Anda di halaman 1dari 40

Mawar Merah

Jurnal Puisi Marabumi Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

KISAH
YANG
TERDONGENG
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018
Susunan
Redaksi
Dewan Penasihat:
Ketua PP KAMMI
Ketua LSO Marabumi
Ketua Pojok Sastra
Taufik Ismail

Dewan Pelaksana:
Amar Ar-Risalah
Eri Muriyan
Elevan Yusmanto
Ali Hasibuan
Emas Rahayu
Hamdi Ibrahim
Arif Gangsal Wino
Maya Kusdiantini
Viki Adi Nugroho

Editor:
Amar Ar-Risalah

Desain Sampul:
Kolase @eri_muriyan

Tata Letak:
Sabuk Pustaka/Uri
Dari
Redaksi
Jurnal Puisi akhirnya terbit. Ini adalah kebahagiaan tersendiri
bagi kami. di usia gerakan kita yang sudah hampir 20 tahun,
pelebaran sayap gerakan di bidang kebudayaan, adalah hal yang
layak diperjuangkan. Jurnal ini bukan lahir untuk teriak-teriak
tidak sopan pada Mulkan Jabariyun. Jurnal ini terbit untuk
menghimpun sejumlah besar sajak para aktivis yang biasa
membaca puisi di jalan-jalan, di berbagai sudut negeri ini. Karena
keterbatasan waktu, kami mengambil sajak-sajak yang jamak
diperbincangkan di grup Pojok Sastra KAMMI.

Pojok Sastra KAMMI berdiri sekitar tahun 2016. Puluhan kader

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


KAMMI dari berbagai bidang ilmu berkumpul untuk mencintai
dan memeluk puisi lebih dalam dan jauh lebih dalam. Di situlah
sisi menariknya. Sajak-sajak ini dihasilkan oleh mereka yang tidak
semuanya jurusan sastra.

Jurnal ini akan terus terbit, insyaa Allah, selama gerakan ini masih
mau menulis dan membaca puisi. Selama gerakan ini, masih
mengamalkan anjuran Umar bin Khattab, untuk mempelajari
puisi. Sebab, puisi-puisi menjadikan kita pemberani.

Kedepan, segenap kader dapat mengirimkan dua sampai tujuh


sajaknya pada redaksi, kemudian akan dikurasi dengan
sebaik-baiknya. Harap diingat, proses kurasi berbeda dengan
proses menilai dan menjuri. Kurasi adalah masalah selera. Puisi,
juga masalah jodoh-jodohan. Bukan masalah cantik atau
tingginya marhalah pembuat.

Selamat menjabat dan doa-doa baik kami menyertai Ketua


Umum PP KAMMI yang baru saja terpilih, semoga di
tangannya, Allah memudahkan jalan dakwah dan jalan juang kita.
Dan agar senantiasa, kita terus berdoa bagi kebaikan umat ini.

Akhir kata, selamat membaca. Jangan lupa bahagia. []


Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

3
Puisi-puisi
Latifah Izzah
Maulana Syarif
Asyfatimah
Mau’idzotul Hasanah
Ali Hasibuan
Khoirul Latifah
Puisi-puisi
Latifah Izzah
Apa Kabar
hai apa kabar?
rasanya baru kemarin kau singgah
dan menemani hampanya hariku.
namun kini, kehadiranmu
telah dipertanyakan lagi
dalam keseharianku.
jika memang kau tak ingin

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


singgah, jangan pernah bertingkah
layaknya akulah pelabuhan terbaikmu—hingga kau
enggan beranjak dan memilih
untuk menetap padaku.
namun nyatanya?
kau p
         a
           m
               i
                  t   juga.

jika memang rasamu tak pernah


disini, jangan lambungkan harapku
hingga tak dapat kujejakkan sadarku.
kau tahu? orang orang datang dan pergi
sesuka hati mereka, namun aku hanya ingin
kau menetap ketika telah singgah disini.
namun apa boleh buat? ragamu tak bisa kupertahankan
jika hatimu enggan bersama denganku.
berbahagialah dengan pilihanmu, kuharap
ia tak merasakan
perihnya m e n c i n t a i m u .”
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

5
Perihal Nyawa Pergi
Perihal makhluk yang bernyawa,
Akan ada masanya waktu akan berhenti berdenting.
Seketika itu, langit akan menunjukan kuasa-Nya.
Kita hanya lemah.

Harta hanya menjadi lautan sampah.


Selanjutnya akan menjadi fana.
Tak ada yang lebih dekat daripada kematian.
Sejauh apapun kita melupakannya, justru takkan
merubah apa-apa yang sudah di takdirkan-Nya.

Dan bila hari itu tiba dengan awan yang kalut, hitam dan menggelapkan.
Tak ada suara, tak ada lagi yang memanggil,
hanya tubuh yang akan menjadi diam selama ratusan jam.
Hingga pada pertanyaan,
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

mengapa aku dihidupkan dan untuk apa aku dihidupkan?


Perihal nyawa yang akan pergi,
Sesungguhnya, kita semua tervonis mati.

Dan waktu bertugas sebagai Hakim-Nya

Titip Rindu
Aku titip rindu pada angin
Membiarkannya diterbangkan
punuknya yang rapuh

Aku titip rindu pada hujan


Membiarkannya membasahi  jagad

Aku titip rindu pada awan


Membiarkannya asyik bergumul sendiri

Dan akhirnya, rindu kutitip mentari


yang bersinggah sepi di matamu.
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

6
Ketika Senja
ketika senja.
saat semesta ingin bermain main dengan rindu.
bermain denganku beserta seisinya,
dan membiarkan rindu memenuhi lautan lalu menguap.
tapi takkan menghilang sebelum menemui samudra.
sekuat semesta menampung,
menjadikannya gumpalan selembut kapas di langit,
menghitam legam karena sudah terlalu lama.
hingga semesta tak sanggup menahan,
lalu menghempaskannya ke bumi.
menjadi butiran-butiran bening bernama hujan.

jatuh terhempas begitu saja.


meresap ke tanah hingga dalam, dan tak terlihat.
atahu jatuh ke sungai, bersama jutaan rindu lainnya hingga ke hulu.

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


petir pun menyeruak getir seakan berteriak agar didengar.

ketika hujan dapat menghancurkan batu karang di laut lepas.


seperti rindu yang mampu meluluhkan samudra yang terlalu angkuh.
hanya untuk sekedar merengkuh jauh. []

Latifah Izzah, Kader KAMMI Jakarta, Universitas Negeri Jakarta


Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

7
Puisi-puisi
Fajar Maulana Syarif
Sajak-sajak
Tentang Petrichor dan Fajar
/1/
Kembali. Menemukan bait-bait puisi
Di antara gemuruh guntur yang gelegar
Menahan rindu yang kian menggebu
Di tengah cumulonimbus yang tertahan
Yang siap menumpahkan nostalgi,
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

melalui elegi

Petrichor: Kau datang, bersama sesaknya rindu


yang mulai kunikmati sendiri.
Hujan,
Yang kembali meresonansikan ingatan.
Kau tahu, aku tak bisa menghindar
bahkan dari gerimis paling zarrah sekalipun.
Ada kenangan dalam genangan,
Ada banjir, yang dihasilkan oleh rindu.
Ada,
Kau tahu?
Aku, kuyup.

