KISAH
YANG
TERDONGENG
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018
Susunan
Redaksi
Dewan Penasihat:
Ketua PP KAMMI
Ketua LSO Marabumi
Ketua Pojok Sastra
Taufik Ismail
Dewan Pelaksana:
Amar Ar-Risalah
Eri Muriyan
Elevan Yusmanto
Ali Hasibuan
Emas Rahayu
Hamdi Ibrahim
Arif Gangsal Wino
Maya Kusdiantini
Viki Adi Nugroho
Editor:
Amar Ar-Risalah
Desain Sampul:
Kolase @eri_muriyan
Tata Letak:
Sabuk Pustaka/Uri
Dari
Redaksi
Jurnal Puisi akhirnya terbit. Ini adalah kebahagiaan tersendiri
bagi kami. di usia gerakan kita yang sudah hampir 20 tahun,
pelebaran sayap gerakan di bidang kebudayaan, adalah hal yang
layak diperjuangkan. Jurnal ini bukan lahir untuk teriak-teriak
tidak sopan pada Mulkan Jabariyun. Jurnal ini terbit untuk
menghimpun sejumlah besar sajak para aktivis yang biasa
membaca puisi di jalan-jalan, di berbagai sudut negeri ini. Karena
keterbatasan waktu, kami mengambil sajak-sajak yang jamak
diperbincangkan di grup Pojok Sastra KAMMI.
Jurnal ini akan terus terbit, insyaa Allah, selama gerakan ini masih
mau menulis dan membaca puisi. Selama gerakan ini, masih
mengamalkan anjuran Umar bin Khattab, untuk mempelajari
puisi. Sebab, puisi-puisi menjadikan kita pemberani.
3
Puisi-puisi
Latifah Izzah
Maulana Syarif
Asyfatimah
Mau’idzotul Hasanah
Ali Hasibuan
Khoirul Latifah
Puisi-puisi
Latifah Izzah
Apa Kabar
hai apa kabar?
rasanya baru kemarin kau singgah
dan menemani hampanya hariku.
namun kini, kehadiranmu
telah dipertanyakan lagi
dalam keseharianku.
jika memang kau tak ingin
5
Perihal Nyawa Pergi
Perihal makhluk yang bernyawa,
Akan ada masanya waktu akan berhenti berdenting.
Seketika itu, langit akan menunjukan kuasa-Nya.
Kita hanya lemah.
Dan bila hari itu tiba dengan awan yang kalut, hitam dan menggelapkan.
Tak ada suara, tak ada lagi yang memanggil,
hanya tubuh yang akan menjadi diam selama ratusan jam.
Hingga pada pertanyaan,
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan
Titip Rindu
Aku titip rindu pada angin
Membiarkannya diterbangkan
punuknya yang rapuh
6
Ketika Senja
ketika senja.
saat semesta ingin bermain main dengan rindu.
bermain denganku beserta seisinya,
dan membiarkan rindu memenuhi lautan lalu menguap.
tapi takkan menghilang sebelum menemui samudra.
sekuat semesta menampung,
menjadikannya gumpalan selembut kapas di langit,
menghitam legam karena sudah terlalu lama.
hingga semesta tak sanggup menahan,
lalu menghempaskannya ke bumi.
menjadi butiran-butiran bening bernama hujan.
7
Puisi-puisi
Fajar Maulana Syarif
Sajak-sajak
Tentang Petrichor dan Fajar
/1/
Kembali. Menemukan bait-bait puisi
Di antara gemuruh guntur yang gelegar
Menahan rindu yang kian menggebu
Di tengah cumulonimbus yang tertahan
Yang siap menumpahkan nostalgi,
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan
melalui elegi
/2/
O Alloh, apa yang lebih romantis dibanding waktu-waktu mustajab-Mu?
Syahdu; Semilir angin membawaku pada satu kata,
Rindu.
