh, senengnya .."
"Mas Bayu tuh...
"Ini kan demi mas Timan... ayo mas.. "
"Cuma minta jalan-jalan saja apa susahnya sih? Kalau minta turunnya bintang atau
rembulan.. wah.. itu baru susah."
Lastri mencubit lengan suaminya dengan mesra.
"Ayo.. ini masih sore.. jangan cari gara-gara ya?"
"Iih.. mas Bayu.. gara-gara apa sih?"
"Gara-gara cubitan mesra.. "
"Apa tuh?"
"Ini pura-pura nggak tau atau memang bener nggak tau nih?"
"Nggak tau, bicara nggak jelas begitu.."
"Oke, ayo masuk ke kamar, biar aku jelasin.."
"Maaas, katanya mau jalan-jalan.. mengapa harus masuk kamar?"
"Lho, masa jalan-jalan pakai baju rumahan begini, ganti baju dong, jangan ngeres
ah.."
"Mas Bayu.. jelek ah !!
"Ayo ganti baju dulu," kata Bayu sambil menarik isterinya.
***
Sri melangkah perlahan memasuki rumah, ada debar didadanya ketika membayangkan akan
seperti apa nanti kemarahan ayahnya.
Berderit ketika ia membuka pintu.. Si Sri melangkah perlahan, tapi ketika melewati
kamar ayahnya, didengarnya dengkur yang agak keras.
Kebiasaan, kaau malam ngelayap, kalau siang mendengkur.
Sri melangkah perlahan menuju kamarnya. Kalau melihat kepulangan Sri, kemudian dia
memakai baju yang bukan pemberian Basuki, pasti mengomel, dan mengancam akan
membakar seluruh baju kumalnya.
Bergegas Sri mandi. Ketika melihat kebelakang, barang-barang-barang tampak
terserak. Gelas dan piring kotor, serta kertas bungkus yang sudah kosong tapi masih
belum juga dibuang oleh ayahnya. Sri menjerang air untuk membuat minum, lalu
membersihkan meja dapur. Baru ditinggal sehari saja rumah sudah berantakan seperti
kapal pecah. Padahal ayahnya hanya sendiri. Bagaimana kalau nanti Sri sudah
mengikuti suaminya?
Membayangkan menjadi isteri, Sri tersenyum sendiri. Tapi ada rasa perih dihati.
Entah apa yang terjadi pada hidupnya nanti..
Ketika Sri selesai menuangkan minuman pada cangkir yang biasanya dipakai oleh
ayahnya, tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki diluar pintu depan. Sri bergegas
kedepan, dan melihat beberapa laki-laki berseragam berdiri disana. Lalu dua orang
berseragam polisi menyusul dibelakangnya. Sri terkesiap.
==========
Sri menatap mereka satu persatu, ada salah satu yang dikenalnya.
"Mas Jangkung?"
"Iya Sri, kami mendapat tugas dari pak lurah, untuk mengantarkan bapak-bapak itu,"
kata Jangkung sambil menunjuk kearah dua orang polisi yang bersamanya.
"Pak Darmin ada?" lanjutnya.
Tercekat hati Sri. Bagaimanapun Darmin adalah ayahnya. Ada urusan apa dengan para
petugas yang juga membawa polisi ini?
"Ada kan Sri ?"
"Iy.. iya... ada mas.."
Dan tanpa dipersilahkan beberapa orang masuk begitu saja kedalam, tanpa Sri bisa
mencegahnya.
"Mas Jangkung, ada apa?" tanya Sri cemas.
"Kami mendapat laporan ada peminum dirumah ini, Dan beberapa jam yang lalu telah
melakukan penganiayaan disebuah rumah makan." kata Jangkung.
"Oh... cemas hati Sri, ia tau ayahnya masih ada didalam, dan dua orang sudah masuk
kedalam kamar ayahnya. Tapi Sri heran, tak ada suara dari dalam. Tiba-tiba
terdengar suara botol jatuh dan tampaknya pecah.
Dua orang yang masuk membawa keluar beberapa botol minuman keras keluar dari kamar.
Mengapa ayahnya diam saja? Sri cemas sekali, apa yang terjadi dengan ayahnya? Wajah
Sri pucat.
"Dimana ayahmu Sri?"
"Bapak ada... did.. dalam kamar..." terbata Sri menjawabnya.
"Nggak ada, kamarnya kosong. "
Sri bergegas melongok kedalam kamar ayahnya. Benar-benar tak ada. Bau minuman keras
menyeruak memenuhi kamar itu. Ada botol pecah, terserak dilantai.
"Bapaaak!" teriak Sri, dan beberapa orang ikut mencari disetiap sudut, dibawah
kolong.. didapur.. kamar mandi, tapi yang dicari tak ada.
"Kamu bilang ada.."
"Iya, tadi masih tidur dikamar.."
"Berarti dia kabur. "
Mereka ke bagian belakang rumah, dekat dapur ada pintu keluar. Mereke melongok, tak
ada siapapun. Dibelakang rumah itu ada kebun yang tak begitu luas, tapi pagarnya
terbuat dari pohon-pohon perdu.
"Dia kabur lewat sana." Seseorang mendekati pagar, melongok kesana kemari, tapi tak
ada bayangan orang yang dicarinya.
"Kemana kira-kira bapakmu pergi?"
Sri menggeleng-geleng dengan mata berlinang. Dia benar-benar tak tau.
Ketika mereka pergi, Sri terduduk dikursi dengan perasaan gundah. Ia tak bisa
menyalahkan mereka. Ayahnya yang salah. Mengapa juga pakai menganiaya orang?
Bau minuman keras masih memenuhi ruangan. Kemudian Sri berdiri, masuk kekamar
ayahnya dan membersihkan pecahan botol dan tumpahan minuman keras. Lalu ia merasa
sendirian. Rumah yang senyap, aroma pengap dan jiwa yang sesat telah melingkupi
kehidupan ayahnya.
Tapi dia adalah ayahnya, darahnya mengalir disepanjang nadinya. Betapapun kesal dan
bencinya dia, tapi menyaksikan ayahnya lari entah kemana, diburu aparat yang pasti
mengancamnya dengan hukuman sekap di penjara. hatinya bagai teriris.
Gelapnya malam mulai menyelimuti bumi. Sri merasa tak tahan menanggung beban itu
seorang diri. Ia menutup semua pintu lalu berjalan kerumah mbah Kliwon.
***
"Bagaimana mas? Darmin sudah ditangkap?" tanya Marni kepada suaminya.
"Kabur."
"Kabur? Kok bisa?"
"Menurut Sri, tadinya masih tidur di kamar. Mungkin karena mendengar suara gaduh,
lalu dia menyelinap melalui pintu belakang dan kabur entah kemana."
"Kasihan Sri.."
"Tapi dia tetap diburu. Beberapa botol minuman telah disita sebagai bukti. Orang
yang dianiaya masih menginap dirumah sakit karena luka-lukanya."
"Mengapa tidak ditangkap sa'at itu juga?"
"Begitu memukuli orang lalu dia kabur, tapi seseorang mengenali dia, lalu dengan
mudah aparat menemukan rumahnya. Sayang dia kabur."
"Lalu bagaimana rencana lamaran mas Timan?"
"Belum tau aku bu, mungkin bicara dulu sama mbah Kliwon,"
"Lalu dimana ya Sri sekarang? Pasti dia sedih. Seburuk apapun Darmin, ia tetap
bapaknya bukan?"
"Mungkin kemudian dia pergi kerumah mbah Kliwon."
"Mas kesana coba, kasihan si Sri."
"Ini sudah malam, besok pagi saja."
"Padahal mas Timan akan siap melamar hari Minggu besok itu."
"Dia harus tertangkap dulu. "
"Ya Tuhan, kasihan kamu Sri.." gumam Marni sedih.
***
mBah Kliwon terkejut ketika mendengar ketukan pintu, yang ternyata adalah Sri. Dia
memang selalu mengunci pintunya ketika hari mulai gelap, karena dis hanya
sendirian.
"Sri, ada apa?"
Sri tak menjawab, menghambur kedalam pelukan mbah Kliwon, yang kemudian terhuyung-
huyung karena tulang tuanya tak sangup menyangga tubuh Sri. Beruntung tak sampai
terjatuh.
"Ada apa nduk? Bapakmu ngamuk?"
"Bapak kabur, " katanya sambil terisak..
"Kabur bagaimana ?"
"Tadi dicari polisi, katanya semalam menganiaya orang disebuah rumah makan."
"Ya Tuhan... "
"Sri bingung mbah... nggak tau harus apa.. bagaimana kalau bapak tertangkap?"
mBah Kliwon menggandeng cucunya agar duduk.
"Dengar Sri, bukannya simbah mensyukuri apa yang terjadi dengan bapakmu. Simbah tau
pasti kamu sedih, karena bagaimanapun kamu adalah darah dagingnya. Tapi ibarat
orang menanam, pasti dia akan menuai. Kelakuan bapakmu sudah tak terkendali, Tuhan
memperingatkannya."
Sri diam terpaku. Apa yang harus disesalinya? Memang itulah yang seharusnya
terjadi. Barangkali dengan kejadian ini ayahnya akan menjadi jera, dan bisa
berperilaku lebih baik. Tapi benarkah ?"
"Sudah, kamu tenangkan dulu hatimu disini. Semoga yang terjadi adalah yang
terbaik."
Sri belum beranjak dari tempat duduknya. Lelah menyelimuti seluruh tubuhnya,
jiwanya, lahir dan batinnya.
"Tadi sore setelah kamu pulang, nak Timan menelphone.
Sri mengangkat wajahnya, menatap simbahnya. Berita itu tidak menggembirakannya.
Kejadian yang menimpa ayahnya jangan sampai Timan mendengarnya. Tapi mana mungkin?
Pak lurah pasti sudah mengabarinya. Aduuh, malunya si Sri. Masihkah Timan
mencintainya seperti pernah dikatakannya walau tau bahwa dirinya anak seorang
pesakitan?
"Dia akan datang kemari hari Minggu besok."
"Dua hari lagi?"
"Ya, sedianya akan menemui bapakmu."
"Ya ampun, jangan mbah, jangan.."
"Mengapa jangan? Apa yang akan mas Timan lakukan itu adalah sebuah wujud dari
kesungguhannya mau memperisteri kamu."
"Tapi kejadian ini bagaimana? Sri malu mbah.."
"Hilangkan perasaan malu itu. Sedikit banyak dia pasti sudah tau seperti apa
bapakmu itu."
"Tapi kali ini dia harus berurusan dengan polisi mbah."
"Nanti kita akan bicara. Kamu tidak usah khawatir,"
Namun Sri tetap saja khawatir. Hampir semalam dia tak bisa memejamkan matanya.
Membayangkan kedatangan Timan, yang kemudian kecewa ketika mengetahui ayahnya
menjadi buruan polisi. Ya Tuhan, .. Akan maukah dia mempunyai keluarga seperti
ayahnya?
***
Pagi itu ketika Sri selesai mengurus para pemasok sayur, Marni datang, tidak
sendirian, tapi bersama suaminua.
"Rajin sekali Sri," sapa Marni.
"Iya yu, karena semalam nggak bisa tidur."
mBah Kliwon mempersilahkan tamunya masuk.
"Silahkan pak lurah, ayo Sri, buat minuman hangat."
"Tidak usah Sri, kami kan tidak akan lama. Duduk saja disini Sri," kata pak lurah.
Ada rasa iba melihat wajah Sri yang pucat, namun tetap melakukan tugasnya pagi itu.
"Sini Sri, duduk dekat aku," kata Marni.
"Mana Jarot?" tanya si Sri.
"Dia bersama neneknya tadi. Kamu tampak pucat Sri."
"Masak sih yu?"
"Kami datang untuk memberi tau Sri, bahwa ayahmu sudah tertangkap." kata pak lurah.
Sri menatap pak lurah. Matanya mulai berkaca-kaca,
"Kamu tidak usah sedih Sri, mungkin ini sebuah pelajaran bagi bapakmu, agar
menyadari kesalahannya."
Sri mengusap tetes air matanya dengan ujung baju.
"Benar kata pak lurah Sri, semoga semua ini bisa menjadikan pelajaran bagi
bapakmu.Kelakuannya sudah sangat keterlaluan.
"Dia ditahan dikota, kalau kamu mau ketemu, nanti kami akan mengantar kamu," lanjut
pak lurah.
Sri hanya mengangguk.
"Ada lagi yang kamu harus tau, besok Minggu mas Timan tetap akan datang kemari."
"Tidak pak lurah, jangan," sanggah Sri
"Mengapa Sri ?"
"Saya malu , sungguh saya malu.."isak Sri
Marni merangkul pundaknya.
"Mengapa harus malu?"
"Mas Timan tak akan sudi punya keluarga seorang pesakitan. Lebih baik lupakan saja
keinginan mas Timan, daripada lebih menyakiti yu."
"Mas Timan sudah tau semuanya."
"Apa?"
"Kamu jangan khawatir. Mas Timan mu sangat mencintai kamu Sri," kata Marni sambil
menepuk-nepuk pundak Sri.
"Aku malu yu.. aku malu.."
"Nggak perlu malu, dia sudah tau semuanya dan dia tetap ingin melamar kamu."
Sri merangkul Marni sambil terisak-isak. mBah Kliwon ikut berlinangan air mata. Ada
rasa syukur karena Timan tetap mencintai cucunya. Apa lagi yang harus
dikhawatirkan?
***
Siang itu Timan menelphone mbah Kliwon. mBah Kliwon tau, pasti Sri yang dicarinya.
"Sri... Sri..."
"Apa ini mbah?" Tanya Sri ketika mbah Kliwon mengulurkan ponselnya.
"Terima saja..."
"Nggak mau mbah.."
"Sri, jangan begitu, nggak sopan.." tegur mbah Kliwon.
Sri mendekatkan ponsel itu ketelinganya.
"Sri... " Timan sudah menyapanya lebih dulu, karena Sri diam saja.
"Ya.."
"Kenapa nggak mau menerima telephoneku Sri.." kata Timan karena mendengar tadi Sri
bilang 'tidak mau menerima'.
"Ma'af.. Sri sedang..."
"Sri, aku ikut prihatin atas kejadian itu, tapi aku tidak akan terpengaruh Sri, aku
tetap mencintai kamu."
Gemetar tangan Sri yang memegang ponsel mendengar kata-kata Timan.
"Sri, kamu harus percaya sama aku. Aku bukan anak kecil yang suka main-main. Aku
sungguh-sungguh ingin menjadikan kamu isteriku."
Sri terisak.
"Kenapa menangis?"
"Aku malu mas.."
"Kenapa malu? Sama calon suami sendiri kok malu," kata Timan memancing candaan.
Tapi Sri tidak tersenyum, apalagi tertawa.
"Ya sudah, kamu boleh menenangkan hati kamu dulu. Tapi nanti menjenguk bapak hari
Minggu saja ya, aku mau ikut."
Sri terkejut.Rupanya pak lurah sudah mengatakan semuanya kepada Timan, Tapi
benarkah Timan mau ikut menjenguk bapaknya di tahanan?
"Saya serius Sri. Tungguin aku kalau mau menjenguk bapak."
Lalu Timan menutup ponselnya.
Sri menangis sedikit keras. Rasa haru, sedih bahagia bercampur aduk dihatinya.
Diserahkan kembali ponsel itu kepada mbah Kliwon sambil mengusap air matanya.
"Sudah, jangan menangis Sri. Simbah akan berdo'a untuk kebahagiaanmu, kata mbah
Kliwon sambil mengelus kepala Sri.
***
"Mas Timan sangat baik ya mas, besok mau menjenguk bapaknya Sri di tahanan." kata
Lastri kepada suaminya pada suatu malam.
"Kita ikut kan?"
"Ya ikut lah mas, walau akhirnya belum melamar resmi, tapi kan nanti bisa kelihatan
bagaimana sikap pak Darmin ketika melihat calon menantunya.
"Kamu benar Tri, dan parcel-paarcel itu tetap kita bawa kan?"
"Iya dong mas, kalau nggak masa akan kita habiskan sendiri."
"Hm, tiba-tiba aku kok jadi ingat jaman kita masih pacaran dulu ya Tri.."
"Kenapa emang?"
"Menunggu bertahun tahun sampai aku berhasil mempersunting kamu. Gadis bodoh."
"Iih, kok bodoh sih..? Kata Lastri cemberut.
"Bodoh lah, dicintai orang ganteng malah kabur.."
"Iih, mana sih gantengnya? Mana..? Jelek gitu.."
"Apa? Aku jelek? Ayo bilang sekali lagi bahwa aku jelek.."
"Jeleeek..!! Kata Lastri yang kemudian lari menjauh, dan Bayu mengejarnya.
Lastri terkejut ketika hampir saja menabrak bu Marsudi yang baru saja keluar dari
kamar.
"Eeeh.. ada apa ini?"
Lastri sembunyi dibelakang bu Marsudi.
"Kalian kayak anak kecil saja sih, pakai kejar-kejaran segala," tegur bu Marsudi
sambil tersenyum.
"Minggir bu, biar aku gelitikin dia sampai menangis."
"Bu.. itu bu.. mas Bayu," rengek Lastri manja.
"Bayu..." tegur bu Marsudi.
"Habis aku dikatain jelek bu, coba apa ibu nggak sakit hati anak laki-lakinya
dibilang jelek!"
"Sudah.. sudah.. aduuh.. kayak anak kecil saja kalian ini. Ayo Tri, kita siapkan
makan malam saja."
"Itu bu..mas Bayu.." rengek Lastri sambil memegangi lengan mertuanya.
"Bayuuu !!"
Bayu membalikkan tubuhnya sambil mengancam.
"Awas ya, nanti kalau nggak ada ibu."
Lastri mengikuti ibu mertuanya sambil memeletkan lidahnya kearah suaminya.
***
Hari itu Sri jadi menjenguk bapaknya di tahanan. Ada Timan yang selalu berjalan
disampingnya, mbah Kliwon, pak lurah Mardi dan isterinya, serta Bayu dan isterinya.
Setelah lurah Mardi berbincang sebentar dengan petugas, mereka diijinkan menunggu
sementara petugas yang lain menjemput Darmin, diajaknya menemui keluarganya.
Sri sedih, melihat wajah ayahnya cekung, seperti berhari-hari tidak pernah tidur.
Dia mendekati ayahnya, lalu mencium tangannya dengan linangan air mata.
Darmin tak terpengaruh dengan perhatian anaknya. Ia duduk dan mengamati siapa saja
yang datang bersama Sri. Wajahnya muram, matanya melotot marah kepada anaknya.
"Jadi kamu katakan kepada semua orang bahwa aku ditangkap polisi ? Iya ?" tuding
Darmin kepada anaknya.
"Bukan bapak, ini.. pak lurah dan bu lurah.. ini yu Lastri dan suaminya.. dan ini..
mas Timan.."
"Siapa dia?" katanya tanpa nada manis.
"Min, ini yang aku pernah bilang sama kamu,. lalu belum-belum kamu sudah marah-
marah.."
Timan berdiri, mendekati Darmin dan meraih tangannya. bermaksud menciumnya, tapi
Darmin mengibaskan tangannya.
"Saya Timan, temannya Sri, dan..."
"Tidak.. tidak.. hentikan semua ini. Kamu.. maksudnya mau mengambil Sri sebagi
isteri kamu?"
"Benar bapak, saya akan datang lagi ketika suasana sudah lebih baik, untuk melamar
secara resmi," kata Timan dengan perasaan yang mulai tidak enak.
"Tidak.. tidak.. lebih baik kalian pulang, dan ingat, Sri itu sudah ada yang
punya."
"Apa maksudmu Min?" kata mbah Kliwon agak keras.
"Sri itu sudah menjadi titipan seseorang. Jadi lupakan keinginan kamu," katanya
sambil menuding kearah Timan.
"Bapak, apa maksud bapak?"
"Kamu itu barang titipan. !! Jangan bertanya lagi dan segera bawa mereka pergi dari
sini." kata Darmin kasar, sambil berdiri lalu berjalan masuk.
