Anda di halaman 1dari 12

Deru Campur Debu

karya Chairil Anwar

Ia masih mau hidup seratus tahun lagi


tapi raga memang rapuh
lebih seperempat abad lalu ia pergi
hanya karya-karyanya yang kini masih tinggal
dan juga,
semangatnya yang garang menggelegak…

kita butuh semangat macam itu


kejalangan, kadang harus ada
dan memang,
harus tetap ada…

Agar tinju bisa tetap terkepal


dan lengan bisa tetap teracung…

Malu Aku Jadi Orang Indonesia


Karya Taufik Ismail

I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini

II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,

Di negeriku rupanya sudah diputuskan


kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

Buah rindu
Karya Amir Hamzah

Buah Rindu

Dikau sambur limbur pada senja


Dikau alkamar purnama raya
Asalkan kanda bergurau senda
Dengan adinda tajuk mahkota.

Di tuan rama – rama melayang


Di dinda dendang sayang
Asalkan kanda selang menyelang
Melihat adinda kekasih abang.

Ibu, seruku laksana pemburu


Memikat perkutut di pohon ru
Sepantun swara laguan rindu
Menangisi kelana berhati mutu

Kelana jauh duduk merantau


Dibalik gunumg dewala hijau
Diseberang laut cermin silau
Tanah jawa mahkota pulau…

Buah kenangku entah kemana


Lalu mengembara kesini sana
Haram berkata sepatah jua
Ia lalu meninggalkan beta.
Ibu lihatlah anakmu muda belia
Setiap waktu sepanjang masa
Duduk termenung berhati duka
Laksana Asmara kehilangan seroja.

Bunda waktu tuan melahirkan beta


Pada subuh kembang cempaka
Adakah ibunda menaruh sangka
Bahwa begini peminta anakda ?

Wah kalau begini naga – naganya


Kayu basah dimakan api
Aduh kalau begini laku rupanya
Tentulah badan lekaslah fani.

Perahu Kertas
Karya Sapardi Djoko Damono

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau


layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu
bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki
tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar
warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau-
kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-
mu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar
dan kini terdampar di sebuah bukit.”

Simfoni

Karya Subagio Sastrowardoyo

"Aku tidak bermain dengan babi-babi"


gerutu Beathoven.
Kita yang berdiri di tengah abad
di bintangan dua puluh
dan menyangka hari jadi
telah tertinggal jauh

makin samar:
mana asal, mana kejadian
mana jumlah, mana kadar
makin samar:
mana mulia, mana hina
mana kemajuan, mana kemunduran

katakanlah,
adakah kemajuan
kalau kita lebih banyak mendirikan bank dan ruang gudang
dari kuil atau masjid

kalau kita lebih menimbang kasih orang


dengan uang dari hati
kalau kita lebih percaya kepada barang
dari bayang -Atau kemunduran?-

katakanlah
mana lebih mulia:
kepala atau kaki
sifat Illahi atau alat kelamin
semua melata di bidang demokrasi

mana lebih dulu:


Tuhan atau aku
Dia tak terbayang
kalau aku tak berangan
Tuhan dan aku saling berdahulu
seperti ayam dan telur
siapa dulu?

siapa manusia pertama


Adam, Kayumerz, atau Manu
kitab mana yang harus dipercaya
Qur'an, Avesta atau Weda Hindu

kapan dunia ini bermula:


di Firdaus, di Walhalla atau Jambudwipa
mengapa tidak disini, di waktu ini
dan lahir seorang Adam di setiap detik dan tempat
dan terdengar kalam Tuhan di setiap sudut di darat?

