“CATATAN HATI”
Karya
DEBI NATALIA WOMSIWOR
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas
campur tangan dan perlindungan-Nya, sehingga Antologi Puisi berjudul “Catatan Hati”
dapat terselesaikan dengan tepat.
Antologi puisi ini berisi tulisan tangan berdasarkan pengalaman pribadi penulis dan
dengan melihat kondisi riil kehidupan yang terjadi. Kumpulan puisi ini ditulis pada tahun
2019 -2020 dan merujuk pada jenis puisi bebas.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu
secara langsung maupun tidak langsung. Terutama semua yang telah menjadi alasan
penulisan puisi ini baik keluarga, teman. Kerabat. Semoga bermanfaat bagi pembaca.
Selamat membaca !
Penulis
DAFTAR ISI
Judul Puisi
1. Ilmu
2. Imagination
3. ¼ Sepilihan Sajak (Untuk Soni Farid Maulana)
4. Ikhlas
5. Antara Aku dan Dirimu
6. Ajakan Maut
7. Aku dan Pilihanku
8. Aneka Rupa Ibukota Bumi Khenambay Umbay
9. Pahlawannya Para Bajingan (Untuk Para Jugun Ianfu)
10. Dengan dan Tanpa Uang
11. Balada Orang Hilang
12. Halilintar Minggu Pagi
13. Sore yang Dingin
14. Malam
15. Sendiri
16. Sekeping Kisah
17. Di Balik Jeruji
18. Cenderawasih
19. Hidup
20. Dunia Berbeda
21. Ampuni Aku
22. Bola Mata Itu
23. Manusia Srigala
24. Ombang Ambing
25. Emosi
26. Dinamika Pikiran
27. Usapan Ceria
28. Kepiting Itu
29. Nada Jiwa
30. Jangan Gundah
31. Petang
32. Mutiara Berkaki
33. Ruang Rindu
34. Mentari
35. Kerumitan Cinta
36. Di Sini
37. Sebungkus Loba
38. Pahlawan
39. 25 tahun
40. Doa
ILMU
IMAGINATION
IKHLAS
Biarkan...
Relakan ...
Lepaskan....
Lapangkan dada ......
Berhati besar dan melepaskan gayutan itu berlari
AJAKAN MAUT
Aku...
Berdiri di sini ketika arus deras sungai kehidupan menghanyutkan
Kala purnama indah menerangi malamku
Berada disini menatap jauh menembus mega mendung
Berpacu dalam alunan melodi kehidupan
Bertarung mempertahankan prinsip
Sungguh...Inikah takdir?
Ataukah hanyalah tumbal dosa leluhur yang harus dirajuti dalam tangis?
Siapakah yang bertanggung jawab atas getir ini?
Apakah aku, dia, atau siapa?
Mungkin benang merah takdir sedang dirajut
Menyisakan memori penajajahan yang terekam lekat
Sejujurnya...
Kami ingin hidup namun konflik telah berkepanjangan
Bagai guruh ombak yang tak pernah berakhir
Hidup kami hanyalah diujung senapan dan bayonet
Tak ada yang dibanggakan
Hanya sekarat dan menunggu takdir di kala ajal menjemput
Dia di sana...
Perempuan paruh baya dengan buncit perut
Tepat sembilan bulan menanti hadirnya sosok tak berdosa
Bersandar di sudut ruang kecil
Dalam sayu tergambar kepedihan dan sepat rasa hidup yang dialami
Dia di sana...
Merenungi esok yang belum tentu datang
Dalam mata sembab karena tangis semalam ada doa terucap tulus
Dari dasar jiwanya yang lelah
Serupa kepasrahan
Gelap..
Dingin...
Sepi ....