Bersambung #5
CERITA WA: Kembang Titipan #5
Cerita bersambung
"Bapaaak..." teriak Sri, namun Darmin tak mau menoleh, dengan langkah gontai dia
langsung masuk dan menghilang dibalik pintu.
Sri terisak. Timan memegang pundaknya.
"Sri, sabar ya Sri..."
"Ma'afkan bapak ya mas, ma'afkan bapak.." isak Sri.
Timan mengangguk.
"Sudah, jangan dipikirkan Sri, bapak sedang dalam situasi yang buruk. Pada suatu
hari nanti pasti dia akan mengerti," hibur Timan.
"Mas, bagaimana dengan parcel-parcel ini?" tanya Lastri.
"Mana Tri, aku serahkan saja kepada mereka, kalau mau biar diberikan kepada pak
Darmin, kalau nggak mau ya biar dibagi sesama petugas saja."
"Ya yu, ayo aku bantu."
"Gimana ini sebaiknya pak?"
"Kita bicara diluar saja. Mungkin mencari rumah makan terdekat, bicara sambil
makan," kata Bayu.
"Ya, saya setuju mas Bayu."
"Ma'af ya, mas Bayu, pak lurah, saya jadi merepotkan."kata Timan dengan penuh
sesal.
"Lho, mas Timan mengapa bicara begitu? Kita ini sahabat, saudara, semua
permasalahan harus kita pikul bersama."
"Terimakasih banyak, mas Bayu, pak lurah dan bu lurah..juga Lastri dan tentu saja
mbah Kliwon yang telah bela-belain nurutin kemauan saya untuk bertemu bapaknya si
Sri," kata Timan yang tak mau melepaskan pegangannya pada Sri.
"Saya minta ma'af kepada semuanya, atas perlakuan menantu saya yang kasar dan tak
pantas. Sedih saya melihat sikapnya tadi. Dia seperti bukan manusia," umpat mbah
Kliwon yang sangat marah menyaksikan sikap menantunya tadi.
"Tidak apa-apa mbah, kami semua maklum, dan sepertinya kita semua sudah menduga
akan demikianlah sambutannya ketika kita datang." kata pak lurah Mardi.
"Ayo kita keluar dulu, tampaknya masalah ini harus dibicarakan bersama," kata Bayu.
***
Disebuah rumah makan mereka berbincang. Sri terdiam, tak mampu berkata-kata. Bahwa
dia adalah gadis titipan, sama sekali belum dimengertinya. Apa ayahnya menjual
dirinya kepada seseorang? Apakah seseorang itu Basuki? Alangkah benci si Sri kepada
laki-laki itu. Sesekali ia mengusap pipinya karena air matanya terus mengalir.
Timan yang duduk didekatnya menepuk-nepuk tangannya agar Sri merasa lebih tenang.
"Sri, apa kamu tau siapa laki-laki yang dimaksud bapakmu?" tanya Lastri.
Sri tidak menjawab. Ia hanya menundukkan kepala.
"Kemungkinan besar dia. Basuki, anaknya pak Cokro," kata mbah Kliwon.
"Kamu pernah melihat laki-laki itu Sri?" tanya Timan.
Sri mengangguk pelan.
"Kamu suka?"
Sri menggeleng keras.
"Berapa dia memberi uang untuk bapakmu Sri?" tanya lurah Mardi.
Sri kembali menggeleng.
"Kalau ada yang tau berapa jumlah yang sudah dibayarkan laki-laki itu, apakah saya
bisa menggantinya?" tanya Timan.
"Sayangnya dia susah diajak komunikasi," keluh Bayu.
"Kalau saja ada yang tau, saya akan menghitung uang saya, barangkali saya bisa
menebusnya." kata Timan mantap.
"Kalau perlu dua kali lipat. Saya akan membantu mas Timan."kata Bayu.
"Saya juga tidak keberatan membantu," kata lurah Mardi.
"Tapi bagaimana bisa menanyakan jumlah uangnya? Dia tidak bisa diajak bicara.
"Saya akan mencobanya, mungkin besok, tapi sendiri saja, supaya dia tidak marah,"
kata lurah Mardi.
Timan merasa terharu karena banyak yang ingin membantu. Ia menepuk tangan Sri.
"Sri, kamu tidak usah sedih, kami akan membantu, dan kamu akan terlepas dari laki-
laki itu," kata Timan/
Sri kembali mengusap air matanya.
***
Esok harinya lurah Mardi pergi ke tempat Darmin ditahan. Semula Darmin tidak mau
keluar, tapi ketika petugas mengatakan bahwa yang datang adalah pak lurah, maka
Darmin maka barulah Darmin bersedia. Wajahnya tetap tak menampakkan keramahan. Tapi
lurah Marih tetap menerimanya dengan senyuman.
"Apa kabar pak Darmin?" sapanya.
"Menurut pak lurah, bagaimana sih kabarnya kalau orang dikurung dalam tahanan?"kata
Darmin sengit.
"Ya..ya, saya tau, pasti kurang nyaman ya pak. Tapi bukankah ini semua terjadi
karena kesalahan pak Darmin sendiri?"
"Iya saya tau. Lalu mengapa? Kalau pak lurah datang kemari hanya untuk memaki-maki
saya, maka lebih baik saya tidak usah menemui saja."
"Oh, jangan begitu pak. Pak Darmin kan tau bahwa saya adalah lurah desa yang
bertanggung jawab atas semua yang terjadi didesa saya. Jadi jangan berprasangka
buruk terhadap saya.
Darmin terdiam.
"Saya ikut prihatin atas kejadian ini, dan saya berharap ini semua akan menjadi
pelajaran bagi pak Darmin, agar selanjutnya bisa berkelakuan dengan lebih baik."
Mata Darmin berkilat. Ada amarah disana.
"Dan pak Darmin tau, apabila orang yang pak Darmin hajar dirumah makan itu sampai
meninggal, maka pak Darmin bisa dihukum berat. Bisa sepuluh atau limabelas tahun
dipenjara."
"Tapi saya hanya memukulnya sekali, karena dia mengganggu saya."
"Pak Darmin memukulnya sekali, tapi kepalanya terantuk tembok dengan keras sehingga
dia mengalami gegar otak. Sekarang masih dalam perawatan intensif. Berdo'alah agar
dia tidak meninggal." kata lurah Mardi dengan nada mengancam. Darmin terpaku
ditempat duduknya. Kepalanya menunduk. Dibayangkannya berada dalam penjara sampai
puluhan tahun, alangkah mengerikan.
"Pak Darmin, saya ingin bertanya, apakah pak Darmin mencintai puteri bapak?"
"Mengapa hal itu ditanyakan? Adakah orang tua yang tiak mencintai anaknya?"
Pak lurah Mardi tersenyum. Baguslah kalau Darmin juga mencintai anaknya. Semoga itu
bukan hanya jawaban yang terlontar dari bibir saja.
"Senang saya mendengarnya. Tapi kemarin ketika saya kemari dengan beberapa saudara,
pak Darmin bilang kalau Sri itu titipan seseorang. Maksudnya apa pak?"
"Ya memang begitulah sesungguhnya. Saya hanya mencegah orang lain mengganggu si
Sri, karena dia itu sudah milik orang lain."
"Tapi pak Darmin perlu tau, bahwa Sri itu kan bukan barang?"
"Apa maksud pak lurah"
"Bagaimana seseorang bisa menjadi milik orang lain tanpa sepengetahuan si seseorang
terebut? Kalau itu barang, okelah, bisa saja sebuah barang dipindah tangankan dari
satu orang ke orang lain, dengan imbalan misalnya. Atau bahasa gampangnya dibeli,
begitu kan? Tapi kalau itu manusia bagaimana bisa terjadi pak?"
Darmin tampak meresapi kata-kata lurah Mardi.
"Saya butuh uang waktu itu. Saya terbelit hutang. Rumah hilang, harta hilang, dan
masih punya hutang."
"Lalu ?"
"Lalu seseorang melunasi hutang saya. Semuanya dilunasi, dengan janji."
"Janji memiliki si Sri?"
"Waktu itu si Sri masih gadis kecil. Dia bilang menitipkan Sri ke saya, dengan
janji kalau Sri sudah dewasa, saya harus menyerahkannya."
"Ooh, begitu ? Apa hanya itu satu-satunya cara untuk melunasi hutang bapak?"
"Hanya itu. Saya tak punya apa-apa. Kalau saya tidak bisa bayar, saya harus
membayarnya... dengan .. nyawa." kali itu pak Darmin mengatakannya dengan pilu.
Pak lurah Mardi terdiam, menatap Darmin yang menundukkan kepala sambil memainkan
jari-jarinya.
"Sekarang Sri sudah dewasa. Saya harus memenuhi janji saya."
"Berapa banyak hutang pak Darmin waktu itu?"
"Tak terhitung. Seharga satu rumah bagus."
Lurah Mardi tercengang. Satu rumah? Itu bisa seratus sampai limaratus juta. Atau
bisa lebih.
Apakah pak Darmin tidak berfikir, akankah Sri bahagia kalau harus melayani laki-
laki yang tidak dia sukai?
"Saya takut kehilangan nyawa, apapun saya akan lakukan."
Lurah Mardi terdiam. Darmin juga terdiam. Masing-masing bicara dengan perasaannya
sendiri.
Lama kelamaan Darmin tidak tampak garang seperti ketika kemarin lurah Mardi datang
berramai-ramai. Barangkali ada sesal.. atau entahlah.
"Pak Darmin, seandainya ada orang yang mau membayar sebanyak dia telah melunasi
hutang bapak waktu itu, apa perjanjian bisa batal?"
"Apa? Memangnya ada yang mau membayar sampai ratusan juta?"
"Barangkali ada.."
Pak Darmin diam sejenak, tapi kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Itu terserah dia."
"Dimana saya bisa menemui dia?"
"Namanya Basuki, almarhum bapaknya bernama Cokro. Tapi saya tidak tau dimana
sekarang dia tinggal."
"Bukankah terkadang dia datang menemui pak Darmin?"
"Ya, hanya memastikan, bahwa Sri masih ada dibawah perlindungan saya. Maksudnya
belum ada yang memilikinya. Dia selalu mengancam saya, dan nyawa taruhannya."
"Jadi Sri sudah pernah bertemu dia?"
"Lama sekali dia tidak datang, bertahun-tahun. Tapi akhit-akhir ini sering datang,
hanya memberi saya uang, dan merasa yakin bahwa Sri masih perawan. Itulah sebabnya
saya melarang siapapun mendekati Sri."
"Bagaimana sikap Sri terhadap Basuki?"
"Buruk. Sangat buruk. Tampaknya Sri benci pada Basuki."
"Ya pastilah, Basuki sudah terlalu tua bukan?"
"Sebenarnya kalau wajah, masih menarik, cuma memang dia itu gila perempuan dari
dulu."
"Kasihan kalau sampai Sri jatuh kedalam tangannya."
"Apa boleh buat. Kalau Sri menolak, saya harus mati."
"Ya Tuhan...."
"Sebenarnya Basuki tidak akan memaksa. Dia sanggup menunggu sampai Sri benar-benar
mau melayani dia. "
"Saya akan mencoba menemui Basuki. Sebagai anak orang terkenal pada jamannya,
barangkali banyak yang mengetahui tentang dia."
Darmin tak menjawab apapun.
"Dan satu lagi pak Darmin, jangan kembali meneguk minukan keras."
"Saya sebenarnya meeasa menjadi orang tak berguna., Berbuat semau saya seakan bisa
menutupi penderitaan saya yang sebenarnya mencengkeram jiwa saya."
"Tapi langkah itu salah, karena bertobat adalah obat terbaik untuk mengobati luka
hati."
Darmin menghela naafas.
"Dan apa yang pak Darmin lakukan itu bukan mengobati penderitaan, tapi justru
memperparah. Kasihan si Sri, dia sangat menderita.
Darmin tertunduk kelu. Belum pernah ia mau mendengarkan orang berkata-kata, apalagi
bertutur yang seakan menyalahkan dia. Sekarang barulah dia meresapi kata demi kata
yang dikatakan lurah Mardi.
***
Namun Timan tidak merasa ketakutan dengan jumlah uang yang diperkirakan bisa
menebus si Sri dari tangan Basuki.
"Tidak apa-apa pak lurah, saya masih punya rumah didesa. Saya akan menjualnya. "
"Tapi persisnya berapa kita harus ketemu dulu yang namanya Basuki."
"Tapi dimana kita harus mencarinya?"
"Saya akan terus mencari informasi. Nanti mas Timan pasti akan saya kabari."
"Saya tunggu pak lurah, dan terimakasih banyak telah menemui pak Darmin demi saya."
"Saya bersyukur, tadi dia mau menerima saya. Wajah yang semula garang perlahan
pudar, dan mau mendengar kata-kata saya, dan mengatakan apa yang sebenarnya
terjadi."
"Syukurlah."
"Dia itu hanya takut mati."
"Takut mati?"
"Basuki mengancam akan membunuhnya kalau dia tak bisa membayar hutangnya, Lalu dia
merelakan Sri untuk dijadikan isterinya. Janji itu sudah ada sejak Sri masih kanak-
kanak."
"Saya akan berusaha melepaskan Sri dari jeratan hutang bapaknya."
"Saya akan terus membantu mas."
"Terimakasih pak lurah. Sekarang saya mau ketemu Sri dulu dirumah mbah Kliwon."
"Silahkan mas Timan, rupanya Sri juga butuh dukungan sa'at ini."
"Aamiin, mas Timan. Sampaikan salam saya pada Sri dan mbah Kliwon ya.
"Pak lurah benar. Semoga kita berhasil mengentaskan Sri dari penderitaannya."
***
Sore itu Sri pamit pulang sebentar untuk membersihkan rumah.
"Apa perlu simbah bantu?"
"Tidak mbah, hanya rumah kecil saja kok. Saya cuma sebentar, lalu kembali kemari."
"Baiklah, selama bapakmu masih ditahan lebih baik kamu tidur disini saja, daripada
sendirian dirumah sana."
"Ya mbah, maksud saya juga begitu."
"Kamu juga nggak boleh sedih lho Sri, banyak orang yang mendukung kamu."
"Ya mbah, Sri tau."
"Ya sudah, pulang sana dulu, jangan sampai hari gelap baru kembali kesini."
"Baiklah."
Sri melangkah keluar rumah, mbah Kliwon memandangi punggung cucunya dengan rasa
iba.
Ia mengusap air matanya yang sempat menetes.
Namun ketika ia mau menutup pintu rumahnya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti.
Mbah Kliwon mengawasi siapa yang datang.
"mBah.." sapa orang itu yang ternyata Timan.
"Walah nak Timan, mari silahkan masuk."
Timan masuk kedalam, matanya mencari-cari.
"Mana si Sri?"
"O, Sri baru pamit sebentar nak, tapi tunggu saja, dia akan segera kembali," kata
mbah Kliwon sambil masuk kedalam. Sebelum pergi Sri sudah membuat wedang jahe
kesukaannya. Masih panas, dan mbah Kliwon kemudian menuangnya kedalam gelas untuk
disuguhkannya kepada Timan.
"Ini masih anget nak.":
"Simbah kok repot-repot, tapi terimakasih mbah," kata Timan yang langsung
menyeruput wedang jahenya.
"Memangnya Sri kemana sih mbah?"
"Pulang sebentar, katanya mau bersih-bersih rumah. Tapi dia nanti tidur disini.
Saya sudah pesan supaya jangan sampai malam kembalinya kemari."
"Saya habiskan wedangnya ya mbah, segar rasanya. Anget-anget enak."
"Habiskan saja nak, kalau mau dibelakang masih ada. Sri membuatnya sebelum pulang
tadi."
***
Sri hampir selesai bersih-bersih. Ia mengunci semua pintu, baik yang dibelakang,
maupun samping. Pintu depan masih tertutup, tapi Sri belum menguncinya. Ia lupa
dimana kemarin meletakkan kunci rumah. Karena memang sudah dua hari rumah itu
dibiarkan tidak terkunci, semenjak Sri lari kerumah simbahnya ketika ayahnya
menjadi buron.
Lalu ia menyalakan lampu depan, agar kalau malam tidak tampak gulita.
Dimana kunci itu, Sri benar-benar lupa. Lalu Sri teringat bahwa ayahnya juga
membawa kunci rumah. Ia memasuki kamar ayahnya, dan benar, kunci itu masih
tergeletak diatas meja. Sri mengambilnya dan bergegas keluar. Tapi sebelum sempat
dia membuka pintu, dilihatnya mobil berhenti didepan pagar. Sri terkesiap, itu
mobil Basuki.
Sri mengunci pintunya dari dalam, lalu lari kebelakang rumah.
==========
Terdengar langkah-langkah kaki. Sri menahan napas, takut apabila sebuah hembusan
nafas akan terdengar olehnya. Lalu terdengar ketukan keras.
"Miin! Darmiin !!
Ketukan lagi semakin keras.
"Miin! Kamu mampus atau apa?"
Wajah Sri merah padam mendengar Basuki memaki ayahnya.
"O, berarti minggat dia."
Terdengar la ngkah menjauh, lalu orang berbicara. Rupanya Basuki ketemu seseorang.
"Pak, tau nggak dimana Darmin?"
"O, pak Darmin ditangkap polisi pak."
"Apa? Ditangkap polisi?"
"Sudah tiga hari ini pak.."
"Dasar wong eddan !! Kalau anaknya dimana?"
"Si Sri ? Sepertinya ikut mbahnya. tapi saya tadi seperti melihat dia pulang."
Sri berdebar, jangan-jangan Basuki akan kembali.
"Tapi kok sepi.. "
"Mungkin sudah kembali kerumah mbahnya."
Lalu terdengar mobil distarter, kemudian suara mobil menjauh.
Sri menghela nafas lega. Ia menunggu beberapa sa'at untuk meyakinkan apakah Basuki
sudah pergi atau kembali kerumah.
Beberapa sa'at tak terdengar suara, Sri membuka pintu dan melongok keluar. Lalu
berjalan keluar pagar, melihat kekiri dan kekanan, apakah mobil itu benar-benar
sudah pergi.
Lalu Sri mengunci pintu rumah, dan bergegas kembali kerumah mbah Kliwon.
***
Timan berkali-kali melongok kearah jalan, tampak gelisah karena Sri tak segera
kembali. Malam mulai merambah, dan suasana sekeliling tampak temaram.
mBah Kliwon berdiri, menuju pagar, iapun gelisah.
"Tadi katanya sebentar, ini mulai gelap. Ngapain saja anak itu," omelnya sambil
memasuki rumah kembali."
"Bagaimana kalau kita susul saja mbah?" kata Timan.
"Biar saya yang menyusul."
"Jangan mbah, mari kita susul berdua. Naik mobil saja. Jauhkah?"
"Tidak usah nak, rumahnya nggak jauh, jalan kaki saja."
"Ya sudah, mari saya antar mbah."
Keduanya berjalan kearah rumah Darmin, dengan debar yang sama. Jangan-jangan
bertemu Basuki, lalu ..
"Simbaaah." teriak Sri dari kejauhan.
Timan dan mbah Kliwon merasa lega.
"Ada mas Timan ?" sapa si Sri sambil tersenyum. Timan harus menembus gelapnya
temaram malam ketika ingin menikmati senyuman itu. Hanya tampak remang, tapi cukup
membuat dadanya berdebar kencang. Aduhai, mengapa sebuah cinta bisa mengolah batin
dan raga sehingga bergejolak dan membuat semuanya jadi berbeda?
"Sri..." hanya itu yang diucapkannya ketika Sri menyalaminya. Tangannyapun
berkeringat. Timan meremasnya lembut.
"Nak Timan menunggu agak lama. Simbah kira kamu akan segera kembali.
"Sudah tadi Sri mau kembali mbah, tapi tiba-tib a Basuki datang."
"Apa? Ada Basuki? Diapakan kamu?" tanya mbah Kliwon cemas.
"Tidak sempat ketemu, karena ketika dia datang Sri masih didalam. Lalu Sri cepat-
cepat mengunci pintu depan."
"Dia tidak memaksa masuk?"
"Dia tadinya berteriak-teriak memangggil bapak, Sri diamkan saja. Lalu salah
seorang tetangga yang lewat memberi tau bahwa bapak sedang ditahan. Kemudian dia
pergi."