/2/
O Alloh, apa yang lebih romantis dibanding waktu-waktu mustajab-Mu?
Syahdu; Semilir angin membawaku pada satu kata,
Rindu.
Dalam tiap seruan, kudengar doa dan harap buncah di fajar ini
Ada kata, yang lirih terdengar lewat tiap rintik yang kusentuh
Lewat aksara yang ku kumpulkan dari tiap tetes gerimis
Diam-diam ku mulai memilih diksi
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

Mengalunkan bait-bait doa penuh harap


Dengan rinai hujan sebagai pengiring

8
Yang entah, dengan cara seperti apa ia menghantarkannya
Yang aku tahu, Kau akan mengabulkan setiap harap dan doa
Dan aku, berharap
Harap yang tak bisa kau dan hujan dengar
Tapi, aku tahu kau selalu Maha Mendengar
Dan mengabulkan setiap doa.

/3/
Lelah menutup hari, aku tepekur menatapi langit.
Lelah, menatapi bait-bait langit.
Senja dipeluk sang malam.
Takzim kulihat, mega yang kian Jingga
Di penghujung cakrawala, kudengar Dzikir petang
yang teramat garang
Melankolik di antara robithoh yang kau lantunkan
O, Alloh!
Syahdu apalagi yang kau sajikan di penghujung hari ini

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


Di saat mata lelah.
Aku nanar menatap langit-Mu
Dalam kelu, lirih kuberkata
Nikmat Engkau mana lagi yang ku dustakan?

/4/
Apa yang tersisa dari perjalanmu dengan hujan semalam?
Bukankah tetes-tetes rindu masi kau dapati pagi ini?
Atau embun rindu itu mulai kau semai
dari sisa gerimis yang menempel di rerumputan.
Pagi ini kau berbicara lewat dinginnya Celsius
Tak kudapati senyuman dari mentari yang hangat dari balik pepohonan
Menghirup kabut yang kian membuat tubuh beku
Aku berkemul dalam ingatan, membuat tubuh menggigil
Kau mengalunkan nada hipotermia, di sela tulang yang gemelutuk
Lalu, pagi ini munajat penuh harap kau lantunkan.
Angin semilir meng-Aamin- kan hanya untuk memastikan.
Mentari tersenyum kembali

Aku, berharap. Kau berharap, Kita berharap.


Sang surya hadir di balik Cumulonimbus
yang entah kapan memudar.
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

9
/5/
Baru saja aku bercengkrama dengan langit. Dengan awan.
Bercerita tentang gerimis yang tak sempat kusapa.
Mendung dan senja
Yang berkejaran di ujung cakrawala.
Aku, mencoba menahan gerimis. Memintanya menepi sejenak.
Hujan.. Tak bisakah ku meminta penjelasan.
Dalam bait-bait rintik yang ambigu
Dalam awan yang kian kelabu
Dalam irama yang makin syahdu
Gerimis.. Ceritakanlah tentang satu tetes hujan.
Yang ingin kau nikmati sendiri
Tentang satu gelas kenangan yang ingin kau teguk habis
Tentang nostalgi yang ingin kau larungkan
Bersama genangan,
Aku mengenalmu dalam rintik yang sama.
Dalam petichor yang berbeda
Aku Mengenalmu dalam gerimis yang tak sempat ku genggam
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

Aku
Rindu?

/6/
Aku adalah paradoks yang kau hirup dalam embunmu.
Yang kau nikmati dalam tiap titik radiasi sang mentari
Atau, yang kau sesap dalam uap yang keluar dari gelas tehmu
Aku mencintaimu:
Dari tiap bacaan zikir pagi yang kau lantunkan
Dari tiap doa yang kau ucapkan
Dari tiap ayat yang kudengar
Aku ingin menjadi Fajar di tiap pagimu.
Atau kabut di tiap Subuhmu.
Yang berbisik dan membangunkanmu, lembut

Aku ingin tetap menjadi fajar


Yang kau tahu hadirnya dari tiap seruan dari masjid-masjid
Aku ingin tetap menjadi fajar
Yang tak pernah lama hadir,
tapi selalu berkesan untuk banyak orang
Aku ingin
Menjadi…
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

10
/7/
Selamat Pagi Hujan
Pagi ini kau begitu dini datang
Membuat mentari kembali berkemul dalam selimut kelabunya
Atahu fajar yang terkantuk sedari subuh tadi.. Membuat basah
pohon, daun, dan jalan
Menikmati irama kecipak sepatu bersol karet
Dan suara kokok ayam yang ditelan
gerimis. Aku mencoba mengumpulkan satu, dua titik air
Mengejanya lamat-lamat
Mencoba membaca dan mengingatnya kembali
Adakah rindu yang kau simpan dalam rinai yang turun pagi ini?
Pagi, hujan.
Mentari, gerimis
Kenangan, genangan
Rindu...
Aku menikmatinya dalam bentuk lain
Ia adalah:

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


Syukur
Selamat datang (musim) hujan []

Fajar M Syarif. Kader KAMMI Jakarta


Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

11
Puisi-puisi
Asyfatimah
Kisah yang Terdongeng
Aku bahkan masih bermimpi
dapat memegang pena dengan tinta yang penuh,
Lalu kukisahkan cerita tentang di mana aku sekarang berpijak
Ingin kukisahkan tentang mereka yang menjadi kesatria
lalu tertikam oleh pedang yang lebih besar,

Gusti Allah..
Remuk sekali menuliskannya
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

Aku tahu kesatria itu tak mudah tertusuk begitu saja,


Kesatria itu masih memegang panahnya
lalu hatinya pun masih berdesus untuk berdzikir,

Belum saatnya merebah, belum saatnya meletakkan kaki di atas kursi,


Dan belum saatnya melangkahkan kaki untuk kembali pulang,

Lalu tentang prajurit yang berbaja putih bertameng rotan berlapis doa,
yang ingin ku kisahkan dengan penuh keharuan,
tentang mereka yang gagah dan penuh dengan pengabdian,

Ini kisah yang akan ku dongengkan pada Putra Putriku kelak,


Kutulis dalam cerita hikayat dengan tinta yang tak pernah habis
Lalu ku kisahkan dengan dongeng berirama sendu.
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

12
Per-Padu
Tanah ini gulita, karena kerikil batu seolah tak tumpu,
Ragam sekali kulitnya, boleh kita satukan aqidah?

Ombak bersiul mengayun waktu


dengan rindunya ia titipkan kata “rambut kita pun berbeda,
boleh kita rapikan bersama?”

