[1]
Ibukota Nusantara (IKN), 2030
Aku putuskan lebih memilih Autonomous Car ketimbang Drone Taxi untuk mengantar
kami menuju bandara sore itu. Tak sebagaimana Jakarta atau kota-kota besar lainnya yang masih
menuakan warganya di jalanan, kota ini telah menerapkan moda transportasi supra modern yang
terintegrasi. Sebagai orang yang terlibat secara langsung pada proses perancangan IKN, aku tahu
betul bagaimana kota ini tak membiarkan waktu terbuang sia-sia. Siapapun yang berada di sini,
artinya sudah mengikhlaskan diri jadi bagian dari Integrated Operations Control Center yang
jadi otak harmoni kota ini smart city.
“Ayah, ayo buruan!” Gopoh Batari setengah berlari, menembus hiruk pikuk Bandara yang
sore itu terasa hingar. Robot pemanggil itu menyebut kode pesawatku untuk terakhir kalinya.
Batari memanggil-manggil namaku, ia sudah sampai di area boarding.
“Iya, sabar!” Aku menyahut sambil ngos-ngosan. Baru kusadari, sistem tata kota secerdas
ini pun sia-sia dan takluk oleh Batari, putriku yang buru-buru. Paru-paruku berusaha memompa
oksigen maksimal. Jantungku masih berdebar kencang ketika pesawat take off meninggalkan
daratan Kalimantan. Horizon cakrawala yang menjingga mengiringi perjalanan kami menuju
Surabaya.
[2]
Malam itu, rembulan membulat sempurna. Lautan manusia mengitari Pura Luhur Paton
nan agung, sebagian mengular ke lintasan menuju puncak Bromo. Seluruh atensi terpusat pada
Paruman Dukun Pandita serta pembawa pajeng yang berdiri kokoh di depan Pura, siap memulai
ritual Yadnya Kasada. Mata Batari bersinar mengkilat antusias. Berulang kali ia todongkan
kamera ke arah barisan masyarakat Tengger yang mulai berjalan selaras menuju kawah Bromo
dengan ongkek di atas kepala. Arak-arakan Yadnya Kasada memang begitu memikat mata.
Paduan siluet sempurna berkas cahaya purnama tampak epik menyatu dengan lautan pasir.
Sesekali angin bercampur pasir merasuki sela-sela baju mereka dan jaket tebal turis. Semesta
sepertinya sedang menegaskan keagungan alam Bromo yang tak pernah pandang bulu. Batari
lagi-lagi menekan tombol shutter kameranya. Tak akan ia lewatkan sedetikpun momen Yadnya
Kasada yang baru ia alami pertama kali. Terlebih, alat pengambil gambar itu telah sejak lama
menjadi separuh jiwa dan sumber kekuatannya selepas Istriku tiada. Sebagaimana Batari buatku,
ialah separuh jiwa dan sumber energi hidupku.
Mas Adya wis tekan ndi? Gek ndang mulih yo, Mas. Tak enteni ning Nanggulan1.
Lamat-lamat kubaca notifikasi pesan yang baru saja muncul di ponselku. Ketiga kalimat
dari Ratri, adik bungsuku itu benar-benar mewakili rintihan kerinduan Emak. Sudah tiga tahun
berlalu, sejak aku mendapatkan tugas baru di Ibu Kota Nusantara, belum sekalipun aku kembali
menginjak kaki di tanah Jawa. Padahal, aku selalu rindu dengan Emak, pun rumah Joglo kami
yang tetap berdiri kokoh meski telah ditempa usia. Lanskap perbukitan Menoreh yang eksotis,
lengkap dengan pemandangan sawah dan ladang yang menakjubkan. Nyanyian-nyanyian burung
prenjak yang akan menyambut setiap shubuh tiba, kontras dengan pertunjukan vokal burung
hantu pada malamnya. Aku tak pulang ke Nanggulan bukan lantaran jalannya yang terlalu
menanjak, akses sempit yang mengharuskan aku memakir mobil di rumah Pak Dukuh, ataupun
sinyal internet yang kelewat susah karena terlalu jauh dari kota. Tapi karena aku terlalu fokus
mengurus pekerjaan dan putri semata wayangku. Aku tak sempat sembarang pulang ke daerah
pelosok di barat kota Jogja itu.