Timan dan mbah Kliwon menatik nafas lega.
"Syukurlah Sri tadi kami sangat cemas, kok sampai gelap begini belum pulang juga,
lalu menyusul kamu."
"Sri harus menunggu beberapa sa'at sampai yakin bahwa dia benar-benar pergi."
"Kamu benar Sri, so'alnya kalau tidak bisa-bisa kamu dibawanya pergi."
"Sri sudah gemetaran tadi mbah."
"Iya, pantesan tangannya berkeringat," canda Timan.
"Itu karena kamu mas, bukan karena takut sama Basuki," kata Sri dalam hati. Mana
mungkin ia benar-benar mengatakannya.
"mBah, tadi dirumah masih ada beberapa mie instan, ini saya bawa. Nanti Sri masak
dan dimakan bersama ya, sama mas Timan juga."
"Wah, bagus nduk, bisa rame-rame makan mie instan, kebetulan simbah tadi juga
mengambil telur di pekarangan. Ada empat telur yang baru saja simbah ambil. Bisa
untuk teman makan, ya kan nak Timan?"
"Baru mendengar sudah terasa nikmatnya mbah, apalagi kalau Sri yang masak." kata
Timan sambil menoleh kearah gadis yang berjalan disampingnya.
Sri hanya tersenyum. Ingin ia mencubit lengan Timan, tapi diurungkannya. Sungkan,
nanti dikira genit. Eh.. masa sih gitu aja dibilang genit?
Mereka sudah sampai dirumah mbah Kliwon. Sri langsung lari kebelakang sambil
membawa bungkusan mie.
"Tungguin ya mas," katanya sambil berlalu.
***
"Dari mana mas, kok sampai malam." tanya Marni kepada suaminya ketika hari sudah
malam dan pak lurah baru saja pulang.
"Sedang mencari informasi tentang dimana Basuki tinggal bu."
"Sudah dapat ?"
"Rumahnya banyak, tapi beberapa yang aku datangi, penunggu rumahnya bilang kalau
Basuki tak pernah pulang kesana."
"Nggak ada nomor kontak yang bisa dihubungi?"
"Nggak ada yang tau."
"Jadi dimana rumah Basuki yang ditempatinya setiap hari?"
"Belum mendapat informasi jelas bu, besok aku akan bertanya-tanya lagi."
"Sepertinya sa'at ini mas Timan masih ada dirumah mbah Kliwon."
"Oh ya? Siang tadi kami omong-omong di kantor kelurahan, dan dia juga bilang mau
langsung kesana. Mungkinkah dia masih disana ?"
"Tadi waktu Marni tilpun, mbah Kliwon bilang mas Timan masih ada disana."
"Oh, syukurlah, dengan adanya pak Darmin di tahanan, mas Timan lebih leluasa ketemu
Sri."
"Langsung dinikahkan saja gimana mas?"
"Wah, jangan begitu, bapaknya masih ada, dan dia masih terikat dengan Basuki .
Perjanjian mereka harus diselesaikan dulu."
"Sungguh menjengkelkan pak Darmin ini. Masa tega menjual anak gadisnya sendiri."
"Dia takut mati."
"Itu kan karena ulahnya sendiri. Tukang judi, tukang minum.. huuh.. akhirnya
anaknya jadi korban, sungguh tega dia."
"Ketika orang sedang menikmati sesuatu yang menurut mereka itu menyenangkan, mereka
lupa apa akibat yang akan ditimbulkannya."
"Iya mas, tenggelam dalam lautan kesenangan, tak perduli itu dosa atau akan
menyengsarakan orang lain. Jadi gemes aku sama pak Darmin. Rasanya pengin mukulin
saja."
Pak lurah tertawa.
"Memangnya kamu berani mukulin pak Darmin? Badanmu kecil begitu?" ledek pak lurah.
"Ee, biar badan kecil tapi kalau menghadapi orang kayak gitu ya tetap saja aku
berani mas, kemarin saja aku berani memaki-maki dia."
"Wa, iya ya, isteriku memang hebat. Dan itu sebabnya aku memilih kamu. Bu lurah
harus berani dan tegas, itu seiring dengan tugas pak lurah yang juga harus tegas
terhadap semua masalah."
"Hm, senengnya dipuji suami. Ya sudah, istirahat dulu mas, Marni mau siapkan makan
malam sekarang ya."
"Jarot sudah tidur ?"
"Sudah, tapi jangan mendekati dulu sebelum cuci kaki tangan lho mas, nggak boleh.
Kalau sudah bersih baru boleh mendekati bayi. Mas itu bawa sawan dari jalanan."
"Sawan itu apa?"
"Sawan itu ya segala macam yang buruk. Demit, setan, aura jahat, sudah.. cepet
bersih-bersih sana."
"Baiklah, yayi ratu.." canda pak lurah.
"Hm, kebanyakan nonton ketoprak," gerutu Marni sambil bergegas kebelakang.
***
"Saya bilang apa, mie buatan Sri sangat enak, nih.. sampai bercucuran keringat
saya, padahal udara sangat dingin."
"Mas Timan bisa aja, kan itu sudah ada bumbunya, Sri tinggal merebus dan
menambahkan telurnya. Jadi bukan Sri dong yang masak."
"Iya, tapi yang merebus siapa. Beda lho rebusan satu dengan lain orang. Kata orang-
orang tua, beda tangan yang memasak akan beda pula rasanya, walau bumbunya sama."
"Mas Timan tau dari mana?"
"Ya dari orang-orang tua, dari obrolan ibu-ibu dipasar. Aku mendengarkan saja
sambil merasakan. Kan sebentar lagi aku punya isteri."
"Oh ya? Dapat isteri dari mana mas?" tanya Sri memancing. Bodohlah kalau dia tak
tau maksudnya.
"Dari desa sini aja," kata Timan tetap berteka teki.
"Waduh, kira-kira aku kenal nggak ya?"
"Oh, kalau itu aku nggak tau. Tapi aku yakin mbah Kliwon tau kok."
"Ada apa, nyebut-nyebut nama simbah," teriak mbah Kliwon dari kamar, karena ia
sengaja memberi waktu kedua anak muda itu untuk berbincang.
Sri dan Timan tertawa.
"Itu mbah, mas Timan," teriak Sri.
"Timan mau tanya mbah, siapa gadis yang sebenarnya akan menjadi isteri Timan? mbah
Kliwon tau kan ?"
"Ya tau lah, cuma gadisnya itu saja yang pura-pura tidak tau," jawab mbah Kliwon
masih dari dalam kamar.
"Yang mana ya gadisnya?" Timan tersenyum, menatap Sri lekat-lekat. Hati Sri
bergetar. Barangkali tatapan tajam tapi teduh itulah yang membuat dia jatuh cinta
pada Timan. Cinta pertamanya, yang semoga menjadi cinta terakhir. Begitu pikir Sri
selalu. Tapi ia sadar bahwa masih banyak kendala yang harus dilompatinya. Tadi
Timan sudah cerita sama mbah Kliwon tentang sikap ayahnya yang menentang Sri
berhubungan dengan siapa saja. Sedih rasanya menyadari bahwa seakan dia dijual oleh
bapaknya demi nyawa yang lebih disayanginya.
Mengingat hal itu, wajah Sri menjadi tampak murung.
"Ada apa Sri? Kamu marah karena aku mengatakan hal itu? Kamulah gadis yang akan
menjadi isteriku. Keputusanku sudah bulat, apapun harus aku lakukan demi kamu."
"Tidak mas, aku tidak marah."
"Wajahmu tampak sedih tiba-tiba."
"Aku ini sebenarnya kan gadis titipan ?"
"Kamu itu kembang titipan, tak mudah memetiknya, karena kamu ada dalam belenggu
besi yang maha kuat. Tapi aku akan mematahkan besi itu dan memetikmu."
Berlinang mata Sri mendengar kata-kata Timan Akan mudahkah mematahkan belenggu besi
itu?"
"Jangan menangis Sri, sebah cinta akan menjadi kekuatan dahsyat yang tak
terputuskan. Aku dan kamu, akan menikmati hari-hari bahagia kita bersama. Teruslah
berharap dan bermimpi, sampai mimpi itu menjadi kenyataan."
Alangkah lembut kata-kata itu. Alangkah sejuk bagai air surgawi yang menyiram
nuraninya yang sedang gundah.
"Sri, sesungguhnya aku masih ingin berlama-lama disini. Tapi ini sudah malam,
sebaiknya aku pamit dulu," kata Timan sambil terus memandangi kekasih hatinya.
"Ya mas, aku tau, terimakasih banyak karena telah menguatkan aku."
"Kita akan saling menguatkan."
Timan berdiri lalu mendekati kamar mbah Kliwon.
"Mbah, Timan pamit dulu ya."
"Lho, kirain mau menginap disini," kata mbah Kliwon sambil bangkit lalu keluar dari
kamar.
"Ya enggak mbah, mana pantas saya menginap sementara ada kembang titipan disini."
mBah Kliwon tertawa.
"Kembang titipan akan siap dipetik pada waktunya. Baiklah nak, terimakasih banyak,
dan jangan segan-segan main kesini lagi."
"Saya akan sering datang kemari mbah," katanya sambil melirik si Sri.
Ketika Timan pulang, terasa ada yang sunyi dihatinya. Walau ada mbah Kliwon yang
selalu menghiburnya, tapi keberadaan Timan didekatnya membuat hidupnya terasa
nyaman.
***
Ketika melewat rumah lurah Mardi, Timan melihat pak lurah masih duduk dibangku
depan rumah. Timan membunyikan klaksonnya. Lurah Mardi yang tau bahwa itu Timan
segera melambaikan tangannya.
Timan menghentikan mobilnya, lalu turun dan melangkah mendekati mereka.
"Baru pulang mas?" sapa lurah Mardi.
"Iya, inipun sudah kemalaman bukan? Sebentar lagi saja pasti saya sudah ditangkap
hansip," kata Timan sambil tertawa.
"Kebetulan dong, kalau ditangkap hansip kan malah langsung dinikahkan?" kata Marni
menyela.
Pak lurah dan Timan tertawa.
"Bagaimana, sudah bicara sama mbah Kliwon?"
"Semuanya sudah saya ceritakan. Saya akan berusaha membayar berapapun untuk Sri.
"Saya kan sore tadi jalan-jalan kekita, mencari informasi tentang dimana Basuki
tinggal,"kata lurah Mardi.
"Haa, berarti sudah tau dimana dia tinggal?"
"Belum. Ada beberapa rumah milik Basuki, tapi tak satupun dari rumah-rumah itu
ditinggalinya. Hanya orang-orang yang bertugas menunggu dan membersihan rumaah itu
yang ada. Tapi tak seorangpun tau dimana Basuki tinggal menetap.
"Wah, sayang ya pak lurah."
"Tapi nanti saya akan terus mencari informasi. Mas Timan jangan khawatir, menemukan
orang terkenal seperti Basuki itu mudah, cuma agak ruwet."
"Sama saja itu namanya mas," sela Marni.
"Tapi setidaknya masih ada jalan, tenang saja mas Timan."
"Ya sudah, saya menunggu berita selanjutnya ya pak lurah, ini sudah malam, saya
pamit dulu."
"Silahkan mas, hati-hati dijalan ya."
"Kasihan mereka ya mas," kata Marni begitu Timan sudah berlalu.
"Iya. Semoga segera ada jalan keluar yang lebih baik."
***
Pagi itu Darmin merasa kesal, karena petugas mengatakan ada yang ingin ketemu.
"Huh, siapa sih, aku bosan dipanggil keluar terus menerus," gerutu Darmin.
"Seorang laki-laki, ganteng, tapi sudah agak tua."
"Dia menyebutkan namanya?"
"Basuki."
Darmin langsung bersemangat. Pasti akan ada amplop yang ditinggalkan untuknya.Atau
dia akan berusaha mengeluarkannya dari tahanan dengan jaminan? Iyalah.. Dia harus
membantu karena aku kan calon mertuanya, kata Darmin dalam hati.
Darmin melangkah keluar dengan senyum terkembang. Senyum yang sama sekali tak
kelihatan manis, karena menampakkan gigi kekuningan oleh sisa-sisa nikotin yang
tertinggal disana.
"Tuan, bagaimana bisa kemari?"
"Bisalah, aku kerumah kamu."
"Ketemu Sri, lalu memberitahukan bahwa saya ada disini?"
"Tidak, rumah kamu tertutup rapat. Tapi ada orang yang memberi tau bahwa kamu
sedang ditahan. Apa yang kamu lakukan?"
"Saya lagi makan dan minum-minum disebuah bar, ada yang meng olok-olok saya."
"Mengolok olok bagaimana?"
Lalu Darmin bercerita.
"Hei, jangan duduk disitu, dekat orang dekil itu, pasti badannya bau," kata seorang
laki-laki kepada temannya.
Darmin yang sedang mabuk naik pitam. Ia langsung berdiri, memegang leher baju orang
itu, kemudian menghajar wajahnya. Laki-laki itu terbanting kebelakang dan kepalanya
mengenai tembok. Lalu Darmin lari sebelum polisi datang.
"Wauww.. hebat kamu Darmin. Tapi bagaimana kamu bisa tertangkap?" kata Basuki
sambil tertawa.
"Ada orang yang mengenali saya rupanya, kemudian saya ditangkap."
"Goblognya kamu, mengapa tidak sembunyi?"
"Saya pulang kerumah karena mengira tak ada yang tau. Tapi ternyata mereka datang
untuk menangkap saya. Mendengar rame-rame diluar, saya kabur. Saya sudah berhasil
lari dari kejaran mereka, tapi setelah melintasi perkebunan dan sampai dijalan,
polisi mengenali saya. Ya sudah, mau apa lagi."
"Bagaimana kabarnya Sri?"
"Dia baik-baik saja, bersama mbahnya."
"Oh, sebenarnya aku ingin ketemu dan bicara baik-baik sama dia."
"Tuan, sebenarnya ada yang ingin saya sampaikan."
"Apa? Kamu mau aku membebaskan kamu dengan membayar uang jaminan?"
"Itu juga harapan saya."
"Kalau saya sudah ketemu Sri, dan Sri sanggup aku bawa pergi, baru aku akan
melepaskan kamu."
Darmin termenung, tampaknya tidak mudah merayu si Sri, apalagi didekatnya ada mbah
Kliwon yang pasti akan membantunya. Tiba-tiba Darmin ingin terlepas dari jeratan
Basuki. Ia merasa Basuki tak akan bisa membantunya keluar dari sana karena
syaratnya harus bisa membawa Sri terlebih dulu. Dan itu tidak akan mudah, kecuali
kalau dia ada disamping si Sri.
"Mengapa kamu diam?"
"Begini. Kemarin ada orang yang ingin mengambil Sri sebagai isteri."
Basuki menatap Darmin dengan pandangan marah.
"Apa kamu lupa bahwa Sri sudah menjadi milikku?" hardiknya.
"Bagaimana kalau dia sanggup membayar berapa banyak uang yang tuan pakai untuk
membayari semua hutang saya belasan tahun yang lalu?"
Wajah Basuki merah padam.
"Tidak. Aku sudah banyak uang ! Aku hanya mau si Sri !!'
Bersambung #6
CERITA WA: Kembang Titipan #6
Cerita Bersambung
Darmin terkejut, tak mengira semarah itu Basuki mendengar perkataannya.
"Tapi tuan.."
"Tidak ada tapi-tapi, kamu sudah janji, dan kamu harus menepai. Ingat itu. Dan
ingat juga, aku bisa melakukan apa saja. Sayangi nyawa tuamu." kata Basuki sambil
berdiri lalu melangkah keluar dan tak perduli pada Darmin yang duduk melongo. Tapi
tiba-tiba Basuki kembali.
"Jadi Min, jelas bukan, batalnya perjanjian adalah ketika nywamu terlepas dari
tubuh tuamu yang tidak berguna itu!! Tak lama lagi aku akan membawa anakmu, mau
atau tidak aku akan tetap membawanya." kata Basuki yang dibisikkannya ketelinga
Darmin, kemudian dia benar-benar keluar dari ruangan itu.
Tak ada amplop diatas meja, tak ada tawaran untuk membebaskannya dari tahanan. Dan
tiba-tiba Darmin merasa muak pada Basuki, yang dinilainya sombong dan ugal-ugalan.
Dan tiba-tiba juga Darmin merasa menyesal telah menukar nyawa nya dengan imbalan
anak gadisnya. Lalu ia teringat akan perkataan lurah Mardi
"Dan satu lagi pak Darmin, jangan kembali meneguk minuuan keras."
"Saya sebenarnya merasa menjadi orang tak berguna., Berbuat semau saya seakan bisa
menutupi penderitaan saya. Sekarang saya merasa bahwa ada yang sebenarnya
mencengkeram jiwa saya."
"Pak Darmin sadar bahwa langkah pak Darmin itu salah? Bertobatlah, bertobat adalah
obat terbaik untuk mengobati luka hati."
Darmin menghela naafas.
"Dan apa yang pak Darmin lakukan itu bukan mengobati penderitaan, tapi justru
memperparah. Kasihan si Sri, dia sangat menderita.
Lalu Darmin benar-benar merasa menderita. Tapi bagaimana caranya menebus kesalahan
masa lalu? Ini menyangkut uang dan yang bersangkutan tak sudi seandainya uang
dikembalikan. Apa yang harus Darmin lakukan? 'Kasihan Sri, dia sangat menderita',
kembali kata-kata itu terngiang ditelinganya. Derita, ia sekarang merasa menderita.
Berada dalam tahanan dan tak bisa melakukan apa-apa. Sangat menyiksa. Dan jika Sri
menderita.. alangkah sakit rasa hatinya. Aduhai, benarkah anakku menderita?
Bisiknya ber-kali-kali. Jadi begitu sakit rasanya menderita.. seperti aku sekarang
ini, sendirian dalam ruang yang pengap. Tak ada minuman kesukaanku. Tapi tidak, aku
tak akan meminumnya lagi. aku benci semuanya, benci minuman itu, benci uang yang
diberikan Basuki, benci .. bahkan kepada dirinku sendiri. Berapa lamakah aku akan
ada ditempat ini, lalu akan diadili dan dipenjara. Apakah orang yang aku pukul akan
mati, atau selamat? Bagaimana kalau mati lalu aku dihukum lebih lama? Kata batin
Darmin yang selalu menyiksanya.
Darmin memegangi kepalanya dengan kedua tangannya, yang ditumpukannya diatas meja.
Hatinya bagai tercabik menyadari betapa kejamnya Basuki. Betapa buruk nasibnya,
betapa buruk kelakuannya, betapa menyiksa semua perasaan itu. Mengapa baru sekarang
dia menyadari? Ia terus meratapi keadaan dirinya sampai petugas mengajaknya kembali
masuk ke ruang tahanan.
***
"Sri, jangan kebanyakan melamun .. ayo sini duduk sama simbah," kata mbah Kliwon
ketika mereka sudah selesai melakukan semua tugasnya.
Sri mendekat kearah simbahnya, duduk bersandar di kursi bambu itu, matanya
menerawang kelangit-langit.
"Apa yang kamu pikirkan?"
"Apakah bapak benar-benar benci sama Sri?"
"Bapakmu sedang tidak waras. Jangan kamu pikirkan. Nanti pada sa'atnya dia akan
menyadari kesalahannya."
"Kapan bapak menyadari kesalahannya?"
"Pada suatu hari nanti, mungkin sekarang ini belum sa'atnya. Kamu harus sabar, ya
nduk?"
"Sri memikirkan cara mengembalikan uang Basuki , mas Timan mengatakan sanggup
membayarnya, Sri jadi sedih. "
"Itu wujud cinta kasihnya Timan sama kamu, kamu harus mensyukurinya nduk."
"Rasanya sulit menerima kenyataan ini. Sedih bukan menjadi orang yang seperti Sri
ini? Bahkan Sri sekarang merasa bahwa tubuh Sri ini juga bukan milik Sri lagi."
"Semuanya akan ada akhirnya, dan percayalah bahwa kebenaran akan menang. Suatu hari
nanti bapakmu akan sadar."