Di perut bundaran biru, kini kisah lama menjadi baru,


kisah jujur tertuduh fitnah,
kisah kebohongan terubah guyonan,
hanya penyedap si penyihir berjuta pemeran

Tak usah kerutkan alis,


Alam menitipkan cinta untuk drama kolosal pembuat romansa

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


Detik kita adalah angka
Angka kita adalah perjuangan,
perjuangan adalah detik kita mengumpulkan angka []

Hitam
Tarikan magnet terkena hukum alam yang elok akan keindahan,
Membisikan sepotong kisah dalam lamunan singkat
yang tergores oleh tinta,
Membiuskan ilusi memancat sisa mimpi walau angin mengibas,

Aku seperti aku dalam diriku oleh jiwaku,


Tak tumpu walau pisau tak tajam untuk menajamkan
Sedikit hukuman alam harus diterima oleh jiwanya
Seperti membisikan angin, dan berlalu menjadi debu,

Seperti ini kisah bila tak pernah menjadi hikayat,


Berlumur penat dalam cerita sepanjang
perbincangan kakatua hijau,
Kakiku kuat, lenganku tangguh,
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

dan hatiku berdebar karena perasa saudara berkulit hitam.

13
Aku Pulang
Bermain mahbub dalam penat udara yang begitu pekat,
Aku berlabuh namun terjatuh
dalam lambaian teka teki pukul tujuh,
Aku ingin menggenggam kekuatan mata air yang terkadang

Mentari ikut menari.


Tersejukan oleh rasa yang samar untuk sekedar menoleh
Waktu berhembus pada udara yang terhembus lalu menembus
Cahaya yang mengisahkan bagaimana aku berjalan
dalam gelapnya jebakan,

Berhitung beberapa angka


agar aku mengerti bagaimana berprasangka
Mengenang kisah sore tadi mengesankan tak juga menegaskan,

Aku berlatih untuk tidak tertatih,


Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

menepuk pundak agar tak terlena menjadi budak,


Bermain sinar agar pulang tak lagi tertukar,

Terbanglah seperti debu yang tak menyisakan duka


Seperti aku yang masih terlihat terluka.

Asyfatimah, kader KAMMI Kuningan


Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

14
Puisi-puisi
Mau’idzotul Hasanah
Sajak-Sajak Mau’idzhoh
I
Tidak, demi bulan
Dan demi malam ketika telah berlalu
Dan demi subuh apabila mulai terang
Setiap orang bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya
Manakala ia telah menjumpai perigi-perigi itu
Dan dua malaikat, yang membawa belincong berkilat kilat

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


Entah presiden yang menjabat nyaris tigapuluh dua tahun;
Yang macam bereinkarnasi, ngoceh pada stiker
ijek penak jamanku di pantat truk-truk pasir geyal-geyol itu
Atau tukang tipu yang gemar betul menipu
padahal sejatinya ia juga ditipu
dan terus menerus menipu dirinya sendiri dengan tipu-tipu
Atau pemoles gincunya ketika masuk gorong-gorong
dan teriak “merakyat bukan main ‘kan?”
Atau si tukang bersih gorong-gorong betulan
Atau supir berkumis nyuprus
yang membawakan perempuan menor untuk jenderal;
biar diperpanjang tax amnesti

Atau kakek tua yang saban pungkas subuh mendayu


merapal kalam Tuhan dan memeluknya dalam-dalam
Di langgar reyot belakang kantor camat itu
Atau nenek tua yang masuk bui
sebab dituduh mengambil sebilah kayu jelek
di kebun milik laki-laki lamis yang dulu
digembolnya tidak kurang sembilan bulan
Atau janda semlohai yang beranak kemarin sore,
yang terlilit utang pada bank plecit
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

Atau engkau,
yang menghantarkanku pada tempat pertapaan syahdu itu
Sungguh, saqar adalah peringatan yang nyata

15
II
Kau membawaku untuk setia menengadah di sini
Di atas tikar kusut yang terbentang
Pada malam-malam panjang
Tanpa purnama, tanpa bintang gemintang
Untuk tidak lanjut berselimut
Jauhkan
Berdirilah pada separuhnya
Atau kurang sedikit dari itu
Atau lebih dari seperdua itu
Lamat-lamat perhatikan makna dari sebaik kalam
Sebab terjaga padaya lebih kuat mengisi jiwa
Lalu njelitheng mulai berseru makin seru
Seperti memimpin orkestra
Dia menemaniku, katamu
Mengingati
Menekuri segenap pemberian
Sepenuh jiwa, sepenuh-penuhnya
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

III
Laki-laki berbadan tambun itu
menyesap habis sisa-sisa kopi hitamnya
Pahit, sama pahit dengan hidupnya,
Menerawang pucuk-pucuk kebon jati
yang mulai temaram campur jingga
Menerawang gelap terang, kah, esok depan

Lupa dia pada tinggal dua saf


yang bahkan rompal bagian tengahnya
Jadi lupa dia pada jeritan tak keruan anak-anak
kampung yang melontar kepyar dar-dor mercon
Lupa teraweh,
Lupa witir yang tiga, lupa pada buku amalan ramadhan
yang mesti penuh paraf khatib itu

Lupa sudah,
Sebab bensin, paket data dan listrik naik tinggi tinggi
Orang pintar tarik subsidi, pisang buat kolak tak terbeli
Ayam buat lebaran apalagi
Padahal setandan terakhir sudah wassalam
dipunjungkan
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

Padahal kumpul bagi pitrah sebentar lagi


Duh, mumet eram

16
Allahuakbar,
Tuhan seperti berdehem
Lusa jebul sudah takbiran
Dan kami masih lupa diri

IV
Kau ingat si burung merak
Wahyu Sulaiman Rendra pada hari pungkasnya itu?
Dia seperti bilang padaku;
“Maknailah, ajarkanlah titah Tuhan
Jika tidak mampu bacalah
Apabila masih terbata, teruskanlah maka kamu dapat dua
Lupakanlah kenikmatan hidup yang bikin lupa ini, barang sekejap
Lalu bukalah tulisan pak tua Sayyid Ja’far penuh petuah; Al-Barzanji
Tentang pujian tinggi-tinggi pada Yang Maha Tinggi,

Tentang do’a-do’a,
Tentang cerita hidup pembawa risalah itu,

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


Tentang kebaikan yang dibawanya,
Tentang keteladanan mulianya,
Ah, demikian megah ajaran bikinan Tuhan, diramunya
dalam berlembar kata-kata

Pentaskan dalam dunia yang penuh hingar bingar ini


Carilah sebaliknya.”

