Anda di halaman 1dari 10

ANGKATAN 20 Sampai purnama terang benderang;

(Percikan Permenungan, 1926 Rustam Effendi) Di sanalah bangsaku gerangan menompang


Selama berteduh di ‘alam nan lapang.
Bukan beta bijak berperi,
pandai menggubah madahan syair, Tumpah darah Nusa-India
bukan beta budak negeri, Dalam hatiku selalu mulia
musti menurut undangan mair. Dijunjung tinggi atas kepala
sarat saraf saya mungkiri, Semenjak diri lahir ke bumi
untai rangkaian seloka lama, Sampai bercerai badan dan nyawa
beta buang beta singkiri, Karena kita sedarah-sebangsa
sebab laguku menurut sukma. Bertanah air di-Indonesia
susah sungguh saya sampaikan,
degup – degupan di dalam kalbu, Bangsa Indonesia bagiku mulia
lemah laun lagi dengungan, Terjunjung tinggi pagi dan senja,
matnya digamat rasaian waktu. Sejak syamsiar di langit nirmala
sering saya susah sesaat, Sampaikan malam di hari kelam
sebab madahan tidak nak datang, Penuh berbintang cahaya bulan;
sering saya sulit menekat, Mengapatah mulai, handai dan taulan,
sebab terkurang lukisan memang. Badan dan nyawa ia pancarkan.
bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun, Selama metari di alam beredar
bukan beta berbuat baru, Bulan dan bintang di langit berkisar
hanya mendengar bisikan alun. Kepada bangsaku berani berikrar;
Salam awan putih gemawan
Memayungi telaga ombak-ombakan,
ANGKATAN 20 Selama itu bangsaku muliawan
Bukit Barisan karya Moh. Yamin Kepada jiwanya kami setiawan.

Di atas batasan Bukit Barisan, Ke Indonesia kami setia


Memandang beta ke bawah memandang, Di manakah ia di hatiku lupa,
Tampaklah hutan rimba dan ngarai, Jikalau darah di badan dan muka
Lagipun sawah, telaga nan permai, Berasal gerangan di tanah awal;
Serta gerangan lihatlah pula, Sekiranya selasih batang kemboja
Langit yang hijau bertukar warna, Banyak kulihat ditentang mata
Oleh pucuk daun kelapa. Menutupi mejan ayah dan bunda?

Di batasan lautan penuh gelombang,


INDONESIA, TUMPAH DARAHKU – MUHAMMAD Mendekati pantai buih berjuang,
YAMIN Terberai tanahku gewang-gemewang
Sebagai intan jatuh terberai
(ANGKATAN 30) Dilingkari kerambil lembai-melambai
Menyanyikan lagu dan indah permai
Bersatu kita teguh Di sela ombak memecah ke pantai.
Bercerai kita jatuh
Duduk di pantai tanah permai
Duduk dipantai tanah yang permai Tempat gelombang pecah berderai
Tempat gelombang pecah berderai Berbuih putih di pasir terderai,
Berbuih putih di pasir terderai, Tampaklah pulau di lautan hijau
Tampaklah pulau di lautan hijau, Gunung gemunung bagus rupanya,
Gunung gemunung bagus rupanya, Dilingkari air mulia tampaknya:
Dilingkari air mulia tampaknya: Tumpah darahku Indonesia namanya.
Tumpah darahku Indonesia namanya.
Memandang ‘alam demikian indahnya
Lihatlah kelapa melambai-lambai Ditutupi langit dengan awannya
Berdesir bunyinya sesayup sampai Berbilaikan buih putih rupanya,
Tumbuh di pantai bercerai-berai Rindulah badan ingin dan rewan,
Memagar daratan aman kelihatan; Terkenangkan negeri dengan bangsanya
Dengarlah ombak datang berlagu Berumah tangga selama-lamanya
Mengajari bumi ayah dan ibu, Penuh peruntungan berbagai sejarahnya.
Indonesia namanya, tanah airku.

