Anda di halaman 1dari 56

Dalam Kabut, Aku

* Yetti A KA DULU, ketika aku masih anak-anak, kupikir kabut itu berupa ruang-ruang berlapis putih dan amat lembut, begitu mudah ditembus, disobek, atau digunting dari sudut ke sudut hingga seseorang bisa masuk dan keluar sesuka hati. Kapan saja. Semaunya. Dan aku membayangkan dapat main petak umpet bersama teman-teman di dalamnya. Bersuka-tawa, habiskan hari. *** Tentu pula, aku sudah melihat kabut dengan sudut pandang berbeda pada usia empat puluh tahun, ketika bintik-bintik hitam di kulit wajah dan kerut-kerut mulai muncul di sekitar kulit mata, tanda-tanda penuaan yang menyerang cepat pada kulit semua petani yang sejak pagi tenggelam dalam kabut, tengah hari diterpa matahari, sore hari disiram hujan tiba-tiba. Ya. Di mataku yang seorang petani dan ibu tiga anak, kabut memiliki dinding-dinding teramat keras dan pagar yang sangat tinggi. Sekali kita memutuskan ke sana maka itu bukan untuk bermain-main, tapi harus merupakan tempat dan pilihan akhir tanpa bisa ditawar setelahnya atau diundur ke belakang seolah-olah semua itu sebuah kesalahan yang seharusnya tidak pernah terjadi, sehingga semua dapat kembali seperti semula, mirip dunia sulap. Untuk itu, seseorang yang sudah masuk dalam kabut harus belajar menerima. Di sanalah ia akan membangun hidup baru, mimpi-mimpi baru, kekuatan baru, rumah baru. Lama-kelamaan, siapa saja yang di masa kecilnya mengira kabut

sesuatu yang indah dan lembut, akan mempunyai pendapat baru dan dapat memahami keadaan itu sebagai suatu kenyataan yang mesti dijalani dengan tulus, tanpa keluh-kesah, apalagi putus asa. Maka setiap pagi kami sudah berada dalam kabut. Tubuh kami tenggelam dalam lautan putih pekat dan tampak lembut, menyedot kami seutuhnya, jiwa dan raga. Dalam kabut, kami bertemu tanah-tanah hitam yang gembur, subur dan lembap. Rumput-rumput hijau berbau segar tumbuh di antara batang-batang bawang, kol, cabai, kacang buncis, labu siam, wortel-yang semua daun-daunnya basah oleh embun. Berhadapan dengan semua itu, wajah kami bersinarsinar bagai matahari pagi yang jatuh di daun keladi yang lebar. Senyum kami mengembang bagai kol yang paling gemuk. Dada kami berdenyut gembira. Terlebih pada hari menjelang pekan, saat keesokannya kami akan turun dari rumah pukul dua dini hari, menumpang mobil angkutan yang datang seminggu sekali, menuju pekan dengan berkarung-karung hasil panen dari ladang. Kami menembus kabut lebih tebal, yang dinginnya sampai merobek baju hangat dari benang wol. Di pekan kami akan bertemu dengan para tauke, dan melepas karung-karung sayuran, cabai, ubi-ubian (pagi-pagi sekali karung-karung itu akan diberangkatkan lagi ke kota-kota). Begitulah kami sepanjang hidup. Begitulah aku.... *** Pagi ini, aku berangkat menuju kabut. Aku akan larut berjam-jam, sepanjang hari, seperti biasanya. Ada rumput-rumput yang harus disiangi, ada cabai yang mesti dipetik, sebab besok hari pekan, dan semoga

harga cukup bagus. Labu siam dan wortel juga sudah masa panen, tapi itu akan dikerjakan suamiku yang nanti menyusul setelah menghabiskan segelas kopi dan ngobrol bermacammacam gosip di kedai ujung kampung bersama lelaki-lelaki pemalas yang tiap hari lebih suka duduk-duduk seolah-olah itu saja yang bisa mereka lakukan. Ada sekelompok lelaki di kampungku yang tidak suka bergelut dalam kabut, entah apa alasannya. Kukira hanya karena tidak ingin saja, dan tidak malu menumpangkan hidup pada istri-istri yang tubuhnya kurus, wajah cekung, dan bau tanah menguap dari baju dan rambutnya yang tersanggul acak-acakan, sementara lelaki-lelaki itu bersantai-santai di kedai tanpa kenal waktu, mengenakan baju paling bagus dan wangi, rambut terpotong rapi diberi minyak rambut. Aku tidak perlu terlalu memikirkan lelaki-lelaki semacam itu. Perempuan-perempuan di kampung juga tidak begitu peduli. Tanpa mereka, hidup akan terus bergulir, tanpa berhenti sedetik saja. Sebagaimana aku juga tidak pernah memprotes kebiasaan suamiku minum kopi di kedai, berlamalama, sebelum menyusul ke ladang. Sekali saja aku belum pernah berdebat dengannya--selain sekadar mengingatkan agar dia jangan lewat dari tengah hari menyusul ke ladang--sebab aku tahu ia punya jawaban yang berbelit-belit dan panjang, dan aku pasti kehilangan banyak waktu dibuatnya. Aku lebih suka berada dalam kabut secepatnya, sebelum butir-butir air di dedaunan jatuh ke tanah seluruhnya.

Butir-butir air di atas daun. Butir-butir air... Aku sering melewatkan waktu beberapa menit untuk melihat butir-butir air itu, menyerapnya hingga menyentuh dinding-dinding hati, kadang mengajaknya bicara. Bisa-bisa aku terpana beberapa lama, seakan menemukan diriku dalam butiran air itu, dan itu amat menghibur. Menumbuhkan semangat sekaligus mengharukan. Dua hal yang sama sekali tidak kumengerti dari mana datangnya dan apa maksudnya. Sama juga saat seseorang berada dalam kabut yang mendadak bagai ada di dunia lain. Sesuatu yang juga tidak terpahami oleh hampir semua petani di kaki gunung, namun mereka dapat merasakan getaran yang tidak biasa. Tidak terjelaskan. Dan kami telah bertahun-tahun berumah di sana. Setiap pagi kami telah berada dalam kabut, kadang bagai hilang, terasing dari dunia lain, terpisah sangat jauh. Jika pun kami masih mendengar suara-suara di sebalik kabut, suara itu kami terima sebagai sesuatu yang tidak kami kenal dan aneh. Kami memilih tidak acuh dan terus bekerja, membayangkan anak-anak yang minta dibelikan baju sekolah baru pengganti seragam yang mulai kusam warnanya, dapur yang harus terus mengepul setiap pagi dan sore, juga lauk yang barangkali harus dinikmati sesekali sebagai pendamping sayur-sayuran yang kami petik di ladang sendiri. Lalu, tidak terasa hari sudah sore, kabut memang telah hilang dari pandangan sejak tengah hari, tapi setiap orang yang terbiasa dalam kabut tetap saja merasa kalau mereka masih dalam lingkaran putih halus dan tampak lembut itu, ada atau tanpa kabut sekalipun.

Begitulah kami dari waktu ke waktu. Begitulah aku.... *** Pertama kali aku mengenal dunia dalam kabut dari ibuku, dan tentu ibu dari nenekku, nenek dari nenek buyutku, begitu seterusnya, seperti juga dongeng-dongeng terus hidup dalam keluarga kami dari generasi ke generasi. Biasanya seorang ibu mulai mengenalkan dunia kabut pada anak-anaknya, ketika si anak berusia sepuluh tahun (ini tentu saja yang hanya sekolah sampai SD). Si anak akan dibawa ke dalam dunia kabut untuk melihat-lihat saja atau bantu-bantu sedikit mencabuti rumput dan memetik kacang buncis. Anak yang sudah pernah dibawa dalam dunia kabut akan minta diajak lagi pada hari-hari selanjutnya. Mereka menganggap kabut sebagai taman bermain yang indah, hingga tanpa terasa ia sudah di sana sekian lama dan tidak keluar lagi. Sedangkan anak-anak yang sekolah lebih tinggi, meski ada yang menetap di kota, jadi pegawai pemerintah atau kerja di perusahaan swasta, ada juga yang memilih kembali dalam kabut. Pada mulanya mereka memang enggan berurusan dengan kabut. Mereka ingin putus dengan segala sesuatu dari masa lalu seorang ibu atau neneknya, dengan tanah dan kehijauan yang terhampar dalam dunia kabut, dengan orang-orang berambut kering dari kaki gunung berhawa dingin. Namun setelah menikah, banyak juga di antara mereka meneruskan tradisi keluarga, menjadi petani, layaknya orang-orang di kampung kami. Jika awalnya mereka masih kelihatan setengah hati,

karena seharusnya mereka punya kesempatan untuk tidak masuk dalam kabut, lama-lama perasaan mereka yang sedikit terluka itu, sembuh sendiri, malah tanpa bekas. Tiba-tiba mereka sudah bisa tertawa bersama orang lain, mulai terlibat dan mengikuti perkembangan harga-harga sayur-sayuran yang naik-turun ketika hari pekan. Tapi itu dulu, puluhan tahun lalu. Ketika tanah di kaki gunung terhampar luas, hijau, dan masih dapat menjawab mimpi semua orang. Belakangan ini, hampir semua petani mulai menyadari tanah itu tidak mungkin sanggup lagi menampung anak-cucu mereka yang berkembang berlipat-lipat. Setiap tahun ada saja kelahiran di rumah-rumah papan. Anak-anak cepat sekali tumbuh dan butuh tempat. Tidak ada pilihan lain kecuali anak-anak itu harus keluar dari kampung berkabut, merantau, dan membunuh ingatan tentang tanah. Tanah hanya masa lalu milik orang-orang tua. Anakanak dilarang mencintai tanah. Para orang tua tidak lagi membayangkan anak-anak mereka jadi petani, menjadi orang-orang dalam kabut. Para ibu akan membujuk anaknya untuk melupakan tentang kabut, dan berkata: ''Seorang petani hanya punya kehidupan dalam kabut, Anakku. Sama sekali tidak ada kehidupan lain. Bayangkan betapa sepinya seorang petani. Kau tidak ingin begitu kan? Kau harus berada di tempat lain, tempat penuh cahaya lembut dan udara yang tidak terlalu dingin, kaku. Kau akan bertemu dengan banyak orang, keramaian, dan keceriaan.

Anak-anak itu cepat-cepat mengangguk, meski mata mereka penuh pertanyaan, tentang sesuatu yang tampak serbamendesak, tentang wajah kurus bapak dan ibu mereka yang mendung. Beramairamailah mereka bersiap meninggalkan tanah, menjauhi kabut. Mereka hanya boleh memikirkan sekolah, dan menjaga cita-cita sebaik mungkin. Mereka mulai membayangkan jadi guru atau dokter. Bapak dan ibu mereka cuma berpesan agar anak-anak belajar baik-baik. Jangan main-main di sekolah. Dan kalau bisa harus jadi juara, seorang pemenang. Anak-anak dengan mata berbinar meneriakkan cita-citanya di jalan-jalan, menuliskannya di dinding-dinding, dan batangbatang pohon. Tidak satu pun anak-anak itu ingin menoleh ke belakang, menjenguk ladang-ladang dalam kabut, dan mengikuti perkembangan harga sayur-sayuran yang kadang bikin petani gigit jari. Begitulah kisah anak-anak dari berkabut. Begitulah anak-anakku.... *** Anak-anakku yang berkulit cokelat, berambut kering, dan memiliki kaki-kaki panjang (ini tentu diturunkan dari suamiku yang jangkung) beberapa tahun lalu satu per satu telah meninggalkan kampung untuk melanjutkan sekolah tinggi di kota. Mereka hanya pulang pada liburan semester, kadang cuma satu minggu. Aku sangat bangga setiap kali membayangkan mereka pulang dengan senyum terukir di sudut bibir, mendengarkan pikiran-pikiran mereka yang tajam, dan menyaksikan semangat yang senantiasa hidup di wajah mereka yang mulai keras dan kokoh. Ah, kampung

betapa anak-anak hampir saja memiliki sayap yang lengkap, siap mengepak, menuju ketinggian paling jauh, di atas awan-awan. Alangkah indah mimpimimpi itu. Anak-anak meninggalkan dinding-dinding kabut yang keras. Menutup sejarah sebagai petani yang akhir-akhir ini hampir-hampir menjadi keinginan semua orang tua yang tentu saja, sesungguhnya, bukan semata-mata karena tanah yang semakin tidak cukup, tapi hidup petani yang memang makin berat, makin tidak memberi harapan. Anak-anak lebih baik kerja apa saja di kota, daripada kembali pada tanah dalam kabut yang telah menjadi petak-petak kecil saja. Begitulah cerita tentang tanah-tanah ditinggalkan. Begitulah aku kemudian.... *** Dulu--ketika aku berusia empat puluh tahun-kupikir, kabut itu memiliki dinding-dinding keras dan pagar tinggi hingga orang begitu sulit keluar jika sudah memilih masuk. Sekarang tentu saja, aku memandang kabut dengan cara yang berbeda lagi. Usiaku sudah tujuh puluh tahun. Bagiku yang tua, renta, dan kesepian dalam kota ramai, kabut merupakan kenangan yang seharusnya selalu kujaga, dan kelak aku berharap kembali ke sana, selamanya. Hanya itu. Sederhana dan tanpa definisi yang lain Ya. Betapa ingin aku kembali ke masa lalu itu. Hilang dalam kabut berjam-jam, bersembunyi. Maka setiap pagi aku membuka jendela kamar lebar-lebar, berharap kabut muncul di hadapanku, dan menjawab

kerinduan yang menggantung di kedua mataku. Meski kabut tidak pernah datang, sekalipun di waktu yang masih terlalu pagi, aku tetap membuka jendela. Anak lelakiku sedikit ribut jika aku membuka jendela pagi-pagi, katanya sakit rematikku bisa kambuh dan ia tidak ingin itu terjadi lagi. Menurutku, semua anak-anakku sama saja. Mereka tidak ingin aku membangun masa lalu di kehidupan mereka. Apalagi tentang kabut. Bukankah dulu seluruh anak-anak kampung telah dipaksa untuk keluar dari kabut, melupakan dinding-dinding yang dulu kupikir keras. Anakanakku juga bagian dari kisah itu. Kini, mereka telah hidup jauh dari kampung berkabut, dan menjadi orang-orang yang mengukir sejarahnya sendiri di tempat baru. Tidak satu pun dari anakanakku yang bisa kuajak bercerita tentang kabut. Atau mereka sekadar berpura-pura tahu dan tertarik mendengar cerita itu untuk menjaga perasaan seorang ibu. Mereka selalu bilang, "Maaf, Bu, aku sungguh lupa. Bahkan aku tidak ingat warnanya." Atau mereka akan terus terang, "Bu, jangan hidupkan lagi cerita tentang kabut di rumah ini. Aku tidak senang Ibu melakukan itu." Aku tertegun. Aku ingat anak-anak yang dulu berlari-lari di perkampungan berkabut. Anak-anak yang dulu berambut kering dan kaku, rambut orang-orang di kaki gunung. Mereka bilang, semua dari masa lalu itu tidak pantas lagi mereka dengar. Aku tidak mengerti kenapa. Aku tidak akan pernah mengerti. Mungkinkah satu kesalahan besar telah

aku lakukan berpuluh-puluh tahun lalu dengan mengirim anak-anak ke kota dan berkata, "Jangan bercita-cita jadi petani, Nak. Lupakan tanah berkabut." Hanya saja, setelah aku tua, ternyata aku sudah punya pendapat berbeda yang telanjur tidak bisa lagi diterima anak-anak. Aku sendirian dalam kenangan itu. Hanya sendiri. Suamiku lima tahun lalu telah kembali pada tanah berkabut. Ia mungkin bahagia di sana, dan tengah menantiku. Kami memang tidak pernah saling mencintai selama ia hidup, tapi kini aku merasa hanya padanya aku ingin pulang. "Pulang?" Anak lelakiku bertanya tidak percaya. Aku berkata, "Ibu rindu kabut." Anakku bernapas berat, "Tidak ada siapa-siapa di kampung yang bisa mengurus Ibu. Jadi...." Aku sudah menebak jawabannya. Aku menutup pembicaraan, dan minta ditinggalkan sendirian. Begitulah kenangan kabut hadir dalam kesendirian yang terasa lebih panjang. Begitulah dalam kabut, aku.... *** Keesokannya, pada pagi yang terasa lebih dingin, aku membuka jendela sangat lebar, dan di hadapanku kabut telah begitu tebal.* Padang, 2006

Yetti A KA, bergiat di Komunitas Daun, Padang.

Jangan Menulis Nama di Pepohonan


* Dwicipta ORANG-ORANG gila menggoreskan namanya sendiri di kulit-kulit pepohonan atau di dindingdinding tembok. Hal itu dipercayai orang akan membuat mereka sembuh dan kembali normal. Orang-orang di kota kami membicarakan mitos itu sebagai sebuah harapan atau lelucon ketika tidak ada sesuatu bahan pun yang bisa dijadikan obrolan menarik. Maklum saja, selepas bumi diguncang dan rumah serta bangunan dirobohkan oleh murka alam, dalam sekejap saja semua orang menjadi miskin. Banyak di antara mereka tak memiliki sedikit pun harta benda, melata di jalanjalan menjadi pengemis dengan nista di raut muka. Mereka yang tak kuat menahan beban hidup menjerumuskan diri ke dalam sumur di belakang rumahnya dan menemui kematian secara mengenaskan, atau berubah jadi gila baik di sengaja ataupun tidak disengaja. Bukankah akan lebih baik membuang pikiran atau akal sehat daripada tidak memangsa sedikit pun makanan? Begitulah kepercayaan yang menyebar begitu saja setahun setelah bencana terjadi. Lelaki dan perempuan, baik anak-anak maupun orang tua, dengan pikiran tak waras banyak yang berkeliaran di jalanan dengan berbagai macam keanehan mereka masing-masing. Menggores nama sendiri di pepohonan dan dinding tembok adalah perilaku umum yang mereka lakukan. Orang-orang di kota kami sering mempermainkan mereka. Seorang lelaki setengah baya bernama Wardi, misalnya, harus berulang-ulang kali

menuliskan namanya di dinding tembok luar kota karena orang-orang yang mengerjainya akan membaca tulisan namanya dengan nama lain. Entah dari mana ia mendapatkan arang atau dedaunan pohon untuk menggoreskan namanya. Insting seolah telah menuntunnya mencari bahan-bahan yang bisa membekaskan sesuatu di dinding tembok atau pepohonan. Tapi setiap kali selesai ditulis dan kemudian dibacanya, ia merasa tak puas, apalagi bila orang yang membacanya akan bersuara lain seperti dirinya. "Oh, jadi namamu Margono?" ledek orang-orang yang mengerjainya. Matanya berputar-putar jenaka dan kepalanya akan menggeleng-geleng tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Kemudian dia menuliskan kembali namanya dan membaca keras-keras. Orang-orang semakin senang mengerjainya. Ia menjadi hiburan tersendiri dari mereka yang masih waras dan berkutat dengan hidup yang semakin pelik di kota kami. Pernah kami dengar pendapat seorang psikolog dari Jakarta yang didatangkan di kota kami untuk meneliti perihal orang gila yang suka menuliskan namanya itu bahwa kegilaan tersebut disebabkan karena trauma besar yang menimpa mereka. "Tapi kenapa pelampiasannya dengan menuliskan nama mereka di tembok atau kulit-kulit pohon?" tanya orang-orang. "Karena hanya dengan itulah mereka menemukan ungkapan akan kesedihan dan duka cita yang mereka alami."