V
Nak,
Angan dan perasaan benarlah ujian
Seringkali justeru yang amat
Kita tidak sukai nyata terjadi
Tenanglah, Tuhan mencintaimu

Tidak pernah tidak sepanjang kau ingati-Nya


setiap pagi setiap petang
Bahkan jikapun tidak []

Yang bercita menjadi sebaik-baik guru mengaji


Catatan Ramadhan 1438
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

Mau’idzotul Hasanah, Surakarta

17
Dua Puisi
Ali Hasibuan
Cinta yang Sudah Lewat
Masanya telah tiba
Genggamanku tak sekuat dulu
Ibarat daun, yang gampang tercampak di halaman depan

Waktu telah bicara


Pundakku tak sekokoh dulu
Seperti kayu yang telah kropos dilibas anai
Jangan kau bersandar, bahaya.
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

Pekan telah berlalu


Ingatanku berangsur hilang
Lenyap dimakan kehidupan
Kenangan tentangmu tak lagi awet

Masa kita memang telah lewat


Bicara cinta kita tak lagi sepakat
Hanya menunggu orang lewat
Sesekali bertanya mengapa kita sering berdebat

Cinta kita hanya bertanda keturunan


Yang tak lagi kita hafal gelarnya
Rindu kita telah menguap
Dalam umur yang semakin melarat.

2017
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

18
Mencintai
Mencintai adalah waktu terbaik untuk istirahat
Istirahat dari segala kepentingan dan ambisi
Istirahat dari keinginan memiliki, tapi pada hakikatnya monopoli
Ia adalah layar yang terkoyak, sauh yang terjatuh
Mencintai adalah perjalanan panjang
Yang tak sempat berpikir untuk pulang
Atau melabuh di sebuah bandar
Ia adalah layar yang terbentang, sauh yang ditiriskan.

Rangkasbitung, 21 Okt 2017

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

Ali Hasibuan, Tangerang Selatan


Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

19
Dua Puisi
Khoirul Latifah
Menyalakan Lentera Harapan
Tersiar kabar
Bahwa ada sepetak tanah yang gersang
Tak terawat oleh seorang
Meranggas panas
Lalu sebuah kafilah melintas
Dengan sentuhan tangan dinginnya
Dengan bekal narasi juangnya
Terbabatlah kegersangan
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

Meski berat, meski terluka


Tanah gersang itu kini menghijau
Teduh dengan sentuhan surgawi
Bahwa tauhid telah memikat hati
Rimbun dengan kesadaran kepemimpinan
Bahwa kebaikan yang teroganisir lebih lezat
Sepoi dengan genial intelektualitas
Bahwa kebodohan adalah kezaliman
Segar dengan sentuhan kepedulian sosial
Bahwa peduli adalah sebuah solusi
Lalu menyalalah sebuah lentera
Harapan pijar untuk tanah yang pernah gersang
Teruslah berjuang para kafilah!
Agar lentera itu tak cepat padam.
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

20
Kopi dan KAMMI
Sudah mulai malam
Berisik anak jalanan mulai menepi
Tenggelam dalam buaian kelelahan
Namun masih ada yang mengusik semesta
Derit almari terbuka
Bau kopi yang lama mengendap
Menyeruak semerbak
Denting sendok dan cawan beradu
Di balik dinding tua
Terjaga dua pemuda
Merancang sesuatu yang tak biasa
Esok adalah hari para pemuda
Dengan tetap terjaga
Berikat kepala KAMMI hijau muda
Sambil mengaduk seduhan kopi

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


Membara, menuliskan larik rilis berita.

Khoirul Latifah, Solo


Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

21
Esai
Mengenai Puisi-Puisi
yang Ditulis dan Dibaca
dengan Sungguh-Sungguh
Oleh Amar Ar-Risalah

Arab Saudi. 2015. Masa-masa ketika Daulah Islam Irak-Suriah


merajalela dan menjadi kelompok teroris terkaya di dunia karena
menguasai tambang dan jalur perdagangan minyak di Irak. Di
satu sisi, Iran melalui kepanjangan tangan seagamanya, Houthi
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

dan Kurdi, mendesak di Yaman dan Suriah.

Saudi bereaksi: Sebuah aliansi militer dibentuknya,


bersama—dalam klaim—38 negara Arab dan Islam untuk
menghadapi itu semua. Raja Salman, lebih menyerupai seorang
jenderal perang daripada raja arif yang pendamai.

Mata dan hati seorang penyair lebih tajam dari siapapun,


betapapun ia dianggap orang kotor atau pelaku dosa-dosa besar
yang keji. Maka di tahun itulah, seorang flamboyan yang pernah
didera karena kumpul kebo dengan seorang perempuan menulis
puisi:

1
Minyak bumi tidak berbahaya, kecuali
bagi jejak kemiskinan yang tertinggal dibaliknya
Pada hari itu, ketika wajah-wajah mereka
yang menemukan sumur minyak juga menjadi gelap,
ketika hidup ditiupkan ke dalam hati kalian
untuk menambang lebih banyak minyak dari jiwa
untuk kepentingan umum ..
Itu...
Adalah:
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

janji minyak, janji sejati.


tamatlah…

22
2
Dikatakan: sejahtera disana ..
tapi beberapa dari kalian adalah musuh untuk semuanya

jadi tinggalkan sekarang


Lihatlah diri kalian dari dasar sungai;
kalian yang di atas harus memberi sedikit rasa kasihan pada orang-orang
di bawah ..
mereka yang mengungsi tak berdaya,
seperti darah yang tak seorang pun mau beli di pasar minyak!

Asyraf Fayyadh. Nama yang kemudian diperingati dan sajaknya


digaungkan sebagai bunyi koor pada hari sajak sedunia tahun itu.
Ia menghadapi hukuman mati pada awal 2016 dan akhirnya
hanya “hukuman dera” atas “penghinaan”.

Ia adalah penyair Palestina yang kemudian menetap di Saudi


karena perang terus terjadi. Akan tetapi, ia hendak berkata

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


dengan tegas pada puisinya: bahwa minyak, bahwa uang, adalah
alasan mengapa orang-orang terus berperang dan terus dibunuh.

Bukankah Fayyadh melihat perang dari jarak dekat? Bukankah


Fayyadh ini ditangkap juga karena puisinya bicara tentang perang
di Negara yang melakukan peperangan itu?

Para ulama di Arab Saudi bisa jadi bukan generasi yang terbiasa
membalas sajak dengan sajak. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah,
menulis berbagai kitab yang menghabisi segala anasir
kemungkaran dan kebid’ahan di zamannya; zaman ketika
Mongol menghanguskan semuanya hingga para ulama sampai-
sampai mengira mereka adalah Ya’juj wa Ma’juj.

Akan tetapi, Ibnu Qayyim membalas sajak dengan sajak. Orang-


orang salik yang menerjemahkan Tuhan dan segala atribut-Nya
ke dalam puisi, kadang terjatuh dalam jurang filsafat yang tak
berujung.

Ibnu Qayyim dengan kaidah Mimmiyah dan Nunniyah dalam


kitabnya hadir untuk memberikan alternatif sastra yang bisa
dinikmati orang-orang yang beragama secara sederhana.
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

Di Saudi, sebagaimana di negeri ini, orang-orang—para ulama

23
pengagum Utsaimin, Albani, Madkhuli, bin Baz, dan
lainlain—tidak bicara dengan puisi. Agama, adalah perkara
undangundang yang rigid dan zahir.