Dalam tiap seruan, kudengar doa dan harap buncah di fajar ini
Ada kata, yang lirih terdengar lewat tiap rintik yang kusentuh
Lewat aksara yang ku kumpulkan dari tiap tetes gerimis
Diam-diam ku mulai memilih diksi
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018
8
Yang entah, dengan cara seperti apa ia menghantarkannya
Yang aku tahu, Kau akan mengabulkan setiap harap dan doa
Dan aku, berharap
Harap yang tak bisa kau dan hujan dengar
Tapi, aku tahu kau selalu Maha Mendengar
Dan mengabulkan setiap doa.
/3/
Lelah menutup hari, aku tepekur menatapi langit.
Lelah, menatapi bait-bait langit.
Senja dipeluk sang malam.
Takzim kulihat, mega yang kian Jingga
Di penghujung cakrawala, kudengar Dzikir petang
yang teramat garang
Melankolik di antara robithoh yang kau lantunkan
O, Alloh!
Syahdu apalagi yang kau sajikan di penghujung hari ini
/4/
Apa yang tersisa dari perjalanmu dengan hujan semalam?
Bukankah tetes-tetes rindu masi kau dapati pagi ini?
Atau embun rindu itu mulai kau semai
dari sisa gerimis yang menempel di rerumputan.
Pagi ini kau berbicara lewat dinginnya Celsius
Tak kudapati senyuman dari mentari yang hangat dari balik pepohonan
Menghirup kabut yang kian membuat tubuh beku
Aku berkemul dalam ingatan, membuat tubuh menggigil
Kau mengalunkan nada hipotermia, di sela tulang yang gemelutuk
Lalu, pagi ini munajat penuh harap kau lantunkan.
Angin semilir meng-Aamin- kan hanya untuk memastikan.
Mentari tersenyum kembali
9
/5/
Baru saja aku bercengkrama dengan langit. Dengan awan.
Bercerita tentang gerimis yang tak sempat kusapa.
Mendung dan senja
Yang berkejaran di ujung cakrawala.
Aku, mencoba menahan gerimis. Memintanya menepi sejenak.
Hujan.. Tak bisakah ku meminta penjelasan.
Dalam bait-bait rintik yang ambigu
Dalam awan yang kian kelabu
Dalam irama yang makin syahdu
Gerimis.. Ceritakanlah tentang satu tetes hujan.
Yang ingin kau nikmati sendiri
Tentang satu gelas kenangan yang ingin kau teguk habis
Tentang nostalgi yang ingin kau larungkan
Bersama genangan,
Aku mengenalmu dalam rintik yang sama.
Dalam petichor yang berbeda
Aku Mengenalmu dalam gerimis yang tak sempat ku genggam
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan
Aku
Rindu?
/6/
Aku adalah paradoks yang kau hirup dalam embunmu.
Yang kau nikmati dalam tiap titik radiasi sang mentari
Atau, yang kau sesap dalam uap yang keluar dari gelas tehmu
Aku mencintaimu:
Dari tiap bacaan zikir pagi yang kau lantunkan
Dari tiap doa yang kau ucapkan
Dari tiap ayat yang kudengar
Aku ingin menjadi Fajar di tiap pagimu.
Atau kabut di tiap Subuhmu.
Yang berbisik dan membangunkanmu, lembut
10
/7/
Selamat Pagi Hujan
Pagi ini kau begitu dini datang
Membuat mentari kembali berkemul dalam selimut kelabunya
Atahu fajar yang terkantuk sedari subuh tadi.. Membuat basah
pohon, daun, dan jalan
Menikmati irama kecipak sepatu bersol karet
Dan suara kokok ayam yang ditelan
gerimis. Aku mencoba mengumpulkan satu, dua titik air
Mengejanya lamat-lamat
Mencoba membaca dan mengingatnya kembali
Adakah rindu yang kau simpan dalam rinai yang turun pagi ini?
Pagi, hujan.
Mentari, gerimis
Kenangan, genangan
Rindu...
Aku menikmatinya dalam bentuk lain
Ia adalah:
11
Puisi-puisi
Asyfatimah
Kisah yang Terdongeng
Aku bahkan masih bermimpi
dapat memegang pena dengan tinta yang penuh,
Lalu kukisahkan cerita tentang di mana aku sekarang berpijak
Ingin kukisahkan tentang mereka yang menjadi kesatria
lalu tertikam oleh pedang yang lebih besar,
Gusti Allah..