"Tidakkah itu disebabkan oleh guncangan keras yang sama di kepala mereka?" "Barangkali, dan guncangan itu menciptakan efek yang sama pada keseimbangan jiwa mereka, sehingga perilaku mereka hampir sama juga. Ada sesuatu rahasia dibalik bencana ini yang membuat orang-orang gila itu melakukan perbuatan seragam," kata psikolog yang tak kami ketahui namanya itu menjelaskan pada kami. Tentu saja kami tak paham dengan penjelasannya yang berputar-putar itu. Namun, kami percaya ia berusaha mengungkapkan misteri besar dalam kota kami yang tak kunjung hilang setahun setelah rumah-rumah kami runtuh dan belum juga pemerintah membantu mendirikan rumah. *** Di antara mereka, terdapat beberapa orang gila yang perilakunya berbeda dengan sebagian besar orang gila di kota kami. Sukamiskin, seorang lelaki tua yang selamat dan kehilangan sebelah kakinya karena tertindih tembok rumah, tiba-tiba berlaku seperti seorang ulama besar dan kondang. Setiap hari, ia mendalilkan khotbah-khotbah agama, azab besar yang akan ditimpakan Tuhan pada manusia yang telah berlaku laknat dan menyalahi zamannya. Dengan topi haji putih kumal dan berwarna hampir kehitaman, ia berdiri di depan puing-puing rumahnya, terus meluncurkan katakata religius. Di sela-sela khotbahnya, ia sering menangis tersedu-sedu atau tiba-tiba saja meminta disediakan air karena tenggorokannya kering. Oleh anak-anak di kota kami ia sering diberi air dari got

yang berwarna keruh. Dan ketika ia meminumnya, anak-anak bersorak senang. Mereka tertawa terpingkal-pingkal membuat Sukamiskin tertegun sesaat. "Inilah azab Tuhan yang paling besar untuk kita. Bahkan air yang kita minum ini pun mengandung racun. Dan kita akan meninggal bersama-sama, menghadapi kenyataan di neraka yang mengerikan. Apakah kalian tidak akan bertobat dengan keterangan paling gamblang yang sudah Tuhan tunjukkan pada kita?," katanya seperti layaknya orang-orang waras yang telah paham ilmu agama. Sebelum gila, dia adalah petugas khotbah Jumat di kampungnya. Karena kepiawaiannya dalam berolah kata-kata, ia dikenal di sekitar kampungnya dan sering mendapatkan undangan untuk memberi ceramah agama baik untuk acara-acara keagamaan maupun hajatan seperti pernikahan dan khitanan. Pembawaannya bila berkhotbah selalu serius dan berapi-api, memancarkan betapa mulianya keyakinan agama yang ia pegang. Namun sayang, ketika ujian atas keyakinannya itu sedang ditimpakan, ia oleng dan tak bisa menerima kenyataan pahit. Seluruh keluarganya yang saat itu tinggal di dalam rumah meninggal terkena reruntuhan bangunan, termasuk kedua cucunya yang sedang berlibur dan menginap di rumahnya. Memang masih ada dua anak lelakinya dan istri mereka yang selamat, meskipun mengalami luka-luka dan rumah mereka sama hancur. Namun kepedihan hati tak dapat dihilangkannya, dan ia menanggung kesalahan karena tak mampu menyelamatkan mereka dari bencana.

Lain Sukamiskin, lain pula Zarkawi. Ia seorang lelaki berperawakan tinggi besar dan menyiratkan kekuatan besar dalam raganya. Namun sayang, tampilan luar itu tak dibarengi dengan kekuatan jiwa. Karena ditinggal perempuan yang akan dinikahinya, ia kehilangan akal sehatnya. Berkalikali ia berusaha membunuh diri dengan menceburkan tubuhnya yang besar ke dalam sumur. Beruntung beberapa orang berhasil mencegahnya. Sekali ia berhasil tercebur ke dalam sumur, namun beruntung nyawanya bisa diselamatkan. Benturan keras di kepala pada salah satu dinding sumur membuat pikirannya tak waras. Pada siang hari, ia termenung di halaman rumahnya yang kini terbuat dari bambu. Pada saatnya sarapan pagi dan makan siang, orang tuanya memberikan sepiring nasi dan lauk di depannya, lengkap dengan segelas air putih. Ia makan dengan sinar mata menerawang. Tak terlihat sedikit pun pancaran sedih atau gembira dalam dirinya. Seperti robot, ia mengunyah makanan dan menenggak minuman yang terhidang di depannya secara mekanis. Suara sendawanya yang keras selesai makan sering ditunggu oleh anak-anak sepulang sekolah siang. Tapi pada malam hari, kegilaannya kelihatan. Ia suka berkeliling kampungnya dan bertanya pada setiap orang yang ditemuinya di jalan apakah mereka melihat Maemunah, almarhum calon istrinya. Satu dua pemuda dan orang tua yang nakal menunjukkan kuburan Maemunah. Ia pergi sesuai petunjuk orang itu, dan bersimpuh di kuburan itu, bercakap-cakap dengan nisan tegak sampai tengah malam atau dini hari.

*** Tak ada yang lebih menarik perihal orang-orang gila di kota kami selain Halimah. Perempuan itu belum berusia tiga puluh tahun. Parasnya masih kelihatan cantik, terutama karena ketebalan alisnya yang berbentuk seperti golok dan bola matanya yang amat jernih. Dulu ia adalah kembang desa, namun karena kekenesannya, ia keburu hamil dan menikah sebelum menyelesaikan kuliahnya. Desas-desus yang beredar di seluruh kampung, ia seorang istri yang tak begitu setia pada suaminya. Itulah sebabnya meskipun telah berkeluarga, ia sering dimusuhi oleh perempuanperempuan di kampungnya. Tak jarang mereka datang ke rumah Halimah dan mendamprat kegenitannya. Ketika bencana terjadi, suami dan kedua anaknya meninggal dalam satu pelukan di atas ambin. Ia yang berada di dalam dapur berhasil menghambur keluar dan memeluk sebuah pohon mangga di belakang rumah. Rumah orang tuanya yang berdampingan dengan rumahnya juga ambruk, menindih tubuh mereka. Ia masih bisa menanggung beban itu. Seperti kebanyakan orang, ditinggalkan sanak keluarga dan orang-orang yang dicintainya tak harus membuat dia kehilangan harapan hidup. Ia pasrah dan hanya bisa berharap peristiwa itu segera berlalu dari dirinya, tak menjadi momok yang menghantuinya selamanya. Namun harapannya tak seperti kenyataan. Karena kecantikan dan kemolekan tubuhnya, ia menjadi sumber kebencian tetangganya yang bersama-sama dengannya tinggal di tenda-tenda pengungsian. Sampai satu minggu setelah bencana, tak terjadi apaapa. Tapi setelah hari itu, seperti lalat-lalat yang

makin banyak dan merubung orang-orang di tenda pengungsian, begitu pula desas-desus tentang dirinya terus berputaran di seluruh kampung. Ibuibu pengungsi memandangnya agak lain, dengan senyum masam yang menjengkelkannya. Orangorang bercakap dengan suara lirih bahwa tubuhnya telah digilir oleh beberapa laki-laki yang kehilangan istrinya dan tak tahan memenuhi kebutuhan biologisnya. Diam-diam, di tenda pengungsian yang ia tempati, mereka semua bersepakat untuk mengucilkannya. Seiring berjalannya waktu, tak ada percakapan sedikit pun antara dirinya dengan ibu-ibu pengungsi. Ia masih bisa menerima keadaan itu. Begitu pula ketika satu persatu mulai menyindir dirinya secara halus maupun kasar, ia mencoba bertahan. Tapi tak puas dengan tindakan sindiran, mereka kemudian mulai berani membuat perkara dengannya. Ia bertahan dengan semua tuduhan-tuduhan itu. Sampai pada suatu malam ia ditemukan oleh beberapa peronda yang menjaga keamanan kampung yang masih gelap gulita tanpa penerangan itu tanpa sehelai benang pun. Ia tak sadarkan diri. Beberapa orang membawa ke tenda pengungsian. Orang-orang geger, dan desas-desus dirinya diperkosa ditanggapi secara beragam. Ketika ia sadar, ucapannya tak pernah lagi bersambungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan beberapa orang. Ia tak pernah menyebutkan siapa yang telah berlaku kejam memerkosanya. Seperti kebanyakan orang gila di kota kami, ia suka menuliskan namanya di kulit-kulit pohon dengan benda tajam atau menggoreskan arang ke

dinding tembok. Tapi bukan hanya namanya saja yang dituliskan di dinding tembok. Ia juga menuliskan nama orang lain. Orang-orang di kota kami menduga nama-nama lain yang dituliskan itu adalah orangorang yang memerkosanya. Tapi siapa yang mempercayai orang gila? Sekalipun percekcokan dalam rumah tangga para pengungsi terjadi, mereka tak pernah punya bukti kuat kalau suami-suami para perempuan di tenda pengungsian itu telah mencicipi tubuh Halimah. Yang meringankan para laki-laki di tenda pengungsian itu adalah karena jumlah nama-nama yang dituliskan Halimah kini telah melampaui seratus buah. Bagaimana mungkin seorang perempuan bisa tidur dengan lebih dari seratus orang kecuali dia pelacur? Hanya para perempuan yang terlalu pencemburu yang meyakini perkiraan itu. Setahun setelah Halimah gila, orang-orang di kota kami dibuat gempar. Ia tidak sekedar menuliskan nama dirinya dan nama laki-laki di dinding tembok atau kulit pohon. Ia juga mulai meracau tak karuan. "Mereka telah tidur denganku. Mereka telah memerkosaku. Mereka membuatku menjadi binal," katanya berulang-ulang. Sontak kegemparan baru terjadi. Mereka yang mendengarkan racauan perempuan itu mengira-ira apakah seluruh nama lakilaki yang dituliskan Halimah itu benar-benar telah menidurinya. Orang-orang berusaha mengenali tulisan Halimah dan mencari goresan-goresannya, untuk mengetahui siapa saja yang telah berlaku kejam sampai perempuan itu gila.

Tapi setelah isu itu berhembus makin kencang dan banyak orang mencari-cari tulisan Halimah, pada suatu pagi, semua tembok di sekitar kampung dan kulit pohon tiba-tiba saja telah bersih. Bukan itu saja, di beberapa tempat dipasang pengumuman cukup besar. "Jangan mencoret-coret tembok atau dinding bangunan." Orang-orang di kota kami tak tahu siapa yang melakukan aksi pembersihan diam-diam itu. Dan tak lama setelah pengumuman itu dipasang, pemerintah daerah di kota kami mulai melakukan aksi pembersihan terhadap orang-orang gila yang suka berkeluyuran di tepi jalan. Oleh pemerintah daerah, keluarga orang gila itu dihimbau supaya memelihara mereka di rumahnya sendiri. Jika tetap membiarkan keluarganya yang gila itu di jalanan, mereka akan dikenai denda. Halimah, perempuan gila yang telah menyebarkan desas-desus heboh itu diikat di sebuah pohon di bekas rumahnya. Beberapa tetangga yang iba hati memberinya makan dan minum. Selebihnya hanya menggumam, "kasihan." Astacala, Juni 2006

Seorang Laki-Laki dan Boneka


* Ragdi F Daye

gumpalan-gumpalan angan yang membuat dadanya sesak sendiri sampai seorang perempuan boneka menegurnya dengan suara tiris, bertanya dengan tidak yakin, "Cari apa, Bang? Masuklah. Mencari sepotong blus untuk pacarnya, mungkin?" Dia pun dengan gugup segera memalingkan pandang lalu melata di jalanan yang telah ramai ditumpahi laki-laki dan perempuan-perempuan boneka. Tersaruk-saruk langkahnya hingga dia sampai di depan sebuah pintu yang bertempel gambar seorang atau sebuah boneka perempuan. Dia akan mengetuk daun papan itu berulang kali hingga seorang atau sebuah boneka mengintip dari celah yang menganga, tersenyum, dan menyapanya dengan lincah. "Selamat datang, Sayang." **** Rumahnya telah terbakar sehingga dia tak bisa pulang. Sebelum rumah dan keluarganya sempurna menjadi abu, dia masih bisa mengingat beberapa potong kenangan. Ibu dan empat orang kakak perempuannya semuanya jelek. Itu sebut bapaknya selalu. Mereka tak ada apa-apanya. Rambut mereka jelek, telinga mereka jelek, pipi mereka jelek, alis mereka jelek, mata mereka jelek, hidung mereka jelek, bibir mereka jelek, gigi mereka jelek, dagu mereka jelek, leher mereka jelek, pundak mereka jelek, susu mereka jelek, tangan mereka jelek, pinggang mereka jelek, perut mereka jelek, pinggul mereka jelek, kemaluan mereka jelek, paha mereka jelek, betis mereka jelek, kaki mereka jelek, suara mereka jelek, bau mereka jelek, pikiran mereka

DIA ingin pulang, tapi tak tahu harus pulang ke mana. Rumahnya telah terbakar beserta keluarganya. Kenangan tinggallah abu. Maka, setiap kali meninggalkan tempat kerja, ia akan menghabiskan sisa sore dengan berjalan menelusuri koridor pertokoan untuk melihat-lihat pajangan di etalase. Matanya yang berjarak pandang pendek akan tertumbuk pada bonekaboneka perempuan yang dipasangi pakaian bagus di ruang butik. Alangkah cantiknya mereka itu. Berkulit halus, berwajah mulus dengan dada penuh. Ia akan menatap dari sebuah titik dengan berlama-lama sampai seorang perempuan boneka menegurnya dengan suara yang tiris, bertanya dengan tidak yakin, "Cari apa, Bang? Masuklah. Mencari sepotong blus untuk pacarnya, mungkin?" Dia pun dengan gugup segera memalingkan pandang lalu meneruskan langkah menelusuri koridor pertokoan yang panjang tak berkesudahan. Dia akan menemukan toko atau butik lain yang di ruang pajangnya berjejer boneka-boneka perempuan cantik dengan pose menarik sedang memamerkan pakaian yang menempel di tubuh mereka. Matanya yang berjarak pandang pendek akan hinggap di kulit halus, wajah mulus, dan dada penuh. Dia akan menghirup napas berisi

jelek, semua mereka jelek. Entah kenapa bapaknya berkata seperti itu. Di matanya, ibu dan kakak-kakak perempuannya tidak berbeda dengan perempuan kampung yang lain. Mereka selalu rajin mengurus rumah, giat bekerja di sawah dan di ladang, rutin mandi dan mencuci ke tepian, ke pasar sekali sepekan, pintar memasak, bicara lunak-lunak, melayani bapaknya dengan baik-baik meski merekalah yang mempunyai kuasa atas tanah, harta, dan rumah. Bapaknya selalu marah-marah setiap saat pada mereka berlima. Mencaci-maki tanpa henti. "Babi! Babi!" Begitu serunya. Dia tak mengerti di mana letak kemiripan perempuan-perempuan itu dengan babi, tapi setiap kali bertanya, bapaknya dengan lantang akan berkata padanya, "Kau laki-laki, lebih tinggi dari perempuan. Mereka hanya babi." Dia tak benar-benar mengerti maksud perkataan itu, namun dicobanya juga meresapi sebab bapaknya selalu bersikap baik dan hangat padanya. Setiap kali di televisi atau koran atau majalah ada gambar babi, akan diperhatikannya dengan saksama. Dia memang tak menemukan sedikit pun kesamaan antara bagian-bagian tubuh binatang itu dengan ibu dan empat orang kakak perempuannya, dia hanya mendapat kesan jijik dan hina. Pelan-pelan dia menelan petuah bapaknya bahwa perempuan-perempuan itu hanya babi. Dia lebih tinggi dari mereka sebab bapaknya tak pernah mengatakan bahwa dia babi. Di hari libur, bapaknya akan mengajaknya pergi berburu babi dengan teman-temannya ke hutan di

bukit pinggir perkampungan. Mereka akan berangkat pagi-pagi bersama anjing-anjing mereka yang gagah dan wangi--anjing-anjing itu selalu dimandikan dengan sabun dan sampo yang diiklankan oleh perempuan cantik dan diberi makanan baik. Dengan sukacita, dia kadang menggendong anjing-anjing bapaknya, apalagi si loreng yang patuh dan bersalak nyaring. "Apakah kita sama dengan anjing?" Tanyanya suatu waktu setelah anjing-anjing mereka yang pemberani berhasil merebahkan seekor babi gemuk. Bapaknya menyeringai memperlihatkan sepasang taring yang kentara. "Ya! Ya! Bolehlah begitu. Anjing; pemburu dan penakluk babi. Kenapa tidak. Nanti kau akan kuajari menundukkan babi-babi itu!" Dalam rentang perkembangannya, dia pun menjadi yakin bahwa dia dan bapaknya adalah anjing dan ibu beserta empat kakak perempuannya adalah babi. Anjing dan babi. Anjing yang mengalahkan babi. Dia pun bersikap seperti bapaknya bersikap kepada ibu dan keempat kakak perempuannya. Dengan pintar dia mempelajari cara bapaknya bicara, memandang, makan, meludah, merokok, memerintah, menyapa, marah, kencing, tidur, berjalan, sampai dia dapat menirukan gaya salak, lolong, dengus, sampai gonggong dari mulut bapaknya. Dia mempraktikkannya sehingga ibu dan kakakkakak perempuannya menjadi kecut padanya seperti babi yang takut dikejar anjing di semak-

semak. *** Boneka itu mengusap pipinya. Matanya yang indah sesekali berkedip. "Tidurlah, Sayang. Bermimpilah yang indah." Katanya sambil tersenyum. Dia ikut tersenyum. Menatap wajah boneka itu dengan rasa terima kasih bertambah-tambah. Sinar lampu kamar itu lunak menenteramkan. Boneka itu pandai sekali menciptakan suasana yang nyaman. "Kau pun tidurlah. Hari sudah malam." Diangkatnya kepala untuk mendaratkan sebuah kecupan kecil di dahi boneka itu. Boneka itu memicingkan mata dengan bibir tetap tersenyum. Mereka merasa bahagia dengan malam yang sederhana. Dia menatap langit-langit. Menghirup udara kamar yang beraroma sintetik. Direkanya gambar-gambar pada bidang-bidang pudar langit-langit. Wajahwajah. Sketsa-sketsa. Detail-detail. Rupa-rupa itu tersapu oleh warna abu lalu nyala api. Dia menarik napas. Menoleh sekilas pada boneka di sebelahnya yang tertidur dengan bunyi dengkur terteguntegun. Kulitnya tak halus, wajahnya tak mulus, dan dadanya tak penuh. Dialihkannya pandangan ke tubuhnya sendiri. Pernah dia membayangkan dirinya bersosok anjing dengan suara salak yang tampan. Dia akan berburu ke padang-padang dan lembah-lembah berbabi banyak dan memangsa mereka. Atau dia

akan berjalan-jalan saja dengan memperlihatkan kerupawanannya mengagumkan. Dia telah melakukan. Tetapi dia rindu rumah. Rindu pulang. Tetapi ke mana?

jantan yang

Rumah telah terbakar bersama bapak anjing serta ibu dan kakak-kakak perempuan babinya. *** Setiap kali meninggalkan tempat kerja, dia akan menghabiskan sisa sore di sepanjang koridor pertokoan yang tak berkesudahan. Melihat-lihat orang yang berlalu lalang. Melihat-lihat pajangan. Melihat-lihat boneka-boneka perempuan yang tertegak menawan dengan pakaian bagus membalut kulit halus, wajah mulus, dan dada penuh. Dia akan memandang mesra dari sebuah titik mengajak boneka-boneka perempuan itu bercakap-cakap tentang harapan dan anganangan. "Aku ingin perempuan yang setia, yang selalu melayaniku dengan hangat. Kaukah itu?" Bisiknya setengah merayu. Boneka perempuan berbaju tipis itu menggelinjang kecil. "Ya, itulah aku. Aku akan selalu setia dan melayanimu dengan hangat." "Aku ingin perempuan yang selalu menyambutku

dengan senyuman dan segelas air dingin setiap aku pulang kerja dalam kelelahan." "Ya, benar, itulah aku. Aku akan selalu menyambutmu dengan senyuman dan segelas air dingin setiap kau pulang kerja dalam kelelahan." "Aku ingin perempuan yang dapat membahagiakan hasratku." "Tentu, itulah aku. Aku akan membahagiakan hasratmu. Tak salah lagi. Kau yang utama bagiku." "Aku ingin perempuan yang tidak terlalu tolol untuk teman bicara dan bertukar pikiran tetapi tak terlampau cerdas membuatku jadi keledai dungu dengan perdebatannya." "Aiih, itulah aku. Aku tak terlalu tolol untuk teman bicara dan bertukar pikiran tetapi tak terlampau cerdas membuatmu jadi keledai dungu. Aku tak akan mendebatmu, membuatmu jadi kalah, cukuplah orang-orang di luar sana yang menyerangmu habis-habisan." Boneka perempuan itu memandangnya mesra. Dia menarik napas. Orang-orang berlalu-lalang. Laki-laki dan perempuan-perempuan boneka. Sebelumnya dia selalu memerhatikan perempuanperempuan yang ditemuinya dengan saksama. Ada yang berhidung pesek, ada yang ramping aduhai, ada yang hitam, ada yang berambut pirang, ada yang jerawatan, ada yang harum semerbak, ada yang suka tertawa lebar, ada yang berperut buncit, ada yang berbokong besar, ada yang sipit, ada yang... amat banyak dan beragam. Hidup.