"Simbah, biarpun bapak seperti benci sama Sri, tapi Sri ingin menjenguknya lagi. "
"Simbah maklum, bagaimanapun dia adalah bapakmu, ikatan itu tak akan bisa terputus
sampai kapanpun. Kamu anak baik, walau disakiti masih memiliki rasa sayang."
"Semalam Sri bermimpi, dipeluk bapak dengan kasih sayang. Bapak menangis sambil
mengelus kepala Sri."
"Mungkin bapakmu juga sedang kangen sama kamu."
Sri merenung lagi, alangkah senangnya kalau bapaknya benar kangen sama dirinya.
Selama ini ia merasa bapaknya tak pernah memperdulikannya.
"Sri juga teringat kata mas Mardi.. eh.. pak lurah, bahwa orang yang dipukul Bapak
masih ada dirumah sakit. Bisakah kita menjenguknya? Sri ingin melihat keadaannya
dan meminta ma'af atas kelakuan bapak."
"Besok kita tanya pak lurah, dimana dia dirawat."
"Kata pak lurah, kalau orang itu sampai meninggal maka hukuman bapak akan lebih
berat."
"Ya, itu benar nduk, karena dengan demikian bapakmu dianggap telah membunuh orang.
Tapi sudahlah, jangan terlalu memikirkan itu, besok bisa saja kita kerumah sakit,
baru menjenguk bapakmu. Ya kan?"
"Ya mbah, begitu ya?"
"Nanti simbah akan bertanya kepada pak lurah dulu, dimana orang itu dirawat.
"Ya, mbah?"
"Sudah, jangan sedih, serahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa, karena disana letak
segala kemurahan dan kebesaranNya. Dan kepadaNya kamu harus selalu memohon. Jangan
lupakan itu. Ayuk..ini sudah dhuhur, sa'atnya bersujud. Nanti hatimu akan lebih
terasa ringan.
"Baiklah mbah."
***
"mBah, kalau Sri mau membezuk ayahnya dan orang yang menjadi korban, saya antar
saja. Tapi saya mau ke kantor dulu.
"Waduh, jangan pak lurah, jangan sampai merepotkan dan mengganggu pak lurah. Tidak
apa-apa saya sama Sri saja. Kan banyak angkutan umum," kata mbah Kliwon buru-buru.
"Tidak apa-apa, saya juga butuh ketemu pak Darmin. Kemarin pernah mencari rumah
Basuki tapi belum ketemu, barangkali pak Darmin bisa memberi gambaran kira-kiranya
dimana."
"Tapi mengganggu tugas pak lurah juga kan."
"Tidak mbah, sama sekali tidak mengganggu, besok setelah ke kantor sebentar saya
langsung nyamperin mbah Kliwon."
"Wah, terimakasih banyak pak lurah. Maksudnya cuma mau bertanya, malah jadi
merepotkan."
"Tidak mbah, saya kan juga punya kepentingan. Saya sudah janji sama mas Timan bahwa
saya akan membantunya. Kemarin itu dimana Basuki tinggal masih belum ketemu.
Beberapa rumah yang saya datangi hanya ditungguin oleh orang yang tidak tau dimana
persisnya Basuki tinggal. Barangkali pak Darmin bisa memberi gambaran. Soalnya
ketika saya kesana, dia juga tidak bisa mengatakan apa-apa. "
"Tapi kalau kemarin sudah mengatakan tidak tau, apa besok dia bisa ditanya lagi?"
"Mungkin dia hanya pura-pura tidak tau. Kan saya juga belum bisa menebak, rasa
penyesalan yang tampak waktu itu, benar-benar sesal atau pura-pura."
"Benar pak lurah, orang seperti Darmin itu sangat susah ditebak isi hatinya."
"Semoga dengan ber bicara pelan nanti kita akan mendapatkan sesuatu. Yang penting
kita kesana dulu."
"Iya pak lurah, Sri juga bilang kepengin ketemu bapaknya. Katanya semalam bermimpi
ketemu bapaknya dan merangkulnya sambil menangis."
"Semoga itu sebuah ikatan yang tak tampak antara \pak Darmin dan anaknya, yang
tergambar dalam sebuah mimpi. Mungkin nanti pak Darmin sudah mau menerima Sri
dengan baik, tidak seperti pertemuan mereka yang lalu. Karena sesungguhnya pak
Darmin juga mencintai si Sri."
"Baiklah pak lurah, terimakasih banyak. Saya mohon diri. Karena Sri itu
sesungguhnya takut kalau sendirian dirumah. Ya karena Basuki sering mendatangi
ayahnya akhir-akhir ini."
"Ya mbah, bisa dimengerti. Karena merasa memiliki lalu dia bisa mengambilnya kapan
saja. Hati-hati ya mbah.."
"Jam segini kok belum pulang ya mas Timan? Tuh rumahnya masih terkunci." kata
Lastri ketika bersama suaminya ingin berbincang dengan Timan.
"Tadi nggak telephone dulu."
"Kan sekalian mau belanja. Tapi aneh kalau sudah sore begini belum pulang."
"Coba deh ditelephone Tri."
"Jangan-jangan ke Sarangan. Nggak aktif nih ponselnya."
"Bisa jadi. Aku sebenarnya pengin tau, bagaimana kelanjutan ceritanya, tentang uang
yang harus dibayar itu. Bagaimanapun aku ingin membantu. Kalau terlalu banyak
kasihan ms Timan."
"Iya mas, aku setuju. Dulu dia juga mati-matian berkorban mempertemukan kita. Kalau
nggak ada mas Timan, sampai sekarang mas Bayu belum menemukan isteri, ya kan?
Maksudnya isteri yang seperti aku. Kalau gadis cantik sih banyak."
"Kok larinya jadi ke gedis cantik banyak, aku kan nggak mau punya isteri selain
kamu. Susah nyari isteri kayak kamu."
"Karena aku cantik kan?"
"Hm, kalau mau bilang jelek, takut dicubit, kalau mau bilang cantik.. aku juga
harus dikasih upah. Gimana ya..."
"O, jadi memuji isteri harus ada upahnya?"
"Iya dong, setiap sa'at."
"Mau upah berapa sih, coba bilang."
"Upahnya bukan uang, jadi jangan bilang berapa..."
"O, gitu.. larinya kesana lagi nih.."
"Kesana tuh kemana?"
"Kayak nggak tau aja apa yang dipikirkan mas Bayu. Taulah aku.."
"Baguslah kalau tau, jadi aku sekarang mau bilang kalau isteriku memang cantik.
Nggak usah sekarang lho upahnya,Boleh nanti.. tapi dobel ya.."
"Iih.. apaan sih, lagi dijalan ngomongin yang enggak-enggak aja. Ayo pulang kalau
begitu."
"Tapi belum bisa nyambung mas Timan, bagaimana?"
"Gimana kalau kang Mardi saja. Dia pasti tau."
"Ya sudah, kamu saja yang telephone."
Lastri memutar nomor Mardi.
"Hallo Tri, ada apa?"tanya lurah Mardi dari seberang.
"Ini, aku sama mas Bayu kerumah mas Timan, tapi sudah sore begini kok belum pulang
ya?"
"Lho, sekarang mas Timan tiap sore kan kemari, ketemu si Sri."
"Aaah, sudah aku duga. Ini mas, mas Bayu kepengiin tau, kemarin kang Mardi bilang
mau ketemu pak Darmin. Sudah ada angka yang disebutkan pak Darmin? Tentang uang
yang harus dibayarkan ? Apa pak Darmin mau mengatakannya?"
"Mau sih, tapi angka persisnya tidak disebutkan. Lumayan banyak. Katanya hutang pak
Darmin waktu itu sama dengan harga sebuah rumah bagus."
"Wauuu... bisa ratusan juta dong."
"Benar, tapi mas Timan menyanggupinya. Cuma saja saya belum bisa ketemu Basuki.
Entah dimana dia tinggal. Tak seorangpun tau. Maksud saya mau bicara juga sama
Basuki tentang uang itu. Karena bagaimanapun namanya hutang kan harus dibayar?"
"Benar kang, ini tadi aku coba menghubungi mas Timan belum bisa."
"Iya lah, orang lagi asyik pacaran.. " kata lurah Mardi sambil tertawa.
"Nanti saja saya coba menghubbungi lagi kang/."
"Besok rencananya aku mau mengantarkan Sri ketemu bapaknya, sama Sri ingin ketemu
orang yang dipukul bapaknya itu. Mau minta ma'af katanya."
"Baguslah, memang itu seharus nya yang kita lakukan, supaya nanti dia tidak banyak
menuntut."
"Sekalian mau mencoba lagi bicara sama pak Darmin, barangkali akan ada
perkembangan. Karena kunci dari semua ini hanyalah Basuki."
"Ya mas, nanti kabari aku kalau ada perkembangan. Mas Bayu bilang ingin membantu."
"Baiklah, nanti aku kabari."
"Bagaimana? Apa kata pak lurah?" tanya Bayu ketika pembicaraan sudah selesai.
"Nanti saja sampai rumah aku ceritain mas, kenapa ya tiba-tiba aku kok merasa
mual."
"Kamu lapar barangkali? Makan dulu yuk, coba cari enaknya dimana?"
"Nggak mas, aku pengin segera pulang dan tidur, nggak enak nih perutku."
***
Mobil lurah Mardi berhenti didepan pagar rumah mbah Kliwon. Ketika pak lurah turun,
mbah Kliwon dan si Sri sudah siap didepan pintu. mBah Kliwon mengunci pintu
rumahnya.
"Merepotkan ya pak lurah?" sapa Sri sungkan.
"Tidak apa-apa Sri, kan aku juga punya kepentingan. Sudah siap ?"
"Sudah, tinggal nungguin simbah, tuh lagi mengunci pintu."
"Bawa apa itu Sri?"
"Cuma pisang, dua haru yang lalu sudah matang pohon. Nanti saya juga nitip untuk yu
Marni. Yang ini ya pak."
"Oh ya, pasti ibunya Jarot suka. Ayo masuk, itu simbah sudah selesai."
Sri berjalan mengitari mobil, tetangga didepan rumah menyapanya.
"Mau kemana Sri?"
"Ini kang, mau nengokin bapak."
"Masih belum keluar?"
"Belum kang, do'akan ya." kata Sri lalu masuk kedalam mobil.
***
Siang itu sebuah mobil berhenti ddepan pagar rumah Lastri. Mobilnya bagus, semua
orang lewat menatap kearah mobil itu. Seorang laki-laki gagah turun dari mobil.
Jalannya tegap, memakai kaca mata hitam yang keren banget. Bercelana jean dan
memakai t shirt ketat yang menutupi dada bidangnya. Laki-laki itu masuk kehalaman
kecil rumah Lastri dan berdiri didepan pintunya.
Perlahan ia mengetuk, lalu semakin keras karena tak ada yang menjawabnya dari
dalam.
"Permisi... permisi.. assalamu'alaikum... "
Tak ada jawaban sampai beberapa sa'at lamanya.
"Kemana dia? Tadi dirumah Darmin juga tidak ada. Jangan-jangan dia kabur dari aku,
awas kamu Darmin," gerutunya dengan wajah kesal.
Ia kemudian berbalik dan kembali kejalan. Seseorang yang rumahnya didepan
melihatnya dan mendekati laki-laki gagah itu.
"Tuan mencari siapa?"
"Si Sri ada ?"
"O, Sri sedang pergi sama simbahnya."
"Pergi kemana?"
"Nggak tau, tadi disamperin mobil pak lurah. Dengar-dengar mau nyambangin bapaknya
Sri yang masih ditahan.."
"Oh, terimakasih."
Laki-laki itu naik keatas mobilnya. setelah ia tau harus mencari kemana.
==========
Namun ketika Basuki tiba dirumah tahanan dimana Darmin ditahan, tak ditemukannya
siapapun. Darmin menemuinya dengan wajah kesal, dan itu membuat Basuki marah.
"Mengapa wajahmu sepeti itu? Kamu tidak suka aku datang? O.. ya, karena aku tidak
memberi kamu uang? " kata Basuki dengan wajah sinis.
"Bukan tuan, saya sedang tidak enak badan, setiap malam tak bisa tidur nyaman."
"Memang ini rumah tahanan, bukan istana atau hotel, mau tidur nyaman yang
bagaimana? Salah kamu sendiri, begitu goblog melakukan sesuatu yang berresiko."
omeh Basuki panjang pendek.
"Ya, tuan," jawab Darmin lesu.
"Mana si Sri?"
"Tuan bagaimana, saya disini, mana bisa tau si Sri dimana?"
"Jangan bohong, aku sudah kerumah kamu, juga kerumah simbahnya si Sri, kata
tetangga, Sri lagi nengokin kamu disini."
"Tapi dia tidak kemari."
"Bohong !! "
"Kalau tidak percaya, tanyakan pada petugas disitu, apa tadi ada orang yang menemui
saya."
"Kamu tampak tidak suka melihat aku datang, tampaknya kamu mulai tidak menyukai
aku. Oo.. aku tau, karena ada yang mau memberi uang untuk menggantikan hutang-
hutang kamu, lalu kamu bgitiu angkuh sama aku?"
"Tidak tuan, saya biasa saja, sungguh saya sedang tidak enak badan."
"Ingat Darmin, aku tidak akan sudi seandainya ada yang mau membayar aku untuk
membatalkan perjanjian itu. Aku hanya mau si Sri, tak ada yang lain."
Darmin terdiam. Sungguh ia merasa enggan bicara dengan laki-laki yang kali ini
berdandan begitu perlente dan tampak lebih gagah. Mungkin karena tadi maunya ketemu
si Sri, lalu berdandan agak berlebihan supaya Sri tertarik. Entahlah.. Yang jelas
Darmin ingin agar Basuki segera berlalu.
"Tuan, saya minta ma'af, sungguh saya sedang nggak enak badan."
Lalu Darmin berdiri, menemui petugas dan bilang bahwa dirinya ingin istirahat
karena nggak enak badan.
Petugas menghampiri Basuki.
"Pak, mohon ma'af, pak Darmin sedang tidak enak badan, jadi sebaiknya lain kali
saja bapak datang kembali," kata petugas itu.
Basuki mendengus kesal, kemudian berlalu.
***
Sementara itu pak lurah Mardi dan Sri serta mbah Kliwon sudah tiba dirumah sakit,
dimana korban pemukulan oleh Darmin itu dirawat. Pak lurah segera menemui petugas
rumah sakit dan mencari keterangan.
"Aku sudah menanyakannya, disana kamarnya," kata lurah Mardi kemudian.
mBah Kliwon dan si Sri mengikutinya. Namun tiba-tiba..
"Sri !!" sebuah panggilan mengejutkan semuanya. Sri menoleh dengan hati berdebar,
karena menganali suara itu.
"Mas Timan !!" pekiknya pelan. Ia tampak gembira.
Timan melangkah cepat mendekati mereka. Sri menyalaminya lebih dulu, dan Timan
menepuk tangan itu lembut.
"Kok mas Timan bisa tau kami ada disini?" tanya Sri.
Timan tersenyum, tapi matanya melirik kearah lurah Mardi.
Rupanya lurah Mardi mengabari Timan bahwa hari itu mereka mau membezuk korban
pemukulan oleh pak Darmin dan pulangnya akan mampir menemui pak Darmin di tahanan.
"O, pak lurah rupanya yang mengabari nak Timan?" kata mbah Kliwon gembira. Gembira
karena melihat cucunya juga tampak gembira.
"Iya , mbah."
"Mas Timan nggak kepasar?"
"Nggak, aku pilih kesini aja, bisa ketemu kamu," kata Timan sambil menatap Sri.
"Aah, mesti gitu mas Timan nih."
"Itu betul.."
"Iya, aku percaya..." kata Sri sambil melangkah cepat, karena lurah Mardi dan mbah
Kliwon meninggalkan mereka berdua.
"Dimana kamarnya?"
"Disana, ngikutin pak lurah saja."
"Sebenarnya tadi mas Bayu mau ikut.."
"Ikut, apa dia libur?"
"Ya mau ijin sehari gitu, karena pengin tau juga perkembangan cerita kita ini.."
"Hm, cerita kita ya?" kata Sri, tersenyum.
"Iya, terutama cerita kamu, si kembang titipan Basuki."
Sri merengut.
"Ah, merengut juga nggak apa-apa, kan cantiknya nggak akan hilang."
"Oh ya, tadi mas Bayu mau ikut, trus kenapa? Ceritanya bisa melenceng kemana-mana."
"Lastri sakit."
"Oh, yu Lastri sakit? Sakit apa?"
"Ini yadi baru mau ke dokter, katanya semalam muntah-muntah terus."
"Waah, jangan-jangan yu Lastri hamil."
"Benarkah? Kamu kayak yang pernah hamil saja."
"Bukan aku dong mas, yu Marni dulu waktu awal-awal hamil juga begitu, muntah-muntah
terus. Berhenti muntah kalau sudah dikasih makan rujak."
"Wah, semoga itu benar. Pasti mereka sangat bahagia."
"Aku juga akan ikut bahagia. Eh, mana mereka? Kita ngobrol sendiri, nggak tau tadi
belok kemana?"
Timan dan Sri celingukan, di persimpangan diujung lorong itu, barulah mereka
melihat lurah Mardi dan mbah Kliwon. Mereka menunggu, karena rupanya sudah sampai
didepan kamar yang dituju.
"Disini pak lurah, kamarnya?" tanya Timan.
"Iya, namanya Karsono. Ayo kita masuk," ajak pak lurah sambil masuk kedalam.
Pelan mereka mengikuti. Seorang laki-laki duduk ditepi pembaringan. Laki-laki itu
masih muda, menerima mereka dengan heran karena belum pernah melihat mereka.
"Mas Karsono, saya kemari mengantarkan Sri. Dia ini anaknya pak Darmin yang sudah
memukul mas Karsono sampai mas Karsono dirawat disini."
"Iya, dia itu mabuk, saya tidak mengira dia melakukannya. Tapi saya ngomong
sembarangan juga, dan membuat dia marah."
Sri maju mendekat, menyalami Karsono.
"Saya Sri, anaknya pak Darmin. Saya kemari mau minta ma'af atas kesalahan bapak
saya."
"Sudah, lupakan saja. Semuanya sudah terjadi. Dan ini sudah ditangani oleh pihak
yang berwajib."
Sri tercekat mendengar kata-kata Karsono.
"Kapan mas Karsono bisa pulang? Tampaknya sudah sehat."
" Saya menunggu kakak saya. Mereka akan kemari untuk mengurus administrasinya, hari
ini saya boleh pulang."
Tiba-tiba Timan mendekat.
"Mas, saya datang kemari untuk membantu menyelesaikan semuanya. Berapa beaya mas
Karsono selama dirawat?"
Sri dan mbah Kliwon terkejut. Tadi tidak ada rencana untuk itu.
"Saya tidak tau persis, tapi syukurlah kalau anda mau memikirkan hal itu. Selama
ini tidak ada keluarga Darmin yang datang dan perduli atas keadaan saya," keluh
Karsono.
"Itu sebabnya kami datang kemari. Pak Darmin tidak punya keluarga, hanya Sri ini
satu-satunya keluarganya. Dia juga terguncang, tapi hari ini kami sudah
datang."kata lurah Mardi.
"Oh, iya, terimakasih banyak."
Timan keluar menuju ke kantor administrasi, diikuti Sri yang berlinang air mata.
"Mengapa menangis Sri, sudah besar kok masih suka menangis?"
"Mas Timan mengapa melakukan semua ini? Tadinya aku tidak berfikir sejauh ini. Aku
hanya mau minta ma'af saja dengan membawa oleh-oleh pisang. Tapi mas Timan sanggup
membayar semua biaya yang mungkin tidak sedikit."
"Sudah, kamu tenang saja. Kita tidak sekedar membantu dia, tapi juga mau minta agar
dia bersedia mencabut tuntutannya."
Sri menatap Timan tak percaya. Sungguh tadinya hal itu tak terpikirkan.
"Saya sudah merencanakan semuanya dengan pak lurah."
"Ya ampun, bapakku menyusahkan banyak orang," kata Sri sedih.
"Sudah, usap air matamu, lalu duduk menunggu disitu, aku mau ke kasir," kata Timan
sambil mengulurkan sapu tangan yang dikeluarkan dari sakunya.