Tanahku bercerai seberang-menyeberang


Merapung di air malam dan siang
Sebagai telaga dihiasi kiambang,
Sejak malam di hari kelam
(Angkatan 30 Berlagu Hati, Karya Amir Hamza) BENDERA – TAUFIK ISMAIL

Bertangkai bunga kusunting (ANGKATAN 66)


kujunjung kupuja, kurenung
berlagu hatiku bagai seruling Mereka yang berpakaian hitam
kukira sekalini menyecap untung. Telah berhenti di depan sebuah rumah
Yang mengibarkan bendera duka
Dalam hatiku kuikat istana Dan masuk dengan paksa
kusemayamkan tuan di geta kencana
kuhamburkan kusuma cempaka mulia Mereka yang berpakaian hitam
kan hamparan turun dewi kakanda ... Telah menurunkan bendera itu
Di hadapan seorang ibu yang tua
Tetapi engkau orang biasa ”Tidak ada pahlawan meninggal dunia!”
merana sahaja tiada berguna
malu bertalu kerana aku Mereka yang berpakaian hitam
ganjil terpencil berpaut ke dahulu. Dengan hati yang kelam
Telah meninggalkan rumah itu
AKU - CHAIRIL ANWAR Tergesa-gesa
(ANGKATAN 45)
Kemudian ibu tua itu
Kalau Sampai Waktuku Perlahan menaikkan kembali
Ku Mau Tak Seorang Kan Merayu Bendera yang duka
Tidak Juga Kau Ke tiang yang duka
Tak Perlu Sedu Sedan Itu
Aku Ini Binatang Jalang
Dari Kumpulannya Terbuang Angkatan 66’
Biar Peluru Menembus Kulitku SALEMBA
Aku Tetap Meradang Menerjang KARYA : TAUFIK ISMAIL
Luka Dan Bisa Kubawa Berlari
BerlariHingga Hilang Pedih Perih Alma Mater, janganlah bersedih
Dan Aku Akan Lebih Tidak Perduli Bila arakan ini bergerak perlahan
Aku Mau Hidup Seribu Tahun Lagi Menuju pemakaman
Siang ini
PERTANYAAN
KARYA : DJOHANA (1945) Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Mengapalah kau katakan itu Ketika melawan tirani
Sewaktu-waktu kunantikan itu sekarang
WAJAH KITA
Mengapalah kunantikan itu (ANGKATAN 70)
Hatiku tiada mau menunggu
Tetapi... bila kita selalu berkaca setiap saat
dan di setiap tempat
Kepala kupalingkan maka tergambarlah:
Menoleh kebelakang, ke sebelah,, ke muka alangkah bermacamnya
wajah kita
Tetapi hari berdiam, sekali kali diam yang berderet bagai patung
di toko mainan di jalan braga
Tanganku kukepalkan wajah kita adalah wajah bulan
Cerminnya ku pukul, kesunyian pecah yang purnama dan coreng moreng
Tetapi aku heran melihat serta gradakan dan bopeng-bopeng
Bertitiknya darah wajah kita adalah wajah manusia
yang bukan lagi manusia
Titk demi titik dan terbenam dalam wayang
Kesadaranku meniris wajah kita adalah wajah rupawan
Apa yang kutanyakan, yang bersolek menghias lembaran
kutanyakan,kutanyakan,kutanyakan,? kitab suci dan kitab undang-undang
wajah kita adalah wajah politisi
Adakah aku yang telah bertanya? yang mengepalkan tangan bersikutan
menebalkan muka meraih kedudukan
wajah kita adalah wajah setan
yang menari bagai bidadari
merayu kita menyatu onani
bila kita selalu berkaca dengan kaca Terhadap sajak yang paling utopis
yang buram tak sempurna Bacalah dengan senyuman yang sabar
maka tergambarlah:
alangkah berperseginya: Jangan dibenci para pembunuh
wajah kita Jangan dibiarkan anak bayi mati sendiri
yang berkandang bagai binatang Kere – ker jangan mengemis lagi
di kota di taman margasatwa Dan terhadap penjahat yang paling laknat
wajah kita adalah wajah serigala Pandanglah dari jendela hati yang bersih
yang mengaum menerkam mangsanya
dengan buas, lahap dan gairahnya
wajah kita adalah wajah anjing
yang mengejar bangkai dan kotoran ANGKATAN 2000
di tong sampah dan selokan-selokan (Nagasari ; D.Zawawi Imron, Bulan Tertusuk Lalang,)
wajah kita adalah wajah kuda
yang berpacu mengelus bayu membuka kulit nagasari
mendenguskan napas-napas napsu isinya bukan pisang
wajah kita adalah wajah babi tapi mayat anak gembala
yang menyeruduk dalam membuta yang berseruling setiap senja
menyembah tumpukan harta-benda
wajah kita adalah wajah buaya membuang kulit nagasari
yang menatap dalam riangnya seorang nahkoda memungutnya
dan tertawa dengan sedihnya dan merobeknya jadi dua
bila kita selalu berkaca dengan kaca separuh buat peta
yang mengkilap dan rata separuh buat bendera kapal
maka tergambarlah:
alangkah berseadanya
wajah kita
yang mendengar segala erang ANGKATAN 2000
berkerendahan hati dan berkelapangan dada: Puisi Perjalanan ; Emha Ainun Najib
wajah kita adalah wajah
yang kurang tambah Hendaklah puisiku lahir dari jalanan
serta selebihnya Dari desah nafas para pengemis gelandangan
wajah kita adalah wajah Jangan dari gedung-gedung besar
yang sujud rebah Dan lampu gemerlapan
bagi-Nya jua
wajah kita adalah wajah Para pengemis yang lapar
yang bukan wajah Langsung menjadi milik Tuhan
hanya fatamorgana sebab rintihan mereka
tak lagi bisa mengharukan