Bernapas. Bersuara. Berbau. Tapi dia selalu teringat pada rumah yang terbakar itu, pada orang-orangnya: anjing dan babi. *** Sore sebentar lagi tuntas. Dia masih berdiri pada sebuah titik di depan sebuah butik. Matanya tak mau beranjak dari boneka perempuan berpakaian pengantin yang tegak di ruang pajang dengan begitu elok. Penciptanya dengan berhasil memberikan ekspresi seorang perempuan terhormat. Tubuhnya semampai, molek dalam balutan kain menjuntai, dan matanya sedikit menunduk malu seperti tersipu oleh tatapan tajam laki-laki itu. Mereka bercakap-cakap. Laki-laki itu terus bicara dengan bonekanya, sampai sore tuntas dan perempuan boneka yang berdiri anggun di pintu masuk kehabisan kesabaran lantas menegurnya dengan suara yang tiris, bertanya dengan tidak yakin, "Cari apa, Bang?" * Ilalangsenja, Mei 2006 Ragdi F Daye lahir di Solok, Sumatra Barat, 11 September 1981 dengan nama asli Ade Efdira. Kesunyian ladang membuatnya mencintai katakata dan pena. Tahun 2005 lulus dari Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi Uda Ganteng No 13 (GIP, 2006) serta Antologi Cerpen Pinggiran (2006). Bergiat di Komunitas Ilalangsenja, Padang.

persaingan-persaingan hidup tanpa takut dianggap sebagai pengecut. Kalau sudah begitu, ibuku akan membelai rambutku. Dan dengan tatapan matanya yang tajam, dia seolah-olah hendak mengatakan bahwa aku tak boleh menyerah. Kemudian ibuku akan meletakkan kepalaku di dadanya. Dan kesejukan di dadanyalah yang membuat aku selalu bisa bertahan melalui musim-musimku. Aku, perempuan hebat yang akhirnya bisa meraih segala impian remajaku. Jangan pernah bertanya ke mana perginya ayahku, bulan, karena tangisku pun tak sanggup memaksa ibuku untuk menceritakan di rimba mana ayahku berada. Yang aku ingat, saat itu, entah apa sebabnya ayahku berteriak sampai tampak urat nadi lehernya. "Kaukira aku bahagia?" JANGAN pernah bertanya seperti apa sejuknya dada ibuku, bulan, karena jutaan kata-kata pun takkan sanggup untuk melukiskan kesejukan itu. Di mataku, ibuku perempuan hebat. Di dadanya aku biasa menumpahkan segala kepedihan dan keputusasaan. Di telinga kanannya aku biasa membisikkan segala kelebihanku tanpa perasaan takut akan dianggap sebagai keledai yang sombong. Kalau sudah begitu, ibuku akan tersenyum dan memelukku. Dan pelukannya membuatku menjadi perempuan yang mempunyai rasa percaya diri yang kuat. Di telinga kirinya aku selalu berkeluh kesah tentang kesulitan-kesulitanku menghadapi "Kaukira aku juga bahagia?" Ibuku yang biasanya diam berteriak tak kalah kerasnya. Kulihat ayahku menggebrak meja. Prang, prang, prang, vas bunga pun melayang. Pecah! Ayahku memang suka memecahkan barang-barang kalau marah. Setelah itu, aku berlari ke kamar tidurku. Kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Kututup telingaku dengan bantal rapat-rapat. Aku tak ingin mendengarkan pertengkaran mereka. Dan malam itu, aku pun terlelap di antara ketakutan yang amat sangat. Keesokan harinya, aku melihat ibuku menangis

1.Perempuan Dada Ibu


* Labibah Zain

yang

Mencari-cari

tersedu-sedu di balik pintu kamarku. Tampaknya dia ingin menyembunyikan tangisannya dari mata ayahku. Isaknya terdengar tertahan. Aku belum pernah melihat ibuku menangis sehebat itu. Ibuku menangis tiga hari tiga malam dan pada malam keempat ayahku pun pergi dari rumah kami. Entah ke mana. Sejak itu ibuku sakit-sakitan. Kadang encoknya kumat. Lain waktu, asmanya datang bertandang. Berkali-kali dia menggumam, sebagai istri, dia merasa tak berguna. Ibuku kemudian meninggal dunia dengan senyum di bibirnya pertanda bahagia dipanggil Tuhan di atas sana. Kenyataan itu sangat menyedihkan bagi aku yang masih di dunia. Aku menangis meraung-raung sepanjang malam. Secara materi memang aku mapan dengan karierku di bidang kepenulisan. Novel-novelku yang best seller itu cukup membuatku bergelimang harta. Tetapi secara emosional, aku sangat labil ditinggal ibu sendirian. Sepanjang malam aku menangis. Tangisku melengking. Gemanya masuk ke gendang telingaku sendiri. Saat itulah, aku pun mulai mengembara melalui malam demi malam untuk mencari dada yang bisa menjadi tumpahan tangisku. Tangisku takkan berhenti sebelum fajar datang menyapa bumi. Ketika fajar datang, aku menjadi seorang pekerja yang menuangkan segala imajinasi di kepala menjadi berlembar-lembar cerita. Ketika malam menjelang, aku menangis lagi dan berharap ada sosok datang yang memberi kesejukan kasih sayang ibuku. Orang-orang di sekitar pun mulai ramai

menasihatiku agar aku mencari suami. Mereka bilang dengan adanya suami, tangisku akan berhenti. Ide yang masuk akal. Aku pun mulai melirik kanan kiri untuk mencari sosok yang tepat. Beberapa pemuda lajang datang bertandang. Ada yang berbibir tipis. Ada pula yang berdahi lebar. Jangan bersuamikan pria yang punya bibir tipis karena bibirnya akan nyinyir sepanjang zaman. Jangan pula bersuamikan pria berdahi klimis karena ada bakat-bakat suka godain gadis-gadis. Begitu kata-kata yang kudengar dari Yu Surti, tetangga sebelahku yang sudah pengalaman kawin cerai dan kini menjadi istri ketiga seorang pedagang emas. Dan aku pun menghindari priapria itu. Aku memang tak mencari pria berbibir tipis dan tak pula mencari pria berdahi klimis. Aku mencari seorang pria berdada bidang. Dengan dada yang bidang, aku yakin, seorang pria bisa menampung segala keluh kesahku. Dekapannya akan serasa seperti mata air yang menyejukkan di padang tandus. Ya, dada itu akan aku gunakan sebagai pengganti dada ibuku. Jangan pernah bertanya dari mana datangnya seorang pria berdada bidang yang akhirnya datang melamarku, bulan, karena tangisku pun tak pernah bisa memaksanya untuk menjelaskan asalusulnya. Yang jelas aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Mata pria yang berprofesi sebagai arsitek itu, bagaikan magnet yang menyeret siapa saja untuk mendekat. Kata-katanya adalah nyanyian malaikat. Wajahnya adalah pancaran pelangi. Dan dia selalu membawakanku sekuntum mawar yang selalu dia selipkan sendiri di ujung telingaku. Tetapi bukan itu semua yang membuatku jatuh cinta. Dadanya yang bidanglah

yang membuatku dalamnya.

yakin

ada

kesejukan

di

Pernikahan pun digelar dengan Lek Warto, pamanku sebagai wali. Aku adalah ratu yang paling bahagia waktu itu. Seribu bidadari terbang di langit-langit kamarku dan mulai malam itu aku berharap bisa menemukan kesejukan dada ibuku, di dada suamiku. Jangan pernah bertanya kepadaku tentang petir yang tiba-tiba menyambar pada malam pernikahanku itu, bulan, karena tangisku pun tak mampu memprotes alam untuk menjelaskannya. Tetapi toh waktu itu kebahagiaanku tidak sirna. Malam pertama berlalu dengan segala keindahan surga. Mata suamiku berkali-kali menatapku tak percaya. "Wah, benarkah kau telah menjadi istriku?" ucapnya berkali-kali. Aku pun tersenyum malumalu bagai gadis belasan tahun yang baru pertama menerima pujian dari seorang pria. Dia memelukku dan aku merasakan kasih sayang ibuku di dadanya yang bidang. Tahun-tahun pun berlalu. Aku masih menjadi seorang pengarang. Novel-novelku masih disukai orang. Suamiku masih bekerja sebagai arsitek dan juga masih berdada bidang. Tetangga kiri kananku mengenalnya sebagai orang yang lapang. Tentu saja dia sangat disukai semua orang. Tetapi lambat laun aku merasa dadanya tak sebidang dahulu. Dan tak lagi kurasakan kesejukan dada ibuku di dalamnya. Aku mulai gelisah. Dia mulai enggan memelukku. Kadang aku harus berurai air mata

hanya untuk mendapatkan pelukannya. Kemudian dia mulai tidur di lantai beralaskan tikar di kamarku dan akhirnya dia lebih suka tidur di sebuah kamar, yang dibangunnya di belakang rumahku. Jangan tanya kepadaku mengapa suamiku menolak tidur denganku, bulan, karena tangisku pun tak sanggup memaksanya untuk menjelaskan alasannya. Dia hanya mengatakan bahwa dia kepanasan kalau harus tidur seranjang berdua denganku. Katanya pula, kamar di belakang rumah lebih sejuk karena dekat dengan sebatang pohon asam. Dia berkata sambil merapikan rambut dan becermin di kaca jendela kamarnya. Bau tubuhnya wangi dan suamiku tampak semakin muda. Aku pun sibuk berkaca. Salon menjadi tempat yang wajib aku kunjungi setiap minggu. Dari pedicure, manicure, facial, spa, hingga gurah vagina, aku jalani semua. Tetapi tetap saja tak mampu memindahkan tubuh suamiku agar tidur di sebelahku. Aku mulai meradang. Protesku selalu berujung pertengkaran dan tangisku pun selalu pecah di tengah malam. Aku rindu dada ibuku. "Tak mau tidur seranjang dengan pasangan adalah tanda-tanda perselingkuhan." Begitu kata seorang pakar di surat kabar. "Pasangan mulai bersolek? Awas! Perselingkuhan di depan mata!" Judul sebuah artikel di tabloid wanita. Aku menahan marah. Wanita mana yang berani merusak rumah tangga orang? Aku tergugu.

Diam-diam aku mengorek-orek meja kerjanya. Kertas-kertas kerjanya kuamati satu per satu dari ujung ke ujung. Aku takut ada sepotong guratan yang terlewat dari pandangan mataku. Laci-laci mejanya aku periksa dengan saksama. Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Kurogoh satu per satu saku celananya. Kuciumi baju-bajunya. Siapa tahu ada parfum wanita. Semuanya tak membuahkan hasil. Seketika mataku tertumbuk pada cell phone suamiku yang tergeletak di tumpukan buku-bukunya. Seketika aku raih benda kesayangan suamiku itu. Tetapi pada saat yang sama, suamiku muncul di ruang kerjanya. Wajahnya berubah garang ketika menyadari aku mengambil cell phone-nya. Direbutnya cell phonenya dari tanganku. Aku terperanjat. Tuing! "Pasangan Anda, ada kemungkinan berselingkuh bila dia tak mengizinkan Anda melihat data-data di cell phone atau komputernya." Kata-kata di sebuah majalah itu muncul di kepalaku. "Kau selingkuh!" tuduhku tanpa basa-basi Jangan tanya padaku bagaimana pedihnya hatiku waktu itu, bulan, karena tangisku pun tak mampu membuat sesak di dadaku sirna setelah suamiku dengan wajah takut-takut mengaku bahwa di hatinya telah bersemayam sosok lain. "Maafkan aku, istriku. Sebenarnya aku tak menginginkan pernikahan ini. Hanya saja kekasihku menyuruhku untuk menikahimu. Katanya, siapa tahu aku bisa menggantikan sosok ibumu. Demi kebahagiaannya, kuturuti kemauannya. Tetapi ternyata aku tak bahagia.

Maafkan, aku!" Dan seperti ibuku, aku pun menangis tiga hari tiga malam tanpa berhenti. Aku dan ibuku sama saja. Sama-sama merasakan kepedihan yang amat sangat karena tak bisa membahagiakan suami tercinta. Bedanya kalau ibuku kemudian sakitsakitan dan meninggalkan dunia ini dengan senyum di bibirnya, sedangkan aku merefleksikan kesedihanku dengan mencari kesejukan dada ibuku di dada-dada bidang pria-pria berhidung belang. Seperti musafir, aku mencari-cari oasis di padang tandus yang bernama pelacuran. Tetapi hari ini, aku ingin berhenti melacur setelah menemukan engkau, bulan, perempuan dengan dada sesejuk dada ibuku. Aku tak pernah menyangka bahwa diriku akan jatuh cinta padamu, bulan, sebagaimana aku tak pernah menyangka bahwa kekasih suamiku itu ternyata ayahku sendiri. Montreal, 2006 Labibah Zain kini sedang studi pascasarjana di Australia. Kumpulan cerita pendeknya, Addicted to Weblog diterbitkan oleh yayasan Obor Indonesia pada bulan Agustus 2005.

Minggu, 09 April 2006 CERPEN

CELANA DALAM
* Mariana Amiruddin

MANUSIA yang kulihat dari sudut kota ini seperti remah-remah yang ingin kukunyah. Mata mereka aneh. Memelototi aku terusmenerus. Kuludahi mata mereka satu per satu. Aku mengerang. Matamata itu semakin melotot padaku. Aku meludah lagi. Kali ini ke tanah. Begitulah setiap hari. Kerjaku meludahi orangorang melotot. Aku memang tidak suka mata melotot. Kenapa memangnya? Kenapa memangnya kalau aku begini? Lalu aku melempar celana dalamku ke wajah mereka. Celana dalam terbuat dari besi berikut gemboknya. Aku lemparkan ke mereka, juga beha-beha ukuran kecil dan besar yang kupakai berlapis, berkawat-kawat untuk menopang daging. Seperti melempar jala-jala yang menjaring ikan besar. "Ambillah! Buatlah monumen celana dalam tolol itu di tengah kota!" Aku pergi meninggalkan mereka dengan tubuh menggigil. Aku telanjang. ***

hampir separuh pantatku kelihatan. Lega rasanya, karena tidak tergesek bahan pakaian. Kalau tidak begitu sakitnya luar biasa. Habis bagaimana, aku harus belanja kebutuhan makan dalam keadaan begitu. Tapi orang-orang meludahiku. Mereka bilang itu pelanggaran. Tapi bagaimana, aku suka begitu karena sakitnya hilang. Aku kesal karena mereka tidak pernah mau mengerti. Aku biarkan bisul besarku memandangi mereka satu per satu. Mereka tampak semakin marah. Begitulah selama seminggu ternyata bisul di pantatku tak juga sembuh, dan di hari-hari itu pula orang-orang melemparku dengan bebatuan dan tanah. "Perempuan binal! Perempuan binal!" teriak mereka. Aku sudah biasa mendengar teriakan itu. Untung saja batu-batu itu tidak mengenai aku. Aku memang pelari cepat. Selain payudaraku rata, aku bisa berlari cepat karena sejak kecil sering diusir orang. Banyak hal yang aku langgar, biasanya halhal yang aku inginkan tetapi tak mereka inginkan. Pernah aku memukuli lelaki dewasa yang memaksa memasukkan kelaminnya ke kelaminku. Lalu aku cerita ke paman apa adanya. Pamanku marah besar. Begitu pula orang-orang banyak memarahi aku. Sejak itu aku tidak boleh keluar rumah, tak boleh pula bermain di halaman. Tapi aku tidak mau, aku tetap ingin bermain di luar, dan lagi-lagi lelaki dewasa yang tak kukenal coba-coba memainkan kelaminku ketika aku sedang bermain tanah basah di seberang jalan. Aku menangis keras dan berlarian pulang ke rumah, mengadu pada paman. Pamanku malah bertambah marah,

dan segera membuatkanku celana dalam terbuat dari besi berikut gemboknya. "Biar kamu tidak binal!" katanya. Pamanku seorang pandai besi setelah sebelumnya ia bertani dan membajak tanah dengan kudanya di pekarangan belakang yang luas. Kini ia membuatkanku celana dalam besi supaya aku tidak binal dan supaya aku tidak meninggalkan cap merah di mana-mana. Paman bilang itu namanya menstruasi. Dan menstruasi adalah hal yang paling menjijikkan baginya. Aku disuruh menghentikannya. Tetapi darah terus mengucur dari kelaminku sedikit demi sedikit selama tujuh hari. Aku bingung melihatnya. Aku takut paman marah, apalagi bila darah itu membekas di sofa dan kursi-kursi paman, juga kain dipan tempat alas tidurku. Aku tak punya orang dekat yang mengenalkan proses kerja tubuhku. Aku pun tidak pernah merasakan sekolah dan jarang bermain dengan teman-teman sebaya. Paman, tempatku menyandarkan hidup selalu sibuk dengan pekerjaannya. Dan bermain kartu serta minumminuman keras setiap malam bersama temantemannya. Aku sering mengintip mereka dari balik dinding kamar. Tapi tulang pinggulku sakit rasanya karena harus menopang celana besi itu. Aku takut. Aku meringis kesakitan dan tawa paman keras sekali bila memenangi permainan. Giginya tampak kuning dan besar-besar. Aku merasakan bau mulutnya yang busuk. Aku takut melihatnya. Dan aku tak berani mengadu kalau aku sakit. Aku takut paman akan membuatkan celana dalam yang lebih menyiksa lagi.

Sejak itu aku merasa ada yang salah dengan tubuhku. Terutama kelaminku. Terutama pahaku. Juga lenganku. Punggungku, ketiakku, betisku, pantatku, payudaraku. Banyak sekali orang yang tidak suka tubuhku. Mereka membalut semua tubuhnya dengan kain. Seperti mayat yang akan dikubur. Dan wanita-wanitanya berjalan lambat. Konon mereka dibuatkan pakaian besi di dalamnya. Untuk melindungi tubuh-tubuh mereka. Supaya tidak tampak. Dan kain-kain lebar yang menyelubunginya. Supaya tak teraih. Dan para lelaki yang sering kali melotot bila anak-anak perempuan bermain-main mengibaskan kainnya. Tampak betis-betis mereka berlari-lari kecil. Dan setelah itu para orang tua membuatkan mereka pakaian besi. Menjadi anak perempuan di sini memang selalu resah. Mereka yang keluar malam sering tak ada yang kembali ke rumah. Mereka hilang begitu saja, aku mengatakan malam telah menelannya. Padahal aku menyukai malam dan ingin sekali aku menyatu dalam kegelapannya. Namun, aku langsung berhenti menyalahkan malam. Ternyata orang-oranglah yang memusuhi malam. Dan membenci tubuh-tubuh perempuan. Pada akhirnya sering aku disekap karena ketahuan jalan-jalan sendirian di malam hari. "Dasar binal!" teriak mereka bergegas menghampiri sambil menjambak rambutku. Mereka menarik-narik lenganku dan menggiringku seperti kerbau. "Aku bukan kerbau!" kataku gusar. "Kamu memang bukan kerbau! Kau perempuan binal!" Aku merintih dan hatiku penuh dengan risau. Apa yang salah denganku. Apa yang salah dengan malam.