Si Sri duduk disebuah bangku, diantara lalu lalang orang yang mau membezuk kerabat
atau saudaranya yang lagi sakit, dan para perawat yang mendorong gerobag berisi
obat .. juga dokter-dokter yang bertugas visite.. Hatinya terasa nyeri, karena ulah
bapaknya lalu merepotkan banyak orang. Bukan hanya menyita waktu dan tenaga, tapi
juga uang yang tiba-tiba harus terkucur.
"Dengan apa aku harus membalasnya?" bisik Sri dalam hati, sambil mengusap lagi
titik air matanya.
Sri merasa hidupnya menjadi beban. Dan terus saja dia meratapi nasibnya sambil
sesekali menyeka air matanya, sampai Timan sudah selesai dan kembali mendekati Sri.
"Ada apa? Kok sedih begitu?" tanya Timan sambil duduk disampingnya.
"Sedih mas... sungguh .. hidupku ini mengapa menjadi beban orang lain?"
"Sri, kok ngomong begitu, aku ini bukan orang lain, aku ini calon suami kamu," kata
Timan sambil merangkul pundak si Sri.
"Dengan apa aku membalasnya mas?"
"Dengan cinta, dengan kasih sayang... gimana.. gampang kan?"
Sri tersenyum tipis.. ada bahagia tersungging disana, dan sederet gigi pitih yang
sedikit menyembul, selalu membat Timan berdebar. Alangkah manisnya kembang titipan
ini, bisik hatinya.
"Ayo kita kesana lagi," ajak Timan sambil menarik tangan Sri.
Pertemuan dirumah sakit itu selesai. Karsono sang korban sudah mau menerima. Beaya
rumah sakit sudah terbayar, dan amplop yang diberikan Timan kemudian cukup
membuatnya bersedia mencabut tuntutannya. Ia menandatangi surat yang sudah
disiapkan oleh pak lurah.
***
"Kita menemui bapak sekarang. Kamu harus sabar seandainya bapak masih belum suka
menerima kedatangan kita. Ya," ujar Timan dalam perjalanan menemui Darmin.
"Ya mas."
"Tapi sedikit melegakan karena urusan dengan mas Karsono sudah selesai, semoga
bapak bisa segera dibebaskan."
"Aamiin."
"Mengapa kamu tampak sedih?"
"Bukan sedih, membayangkan bagaimana nanti sikap bapak."
"Kan aku sudah bilang, kamu harus bersabar dan siap menerima apapun dan
bagaimanapun nanti sikap bapak, ka yan?"
Tiba-tiba ponsel Timan berdering.
"Tolong Sri, dari mas Bayu, bilang aku lagi nyetir."
"Hallo.."
"Ini Sri ?"
"Iya mas Bayu, mas Timan lagi nyetir."
"Sudah mau pulang?"
"Baru dari rumah sakit, ini mau ketemu bapak.."
"Oh, baiklah, nanti aku telephone lagi saja, takut mengganggu mas Timan."
"Bagaimana kabarnya yu Lastri? Katanya ke rumah sakit?"
"Iya, ini baru saja pulang,"
"Yu Lastri sakit apa?"
"Sakit yang menyenangkan," jawab Bayu gembira.
"Yu Lastri hamil ?"
"Iya Sri, atas do'amu.. baru lima minggu.. "
"Syukurlah, aku ikut senang mas.. Ini lagi dimana ?"
"Tiduran dikamar, sudah nggak muntah muntah tapi masih mual katanya."
"Iya mas, dulu yu Marni juga begitu. Sampaikan salam untuk yu Lastri ya mas,
pokoknya aku ikut senang."
"Terimakasih Sri, nanti aku sampaikan."
"Lastri hamil beneran?" tanya Timan ketika ponselnya sudah ditutup."
"Iya mas, senengnya.."
"Sebentar lagi kamu akan menyusul Sri.." canda Timan.
"Iih.. belum-belum sudah mau menyusul..." Sri cemberut.
"Nanti, sebentar lagi, aku nggak mau lama-lama lho, sudah nggak betah nih.."
"Nggak betah apaan ?"
"Nggak betah kelamaan jadi bujang."
"Bisa aja mas Timan nih.."
"Apa kamu nggak suka?"
Sri tersenyum..
"Semoga semuanya segera selesai ya mas.."
Dengan sebelah tangannya Timan menepuk-nepuk tangan Sri. Ada bahagia merekah, oleh
pengharapan yang semoga tidak sia-sia.
***
Mobil pak lurah Mardi sudah sampai didepan kantos polisi. Ia hanya bersama mbah
Kliwon, karena Sri ada dimobil Timan. Mereka belum turun. Lurah Mardi mengawasi
spion untuk melihat, apakah Timan sudah dekat.
"Kok jaraknya bisa lama sih?" ujar mbah Kliwon.
"Iya mbah, maklum, sambil pacaran," canda pak lurah.
"Hm, anak-anak muda. Tapi saya senang pak lurah, kalau ada nak Timan si Sri bisa
tersenyum dan tertawa. Kalau dirumah bawaannya murung melulu."
"Maklumlah mbah, memang Sri kan lagi banyak pikiran. Semoga semuanya segera
berakhir."
"Aamiin. Saya bersyukur banyak yang membantu Sri agar segera terlepas dari beban
ini. Sesungguhnya saya sungkan."
"Tidak apa-apa mbah, Sri kan sahabat saya, ia juga banyak membantu dalam usaha yang
dirintis Lastri dan saya sejak lama. Sudah sepantasnya saya juga ikut membantu
ketika dia dalam kesulitan."
Tiba-tiba dari arah depan berhenti sebuah mobil. Berhenti tepat didepan mobil pak
lurah. Seorang laki-laki turun, lalu melangkah mendekati mobil pak lurah.
Pak lurah membuka kaca mobilnya karena laki-laki itu berhenti didepan pintunya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya lurah Mardi.
Laki-laki itu melongok kedalam mobil, mengamati barangkali ada yang dicarinya.
"Ma'af, saya kira ada si Sri," kata laki-laki tersebut.
"Tunggu pak, apakah anda yang bernama pak Basuki ?"
Laki-laki yang memang Basuki itu urung membalikkan tubuhnya. Menatap laki-laki yang
semula duduk dibelakang setir. mBah Kliwon mulai menduga-duga.
Lurah Mardi turun, mengulurkan tangannya kepada Basuki.
"Saya Mardi, pak Basuki."
"Oh, bagaimana anda bisa mengenali nama saya?"
"Saya lurah desa yang...."
"Haa... bukankah tadi anda pergi bersama si Sri? Mana dia?" tiba-tiba Basuki
langsung menebaknya karena tetangga mbah Kliwon sudah memberitahu dengan siapa Sri
pergi.
"Mari masuk kedalam, saya ingin bicara."
"Sri mana?" Basuki mengulang pertanyaannya.
"Dia akan segera datang."
Basuki mengangguk tapi ntak beranjak dari tempatnya berdiri. Tampaknya ia ingin
menunggu kedatangan Sri.
Sementara itu mobil Timan hampir sampai disana. Timan nyaris menghentikan mobilnya
ketika Sri berteriak.
"Terus mas ! Jangan berhenti !!"
Bersambung #7
CERITA WA: Kembang Titipan #7
Cerita Bersambung
Timan terus menjalankan mobilnya dengan bingung.
"Ada apa Sri? Itu mobil pak lurah sudah sampai disana, pasti kita ditungguin."
"Jangan mas, aku takut."
"Kenapaa? Sri.. jangan membuat aku bingung. Ada apa?"
"Ada Basuki disana."
"Apa? Dimana ?"
"Lagi ngomong sama pak lurah.."
"Masa sih? Lalu mengapa kamu takut? Kan ada aku. Biar aku temui dia supaya semuanya
menjadi jelas."
Tiba-tiba Timan menghentikan mobilnya agak ketepi.
"Ya ampun mas, jangan.."
Sri benar-benar ketakutan, wajahnya pucat pasi.
"Sri, kalau benar dia Basuki, aku justru ingin menemui dia. Nggak apa-apa ada aku,
kita kembali kesana ya?"
"Demi Tuhan, aku takut mas.."
"Kan ada aku ?"
"Tidak mas, jangan... sungguh aku takut."
"Aku akan menghadapinya Sri, aku tidak takut."
"Tapi aku takut mas... " suara Sri serak, hampir menangis, lalu Timan merasa
kasihan.
"Ya sudah, jangan menangis, aku akan kirim pesan singkat ke pak lurah bahwa kita
tidak akan kesana."
Timan sebenarnya ingin ketemu Basuki, kalau perlu bicara langsung dan apapun ingin
dihadapinya. Tapi melihat keadaan Sri, ia mengalah. Lalu dikirimnya pesan singkat
ke pak lurah.
PAK LURAH, MA'AF, SRI TIDAK JADI MENEMUI BAPAKNYA. ADA KEPERLUAN LAIN.
Dan pak lurah yang membaca pesan itu kemudian bisa mengerti, karena tadi dia sempat
melihat mobil Timan melintas tanpa ada tanda-tanda mau berhenti.
***
Basuki mondar mandir didepan kantor polisi itu, lalu kembali kearah pak lurah.
"Mana dia ? Mengapa belum sampai juga?" tanyanya dengan wajah kesal.
"Baru saja dia mengabari, bahwa tak jadi datang kemari."
"Apa? Mengapa nggak jadi?" keras suara Basuki. Seperti kebiasaan dia bicara sama
bawahannya, lupa bahwa dihadapannya adalah orang asing, seorang kepala desa pula.
"Saya tidak tau pak. Mungkin ada keperluan lain, atau ...
Lurah Mardi seperti sedang berfikir mencari jawaban yang tepat..
"Atau apa?"
"Waktu dia datang kemari untuk yang pertama kali, pak Darmin sangat marah pada Sri.
Dinilainya Sri tidak patuh atau bagaimana, pokoknya kedatangan Sri tidak
ditanggapi. Mungkin sekarang Sri takut, lalu mengurungkan niyatnya. Kan pak Darmin
itu kalau marah nggak perduli apapun.. walau ada banyak orang tetap saja dia
teriak-teriak. tanpa mengenal malu. Nah Sri yang malu."
Tampaknya jawaban pak lurah bisa diterima Basuki. Namun ketika Basuki hendak
berlalu, lurah Mardi mencegahnya.
"Tunggu pak, saya ingin bicara, bisakah kita masuk sebentar?"
"Dengan siapa Sri pergi? Saya lupa menanyakan." tanya Basuki mengalihkan
pembicaraan.
"Dengan temannya."
"Perempuan, atau laki-laki? Mengapa kalian bisa berpisah? Bukankah tadi pak lurah
nyamperin kerumah mbahnya, oh.. itukah mbahnya Sri?" kata Basuki sambil menuding
kearah mbah Kliwon.
mBah Kliwon tak menjawab. Sebel banget melihat tingkah orang yang sedikitpun tak
menaruh hormat kepada orang lain padahal baru dikenalnya.
"Temannya, perempuan, tadi bertemu dijalan lalu dia minta berhenti, dan bilang mau
menyusul kemari, ternyata tidak jadi. Tapi sebentar, saya tadi bilang ingin bicara
sama pak Basuki kan?Bisakah kita masuk sambil menemui pak Darmin?"
"Tidak, mau bicara apa, langsung disini saja."
"Nggak enak pak, masa dipinggir jalan begini?"
"Tidak apa-apa, siapa bilang nggak enak, ayo bicaralah, aku sedang tergesa-gesa."
"Baiklah, apa boleh buat kalau pak Basuki ingin kita berbicara disini. Begini,
waktu saya datang sebelum ini, saya bilang pada pak Darmin, bahwa ada seorang
pemuda yang ingin mengambil isteri anaknya."
"Maksudnya si Sri?"
"Ya, si Sri.."
"Tidak. Tidak mungkin, Sri itu milikku." hardik Basuki dengan wajah merah padam.
"Ya, pak Darmin juga bilang begitu. Dia bilang Sri itu dititipkan oleh pak Basuki,
sejak dia masih kecil, dengan imbalan pak Basuki membayar semua hutangnya."
"Itu benar, dan tidak sedikit aku mengeluarkan uang untuk itu."
"Baiklah, bagaimana kalau uang pak Basuki yang telah digunakan untuk membayar
hutang pak Darmin itu dikembalikan?"
"Aahaaa... maksudnya dengan begitu Sri harus saya kembalikan?"
"Begitu kira-kira pak."
"Tidak ! Tidak.. dan tidak !!" teriak Basuki sambil mengacungkan jari telunjuknya
kearah wajah pak lurah. Lalu Basuki membalikkan tubuhnya dan pergi menuju ke
mobilnya. Terdengar deruman keras ketika Basuki memacu mobilnya dan seperti
melayang melintasi mobil pak lurah.
"Ya Tuhan, apa dia manusia?" keluh mbah Kliwon menahan amarah.
Lurah Mardi terpaku ditempatnya, belum pernah seseorang bersikap begitu kasar
terhadapnya. Kalau menuruti kemauannya ingin dia mengayunkan bogem kewajah ganteng
yang tak punya sopan santun itu. Tapi dia seorang kepala desa yang harus bisa
menahan emosinya. Ia hanya mengelus dada, sambil menghela nafas panjang.
"Orang yang begitu mau jadi suami cucuku? Darmin benar-benar sudah gila."
"Jadi gimana ini mbah, jadi ketemu pak Darmin tidak?"
"Atau kita minta Sri kemari saja? Tiba-tiba membatalkan niatnya kemari, pasti
karena melihat Basuki."
"Tadi dia bilang apa?"
"Mas Timan yang bilang melalui pesan singkat, katanya Sri nggak jadi kemari karena
ada keperluan. Cuma gitu. Tapi saya tadi melihat mobilnya melintas, tidak berhenti.
Pasti karena melihat Basuki lalu Sri minta supaya mas Timan tidak berhenti. Coba
saya telephone dulu ya."
"Hallo mas Timan," sapa lurah Mardi ketika telephonenya diangkat.
"Hallow pak lurah, disitu masih ada Basuki?"
"Tuh kan, nggak berhenti karena melihat dia ya?"
"Iya, Sri ketakutan sampai menangis tuh."
"Kasihan Sri, tapi dia sudah pergi. Cuma saya tadi sudah sempat bicara sama
Basuki."
"So'al uang pengganti itu?"
"Ya, dia menolak mentah-mentah."
"Menolak? Tidak mau seandainya uangnya diganti? Dengan nilai sekarang?"
"Dia marah-marah, maunya bukan uang, tapi Sri."
"Ya ampuun.. lalu bagaimana ini?"
"Mau kesini nggak mas, saya tungguin nih sama mbah Kliwon."
"Ya pak lurah, kalau dia sudah pergi saya mau kesitu, tadi kan Sri ketakutan."
***
Dan tanpa dinyana, sambutan Darmin siang itu begitu menyenangkan. Ia langsung
memeluk Sri dengan air mata yang tak terbendung. Sejagad penyesalan merubungi
hatinya, membuat sesak dadanya dan yang kemudian ditumpahkannya dalam isak yang
berkepanjangan.
"Mengapa bapak menangis ?" tanya Sri yang tentu saja ikut terisak.
"Bapak merasa sakit. Sakit oleh ulah bapak selama berpuluh tahun. Bergelimang dosa
dan maksiat, tak pernah merasa jadi pelindung yang baik bagi anak isteri."
"Ya sudah pak, jangan terlalu tenggelam dalam sesal. Bukankah rasa penyesalan itu
adalah nikmat menuju kebaikan? Mari kita jalani semua ini bersama-sama."
"Bapak tak mengira kamu bisa mengatakan semua ini. Sri kecil yang teraniaya karena
ulah bapaknya. Ma'afkan bapak, ma'afkan bapak ya nduk."
"Sri sudah mema'afkan sebelum bapak memintanya."
"Bapak, ma'afkan juga saya ya pak," kata Darmin sambil mencium tangan bapak
mertuanya."
"Sudah.. sudah, bapak sudah mema'afkannya. Bapak senang kamu menyadari semuanya.
Ayo sekarang duduklah, akan bapak perkenalkan ini, nak Timan."
Timan mendekat dan meraih tangan Darmin. Kali itu Darmin tak menolaknya. Ia menepuk
punggu punggung Timan dengan hangat.
"Pak lurah, ma'afkan saya yang selalu berlaku kasar, dan terimakasih atas
perhatiannya kepada saya yang banyak dosa ini." kata Darmin yang juga menyalami pak
lurah.
"Tidak apa-apa pak Darmin, banyak orang bisa mengakui kesalahan, tapi tak banyak
yang menyadarinya. Saya senang pak Darmin bisa menyadarinya."
"Tapi nasib Sri sungguh buruk. Basuki tak mau uangnya dikembalikan. Ia hanya minta
Sri, seperti janji saya pada puluhan tahun lalu, ketika Basuki membayar hutang-
hutang saya."
"Nanti kita akan mencari jalan terbaik untuk itu, kita akan memikirkannya bersama.
Tadi saya ketemu pak Basuki diluar sana."
"Jadi dia belum pergi ?"
"Tadi sudah kesini?'
"Sudah, saya menemuinya sebentar karena bicaranya ngaco tidak karuan. Lalu dia
pergi karena saya bilang sedang nggak enak badan. Ternyata dia masih menunggu
diluar?"
"Mungkin dia masih berada disekitar, karena tau bahwa Sri akan datang kemari.
Begitu saya datang, dia langsung mendekat dan mencari-cari si Sri. Untunglah Sri
belum datang."
"Jadi tadi ketemu Sri juga?"
"Tidak, karena Sri yang bersama nak Timan melihat ada Basuki sedang bicara sama
saya, kemudian Sri tidak jadi berhenti. Baru setelah Basuki pergi, saya panggil Sri
kemari."
"Pak lurah bicara apa sama dia?"
"Tentang keinginan nak Timan akan mengganti uang yang sudah diberikan Basuki kala
itu. Tapi dia menolaknya mentah-mentah."
"Tadi dia sudah mengatakannya. Saya jadi bingung pak lurah. Dia terus menuntut agar
Sri segera diserahkan."
"Baiklah, nanti hal itu kita bicarakan lagi. Sekarang ada kabar baik sementara,
tentang orang yang pak Darmin pukul waktu itu."
"Matikah dia?" tanya Darmin dengan wajah cemas.
"Tidak, justru kabar baik, dia selamat dan mungkin hari ini sudah pulang. Kabar
baiknya lagi dia berjanji tidak akan menuntut."
"Berarti saya tidak akan lama lagi ditahan disini?"
"Mungkin tak lama lagi bisa pulang pak."
"Syukurlah, tapi bagaimana dia bisa bilang tidak akan menuntut?"
"Mas Timan membayar semua biaya selama dia dirumah sakit, dan juga memberinya
sejumlah uang."
"Ya Tuhan, nak.. perlakuanku terhadapmu tidak baik, tapi kamu melakukan hal yang
luar biasa untuk aku, ma'afkan bapak ya nak." kata Darmin sambil memeluk Timan.
"Jangan hal itu difikirkan pak, yang penting bapak selamat, dan Sri juga segera
terbebas dari cengkeraman Basuki. Kami sedang mengusahakannya."
"Apakah nak Timan juga yang mau mengganti uang Basuki ?"
"Ya, tapi sementara ini dia masih belum mau menerima."
"Ya Tuhan, mengapa sejak dulu aku tidak bergaul dengan orang-orang baik ini?" kata
Darmin yang kembali berlinangan air mata.
***
"Mas, bagaimana kabarnya Sri ? Mas sudah menelpon kang Mardi tadi kan?"
"Iya, baru saja selesai bicara, bagaimana kamu, masih mual?"
"Sudah agak berkurang. Tadi kang Mardi bilang apa?"
"Kamu itu lagi sakit masih mikir yang macam-macam, istirahat dulu lah Tri."
"Aku sakit apa? Kata mas aku sakit menyenangkan."
"Iya, tapi kamu muntah-muntah terus."
"Enggak mas, sudah enggak. Aku sekarang ingin tau kabarnya Sri bagaimana. Prihatin
aku mas."