Aku juga Adam


yang terusir dari firdaus
karena dosa, karena kelemahan
karena goda perempuan
dunia berhenti dan bermula lagi

mana lebih kekal:


Tubuh atau nyawa,
mana lebih haram
benda atau cita,
makna itu keramat

mana lebih keramat:


angka atau makna
juga angka
meski jarang lagi
yang bergetar melihat angka:
gasal : tiga, tujuh
atau tiga belas
yang tersurat pada dada tanda jasad

angka yang ganjil, angka keramat


ganjil seperti letak empu
terselit diantara jari
ganjil seperti puncak gereja
yang menunjuk ke arah mega
penglihatan itu makin samar
makin samar

PARIKESIT

karya Goenawan Mohamad

Pariksit menunggu hari segera lewat


Orang-orang pun menunggu batas waktu kutukan Crengi kepadanya berakhir,
hingga baginda bebas dari ancaman kebinasaan oleh Naga Taksaka. Saat
itu hari dekat senja. Raja muda yang disembunyikan di pucuk menara itu
tengah tegak, merapatkan diri ke tingkap. Angin bangkit.

I
Dari rahim waktu, aku tahu kutukan bangkit
ke arah dadaku. Angin masih juga menimpa
dinding menara, penjara dari segala penjara:
ia yang lahir dari busur langit
dan jatuh berpusar ke arah tubuhku yang sendiri.
Angin yang purba, yang
semakin purba: dingin dan asing

Jauh di bawahku terpacak rakyatku


menunggu. Mereka yang menyelamatkan, dan juga
menyiksa diriku. Mereka yang mendoa, sementara
aku tiada berdoa. Mereka kini yang punya angin-angin
sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita yang
sendiri. Mereka yang tak tahu
kita tak bisa berbagi
(Tapi siksa ini adalah siksa mereka, siksa
mereka yang kuwakili di atas kelemahan tangan-tanganku)

Kini kuhirup bau senja, bau kandil-kandil


dan pesta: pesta pembebasan, tapi juga serapah malu
akan kecut hatiku. Bau yang sunyi, teramat sunyi.
Seperti sunyi ini yang menyilangkan kakinya
menantang padaku.

II
Menara penjara, dan penyelamat jasadku
Tinggi ia menghujat bumi, mendamik dada ke langit:
keangkuhan besar ke tengah maha alam yang besar.
Karenanya, langit yang sarat warna tiada lagi
tempatku. Dan bumi gemetar meninggalkanku.

Kini telah kupilih, sebab keluarga dan


rakyat yang kukasih, keselamatan jasadku.
Kini telah kupilih, karena takutku, hari-hari
yang tak memerdekakan hatiku.
Dan telah kuhindari Maut, mautku sendiri.

Barisan burung-burung yang kian jauh


seakan-akan menyingkirkan diri dari kotaku yang
sepi. Kotaku yang berbatas gurun, berbatas rimba serta
rumah-rumah pertapa. Kota yang melenguhkan hidup
bila musim pun rekah, dan yang juga melenguhkan hiup
bila tahun-tahun mengatupkan pintu-pintunya.
Aku telah lama bernafas dari kandungannya.
Telah lama.

Aswatama, mengapa tak kau bunuh dulu


bayi itu? Mengapa kau lepaskan aku?

III
Maka segeralah senja ini penuh dan
titik mentari terakhir jatuh. Dan kutuk itu datang,
membinasakan dan melebur daku jadi abu.

Bukan kegelisahan dahsyat yang hendakkan


semua itu. Bukan siksa menunggu yang menyuruhku.
Tapi kurindukan kemenangan-kemenangan, kemenangan
yang mengalahkan kecut hatiku.

Karena memang kutakutkan selamat tinggal


yang kekal. Seperti bila dari tingkap ini
kuhembuskan nafasku dan tak kembali
tanpa burung-burung, tanpa redup sore di pohon-pohon
tanpa musim, tanpa warna, yang menyusup
kulit tubuhku. Juga tanpa laut, yang jauh menyimak matahari, rimba dan hewan-hewan meriah.
Seperti bila langit dan titik-titik bintang
yang halus pun raib bersama harummu, perempuan
dalam telanjang dini hari

Pada akhirnya kita


tak senantiasa bersama. Ajal
memisah kita masing-masing tinggal.