Berulang-ulang kejadian itu berlangsung. Aku tak pernah jera. Aku ingin tahu apa yang terjadi di kepala mereka. Namun pada akhirnya aku diam. Sering hanya menatap pagi di balik jeruji. Sejak itu pagi menjadi hari yang menjemukan. Dan malam yang menyimpan luka. Dan tubuh yang hangus. Lalu bertanya pada Tuhan, "Lantas mengapa Kau ciptakan ini semua?" Hari demi hari aku semakin dewasa dan ternyata sudah lama aku menimbun luka. Luka yang kemudian tumbuh dendam. Aku dendam pada mereka yang tak pernah bisa memakai otaknya. Aku tahu apa itu otak manusia. Bahwa aku mengenal hidup yang tak hanya berlangsung dengan tubuh, tetapi juga pikiran. Mataku menyorot nyala setiap kali melihat mereka. Lalu mereka bilang aku gila. *** Sehari saja aku lalu dibebaskan dari bui. Meninggalkan jeruji-jeruji tempatku menatap pagi. Paman tak menjemputku bahkan menengokku sebentar seperti biasanya. Ia seperti membiarkan aku merasakan akibatnya. Aku pulang dengan tubuh lelah dan wajah limbung. Tetapi aku tak menemukan paman di sana. Aku melihat rumahnya berantakan. "Paman!" teriakku dan menemukan ia terbujur kaku di atas sofanya. Aku menangis. *** Satu jam aku menangis di atas tubuh paman. Lalu kubiarkan paman di situ. Aku bangkit dan

melewati cerminnya. Kulihat wajahku di sana. Dan tubuhku. Aku tak mengerti, bahwa tubuhku semakin melekuk. Sejak darah-darah itu keluar dari kelaminku dan semua orang membenci malam, tubuhku melekuk seperti dahan pohon yang menari. Lekukan-lekukan ini yang menurut mereka tidak boleh terjadi. Atau tidak boleh tampak. Mereka akan menyebutnya binal. Dan aku tidak tahu apa itu binal. Bagiku kata itu hanya untuk binatang yang kusayangi waktu aku kecil dulu. Kuda paman yang sering kutunggangi. Paman dulu membiarkan aku menemani kudanya berhari-hari. Aku menyukai kuda karena larinya, dan tubuh liat berlekuknya, gagah sekali. Tak sedikit pun aku membenci binatang itu. Binatang binal yang kemudian mati. Aku sangat kehilangan. Paman telah menembaknya. "Kuda pincang. Tak ada gunanya lagi," katanya. *** Kedewasaan menjadi sesuatu yang mengerikan bagiku. Paman mati. Orang-orang bilang ia mengalami serangan jantung atau dibunuh temannya. Aku melihat darah kental mengering di keningnya dan busa mengalir dari mulutnya. Aku sudah lupa apa yang telah terjadi padanya. Sejak itu aku punya kebiasaan baru. Berulang-ulang kupandangi tubuhku di cermin. Aku telanjang. Tampaklah celana dalam besi itu. Sisi-sisinya berkarat. Aku jadi ingat dulu paman mengingatkanku untuk tidak sekali-kali membukanya. Ada lubang sedikit untuk saluran kencing di bawahnya. Dan saluran tahi di belakangnya. "Jangan sekali-kali kau buka!" katanya bernada mengancam. "Kamu akan tahu

akibatnya! Akibat yang menjijikkan seumur hidupmu." Tapi apa? Mengapa hanya aku? Pamanku tak perlu besi-besi di tubuhnya. Aku sering melihat paman telanjang kalau sedang memukuli bara-bara besi di bengkelnya. Kadang aku kagum dengan tubuh paman yang kokoh. Tampak garis tengah dadanya berlekuk. Tempat bulir-bulir keringat mengalir dan jatuh di perutnya yang petak-petak. Ia sering menyekanya dengan baju yang menggantung di pundaknya. Tapi sebenarnya aku juga membenci paman, sama dengan membenci orang-orang itu. Tapi tak ada orang lain selain paman. Bagiku paman sama seperti orang-orang lainnya. Membenci tubuhku. Apalagi ketika aku dewasa. Suatu hari ia memaksa membuka gembok celana dalamku. Aku malu. Aku merasa hina. Aku melawan dan meludahi matanya berkali-kali. Wajahnya meringis, dan matanya mengerjap, tampak air matanya beruraian. Ludahku memang pedas, karena sering mengunyah cabai dan bawang karena tak ada makanan lain yang dapat kukunyah. Dengan sepenuh tenaga kulepaskan sendiri celana besi itu, yang sebagian melekat di kulit kelaminku. Aku merasakan gatal luar biasa tetapi situasi membuatku ingin membenturkan celana besi itu ke kepala pamanku. Tampaklah darah mengucur. Waktu itu malam hari, dan aku berlarian ke jalan dengan setengah telanjang. Lariku tak secepat waktu kecil dulu, aku tertatih-tatih menahan sakit tulang pinggulku yang terasa lebam. Dan jemari kaki yang koyak. Aku tak kuasa menahan sakit, dan datanglah kerumunan lelaki yang memelototi aku, sebagian lagi berdatangan menatap sinis

padaku. Itulah malam terakhirku meninggalkan paman dan untuk kesekian kalinya aku digiring orang-orang keparat itu karena ketahuan di tempat umum di malam hari. *** Dan aku pergi. Dengan membawa lelah aku berjalan berkilometer-kilometer mencapai satu kota ke kota lainnya. Dengan perut lapar aku bergumam, semua kota ternyata sama: memelototi aku. Aku muntah. Muntahannya kulemparkan pula pada mereka. Muak rasanya. Sampai pada sebuah tempat lapang. Jauh menuju pantai. Seperti di ujung sebuah pulau. Aku tak melihat orang di sana. Aku melihat rimbunan pohon dari jauh. Aku melanjutkan langkah, masuk rimbunan itu. Ternyata hutan. Dan hanya hewanhewan. Ada yang menghampiri, ada yang berlari. Dan sinar matahari yang meredup, tak bisa menembus ke tanah. Tanah yang lembap dan serangga berbagai bentuk. Kera-kera bergelantungan memanggilku. Aku merasakan sejuk. Aku menghirup segar. Aku tak mendengar kata benci. Burung berwarna-warni bertengger di pundakku. Di bawah rindang, tampak tumpukan dedaun yang empuk dan serabut akar di sekelilingnya. Aku berbaring. Menatap langit yang sembunyi di balik dedaunan tinggi. Seekor kucing hutan menghampiri, menjilat keningku lembut sekali. Lalu tupai-tupai sibuk menyelimuti tubuh telanjangku dengan daun-daun kering. Aku tertidur. Percetakan Negara, 5 Maret 2006

Mariana Amiruddin adalah Magister Humaniora Kajian Wanita Universitas Indonesia. Kini bekerja sebagai Redaktur Jurnal Perempuan dan Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan. Buku terbarunya berjudul Perempuan Menolak Tabu dan Beyond Feminist serta novel berjudul Tuan dan Nona Kosong bersama Hudan Hidayat.

Minggu, 12 Februari 2006 CERPEN

Perempuan Gila Pasar Turi


* M Dawam Rahardjo

KEHADIRAN perempuan muda yang dianggap gila di pasar Desa Turi, Lampung Selatan, tak jauh dari pantai Lautan Hindia itu adalah sebuah pemandangan yang sudah biasa. Bahkan perkembangan pasar itu sendiri tidak lepas dari peranan Surti, perempuan berperawakan sedang, tidak kurus tidak pula gemuk itu. Wajahnya tak bisa dibilang cantik, tetapi karena kulitnya yang kuning langsat, sesuatu yang tidak biasa pada perempuan desa itu, menjadikannya agak menarik dipandang mata. Hanya saja perilakunya terkesan linglung, tak suka bicara dengan orang dan sulit diajak bercakapcakap. Hanya kadang-kadang saja ia menjawab pertanyaan singkat.

Karena itu orang, terutama anak-anak kecil, menganggapnya saja gila. Anak-anak suka mengikutinya dan kemudian mengganggu, bahkan dengan melempar batu-batu kecil, sambil bersoraksorai, kesenangan. Surti sendiri tidak marah, tetapi kalau sudah merasa sebal ia membentak dan anak-anak pun bubar berlarian ketakutan, tetapi sambil ketawa-ketawa mengejek. Orang-orang dewasa sering memarahi anak-anak itu supaya tidak lagi mengganggu, sehingga gangguan anakanak pun berkurang. Tapi orang desa tetap menganggap Surti, paling tidak perempuan yang tidak waras. Dari jawaban sepotong-sepotong terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh banyak orang, dapat direkonstruksikan asal usulnya. Ia sebenarnya berasal dari suatu desa transmigrasi, Batumarta yang terletak di pedalaman Sumatra Selatan. Orang tuanya berasal dari Wonogiri, suatu Kabupaten di Jawa Tengah yang terkenal miskin. Kedua orang tuanya memang penduduk transmigran yang mendapatkan sebidang tanah separuh untuk ditanami pohon karet dan sisanya tanaman pangan, khususnya singkong dan jagung. Dengan tanah garapan itu mereka memang hanya bisa hidup pas-pasan saja. Surti hanya sempat berpendidikan SD, tapi pernah belajar ngaji di suatu pesantren kecil yang didirikan di luar daerah transmigrasi. Surti sudah dikawinkan oleh orang tuanya sejak ia masih berumur enam belas tahun. Ia dikawinkan dengan seorang pemuda asal Jawa juga. Sebenarnya Surti cukup beruntung karena suaminya itu bisa menjamin hidupnya di awal

perkawinannya. Tapi suaminya itu bekerja di tempat yang cukup jauh dari rumah di Kota Bandar Lampung dan hanya pulang sebulan sekali saja. Setiap pulang suaminya yang dapat dikatakan cukup setia itu membawa uang lumayan banyak, walaupun ia katanya hanya bekerja sebagai seorang pekerja kasar di pasar. Sebenarnya kurang diketahui persis apa jenis pekerjaan lelakinya itu Surti hanya percaya saja yang dikatakan oleh suaminya. Setelah berlangsung setahun, Surti melahirkan seorang anak perempuan. Karena Surti dan suaminya itu masih tinggal pada orang tua suaminya, anaknya itu sehari-hari diasuh oleh ibu mertua yang sangat menyayangi cucunya itu. Sampai pada suatu hari, suaminya itu tidak pulang hingga dua bulan. Tentu saja hal itu menimbulkan tanda tanya walaupun ia masih menerima kiriman uang belanja bulanan. Pada bulan keempat, suaminya itu tiba-tiba pulang. Kali itu suaminya itu tinggal cukup lama. Surti tentu senang-senang saja sehingga tidak mau bertanya mengapa suaminya itu berperilaku di luar kebiasaan. Tanpa diduga, pada suatu malam Surti sekeluarga dikejutkan oleh sebuah aksi penggerebekan tibatiba oleh orang-orang bersenjata, yang ternyata adalah polisi. Ternyata suaminya itulah yang ditangkap dan dibawa entah ke mana. Seminggu kemudian, Surti juga ikut diciduk. Surti pun diinterogasi. Surti dituduh tahu pekerjaan suaminya, tetapi tidak lapor ke polisi. Ternyata suaminya itu adalah salah seorang anggota kawanan perampok bersenjata tajam. Suaminya

tersangka terlibat dalam suatu perampokan sebuah keluarga China yang berdiam di pinggiran Kota Bandar Lampung. Ketika lelaki kepala keluarga pedagang itu berusaha berteriak, kawanan perampok itu membunuhnya beramairamai dan melukai istrinya. Suaminya dituduh terlibat dalam pembunuhan itu. Setelah dibawa ke pengadilan terkena hukuman lima belas tahun penjara. Tapi malangnya, Surti juga ikut diadili, dengan tuduhan ikut menyembunyikan seorang penjahat. Ia sendiri diganjar penjara dua tahun. Ketika sudah selesai menjalani masa hukumannya, ia menjumpai suaminya yang masih mendekam di penjara. Suaminya mengatakan, bahwa ia sebenarnya masih cinta kepada Surti dan Surti percaya dengan pengakuan suaminya yang ia pandang tulus itu. Tapi suaminya bilang ia merasa kasihan kepada Surti karena ikut menanggung beban atas perbuatan suaminya. Maka dengan bijaksana, suaminya membebaskannya untuk mencari suami yang lain, karena ia tidak sampai hati meminta Surti menunggu sampai sepuluh tahun lebih hidup tanpa suami. Ia dicerai secara baik-baik. Surti tak bisa berbuat apa-apa selain menyerah kepada nasib yang tidak bisa ia pahaminya itu. Setelah keluar dari penjara, ia tidak bisa berkeinginan untuk kembali ke bekas mertuanya yang masih memelihara anaknya. Terpikir juga olehnya untuk mengambil saja anaknya untuk ia pelihara sendiri. Tetapi ia merasa kasihan, janganjangan anaknya ikut terlantar mengikuti nasibnya, karena ia tidak memiliki rumah maupun pekerjaan. Ia pun juga tidak mau kembali ke orang

tuanya karena selain tak mau membebani kembali orang tuanya, ia sendiri merasa tidak betah hidup di desa transmigrasi yang sepi dan gersang itu. Karena itulah, Surti memutuskan untuk mengembara saja ke selatan dan akhirnya terdampar di desa Turi. Surti sebenarnya hanya menjalani masa penjara dua puluh bulan saja. Karena ia dinilai berkelakuan baik, sehingga ia mendapatkan remisi. Di penjara ia bahkan dikenal sebagai perempuan yang saleh, setiap subuh dan magrib, ia mengaji Alquran, kepandaian yang berhasil ia peroleh ketika ia belajar di pesantren di kawasan Batumarta. Ketika dibebaskan dari penjara, ia meminta izin kepada kepala penjara untuk bisa membawa Alquran. Kepala penjara itu punya rasa belas kasihan juga dan mengizinkan seorang bekas narapidana membawa Alquran milik rumah penjara bersamanya. Sebenarnya ia tidak punya tempat tinggal si desa Turi. Pernah ia mencoba untuk menginap di suatu musala. Tapi ia diusir, karena musala hanyalah tempat beribadah untuk kaum lelaki. Ia pernah juga mencoba untuk membaca Alquran pada waktu magrib. Tetapi penjaga musala itu tidak pula memberi izin, karena menganggap suara perempuan sebagai aurat. Surti memang sakit hati, tetapi tidak bisa berbuat apa pun juga. Maka satu-satunya tempat yang dapat dia singgahi untuk tidur adalah sebuah bangunan yang tidak begitu luas di bagian tengah sebidang lahan berbelukar dengan beberapa pohon kelapa yang cukup untuk memberikan keteduhan. Di tempat itulah setiap Senin dan Kamis beberapa orang

berjualan atau berdagang. Tempat itulah yang disebut-sebut juga pasar tiban yang hanya ramai setiap hari Senin-Kamis yang juga disebut Pasar Turi. Penjaganya adalah seorang pak tua yang masih kuat badannya. Ia merasa iba terhadap Surti sehingga membiarkannya beristirahat dan bahkan tidur di salah satu tempat di situ, sekalian ikut menjaga pasar di malam hari. Di Pasar Turi itulah Surti menjalankan kebiasaannya mengaji setiap subuh dan magrib, sehingga menjadi ciri khas tempat jualan Senin-Kamis itu. Tempat itu seolah-olah sejuk di perasaan dan mengandung berkah dengan pengajian Surti, sehingga ada seorang asal Jawa yang mendirikan warung yang baru buka pada jam delapan malam sampai subuh. Mula-mula hanya ada beberapa orang saja yang berkunjung ke warung itu untuk wedangan, atau minum-minum teh kental atau kopi, sambil makan-makan jajanan, seperti kebiasaan orang Jawa yang banyak juga tinggal di desa Turi itu. Lama-lama warung yang di Jawa Tengah biasa disebut "jajanan hik" itu menjadi ramai tempat orang ngobrol di malam hari. Setiap malam para peronda singgah di warung itu. Tapi yang tak kurang menarik adalah kegiatan Surti sendiri. Lama-lama timbul kesan di kalangan penduduk desa, bahwa Surti adalah seorang alim perempuan yang doanya manjur. Pada suatu hari ada seorang gadis datang ke Surti dan berkata: "Bu Surti, umur saya ini sudah di atas tiga puluh tahun", kata gadis itu yang rupanya mengetahui nama Surti. Tapi Surti hanya diam saja, namun tampak memerhatikan. Matanya yang nanar seolah bertanya kembali "Lalu apa maksudmu datang

kepadaku?" Tanpa ditanya, gadis itu meneruskan kata-katanya: "Saya mohon Bu Surti mendoakan saya agar lekas dapat jodoh". Dan Surtipun tetap membisu, tetapi menganggukkan kepalanya. Gadis itu nampak lega tapi menambahkan permintaannya: "Kalau bisa masih jejaka dan orang Jawa juga seperti saya". Surti hanya tersenyum seolah-olah membuat lega yang meminta, walaupun mungkin ia agak geli mendengar permintaan itu. Sebagai isyarat ia memenuhi permintaan maka ia pun membaca suatu doa yang pernah dipelajarinya di pesantren walaupun ia tahu doa itu sebenarnya hanya cocok diucapkan oleh seorang lelaki yang ingin memperoleh istri yang bisa melahirkan keturunan sebagai cahaya mata dan teladan bagi orang-orang yang takwa. Tapi ia ucapkan juga doa itu dengan asumsi Tuhan Maha Tahu maksud hamba-Nya. Kira-kira sebulan kemudian, gadis itu kembali mengunjungi Surti dengan seorang lelaki. Dia tidak ingin minta didoakan, tetapi untuk melapor bahwa doa Surti dulu ternyata telah terkabul. Ia telah mendapatkan jodoh yang dicita-citakannya. Mendengar laporan itu Surti hanya bisa tersenyum penuh bahagia. Dan perempuan itu memberikan sejumlah uang tanda terima kasih. Kabar tentang sebuah doa yang manjur itu pun dengan cepat tersebar ke masyarakat, sehingga banyak orang datang untuk memperoleh doa pula. Termasuk para pedagang dan pengusaha kecil yang ingin didoakan berhasil usaha mereka. Tidak diketahui persis, apakah orang-orang yang telah

mendapatkan doa dari Surti itu terkabul dengan doa itu. Tapi yang jelas, beberapa waktu kemudian, banyak orang datang memberikan uang kepada Surti dengan ucapan terima kasih. Itulah sebenarnya salah satu faktor makin ramainya pasar itu dengan orang yang berjualan dan berdagang. Pengajian Surti setiap subuh dan magrib dianggap membawa berkah. Surti sendiri hampir-hampir dianggap sebagai seorang perempuan suci, walaupun orang juga masih menganggapnya sebagai seorang yang kurang waras atau aneh, karena perilakunya yang lain dan khas. Surti sebenarnya hidup dari pemberian orang-orang di pasar. Beberapa warung selalu menyediakan makan kepada Surti, tentu saja dengan meminta doa agar warung mereka laris. Mungkin karena kepercayaan bahwa tempat jualan kecil itu mengandung berkah, maka dari hari ke hari makin banyak pedagang yang berjual beli di situ. Dalam waktu beberapa bulan saja, tempat jualan itu pun berkembang menjadi sebuah pasar yang ramai. Dan para pedagang, yang kebanyakan adalah perempuan, menganggap Surti sebagai pembawa berkah dengan pengajian setiap pagi dan sorenya. Di antara para pedagang perempuan di Pasar Turi itu, ada seorang pedagang buah, Bu Suminah namanya, yang punya gagasan istimewa dengan memanfaatkan pengaruh Surti. Ia punya gagasan untuk mendirikan sebuah musala, khusus perempuan. Ketika disampaikan niatnya kepada Surti, tampak Surti senang dan menyetujui gagasan itu. Atas nama Surti, Ibu Suminah