Remuk sekali menuliskannya
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan
Lalu tentang prajurit yang berbaja putih bertameng rotan berlapis doa,
yang ingin ku kisahkan dengan penuh keharuan,
tentang mereka yang gagah dan penuh dengan pengabdian,
12
Per-Padu
Tanah ini gulita, karena kerikil batu seolah tak tumpu,
Ragam sekali kulitnya, boleh kita satukan aqidah?
Hitam
Tarikan magnet terkena hukum alam yang elok akan keindahan,
Membisikan sepotong kisah dalam lamunan singkat
yang tergores oleh tinta,
Membiuskan ilusi memancat sisa mimpi walau angin mengibas,
13
Aku Pulang
Bermain mahbub dalam penat udara yang begitu pekat,
Aku berlabuh namun terjatuh
dalam lambaian teka teki pukul tujuh,
Aku ingin menggenggam kekuatan mata air yang terkadang
14
Puisi-puisi
Mau’idzotul Hasanah
Sajak-Sajak Mau’idzhoh
I
Tidak, demi bulan
Dan demi malam ketika telah berlalu
Dan demi subuh apabila mulai terang
Setiap orang bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya
Manakala ia telah menjumpai perigi-perigi itu
Dan dua malaikat, yang membawa belincong berkilat kilat
Atau engkau,
yang menghantarkanku pada tempat pertapaan syahdu itu
Sungguh, saqar adalah peringatan yang nyata
15
II
Kau membawaku untuk setia menengadah di sini
Di atas tikar kusut yang terbentang
Pada malam-malam panjang
Tanpa purnama, tanpa bintang gemintang
Untuk tidak lanjut berselimut
Jauhkan
Berdirilah pada separuhnya
Atau kurang sedikit dari itu
Atau lebih dari seperdua itu
Lamat-lamat perhatikan makna dari sebaik kalam
Sebab terjaga padaya lebih kuat mengisi jiwa
Lalu njelitheng mulai berseru makin seru
Seperti memimpin orkestra
Dia menemaniku, katamu
Mengingati
Menekuri segenap pemberian
Sepenuh jiwa, sepenuh-penuhnya
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan
III
Laki-laki berbadan tambun itu
menyesap habis sisa-sisa kopi hitamnya
Pahit, sama pahit dengan hidupnya,
Menerawang pucuk-pucuk kebon jati
yang mulai temaram campur jingga
Menerawang gelap terang, kah, esok depan
Lupa sudah,
Sebab bensin, paket data dan listrik naik tinggi tinggi
Orang pintar tarik subsidi, pisang buat kolak tak terbeli
Ayam buat lebaran apalagi
Padahal setandan terakhir sudah wassalam
dipunjungkan
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018
16
Allahuakbar,
Tuhan seperti berdehem
Lusa jebul sudah takbiran
Dan kami masih lupa diri
IV
Kau ingat si burung merak
Wahyu Sulaiman Rendra pada hari pungkasnya itu?
Dia seperti bilang padaku;
“Maknailah, ajarkanlah titah Tuhan
Jika tidak mampu bacalah
Apabila masih terbata, teruskanlah maka kamu dapat dua
Lupakanlah kenikmatan hidup yang bikin lupa ini, barang sekejap
Lalu bukalah tulisan pak tua Sayyid Ja’far penuh petuah; Al-Barzanji
Tentang pujian tinggi-tinggi pada Yang Maha Tinggi,
Tentang do’a-do’a,
Tentang cerita hidup pembawa risalah itu,
V
Nak,
Angan dan perasaan benarlah ujian
Seringkali justeru yang amat
Kita tidak sukai nyata terjadi
Tenanglah, Tuhan mencintaimu
17
Dua Puisi
Ali Hasibuan
Cinta yang Sudah Lewat
Masanya telah tiba
Genggamanku tak sekuat dulu
Ibarat daun, yang gampang tercampak di halaman depan
2017
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018
18
Mencintai
Mencintai adalah waktu terbaik untuk istirahat
Istirahat dari segala kepentingan dan ambisi
Istirahat dari keinginan memiliki, tapi pada hakikatnya monopoli
Ia adalah layar yang terkoyak, sauh yang terjatuh
Mencintai adalah perjalanan panjang
Yang tak sempat berpikir untuk pulang
Atau melabuh di sebuah bandar
Ia adalah layar yang terbentang, sauh yang ditiriskan.
