Burung gereja berbeda dari parkit, tentu saja. Bulu-bulu parkit mengingatkan kita pada batik
cirebonan yang cerah dan ceria. Bulu-bulu emprit juga berwarna batik klasik. Burung kecil itu
suka hinggap di kawat-kawat telepon yang ruwet membentang dari satu tiang ke tiang lainnya di
sepanjang jalan. Sayangnya, kini emprit sudah jarang terlihat. Dan ketapel jelas bukan
penyebabnya, mungkin karena di sini sudah terlalu bising dengan suara yel, teriakan, dan
senapan.
Dan lihatlah, got-got mulai kering dan berbau. Baunya kadang-kadang hampir tak tertahankan
karena tak ada air deras yang mengalirinya. Got di depan rumahnya itu melemparkan ingatan
Soekram pada masa kecilnya di kampung. Saat kecil ia suka ikut pamannya menyeser wader
kalen yang berkembang biak di kalen depan rumah kakeknya saat kalen itu dialiri air.
Kalen itu lebih lebar sekitar dua kali lipat daripada got di depan rumahnya sekarang. Ia senang
memperhatikan ikan-ikan kecil berbintik hitam putih itu bergerombol, menggerak-gerakkan
tubuh dan ekornya, menentang arus air di sela-sela sampah. Belum pernah
dilihatnya wader berenang mengikuti arus. Wader kalen tidak bisa dimakan, tapi hanya untuk
main-main saja. Jika kalen penuh dengan air, teman mainnya sering melemparkan pecahan
genting mendatar di permukaan air sehingga meloncat-loncat sebelum akhirnya tenggelam. Ia
takjub menyaksikannya.
Dari depan rumah kakeknya, kenangan Soekram pindah ke halaman belakang. Sumur di
belakang rumah kakeknya itu selalu penuh air, meskipun kemarau. Tetangganya yang
kebanyakan tidak mampu membuat sumur, mengambil air dari sumur itu. Ia pernah mendengar
cerita bahwa kakeknya dulu dimarahi kakaknya gara-gara membuat sumur di belakang rumah.
“Sumur, harus digali di depan rumah, sebelah kanan!” Itu kata kakaknya.“Supaya sumur kita
jadi pemandian orang-orang yang suci hatinya. Itu ajaran leluhur kita!”
“Sumur harus dekat dengan dapur, di belakang, supaya lebih mudah mengambil air untuk
memasak,” kata kakeknya tak mau kalah. “Lagipula, sumur di belakang akan menjaga perasaan
tetangga agar tidak malu saat ikut menimba dari sumur kita nanti.”
“Sumur di belakang itu tempat pemandian orang sakit atau orang mati!” kakaknya kembali
menyampaikan ajaran-ajaran Jawa dari leluhurnya yang sangat ia pegang.
Begitulah, yang satu sangat percaya pada ajaran leluhur sedangkan yang satunya lebih memilih
kemudahan dalam akses air yang lebih masuk akal. Akhirnya, tetap saja sumur digali di belakang
rumah dan para tetangga setiap pagi dan sore menimba air dari sana. Sepanjang tahun, sumur itu
tidak ada bedanya antara kemarau dan penghujan.
Apakah sekarang di Jakarta ini masih ada sumur seperti di rumah kakeknya itu? Tanya Soekram
dalam hati ketika ia membasuh tangannya di keran pagi itu. Sehabis membersihkan Carry-nya, ia
tampak lega melihat daun palem merah dan soka yang ditanam di halaman depan rumahnya yang
sempit itu tampak bersih terbasuh air hujan semalam. Dilihatnya langit ibu kota sekarang tampak
cerah. Namun, cuaca tampaknya masih tidak bisa diramalkan, apakah akan hujan atau panas.
Soekram sedang duduk di teras saat sebuah tangan menepuknya dari belakang.
“Mas, sedang mikirin apa?” tanya Minuk, istrinya, yang tiba-tiba muncul di belakang sambil
menggendong anak mereka.
“Hey, ayo sini turun! Mau naik mobil?” tanya Soekram kepada anak kecil yang digendong
istrinya.
Esa senang sekali kalau diajak Soekram naik mobil keliling kompleks atau kadang-kadang ke
supermarket terdekat. Sesudah pulang biasanya ia tidak mau turun. Dan Minuk harus
membujuknya dengan sabar, kalau perlu dengan permen cokelat. Soekram sangat menghayati
saat-saat seperti itu. Ia sering berharap seluruh hidupnya terdiri atas rangkaian adegan seperti itu,
rangkaian panjang kebahagiaan yang tak ada habisnya.
Kemarau memang tampaknya masih ingin bertemu dan bercengkrama dengan penghujan.
Penghujan pun belum berniat meninggalkannya. Namun, manusia tidak menyadari itu. Mereka
menyebutnya pancaroba. Daun-daun belum menjadi kecokelat-cokelatan lalu gugur. Pohon-
pohon belum gundul. Burung-burung kecil kadang-kadang masih harus mencari tempat berteduh
di bawah dedaunan yang rimbun agar tetap kering. Cuaca yang terik bisa mendadak gelap dan
muncul angin bertiup entah ke mana atau dari mana. Angin itu berputar-putar seperti berniat
menggugurkan dedaunan yang ngeri membayangkan bakal menjadi timbunan sampah. Itulah
perkawinan kemarau dan penghujan. Manusia tidak memahaminya. Justru mereka menyebutnya
pancaroba yang dianggap sebagai sumber berbagai penyakit terutama bagi anak-anak.
