Ajaibnya apabila duri itu bukan kesakitan bagimu Ketika mata itu sudah tidak mampu
Ketika ditusuk ke tubuh yang telah luka Melihat bahana dan kehancuran
Disitu aku mengerti, Malah tangan dan kaki juga
Kau telah menguburi kesakitan itu. Diam dan kaku daya
Luka-luka setelah itu Tinggal sendiri sebuah hati
Hanya kekuatan dalam senyuman. Yang berjuta untuk setiap manusia
Cuma hanya dari luar Di beberapa benua tuhan,
Yang dikubur itu kesakitan. Lidah sudah buta
Belum lagi ingatan. Mata sudah tuli
Dalamnya masih hidup dalam resah kisah kehidupan. Hati sahaja perisai ketika ini
Membasuh luka-luka cemar yang
Tak harus dikenang oleh pencinta akhirat.
KONFROTASI KEBIASAAN SANGKAAN SEBELUM SEDAR
Aku sangka
Bila bibir dilaga bibir
Kereta mewah mampu bawaku menakluki dunia
Menjemput konfrotasi
Namun ‘Awang’ sudah terlebih dahulu
Memeluk,
Merentasi lautan yang luas
Ilmu-ilmu terpencil di kantung dada
Agar bisa debat-debat kita
Aku sangka,
Tidak memikul beban nafsu
Puluhan ribu wang mampu bawaku menjelajahi dunia
muslihat semata-mata.
Namun Mansa musa juga mati
Meninggalkan harta sendiri
Aku sangka,
Episod drama dan filem akan bawaku memahami dunia
Namun ‘Green screen’ mahupun ‘blue screen’
Dihelahnya pada manusia buta-buta
Sedikit ringkas
Tari nari kata manusia
Bulan purnama
tinggi juga tempatnya durhaka
Tersenyum-seyum yang padahal
kuat menunduk diterang jiwa
Aku tidak langsung melihatnya
susun kembali dosa-dosa
Merenung nasib
sebagai adunya kamu
Kita di malam November
di telaga indah yang semakin tua,
Di bulan yang bersatu.
tuhan
sedang menanti.
“oh rama-rama,
bulan telah mati
di kota.”
KETIKA NANTI KAU MENEMUI PINTU LAUT Dihujung pintu laut
BACAKAN PUISI INI! alas dikuntum mengelabui samudera
malam besar dihentam ombak
Di hujung pintu laut
yang menunda asmara gelojak
dan malam temaram
di laut jiwa yang merenung warna diri,
digenangi bunyi-bunyian surut,
terkepak-kepak dansa pasir,
Dihujung pintu laut
telah meribut rimbunan pohon-pohon
ku sandarkan rusuk ke sebuah tenda
yang berdaun resah,
yang diberi nama (ruang)
untuk pemabuk alam sepertiku
Bayu halus menjadi selimut malam
bisa meneguk hidup rumbu.
di hujung pintu laut
dan terang rembulan meraut mengingatkanku kepada dahaga
duka,
jari-jariku menyimpul rambut
kakiku memabuk hampa,
di muara itu,
berpaut jiwa,
dengan bangkai harapan lama.
tersenyum-senyum
menulis di rumah kejujuran
TULISAN-TULISAN BAYU YANG BERDIRI
KETIKA DIA CUBA MENJADI DIRI SENDIRI.
Dan tika ria telah dia hulurkan Pantai pasir laut biru
sejambak senyuman yang manisnya tertebar terus merasuk alam,
melepas di kuntuman masih, sebaris kaki teman-teman
mengukur sesuatu di jemari,
;waktu akhir hari itu
meronakan gandanya silih gulana “Kita masih sangat muda
berwajah gumbira yang bertapak biarkan ombak ini menyaksikan
di lentur tatap senja, kita untuk sang cerita bumi mengalah”
Puisi,
lelaki tua
kau sering aku bilang
saat kemanisan engkau pandang
paling indah aku kenang,
lelaki tua
engkau paling tenang
yang tak bisa aku bayang
setelah aku paling engkau dendang,
lelaki tua
kau jelas menatang
kau akan menghilang
bila engkau pulang
terasa aku walang.”
KIRIMAN UNTUK TUHAN
(Ketika kau tak ada) tuhanku.
Tuhanku
dada sempit kerana nafasku
ketika kau tidak ada.
Tuhanku
malamku sunyi
ini yang pertama kali
kau ambil kembali
tuhanku
tuhanku
dinginnya telapak ini memujamu
kering haus bibir ini menyentuhmu
Ramai datang
berjemur namun kering
dan pergi
Ramai pergi
berbasah namun lembap
dan berbakti kembali.