menghimpun dana dari pada pedagang pasar. Surti sendiri menyediakan sejumlah uang hasil pemberian orang selama ini untuk membeli sebidang tanah kosong yang letaknya persis di seberang pasar, menghadap ke timur. Bu Suminah mengumumkan, jika ada tanah wakaf, para pedagang pasar sanggup membiayai pembangunan musalanya. Ternyata pengumuman itu mendapat sambutan dengan penyediaan tanah wakaf di seberang pasar, persis di sebelah lokasi tanah yang dibeli oleh Surti. Akhirnya sebuah musala yang agak luas berdiri di seberang pasar. Surti sendiri mendirikan sebuah rumah sederhana di sebelah musala. Bu Suminar sendiri memang berencana bahwa penjaga dan pemelihara musala adalah Surti sendiri, sehingga ia bisa terus mengaji di musala. Surti menjadi berbahagia jika mengingat betapa ia dahulu pernah diusir dari musala yang dimonopoli kaum lelaki. Adanya musala khusus perempuan gagasan Ibu Suminah memberi arti kemenangan baginya. Setiap waktu salat, musala itu ramai dikunjungi orang, khususnya para perempuan pedagang pasar. Tapi lebih dari itu, sesudah magrib hingga isya, anak-anak, laki-laki maupun perempuan, mengaji, terutama belajar membaca dan menghafal Alquran. Termasuk anak-anak yang dulu pernah menguntiti dan melempari Surti dengan batu-batu kecil. Surti ternyata mampu menjadi salah seorang pengajar. Ia tidak lagi dianggap sebagai seorang perempuan gila, walaupun ia masih tetap berwajah murung, karena masih belum bisa bersatu kembali dengan anaknya. Ia selalu menangis jika teringat kepada anaknya yang setiap waktu ia rindu

dendamkan. Jakarta, 16 Januari 2006

Allahumma sholli alaa sayyidina Muhammad wa 'ala aali sayyidina Muhammad.... Perempuan itu tahu, itu bahasa Arab. Namun, sebagaimana dia menempatkan doa dalam bahasa Jawa, bahasa Arab itu pun hanya menjadi semacam gumam baginya. Setidaknya sebagai sekadar bunyi--yang entah apa arti dan maknanya. Namun, bersamaan dengan itu, perempuan itu merasa tengkuknya dirambati rasa sejuk, yang kemudian menjalar ke seluruh persendiannya. "Kalau Cece susah tidur, baca saja doa itu," katakata pembantunya timbul tenggelam dalam kenangannya yang juga semata berkelebat-kelebat. Perempuan itu tak benar-benar ingat kapan dia mulai mendengar pembantunya--perempuan asal Jawa--mengajarinya membaca doa sebelum tidur. "Doa susah tidur," koreksinya mencandai pembantunya. Perempuan itu juga tak begitu ingat kenapa kala itu dia susah memejamkan mata. Mungkin karena esoknya akan ulangan susulan akibat saat pekan ulangan di sekolah dia justru digampar penyakit yang mirip-mirip sampar. Mungkin juga lantaran esoknya dia diajak papa dan mamanya ke lain kota, sebuah perjalanan panjang pertama baginya. Mungkin juga memang dia kerap susah menelentangkan badan di ranjang, mengistirahatkan pikiran dalam tidur yang menyenyakkan. Tapi perempuan itu tak pernah alpa bahwa salah satu yang membuatnya benarbenar begitu berat memejamkan mata adalah saat dia mendengar papa dan mamanya saling adu lengkingan.

Minggu, 05 Februari 2006 CERPEN

Istri yang Senantiasa Kangen Ketemu Kekasih-kekasihnya


* Veven Sp Wardhana

niyat ingsun turu turonku gedong wesi bantalku gemuling atiku eling rohku tetep madhep imanku

dikitari malaekat patangpuluh papat lan dilindungi para nabi lan wali Perempuan itu kembali mengomat-ngamitkan doa dalam bahasa yang tak dia pahami. Dia tahu itu bahasa Jawa, tapi karena dia bukan orang Jawa, dia jadi menganggap larik-larik doa itu sebagai semacam mantra. Sama halnya saat dia mencoba terbata-bata melanjutkan doanya:

"Dasar inlander!" suara papanya bergemuruh. "Dasar singkek!" suara mamanya mengguntur. Tak ada halilintar malam itu. Tak ada gumpalan mendung di atas rumahnya. Namun, perempuan itu--saat itu masih kanak-kanak--seperti mendapati baris-baris gerimis di hadapannya. Dia tak menyadari bahwa air matanyalah yang menggerimisi kelopak matanya. Pembantunya-yang gopoh-gapah membopong perempuan itu dari tempat tidurnya-- mendekapnya dengan erat. Dia merasa hangat, tapi kelopak matanya tak pernah bisa benar-benar rekat. Bahkan usapan lembut tangan pembantunya tak juga membuatnya tertidur. Bahkan pun sampai dia tak lagi mendengar suara tengkar mama dan papanya-mungkin memang sudah terjadi gencatan serapah dan makian, mungkin pula kamar orang tuanya menggunakan peredam--yang dia dengar hanya suara pembantunya yang mendengkur. Bagaimana bisa pembantunya begitu pulas tertidur, padahal guruh dan guntur saling bersambar-sambar? Sekali waktu pernah dia tanyakan hal itu pada pembantunya. "Baca saja doa mau - pengen - tidur, Cik. Niyat ingsun turu, turonku gedong wesi...." Anjuran pembantunya di kemudian hari jadi kerap dia dengar karena suara guruh dan guntur yang melesat dari mulut papa dan mamanya benarbenar menimbulkan gelegar halilintar dalam setiap sudut rumah mereka. Tak lagi pernah jelas kapan gencatan guruh-guntur terjadi. Tak lagi berfungsi

alat peredam dalam kamar mereka. "Baca saja doa susah tidur, Cik. Niyat ingsun...." Mata perempuan itu makin membelalak karena yang tertinggal adalah suara papanya yang membentak-bentak. Tak lagi ada gerimis dalam kelopak matanya. Kelopak matanya menderetkan kerontang kemarau. "Baca doa susah tidur itu, Cik...." Mata perempuan itu tak lagi bisa berkedip karena suara mamanya yang meraung panjang, setelah beberapa hari papanya tak lagi pernah kembali pulang. Jika kemudian akhirnya perempuan itu tertidur di ranjang pembantunya, sementara pembantunya juga lelap di atas lantai dingin di sampingnya, dia tak mengingatnya apakah itu karena dia menuruti berdoa sebagaimana dianjurkan pembantunya-dengan cara dia menirukan komat-komat pembantunya--ataukah justru dia kemudian terlena lantaran pembantunya yang berdoa nyaris sama dengan mendendangkan tembang timangtimang yang meninabobokan. *** SEKALI lagi perempuan itu menggumamkan kalimat-kalimat yang tak terpahamkan. Perempuan itu tetap gagal memasuki alam tidur, bahkan pun tak pernah sampai dia di ambang gerbang. Begitu dia rebahkan badannya, begitu dia pejamkan matanya, dia tahu dia masih tetap terjaga dan

pikirannya justru mengembara ke mana-mana. Perempuan itu tahu dia susah tidur bukan karena dia besok akan bepergian ke luar kota, karena dia sendiri sudah kerap kali bahkan ke luar negeri. Ulangan susulan juga bukan yang menjadi musabab, karena dia sudah lulus dan bahkan kawan-kawannya tak ada yang bisa menyusuli prestasinya hingga tingkat sarjana. Gemuruh yang mengundang kilatan petir dalam rumah juga tak ada karena sama sekali dia tak pernah bertengkar dengan suaminya. Apalagi, suaminya tak pernah jelas jadwalnya pulang ke rumah. Pembantunya tak bisa diminta mengajarinya doa apa pun. Doa menunggu suami, doa mengantar suami, doa menyambut pulang suami, atau menerjemahkan doa menjelang tidur alias doa susah tidur ke dalam bahasa yang dia pahami. Siapa tahu, dengan memahami huruf per huruf doa itu dia jadi bisa tidur dengan gampang. Pembantunya sudah pulang kampung dan kabarnya meninggal beberapa tahun silam, waktu perempuan itu masih lajang. Pembantunya memang sudah tua, bahkan lebih tua dari mama perempuan itu. Pembantunya yang sekarang, usianya lebih muda darinya, memanggilnya: Tacik. Itu bukan karena ada guratan Tionghoa dalam wajahnya. Perempuan itu lebih mewarisi garis wajah ibunya sekalipun darah papanya mengalir deras dalam tubuhnya. Toh, pembantunya yang sekarang tak pernah paham silsilah perempuan yang menjadi majikannya itu. Mama perempuan itu sudah meninggal setelah putrinya, perempuan itu,

beberapa minggu kemudian naik pelaminan, sementara pembantu yang sekarang bekerja padanya datang setelah lebih dari lima tahun perkawinannya. Papa perempuan itu tak pernah diketahui di mana keberadaannya. Pasti lantaran suami perempuan itu yang sangat tegas pahatan Tionghoa-nya yang membuat pembantunya memanggilnya tacik, sekalipun terkadang dipanggilnya pula dia Nyah, pemendekan dari Nyonyah. Makin hari perempuan itu makin menginginkan kehadiran pembantu lamanya. Dia ingin diajari doa kangen kekasih, atau bahkan doa ketemu kekasih. Pembantunya yang sekarang, jangan-jangan berdoa pun tak pernah. "Mbak, kamu enggak kangen sama pacarmu? Kamu berdoa enggak supaya kamu bisa ketemu dia?" perempuan itu sambil lalu bertanya saat pembantunya bersimpuh di depan pesawat televisi menyaksikan kisah mistik yang diselimuti ayatayat yang diujarkan tokoh ustaz. "Wah, Tacik ini tanyanya aneh-aneh. Mosok ada doa ketemu taysen? Ya, dimimpiin saja dalam tidur, Nyah." Karena mimpi itu hanya ada dalam tidur, anjuran pembantunya itu tak pernah bisa dia jalankan. Sudah berhari-hari perempuan itu tak pernah bisa memejamkan mata, merebahkan badan, dan mengistirahatkan hatinya. Dia cari mimpi yang bisa dihadirkan dalam keadaan terjaga, atau setidaknya sambil rebahan. Dia menemukannya. Namanya: lamunan. Tapi, di saat dia hendak mulai

menjelajahkan lamunan, yang mendadak muncul justru sosok suaminya, yang tak pernah jelas malam itu pulang ke rumah atau meneleponnya mengabarkan dirinya sedang di luar kota atau luar pulau. Jangan-jangan malah luar benua. Perempuan itu tidak sedang membutuhkan kehadiran sosok suaminya. Perempuan itu menginginkan kehadiran sosok kekasihnya - entah kekasih yang mana. Saban kali sosok suaminya yang datang dalam lamunannya, yang segera muncul hanyalah perdebatan antara mereka yang tak pernah berkesudahan. "Apa sih yang kamu uber, Schaat?" tanyanya suatu kali, berulang kali, saat bertelepon atau saat berhadap-hadapan di kamar. Tetap dalam nada mesra. Suaminya tampak kelelahan sehabis pulang kantor--atau entah dari mana-- dan gelagatnya sudah siap-siap menyungkupkan kepalanya di balik bantal dan meringkukkan badannya dalam guling. "Reputasi? Prestasi?" perempuan itu mendahului jawaban suaminya - tetap dalam nada tertahan. Suaminya memang pernah menyatakan itu. "Prestasi untuk apa? Reputasi untuk siapa? Untuk keluarga kan? Sekarang saja, Papa enggak pernah bisa kumpul dengan keluarga, dengan aku, satusatunya keluargamu," perempuan itu merasa sedang mengutip kalimat entah dari mana. Jangan-jangan karena aku tak bisa memberinya anak, maka suamiku jadi jarang pulang. Apakah dia pulang ke lain rumah dan dia mempunyai anak

di lain rumah? Perempuan itu buru-buru menepis pikiran buruknya. Diagnosis dokter menegaskan, suaminyalah yang tak memungkinkan menebar benih untuk tumbuh dalam rahim perempuan itu, dan perempuan itu sama sekali tidak mempersoalkan. Belakangan dia bahkan merasa bersyukur karena dia tidak melahirkan generasi yang hanya akan diombang-ambingkan kedua orang tuanya sebagaimana yang dia alami. "Kalau cari harta untuk diri kita, memang cukup. Kan kamu tahu, wangsa-ku tak berhenti sampai di kita kan? Masih...." "Ya, masih ada tiga generasi di bawah kita. Kamu mengumpulkannya untuk mereka!" Masih dalam nada sesantunnya perempuan itu menukas. Dia hanya menegaskan jawaban yang pernah diucapkan suaminya. "Kita, setidaknya kamu, juga hidup karena investasi tiga generasi di atasmu!" sengit perempuan itu mencerocoskan kalimat. Kalimat yang juga pernah diucapkan suaminya. Baru sekali itu perempuan itu melengkingkan suaranya. Tapi tak ada guruh, tak ada guntur. Yang ada hanyalah gaung. Gaung yang memantulmantul menjadi gema itulah yang kemudian menumbuhkan rasa jengkel, juga kesal, yang lantas melonjak-lonjak dari kantung perutnya naik ke ujung leher, akhirnya malah memorakporandakan mata perempuan itu yang sesungguhnya mulai dilindapi kantuk. Selalu

begitu. Tak pernah lagi ada pengantar tidur yang menenteramkan perempuan itu. Jadinya, sosok kekasihnya pun tak pernah bisa utuh dia hadirkan dalam lamunannya. Bahkan perempuan itu juga susah payah memilih sosok kekasih yang mana yang ingin dia hadirkan dalam lamunannya. Masing-masing muncul dalam wajah remaja. Perempuan itu ingin salah satunya saja yang datang dalam mimpinya dalam ujud yang lebih kemudian, lebih ke masa sekarang, dan matang, lalu meranggeh tubuhnya dan mencengkeram dalam diam penuh kehangatan, satu hal yang sesungguhnya kerap dilakukan suaminya - namun kini dia maknai sebagai sekapan yang membuatnya pengap. Bahkan pun di saat-saat awal mereka masih membaui kursi pengantin dan ranjang pelaminan. Perempuan itu tak tahu adakah bergumpal mendung yang menggantung di atas rumahnya. Dia mendengar suara guntur. Dia mendengar air hujan menderas lebih dari sekadar gerimis. Dia matikan air condition kamarnya. Perempuan itu malah makin merasa kedinginan. Dia mencari-cari penghangat ruangan. Dia lupa, dia sedang tidak berada di sebuah hotel di Harlem, sebuah kota tua di Belanda, tempat dia berbulan madu dulu. Tak ada penghangat ruangan di rumahnya yang beriklim tropik. Kalau saja yang pergi bersamaku ke Harlem itu kekasihku. Perempuan itu membayangkan sosok salah satu kekasihnya, yang pertama kali mengajarinya berciuman bibir. Kalau saja yang menemaniku ke Leiden dulu itu

dia. Perempuan itu menghadirkan sosok kekasihnya yang lain, yang gugup-gagap saat pertama kali membukakan ritsluiting celana dril yang biasa dipakai perempuan itu. Halilintar pecah tepat di atas bubungan rumah. Perempuan itu makin menggigil. Kalau saja malam-malam begini aku bersamanya.... Sosok kekasih yang lainnya lagi muncul di hadapan perempuan itu. Dialah lelaki yang mengajarinya berteriak tanpa ada yang sama sekali mendengar sehingga teriakan itu menjadi lenguhan panjang. Guntur menggelundung di atas genting. Listrik padam. Pekat malam mengental. niyat ingsun turu..... Perempuan itu tak yakin apakah dia masih menginginkan kehadiran pembantunya yang mengajarinya doa susah tidur itu. turonku gedhong wesi..... Dia ingin salah satu kekasihnya - entah yang mana - bersusah payah menyibakkan pakaiannya. Dia ingin salah satu kekasihnya yang lain menjamah dadanya. Dia ingin kekasih-kekasihnya membuatnya berteriak kencang..... niyat ingsun..... Perempuan itu benar-benar berteriak. Dia tak ingin

menyimpan teriakannya dalam lenguh. Perempuan itu lalu lunglai. Matanya memejam tampak tenteram. Mulutnya menggumam pelahan: dikitari empat puluh empat malaikat, empat puluh empat malaikat..... Perempuan itu tidur sangat panjang. Dia tak sempat menyetel alarm di jam wekernya sebagaimana biasa. Dalam tidurnya perempuan itu bertemu dengan sesosok lelaki yang dia lupa kekasih yang ke berapa. Wajahnya begitu bersih, jenggot di dagunya habis dikerok, rambutnya begitu panjang, tubuhnya menguarkan parfum yang pernah dia hirup di museum Fragonard di Paris, yang dia batal beli karena parfum yang begitu harum itu hanya untuk koleksi museum. Kecupan lembut di mulut perempuan itu gagal dia reka, siapa yang pernah menciumnya selembut dan semesra itu. Saat lelaki itu menggandeng tangan perempuan itu menuju cakrawala, perempuan itu masih belum juga bisa memastikan siapa lelaki yang kini menghabiskan waktu dalam mimpi panjangnya ini. Jemari tangan perempuan itu merasakan ada lubang menganga bekas luka di telapak tangan lelaki yang menggamitnya, tapi itu tak memberikan makna apa-apa dalam diri perempuan itu. Perempuan itu tak sempat menengok sepasang kaki lelaki itu yang tak beralas sandal ataupun sepatu. Di dua mata kakinya juga menganga bekas luka akibat dipantek paku. Perempuan itu tak pernah tahu siapa lelaki itu.

Perempuan itu juga tak tahu apakah dia ingin terus bermimpi panjang dalam tidur yang melelapkan ataukah ingin segera dibangunkan. Lelaki itu bisa memenuhi permintaan perempuan itu. Aku tahu pasti itu karena aku tahu lelaki itu. Lelaki itu: aku..... Harlem, September 2002; Larangan Indah, Maret - 11 Oktober 2005 Catatan: 1. "Aku berniat tidur, rumahku bertembok besi; bantalku menyenyakkan, hatiku tetap teringatkan; ruhku menghadap, imanku mantap; dikelilingi 44 malaikat serta dilindungi para nabi dan wali..." (dari bahasa Jawa). 2. Harusnya, itu bukan doa, melainkan sholawat nabi. Artinya: ya Allah, semoga keselamatan selalu dilimpahkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad dan juga kepada keluarganya. 3. Cece (dari bahasa Mandarin): panggilan untuk kakak perempuan atau dihormati. Bagi yang fasih, lafalnya menjadi 'ciecie.' Bagi yang mau pilih gampangan, lafalnya menjadi 'cicik'. Lebih intim ketimbang panggilan 'tacik.' 4. Inlander: sebutan untuk pribumi Indonesia pada zaman kolonial Belanda. 5.Singkek: sebutan untuk etnis Tionghoa totok.

6. Tacik (bahasa Mandarin): panggilan untuk perempuan lebih tua atau dihormati; agak berjarak dibandingkan 'cece'. 7. Taysen (bahasa Mandarin): pasangan atau kekasih. Kalau mau jujur, kutipan itu berasal dari dialog dalam cerpen 8. "Silsilah Ayah, Anjing, dan Kepinding" (Veven Sp Wardhana, 2005).