"Ya belum sepenuhnya selesai. Basuki tidak mau uangnya dikembalikan. Dia tetep
minta Sri, tidak yang lainnya."
"Kok gitu ya mas, bukankah yang penting uangnya kembali?"
"Dia orang kaya, uang tak ada artinya. Suka atau tidak dia harus mendapatkan Sri,"
"Kalau Sri nggak mau?"
"Jelas nggak mau lah.. dia kan cintanya sama mas Timan."
"Waduh, bisa kacau ya mas... lalu bagaimana caranya melepaskan Sri dari ikatan yang
rumit itu?"
"Kalau aku ya.. larinya ke jalur hukum saja.."
"Bisa ya mas ?"
"Ya bisa lah.."
"Tapi kan perjanjiannya pakai surat.. ditandatangani pula oleh pak Darmin."
"iya, tapi bisalah, itu kan menyangkut tindakan asusila, dan melanggar hak azasi
manusia."
"Kalau bisa aku bersyukur mas. Tapi.. aduh mas, aku mau dibeliin rujak dong.."
"Tuh kan.."
"Tapi rujaknya harus yang pakai mangga.."
"Lhah, kan ini lagi nggak musim mangga...?"
"Pokoknya aku mau yang pakai mangga... buruan mas, mau muntah nih..."
Aduh, susah ya ounya isteri ngidam. Bayu baru mengganti bajunya karena sebentar-
sebentar memang ia harus ganti baju. Lastri nggak suka bau keringatnya. Kalau
berani mendekat dengan tubuh keringatan pasti Lastri mengusirnya. Aduhai..
"Buruan mas.."
"Iya..iya.. aku cari dulu, ini lagi ganti baju nih... Pengin tau deh, kayak apa
nakalnya anakku ini nanti.. semoga tidak rewel seperti ibunya," kata Bayu sambil
mencium perus isterinya.
"Iih,, aku nggak rewel ya, justru anak mas ini yang rewel," kata Lastri sambil
cemberut.
***
Sri dan Timan serta lurah Mardi agak lama ketemuan sama Darmin. Ada bahagia dihati
Sri karena bapaknya tak lagi menolak Timan. Mereka malah kelihatan akrab dan cocog
satu sama lain.
"Ya sudah, kayaknya sa'atnya pulang ya, sudah kelaman kita disini," ajak lurah
Mardi.
"Bapak sabar ya, kami akan mengurus semuanya agar bapak bisa segera pulang," kata
Timan sambil menyalami pak Darmin.
"Iya nak, terimakasih banyak atas semuanya, bapak tak akan bisa membalasnya."
"Tak usah difikirkan pak, selalu berdo'a agar semua ini akan segera berakhir baik."
"Ya nak.. ya, terimakasih pak lurah, bapak.. jaga Sri baik-baik ya.."
Darmin melepas kepergian mereka dengan perasaan mengharu biru. Masih ada yang harus
difikirkannya, yaitu melepaskan si Sri dari genggaman Basuki.
"Mas Timan langsung mengantar si Sri atau kembali ke Solo?" tanya pak lurah.
"Biar saya antar sampai kerumah pak. Oh ya, mas Bayu tadi telephone akan mencari
lawyer .. kayaknya Basuki harus diselesaikan melalui jalur hukum, Tadi saya belum
bicara takutnya pak Darmin akan khawatir. Nanti malam saya akan menemui mas Bayu,
biar lebih jelas bicaranya." kata Timan sambil menuju kearah mobilnya.
"Ya mas, saya siap membantu apapun dan kapanpun. Ini saya sama mbah Kliwon ya. Mas
Timan sama Sri."
"Baik pak lurah, mobil saya pickup, nggak enak kalau berdesakan.""
Ketika Sri sudah naik keatas mobil dan Timan siap membuka pintu, tiba-tiba sebuah
mobil berhenti, tepat dihadapan mobil Timan. Timan terkejut, wajah Sri berubah
pucat.
Seorang laki-laki gagah keluar dari mobil mewah yang nyaris menabrak mobil Timan,
lalu berjalan kearah Timan. Timan berdiri terpaku, lalu tiba-tiba Timan merasa
bahwa dia adalah Basuki. Dengan kepala ditegakkan Timan menunggu. Dua orang laki-
laki berhadapan, mata saling memandang dengan sorot mata berapi-api. Masing-masing
segera menyadari wahwa yang berdiri dihadapannya adalah lawan yang harus
disingkirkan.
==========
Tangan Timan sudah mengepal. Tak ada rasa takut walau dihadapannya ada laki-laki
yang lebih tegap dan lebih tinggi dari dirinya. Cinta itu luar biasa. Cinta itu
adalah rela untuk berkorban demi orang yang dicintainya. Kalau perlu nyawa akan
dipertaruhkannya. Aduhai...
Tapi Basuki, sama sekali tak memperebutkan cinta Sri, ia menggenggam harga diri dan
kesombongannya. Mana mungkin dia mundur hanya karena iming-iming uang dikembalikan?
No, Basuki tak terkalahkan. Basuki merasa tak akan ada yang mengalahkannya. Ia
diatas semua orang, dia berkuasa karena dia banyak harta.
Mata Basuki menyipit. Tanpa rasa sungkan apalagi hormat, dia menuding kearah muka
Timan.
"Kamu siapa?"
"Saya Timan, dan saya tidak perlu bertanya siapa anda karena dari sikap anda saya
sudah tau bahwa anda adalah Basuki," kata Timan tegas, setegas kemauannya
melindungi si Sri.
"Saya melihat anda membawa Sri. Sri itu milikku. Jangan coba-coba mendekati dia.
Bagaimana kalau saya menolak keinginan anda? Sri lebih mencintai saya, bukan laki-
laki yang walau banyak harta tapi tidak memiliki tata krama."
Mata Basuki terbelalak, merah menyala seperti naga siap melalap mangsanya. Tapi
Timan tak gentar. Tangannya sudah mengepal, siap membela diri seandainya Basuki
memukulnya.
Sementara itu pak lurah dan mbah Kliwon yang menyaksikan perdebatan kedua lelaki
itu mendekat.
"Mengapa disini? Bagaimana kalau kita masuk kedalam, ada polisi yang siap menjadi
saksi kalau terjadi apa-apa," kata lurah Mardi.
"Baiklah, kita akan ketemu dimana?" tantang Basuki.
"Tidak pak Basuki, kita ini manusia yang harusnya punya tata krama. Kita juga bukan
anak kecil yang harus menyelesaikan perdebatan dengan pergumulan. Mari kita cari
jalan terbaik."
Tiba-tiba Basuki membalikkan tubuhnya, menuju mobilnya. Ia memundurkan beberapa
langkah sebelum melaju dengan kecepatan tinggi.
"Sabar mas, ada wadah untuk berdebat, bukan dengan kekerasan. Kita akan
menyelesaikannya melalui jalur yang lebih santun. Ayo kita pulang dan menenangkan
pikiran," ajak lurah Mardi.
Timan kembali kemobilnya, tapi alangkah terkejutnya ketika melihat Sri tak ada
disana.
Ia menoleh kearah mobil pak lurah, yang sudah menstarter mobilnya, lalu Timan
melambaikan tangannya, minta untuk berhenti.
"Ada apa mas Timan?"
"Sri ada disini ?"
"Lho, bukannya tadi ada di mobil mas Timan?"
"Nggak ada tuh..." jawab Timan bingung.
Lurah Mardi turun, diikuti mbah Kliwon. Mereka mencari kesana kemari, tapi tak
ditemukannya si Sri. Timan masuk kedalam kantor polisi, barangkali karena ketakutan
Sri masuk dan bersembunyi disitu. Tapi tak ada. Lurah Mardi bertanya kepada seorang
petugas yang ada disana ketika mereka bertemu Basuki,
"Seorang gadis?" tanya petugas itu.
"Ya, yang tadi duduk dimobil saya ini.."
"Baju coklat ?"
"Ya benar."
"Tadi turun dari mobil, lalu pergi bersama seorang wanita."
Semuanya terkejut.
Pergi dengan seorang wanita? Mengapa Sri diam saja dan tidak bilang apa-apa kepada
mereka? Apakah karena Sri ketakutan? Mereka kebingungan. Timan memukul-mukul
kepalanya. Menyesal karena terbakar emosi ketika melihat Basuki, lalu melupakan si
Sri yang ada didalam mobil sendirian.
"Bagaimana ini?" tanya Timan panik.
"Kita laporkan saja sekalian. Jangan-jangan ini juga karena ulah Basuki."
"Tapi kan Basuki tadi bersama saya?"
"Siapa tau dia punya anak buah yang disuruh melakukan sesuatu.."
"Ya Tuhan... dibawa kemana cucuku ?" keluh mbah Kliwon bingung.. ia berjalan mondar
mandir kesana kemari. sambil memanggil-manggil nama si Sri.
"Sri... Sri.. dimana kamu Sri..."
"Pantesan tadi tiba-tiba dia pergi, pasti dia sudah tau kalau anak buahnya atau
temannya berhasil membawa Sri, kata Timan penuh sesal.
Timan membuka lagi mobilnya, barangkali ia salah lihat dan ternyata Sri masih ada
didalam. Tak ada, Lalu Timan melihat sesuatu, secarik kertas bertuliskan spidol
merah.
JANGAN SEKALI-SEKALI LAPOR POLISI, SRI ADA DITANGANKU, KESELAMATANNYA TERGANTUNG
ANDA.
Timan tercekat, ia melambaikan tangan kearah lurah Mardi yang sudah siap masuk
kekantor polisi.
Timan mendekat dan menunjukkan kertas itu.
"Benar-benar kurangajar orang itu!!" umpat lurah Mardi.
Mbah Kliwon lemas mengetahui bahwa Sri benar-benar dibawa kabur Basuki, entah
bagaimana caranya.
"mBah, tenang dan jangan panik. Mari kita kerumah saja dan bicara. Kalau polisi tau
dan menjadi urusan, takutnya Sri akan di apa-apain," kata lurah Mardi yang sudah
lebih tenang.
***
"Maas, enak banget rujaknya..." kata Lastri sambil meletakkan mangkuk bekas rujak
keatas meja, dalam keadaan kosong.
"Ya ampun, segitu banyak... kamu habiskan sendiri?" tanya Bayu sambil melotot.
"Cuma segitu aja .. mas pengin? Mengapa tadi belinya cma satu bungkus?"
"Bukan satu, dua bungkus tuh, yang satu aku masukin kulkas. Takutnya malam-malam
kamu nyuruh aku beli.. pusing aku."
"Kok pusing sih mas, ini kan yang minta anakmu."
"Bagaimana nggak pusing? Malam-malam minta rujak, yang jual sudah tidur mendengkur,
yang minta merengek-rengek sambil mukulin aku."
Lastri tertawa.
"Jangan ngeluh dong mas, ini yang minta kan si jabangbayi, kalau nggak diturutin
nanti ngiler lho.."
"Yang ngiler ibunya 'kali.."
"Eh mas, sana ih.. jangan deket-deket, keringatmu bau banget .." kata Lastri ketika
Bayu mendekatinya.
"Aku tadi pulang beli rujak sudah ganti baju lho.. mana.. nggak bau.. bau sedap
nih."
"Mas Bayu ... bauu ! Tau?!"
"Hm, dulu aja.. waktu masih cinta-cintanya, ditinggalin sebentar aja diteriakin,
nempel nih di ketiak, katanya keringatku sedap. Sekarang.. baru sejam ganti baju
sudah dibilang bau."
"Mas, sekarangpun aku juga tetap cinta. Tapi baunya itu bikin aku mual, bener.."
kata Lastri sambil menutup hidung dan mulutnya.
Bayu mengalah, kembali melepaskan baju dan menggantinya yang bersih, kemudian duduk
disampung Lastri sambil mengelus perutnya lembut.
"Ayo, sekarang bilang aku masih bau.." kata Bayu sambil cemberut.
"Nggak, mas.. sekarang wangi, kan aku yang kasih pewangi di baju-baju mas."
"Oh ya, gimana kabarnya mas Timan ya?"
"Telephone dong mas.."
"Ya udah, aku mau telepone dulu, penasaran. Kalau susah aku kan janji mau carikan
lawyer biar urusan uang dan utang pak Darmin sama Basuki segera diselesaikan
menurut hukum. Masa manusia bisa jadi jaminan."
"Disini saja telephone nya mas, biar aku dengar."
"Hallo, mas Bayu," suara Timan dari seberang ketika Bayu menelpone.
"Gimana kabarnya, semua baik-baik saja?"
"Enggak mas," kata Timan lesu.
"Enggak gimana ?"
"Nggak ada yang baik mas, si Sri diculik."
"Apa? Sri diculik ?"
Lastri yang duduk disebelah Bayu membelalakkan matanya.
"Ya mas.. tadi ketika kami mau ketemu pak Darmin, didepan kantor polisi Basuki
tiba-tiba mendekati saya seperti menantang. Saya siap menghadapi mas, demi cinta
saya pertaruhkan nyawa saya. Sementara itu Sri saya tinggal dimobil dalam ketakutan
pastinya. Tapi tiba-tiba Basuki pergi begitu saja meninggalkan saya yang masih
marah. Tidak disangka mas, tampaknya dia menyuruh orang lain membawa Sri pergi.
Ketika saya balik ke mobil Sri sudah tidak ada."
"Bagaimana Sri bisa diculik? Bukankah itu didepan kantor pulisi ""
"Kami, saya pak lurah dan mbah Kliwon terpaku pada kelakuan Basuki yang kurangajar
dan menjengkelkan, tidak perhatian sama sekali pada si Sri yang ada didalam mobil
saya. Ketika Basuki pergi dan saya kembali ke mobi, Sri sudah tidak ada."
"Bagaimana bisa Sri menurut begitu saja, tidak berteriak atau apa?"
"Kata polisi yang ada didepan waktu itu, seorang wanita menghampiri dan mengajaknya
pergi. Nggak tau wanita itu siapa. Pasti Basuki menyuruh orang, dan semua sudah
dipersiapkannya."
"Kalau begitu langsung saja kita lapor ke polisi mas. Mas dimana, saya mau kesitu."
"Saya masih di Sarangan mas. Jangan lapor, dia meninggalkan tulisan yang isinya
mengancam, kalau kita lapor polisi maka Sri taruhannya."
"Ya Tuhan.. harus dengan cara apa kalau begini caranya."
"Saya akan mencari disetiap rumah milik Basuki, pak lurah tau beberapa
diantaranya."
"Baiklah mas, nanti kalau mas Timan sudah pulang kita ketemuan ya."
Ketika pembicaraan itu ditutup, Bayu tampak terduduk lemas, sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Kok bisa sampai seperti ini ya mas, kasihan Sri. Dibawa kemana dia? Segera lapor
saja mas."
"Basuki meninggalkan surat ancaman. Sri taruhannya, sehingga belum ada yang berani
bertindak."
"Sri.. Sri... kasihan kamu Sri.."
***
Sri tiba-tiba membuka matanya, dan mendapati dirinya berada disebuah kamar yang
sangat apik. Dengan kasur empuk, kamar yang luas, berbau harum, berseprei merah
jambu dengan motif bunga-bunga. Ada almari besar disudut ruangan. Kaca hias yang
indah dengan ukiran-ukiran manis, dan banyak alat-alat make up yang Sri tidak
mengerti itu apa saja..
Sri mengedip-ngedipkan matanya, merasa seperti mimpi. Tak ada siapapun disitu. Ia
ingin bangkit. tapi kepalanya terasa berdenyut.
"Bagaimana aku bisa berada ditempat ini? Ini rumah siapa? Bagus sekali."
Lalu Sri memegangi kepalanya karena tiba-tiba ia merasa semakin pusing. Ia mencoba
mengingat ingat apa yang tadi dialaminya.
Ia mencobanya terus. Sekilas terbayang wajah Timan.
"Oh ya, bukankah aku tadi bersama mas Timan?" bisiknya pelan sambil terus memegangi
kepalanya.
"Lalu orang gila itu datang, mendekati mas Timan.."
Sri terus mengingat ingat. Lalu apa.. dimana mas Timan, dimana orang gila itu? Lalu
terbayang wajah seorang perempuan cantik yang tidak lagi muda, mungkin tujuh atau
sepuluh tahun diatasnya, tapi berdandan begitu apik.
Lalu Sri mencium sebuah aroma yang sangat wangi, begitu menusuk hidungnya,
menyeruak melalui jendela kaca yang terbuka. Iapun merasa pusing, dan mendiamkannya
ketika wanita itu membuka pintu mobilnya.
"Kenapa dik? Sakit?" wanita itu bertanya.
Sri mengangguk.
"Ayo turunlah, dimobilku ada obat.. nanti pasti sembuh."
Lalu Sri yang merasa lemas menurut, turun dan mengikuti ketika wanita itu
menggandengnya. Lalu Sri tak ingat apa-apa lagi.
"Lalu apa... aku ikut siapa tadi, mana wanita cantik itu? Mana mas Timan..." bisik
Sri, lalu ia berusaha bangkit lagi, tak kuat, lalu menjatuhkan lagi tubuhnya diatas
ranjang, yang seperti mengayunkan tubuhnya ketika ia menghempaskannya dengan keras.
"Adduh..." keluh Sri yang lagi-lagi memegangi kepalanya.
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Pintu besar berwarna putih dengan garis emas
disekelingnya, lalu Sri memejamkan matanya.
"Pasti aku sedang bermimpi, ini istana ?"
Tiba-tiba Sri merasa seseorang memegangi dahinya.
Sri membuka matanya, dan wajah cantik itu berada tepat disampingnya. Ya, dia wanita
yang mengajaknya pergi.
"Pusing?" tanya wanita itu.
"Pusing, saya dimana ?"
"Dirumahku."
"Oh, mana mas Timan?"
"Kamu harus minum obat dulu, lalu mandi dan berganti pakaian."
"Apa?"
Wanita itu ternyata sudah menyiapkan obat dan minuman diatas meja. Meja marmer
berbentuk oval yang ditengahnya berdiri sebuah vas penuh bunga. Sri tidak
memperhatikannya karena terletak persis disamping dia berbaring.
"Minumlah, supaya pusingnya hilang."
Sri menurut, tak ada yang bisa dilakukannya kecuali menurut. Kesadarannya seperti
belum pulih benar. Ia masih seperti bermipi.
Aku akan menyiapkan baju ganti sebentar. Lalu kamu harus mandi.
Sri terdiam.Kepalanya masih berdenyut, tapi ia belum sadar benar. Ia biarkan saja
wanita cantik itu meletakkan setumpuk baju diatas ranjangnya.
"Coba bangunlah, masih pusingkah?"
Sri mencoba bangun. Kira-kira setengah jam sejak ia minum obat itu, rasa pusingnya
sudah berkurang.
"Mandilah, itu kamar mandi. Ada kran yang bisa menucurkan air hangat kalau kamu
merasa kedinginan."
Sri sudah duduk ditepi pembaringan. Wanita itu mengulurkan handuk yang tebal
berwarna biru muda. Harumnya...Lalu Sri menciumnya berkali-kali. Ia menurut ketika
wanita itu menuntunnya kekamar mandi.
"Itu... apa?"
Tanya Sri ketika ada seperti kolam kecil panjang dikamar mandi itu.
"Itu namanya bathtub. Kamu bisa masuk kesitu dan mandi didalamnya, lepas bajumu dan
masuklah."
"Lepas ?"
Sri menangkupkan kedua tangannya didadanya tanda menolak untuk melepas bajunya.
"Baiklah, aku akan keluar dan mandilah sesuka hati kamu dengan cara apa yang kamu
nyaman. Ini ada kran, ini ada shower.. kalau begini air yang keluar hangat. Nih..
cobain.. Lalu Sri terkejut ketika tiba-tiba dari shower itu mengucur air hangat
yang membuat dirinya basah kuyup.
Wanita itu terkekeh.
"Tuh, sudah basah kuyup begitu masih mau kamu pakai juga, sekarang aku mau keluar
dan mandilah sesukamu. Ini sabun cair, pencet saja akan keluar sabun nya."
Lalu wanita itu keluar.