Entahkah bintang bertaburan
Entahkah rembulan berpancar cahaya
Ataukah diguyur hujan deras
Ataukah mendung pekat awan berarak
Tetaplah menjadi bagian dari kehidupan
SENDIRI
Adik kecilku..Kesayanganku
Mengasihimu adalah hal terindah
Mengenalmu adalah karunia
Kaulah anugrah bagi kakak
Dari kecil hingga dewasa kupertaruhkan segenap jiwa dan raga
Kurela dimarah ibu agar kau tak menangis
Kusabar menahan tendangan ayah agar kau dapat tersenyum ceria
Kuikhlaskan permainan kesukaan hanya untuk menggendongmu
Berkeliling lapangan dengan melihat kawan asyik bermain
Waktu belajar dan tidurpun kupersembahkan kepadamu
Wahai adikku..
Apakah yang terjadi saat ini?
Kau menjauh tanpa sebab dariku
Apakah jabatan dan kemewahan membuat kau melupakan segalanya?
Aku yang dilu menjadi kebanggaanmu
Kini hanyalah sampah kotor busuk dan memuakkan
Adikku kesayanganku...
Buanglah keegoisan dalam kepalamu
Kuburlah tinggi hati dan angkuhmu
Agar kau dapat melihat aku yang tenagh merendah di hadapanmu
Ah, sudahlah...
Hikmah diambil dari setiap kejadian
Mungkin ini tempatnya merubah diri
Mungkin ini waktunya untuk makna kehidupan
Dan inilah saatnya memajukan diri kearah yang gemilang
Cenderawasih...
Kini tak terdengar lagi nyanyian merdumu
Hanyalah nyanyian sendu menyayat hati
Hilang lenyap di tangan pemburu serakah
Dirimu hanyalah hiasan rumah tak bernyawa
Hidupmu kini diambang kepunahan
Wahai cenderawasih....
Maafkan segala salah dosanya
Kau rela korbankan diri bagi ketamakkan
Kini wajah Papua tersirat duka
Alam Papua telah membisu meratapi kepergianmu
HIDUP
Dimaknai sebaik mungkin
Sebab ada berkat
Ada hukuman menanti
Ada waktu yang harus terlewati
Hari ini baru
Esok tinggal kenangan
Tak ada yang mesti dibanggakan
Hanyalah hati yang mengasihi
Tekun...
Sabar...
Kan mamahami arti sejatinya hidup
OMBANG-AMBING
KEPITING ITU
Melongok..
Melongok..
Dan lagi melongok tanpa henti
Mungkinkah berniat menjadi sahabatku
Ataukah tatap seramku begitu menakutkan
Kepiting itu...
Maukah kau menjadi temanku
Dalam larik sajak ini kau kuhadirkan
Kau yang gentar dengan sosok ini, tak perlu bersedih hati
Aku suka caramu menatapku
Kepiting itu..
Marilah bersamaku duduk bersila beralas pasir pantai Usapan
Melihat anak Ngaya beria-ria menyibak biru laut
Di kaki langit bulan Juli yang cerah
JANGAN GUNDAH
Lihatlah...
Di tapal batas horizon
Surya membenamkan diri
Diiringi gema malam dalam gelap pekat berwarna hitam
MUTIARA BERKAKI
KERUMTIAN CINTA
DI SINI
Di sini
Di ruang sepi
Termenung kusendiri
Merenungi kisah ini
Di sini..
Di tempat ini
Kuceritakan segala keresahan
Kebimbangan...
Keraguan...
Dan keputusasaan yang sering menggoda
Seakan mengajakku untuk mengakhiri semuanya
Ya ... semua kisah pahit yang pernah ada
Di sini...
Di relung hati ini
Ada permohonan maaf atas kesalahan
Telah salah memahami arti hidup sejati
Di sini..
Kusandarkan harap dan percayaku
Karen kuyakin
KAU selalu ada
Di sini
Dalam tatapan muramu kau bergumam “mengapa keegoisan begitu melekat diantara para
kerabat?
Makna persaudaraan terkikis habis dalam individualisme
Lagi dan lagi kau pandangi torehan jemarimu
Ah, sebegitu pahitkah realita hidup ini?
Tak seindah pemandangan teluk Youtefa kala cerah
25 TAHUN
DOA