“Ayah, nanti habis dari acara ini, besok pagi kita langsung ke rumah Eyang, ‘kan? Tari
udah kangen banget sama Eyang!” Tanpa aba-aba, Batari menyeletuk dari balik kameranya.
Senyum lebarnya menghangatkan tubuhku yang kian beku akibat angin Bromo malam itu. Aku
pikir, mungkin lobus frontal di otak Batari sudah otomatis merancang rencana perjalanan kami
nanti. “Nanti kita di sana bisa stay beberapa hari, ‘kan? Lagian, di sana kan enak. Cuacanya
adem, trus kita setiap hari bisa lihat ijo-ijo lagi! Wah, besok Tari harus beli oleh-oleh besok buat
Eyang dong, Yah. Kayaknya mau Tari beliin Pokak saja deh, Eyang pasti suka!”
“Dua hari aja gimana? Kan tiga bulan lalu pas liburan semester kamu udah ngerasain
suasana ijo-ijo gitu di rumah nenek di Garut. Kan kita sudah janji, minggu depan Ayah sudah
harus ke lapangan lagi. Klien Ayah kan sudah mulai proses pembangunan, jadi harus rutin ayah
pantau.” Aku tersenyum berusaha menyakinkan Batari akan pekerjaanku. “Atau kamu mau
staycation di villa saja bareng teman-temanmu? Ayah punya beberapa kenalan di Samboja yang
terkenal itu.”
1
Mas Adya sudah sampai mana? Segera pulang ya, Mas. Aku tunggu di Nanggulan
“Ah, Ayah mah gitu. Tari tuh bosen kalau di villa kenalan temannya Ayah terus. Tari mah
pinginnya hiling sama Eyang.” Bibir Batari menekuk seakan pemandangan arak-arak Yadnya
Kasada tak lagi menarik baginya. Sinar matanya meredup seiring kebahagiannya yang meluruh.
Jauh di lubuk hati terdalamku, sesungguhnya tak ada secuil pun aku ingin Batari bersedih.
Sejak aku memutuskan untuk mengasuhnya seorang diri sepeninggal istriku wafat lima tahun
lalu, aku hampir selalu mengajaknya bersamaku. Tak heran ia amat terbiasa dengan ritme tugas-
tugas lapanganku, yang menempanya menjadi gadis mandiri yang tidak rumahan. Batari
Kahiyang adalah sesosok pribadi dengan keunikan jati diri berbudaya kaya. Meski lahir dan
besar di tanah Pasundan asal istriku, Batari selalu teguh akan kecintaannya pada budaya Jawa
yang kental. Kini, menapaki usia remaja bersamaku di Kalimantan telah menjadikannya semakin
unik. Ia adalah manifestasi anak Indonesia dengan ribuan keberagamannya. Ah, padahal ia baru
saja foto KTP belum lama ini, tapi bagiku ia masihlah anak kecil yang selalu merengek meminta
es krim sepulang sekolah sepuluh tahun lalu.
“Ayah, come on, please,” rengek Batari dengan tangan disatukan layaknya protokol
permohonan anak-anak. Pada akhirnya, ia selalu mampu mengalahkan idealisme-ku bila sudah
memasuki fase ini. Tak dapat kupungkiri, Batari adalah pahatan sempurna kuasa Tuhan yang
mampu menghadirkan sosok Istriku di wajahnya. Garis muka serta sikapnya akhir-akhir ini
menjadikan Batari semakin menjelma serupa Ibunya, membuatku tak menyisakan daya. Hatiku
bergejolak. Mendadak angin kencang datang, menghempas dan menerbangkan ilusiku jauh
kembali ke Nanggulan, ke rumah Emak.
[2]
Warga kampung biasa memanggil wanita janda yang tinggal di rumah joglo kayu itu Mak
Sutirah. Di kampung kecil yang berada di barat Kota Jogja itu, semua orang tahu bahwa ia hanya
tinggal bersama keempat anaknya. Konon, Mak Sutirah dan anak-anaknya adalah pendatang.
Entah di mana suaminya berada, tapi Mak Sutirah tetap merawat darah dagingnya seorang diri,
tanpa bantuan sanak saudara manapun. Tak pernah sekalipun warga kampung bahkan keempat
anaknya mendapati Mak Sutirah berwajah murung. Baginya, merawat keluarga adalah titah dan
mandat Yang Maha Kuasa.