Sri kebingungan, ia sudah berada dikamar mandi, bajunya basah kuyup, jadi mau tidak
mau ia harus melepasnya. Ia tak mau masuk kedalam 'kolam' kecil itu, ia lebih suka
mengguyur tubuhnya setelah menggosoknya dengan sabun.
Seperti mimpi juga ketika ia hanya membalut tubuhnya dengan handuk yang tadi
diperikan wanita itu. Eit, ini bukan sekedar handuk. Seperti baju, lalu bisa
ditalikan. Sri besyukur karena keluar dari kamar mandi bukan hanya berbalutkan
handuk yang pasti membuat bahu dan sebagian dadanya kelihatan.
"Sudah selesai?"
Sri hampir terlonjak ketika mendengar suara itu. Wanita yang tadi ternyata masih
menungguinya dikamar.
Sri belum benar-benar sadar. Tapi ia meronta ketika wanita itu akan membuka kimono
pembalut tubuhnya.
"Baiklah, aku akan menghadap kesana dan kenakanlah pakaian ini. Ini, celana dalam,
kutang, sudah bisa kan memakainya? Lalu ini hanya pakaian rumahan, daster tapi
bahannya sangat halus, kamu akan nyaman memakainya. Ada talinya biar kelihatan
bentuk tubuh indahmu.
Wanita itu duduk dikursi lalu memutar kursi itu sehingga membelakanginya.
Sri mengenakan pakaian ganti itu. Hm, bahan bajunya halus, enak dipakainya. Tanpa
sadar Sri menghadap kearah cermin.
"Aku ini dimana? Aku bingung? Apa yang terjadi?" katanya lirih, lalu menalikan tali
yang terpasang dibaju itu.
Wanita itu memutar kursinya dan kembali menghadapi Sri.
"Wauw, kamu memang cantik. Cantik dan masih polos. Tapi duduklah didepan cermin
itu, aku akan mendandanimu," katanya sambil mendekati Sri dan mendudukkannya
didepan cermin itu.
"Apa yang terjadi? Anda siapa?"
"Diam dulu, aku akan mendandanimu ya."
Wanita itu menyisir rambut Sri yang tergerai panjang,
"Masih basah, biar begini saja, nanti aku keringkan."
Lalu wajah Sri dibersihkan, dipoles alas bedak yang harum.
"Kamu memang cantik Sri.. tak heran banyak orang tergila-gila sama kamu," gumam
wanita itu sambil mendandani Sri.
"Mana mas Timan?"
"Diamlah.."
"Apa aku bermimpi? Kepalaku masih pusing.."
"Nanti kamu boleh tiduran lagi..
Sri merasa lelah, hampir setengah jam entah diapakan wajahnya, yang tak bisa
ditolaknya.
"Nah, lihat wajahmu, kamu seperti bidadari," kata wanita itu sambil berdiri
dibelakang Sri, membiarkan Sri menatap wajahnya sendiri.
"Itu.. bukan aku.." bisiknya lirih..
"Itu kamu, baru sadar kalau kamu cantik?"
"Aku lelah.. aku mau tidur lagi.."
"Baiklah, ayo tidurlah, aku akan membawa baju-baju kotormu ini kebelakang, atau
mungkin dibuang saja ya?"
"Apa?"
Wanita itu keluar, membawa semua baju kotornya. Sri kembali merasa pusing. Ia
berbaring sambil memegangi lagi kepalanya.. Obat yang diberikan wanita itu hanya
sebentar mengurangi pusingnya, sekarang mengapa menjadi bertambah berat begini?
Pikir Sri.
"Mimpi apa aku ini? Mengapa seperti ini? Mana mas Timan?"
Tiba-tiba pintu itu terbuka. Sri segan membuka matanya yang terasa berat. Tapi ia
terkejut ketika mendengar suara berdehem.
Bersambung #8
CERITA WA: Kembang Titipan #8
Cerita Bersambung
Sri membuka matanya, menatap seseorang yang mendekatinya. seorang laki-laki dengan
pakaian yang mirip seragam restoran, atau entahlah, menurut Sri itu seperti tidak
wajar, membawa nampan masuk sambil membungkuk kearahnya, lalu meletakkan dua gelas
minuman. Gelas-gelas yang antik yang apik. Sri tak perduli, ia terus menerus
menelusuri bagaimana terjadi keadaan seperti ini, dan terus menerus merasa
bermimpi.
"Mas Timan..." bisiknya pelan.
"Bu, ini obat yang harus diminum lagi," kata laki-laki itu sambil mengulurkan
sebuah cawan kecil. Tapi Sri hanya menerimanya dengan tangan kanan sambil tiduran.
Laki-laki itu membungkuk lagi dan keluar dari kamar. Sri mengamati sebutir pil
warna biru muda yang diberikan laki-laki tadi, tapi ia tidak meminumnya.
Ia meletakkan kembali cawan itu dimeja, dan membuat pil berwarna biru itu
tergelincir jatuh ke lantai.
Sri memejamkan matanya.
"Apa ini? Dimana aku...? Mana mas Timan?" hanya itu yang diingatnya.. seorang laki-
laki ganteng dengan mata teduh dan senyum yang menyejukkan.
Sri memejamkan matanya kembali. kepalanya masih berdenyut. Apa obat yang terjatuh
tadi obat untuk pusing kepalanya? Tiba-tiba Sri merasa bahwa obat-obat yang
diberikan oleh wanita cantik tadi sama sekali tidak mengurangi denyut sakit
dikepalanya.. Jadi tak apa walau pil warna biru tadi terjatuh. Sri hanya memejamkan
matanya sambil terus memegangi kepalanya.
"Mas.. aku dimana mas? Mas Timaan... mas Timaaan.." Sri terus menerus membisikkan
nama Timan.
Kemudian ia tak ingat apa-apa lagi.
Senyap sekelilingnya, seperti membiarkan Sri terlelap tanpa terganggu.
***
Seseorang memasuki kamar, diikuti seorang lainnya. Yang masuk lebih dulu adalah
laki-laki gagah yang langsung menatap kearah ranjang dengan wajah berseri. Yang
satunya adalah wanita cantik yang tadi menemani dan mendandani Sri.
"Kerja bagus, Mery.." kata Basuki, si laki-laki gagah itu.
"Huh, mengapa kali ini kamu begitu tergila-gila?" tanya yang dipanggil Mery dengan
wajah cemberut. Ada nada cemburu disana.
"Mery, kamu adalah perempuanku yang terhebat. Jangan iri kepada gadis ingusan yang
belum tau apa-apa ini."
"Justru belum tau apa-apa, lugu dan pastinya masih perawan ini kamu seakan sudah
akan meninggalkan aku, bukan?"
"Tidak Mery, jangan khawatir. Kamu tetap nomor satu bagiku," kata Basuki sambil
memeluk Mery erat-erat. Mery menyandarkan kepalanya didada bidang itu, sambil
memeluk erat tubuh gempal yang sesungguhnya amat dicintainya.
Kemudian mereka duduk berdampingan disofa yang ada dikamar itu, sambil mata mereka
memandangi tubuh molek yang tampak pulas diatas ranjang.
"Kamu bohong bukan?"
"Tidak, tanpa kamu aku tidak bisa apa-apa."
"Tanpa aku kamu tidak akan bisa mendapatkan gadis dusunmu itu, ya kan?"
Basuki tertawa.
"Dia hanya gadis desa. Takut bersaing dengannya?"
"Dia masih muda, perawan dan menawan. Lihat tubuhnya, begitu menarik dan sudah
membuatmu tergila-gila."
"Aku menunggunya selama puluhan tahun. Sejak aku masih muda dan dia masih kanak-
kanak. Aku hanya suka, tapi tidak cinta."
"Kamu memang tak pernah memiliki cinta."
"Huuh... siapa bilang?"
"Aku yang bilang. Berapa banyak perempuan simpanan kamu, yang kemudian kamu buang
begitu saja."
"Mereka membosankan."
"Kalau aku?"
"Kamu berbeda. Kamu selalu membuat aku bergairah dan sulit melepaskan kamu."
"Bohong!!"
"Kok bohong?"
"Memang bohong kan? Buktinya kamu masih mengejar dia," kata Mery sambil menunjuk
kearah ranjang.
"Dia simpanan aku sejak masih kecil, aku titipkan pada bapaknya."
Mery cemberut. Lalu Basuki meraih tubuhnya, dan Mery meletakkan kepalanya dibahu
Basuki.
"Aku mencintai kamu sejak bertahun-tahun lalu, tapi kamu tidak pernah mengambil aku
sebagai isteri."
"Sesungguhnya untuk apa status isteri itu? Kamu mendapatkan aku, memiliki harta
sebanyak yang kamu mau, bisa melakukan apa saja. Apa bedanya?"
"Ya beda, orang bisa memanggil aku nyonya Basuki, si ganteng yang kaya raya.."
Basuki tertawa terbahak,
"Besok aku akan suruh semua orang memanggil kamu nyonya Basuki."
"Apa itu cukup?"
"Mery, sudahlah, jangan mimpi terlalu tinggi. Bersamaku apa yang kamu inginkan bisa
kamu dapatkan."
Namun Mery merasa bahwa adanya Sri akan merupakan ancaman bagi dirinya, lalu kisah
cintanya bersama Basuki akan berakhir.
Tapi karena tawa Basuki yang kelewat keras itu tiba-tiba Sri terjaga dari tidurnya.
Masih setengah sadar dibukanya matanya.
"Mas Timaan.." kata itu lagi yang dibisikkannya.
Basuki mendorong tubuh Mery pelan, lalu berdiri dan berjalan mendekati si Sri.
"Hallo.. Cinderrela.. sudah terbangun ?"
Sri mengernyitkan dahinya. Suara siapa disampingnya?"
"Mas Timaan.."
"Heiii... lihat aku.. bukan Timan yang kumal dan lusuh.."
Sri membuka matanya lebih lebar..
Dalam keadaan setengah sadar yang diingatnya hanya Timan dan Basuki. Timan yang
dicarinya selalu, tidak muncul. Yang muncul adalah Basuki, orang yang dia benci.
"Sri.. masih ingat aku kan?"
"Dimana aku? Mana mas Timan?"
Tiba-tiba Sri sadar bahwa dirinya dalam bahaya. Kehadiran Basuki menyiratkan adanya
bahaya itu. Sri menjauhkan tubuhnya dari samping ranjang, agak ketengah supaya
tidak terlalu dekat dengan Basuki. Lalu dia bangkit. Rasa pening itu sudah banyak
berkurang dan Sri mengerti bahwa dia bukan sedang bermimpi.
"Sri, kamu seperti takut melihat aku.." Basuki naik keatas ranjang. Sri ketakutan.
"Pergi... pergi..." teriaknya.
"Ya Tuhan, kamu berdandan sangat cantik. Kamu benar-benar seperti Cinderela yang
sedang menunggu pangeranmu. Ini aku, sang pangeran tampan."
"Pergiiii..." teriak Sri lebih keras, ketika tangan Basuki mencoba menjamah
wajahnya. Sri merosot turun dari sisi ranjang yang lain. Lalu berlari mendekati
Mery yang masih duduk diatas sofa.
"Tolong aku... antar aku pulang.." tangisnya.
"Ada apa ini? Apa obat itu tidak kamu berikan?" tanya Basuki sambil menatap Mery
kesal, dengan masih duduk diatas ranjang.
"Sudah, pelayan yang memberikannya," jawab Mery. Ia membiarkan Sri duduk
disampingnya dengan wajah pucat pasi.
"Tolong aku, tolong antar aku pulang." katanya sambil menggoyang-goyangkan lengan
Mery.
Basuki turun dari ranjang dengan wajah muram.
"Rupanya kamu sudah sadar, tapi kamu tidak minum obat itu bukan? Kalau kamu
meminumnya pasti kamu akan menyambut aku dengan hangat."
Sri mengingat ingat tentang obat. Kesadarannya semakin pulih. Apakah obat itu
adalah obat yang diberikan laki-laki yang memberikannya diatas cawan kecil? Pil
berwarna biru itu, yang kemudian terjatuh entah kemana? Sri mencoba mencerna kata-
kata Basuki, kalau dia meminumnya maka dia akan menyambut Basuki dengan hangat? Sri
pernah mendengar tentang obat perangsang, yang konon bisa menimbulkan birahi. Ya
Tuhan, aku hampir meminumnya, dan aku akan celaka ditangan Basuki. Mungkin
diperkosa. Kata batin si Sri.
Tapi dia masih heran, mengapa dirinya tadi mengikuti wanita cantik yang sekarang
ada disampingnya.
Basuki menengok kearah meja marmer disamping ranjang. Ada cawan obat yang sudah
kosong, berarti Sri sudah meminumnya. Mengapa tak ada reaksi apapun? Atau belumkah
bereaksi?
"Apa yang terjadi? Jawab Mery !" Basuki mendekat kearah sofa. Sri berdiri menjauh.
"Kamu harus sabar." kata Mery.
"Aku tidak suka memaksa. Aku mau perempuan-perempuan tunduk dan takluk kepadaku.
Aku benci perlawanan." kata Basuki sambil menuding kearah Sri, lalu melangkah
keluar dari kamar itu.
Sri menghela nafas lega, tapi kemudian dia memandang wanita itu dengan marah.
"Mengapa saya dibawa kemari?"
"Kamu beruntung, Basuki menyukai kamu. Kalau tidak kamu sudah dibuang ketempat
sampah." kata Mery tanpa menjawab pertanyaan Sri.
"Mengapa saya dibawa kemari? mBak yang membawa saya kemari kan? Ini dimana,
antarkan saya pulang."
"Tidak bisa Sri, kamu sudah disini dan tak akan bisa kembali."
"Apa?"
"Kamu berada ditangan Basuki."
"Tolong, antarkan aku pulang.. tolonglah, mas Timan dan simbah akan mencari aku,"
kata Sri memelas.
"Sebaiknya kamu tenang dulu disini, aku akan menemani kamu nanti."
"Tidak, aku mau pulang.."
"Tak mungkin bisa pulang. Diluar banyak penjaga.."
"Penjaga? Ini rumah apa? Mengapa mbak bawa saya kemari?"
"Karena aku kekasihnya Basuki.."
Sri terpana, seorang wanita.. kekasihnya Basuki.. menculik gadis untuk Basuki ?
"Kamu tidak percaya ? Aku.. karena sangat cinta dia, maka aku penuhi semua
keinginannya, termasuk membawa gadis-gadis yang dia sukai kemari."
Sri menutup mulutnya.
"Basuki sangat menginginkan kamu."
"Tidak, aku sudah punya calon suami..." katanya lirih sambil matanya berkaca-kaca.
Sekarang dia baru sadar sepenuhnya, bahwa dia telah diculik demi Basuki.
Mery membuka jendela besar yang ada dikamar itu. Gelap... Kalau saja Sri bisa
melompati jendela itu, tapi tidak, jendela itu berterali besi. Angin dingin yang
menerobos melalui terali itu membuatnya menggigil. Bukan hanya oleh dinginnya
malam, tapi juga oleh kecemasan yang mencekam.
"Aku ingin pergi dari sini.. tolonglah aku mbak.." kata Sri setelah Mery kembali
duduk.
Pintu kamar terbuka setelah terdengar ketukan halus. Sri berdebar. Tapi bukan
Basuki .yang masuk. Seorang pelayan mendorong sebuah meja kecil berisi makanan dan
minuman
Sa'atnya makan malam," kata Mery"
Pelayan itu mendorong meja penuh makanan kedekat sofa setelah Mery melambaikan
tangannya. Lalu pelayan itu pergi.
"Ayo kita makan."
"Tidak, aku tidak mau makan. Tidak.."
"Manusia harus makan, kalau tidak kamu akan lemas, lalu mati," kata Mery sambil
mengambil piring dan menyendok nasi untuk Sri, yang kemudian diulungkannya kepada
Sri. Sri menggeleng-geleng. Ia masih teringat tentang pil biru yang menggelinding
jatuh, dan ternyata dimaksudkan untuk membuat Sri terlena lalu mau melayani nafsu
bejat Basuki.
"Sri, kamu takut makanan ini beracun? Tidak Sri, lihatlah aku akan memakannya, dan
aku tidak akan mati," kata Mery yang lalu menyendok sayur dan mencomot sepotong
ikan lalu dimakannya dengan lahap.
Sri menatapnya. Sesungguhnya dia lapar, tapi dia tak ingin makan. Ia hanya ingin
pergi dari sana. Pikirannya yang gundah membuat ia melupakan rasa lapar itu. Gundah
dan khawatir.
"Enak, benar kamu nggak mau makan?"
Sri hanya menatapnya. Sungguh ia takut kalau didalam makanan itu terkandung sesuatu
yang membuatnya lupa segalanya, seperti ketika Mery menyuruhnya turun dari mobil,
lalu mengajaknya pergi bersamanya. Ketika itu ia hanya mencium aroma aneh, wangi
yang memabokkan ketika Meru berdiri didepan jendela mobil Timan.
"Bener, nggak mau makan? Dengar Sri, kalau aku mau membuat kamu mabuk dan lupa
segalanya, aku bisa melakukannya tanpa menyuruhmu makan. Aku punya sesuatu dan kamu
pernah merasakannya. Hanya mencium harum yang aku tebarkan didepan hidungmu maka
kamu akan menuruti semua keinginanku. "
Sri masih diam menatap. Lalu ia berfikir, kalau ada kesempatan untuk lari dari
situ, ia harus kuat. Kalau perutnya tak kemasukan sesuatu maka ia akan lemas dan
tak mampu berbuat apapun.
"Ayo, sedikit juga tak apa-apa, aku tak mau kamu mati disini."
Lalu perlahan Sri menyendok nasi dan sayur.
"Bagus Sri, ini ikannya juga enak, koki disini bisa memasak sangat enak. Bahkan
hampir semua yang dimasaknya terasa enak"
Sri mengunyah makannya pelan, seenak apapun kalau hatinya tidak tenang, akan enak
dari mana?
"Basuki itu orangnya aneh. Dia suka perempuan, tapi tak suka perempuan yang
melawan. Ia lebih suka perempuan yang mau menerimanya dengan manis, lembut dan
membuatnya terbang ke awang."
Sri tidak menjawab, tidak sepenuhnya bisa mengerti. Ia sangat awam dalam arti
hubungan antara perempuan dan laki-laki seperti yang dimaksud Mery. Ia masih gadis
lugu yang tak mengenal hubungan diluar nikah. Ia hanya ketakutan ketika Basuki
mendekat, dan merasa bahwa ini semua tidak benar.
"Itu sebabnya dia tidak mau memaksamu."
"Lalu dia memberiku obat tadi supaya aku menurut?"
"Ya.. obat.. tapi aneh, kamu tidak terpengaruh obat itu. Kamu bahkan tampak lebih
sehat dari sebelumnya."
Sri diam saja. Ia juga tak ingin mengatakan bahwa dia sama sekali tak meminum obat
itu.
"Tuhan melindungi orang yang baik," gumam Sri pelan sambil masih mengunyah
makanannya.
"Oh, ya.. bagus kalau orang masih mengenal Tuhan."
Sri menatap Mery. Dia merasa tak membutuhkan Tuhan karena semua yang diingininya
selalu terpenuhi. Sri merinding memikirkannya. Mery lupa bahwa Tuhan sedang
menenggelamkannya kedalam gelimang kenikmatan dunia. Lalu entah apa yang terjadi
nanti, barangkali Mery tak memikirkannya.
Sri meletakkan piringnya.
"Sudah cukup? Kamu makan seperti kucing. Pantas badanmu kecil. Tapi Basuki suka
tubuh mungil seperti kamu."
Mery memencet sesuatu dibawah meja, lalu pelayan muncul dan membawa pergi sisa
makanan itu.
Sri benar-benar takjub. Kehidupan yang serba mudah, tinggal memencet sesuatu lalu
pelayang datang melayani.
Sri meraih gelas yang masih ada dimeja itu. Memagangnya hati-hati.
"Minum saja, jangan khawatir, Bukan melalui makanan dan minuman kalau Basuki ingin
meracuni atau menaklukkan kamu."
Sri meneguk minumannya. Sangat berat masuk kedalam kerongkongannya, walau itu hanya
air.