Minggu, 04 Desember 2005 CERPEN

Malaikat Kakus

* Triyanto Triwikromo

MENDADAK penjara ini seperti baru saja melahirkan putra terkasih. Waktu itu malam belum lengkap, angin busuk menusuk tengkuk, dan sipir berkali-kali menatap arloji sambil berjalan terbungkuk-bungkuk. Namun sungguh di luar dugaan terlihat dari ceruk kakus menyembul bocah kecil dengan sayap bertulang ranum. Tak berani kukatakan kepada teman-teman satu sel betapa pada malam asin dan anyir itu sesosok malaikat kecil telah tersesat. Dan karena

menyembul dari lubang gelap, tentu sayapsayapnya menguncup, belepotan tinja, lumpur, oli, dan segala kotoran yang tak pernah kaubayangkan baunya. Meski demikian, kau tak boleh menyebut bocah kencur 14 tahun itu sebagai malaikat kecil yang senantiasa menebarkan parfum terwangi. Sebab kali pertama kulihat ia lebih menyerupai anjing yang selalu mendengus-dengus. Matanya menatap jeruji dengan liar dan ganas. Dari mulutnya yang penuh ludah sesekali menyalak keras-keras suara serigala dan berbagai hewan purba. "Jangan kau sakiti dia," tiba-tiba sipir menghardikku sambil menggandeng laki-laki kecil rupawan itu ke sel paling ujung. "Aku tak akan pernah menyakiti dia," kataku sambil membuncahkan desis tak keruan yang mungkin belum pernah didengar oleh sipir atau kepala penjara sekalipun. Ya, aku tak akan pernah menyakiti malaikat kecil itu. Tak akan kubiarkan dia tidur bersama tikustikus bui. Tak kubiarkan siapa pun di penjara ini mencumbu dia semalam suntuk. Akan aku ajak berkelahi lelaki perkasa yang akan menggasak anus ranumnya itu. "Kau tahu siapa bocah tengik ini?" sipir bertanya padaku. Jemarinya yang lentik membelai rambut malaikat kecil itu. Aku menggeleng. Namun dalam hati aku berkata,

"Dia mesias kami. Dialah yang akan memerdekakan kami dari penjara busuk ini." *** SUATU hari--saat kami mencabuti rumput liar di lapangan-- aku menyapa malaikat kecil itu. "Masih ingat aku, bocah rembulan?" "Assssssb Asssssssb Assssssssb Assssssssb," jawab bocah harum itu sambil menggeleng. "Apakah ganja juga yang menerbangkan dirimu ke surga busuk ini?" "Assssssb Asssssssb Assssssssb Assssssssb." "Apakah kau juga telah melihat Kristus disalib di Ujung Dunia?" "Asssssssssb Assssssb Asssssb Asssssssssb," ia terus menggeleng sambil menatapku curiga. "Baiklah... sudah 30 hari kau di penjara gila ini. Tak takut disodomi?" Dia menggeleng lagi. Meski demikian, tiba-tiba mata dalam wajah yang menghijau itu melotot. Berpaling dariku, dia melenguh, "Oto-san! Oto-san! Assssssssssbbb. Asssssssssb. Asssssssssb." Waktu itu aku sama sekali tak tahu siapa yang dimaksud dengan Oto-san. Aku juga tak tahu mengapa dia selalu melenguhkan bunyi "Asssssssssssbbb" yang sama sekali tak kuketahui maknanya. Semula aku menduga malaikat tentu

memiliki bahasa lain sehingga kubiarkan saja dia mencerocos dengan sabda-sabda purba semacam itu. Namun, aku juga ingat pada bahasa lidah yang dimiliki Lucifer, malaikat pengkhianat surga yang kukaribi selama ini. Karena itu, kadang-kadang aku menyimpulkan, bocah tengik yang tiba-tiba nongol dari ceruk kakus itu tak lebih dari iblis kecil yang tersesat saja. Aku bersimpulan seperti itu, karena segala tanda yang dimiliki iblis juga melekat di wajahnya. Selain memiliki sayap kukuh--kalau dipandang terlalu lama justru tiba-tiba menghilang--dia juga punya lidah api, rambut ular, mata burung hantu, dan sepasang cula runcing di dahi. Namun, yang membuatku bingung, segala tanda yang dimiliki malaikat juga melekat di sekujur tubuh. Ya, selain tak bersayap hitam, di setiap jemari tumbuh cahaya. Segala bunyi yang keluar dari mulutnya, kau tahu, menebarkan wewangian yang membuat siapa pun yang mendengarkan seperti akan hidup teduh sampai ribuan tahun tak terjangkau. Tak butuh waktu lama untuk mengetahui segala hal yang berkait dengan Oto-san. Aku tahu siapa dia ketika pada siang yang berdebu, lelaki itu menjenguk malaikat kecil itu di ruang besuk. Lelaki itu tak tampak sebagai pria perkasa yang layak memiliki anak manis seranum malaikat kecilku itu. Datang bersama perempuan bermata sipit berkulit kuning gading, dia justru tampak seperti anjing mabuk. Matanya cekung. Mulutnya penuh kata-kata dan selalu tampak menceracau saat berbicara. "Kau kian kagum pada para penjahat ketimbang

sipir dan kepala penjara bukan?" Pria anjing mulai membelai malaikat kecil yang kelak kuketahui bernama Sakram itu. "Oto-san! Oto-san! Aku kangen sinar matahari. Namun, mereka hanya memberiku Assssssssb! Assssssb! Asssssssb!" Pria anjing tak mendengar dengus malaikat. Meski demikian, berlagak sebagai ayah yang memiliki segala alasan untuk merasa lebih benar dari anakanaknya, dia menggonggong tak keruan, "Kau mulai dendam pada keadilan bukan?" Malaikat kecilku menggeleng. Namun, mendadak dalam bahasa yang kumengerti, dia mendesis pelan, "Januari aku selalu ingin melihat penjara, April aku tato bahuku dan mulai minum ciu di belakang kantor polisi, dan Mei aku bertemu Andi lalu ngganja urun seribu. Setelah itu aku ditangkap polisi, Oto-san. Setelah itu aku menunggumu." "Menungguku? Untuk apa?" "Aku berharap kau mau menemaniku, Oto-san. Aku ingin kau melihat tikus sebesar anjing menggerogoti kaki saat kita terlelap tidur atau pusing menghitung kapan disidang kapan dibebaskan. O, di tempat ini, aku juga melihat anjing sebesar Oto-san. Anjing itu hanya muncul saat aku kangen Oto-san. Kadang-kadang ia memiliki sayap sehingga bisa terbang, keluar dari penjara brengsek ini." Pria anjing tergagap mendengar permintaan yang

sangat tak terduga itu. "Apakah polisi mendengar dengus-desisku, Otosan? Apakah polisi melarang aku bertemu denganmu, Oto-san? Apakah aku tidak boleh jadi kecoa pujaanmu?" Pria anjing tetap bungkam. Tidak. Tidak. Ruparupanya dia berusaha meledakkan kata-kata, tetapi tak seletup pun bunyi membuncah dari mulutnya yang sangat dipenuhi bau nikotin itu. "Sudahlah, Oto-san. Siapa pun memang tak bisa kuandalkan di tempat ini. Aku harus melawan siapa pun sendiri. Aku harus memilih kawan dan lawan sendiri. Aku harus bertahan dan melawan ketakutan sendiri." Edan. Hampir saja, aku, Darbol, lelaki yang didewakan di tempat yang memungkinkan aku meminang siapa pun yang ingin kucumbu, memekik kegirangan karena mendapatkan juru selamat sejati yang kelak tak akan bisa ditaklukkan oleh kekerasan atau siksaan paling keji itu. "Sekarang pulanglah, Oto-san...." Pria anjing tak berani menggonggong. Dia beranjak dari ruang tunggu dan sesegera mungkin meninggalkan tempat itu. Pada saat semacam itu, aku baru tahu di kedua bahunya juga tumbuh sayap tua rapuh yang mungkin tak lagi berguna. Tentu aku tak perlu terkejut melihat pemandangan semacam itu. Di kota ini siapa pun bisa berpenampilan seperti malaikat atau iblis. Iblis dan

malaikat hanyalah atribut yang bisa dipilih saat seseorang hendak pergi ke pesta, ke kantor dewan, bahkan ke penjara busuk. Karena itu pula, aku tak terkejut sama sekali ketika Sakram tiba-tiba menyembul dari kakus. Menyembul dari lubang gelap atau pintu resmi yang dijaga para sipir bukanlah persoalan penting. Kami, para pria iblis, hanya peduli pada anus dan keganasan mereka saat mencium atau mencumbu pejantan-pejantan perkasa di sel ini. Aku tak sempat menyaksikan pria anjing keluar dari jeruji yang membatasi penjara dengan dunia luar. Mataku lebih tertarik menatap Sakram yang asyik membaca kitab besi bersama ibunya. "Apa saja yang telah kaupelajari di sini, Sakram?" sang ibu bertanya sambil menunjuk gambar iblis di kitab tua, "Kau mendapatkan pelajaran mencium kawan-kawanmu dari iblis lembut seperti ini?" Sakram mengangguk. Sambil melirik ke arahku, dia memperkenalkan siapa pun yang ditemui di penjara kepada sang ibu. "Iblis pertama yang kutemui bernama Darbol, Mam. Dia mengajariku memukul pria-pria ranum yang lebih kecil. Dia juga membelai dan meraba-raba pantatku setiap malam." Merasa Sakram bakal terancam sepanjang malam, wajah perempuan bermata senja itu menghijau. Segala yang bersekutu dengan kegelapan menghunjam ke mata dan jiwa. "Darbol juga mengajariku melawan sipir, menipu

jaksa, dan hakim. Kata Darbol, percuma jujur di hadapan mereka. Malaikat paling perkasa pun kalau tak punya duit, bisa mereka jebloskan ke penjara." Aha! Hanya dengan memahami segala bunyi "Assssbbbbb" yang selalu meletup dari mulut malaikat kecil itu, aku memang mengajari Sarkam agar lebih sadis memukul atau menempeleng penghuni penjara lain. Aku juga mengajari bagaimana menyundutkan rokok ke wajah atau leher penghuni baru. "Kalau tak sadistis atau kejam, mereka akan membunuh atau menghajarmu dengan cara yang lebih ganas dan menyakitkan." Sebagaimana biasa, Sarkam hanya membisu. Di hadapanku, selain hanya meletupkan bebunyian aneh, dia memang lebih suka memoncongmoncongkan mulut. Sebagaimana biasa pula, dia tak mau mempercakapkan apa pun denganku. Tak ada bahasa dan kata-kata di antara kami. Sebenarnya tanpa kuajari, malaikat ranum itu bisa mencangkok tabiat apa pun yang dilakukan oleh para penghuni penjara. Lambat laun Sarkam akan mahir melakukan segala tindakan yang tak pernah dia kerjakan di luar sel. "Iblis kedua bernama Kirik, Mam. Kirik, kau tahu, karena ingin libur sekolah sepanjang hari, dia membakar sekolah di desanya. Dan kini, secara sembunyi-sembunyi bersamaku dia merencanakan membakar penjara ini." "Membakar penjara? Bukankah dengan membakar

tempat ini kalian akan turut terbakar?" kata perempuan bermata senja itu mengingatkan. Sayang sebelum Sakram merespons kata-kata sang ibu, waktu kunjung telah berakhir. Semua pembesuk, siapa pun mereka, malaikat atau iblis, harus meninggalkan ruangan ini. Itu berarti jam kekuasaan para sipir -yang kerap terima sogokan dari para pembesuk yang ingin menambah waktu berkunjung-juga berakhir. Pada saat-saat semacam itu, ganti aku yang berkuasa. Ganti aku merampas atau meminta paksa makanan, mainan, pil koplo, atau apa pun yang bisa disusupkan secara legal atau tak legal. Meski demikian, sedikit pun tak kusentuh segala yang dimiliki oleh Sakram dan Kirik. Mendekati sel dua bocah ranum itu, aku seperti berhadapan dengan medan api yang siap melahap wajahku. Kadang-kadang sel mereka dililit naga bermulut gua. Kalau sudah begitu, aku hanya berani meneriakkan kata-kata jorok agar mereka terangsang dan segera bercumbu dengan ganas di hadapanku. Sayang sekali Sakram bukan malaikat bloon. Merasa sepanjang hari sepanjang malam tak bisa melepaskan diri dari kebuasan mataku, suatu hari dia mengajak Kirik membakar selku. "Aku sudah mencegah, tetapi dia tetap akan mewujudkan rencananya. Dia akan membakar sel dan kalau perlu wajah Sampean," kata Kirik membocorkan rencana busuk Sakram kepadaku. Saat itu aku tak bisa menahan tawa yang meledak.

Meski demikian, aku tak meremehkan rencana Sakram. Aku yakin, bukan tak mungkin dia membakar sel dan merontokkan keberanianku. Karena itu, malam itu aku menunggu aksi Sakram. Aku menunggu dia menyemburkan api ke sel. Aku menunggu dia menjilatkan panas neraka ke wajah ganjilku. *** "Ayo malaikat kakus, bakarlah wajahku. Hanya dengan cara ini, kau bisa menjadi mesias bagi segala iblis laknat di penjara ini. Hanya dengan membakar aku, kau akan jadi gali sejati," pekikku dengan syahwat merindu mati. Sebagaimana biasa, Sakram tak mau membuncahkan kata-kata. Sebagaimana biasa dia hanya memandangku dengan sinis dan meletupkan mantra malaikat purba. "Kalau kau tak mau membakar aku, aku yang akan membakarmu. Kau kira mulutku tak bisa menyemburkan panas neraka? Kau kira aku hanya iblis biasa. Kau kira aku tak bisa menciptakan seratus Lucifer dan memerintahkan mereka berjubel di selmu?" Malaikat kakus itu tetap diam. "Camkan, Sakram, aku juga bisa membakar diriku sendiri. Namun, krematorium semacam itu, tak akan melahirkan jagoan masa depan. Krematorium seperti itu hanya akan melahirkan iblis pengecut sepertimu."

Kini wajah malaikat kakus itu tampak menegang. Meski demikian rupa-rupanya Sakram tak bisa kujebak dengan kata-kata bodohku. Matanya malah tampak menghardikku. Tidak! Tidak! Mata itu menatapku dengan pandangan kasihan yang melenakan. Mata itu seperti menjadi telaga yang memungkinkan aku becermin dan menatap coreng-moreng perjalanan hidupku sebagai iblis. Lihatlah! Lihatlah, di telaga itu wajah 14 tahunku saat kali pertama mengganja begitu manis dan bercahaya. Dan itu tak terlalu berbeda dari wajah 16 tahunku ketika menyundutkan rokok ke mata pelacur tua yang mengolok-olokku sebagai coro. Ah, wajahku juga tak berubah ketika pada usia 17 tahun aku membunuh Toar, bramacorah terkuat di kampungku. "Wajahmu tak akan pernah berubah, Darbol. Sekalipun kau membakar penjara ini, garis-garis iblis akan menggurat di pipi. Jadi, bunuhlah keinginanmu menjadikan siapa pun di penjara ini sebagai iblis. Jangan sampai aku mengatakan tiga kali kutukan ini, Darbol. Jangan sampai wajahmu menyerupai ceruk kakus. Jangan sampai kau cuma jadi coro yang tiba-tiba menyembul dari lubang penuh tinja itu!" Mula-mula aku berani menatap mata Sakram. Mata kami bahkan beradu sehingga menimbulkan bunyi dentang pedang yang saling bersentuhan. Namun, akhirnya aku tertunduk lemas ketika hardikan Sakram tak bisa kubendung dan tiba-tiba sudah menyusup ke telinga dan menghunjam ke dadaku. Tanpa harus melihat gerak mulut bocah brengsek itu, aku yakin Sakramlah yang mengasah

dan menghunuskan kata-kata busuk. "Kau jangan pernah berpikir berhasil mengubahku menjadi iblis, Darbol. Hari ini juga aku akan meninggalkan sel busuk ini. Kau mungkin bisa mengubah Kirik menjadi anjing, tetapi kau tak akan bisa mendidik iblis yang lebih iblis, malaikat yang lebih malaikat darimu menjadi boneka mainan. Kau...." Aku tak mau mendengarkan lagi kata-kata dia. Mendengarkan hardikan Sakram sama saja dengan menyorongkan dan menghanguskan wajah dalam nyala api yang menjilat-jilat. Yang paling mungkin kulakukan adalah membayangkan malaikat kakus itu berjalan pelan-pelan ke pusat lapangan, membentangkan tangan seperti padri tersalib, menjejakkan kaki--yang kemungkinan telah bersayap--tujuh kali, lalu terbang meninggalkan penjara anyir ini. Tidak! Tidak! Mungkin dia memang terbang. Namun, sangat mungkin melesat ke ceruk kakus. Kembali ke asal. Ke lubang gelap yang menguncupkan sayap. Ke lubang gelap yang menguncupkan harapan. Ah, apakah dalam hidupmu, kau juga pernah melihat malaikat kecil menyembul dari ceruk kakus? Kalau pernah menatap makhluk menjijikkan itu, kupastikan dia bukan Sakram. Aku telah menggelontorkan berember-ember air di ceruk kakus. Aku yakin dia telah hanyut ke sungai amis yang melintasi rumah sakit jiwa di kotamu. Atau kalau sayapnya tak menguncup, dia pasti tak mau hidup di kota ini. Aku mendengar dari Kirik, ia akan terbang ke Negeri Seribu Matahari. Ke

negeri asal api. Ke negeri tempat pria anjing dan wanita peri membiakkan air mata di segala bunga dan kolam-kolam sunyi. Aku sama sekali tak mengharapkan dia menjadi bangau bodoh yang selalu merindukan sarang hanya karena terlalu karib pada dengus pria anjing dan wanita peri yang melenakan. Dia harus selalu pergi dan tak perlu memikirkan jalan pulang yang sewaktu-waktu bisa membunuh secara perlahanlahan. Pergi, wahai bajingan kecil, pergi ke neraka pujaan. Magelang-Semarang, Juni-November 2005 Cerpenis adalah penulis buku Sayap Anjing (2003), Children Sharpening the Knive (2003), dan Malam Sepasang Lampion (2004).