Rumah joglo itu sama misteriusnya dengan keluarga Mak Sutirah. Letaknya berada di
paling ujung kampung dan di puncak bukit yang dipagari pohon jati. Kata Pak Dukuh, rumah itu
telah lama tak berpenghuni berpuluh-puluh tahun. Hanya saja, terpampang jelas plang nama dari
kayu bertuliskan Notosukma, sebuah keluarga yang konon turun-temurun menjadi penjaga harta
warisan keluarga Keraton Pakualaman. Namun, pada suatu malam, datanglah Mak Sutirah
beserta ketiga anaknya di depan pintu rumah Pak Dukuh. Mak Sutirah membawa berkas
kepemilikan Joglo tua dan hendak meminta bantuan Pak Dukuh untuk membabat pagar alam
yang menjaga bangunan itu. Ia mengetuk pintu rumah Pak Dukuh dengan sabar. Sesekali ia
mengelus perutnya yang besar. Ia hamil tua.
Malam itu cukup heboh, sebuah malam yang penuh kejutan bagi warga desa. Tak hanya
Joglo tua yang kembali berpenghuni, tapi juga lahirnya seorang anak perempuan dari wanita
pendatang. Warga berbondong-bondong mengecek Joglo, beberapa panik memanggil dukun
bayi, beberapa anak kecil yang tak mengintil Ibunya memperhatikan anak-anak Mak Sutirah
yang memiliki fitur wajah berbeda, beberapa berani mengajak berkenalan. Malam itu, telah
tercipta sebuah kisah baru di kampung. Sebuah kisah kedatangan Mak Sutirah dan sejuta
misterinya.
Tak butuh waktu lama bagi Mak Sutirah untuk melebur dengan ritme kampung pelosok itu.
Mak Sutirah rutin hadir di perkumpulan Ibu-ibu Desa. Dengan anak di gendongannya, ia menjual
jarik-jarik bermotif bunga warna-warni yang jarang ditemukan di Jogja. Ketika jarik-jariknya
ludes terjual, Emak beralih memamerkan keahlian mengolah hasil bumi di pawon. Biasanya,
pagi-pagi buta sekali saat ayam pun masih terlelap, Mak Sutirah sudah terjaga. Ia akan dadhen
menyalakan tungku dengan blarak, memasukkan kayu bakar, kemudian menuangkan air nira ke
wajan besar di pawon. Begitu air nira selesai dituangkan, raganya akan bergegas membangunkan
anak-anaknya dan bersiap mengomando keluarganya. Anak lelaki tertua akan mengaduk air nira
dan membuang buih-buihnya. Anak perempuan kedua dan ketiga akan menyetrika baju sekolah
dengan setrika arang atau memarut singkong untuk geblek, sedang si bungsu akan mengemasi
tabung-tabung gula aren yang sudah tercetak. Rutinitas pagi di rumah joglo itu telah menjadi
sebuah kesatuan sistem antar kelima penghuninya. Sebuah sistem epik yang dikomando seorang
wanita hebat.
Aku adalah salah satu dari keempat anak itu, satu-satunya anak lelaki Mak Sutirah. Kisah
perjuangan mengaduk nira itu terpatri pada otot bisepku. Sebagaimana aroma pembakaran yang
selalu menempel kulitku meski aku sudah memakai tawas setiap hari. Kata Emak, itulah jati diri
keluarga kami. Sejauh apapun aku dan ketiga saudaraku berkelana, aroma pawon Emaklah yang
senantiasa menjaga kami.
[3]
Rest Area 346 tampak lenggang. Perjalananku dengan Batari dini hari ini mungkin terlalu
dipaksakan. Kurang dari tiga jam aku akan sampai di Nanggulan, tapi aku tak ingin mengambil
resiko. Memaksakan diri menyetir melanjutkan perjalanan saat kantuk datang adalah pantangan
bagiku. Batari masih terlelap dalam tidurnya di sampingku. Kuperiksa ponsel yang sedari dari
tak kubuka karena menyetir. Sayangnya, tak ada satupun pesan dari Ratri. Entah apa yang
dilakukan adikku itu. Bukankah biasanya pagi buta begini ia terjaga dan sesekali menyapaku
sembari rapat jarak jauh dengan klien-nya di benua seberang. Rinduku pada Emak seketika
menyembul kembali dari hatiku, mencuri kantukku untuk membuka foto-foto Emak saat aku dan
Batari berkunjung tiga tahun lalu.