19
Dua Puisi
Khoirul Latifah
Menyalakan Lentera Harapan
Tersiar kabar
Bahwa ada sepetak tanah yang gersang
Tak terawat oleh seorang
Meranggas panas
Lalu sebuah kafilah melintas
Dengan sentuhan tangan dinginnya
Dengan bekal narasi juangnya
Terbabatlah kegersangan
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan
20
Kopi dan KAMMI
Sudah mulai malam
Berisik anak jalanan mulai menepi
Tenggelam dalam buaian kelelahan
Namun masih ada yang mengusik semesta
Derit almari terbuka
Bau kopi yang lama mengendap
Menyeruak semerbak
Denting sendok dan cawan beradu
Di balik dinding tua
Terjaga dua pemuda
Merancang sesuatu yang tak biasa
Esok adalah hari para pemuda
Dengan tetap terjaga
Berikat kepala KAMMI hijau muda
Sambil mengaduk seduhan kopi
21
Esai
Mengenai Puisi-Puisi
yang Ditulis dan Dibaca
dengan Sungguh-Sungguh
Oleh Amar Ar-Risalah
1
Minyak bumi tidak berbahaya, kecuali
bagi jejak kemiskinan yang tertinggal dibaliknya
Pada hari itu, ketika wajah-wajah mereka
yang menemukan sumur minyak juga menjadi gelap,
ketika hidup ditiupkan ke dalam hati kalian
untuk menambang lebih banyak minyak dari jiwa
untuk kepentingan umum ..
Itu...
Adalah:
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018
22
2
Dikatakan: sejahtera disana ..
tapi beberapa dari kalian adalah musuh untuk semuanya
Para ulama di Arab Saudi bisa jadi bukan generasi yang terbiasa
membalas sajak dengan sajak. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah,
menulis berbagai kitab yang menghabisi segala anasir
kemungkaran dan kebid’ahan di zamannya; zaman ketika
Mongol menghanguskan semuanya hingga para ulama sampai-
sampai mengira mereka adalah Ya’juj wa Ma’juj.
23
pengagum Utsaimin, Albani, Madkhuli, bin Baz, dan
lainlain—tidak bicara dengan puisi. Agama, adalah perkara
undangundang yang rigid dan zahir.
24
kampus mereka:
5
kau bersendawa, lebih dari yang biasanya
sebagai bar memberkati pengunjung mereka
dengan murattal dan penari yang menggoda
diiringi dengan DJ
kau tartilkan halusinasi
dan melantunkan pepujian
untuk tubuh-tubuh ini
yang berayun ke ayat-ayat pembuangan…
***
Maka pada musim semi itu, sebagai reaksi atas kudeta yang
menimpa guru sekaligus induk politiknya: Erdogan, Walikota
Istanbul, kota yang muncul pada hadis-hadis Nabi dan ramalan
bangsa Romawi, tampil membacakan sebuah puisi di dalam
pidatonya di Sirte:
25
Pembukaan kejayaan, pembukaan Anatolia, dari Malazgirt hingga
Canakkale,
Keimanan yang begitu tak tertembus
Adalah benteng-benteng kita
Nenek moyang kita terus memburu
Dari kemenangan satu ke kemenangan lain
Itu pasti berlanjut pada kita!"
26
prajurit berkostum militer dari setiap era Utsmani.
27
Merkel terpaksa meminta maaf atas " puisi yang
menghina" dan mengenakan pasal pada Bohmermann.
Di sisi lain, patutlah kita bernapas lega sebab puisi masihlah alat
artikulasi politik yang efektif. Puisi belum kehilangan
pendengarnya. Puisi-puisi belum mati dan masih disiarkan orang
di berbagai negeri untuk menegur dan menghina orang-orang
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018
zalim.