Selepas mencuci mobil, pagi itu Soekram seperti biasanya minum dua atau tiga gelas air putih,
lalu berolahraga kecil, mengayun-ayunkan tangannya selama seperempat jam.
“Setengah jam setelah minum kau baru boleh sarapan, Kram,” begitu nasihat rekannya yang
rupanya suka menonton acara kesehatan di TV.
Istrinyalah yang selalu rajin menyiapkan sarapan ketika Soekram mengayun-ayunkan tangannya
itu. Pembantunya, perempuan dari kampung tetangga komplek yang datang membantu setiap
hari selama dua atau tiga jam, menyetrika dan mencuci pakaian dengan sebuah mesin cuci kecil.
Karena kemarau masih mempertahankan penghujan, pakaian masih sering tidak sepenuhnya
kering. Akibatnya, pakaian menjadi bau apak meskipun sudah disetrika. Soekram tidak pernah
mempermasalahkannya tapi tidak dengan istrinya.
“Makanya beli pakaian lagi, Mas,” saran Minuk.
Itu semua terjadi karena langit belum bersedia sepenuhnya bersih dari awan. Langit masih suka
dilewati awan, baik itu awan putih atau hitam tidak dipedulikannya. Langit suka membelai bulu-
bulu awan yang sangat lembut dan kadang berair sebelum rintik-rintiknya jatuh ke bumi.
Langit memang suka aneh. Ia sayang pada penghujan, tetapi juga kepada kemarau. Dan bulan
Mei ini langit rupanya ingin keduanya ada sehingga rasa sayangnya bisa ditumpahkan sepenuh-
penuhnya.
Bacalah cerita secara utuh dari satu halaman ke halaman berikutnya. Klik tab "Halaman 2",
"Halaman 3", dan seterusnya. Kamu juga dapat menggunakan tombol "Selanjutnya" dan
"Sebelumnya" untuk berpindah dari satu halaman ke halaman lain
Penulis menggambarkan warna bulu burung gereja dengan warna batik klasik. Warna apa saja yang
digambarkan penulis sebagai warna batik klasik?
Kamu dapat memilih lebih dari satu jawaban.
Cokelat.
Hitam.
Biru.
Abu-abu.
Hijau.
2 dari 18
Apa yang membuat burung gereja dan burung emprit berbeda dari burung parkit?
3 dari 18
Perkotaan
Tuliskanlah bukti kalimat yang terdapat pada cerita tersebut yang dapat menguatkan jawabanmu!
4 dari 18
Manakah pernyataan yang menceritakan ciri-ciri wader kalen? Kamu dapat memilih lebih dari satu
jawaban.
Bertubuh kecil
Hidup berkelompok
Bisa dikonsumsi
5 dari 18
Apa yang membuat kakak kakeknya Soekram dan kakeknya Soekram berselisih paham?
6 dari 18
Denah berikut yang sesuai dengan arahan kakak kakeknya Soekram dalam menggali sumur adalah
….
7 dari 18
Sifat berikut yang sesuai dengan karakter kakeknya Soekram pada cerita tersebut adalah ….
lapang dada
teguh pendirian
tinggi hati
besar kepala
panjang tangan
8 dari 18
Setujukah kamu dengan sikap kakeknya Soekram dalam menanggapi saran kakaknya perihal
membuat sumur? Mengapa?
Setuju
Tidak Setuju.
Alasan :
9 dari 18
Ia sering berharap seluruh hidupnya terdiri atas rangkaian adegan seperti itu, rangkaian panjang
kebahagiaan yang tak ada habisnya.
11 dari 18
Penulis menggambarkan pancaroba sebagai suatu masa di mana kemarau masih ingin bercengkerama
dengan penghujan.
Sebutkan tiga ciri pancaroba!
12 dari 18
Bagaimanakah karakter Minuk pada cerita tersebut? Tuliskan kalimat atau bagian cerita yang
menunjukkan hal tersebut!
13 dari 18
Menurutmu, apakah penulis memandang pancaroba sebagai sesuatu yang positif atau sebaliknya?
Mengapa?
14 dari 18
Dan
Mengapa penulis harus menyampaikan hal tersebut berulang dalam paragraf yang sama?
15 dari 18
Berikanlah nomor 1, 2, 3, 4 dan 5 pada aktivitas berikut sesuai urutan aktivitas yang dilakukan
Soekram pada cerita tersebut!
Minum
Sarapan.
Olah Raga
Mencuci mobil
Membasuh tangan
16 dari 18
Menurutmu, mengapa Minuk berpikir jika Soekram membeli pakaian lagi masalah jemuran bau apak
dapat terselesaikan?
17 dari 18
Menurutmu, mengapa penulis menggunakan kata-kata “mobil”, “mesin cuci”, dan “pembantu” saat
menggambarkan keluarga Soekram?
18 dari 18