(Karya puisi W.S Rendra DENGAN KASIH SAYANG;


ANGKATAN 1970) INDONE
SIA
Dengan kasih sayang
Kita simpan bedil dan kelewang
Punahlah gairahpada darah

Jangan !

TUMPAH
Jangan dibunuh para lintah darat
Ciumlah mesra anak janda tak berayah
Dan sumbatlah jarimu pada mulut peletupan
kena darah para bajak dan perombak

DARAHK
akan mudah mendidih oleh pelor
mereka bukan tapir atau badak
hatinyapun berurusan cinta kasih
seperti jendela terbuka bagai angi sejuk ¡

UBersatu
kita yang sering kehabisan cinta untuk mereka
Cuma membenci yang nampak rompak
Hati tak bisa berpelukan dengan hati mereka
Terlampau terbatas pada lahiriah masing pihak
Lahiriah yang terlalu banyak meminta !

kita
teguhBer terderaiTa
cerai kita !pak"ah
runtuhDu pu"au di
duk di ptai "autan hi
tanah %au&unu
ang ng'gunun
per!aiTe! g $agus
pat ge"#! rupana
$ang Di"ingkari
pecah air !
$erderaiB u"ia ta!
er$uih paknaT
putih di u!pah
pasir darahku
Ind#nesia $ercerai'c
na! eraiMe!
ana(iha agar
t"ah daratan a!
ke"apa ! an
e"a!$ai "a! ke"ihatan
$aiBerdes Dengar"a
ir h #!$ak
$unin datang
a $er"aguM
sesaup enge%ar
sa!paiTu! $u!i
$uh di aah
pantai dan
i$uInd#ne agai
sia na! te"aga
ana) dihiasi
Tanah kia!
airkuTana $angSe
hku %ak !a"a!
$ercerai di$eri
se$erang' ke"a!Sa!
! pai purna!
ene$er a
angMerap terang'$e
ung di air* nderangD
!a"a! dan i sana"ah
siangSe$ $angsaku
gerangan u"iaDi
!en#! %un
pangSe"a %ung
!a tinggi atas
$erteduh kepa"aSe
di a"a! !en%ak
nan diri "ahir
"apangTu ke $u!iSa!
!pah pai
darah $ercerai
Nusa $adan
IndiaDa"a dan
! hatiku na+aKa
se"a"u ! rena kita
sedarah's
e$angsaB
ertanah
air di
Ind#nesia
Pujangg
a Baru

Anda mungkin juga menyukai