28
pembangunan dan popularitas, berbeda dengan cara seseorang
menikmati puisi. Kelihatannya, Erdogan, bukan laki-laki dalam
nubuat itu. Dan kelihatannya, cara orang-orang di dunia ini
menikmati puisi, harus kita cermati kembali.
***
29
Corat-coret
di Toilet
Puisi dan Para Netizen
Oleh Ilma de Sabrini (Kader KAMMI Jakarta)
Saya teringat tentang ritual Ayah saya yang selalu membaca koran
tiap pagi ditemani dengan the hangat dan sepotong roti bakar
buatan Ibu. Di akhir pekan pun demikian ritualnya, tetapi ada
yang menjadi sorotan Ayah yakni rubrik puisi. Suatu pagi Ayah
pernah bilang begini, “Puisi di koran Kompas makin ke sini
berbeda ya nuansanya.” Tentu demikian saya pikir, karena
memang seharusnya puisi seperti itu. Puisi tidak begitu saja
stagnan, karena pada dasarnya bahasa yang menjadi bahan utama
puisi, dimana bahasa memiliki ciri yang selalu dinamis dan tentu
saja arbitrer.
30
Fenomenanya saat ini ialah penyair-penyair muda generasi
milenial ini memiliki sosok sastrawan senior yang menjadi kiblat
puisi mereka. Ada pula anggapan bahwa tolak ukur kelayakan
suatu puisi adalah dengan dimuatnya karya mereka dalam surat
kabar beken seperti Kompas atau Koran Tempo. Apabila karya
mereka dimuat di sana maka kemungkinan karya mereka dilirik
pun semakin besar.
31
Saya melihat media cetak masih mempertahankan nilai-nilai
estetis yang cukup tinggi dibanding dengan media lainnya.
Persoalan estetis puisi memang tidak memiliki kemutlakan tolak
ukur, tetapi pembaca dapat merasakan pemilihan diksi yang
menarik, semiotik di balik puisi, dan nilai-nilai filosofis yang
terkandung dalam puisi itu. Saya pikir digital khususnya yang
lahir dari akun-akun instagram sudah cukup beragam. Namun,
banyak pula yang melahirkan sajak-sajak picisan juga. Bisa jadi
romantisisme masih menjadi ranah yang nyaman bagi para
pembaca puisi Indoensia.
Jadi, puisi kini telah memiliki nilai estetis yang bias dalam
keberagalam pembaca sastra Indonesia. Puisi masih memiliki
tempat khusus di hati para penikmat karya sastra dalam jumlah
pembaca yang kian sekarat jumlahnya. Puisi masih berjuang
menjalani nasibnya dengan tabah di era digital dan tentu saja ia
pasrah dengan pembacanya. Selamat beribadah. []
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018
32
Puisi Lama
Pantun Nasihat dari Riau
Pucuk putat warnanya merah
Bila dikirai terbang melayang
Tunduk mufakat mengandung tuah
Sengketa usai dendam pun hilang
33
Pidato
Kebudayaan
KAMMI dan Dunia Sastra Islam
Oleh Elevan Yusmanto (Mursyid ‘Aam Marabumi)
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, di mana awal dari awal dan
akhir dari akhir yang kami mintai pertolongan dan ampunan di
dunia ini maupun di akhirat kelak. Kami bersaksi tiada tuhan
selain ALLAH ‘azza wa jalla dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan
Peradaban jahilliah Arab pada saat itu berada pada titik terendah
kemanusiaan, bagaimana tidak sayyid qutub menggambarkan
peradaban jahilliah Arab adalah peradaban yang tidak mengenal
keadilan, masyarakat yang patriarki, pertumpahan darah selalu
terjadi menjadi hal yang biasa dan terbuka, disetiap rumah orang-
orang kayak dan berkedudukan social tinggi sangat jamak
ditemukan perzinahan, mabuk-mabukkan, per judian
perbudakan. Hukum berlaku layaknya ditengah hutan siapa yang
kuat dan perkasa dialah yang menang, patung yang dibuat
kemudian disembah sendiri. Pembunuhan bayi perempuan
dianggap sebagai sebuah kebaikan dan mendapatkan pujian dari
masyarakat. Akan tetapi ditengah peradaban jahiliah Arab pada
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018
34
kata, telah mengenal ilmu tata bahasa dengan baik (linguistik)
sangat jauh dibandingkan dengan peradaban-perdaban lain yang
meraba-raba dalam remang-remangan kegelapan ilmu
pengetahuan dan eropa memasukin fase kediktaktoran geraja
yang kita kenal sebagai abad kegelapan eropa.