Asyraf Fayyadh jelas dijatuhi hukuman oleh mereka yang tidak


pernah menggunakan puisi untuk berfatwa. Betapa hari ini,
ajaran islam yang datang dari jalur Saudi, entah mengapa kering
dari nuansa kesusastraan itu.

Kedewasaaan umat islam menikmati puisi tidaklah hilang, orang


masih membaca puisi sebagaimana biasa. Akan tetapi, ketika
puisi mengancam rezim:

Mendadak orang mengadili puisi laksana mengadili pidato politik


seorang anggota dewan. Asyraf Fayyadh bisa jadi diadili dan
menjadi target para ulama di sana bukan hanya karena puisinya.
Tapi, terlepas dari itu semua, puisi masih menjadi alat bercerita
yang setia.
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

Asyraf, sukses memberitahu kita semua. Tak ada perang antar


agama. Tak ada perang melawan Syiah, Ikhwanul Muslimin, atau
Khawarij. Tak ada perang kepada terorisme.

Di Yaman, kita tahu bahwa kenyataannya pasukan Arab Saudi


dan Uni Emirat Arab sekadar kucing-kucingan dengan Houthi.
Tetapi, markas Partai Al-Ishlah dihancurkan dan para
petingginya ditangkap. Al-Ishlah, adalah kepanjangan tangan
Ikhwanul Muslimin.

Asyraf sukses memberitahu kita bahwa di Suriah, di Yaman, di


Qatar, di Turki, dan di belahan dunia Arab bagian manapun,
perang selalu disebabkan minyak, minyak, dan minyak. Dan yang
paling bahaya adalah orang semacam Asyraf dan Ikhwanul
Muslimin:

Orang yang tahu lalu banyak bicara. Dan ia beruntung, sebab


puisi-puisinya dibaca oleh para pangeran dan ulama Dinasti
Saudi.

Betapa pada bagian kelima puisinya ini, ia menceritakan apa yang


pada akhir tahun 2017 lalu menjadi tontonan dunia dengan
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

digelarnya konser Jazz di tengah fatwa-fatwa haramnya music


secara mutlak sebagaimana diajarkan para ulama di kampus

24
kampus mereka:

5
kau bersendawa, lebih dari yang biasanya
sebagai bar memberkati pengunjung mereka
dengan murattal dan penari yang menggoda
diiringi dengan DJ
kau tartilkan halusinasi
dan melantunkan pepujian
untuk tubuh-tubuh ini
yang berayun ke ayat-ayat pembuangan…

***

Turki. Enam bulan pertama 1997. Necmettin Erbakan tampil


sebagai penguasa bercorak islami. Akan tetapi, kudeta militer itu
terjadi. Militer, yang dari zaman ke zaman, menghantui penguasa
islamis Turki.

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


Tak usah kita cari apa penyebabnya. Yang jelas, Erbakan adalah
orang yang di puncak kekuasaan, melawan rakyatnya sendiri:
rakyat Turki, 1997 itu, takut, marah, kaget... dengan retorika
Erbakan yang kelewat islami. Khas Mili Gorus dan Ikhwanul
Muslimin.

Maka pada musim semi itu, sebagai reaksi atas kudeta yang
menimpa guru sekaligus induk politiknya: Erdogan, Walikota
Istanbul, kota yang muncul pada hadis-hadis Nabi dan ramalan
bangsa Romawi, tampil membacakan sebuah puisi di dalam
pidatonya di Sirte:

Menara-menara itu adalah bayonet kita


Kubah-kubah itu adalah pelindung kepala kita
Masjid-masjid itu adalah barak kita
Dan orang-orang mukmin adalah prajurit kita

Satu hal saja aku tak pahami


Jikalau langit dan bumi dibuka melawan kita
Jikalau air bah dan gunung-gunung api juga datang menghadang:
Untuk menerjang kita
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

Kitalah orang-orang yang berbangga dengan iman moyang kita


Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

Mereka tak pernah bertekuk lutut


Pada hal-hal mengerikan kapanpun itu

25
Pembukaan kejayaan, pembukaan Anatolia, dari Malazgirt hingga
Canakkale,
Keimanan yang begitu tak tertembus
Adalah benteng-benteng kita
Nenek moyang kita terus memburu
Dari kemenangan satu ke kemenangan lain
Itu pasti berlanjut pada kita!"

Puisi di atas, sebetulnya dikarang ketika Turki Utsmani sedang


sakit parah, pada pembuka abad 20. Pengarangnya, Ziya Gokalp.
Penyair yang tidak dianggap islami, tetapi mewakili keinginan
orang-orang untuk memadukan islam dengan nasionalisme
mutlak. Orang tahu Erdogan mengejek para tentara:

Para pendukung kudeta, adalah mereka yang ultra sekular.


Mereka yang jauh dari masjid dan menara-menaranya. Mereka
yang tak pernah ingin mewarisi semangat Kekhalifahan itu.
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

Mereka yang selalu menjadi wasit ketika para presiden dan


perdana menteri Turki selalu terlalu banyak bertakbir di dalam
pidato mereka.

Tapi para tentara ini rupanya mengerti puisi. Erdogan diadili,


segera setelahnya. Ia didakwa sepuluh bulan atas dakwaan
"membaca puisi saat berpidato, yang menghina
tentara." Sebab, tentara-tentara pada masa itu tahu bahwa
Erdogan sedang meratapi Erbakan.

Erdogan bukanlah politisi-penyair. Ia juga bukan seorang


budayawan. Ia berbeda dengan Sultan Muhammad al-Fatih,
penakluk Istanbul beratus tahun lalu, yang memang besar
sebagai penyair dengan nama pena Avni, lalu menulis puisi
sambil menatap selat sempit yang tenteram antara Asia dan
Eropa.

Ia juga tak identik dengan Sulaiman Al-Qanuni. Raja Besar


Utsmaniyah, Sang Pengatur, yang juga Raja-Penyair Utsmani
terbesar, yang membakukan segala tata aturan perundang-
undangan Turki.

Barangkali, ia sudah tahu bahwa kelak ia akan


Edisi 1 - Tahun 1 - 2018
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

jadi—semacam—pelanjut proyek pembangkitan Khilafah Turki


Utsmani. Ia suka sesuatu yang teatrikal, misalnya ketika ia
menyambut pemimpin Palestina pada 2016 dengan iringan

26
prajurit berkostum militer dari setiap era Utsmani.