IV
Wahai, adakah dia? (Berdetak tingkap tiba-tiba:
tapi angin yang kian dingin yang menguap padaku – angin
dan angin senantiasa.)
Jika saja aku selamat, saudaraku, ketika nanti
saat itu lalu, akan masih saja kudukung kiamat dalam
diriku. Pohon-pohon menyambutku, hewan-hewan akan lagi
kuburu: tapi sepi akan tumpah ke nadi-nadiku. Karena
aku telah dibebaskan, tapi juga tak dibebaskan.
Dan tak kukenal wajahku kembali.

Di ruang ini, kunobatkan ketajutanku. Di menara ini


kuikat hidup-hidup kehadiranku: begitu sunyi, terenggut
dari alam dan nasibku sendiri.
Maka, Taksaka, leburlah aku dalam seribu api!
Dan mati.

V
Demi matiku, kutunjukkan padamu segala
yang tak sia-sia ini.
Ketika tiada pernah kubunuh diriku, dan tiada pernah
kuingkari. Dan siksa yang telah diwakilkan padaku,
kudekapkan pada Maut: dan segalanya pun terurai,
seperti musim bunga.
Dan di sana kulihat, juga kau lihat:
jentera-jentera yang berbisik ke laut,
berbisik, seperti burung-burung yang mencecah
dan degup demi degup darah.
Lalu terasa: di ruang abadi ini
kita akan selalu pergi
dalam nafas panas
yang santai.
Dan setiap kali malam pun tumbuh, juga pagi, siang
dan senja,
dan setiap kali demikian baka, tapi demikian fana
seperti bulan tumbuh
dan cemara
menggigil dingin ke udara.

Balada Orang-orang Tercinta


karya W.S Rendra

Kita bergantian menghirup asam


Batuk dan lemas terceruk
Marah dan terbaret-baret
Cinta membuat kita bertahan dengan secuil redup harapan

Kita berjalan terseok-seok


Mengira lelah akan hilang di ujung terowongan yang terang
Namun cinta tidak membawa kita memahami satu sama lain

Kadang kita merasa beruntung


Namun harusnya kita merenung
Akankah kita sampai di altar
Dengan berlari terpatah-patah
Mengapa cinta tak mengajari kita Untuk berhenti berpura-pura?

Kita meleleh dan tergerus Serut-serut sinar matahari


Sementara kita sudah lupa rasanya mengalir bersama kehidupan
Melupakan hal-hal kecil yang dulu termaafkan

Mengapa kita saling menyembunyikan


Mengapa marah dengan keadaan?
Mengapa lari ketika sesuatu membengkak jika dibiarkan?
Kita percaya pada cinta
Yang borok dan tak sederhana
Kita tertangkap jatuh terperangkap
Dalam balada orang-prang tercinta.

TADARUS

Karya KH. A. Mustofa Bisri


Bismillahirrahmanirrahim
Berhenti mengalir darahku menyimak firman-Mu

Idzaa zulzilatil-ardlu zilzaalahaa


Wa akhrajatil-ardlu atsqaalahaa
Waqaalal-insaanu maa lahaa
(ketika bumi diguncang dengan dasyatnya
Dan bumi memuntahkan isi perutnya
Dan manusia bertanya-tanya:
Bumi itu kenapa?)