"Basuki menyuruh aku tidur disini, aku mau tidur di sofa saja. Kamu ingin melihat
televisi?"
Sri menggeleng.
"Tidurlah, ini sudah malam,"
"Kalau mbak itu kekasihnya Basuki, mengapa mbak biarkan Basuki menyukai perempuan
lain?" tanya Sri tanpa beranjak dari tempat duduknya.
"Itu kesenangan dia, kalau aku menghalangi, dia akan marah."
"Apa mbak suka sama Basuki?"
"Aku cinta sama dia, bukan hanya suka."
"Kalau cinta, mbak harus bisa memilikinya hanya untuk mbak seorang."
"Apa maksudmu?"
"Jangan biarkan ada wanita lain kecuali mbak dihati Basuki."
Mery tampak merenung. Selama ini ia sangat mencintai Basuki, tapi ia harus rela
membiarkan Basuki bersenang-senang dengan perempuan lain. Basuki beralasan hanya
untuk kesenangan, Mery masih segalanya.
Benarkah? Lalu Mery mulai merasa ragu. Jangan-jangan Basuki mengatakan bahwa
dirinya adalah segalanya, karena hanya dia yang bisa dipercaya, yang bisa melakukan
apa saja sesuai keinginannya. Jadi dia hanyalah tangan kanan Basuki, yang terkadang
bisa menikmati alunan asmara bersamanya, tapi bukan karena cinta.
"Apakah mbak bahagia?"
Bahagia? Dimana bahagia itu? Ketika Basuki menghamburkan uang untuk membelikan
perhiasan, baju-baju mahal, mobil mewah yang bisa dipergunakannya kapan dia mau?
Atau kepuasan diatas ranjang yang karena kobaran nafsu belaka? Itukah bahagia?
"Saya hidup miskin, orang desa sederhana, tak ada harta berimpah, tapi saya
bahagia. Saya memiliki calon suami yang ,mencintai saya, dan rela berkorban apa
saja untuk saya, dan itulah yang membuat saya bahagia. Sangat bahagia, bisa
memiliki dan dimiliki. Bisa tertawa dalam ketulusan, tersenyum dalam hati yang
damai dan tidak neka-neka. Itulah kebahagiaan saya mbak. Lalu mbak mengusiknya,
membuat saya terpuruk dan meraba-raba, dimana cinta saya berada."
Berkedip mata Mery menatap gadis cantik dihadapannya. Gadis sederhana ini memiliki
cinta dan bahagia. Lalu apakah yang dimilikinya? Tiba-tiba Mery merasa bahwa
dirinya tidak pernah merasa bahagia. Tawa dan senyum yang tersungging adalah
kebahagiaan semu, bukan bahagia yang sesungguhnya. Lalu Mery merasakan bahwa
hidupnya hambar, tak punya makna. Cukupkah harta, cukupkah segala kemewahan,
cukupkah pelukan yang diberikan Basuki setiap dia merajuk? Tidak, ternyata itu
tidak cukup. Ternyata itu bukan kebahagiann yang dicarinya.
Mery meneguk segelas minuman yang ada didepannya untuk menenangkan batinnya.
Tiba-tiba pintu terbuka, dan Basuki sudah berdiri disana.
Sri pucat pasi. Apa lagi yang akan dilakukannya?
===========
Sri membuang muka ketika Basuki menatapnya dengan mata penuh gairah. Mata itu
selalu menjijikkan. Basuki mendekati Mery, lalu membisikkan sesuatu.
"Ya aku tau. Kamu harus bersabar," kata Mery dengan wajah kurang senang. Entah
mengapa setelah berbincang dengan Sri perasaannya menjadi lain. Ia merasa bahwa
sesungguhnya ia tak memiliki apa-apa. Ia hanyalah sepotong daging dan tulang yang
memiliki nyawa tapi tak punya rasa.
"Mengapa wajahmu cemberut?" kata Basuki sambil mengelus pipi Mery.
"Aku letih, pergilah.."
"Ayo ikutlah kekamarku," ajak Basuki sambil menarik tangan Mery, tapi Mery
melepaskannya.
"Aku sudah bilang letih, aku ingin segera tidur."
"Baiklah."
"Pergilah.."
"Aku menyerahkan semuanya kepadamu," bisik Basuki ditelinga Mery.
Mery hanya mengangguk, lalu membiarkan Basuki keluar lagi tanpa mengucapkan
apapun .
"Kamu tidurlah, ini sudah malam," kata Mery.
Sri tak bergerak. Mana mungkin ia berani tidur? Bagaimana kalau ketika dia tidur
lalu Basuki masuk dan melakukan sesuatu yang buruk terhadap dirinya?
"Tidurlah, aku akan menjagamu."
"Menjaga aku?"
"Percayalah, Basuki tak akan datang malam ini."
Malam ini, bagaimana dengan besok, pagi, siang, atau malamnya? Sri bergidik. Diam-
diam dicarinya akal agar bisa keluar dari tempat ini. Tapi bagaimana ?
Mery menutupkan kembali jendela yang tadi terbuka, karena angin begitu kencang,
membuat gorden tipis yang menyelimuti jendela itu melambai-lambai.
"Tidurlah.." lalu Mery merebahkan begitu saja tubuhnya disofa panjang.
"Tidurlah diranjang, bukankah ranjang itu terlalu besar untuk aku sendirian?
Lagipula mana bisa aku tidur.. " kata Sri.
"Tidur saja, jangan membuat dirimu kelelahan."
Sri memang sangat lelah, tapi mana bisa dia tidur?
"Bagaimana keadaan mas Timan, simbah.. pasti mereka bingung karena aku menghilang."
Mery menatap Sri dari tempat duduknya disofa. Mata bening itu berlinangan air mata.
Pasti ia sedih sekali. Bagaimana rasanya sedih? Mery selalu merasa apa yang
diinginkannya pasti terlaksana. Ia tidak kekurangan apapun. Ia tak pernah sedih,
apalagi mengeluarkan air mata. Yang ada hanyalah rasa kesal dan marah apabila
Basuki mengecewakannya.Bagaimana sih caranya mengeluarkan air mata? Seperti
linglung Mery mengerjap-ngerjapkan matanya, berharap akan ada air mata yang keluar,
tapi tak bisa. Mery sama sekali tak mengerti, bahwa air mata ada hubungannya dengan
emosi jiwa, Kegembiraan yang meluap, atau kesedihan yang mengiris, bisa membuat
orang menangis.
"Sri.."
Sri menatap Mery yang masih berbaring disofa panjang. Ia mengusap air matanya
dengan ujung bajunya.
Mery mengulurkan tissue.
"Kamu sedih ?"
Sri tak menjawab. Wanita cantik dihadapannya seperti tidak mengerti, bahwa
dipisahkan dari orang-orang yang dikasihi pasti membuat hati merasa sedih. Ia
melakukan apa saja semaunya, tanpa peduli bagaimana perasaan orang.
"Tidurlah, besok aku akan menceritakan sesuatu."
"Mana bisa saya tidur?"
Sri menatap kearah pintu. Tatapan itu menyiratkan sebuah kekhawatiran.Mery tau, Sri
takut Basuki tiba-tiba masuk.
"Dia tidak akan datang malam ini, mungkin besok.." kata Mery sambil memejamkan
matanya.
Mungkin besok ? Sri ingin menjerit sekeras-kerasnya. Bagaimana caranya bisa keluar
dari sini? Sri berjingkat menuju pintu, ia memutar gerendel pintu itu dan berusaha
membukanya. Tapi tak bisa.
"Kalau kamu keluar, bisa-bisa ketemu Basuki, dan dilahapnya kamu mentah-mentah."
kata Mery tiba-tiba.
Sri surut dengan hati bergidik. Kata-kata Mery sangat membuatnya ngeri.
"Mau mencoba? Aku bisa membukanya dari sini kok."
Mencoba? Lalu bertemu Basuki dijalan? Aduuh, bisa mati berdiri dia.
"Basuki sangat tergila -gila sama kamu. Dia akan melakukan segala cara untuk
mendapatkan kamu."
"Ya Tuhan.. tidak.. " Sri terduduk lagi disofa.
"Lebih baik kamu tidur, tenang saja. Malam ini kamu bisa tidur dengan nyenyak.
Basuki sedang punya permainan baru."
Permainan baru? Sri tidak mengerti, ia hanya meraba-raba. Apakah ada perempuan lain
yang menjadi mangsanya?
"Tapi dia akan terus mengejar kamu, karena kamu sulit ditundukkan, tidak gampang
menyerah seperti yang lainnya."
Meremang bulu kuduk Sri mendengarnya.
"Mas Timaaan, tolong aku...." bisiknya lirih, penuh ketakutan.
Mery membuka matanya, kemudian bangkit dan duduk sambil membenahi rambut sebahunya
yang acak-acakan.
"Kamu nggak mau tidur?"
"Saya nggak akan bisa tidur.."
Mery menghela nafas. Ternyata dia juga sama, nggak bisa tidur walau mata terpejam.
"Aku mau pulang, tolong mbak.. " rintih Sri.
"Sri, ketika kamu sudah masuk kemari, susah untuk bisa keluar lagi. Rumah ini
berada jauh diluar kota. Tak seorangpun tau ini rumah siapa. Dan kalaupun kamu
keluar, kamu tak akan tau arah kemana yang bisa membawa kamu pulang."
"Ya Tuhan.... tolonglah hambamu ini..."
Tiba-tiba Mery merasa, Sri selalu menyebut Tuhan-nya. Dan itu sesuatu yang tidak
dimengertinya.
"Mengapa kamu selalu menyebut Tuhan?"
"Dalam sedih dan suka, saya selalu menyebutNya. Semoga Dia mendengar jeritku, dan
menolongku.
Dulu aku seorang yang sebatang kara. Bapak dan ibuku sudah meninggal sejak aku
masih kanak-kanak, lalu aku tinggal disebuah panti asuhan. Ketika aku menjadi gadis
remaja, aku bertemu seorang priya yang menurutku sangat ganteng dan menarik.
Pertemuan itu terjadi ketika aku sedang berjalan sendirian sehabis belanja, lalu
sebuah mobil menghampiriku."
"Hallo cantik, sendirian saja ?" sapanya begitu turun dari mobil.
Aku terpesona oleh ketampanannya. Aku tersenyum dan mengangguk.
"Rumahnya dimana ?" tanyanya.
"Aku nggak punya rumah."
"Lho, kamu tinggal dimana?"
"Di panti asuhan."
"Dimana?"
"Tuh, didekat situ, "
Pria tampan itu melihat kearah yang aku tunjukkan.
"Mau ikut aku?"
"Kemana ?"
"Kerumahku."
"Harus ijin dulu sama kepala panti."
"Iya, aku pasti meminta ijin nanti. Ayo aku antar.."
"Jalan kaki saja, sudah dekat tuh."
Lalu dia mengantar aku, lalu setelah itu sering datang dan mengajakku jalan, lalu
dia meminta ijiin kepala panti bahwa aku akan dibawa kerumahnya. Dia memberi
imbalan uang yang banyak, dan berjanji akan menikahi aku.
"Kamu tau Sri, aku benar-benar jatuh cinta pada dia."
Sri menebak-nebak, apakah laki-laki itu adalah Basuki ?
"Aku dibawa kerumah mewah ini, diberi pakaian bagus, lalu dia juga memberikan apa
saja yang aku minta. Beberapa bulan aku bergelimang harta dan cinta, menyerahkan
tubuh dan segala yang aku miliki demi cinta itu. Lalu aku kemudian tau bahwa dia
sering berganti-ganti wanita."
"mBak tidak sakit hati ?"
"Dia selalu menghiburku bahwa aku adalah yang nomor satu baginya, karena aku
istimewa. Aku bahkan sering membantunya membawa gadis-gadis yang disukainya."
Sri menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Berkali-kali aku menuntut agar dia menikahi aku, tapi dia selalu mengelak, katanya
apa artinya pernikahan kalau semua yang aku inginkan bisa aku dapatkan."
Sri menatap wajah cantik yang seakan bicara dengan dirinya sendiri.
"Dan itu benar. Tapi sungguh aku mencintainya, sejak belasan tahun lalu."
Mery menyandarkan tubuhnya, menatap kearah langit-langit kamar.
"Mengapa mbak tidak memperjuangkan cinta itu?"
"Apa maksudmu?"
"Kalau cinta, milikilah dia seutuhnya. Jangan berbagi dengan siapapun juga."
Mery menegakkan tubuhnya, menatap Sri tanpa berkedip.
"Apakah berbagi cinta itu tidak sakit?" tanya Sri pelan.
Sakit itu apa, Mery tidak menyadarinya. Sakitkah ia ketika Basuki memaksa ingin
memiliki Sri, menatap Sri dengan pandangan penuh gairah, memberikan ranjangnya
untuk diberikan kepada Sri, dengan harapan akan bisa menikmati hari-hari bersama
Sri. Lalu dia.. hanya disuruh menjaganya, merayunya, membuatnya takluk dan berusaha
agar Sri menyerahkan tubuhnya pada laki-laki yang dicintainya.
Tiba-tiba dada Mery berdesir. Ada rasa tak senang ketika melakukan itu, ada rasa
cemburu karena Basuki tampak tergila-gila pada Sri. Itukah sakit? Sebuah ucapan si
polos dari dusun itu cukup membuat Mery kemudian menjelajahi hari-harinya, sejak
dia masih remaja sampai belasan tahun berjalan dan hanya menjadi pemuas nafsu bagi
laki-laki yang sesungguhnya amat dicintainya.
Apakah Basuki mencintainya? Cinta yang bagaimana ketika belasan tahun tak berujung
dan hanya menjadi pelayan baginya?
Mery berjalan kearah jendela dan membukanya lebar-lebar. Sri menoleh kearah sana
dan melihat remang pagi mulai membayang. Rupanya dia dan Mery tidak tidur
semalaman.
***
mBah Kliwon bangun dengan bingung, ia berjalan kesana kemari seperti sedang
mencari-cari.
"mBah.." Timan yang ternyata tidur dirumah itu melihat kegelisahan mbah Kliwon,
karena memang hampir semalaman dia tidak bisa memejamkan mata.
"Sri.. ini jam berapa Sri... dimana kamu?" kata mbah Kliwon masih dengan mondar
mandir.
Timan bangkit, lalu menghampiri mbah Kliwon, mengajaknya duduk.
"Nak Timan ?" mbah Kliwon baru sadar bahwa ada Timan dirumahnya.
"Ya mbah..."
"Aku bingung, aku mencari si Sri... . Ya Tuhan, si Sri kan diculik si keparat itu?"
"Sabar mbah, nanti saya akan mencarinya, saya berjanji akan membawanya pulang,"
kata Timan sambil menepuk-nepuk bahu mbah Timan.
"Dosa apa yang aku lakukan, sehingga cucuku mengalami nasib seperti ini?" ratap
mbah Timan.
"Bukan karena dosa siapa mbah, Allah sedang menguji kita. Kita harus bersabar dan
selalu berdo'a agar Sri selamat."
"Bagaimana kalau Basuki mencelakai Sri?"
"Semoga saja tidak, mbah sudah.. sekarang simbah tidur saja lagi, pak lurah sudah
menyuruh orang untuk menggantikan tugas mbah Kliwon dan Sri selama Sri belum
kembali. mBah Kliwon jangan memikirkannya terlalu berat. Banyak yang akan membantu
Sri."
"Ini sudah pagi, bagaimana bisa tidur lagi? Biasanya Sri sudah datang.."
"Biar saya menjerang air ya mbah, oh ya, simbah kan suka wedang jahe? Saya biasa
buat kalau dirumah, biar saya membuatnya," kata Timan sambil berdiri, meninggalkan
mbah Kliwon tercenung dikursi."
Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat.
"mBah, sudah bangun mbah?" suara Marni terdengar diluar pintu. mBah Kliwon berdiri
lalu membuka pintu.
"Bu lurah..."
"Mas Timan masih tidur ?"
"Tidak, sedang dibelakang."
"Ini saya bawakan sarapan untuk simbah dan mas Timan ya," kata Marni sambil
meletakkan rantang yang dibawanya diatas meja.
"Apa aku bisa menelan makanan, sementara hatiku sedang gelisah seperti ini?"
"Simbah harus makan, harus kuat. Semuanya akan membantu Sri. Percayalah mbah, Sri
akan selamat. Jangan sampai tidak makan, nanti malah jatuh sakit."
mBah Kliwon menghela nafas panjang, lalu kembali duduk. Badan rasanya lemas.
"mBah Kliwon jangan memikirkan pekerjaan. Mas Mardi sudah menyuruh orang un tuk
menggantikan tugas simbah dan Sri. "
"Terimakasih Marni."
"Sekarang simbah harus makan."
Timan tiba-tiba muncul dari belakang sambil membawa nampan.
"Bu lurah..."
"Mas Timan bikin apa?"
"Buat wedang jahe untuk simbah. Ini mbah, diminum biar anget badannya."
"Itu saya bawakan sarapan mas, dimakan dulu sama mbah Kliwon. Dari kemarin pada
nggak doyan makan semua."
"Terimakasih bu lurah. Nanti saya temani simbah makan, sebelum saya pergi."
"Mas Timan jangan memberi tau pak Darmin dulu, nanti dia juga malah bertambah
bingung."
"Ya, saya ditunggu mas Bayu untuk melakukan apa yang sebaiknya kita lakukan. Tapi
untuk melapor ke polisi saya kira jangan dulu, demi keselamatan Sri."
"Semoga segera menemukan jalan terbaik ya mas."
"Terimakasih bu lurah. Ayo mbah, diminum dulu. Bu lurah mau menemani?"
"Tidak. Saya harus segera kembali karena Jarot tadi tidak saya ajak. Takutnya dia
rewel."
"Baiklah, terimakasih bu lurah."
mBah Kliwon memegang gelas wedangnya, tangannya gemetar. Timan membantu
memegangnya.
"Masih panas mbah?"
"Tidak, biar saja saya meminumnya pelan-pelan."
Perlahan mbah Kliwon minum, lalu Timan memaksanya agar mau makan.
"Simbah harus makan dulu, lalu saya akan pamit, semoga segera bisa menemukan Sri,
ya mbah?"
***
"Kamu harus mandi, biar terasa segar. Aku siapkan baju gantinya," kata Mery.
Agak lama dia berdiri didepan jendela itu, menatap kebun luas yang menghijau, dan
burung-burung kecil berterbangan kesana kemari.
"Alangkah senangnya burung-burung itu. Bisa terbang bebas sesuka hatinya," desis
Sri yang menyusul Mery berdiri didepan jendela.
"Ini istana, tapi seperti penjara," sambung Sri lagi.
Mery menatap Sri, tanpa ekspresi. Lalu duduk disofa lagi.
"Mandilah, setelah itu baru aku. Aku akan menyiapkan ganti bajumu."
"Tidak, mana baju saya yang kemarin, saya mau memakai baju saya sendiri."
"Sudah aku buang."
Sri terbelalak.
"Dibuang? Itu baju yang masih bagus," katanya kesal.
"Nanti aku ganti dengan yang lebih bagus. Sudahlah mandi, dan tenangkan hati kamu."
Sri bersungut, berjalan menuju kamar mandi setelah Mery mengambilkan handuk. Kimono
handuk yang lain lagi, masih bersih dan baru dikeluarkan dari dalam lemari.
Sri tak perduli, ia masuk kekamar mandi dan segera mengguyur tubuhnya dengan air
dingin. Beribu rasa berkecamuk dalam dirinya. Dan itu semua adalah rasa cemas. Apa
yang akan terjadi pada diriku? Akan celakakah aku ditangan Basuki? Kalau sedikit
saja dia berani menjamah tubuhku, aku lebih baik mati.
Lalu air matanya bercucuran, teringat Timan yang sangat mencintainya dan sudah
banyak berkorban untuk dirinya. Derasnya air yang mengguyur seakan berpacu dengan
derasnya air matanya. Lama ia membiarkan dirinya disana, menumpahkan air matanya
dalam sedu sedan yang tak terbendung.
Tiba-tiba terdengar ketukan keras dipintu kamar mandi. Tercekat hati Sri, apakah
Mery yang mengetuk pintunya, atau jangan-jangan Basuki.
Bersambung #9