2016 itu pula, penyair dan komedian Jerman, Jan Bohmermann,


menggubah sebuah puisi satiris pada Erdogan di sebuah
tayangan video. Puisi itu, puisi yang sungguh jorok dan rendah.
Tetapi, orang-orang akan berpikir Erdogan pasti memaafkan itu
atau ungkapan-ungkapan indah lain mengenai pembaca dan
pengrajin puisi yang santun dan sastrawi:

Bodoh seperti kantong, mengerut dan menegang


Itulah Presiden Erdogan.
Kemaluannya berbau kebab dari döner,
Bahkan kentut babi berbau lebih enak.
Dia pria yang mengalahkan cewek
Sementara dia memakai topeng wajah karet.
kebanyakan sifatnya laksana kambing sialan
dan menindas minoritas,

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


menendang Kurdi, memukul orang Kristen
sambil menonton porno anak-anak.
Dan bahkan di malam hari, alih-alih tidur,
ia habiskan malam-malam fellatio dengan seratus domba.
Ya, Erdoğan ini benar-benar
Presiden dengan zakar kecil.
Setiap orang Turki mendengar halangan,
twat bodoh itu punya buah yang keriput.
Dari Ankara hingga Istanbul
semua orang tahu, pria itu gay,
sesat, berkutu dan zoophile,
Recep Fritzl Přiklopil.
kepalanya sekosong bola-bola kemaluannya,
dan dialah bintang di setiap pesta gangbang
sampai zakarnya terbakar gairah saat menyembur.
Itulah Recep Erdogan, Presiden Turki!

Puisi ini dinyanyikan secara satire. Di Jerman, ini adalah


pertunjukan teater malam yang biasa. Tetapi tidak; 10 tahun
cukup untuk mengantar Erdogan jadi penguasa yang tak suka
puisi, sejak ia membaca puisi dulu di Sirte, hingga ia dikirimi puisi
dari Jerman itu.
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

Ia ancam Jerman untuk menangkap penyair Bohmermann. Ia


berubah menjadi penguasa besar yang berdiri di atas semuanya.
Publik Eropa menjuluki kasus ini dengan Erdogate. Angela

27
Merkel terpaksa meminta maaf atas " puisi yang
menghina" dan mengenakan pasal pada Bohmermann.

Eropa bergolak. Simpati atas pembangunan Turki menjadi tanda


tanya besar pada kebebasan berpendapat di sana. Erdogan
bahkan kala itu sedang di ambang peran dengan Rusia dan Iran.
Dengan segera, Turki menjadi musuh masyarakat Eropa.

Erdogan bahkan kemudian dikirimi surat bernada puitis dan


sarkas dari seorang Walikota lain dari Tubingen, Jerman. “Potong
saja dua testis Bohmermann, agar ia tak bisa bermain lagi di
kedalaman lubangm”

Seorang aktifis partai di Jerman, juga ditangkap karena


mendeklamasikan puisi Bohmermann itudi depan Kedutaan
Turki. Erdogan segera menjadi pemberang.
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

Dari dua pembacaan puisi di atas; Erdogan dan Bohmermann,


ada dua reaksi yang sama. Bahwa kekuasaan selalu mudah
diganggu dengan puisi yang bernas. Sepanjang zaman, di segala
bentuk Negara yang kita kenal.

Pendukung, bahkan pemuja Erdogan mungkin akan kaget


dengan peristiwa Schmarkchritics di Jerman dan Erdogate
karena puisi Bohmermann. Tapi, Erdogan bukanlah penikmat
puisi.

Ia adalah orator. Ia adalah politisi yang bakal memanfaatkan puisi


untuk propaganda dan paham ia bisa dikalahkan dengan cara
yang sama. Ia bahkan berpisah jalan dengan dua gurunya yang
dianggap bapak islamisasi Turki: Erbakan dan Fethullah Gulen.

2016, sepuluh tahun setelah Erdogan membacakan puisi pada


para tentara dan diancam penjara, ia memburu seorang penyair
karena kejahatan: menulis puisi penghinaan.

Di sisi lain, patutlah kita bernapas lega sebab puisi masihlah alat
artikulasi politik yang efektif. Puisi belum kehilangan
pendengarnya. Puisi-puisi belum mati dan masih disiarkan orang
di berbagai negeri untuk menegur dan menghina orang-orang
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

zalim.

Jalan masih panjang. Turki, masih harus bebenah. Bahwa

28
pembangunan dan popularitas, berbeda dengan cara seseorang
menikmati puisi. Kelihatannya, Erdogan, bukan laki-laki dalam
nubuat itu. Dan kelihatannya, cara orang-orang di dunia ini
menikmati puisi, harus kita cermati kembali.

***

Dari dua persinggungan penguasa dengan puisi-puisi di atas, kita


pelajari satu hal. Bahwa kemapanan selalu menjadi musuh bagi
puisi-puisi. Puisi selalu bisa menjadi alternatif berita yang
mengabarkan apa saja dari dunia gelap kemapanan itu.

Asyraf, Erdogan, dan kemudian Bohmermann adalah tiga orang


beruntung. Meskipun Erdogan bukan an sich penyair—hanya ia
kebetulan baca sajak dan didengar orang—tetapi nampaknya di
abad ini, di tengah ketidakjelasan kebudayaan manusia, puisi
masih ada.

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


Pada gilirannya, puisi harus mampu membuat pukulan-pukulan
kecil pada sendi kejahatan rahasia di negeri ini yang membuat
semuanya bergolak. Dari pergolakan itulah kita akan melihat,
perbaikan atau penghancuran yang tersisa buat kita.

Tetapi, tampaknya ada perbedaan besar antara negeri kita,


dengan Saudi dan Turki: mana ada orang, terlebih penguasa, mau
baca sajak?

Di luar itu, berpuisilah. Yang banyak. Tantanglah matahari dan


berlapar-laparlah dengan kelaparan orang papa dan sahabat
Nabi. Bernapaslah, yang panjang, lebih panjang dari siapapun. Di
negeri ini masih banyak alasan mengapa puisi ditulis.

Lambungmu harus jebol menahan asam lapar. Kaki-kakimu


Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

harus sakit dan berdarah, matamu harus nanar dan tanganmu


harus luka, barulah puisimu akan didengar! []
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

29
Corat-coret
di Toilet
Puisi dan Para Netizen
Oleh Ilma de Sabrini (Kader KAMMI Jakarta)

Semula saya kebingungan mau menuliskan apa. Namun, pada


suatu malam kawan saya menyarakan untuk melihat nasib puisi di
zaman milenial ini. Membicarakan nasib memang seperti meniti
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

batas antara takdir dan harapan yang diucapkan semoga


dikabulkan Tuhan. Terlepas dari nasib, puisi akan berjalan dan
mengalir sesuai perkembangan masyarakat dan zaman. Beberapa
faktor seperti media tentu akan mempengaruhi puisi itu sendiri.

Saya teringat tentang ritual Ayah saya yang selalu membaca koran
tiap pagi ditemani dengan the hangat dan sepotong roti bakar
buatan Ibu. Di akhir pekan pun demikian ritualnya, tetapi ada
yang menjadi sorotan Ayah yakni rubrik puisi. Suatu pagi Ayah
pernah bilang begini, “Puisi di koran Kompas makin ke sini
berbeda ya nuansanya.” Tentu demikian saya pikir, karena
memang seharusnya puisi seperti itu. Puisi tidak begitu saja
stagnan, karena pada dasarnya bahasa yang menjadi bahan utama
puisi, dimana bahasa memiliki ciri yang selalu dinamis dan tentu
saja arbitrer.