Yaumaidzin tuhadditsu akhbaarahaa


Bianna Rabbaka auhaa lahaa
Yaumaidzin yashdurun-naasu asytaatan

Liyurau a'maalahum
(Ketika itu bumi mengisahkan kisah-kisahnya
Karena Tuhanmu mengilhaminya
Ketika itu manusia tumpah terpisah-pisah
'Tuk diperlihatkan perbuatan-perbuatan mereka)
Faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarah
Waman ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarah
(Maka siapa yang berbuat sezarrah kebaikan
pun akan melihatnya
Dan siapa yang berbuat sezarrah kejahatan
pun akan melihatnya)

Ya Tuhan, akukah insan yang bertanya-tanya


Ataukah aku mukmin yang sudah tahu jawabnya?
Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi
Aduhai, akan kemanakah kiranya bergulir?
Diantara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat
Akankah kulihat sezarrah saja
Kebaikan yang pernah kubuat?
Nafasku memburu diburu firmanMu

Dengan asma Allah Yang Pengasih Penyayang


Wa'aadiyaati dlabhan
Falmuuriyaati qadhan
Fa-atsarna bihi naq'an
Fawasathna bihi jam'an
(Demi yang sama terpacu berdengkusan
Yang sama mencetuskan api berdenyaran
Yang pagi-pagi melancarkan serbuan
Menerbangkan debu berhamburan
Dan menembusnya ke tengah-tengah pasukan lawan)
Innal-insana liRabbihi lakanuud
Wainnahu 'alaa dzaalika lasyahied
Wainnahu lihubbil-khairi lasyadied
(Sungguh manusia itu kepada Tuhannya
Sangat tidak tahu berterima kasih
Sunggung manusia itu sendiri tentang itu menjadi saksi
Dan sungguh manusia itu sayangnya kepada harta
Luar biasa)
Afalaa ya'lamu idza bu'tsira maa fil-qubur
Wahushshila maa fis-shuduur
Inna Rabbahum bihim yaumaidzin lakhabier
(Tidakkah manusia itu tahu saat isi kubur dihamburkan
Saat ini dada ditumpahkan?
Sungguh Tuhan mereka
Terhadap mereka saat itu tahu belaka!)

Ya Tuhan, kemana gerangan butir debu ini 'kan menghambur?


Adakah secercah syukur menempel
Ketika isi dada dimuntahkan
Ketika semua kesayangan dan andalan entah kemana?
Meremang bulu romaku diguncang firmanMu

Bismillahirrahmaanirrahim
Al-Quaari'atu
Mal-qaari'ah
Wamaa adraaka mal-qaari'ah
(Penggetar hati
Apakah penggetar hati itu?
Tahu kau apa itu penggetar hati?)

Resah sukmaku dirasuk firmanMu

Yauma yakuunun-naasu kal-faraasyil-mabtsuts


Watakuunul-jibaalu kal'ihnil-manfusy
(Itulah hari manusia bagaikan belalang bertebaran
dan gunung-gunung bagaikan bulu dihambur-terbangkan)

Menggigil ruas-ruas tulangku dalam firmanMu

Waammaa man tsaqulat mawaazienuhu


Fahuwa fii 'iesyatir-raadliyah
Waammaa man khaffat mawaazienuhu faummuhu haawiyah
Wamaa adraaka maa hiyah
Naarun haamiyah
(Nah barangsiapa berbobot timbangan amalnya
Ia akan berada dalam kehidupan memuaskan
Dan barangsiapa enteng timbangan amalnya
Tempat tinggalnya di Hawiyah
Tahu kau apa itu?
Api yang sangat panas membakar!)

Ya Tuhan kemanakah gerangan belalang malang ini 'kan terkapar?


Gunung amal yang dibanggakan
Jadikah selembar bulu saja memberati timbangan
Atau gunung-gunung dosa akan melumatnya
Bagi persembahan lidah Hawiyah?
Ataukah, o, kalau saja maharahmatMu
Akan menerbangkannya ke lautan ampunan
Shadaqallahul' Adhiem
Telah selesai ayat-ayat dibaca
Telah sirna gema-gema sari tilawahnya
Marilah kita ikuti acara selanjutnya
Masih banyak urusan dunia yang belum selesai
Masih banyak kepentingan yang belum tercapai
Masih banyak keinginan yang belum tergapai
Marilah kembali berlupa
Insya Allah Kiamat masih lama. Amien.
O
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O....

Anda mungkin juga menyukai