dapat dipungkiri lagi. Akan tetapi pada zaman itu juga etika dan
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018
35
rendah. Sastra yang merupakan penompang peradaban juga tak
lepas dari kejahilliahan, Syauqi Dlaif menggambarkan puisi
–puisi (syair) pada saat itu bertemakan hasut menghasut, caci-
memaki sampai hal-hal yang bersifat erotisme seksual. At-
tahwani sejarawan muslim dalam Kasyaf Isthilahat Al-Funun
menceritakan sejarah turunnya surat As-Syu’ara (para penyair)
dilatarbelakangi dari peradaban jahiliyah Arab tersebut dan
disekeliling nabi terdapat nabi-nabi palsu atau para penyair yang
selalu menghasut untuk membenci nabi seperti Labid bin Rabi’a,
Sabil bin Waraqah, Abu Ath-Tamhan, atau Ka’ab bin Zuhair
yang tidak seperti Musailama dan Al-Qais, Ia menempuh jalan
berbeda dengan membuat puisi untuk menghasut dan
memperburuk citra Nabi Muhammad SAW., sehingga tidak
sedikit pengikut Nabi Muhammad SAW yang kembali murtad.
36
sahabat dimedan perang ketika 25.000 orang umat islam
berhadapan dengan 250.000 pasukan Romawi. setelah kedua
penyair ulung ini menjadi seorang muslim maka tenggelamlah
puisi-puisi Musailamah dan Al-Qais, yang menjadi awal
pembaharuan sastra Arab dan juga bagi penyair islam bersama
Al-Quran.
37
KAMMI sebagai organisasi pergerakan Islam memasuki dekade
kedua telah mengalami berbagai bentuk transformasi yang
berkesinambungan dengan baik. Pada mulanya KAMMI
dideklarasikan atau dibentuk hanya sebagai wadah untuk
menurunkan rezim orde baru, kemudian setelah runtuhnya orde
baru karena perlu adanya mengawal reformasi sehingga kami
bertransformasi menjadi sebuah wadah perjuangan yang
permanen dengan perangkat-perangkat yang semestinya ada
dalam sebuah organisasi pergerakan. Sekarang kita kenal adanya
visi, misi, kredo, yang kemudian kita mengenal 7 filosofi gerakan
sebagai landasan ideologi. Pemantapan dan kemapaman
organsasi juga bisa kita dapati dalam proses yang menjadi dasar
dari bergeraknya sebuah organisasi yaitu kaderisasi kita
mengenal adanya pemandu maupun instruktur.
38
mengerdipkan kedua matanya, untuk melepas air mata yang jatuh
disebabkan rasa duka dan belas kasihan. Seraya memandang
berkeliling ke wajah para shahabatnya dengan pandangan haru,
beliau berkata, “Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia
bertempur bersamanya hingga ia gugur sebagai syahid…
Kemudian diambil alih oleh Ja’far, dan ia bertempur pula
bersamanya sampai syahid pula…” Beliau berdiam sebentar, lain
diteruskannya ucapannya, “Kemudian panji itu dipegang oleh
Abdulah bin Rawahah dan ia bertempur bersama panji itu,
sampai akhirnya ia pun syahid pula. Kemudian Rasulullah
terdiam seketika, ketika itu pula mata beliau bercahaya,
menyinarkan kegembiraan, ketentraman dan kerinduan,
kemudian berkata, “mereka bertiga diangkatkan ketempatku
kesyurga.
Jurnal puisi ini patut kita sambut dengan gembira dan kita
sambut layaknya menuntaskan dahaga setelah berjalan ditengah
padang pasir yang gersang. Meskipun, sangat terlambat tapi
39
KISAH
YANG
TERDONGENG
Mawar Merah
Jurnal Puisi Marabumi Teman Berjuang Orang-orang Jalanan