Itu adalah foto dengan Batari. Aku memotretnya dari dalam pawon. Kala itu, kuhirup
dalam-dalam aroma pawon Emak yang sudah cukup lama absen dari indera penciumanku.
Aroma uap nira mendidih yang menempel pada tiang joglo, parutan-parutan singkong untuk
geblek yang kadang menempel di dingklik, dan alas pawon yang masih berupa tanah padat makin
melengkapi gudang aroma di sana. Dari dalam pawon, aku dapat melihat Batari yang sedang
duduk di depan pintu depan joglo. Ia tampak menikmati keindahan sunset panorama Nanggulan
sembari sesekali mendokumentasikannya menggunakan kamera barunya.
“Gustii Allah, Cah Ayu Batari, ojo ndomblong. Ra ilok!” Terdengar lengkingan suara
berlogak Jawa medhok dari halaman depan. Langkah kakiku membawaku menuju asal suara,
mendapati Batari telah berpelukan erat dengan Eyangnya. Wajah Emak seketika sumringah
begitu menatapku, anak lelaki satu-satunya yang telah lama hilang dari Bumi Mataram akhirnya
kembali.
“Ya Allah, Gusti. Kemarin tuh Eyang lihat ada burung Prenjak sak jodho muni wae neng
lor omah, welah jebul tenanan ono tamu agung. Senenge atiku!” Begitulah Emak. Mitos-mitos
jawa sudah bagai kamus hidupnya. Padahal aku sudah berulang kali mengatakan pada Emak
bahwa hal itu tidak sepenuhnya benar, hanya mitos.
“Mak, Adya kan sudah bilang kalau hal-hal gitu nggak usah terlalu dipercaya,” keluhku
yang tak diindahkan Emak. Hatinya sudah keburu girang mendapati anak lelakinya pulang ke
Nanggulan bersama cucu kesayangan. Ratri yang baru keluar dari kamarnya hanya cengengesan
melihatku. Magrib kala itu, Emak tak henti-hentinya melompat-lompat kecil seiring langkahnya
menuju pawon kebanggaannya Tangannya dengan cekatan merapikan ruang tengah dan mondar-
mandir ke pawon menyiapkan makan malam bersama Ratri. Batari dan aku reflek menyesuaikan
diri, perlahan menyatukan diri pada sistem komando Emak yang telah lama kutinggalkan.
Emak adalah pujangga ulung. Langit-langit joglo tak berplafon itu telah menjadi saksi
ribuan kisah yang telah diaturkan Emak kepada anaknya setiap malam. Puluhan tahun lalu, bila
sore hari tiba, rumah Emak akan ramai oleh anak-anak yang ingin mendengarkan dongeng Mak
Sutirah. Entah Emak dapat darimana sumber-sumber cerita itu karena tak ada satupun buku atau
majalah di rumah. Emak bahkan tak pernah melakukan pendidikan formal selain sekolah dasar
saat kecil dulu. Baginya, semesta-lah pencipta kisah-kisah itu. “Batari kih wes arep mlebu SMA
yo? Jadinya mau masuk mana, Nduk?”
Batari mengangguk, kemudian menyebutkan salah satu sekolah unggulan di Ibu Kota
Nusantara. Lantas, sedetik pun tak ada, Emak menegakkan punggungnya yang kian
membungkuk. “Ana dina, ana upa, Batari. Jadi, sekarang yo kamu harus sinau ben iso mlebu
SMA impianmu kuwi,” titah Emak. Tak seperti aku yang kadang mangsuli, Batari takzim
mendengarkan setiap tutur kata Emak malam itu. Entah sudah berapa bab nasihat Emak untuk
Batari. Siluet Emak dan Batari yang duduk bersimpuh itu melesatkanku akan suatu memori
puluhan tahun lalu.