OMBAK KUAT DI JENDELA PULAU
Sesekali malam
Orang-orang biasa tinggal berdosa
dah gerimis juga
Siang jadi kabut malam jadi sunyi
seolah berdeham
Hujung purnama tinggal tulang-temulang
Selera terbang kenyang sebelum bimbang
seolah malam
guruh tiba rupanya
Orang-orang biasa tunggang bahagia
dahanam alam
Siang melaksana malam menenun sara
Hujung purnama sisa haus pulang
ku terjaga
Kantung dada berang jalan berlubang
ku siram siram
Turap lopak rata hilang.
tidur digenggam
kita tenteram
semesta berdiam.
(S) UCAPAN MALAM
Bintang-bintang menari
Bulan hidup kendiri
Kehidupan singgah bermimpi
Di bawah langit ufuk langit
Jasad menjalani orientasi realiti.”
RIBUT MENJELANG KEHIDUPAN
Kawan-kawan
Berhati-hati dengan ribut itu
Bergerak sentiasa perlahan
Kedalaman selalu kesakitan.
Keluarlah
Dari terperosok caci
Tiada timbangan neraka di dunia tirani.
PENYAJAK GUNDAH DI BAWAH TEDUHAN NOKTAH HARI
Penyajak mengapa
perlu dilakar benci
jikalau yang lebih kelakar adalah berhenti.
Penyajak mengapa
perlu berhenti
jikalau yang lebih nanti adalah esok hari.
Itu dahulu,
hingga berdebu aku sementara
sewaktu perahu ku dayung menuju ke hulu
menunggumu pulang
tidak mungkin semudah itu
tuhan bukan yang bukan-bukan
dan
sebenarnya kita
yang bukan-bukan.”
kepulanganmu barangkali adalah kesepian
yang tidak beerti apa-apa.
“Kecintaan itu mungkin saja tidak akan ada salah arah Ketika ini,
dan lebihnya kerana tuhan telah asingkan kita di sini
mana yang kamu butuh dan harus kamu palingkan” bersama
di paling belakang sekali
dengan bantuan tuhan
diam dan teruja.
sebenarnya—
;kita adalah
yang paling bahagia
secara rahsia
di telaga
indah ini
telah disusun semula
jejak-jejak yang singgah
jauh mensisakan memori
-lahan lahan.
negaraku
layur dan aku “belum” merdeka.
PUISI DARA
PERTEMUAN DI PERSINGGAHAN
“Pada malam sunyi mengepal
“Di kala kita termenung di alas sepi dan berbantal
menunduk bersama kepada sang bumi ku lihat puisi yang tertindih
di rumah taman itu, dan ku bacakan dengan buih air lautan
kita membutirkan keindahan ku salami dengan sebaris pelayaran
yang terlipat di anugerah tuhan, di lautan puisi yang telah
hilang daranya setelah disetubuhi
Di doamu yang suci, berkali-kali oleh ombak yang kejam
rumah kita akan aman menelanjangkan malam
dan kedatangan kita menakutkan puisi dara itu.”
di bandar yang penuh warna ini
akan menampilkan
diri aku dan kamu yang sebenar,
Akan ku kembali
kepada
dirimu
yang telah diterkam
dengan
seribu kali dendam.
Pasang surut laut suria dahaga jiwa Kabus tebal seawal pagi terbit
menyulam selaksa perjalanan se-suah kiriman angin badai mengapit
bermenari di puncak suri buat mayapada pengimpi
adalah semanis waktu-waktu tergelincirnya mentari pasir-pasir yang ku sentuh lembut
ku baling dan taburkan semula ke pusara
Jingga itu lembayung yang tak sempat dikutip jiwa baunya terang menyuluhi
bati segani mula tersentuh segar lagi daki
kejernihan pahlawan seri
hari-hari baru menerang di sini Di manalah ibunya
di manalah ayahnya
Seraya hilang panah pabila sanubari bukankah ia akan berlagu
ringkas diraikan menggugat kawan-kawan kita
menilam pualam
menjadi suci terbang mengota Pabila hujan rintis menyentuh pipi
dan menabur laut yang hiba. kabus tebal segera hilang
betapa bayang-bayang itu masih ada
ia pulang ke lautan terhimpit di sana.
Ku kekal berdiam.
SENJAKALA
TIADA PENGHUJUNG
Hanyut jelata.
TEMPAT SIMPANAN DUKA YANG DIAJARI TUHAN