Puisi bukan hanya buih-buih bahasa yang disajikan kemudian


menguap, melainkan pengkristalan dari pikiran dan perasaan
penyair yang secara imajinatif dan disusun dengan
meng onsentrasikan semua kekuatan bahasa deng an
pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.[1]
Terkadang generasi puitis era milenial melupakan bagaimana
hakikat dari puisi itu. Dari pada memikirkan hakikat beserta
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

fisafat puisi, mereka kini menjadi epigon-epigon dari sastrawan


senior.
[1] Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi. (Jakarta: Erlangga, 2000), hlm. 2.

30
Fenomenanya saat ini ialah penyair-penyair muda generasi
milenial ini memiliki sosok sastrawan senior yang menjadi kiblat
puisi mereka. Ada pula anggapan bahwa tolak ukur kelayakan
suatu puisi adalah dengan dimuatnya karya mereka dalam surat
kabar beken seperti Kompas atau Koran Tempo. Apabila karya
mereka dimuat di sana maka kemungkinan karya mereka dilirik
pun semakin besar.

Di sisi lain dunia perpuisian juga berperang dengan media. Ayah


saya yang memang bekerja di salah satu koran daerah pernah
mengatakan saat ini pembaca koran sudah tidak sebanyak dulu,
iklan-iklan di koran makin sepi, semua digilas dengan digitalisasi.
Saya pikir ada benarnya juga.

Generasi milenial kini masih adakah yang berlangganan koran


tiap pagi? Adakah yang menantikan rubrik-rubrik puisi di media
cetak saat akhir pekan? Pertanyaan itu cukup mengusik, lalu
bagaimana pembaca puisi generasi milenial kini melihat puisi?

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


Mengutip pernyataan Katrin Bandel dalam esainya yang berjudul
Politik Sastra dan Media Alternatif bahwa kalau dalam sebuah
masyarakat terdapat komunitas, media dan penerbit yang
beragam dan relatif setara, masing-masing dengan standar
penilaiannya sendiri yang bisa dipertanggung jawabkan, maka
ruang gerak seorang pengarang menjadi semakin luas.[2]
Kemungkinan karya itu akan tidak dihargai akan semakin kecil.
Namun, di sisi lain pembaca sastra kita sangatlah sedikit di
Indonesia hanya 6,2% (menurut survei yang dilakukan LSI).

Kini generasi sastra milenial lahir dari facebook, instagram, dan


wattpad. Kelekatan dengan buku puisi mungkin akan semakin
berjarak. Fenomena era digital tersebut mau tidak mau akan
semakin membiaskan tolak ukur nilai estetis puisi atau karya
sastra lainnya. Pembaca sastra juga semakin luas tetapi tetap
dengan jumlah yang sedikit. Jika kamu penikmat puisi sungguhan
maka akan dapat merasakan perbedaan puisi yang lahir dari
media cetak dengan puisi yang lahir dari media sosial. Maka, nilai
dari penghargaan terhadap puisi akan bias dengan pandangan
nilai estetis di mata nitizen.
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

[2] Katrin Bandel, Sastra Nasionalisme Pascakolonialisme. (Yogjakarta: Pustaha Hariara,


2013), hlm. 117

31
Saya melihat media cetak masih mempertahankan nilai-nilai
estetis yang cukup tinggi dibanding dengan media lainnya.
Persoalan estetis puisi memang tidak memiliki kemutlakan tolak
ukur, tetapi pembaca dapat merasakan pemilihan diksi yang
menarik, semiotik di balik puisi, dan nilai-nilai filosofis yang
terkandung dalam puisi itu. Saya pikir digital khususnya yang
lahir dari akun-akun instagram sudah cukup beragam. Namun,
banyak pula yang melahirkan sajak-sajak picisan juga. Bisa jadi
romantisisme masih menjadi ranah yang nyaman bagi para
pembaca puisi Indoensia.

Puisi-puisi liris saya rasa masih dinikmati dalam dunia Instagram


dan facebook. Romantisisme masih mendominasi warna puisi
Indoensia di era milenial ini. Saya jadi bertanya-tanya, apakah
‘galau’ kini menjadi semacam budaya melankolis tersendiri dalam
era digitalisasi sastra?

Para penyair pemula saya pikir harus bersiap menghadapi fakta


Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

kondisi sastra Indonesia yang cukup kompleks. Mau tidak mau


tuntutan orisinalitas karya menjadi faktor penentu yang besar.
Jika seorang penyair tidak memiliki orisinalitas dan tidak bermain
dengan melihat pangsa pasar pembaca Indonesia maka kecil
kemungkinan puisinya akan dilirik.

Jadi, puisi kini telah memiliki nilai estetis yang bias dalam
keberagalam pembaca sastra Indonesia. Puisi masih memiliki
tempat khusus di hati para penikmat karya sastra dalam jumlah
pembaca yang kian sekarat jumlahnya. Puisi masih berjuang
menjalani nasibnya dengan tabah di era digital dan tentu saja ia
pasrah dengan pembacanya. Selamat beribadah. []
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

32
Puisi Lama
Pantun Nasihat dari Riau
Pucuk putat warnanya merah
Bila dikirai terbang melayang
Tunduk mufakat mengandung tuah
Sengketa usai dendam pun hilang

Kelapa gading buahnya banyak


Lebat berjurai di pangkal pelepah
Bila berunding sesama bijak
Kusut selesai sengketa pun sudah
Elok dinding karena belebat

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


Dinding papan susun-bersusun
Elok runding mencapai mufakat
Runding berjalan bersopan santun
Kalau ke teluk pergi memukat
Tali-temali kita kokohkan
Kalau duduk mencari mufakat
Iri dan dengki kita jauhkan
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

33
Pidato
Kebudayaan
KAMMI dan Dunia Sastra Islam
Oleh Elevan Yusmanto (Mursyid ‘Aam Marabumi)

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, di mana awal dari awal dan
akhir dari akhir yang kami mintai pertolongan dan ampunan di
dunia ini maupun di akhirat kelak. Kami bersaksi tiada tuhan
selain ALLAH ‘azza wa jalla dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

kami bersaksi bahwa Muhammad Shallahuahu ‘alaihi wa Salam


adalah hamba dan utusan-Nya. Sholawat dan salam tak lupa kami
haturkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, beserta para
sahabat keluarga serta umat secara umum yang senantiasa
menjalankan dan menegakkan kalimatullah dimuka bumi ini.
Saat aminah melahirkan Muhammad SAW tidak ada satu
orangpun yang mengetahui tentunya selain Allah, akan merubah
kehidupan umat manusia, tidak hanya masyarakat jahilliah
makkah dan jazirrah Arab, bahkan berhasil merubah kehidupan
seluruh alam semseta.