* Damhuri Muhammad

TIADA cela pada diri Nilam Sari. Cerdas otaknya. Tinggi sekolahnya. Taat ibadahnya. Anggun paras wajahnya. Santun tutur katanya. Lembut suaranya bila menyapa. Pandai benar ia membawa diri. Maka, banyaklah lelaki yang menaruh hati, berhasrat ingin mempersuntingnya. Pinangan pernah datang dari Tanbara. Lelaki dari kampung sebelah. Kabarnya, sudah tiga tahun berdinas sebagai tentara. Nilam Sari hanya menunduk dan diam sewaktu Tanbara beserta keluarga datang melamar. Tapi, bukankah tak menjawab sudah berarti sebuah jawaban? Diam pertanda menerima. Senang tiada terkira Cu Sidar merasa. Tak disangka, ia bakal punya menantu tentara. Berpangkat sersan pula. Tegap tampangnya. Berwibawa penampilannya. Serasa mendiang ayah si Nilam bakal hidup lagi. Almarhum suami Cu Sidar, dulu juga tentara. Maka, yang hilang bakal berganti. Tentara berganti tentara. Semoga kelak mereka dikaruniai anak laki-laki yang bercita-cita jadi tentara pula. Saat akad nikah akan digelar, (sebelum ijab dan qabul diucapkan di depan penghulu), tiba-tiba Tanbara menghentak-hentak seperti kesurupan, dan menolak duduk bersanding dengan calon istrinya. Gemetar dan menggigil lelaki berkepala cepak itu setelah melihat Nilam Sari muncul dari kamar, mengenakan baju pengantin, lengkap dengan kerudung yang melingkar di kepalanya. Konon, dari kerudung merah jambu penuh renda-renda itu, asal-

Minggu, 27 November 2005 CERPEN

Perempuan Berkerudung Api

muasalnya petaka. Percaya atau tidak, Tanbara bersaksi, kerudung itu dilihatnya serupa lidah api yang menjalar-jalar di ubun-ubun Nilam Sari. Perempuan itu seperti sedang menjunjung tungku yang menyala. Panas minta ampun hawa di dalam rumah Cu Sidar. Tanbara berkeringat, disertai cemas dan waswas bakal dilalap api bila mereka tetap menghadap penghulu. Seperti dikejar hantu Tanbara lari terbirit-birit, meninggalkan kerumunan orang-orang yang terperangah keheranan. "Tidak, saya tidak akan menikah dengan Nilam. Ia memakai kerudung api. Bisa mati gosong saya dibuatnya," ucap Tanbara berulang-ulang, serupa orang mengigau. Malanglah nasib Cu Sidar. Maksud hati hendak menggelar pesta besar-besaran. Kambing dan sapi sudah siap disembelih. Undangan sudah tersebar pula. Tapi celaka! Akad nikah batal. Entah iya, entah tidak. Nilam Sari mengenakan kerudung api. Membikin takut si tentara, hingga tak berani mendekat. Ah, siapa pula yang tak gamang melihat kobaran api? Hari itu, Cu Sidar gagal bermenantu tentara. "Kerudung macam apa pula kiranya yang kaupakai, Nilam?" "Apa benar yang dikatakan Tanbara?" "Sudahlah, Mak! dengan tentara." Mungkin tak berjodoh awak

perantau muda. Kabarnya, sudah punya toko kelontong di Jakarta. Setinggi-tinggi terbangnya burung bangau, di kubangan juga tempat hinggapnya. Sejauh-jauh Zulkifli merantau, di kampung juga ia hendak mencari bini. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Nilam Sari, si gadis elok laku kebetulan masih sendiri. Jatuhlah pilihan pada perempuan itu. Sejatinya, sudah tersiar 'kabar kabur' soal Nilam Sari. Anak tunggal Cu Sidar itu memang cantik alang kepalang, mengundang puja-puji, decak kagum di sana-sini. Tapi, manalah mungkin Zulkifli dapat memilikinya? Nilam Sari serupa mawar berduri. Sedap hanya dipandang mata. Bila disentuh, Eiit ! Tangan bisa terluka. Dari mulut ke mulut diceritakan, perempuan itu kerap terlihat memakai kerudung api. Menyala, menjalar-jalar, serupa api unggun yang berkobar di ubun-ubunnya. Lebih-lebih, bila yang melihat adalah lelaki yang menaruh hati. "Awak tak peduli. Akan awak lamar itu si Nilam," tekad Zulkifli, meluap-luap, menggebu-gebu. "Setelah menikah, Jakarta." akan awak boyong ia ke

"Coba saja kalau kau berani!" "Tubuhmu pertama." bakal hangus terbakar di malam

"Ingat, Nilam Sari tak akan pernah bersuami!" Tak sekali dua musibah ini menimpa Cu Sidar. Pernah pula pinangan datang dari Zulkifli, si "Diam kalian! Sebentar lagi awak akan jadi

lakinya." Begitulah. Nilam Sari tak menyela barang sepatah kata pun ketika ibu-bapak Zulkifli melamar ke rumah Cu Sidar. Seolah tiada bertenaga ia mengangkat kepala, sekadar menatap kening Zulkifli yang makin mengilat saja sejak sukses jadi pedagang. Tentu, diam sudah jadi kiasan sebuah jawaban. Nilam Sari tak banyak pilih. Giranglah pula hati Cu Sidar. Dihitung-hitungnya persediaan uang yang tersisa, guna menggelar helat yang hanya sekali seumur hidupnya. Bila tak cukup, tidaklah soal. Jual saja satu-dua koin emas yang tersimpan rapi dalam kaleng bekas biskuit di biliknya. Tak perlu khawatir, bila kelak si Nilam benar-benar diboyong ke Jakarta. Sekali waktu bila rindu, bolehlah Cu Sidar berkunjung ke sana. Menjenguk cucu sambil melihat-lihat usaha si menantu. Pun, bila modal berdagang perlu ditambah, tak pula sukar bagi mertua kaya seperti Cu Sidar. Lelang saja sawah barang sepetak dua petak. Lalu, uangnya kirimkan untuk Zulkifli! Tapi musibah datang lagi. Meski baju pengantin sudah berganti. Kali ini bersulam benang emas, mengilat kekuning-kuningan. Kerudung penutup kepala juga bukan Merah Jambu lagi. Sudah berganti Putih, pertanda hati yang suci. Namun, tetap saja ubun-ubun Nilam Sari menyemburkan hawa panas yang membara. Lidah api menjilat-jilat, menjalar-jalar. Belum lagi penghulu datang, Zulkifli sudah lari terkangkang-kangkang. Serupa dikejar hantu, calon mempelai itu menghamburi kerumunan tamu, lalu melompat lewat jendela. Tak tahan ia menanggung panas yang menyeruak dari kerudung

api di kepala Nilam Sari. "Menyesal awak cari bini di kampung ini. Masa si Nilam berkerudung api. Bisa hangus jadi abulah awak nanti." "Cari gadis lain, jangan kawin dengan perempuan berkerudung api!" **** Mana mungkin kami dapat memiliki delapan belas bidang sawah, empat bidang kebun kelapa, tiga kaveling ladang cengkih, dan berpuluh-puluh keping koin emas itu, bila anak gadisnya masih ada? Silsilah keluarga Cu Sidar tidak akan punah selama Nilam Sari, putri tunggalnya itu masih hidup. Tentu, ke tangan perempuan itulah hak waris bakal jatuh. Akan bertambah panjang pula penantian kami bila gadis hitam manis itu sudah dilamar orang. Menikah, berketurunan, berkembang biak melahirkan ahli-ahli waris baru. Tapi, kami sudah lama melarat. Kami ingin hidup makmur seperti Cu Sidar, saudara jauh kami itu. Kami ingin menjadi ahli waris hartanya. Sudah bosan kami hidup miskin. Tapi, bagaimana caranya? "Nilam Sari tak boleh dapat jodoh!" "Banyak yang jatuh hati padanya. Mana mungkin kita halangi?" "Pokoknya, jangan sampai ia menikah, apalagi punya keturunan."

"Apa yang mesti kita perbuat?" "Bila tak mempan cara lahir, pakai cara batin. Guna-gunai saja perempuan itu!" Sedikit lega kami merasa. Kini, Cu Sidar sudah tiada. Sejak kegagalan demi kegagalan perkawinan anak gadisnya itu, sering ia sakit-sakitan. Jarang keluar rumah, mengurung diri dalam bilik. Ada kami tawarkan bantuan, hendak membawa perempuan ringkih itu ke rumah sakit. Siapa tahu ia mengidap penyakit kronis. Soal biaya, tidaklah jadi pikiran. Tinggal menjual satu-dua koin emas yang masih menumpuk dalam kaleng bekas biskuit. Tapi Cu Sidar menolak. Ini sudah penyakit tua, percuma, katanya. Kian hari, kian buruk saja keadaannya, hingga Cu Sidar terbaring lemas, berhari-hari tak sadar diri. Meninggal juga Cu Sidar akhirnya. Kami kuburkan jenazahnya di belakang rumah, sesuai wasiatnya. Agaknya tidak akan lama lagi kami menunggu. Delapan belas bidang sawah, empat bidang kebun kelapa, tiga kaveling ladang cengkih dan berpuluhpuluh keping koin emas itu bakal jadi milik kami. Tentu, setelah Nilam Sari, perempuan berkerudung api itu juga mati, menyusul Cu Sidar, emaknya. Mustahil Nilam Sari beroleh suami. Sebab, ia masih dikuasai kekuatan jampi-jampi kami. Maka, ia tetap saja perempuan berkerudung api. Siap membakar tubuh lelaki mana pun yang berhasrat memperistrinya. "Persingkat saja penungguan kita!"

"Apa pula maksudmu?" "Putuskan tali mampus...." jantung perempuan itu! Biar

"Jangan buru-buru, sabar sedikit!" "Tak dibunuh pun, bakal mati sendiri" **** Lengang benar rumah itu sepeninggal Cu Sidar. Sementara itu, gunjing perihal perempuan berkerudung api tak kunjung reda. Tak tahu Nilam, ke mana hendak mengadu. Kawan-kawan sejawat dan tetangga-tetangga dekat tiada berkenan mendengar keluh kesahnya. "Kelak bila tak ada lagi yang dapat dianggap saudara, lebih baik pergi jauh-jauh!" begitu nasihat Cu Sudar pada Nilam Sari, beberapa hari sebelum kematiannya. "Bolehlah kau tak berjodoh di kampung ini. Siapa tahu di negeri seberang, ada lelaki yang menunggumu." Delapan belas bidang sawah, empat bidang kebun kelapa, tiga kaveling ladang cengkih, dan berpuluhpuluh keping koin emas peninggalan Cu Sidar, dijual Nilam Sari, ludes tak bersisa. Juga rumah dan semua perabotannya. Bukankah itu semua memang milik Nilam Sari? "Kenapa tak kausisakan kami barang sedikit,

Nilam?" "Kami juga saudara emakmu, bukan?" "Sisakanlah barang sebidang kebun kelapa atau ladang cengkih!" "Saudara? Saudara apa namanya yang tega mengguna-gunai anak gadis saudaranya sendiri?" "Kalian buat saya berkali-kali gagal menikah. Kalian baca jampi-jampi agar kerudungku tampak serupa kobaran api. Kalian ingin kami punah. Lalu, kalian bakal menjawab hak waris. Kalian masih menganggap emak saya sebagai saudara?" Tergesa-gesa Nilam Sari pergi meninggalkan kami. Entah ke mana ia hendak menuju. Terus kami perhatikan langkah-langkah gegasnya. Di ujung jalan, sedan cokelat tua berhenti dalam keadaan pintu terbuka, siap membawa perempuan itu. Sebelum masuk ke dalam mobil, masih kami lihat kobaran api menjalar-jalar di ubun-ubunnya. Nilam Sari tetaplah perempuan berkerudung api, selama masih menginjakkan kaki di kampung ini. Pengaruh guna-guna itu akan musnah, bila ia sudah menyeberang laut. Entah siapa yang membuka rahasia jampi-jampi kami. Mungkin, Nilam bakal berlayar. Jauh, ke negeri seberang. Agar kutukan kerudung api itu hilang. Agar, ia segera beroleh jodoh. Menikah. Meneruskan silsilah keluarga Cu Sidar. Meski usianya sudah berkepala empat. ** Kelapa Dua, 2005, Penulis adalah cerpenis, tinggal di Jakarta. Buku antologi cerpennya Laras, Tubuhku Bukan Milikku (2005) lelaki itu dengan aneh.
Minggu, 16 Oktober 2005 CERPEN

Poni Mauri
* Yetti A KA

KAUPOTONG ponimu terlalu pendek, kata lelaki itu seolah-olah hanya bicara untuk dirinya sendiri, sebab ia mengatakan itu tanpa penekanan yang jelas tertuju pada siapa. Tapi, perempuan empat puluh tahun yang sedang menikmati semangkuk sup bayam, tiba-tiba mengurungkan suapan ketiga yang hampir sampai di mulut. Dari bibirnya tanpa lipstik terdengar keluhan kecil. Dan matanya yang mirip mata kucing menatap

"Sesuatu telah terjadi padamu dan aku tidak mengerti sama sekali," sesal perempuan itu. Terdengar suara sendok jatuh di piring kosong. Kali itu, empat pasang mata berpandang-pandangan. Seekor kucing belang terburu-buru sembunyi di bawah meja makan. Dua ekor cicak yang kejar-kejaran di dinding menyingkir ke balik lemari pendingin. Mereka tidak pernah keluar lagi setelah lima menit berlalu. Pagi yang kering. Wajah-wajah kaku. Waktu merangkak teramat lambat. Seluruh mata masih tertuju pada sendok yang meringkuk di atas piring kaca biru tua. Saling menatap penuh tanya. Dalam diam, dalam hening. Tidak satu pun di antara mereka mencoba membuat lelucon atau celetukan yang bisa memecahkan suasana kaku. Seolah-olah mereka sengaja terbenam, menikmati seluruh diri, sepenuh hati. Sesuatu tidak biasa, terjadi di meja makan, dan itu benar-benar kejutan akhir minggu yang harusnya cukup menyenangkan. Hampir tujuh tahun, kehidupan di rumah itu bergerak datar, tanpa riak dan ombak. Masing-masing bergerak di garisnya sendiri, tidak saling bersentuhan dan bersinggungan. Mereka jarang sekali bicara. Sangat hati-hati bersikap. Seakanakan mereka menghindari perselisihan yang bisa saja pecah karena salah paham sekecil apapun. Kedua anak perempuan dari keluarga itu, berusia dua belas dan sebelas tahun. Setelah mematung cukup lama dan larut dalam kesenyapan tiada akhir, sedikit tidak sabar menghabiskan masing-masing segelas susu full cream dan meninggalkan meja makan tanpa sarapan seperti biasanya--dua lembar roti diolesi mentega dengan dadar telur di tengahnya--karena takut terlambat mengikuti pelajaran pertama hari itu. Tentu saja itu hanya sekadar alasan untuk menghindari kekakuan yang mulai memuakkan di meja makan yang menyisakan beberapa

menu pagi, vitamin dan dua gelas susu rendah lemak tanpa gula. Perempuan itu masih diam, menghadap hidangan yang mulai dingin. Matanya sendu menangkap kursi yang ditinggalkan kedua putrinya dengan cara amat tergesa. Ia sangat tidak menyukai sesuatu yang buruk harus terjadi di meja makan di hadapan anak-anak. Apalagi pada pagi hari, saat berkumpul dan memberikan senyuman satu sama lain sambil menikmati semangkuk sup bayam atau roti tawar. "Kau benar-benar membuat semua berantakan," perempuan itu berkata saat lelaki di depannya berdiri dan menggeser mundur kursinya. Wajahnya terlalu beku untuk meninggalkan satu senyuman di sebuah pagi tanpa warna. "Kau potong ponimu terlalu pendek, Mauri. Hanya itu." Piring jatuh ke lantai. Berhamburan. Suara-suara bertabrakan. Kucing belang mengeong beberapa kali, segera lari dari persembunyian, melewati pintu utama yang masih terbuka. Pecahan piring berserakan dekat kaki meja. Perempuan menatap udara kosong. Tercenung. Kemudian ia berdiri, dua kakinya mulai terasa pegal. Melangkah. Mungkin ke kamar mandi. Barangkali juga menangis. Ia pernah bertanya kepada seorang teman, kenapa perempuan sering kali memutuskan menangis saat tertekan. Kala itu, temannya tidak dapat menjawab, tapi meyakinkannya bahwa untuk perempuan seperti dia lebih baik tidak menangis dalam keadaan apa pun. Tapi jika ia sedih, bagaimana mungkin bisa tertawa.

*** Mauri melihat wajahnya dalam cermin. Menelusuri sudut demi sudut bangunan berbentuk oval tanpa make-up. Sedikit pucat. Terkesan dingin dan angkuh. Tangan Mauri bergerak menyentuh dagunya yang runcing. Dagu yang pernah membuat seseorang memberinya seratus paket bunga selama tiga bulan lebih, tiap hari. Seseorang itu jatuh cinta pada dagu Mauri. Dagu runcing mencuat keluar, seperti ujung ranting sebatang pohon. Aku bukan pohon, kata Mauri ketika ia mendengar alasan kenapa lelaki itu mengejar dagunya. Tapi aku sering membayangkanmu sebagai pohon. Kau memiliki daun-daun lebat, ranting-ranting yang mencuat tajam. Salah satu yang terindah, dagumu yang runcing. Dagu yang lebih tajam dari duri mawar. Kubayangkan bila seseorang tersesat di sana dan tidak hati-hati, sayapnya bisa sobek, lalu jatuh. Mauri sering tertawa sendiri mengenang wajah lelaki pelukis itu. Mereka bertemu di taman kanak-kanak ketika Mauri menjemput kedua putrinya yang duduk di kelas nol besar dan nol kecil. Lelaki pelukis menjemput putranya yang satu kelas dengan putri tertua Mauri. Dari perkenalan yang biasa-biasa saja, lelaki itu mulai menunjukkan perhatian khusus pada Mauri. Secara terus terang ia memuji Mauri, terutama sekali dagunya yang bergayut indah dan tajam. Bahkan dia ingin melukis dagu Mauri. Tentu saja Mauri mengelak dengan berkata bahwa ia tidak berbakat jadi model lukisan. Lelaki pelukis berjanji akan menundukkan Mauri, pada saatnya nanti. Mauri tetap saja tidak mampu membayangkan seseorang mengutak-atik sesuatu yang melekat di tubuhnya. Dengan mata teduh ia berharap lelaki pelukis melupakan

keinginannya itu. Lalu hubungan mereka mulai tidak sederhana ketika lelaki itu mengirimi Mauri paket bunga. Bagi Mauri, bunga yang dikirim oleh seorang lelaki tidak dapat dianggap biasa. Bunga dapat mewakili banyak kepentingan. Dan mungkin saja, lelaki pelukis itu tengah berusaha merayunya. Satu langkah pertama, untuk kemudian membuatnya menyerah dan membiarkan dagunya terpampang di atas kanvas. Jangan kirimi aku lagi bunga, pinta Mauri ketika mereka bertemu kembali di halaman taman kanak-kanak. Lelaki itu hanya tertawa. Bel berbunyi dan anak-anak berhamburan keluar. Sekali lagi, Mauri menoleh pada lelaki itu dan lewat matanya Mauri meminta untuk tidak mengiriminya bunga. Lelaki itu kembali tertawa. Mauri mengusap matanya. Ia mungkin tidak harus mengerti apa yang sedang terjadi antara dirinya dengan lelaki itu. Sesuatu yang tidak beralasan sama sekali untuk dipikirkan. Bahkan dengan sepenuh kesungguhan ia ingin lelaki itu berhenti dan melupakannya. Namun, hari itu ia cepat sekali merasa rindu setelah beberapa detik saja ia tidak melihat lagi lelaki pelukis dalam kerumunan orang-orang. Dan jika suatu sore, Mauri bertemu dengan lelaki pelukis di sebuah taman dengan mata mengalah, mungkin sekali ia tengah keluar dari kehidupannya. Mauri berlari-lari di hamparan paket bunga yang mulai memenuhi seluruh hari-harinya. Bunga mampu menyampaikan perasaan paling romantis, dan Mauri menemukannya, meski harus berhenti pada satu batas.

Kenapa tidak boleh, tanya lelaki pelukis. Aku perempuan bersuami dan memiliki dua putri yang masih lucu, Mauri mencabut dua helai pucuk rumput. Aku juga lelaki beristri dan memiliki putra yang pemberani, tapi aku tidak takut. Lelaki memang begitu, perempuan tidak. Tidak bisakah kau menolong cintaku, Mauri. Sekali saja. *** Mauri mengangkat wajahnya. Cermin di depannya sedikit berembun, memantulkan sebentuk dagu yang kian runcing saja. Kian menggambarkan ketidakbahagiaan seseorang yang memilikinya. Tidak bahagia. Sesungguhnya, Mauri sangat malas mengungkit-ngungkit kejadian menyedihkan dalam hidup. Kalau bisa, ia ingin menghapusnya. Membuang jauh. Hanya saja, membuang, bukankah sama artinya ia begitu pengecut. Sama pula, ia tidak berani mengakui kebenaran yang ia lakukan. Ia tidak bisa menjadi seorang Mauri yang menggigil ketakutan, berdiri dibalik gelap kebohongan. Ia ingin katakan sebuah cinta memang mekar di taman, meski hanya sekali saja. Tapi, sekali, juga bukan tanpa makna. Saat ia dan lelaki pelukis menjelma dua ekor bangau putih dengan telang mengembang, berjalan lambat di atas hamparan rumput hijau. Menjadi sepasang kekasih yang tidak sabar menunggu matahari jatuh di bawah pohon-pohon musim bunga. Kala daun-daun pun mulai merah bercahaya, mereka saling menatap. Dua bangau bertemu bagai bola salju, berbisik: ini hanya

sekali saja. Itu keterlaluan, Mauri. Sangat keterlaluan! Suatu pagi-saat anak-anak berlibur di rumah nenek--suaminya berteriak di meja makan ketika mendengar pengakuan Mauri tentang lelaki pelukis dan satu kali cinta yang pernah mereka lakukan itu. Sejumlah piring kesayangan Mauri berterbangan di udara. Diikuti gelas bergambar mickey dan Minnie mouse milik anak-anak. Pertengkaran kali itu, paling hebat sejak mereka menikah. Di mana kemudian mereka sama-sama menangis di akhir pertengkaran, tatkala suami Mauri bertanya apa Mauri mencintai lelaki pelukis dan Mauri mengangguk pasti. Setelahnya, paket bunga tidak pernah datang lagi ke rumah Mauri. Entah kenapa, bisa jadi suami Mauri telah melakukan sesuatu agar bunga itu tidak sampai ke rumahnya. Semua kembali sebagaimana biasa. Pagi-pagi Mauri sarapan bersama suami dan kedua putri yang lucu, tanpa ada pertanyaan lagi tentang dari mana asal bunga yang secara mendadak menyerbu kehidupan mereka, yang biasanya selalu dibahas panjang lebar di meja makan diselingi cerita lainnya oleh suaminya dan anakanak yang makin cerewet dengan pertanyaan macammacam. Kehangatan mulai hilang perlahan. Di meja makan, mereka hanya bertemu untuk menyantap makanan dan menghabiskan minuman secara terburuburu. Lalu mereka akan tersenyum satu sama lain sebelum meninggalkan meja makan, sebagai isyarat tidak ada masalah apa-apa. Suami Mauri mencium kedua pipi putrinya, diikuti pipi Mauri tanpa bicara atau mengucapkan kalimat kecil yang bisa dikenang seharian itu. Setelah suaminya berangkat, Mauri siap-siap mengantar putrinya ke taman kanak-kanak. Lalu pergi ke butik untuk mengecek barang-barang yang baru masuk.