“Mas Adya, kene-kene lingguh karo Emak.” Emak selalu mengajakku jagongan bilamana
purnama mulai menampakkan diri, terlebih saat adik-adikku sudah terlelap. Malam itu, seperti
malam-malam biasanya, aku akan duduk patuh di samping Emak di lincak depan rumah dalam
penerangan remang-remang lampu teplok. “Le, pikir sik jero kekarepanmu ngepek Kartika. Jawa
lan Sunda iku koyo minyak ro banyu. Ndak bisa bersatu.”
Aku terdiam. Emak mengelus kepalaku dengan penuh kasih. Aku bisa merasakan
kegundahannya ketika aku menyampaikan rencanaku meminang Kartika, pacarku yang asli
Sunda. Sejak awal hubunganku dengan Kartika, Emak memang tak tampak merestuinya.
Katanya, ada mitos bahwa Jawa dan Sunda tak dapat menjadi sebuah kesatuan di pernikahan.
Emak menambah kalimatnya, “Emak cuma pingin kamu bahagia, Le.”
“Mak, Adya selalu heran kenapa Emak suka dengan mitos-mitos jawa itu? Bukannya itu
tidak benar adanya, Mak?” Suaraku bergetar, tapi itu tak cukup menggetarkan hati emak.
Seketika, pelataran itu hening. Bahkan jangkrik saja tak berani bersua. Netra Emak hanya fokus
menikmati rembulan, sedetikpun beliau tak melirikku. Ia tak acuh pada pertanyaanku.
Emak akhirnya bersuara meski tatapannya tak sekalipun berpindah dari bulan purnama
yang membuatnya tampak semakin cantik. “Adya, sudah larut. Tidurlah, masih ada hari esok.”
Semenjak SMA, aku telah merasakan begitu banyak perbedaan pandangan hidupku dengan
Emak. Emak selalu berpedoman pada nilai-nilai Jawa yang terkadang kuanggap usang dan
berbeda dengan apa yang aku dapat di bangku sekolah. Tapi aku menghormati Emak yang telah
merawatku dan adik-adikku seorang diri. Maka, aku sungkan bertanya lebih lanjut. Ego itu
kusimpan rapat-rapat di sudut hatiku. Toh, setinggi dan setekun apapun aku menimba ilmu, aku
tetaplah anak Emak, seorang anak yang selalu memerlukan titah seorang ibu.
Bertahun-tahun aku berpacaran dengan Kartika, Emak rutin mengingatkan nasihatnya. Aku
tak pernah mengerti jalan pikiran Emak. Sudah berulang kali aku tegaskan bahwa aku dan
Kartika tidak akan seperti itu mitos itu. Aku dan Kartika saling mencintai dan kami ingin menuju
ke tingkat hubungan selanjutnya. Sampailah pada sebuah malam ketika aku baru saja
menyelesaikan sidang proposalku, kusampaikan pada Emak rencanaku meminang Kartika.
Kukatakan padanya bahwa keluarga Kartika telah menyetujui hubungan kami. Sudah terbayang
pada cerebrum kami, pernikahan itu akan fantastis dengan balutan adat Jawa dan Sunda, lengkap
bersama warna kesukaan Kartika. Setelah menikah, aku akan bangun sebuah rumah indah untuk
Kartika. Rumah itu akan kubangun dengan kayu sehingga dari depan akan tampak sederhana,
tapi menyimpan sejuta cerita. Akan kubuatkan taman luas di belakang rumah untuk anggrek-
anggrek kesayangan Kartika. Ah, semua itu akan indah bila Kartikalah yang berdiri di
sampingku.
“Le, pikir sik jero kekarepanmu ngepek Kartika dadhi bojomu. Kowe wes reti toh maksude
Mak?” Emak mengeluarkan kalimat pamungkasnya, kalimat yang selalu kudengar akhir-akhir
ini.
Aku diam. Kalimat itu menikam perasaanku. Hatiku tak rela melepas Kartika serta
pertanyaan yang terpendam itu. Tapi pertanyaan itu sudah meraung-raung, meminta jatah untuk
kusuarakan. “Mak, Adya bisa memaklumi kenapa Emak percaya pada mitos-mitos Jawa itu, tapi
Adya ndak bisa memaklumi mitos kali ini. Adya dan Kartika tidak seperti itu, Mak.” Suaraku
getir. “Kami saling mencintai, mengasihi, dan saling melengkapi sebagaimana Adam dan Hawa,
Mak.”
