Anda di halaman 1dari 4

Utari

Malam ini langit benar-benar cerah. Bulan menggantung menghiasi langit dikelilingi
bintang yang berkelip. Udaranya dingin. Namun gadis beriris mata cokelat itu masih betah
mendudukkan dirinya di samping jendela kamarnya yang terbuka. Seakan sengaja
membiarkan kulit tubuhnya menggigil diterpa angin malam.

Namanya Utari. Gadis manis berusia lima belas tahun yang kerap terperangkap oleh
pikirannya sendiri, seperti saat ini.

Ada banyak sekali hal yang mengganjal dalam benaknya. Termasuk mengenai
persoalan mengapa seorang anak perempuan seperti dirinya dilarang memilih sendiri jalan
mana yang ingin ia lewati untuk kehidupannya.

Sekalipun ayah dan ibunya sudah berkali-kali menjawab dengan tegas, namun sama
sekali tak membuat Utari puas dengan jawaban yang ia dapat. Bahwa alasan dari segala
keterbatasan ini adalah tradisi.

Tentu saja Utari tetap akan mengikuti alur yang diatur oleh sesuatu bernama ‘tradisi’
tersebut. Sebagai anak perempuan yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan
kelembutan, ia bahkan tak pernah sekalipun berpikir untuk menjadi seorang penentang.
Termasuk tradisi di desanya bahwa seorang perempuan harus menikah sebelum usianya
menginjak enam belas tahun, karena dikuatirkan semakin bertambah usianya akan semakin
tidak menariklah ia. Maka ditakutkan jika perempuan itu akan terus sendirian semasa
hidupnya.

Inilah yang tengah terjadi pada kehidupan Utari saat ini. Tinggal beberapa hari lagi ia
akan melepas masa lajangnya, dan melanjutkan hidupnya sebagai istri dari putra tunggal
kepala desanya, Gama.

Utari memang semenarik itu. Wajahnya cantik, sikapnya lembut dan penuh sopan
santun. Orang-orang menyebutnya sebagai ‘kembang desa’.

Tapi masalahnya, Utari tidak ingin dipersunting Gama. Selain karena wataknya yang
kasar dan sombong, Gama juga dikenal sering genit dengan banyak wanita. Mata keranjang.
Dan alasan mengapa ayah dan ibu Utari mengizinkan serta mendukung Gama untuk
melamarnya, hanya semata karena hartanya yang bisa membantu keluarga Utari terbebas dari
kemiskinan. Sertamerta membuat batinnya amat terluka, ia merasa dijual.
Di tengah lamunannya, tiba-tiba pintu kamarnya dibuka pelan. Sang Ibu masuk
dengan membawa segelas air putih hangat. Tentu saja Sang Ibu mengetahui bagaimana
keresahan anaknya. Segala hal tentang Gama bak rahasia umum yang tak lagi bisa disangkal
kebenarannya. Bahwa laki-laki itu bukanlah seorang yang baik perangainya.

“Buk, tidak bisakah aku menolak laki-laki itu?” tanya Utari lemah.

“Sebenarnya,” kalimat Sang Ibu menggantung sejenak. “Ada alasan lain mengapa
Bapak dan Ibu ingin kamu menikah dengan Gama.”

Utari diam. Tak ada kalimat apapun dalam benaknya untuk diutarakan. Ia sudah
terlalu pasrah.

Sang Ibu menarik napas dalam sebelum berucap begitu pelan. “Ini bukan soal harta,
tapi keselamatan.”

Utari mendongak bingung. Apa maksudnya?

“Kamu tahu kan, Nak, rakyat-rakyat kecil seperti kita ini sering diperlakukan
seenaknnya. Keluarga Gama, semua punya jabatan. Hidup mereka aman karena mereka dekat
dengan orang-orang kulit putih itu. Dengan menikahnya kamu dengan Gama-”

“Ibu ingin kita ikut jadi dekat dengan penjahat-penjahat itu?”