Beberapa jam salah seorang terbaru hadiah perhiasan lain juta.

kemudian ia memenuhi janji bertemu teman yang ingin memamerkan berlian ulang tahun pernikahan dari suami atau yang harganya bisa mencapai puluhan

*** Mauri masih berdiri di depan cermin dalam kamar mandi. Ia menatap dirinya yang tampak lelah. Sedikit mengalah, ia mulai memperhatikan poninya yang singkat. Hampir tujuh tahun ia tidak terlalu memikirkan poni yang tampak unik di wajahnya. Tepatnya, ketika seseorang lain menyukai dagu runcingnya yang seperti ranting. Sampai pada pagi tadi, di meja makan, suaminya berkata: Kau potong ponimu terlalu pendek, Mauri. Tidakkah itu pertengkaran pertama setelah lama sekali mereka hanya mampu saling diam dan membenci dalam hati. Barangkali dengan begitulah, mereka akan kembali bicara, bercerita dan membagi kesepian yang menumpuk. Bisa jadi pula, cinta akan memenuhi rumahnya untuk kedua kali. Mauri terperangah dan membasuh wajahnya yang tampak sangat pucat.* Padang, 2005 Yetti A KA, buku kumpulan cerpennya NUMI (logung pustaka, 2004). Tinggal di Padang.

Rutinitas yang mulai menjenuhkan bagi Mauri. Atau mungkin saja, Mauri terlanjur bersentuhan dengan kenangan yang lebih menggugah, tentang seorang lelaki pelukis yang wajahnya kadang masih belepotan cat air, ketika menjemput putranya di taman kanak-kanak, sebab ibu dari anak itu tidak pernah ingin direpotkan oleh urusan anak-anak. Apa ada ibu seperti itu, tanya Mauri tidak percaya. Lelaki pelukis, saat ditanya, hanya mengangguk pelan saja. Dari wajahnya ia lelaki yang tidak bahagia. Bisa dibayangkan, ia hidup dengan perempuan yang terlalu hati-hati menggunakan waktu. Membuat perhitungan cinta seorang ibu secara matematika. Untung dan rugi. Mauri melepas napas. Memang, ia pernah terlalu dalam berpikir tentang lelaki pelukis. Memberinya sekali saja, satu cinta paling indah. Tetapi, Mauri hanya boleh mengenangnya. Sebab mereka hanya bercinta sekali saja. Dan cinta yang sekali itu, telah mengubah banyak hal dalam hidup Mauri. Secara pasti ia kehilangan bibir lincah anak-anak yang membicarakan apa saja sepulang sekolah. Seiring itu, Mauri juga hampir tidak menemukan tatapan hangat dari suaminya yang biasanya suka menggoda poni Mauri yang dipotong lurus mendekati alis. Katanya, Mauri lebih cantik dengan poni menutupi jidatnya yang lebar, sekaligus menyeimbangkan dagunya yang runcing agar wajahnya tidak tampak terlalu panjang. Semua itu telah lama berlalu.

Minggu, 14 Agustus 2005 CERPEN

Mengapa Kau Menari, Pierr?


* Ucu Agustin

NAMAKU Pierr. Kulitku lembut, senyumku rekah, geliat tubuhku indah dan ada sebuah laut bergelombang di jantungku. Bersama ikan-ikan yang terperangkap badai aku bernafas. Dan sulur-sulur lumut serta ganggang hijau di dasar laut jantungku mengajari aneka gerak. Tarian Paus Nun, ritme gerak sirip kuda laut, lambaian ekor ikan purba bersisik duri. Tarian dunia laut yang berumur ribuan tahun..... Namaku Pierr. Orang-orang mengenalku sebagai Pierr Samudera. Pierr Bule. Pierr Penari. Tapi mereka tak tahu kalau tiap senja tiba, para putri duyung berdada busung menyisiri rambut cokelat kemerahan milikku. Mengajari gerak liukan pinggang mereka yang aduhai. Mengajari bagaimana berdiri dengan hanya bertumpu pada ujung ibu jari kaki. Memberi trik mengedipkan mata secara memesona. Bagaimana bercakap-kata yang langsung bisa merogoh dan mengambil hati manusia. Dan para lumba-lumba itu.... Aku tahu, ini cerita dari para orang tua. Tapi aku percaya kalau lumba-lumba yang muncul di sisi selat setiap menjelang malam itu, dulunya adalah memang sekawanan perompak yang dikutuk Dewa Laut. Mereka membunuh seekor Ikan Cucut dan menemukan sebongkah mutiara dalam perut Cucut tersebut. Mereka begitu gembira. Namun tak lama setelah mereka memakan daging ikan cucut, tiba-tiba gelombang

membesar dan menghantam kapal. Kapal bajak laut itu karam. Anehnya para perompak itu tidak mati, mereka berubah menjadi lumba-lumba. Dan para lumba-lumba yang dulunya adalah manusia itu selalu rindu melihat orang. Tiap menjelang malam, mereka berenang mendekat ke Selat yang tak jauh dari pelabuhan. Dari balik horizon malam, saat melihat gerakan-gerakan dari laut di dekat Selat, aku tahu lumba-lumba perompak itu tengah berada di sana. Mereka menatapku. Suara pekik tertahan lumba-lumba yang kadang sayup terdengar sampai ke pelabuhan, adalah cara mereka mengirim lagu pengantar langkahku menuju Samudra setiap menjelang malam. Langkah yang membawaku bertemu dengan kekasih-kekasih bayangan yang akan kuperkenalkan satu persatu pada kalian.... Selena Perempuan itu.... Ah, mengapa dia tidak langsung saja bergaya seperti layaknya seorang pembeli? Mengapa dia harus bertanya tentang laut dan Lumba-lumba? Mengapa ia ingin tahu bagaimana rasa pasir? Mengapa ia berargumentasi tentang fosil aneka kerang dan kemungkinan adanya kipas angin besar di ujung seberang lautan yang membuat angin tak pernah henti semilir di setiap daerah pantai? Dan bukan hanya itu, dia juga kerap bertanya tentang bisakah kelak aku dan dia menjadi seumpama meja dan lampu belajar? Bisakah kelak aku dan dia menjadi sepasang buah apel yang berbahagia? Maka dari pada lebih banyak lagi muncul tanya, dalam beberapa kali perjumpaan biasanya langsung kusumpal saja bibirnya yang mungil dengan lidahku. Mujarab! Selalu berhasil. Dia tidak rewel lagi. Cuma satu kalimat

ini saja yang setelahnya biasa dia katakan dengan nafas tersenggal, "Pierr...." Tapi Selena memang cerewet. Ingatannya kuat. Tak gampang membuatnya lupa dari apa yang sedang dipikirkannya atau percakapan tertunda yang belum mendapatkan jawaban. Setelah beberapa guncangan dan kami menjadi gulungan ombak yang terus membuat gelombang di atas ranjang. Ia biasanya kembali pada percakapan yang belum usai atau bertanya tentang hal lain yang sama sekali baru. Banyak sekali yang bisa dia tanyakan, semisal... "Kau pernah tahu tentang kegelapan?" tanyanya. Kulihat bulir-bulir kecil keringat di dahinya. Ia tidak juga capai! "Seperti ini?" Aku jail. Kumatikan lampu tidur kamar hotel dan suasana jadi gelap seketika. "Ya, seperti ini," Kudengar Selena Mengikik. Aku tak melihat wajahnya. "Kau tahu Pierr..." Dan lantas kudengar bisiknya di telingaku "Bila sedang sedih, aku sering bercakap dengan kegelapan. Kubilang, wahai kegelapan.... Kau lebih lembut dari kekasihku yang dagingnya berkeringat dan nafasnya terengah-engah. Dan denganmu, wahai kegelapan.... Aku senantiasa merasakan kekasihku. Kelembaban yang panas yang dia tinggalkan di atas kulitku. Selisir rambut panjangnya yang harum saat jatuh di wajahku....." Begitulah Selena. Perempuan berkulit sepucat bulan yang sering mengunjungi Samudra. Dia memperkenalkanku pada puisi. Tapi dia bukan bagian dari tarian.

Ahmad Arti namanya terpuji. Dan dia memang layak memakai nama itu; Ahmad manusia terpuji. Matanya bagus. Badannya tinggi. Tubuhnya kurus. Bicaranya sedikit tapi ia pandai merayu. Dari awal bertemu ia memanggilku kekasih. Kubilang cukup panggil aku Pierr saja. Tapi katanya ia ingin menyebutku kekasih saja. Aku tertawa. Kami tertawa. Bulan di atas pantai sedang absen, hanya kerlip bintang tertabur begitu banyak di atap malam..... "Mengapa kau menari, Pierr?" Pertanyaan itu lagi! "Mengapa kau datang untuk melihatku menari, Ahmad?" "Kulitmu asin dan matamu karang hitam yang kokoh. Aku menemukan kekasihku di sana." "Tapi aku bukan kekasihmu. Aku Pierr sang Penari." "Maukah kau menari untukku sekarang?" Begitu saja lelaki itu memelukku. Dia biasa begitu. Meluapkan perasaannya kapan dan di mana saja. Impulsif! Ekspresif! Aku diam saja. Itu yang harus kulakukan. Aku telah mengerti betul bagaimana menangani si manusia terpuji. Tolak terus. Bantah saja. Semakin diacuhkan, semakin ia merasa ingin diterima. Dan dalam hati, aku memang menginginkan dia semakin menginginkanku. "Oke, kamu nggak mau jadi kekasihku. Maka jadilah penari! Menarilah untukku sekarang!" Aku tahu lelaki itu mulai kesal. ia membanting sesuatu ke atas pasir. "Menarilah Pierr sang penari!" Perintahnya agak marah.

Aku tahu benda yang tadi dia banting dari sakunya adalah gulungan uang. Khawatir diterbangkan angin, aku segera memungutnya. "Aku akan menari dengan gratis untukmu." "Yang boleh kunikmati secara gratis hanyalah kekasihku. Tapi kau memilih jadi penari. Maka kubayar kau dengan tarifmu!" "Aku akan menari gratis untukmu!" ucapku tegas. Dan kuhampiri ia. Kubuka telapak tangan Ahmad, kuletakkan gulungan uangnya di sana dan kemudian kukepalkan tangannya kuat-kuat. Kuusap pipi putihnya sekilas. Lantas aku mulai berdiri di sana. Di tengah terpaan angin malam. Pinggir pantai dekat pohon kelapa. Hanya disaksikan oleh dia. Aku melempar jaket Denimku. Membuka kancing kemejaku. Menanggalkan kaos singlet dan celana jinsku. Tinggal cawat warna putih model G-stringe saja yang masih melekat di tubuhku. Dan aku mulai menggoyangkan tubuhku. Ahmad menatapku.... Aku menari dengan iringan angin barat yang tak henti lewat. Musiknya debur ombak dan penontonku ternyata bukan hanya Ahmad saja. Penontonku adalah triliunan bulir pasir pantai, adalah puluhan jajaran pohon kelapa yang menjulang, adalah bintang-bintang yang terdiam. Dan aku tahu, ganggang laut, ubur-ubur, ikan yang tersesat dan para putri duyung menahan nafasnya. Menyaksikan tarian yang pernah mereka ajarkan, ditarikan olehku. Para lumba-lumba perompak mengintipku.... Aku menggoyangkan Pinggulku. Kuingat tap-tap irama

dansa serta ketuk langkah kaki. Aku memejamkan mata dan mulai meliukkan badanku. Menggerakkan bagian atas dada, menyilangkan kedua tanganku di atasnya dengan erotis, merenggangkan kedua kakiku, melangkah menuju arah Ahmad tanpa membuka mata. Dan aku mulai melihat semuanya Lampu yang bergemebyar. Jemari DJ yang lincah menyentuh permukaan cakram. Suasana Samudra di waktu malam. Hentakan musik. Bir yang tumpah. Tawa pecah. Suara-suara bariton milik para lelaki. Kepalakepala kelimis dilumuri Jely. Asap rokok. Vodka di gelasgelas mungil. Tepukan tangan yang membahana saat sekelompok penari streeptease lelaki memasuki panggung utama lantas menyebar. Dua orang penari meloncat ke atas meja di barisan pengunjung. Dua orang menuju meja bar dan lantas menari tepat di depan batang hidung bartender yang sedang melayani minum pelanggan. Dua orang lagi tetap di panggung utama. Dan aku di sana.... Di meja bundar di tengah para pengunjung. Semuanya lelaki. Seminggu sekali, Samudra, Klub malam tempatku bekerja membuat acara "Gentleman Night". Dan aku di sana sebagai penarinya. Melucuti satu persatu benda-benda yang melapisi tubuhku. Mengizinkan para pengunjung melakukan apa saja, asal si penari jangan menyentuh mereka tanpa diminta. Dan lelaki itu begitu diam. Dari balik topeng yang kukenakan kulihat lelaki yang kelak kutahu bernama Ahmad itu hanya menatapku saja. Tak kusangka, dialah yang berani mendatangi manajerku. Men-booking-ku ke sebuah tempat. Transaksi itu berakhir di sebuah cottage. Dia memperlakukanku begitu lembut tapi kasar. Dia tak cuma jatuh cinta pada lelaki. Pada perempuan juga bisa. Tapi kekasih terakhirnya adalah dia yang berkulit asin dan bermata sekokoh karang hitam. Dia melihat garam di

kulitku. Dan dia menemukan mata karang menyembul dari balik topeng burung kasuari yang kukenakan. Aku melayaninya seperti aku melayani lelaki. Langsung membara pada ronde pertama. "Kaulah makan malamku. Dan bersiaplah menjadi sarapan pagi bila aku masih terbangun di sisimu...." Begitu selalu ucapnya bila kami bertemu. Aku adalah roti toasted pagi yang dilumuri mentega yang gurih. Dia mengunyahku dengan rakus. Aku adalah teh pagi dengan kayu manis dan tebaran mint yang dingin menyegarkan. Dia memuji aroma tubuhku dan betapa bagus bentuk tubuhku. Membaui rambut panjangku dan menyisirinya lantas mengangkatnya perlahan sambil menciumi leher bagian belakang. Aku adalah kuda jantan yang bisa menerobos memasuki tubuhnya dari belakang. Membuat Ahmad mengaduh sakit, memelukku dengan keras dan lantas dia menjadikanku burung pipit kecil di udara. Membiarkanku bebas dan lega. "Bukalah mata dan berbaringlah sekarang juga!" suara tersenggal penuh berahi yang terdengar memerintah itu, menyadarkanku dari lamunan dalam tarian buta yang tengah kulakukan. Dan aku merasakan Ahmad di bagian belakang tubuhku. Entah berapa lama ia telah di sana. Angin pantai yang dingin mulai membuat tubuh telanjangku menggigil. "Pierr.... Pierr...." Lantas begitu saja bibir lelaki terpuji itu telah sampai di bibirku. Gemetar dan terus menyebut namaku. Menciumku bertubi dan membuatku kewalahan. Tangan Ahmad kini menggelantung di leher seolah sengaja memberatiku. Membuat kami berdua terjatuh di atas pasir. Dia di bawah dan aku tepat di atas bagian dadanya yang ternyata telah terbuka. Kemejanya entah dia lemparkan ke mana....

*** "Mengapa kau menari, Pierr?" Ah, pertanyaan itu..... Dua kekasih yang bukan kekasih terhempas ke Samudra dan aku cuma ingin menjadi putri duyung atau lumbalumba malam buat mereka. Aku bukan perahu penyelamat, aku cuma ingin jadi sekoci penolong sementara. Aku cuma ingin menari, tarian penyelamatan yang tidak bisa dimiliki siapa pun. Tarian yang terus berlari mencari gerak yang belum menemukan wujud. Tarian yang berusaha menemukan dirinya sendiri. "Tidakkah kau lelah menjadi penari?" tanya Selena "Tidakkah kau ingin tinggal bersamaku?" Tanya Ahmad "Sampai kapan kau akan menjaja tubuh seperti itu?" sesal Ahmad. "Aku akan selalu menunggumu bila kau sudah bersedia menari streaptease hanya buatku...," kata Selena setiap waktu, bila kami bertemu. Tapi tidakkah mereka tahu? Seorang penari tidak akan pernah berhenti menjadi penari seperti serumpun bougenvile tak akan pernah menjadi anyelir meski diokulasi.... Aku harus terus bergerak. Bukan untuk merayakan tubuh. Tapi untuk mencari tahu siapa di dalam diriku? Apakah aku putra Adam? Ataukah aku anak Hawa? Siapakah orang tuaku...? Kelaminku lelaki. Parasku lembut. Gayaku gemulai.

Kepalaku maskulin. Kerlinganku perempuan. Aku suka berpikir. Aku suka segala kecantikan; lelaki cantik, perempuan cantik. Aku suka menari dan aku tak bisa mencintai manusia. Ada laut, putri duyung dan ikan lumba-lumba mengalir dalam darahku. Dan aku tak tahu siapa orang tuaku. Kulitku putih. Waktu kecil rambutku pirang dan lantas berubah jadi cokelat kemerahan. Mataku hitam kelam. Dan aku hanya mendengar desus cerita orang tentang muasalku. Adalah seorang pesiar perempuan rupawan dari negeri seberang. Jatuh cinta pada kuli angkut pelabuhan berkulit cokelat manis. Mereka bercinta di pantai. Putri duyung terangsang, ikan lumba-lumba mengeras kemaluannya. Bulan berlalu, si pesiar rupawan melahirkanku. Tapi cintanya telah hilang pada si kuli cokelat manis. Saat si perempuan pesiar menyerahkan bayinya ketika ia harus kembali ke negerinya, si Kuli patah hati dan bersama sang bayi ia melemparkan dirinya dari tebing curam pantai ke dasar laut yang bergelombang. Jasadnya tak ditemukan. Tapi sang bayi selamat. Konon, lumba-lumba dan putri duyung di selat itulah yang menyelamatkannya. Lantas anak itu, aku, dibesarkan oleh laut dan pantai.... Jadi, bila Selena, Ahmad atau kalian masih penasaran dan bertanya "Mengapa kau menari, Pierr?" maka kini setidaknya kalian telah tahu jawabku; aku cuma ingin menemukan diriku....*** 30.07.2005 UCU Agustin, kelahiran Sukabumi, 19 Agustus 1976. Menulis cerpen di berbagai media massa ibu kota. Aktif di Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci).

Anda mungkin juga menyukai