“Emak ndak percaya sama kata cinta, Le,” balas Emak. Tatapannya menerawang menatap
keindahan langit kosmos Nanggulan. Emak seolah sedang meresapi masa lalunya yang tak
seorangpun tau. Ia menarik nafas dan memejamkan mata dalam ritme konstan. Lantas, Emak
menatapku sendu. Suaranya amat lirih seolah merasuki sukmaku, seolah kalimat itu dibalut oleh
luka yang telah dibiarkan terbuka terlalu lama. “Bapakmu kuwi wong Sunda, Le.”
Sekarang aku paham kenapa Emak menentang hubunganku dengan Kartika. Emak kembali
bersuara getir. “Emak karo Bapakmu yo podo wae karo kowe lan Kartika, Le. Emak cinta sama
Bapakmu, Bapakmu yo podo. Emak lan Bapakmu yo ndak nurut sama Simbok. Kami kabur
dengan modal cinta tok.
[4]
Aku sampai di Nanggulan lebih cepat dari perkiraanku. Adzan Shubuh belum lama berlalu
saat aku keluar dari exit tol menuju arah Nanggulan. Bulan saja masih tampak malu-malu tak
ingin pergi. Banyak sekali yang telah berubah sejak aku berkunjung ke sini. Jalan desa tak jauh
dari rumah Emak yang dulunya hanya berwuju batu, kini sudah disulap menjadi jalan nasional
yang membedah bukit Menoreh, menyambungkannya dengan akses jalan tol Bandara
Internasional Yogyakarta. Mobilku bahkan mungkin bisa masuk ke halaman rumah Emak
sekarang. Ah, sepertinya aku harus meluangkan sebagian otak arsitekku untuk merenovasi rumah
masa kecilku itu.
Kubangunkan Batari yang sontak kegirangan mendapati kami telah sampai di halaman
rumah Pak Dukuh. Tak butuh waktu lama ia menyegarkan raganya untuk keluar dari mobil dan
siap berjalan menuju rumah Emak. Kami butuh sekiranya lima menit berjalan menuju rumah
joglo yang berada di paling ujung desa. Aku mendapati banyak perubahan. Kampung kami yang
biasanya sunyi, pagi itu terasa berbeda. Beberapa gerombol pemuda dan pemudi berjalan
beriringan. Di tikungan terakhir sebelum menuju rumah Emak, semakin kudapati keganjilan
yang membuatku jantungku berdegup amat kencang. Batari berbisik halus, suaranya terdengar
bergetar. “Ayah, kok rame banget. Ada apa di rumah Eyang?” Aku menggumamkan hal yang
sama dengan Batari. Segera kami langkahkan kaki kami lebih cepat.
Namun, langkahku sontak terhenti begitu kulihat Ratri berlari sambil berteriak sejadi-
jadinya. Wajahnya seolah luruh saat menyadari kehadiranku. “Mas Adya, Emak, Mas …. Mas
Adya! Emak!”
Aku tersentak. “Kenapa, Tri? Emak kenapa? Coba jelasin sek alon-alon. Ini ada apa?”
tanyaku berusaha tetap tenang menghadapi tangisan Ratri.
Ratri mendekapku begitu erat. Batari yang lebih dulu menyadari apa yang sebenarnya
terjadi ikut menjerit dalam pelukanku. Duniaku seketika tergoncang hebat saat kusadari bahwa
keramaian itu para pelayat. Seorang pemuda tampak akhirnya memasang bendera putih di tiang
paling depan joglo Emak. Tubuhku bergetar, Ratri perlahan melepas pelukannya. Langkah
kakiku begitu gontai menuju dalam rumah. Batari masih menggenggam erat tanganku, tangisnya
terdengar sendu sekali. Terdengar begitu perih persis seperti saat Istriku tiada dulu.
“Ayah, Eyang, Yah …,” lirih Batari seiringan dengan langkah kami. Para pelayat kompak
menyingkir begitu aku dan Batari sampai. Aku masih bisa mengingat betapa cantik wajah dan
harumnya aroma Emak yang kupeluk pagi itu sebelum akhirnya semua terasa gelap.
Aku dan Batari kompak saling tatap. Perjalanan ini adalah sebuah perjalanan mengarungi
tanah kelahiranku, Jawa.