Sang Ibu menggeleng. “Ibu tidak bisa berpikir sampai kesana. Tapi Ibu sudah terlalu
lelah melihat Bapakmu yang hamper setiap harinya diperlakukan kasar sama mereka. Tolong
ya, Nak.”

...

Harapan kedua orangtuanya sudah terkabul hari ini. Pernikahan Utari dengan Gama
dihadiri ratusan orang yang tentunya bukan orang biasa. Kendati harus menahan tangisnya
hari ini, setidaknya Utari sedikit- sangat sedikit bersyukur melihat senyum lebar ayahnya
setelah Ayah Gama mengatakan bahwa setelah ini tidak ada lagi yang akan mengganggu
keluarganya. Sebagai gantinya, anak gadisnya kini akan dibawa pergi, menuju tempat yang
baru bersama suaminya.

Utari masih bisa memaksakan senyumnya kala harus memeluk orang tuanya untuk
yang terakhir kali. Bahkan tak lupa berjanji bahwa ia akan selalu mengirimkan surat berisi
kebahagiaan dalam hidupnya yang baru. Ia akan hidup dalam kebahagiaan.
Di minggu-minggu pertama, surat dari Utari benar-benar sampai ke tangan kedua
orangtuanya. Berlanjut hingga bulan-bulan berikutnya. Namun, di bulan ke lima suratnya tak
lagi datang. Hal itu cukup membuat orang tua Utari kelewat kuatir hingga memutuskan untuk
berkunjung pada bulan ke enam, dua bulan sejak terakhir kali putrinya mengirim surat.

Rumah yang mereka temukan dari alamat yang pernah ditinggalkan Utari hampir
membuat keduanya tak berkedip. Benar-benar besar dan indah. Sedikit membuat mereka bisa
membuang prasangka-prasangka negatif sebelumnya. Lantas, pasangan paruh baya tersebut
mengetuk pelan pintu rumah di depannya. Hingga muncul seorang wanita yang ternyata
merupakan pembantu di rumah ini.

“Maaf, jika saya boleh bertanya, apakah ini tempat tinggalnya Nak Utari?” Sang Ibu
bertanya.

Wanita itu mengangguk lemah. “Iya, Bu. Sebelumnya, Ibu dan Bapak ini siapa, ya?”

“Kami orangtuanya, Mbak.”

Wanita itu terlihat semakin resah, namun tetap mempersilahkan kedua orangtua Utari
masuk ke dalam.

“Nak Gama sama Nak Utari sedang tidak ada di rumah ya? Kok sepi sekali.”

Wanita berbaju kusut tersebut menarik napasnya dalam-dalam, kemudian berkata


begitu pelan. "Sebenarnya, sekitar satu bulan yang lalu Tuan ketahuan mengambil banyak
sekali uang dan beberapa barang berharga dari .. dari .. rumah salah satu Londo itu. Saya tidak
begitu tahu bagaimana ceritanya. Tapi setelah itu, Tuan dan Nyonya ditangkap dan dibawa
sama mereka."

Sang Ibu kehilangan kesadarannya tepat setelah mendengar pernyataan yang baru
didengarnya. Sedang Sang Ayah hanya bisa terdiam kala mendengar nasib putrinya. Merasa
bahwa semua ini karena keegoisannya yang ingin bebas dengan menikahkan putrinya dengan
putra dari orang berpengaruh yang bisa melindunginya, namun justru membawa nasib
putrinya berakhir tragis.

Hatinya benar-benar dipukul hancur kala menyadari bahwa ternyata rumah mewah
milik sang anak tak sehangat yang ia bayangkan. Tiada tawa dan canda yang pernah ia
harapkan. Pun kebahagiaan yang tak pernah luput ia cantumkan dalam doa dari setiap
sujudnya. Dalam rasa sakit serta sesak yang tak tertahan, ia hanya bisa merapalkan satu
kalimat, “Ayah minta maaf.”

Anda mungkin juga menyukai