Peradaban jahilliah Arab pada saat itu berada pada titik terendah
kemanusiaan, bagaimana tidak sayyid qutub menggambarkan
peradaban jahilliah Arab adalah peradaban yang tidak mengenal
keadilan, masyarakat yang patriarki, pertumpahan darah selalu
terjadi menjadi hal yang biasa dan terbuka, disetiap rumah orang-
orang kayak dan berkedudukan social tinggi sangat jamak
ditemukan perzinahan, mabuk-mabukkan, per judian
perbudakan. Hukum berlaku layaknya ditengah hutan siapa yang
kuat dan perkasa dialah yang menang, patung yang dibuat
kemudian disembah sendiri. Pembunuhan bayi perempuan
dianggap sebagai sebuah kebaikan dan mendapatkan pujian dari
masyarakat. Akan tetapi ditengah peradaban jahiliah Arab pada
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

saat itu sastra mendapat tempat yang paling tinggi dimasyarakat.


Masyarakat Arab sudah berjibaku dengan keindahan bahasa dan

34
kata, telah mengenal ilmu tata bahasa dengan baik (linguistik)
sangat jauh dibandingkan dengan peradaban-perdaban lain yang
meraba-raba dalam remang-remangan kegelapan ilmu
pengetahuan dan eropa memasukin fase kediktaktoran geraja
yang kita kenal sebagai abad kegelapan eropa.

Kesusastraan mendapatkan tempat yang sangat dikrematkan


tampak pada pemberian penghargaan yang sangat tinggi kepada
penyair dengan menggantungkan puisi-puisi terbaik mereka
pada dinding-dinding ka’bah sebagai simbol kebesaran kabilah
dan kebanggaan suku atau ras. Pada zaman itu juga kedudukan
para penyair sangat dihormati melebihi agamawan, filsuf
maupun hartawan. Muhammad seorang manusia yang tidak
dapat membaca dan menulis serta kemudian tidak mengetahui
sama sekali ilmu tata bahasa (linguistik) mendapat risalah wahyu
Al-Qur’an menjadi goncangan yang amat besar bagi peradaban
jahiliah Arab pada saat itu.

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


Seorang pengamat sastra Arab Muhammad bin Sulam Al-
Jumahi, dalam Thabaqat Fuhul Asy-Syuara menjelaskan ketika
Al-Quran diturunkan membuat para penyair Arab semakin
menggebu-gebu dan menjadi-jadi. Al-Quran yang sangat luar
biasa nilai estetisnya dan tata bahasanya telah memicu kreativitas
para penyair jahiliah Arab, yang kemudian lahirlah nabi-nabi
palsu yang berlatar belakang penyair diantaranya seperti
Musailamah al-Kadzab dengan kitab Ma Huwal fil, dan Imri’il-
Qais dengan kitab Ayyuhat Ath-Thalali Al-Bali. Kritikus-kritikus
Arab kontemporer (Adonis) bahkan mengatakan karya kedua
penyair atau nabi palsu tersebut sangat estetis dan hamper
menyamai Al-Quran, akan tetapi Allah telah menjamin dan
memastikan tidak aka nada manusia yang sanggup membuat dan
bahkan menyamai Al-quran, Allah berfirman:

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang


Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah
satu surat (saja) yang semisal AlQur’an itu dan ajaklah penolong-
penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar “
(Q.S. Al-Baqarah : 23)

Majunya sastra pada peradaban jahilliah Arab memang tidak


Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

dapat dipungkiri lagi. Akan tetapi pada zaman itu juga etika dan
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

moralitas masyarakat Arab berada dalam titik nadir yang sangat

35
rendah. Sastra yang merupakan penompang peradaban juga tak
lepas dari kejahilliahan, Syauqi Dlaif menggambarkan puisi
–puisi (syair) pada saat itu bertemakan hasut menghasut, caci-
memaki sampai hal-hal yang bersifat erotisme seksual. At-
tahwani sejarawan muslim dalam Kasyaf Isthilahat Al-Funun
menceritakan sejarah turunnya surat As-Syu’ara (para penyair)
dilatarbelakangi dari peradaban jahiliyah Arab tersebut dan
disekeliling nabi terdapat nabi-nabi palsu atau para penyair yang
selalu menghasut untuk membenci nabi seperti Labid bin Rabi’a,
Sabil bin Waraqah, Abu Ath-Tamhan, atau Ka’ab bin Zuhair
yang tidak seperti Musailama dan Al-Qais, Ia menempuh jalan
berbeda dengan membuat puisi untuk menghasut dan
memperburuk citra Nabi Muhammad SAW., sehingga tidak
sedikit pengikut Nabi Muhammad SAW yang kembali murtad.

Meskipun kemudian para penghasut nabi dan nabi palsu berlatar


belakang penyair akan tetapi masih terdapat penyair-penyair
muslim yang bersama dan beriringan berjuang menegakkan
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

kalimat tauhid bersama Rasulullah SAW. Diceritakan pada saat


turun ayat, “ Dan para penyair diikuti oleh orang-orang yang
sesat,” sahabat yang dikenal sebagai penyair Hasan bin Tsabit dan
Ibnu Rawahah segera menemui Rasulullah SAW, dan berkata,
“Wahai Rasulullah, ayat tersebut telah turun, dan engkau
sungguh mengetahui bahwa kami ini adalah penyair.” Kemudian
Nabi bersabda, “sesungguhnya orang mukmin berjuang melalui
pedang dan lidah (tinta)-nya.” At-tahwani kemudian mengutip
pendapat al-baidawi dalam menafsirkan ayat tersebut.
Menurutnya memang sebagian besar penyair pada saat itu hanya
mengungkapkan khayalan-khayalan yang jauh dari kebenaran,
sebagian besar mengumbar syahwat, kata-kata berkaitan dengan
cinta dan erotisme seksual, kebanggaan terhadap sesuatu yang
tidak benar, juga hinaan kepada sesama.

Kemudian, dia menjelaskan firman Allah selanjutnya, “kecuali


orang-orang yang beriman”, sebagian pengecualian penyair
mukmin, yang sering mengingat Allah, menyeru kepada Allah.
Hal ini dapat ditemukan pada ka’ab bin zuhair yang semula ketika
masih menjadi seorang jahilliyah menulis puisi-puisi untuk
menjelek-jelekkan Rasulullah SAW menjadi seorang muslim
pasca Fathul Mekkah diakibatkan oleh sifat pemaaf para sahabat
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

dan Rasulullah SAW yang kemudian merubah puisi-puisinya


Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

menjadi puisi puji-pujian akan akhlak Rasulullah SAW. Begitu


pula dengan ibnu Rawahah yang membakar semangat jihad para

36
sahabat dimedan perang ketika 25.000 orang umat islam
berhadapan dengan 250.000 pasukan Romawi. setelah kedua
penyair ulung ini menjadi seorang muslim maka tenggelamlah
puisi-puisi Musailamah dan Al-Qais, yang menjadi awal
pembaharuan sastra Arab dan juga bagi penyair islam bersama
Al-Quran.

Karen Amstrong sejarawan orientalis menyatakan ada peran


yang sangat besar penyair-penyair muslim terhadap penaklukan
yerusalem. Salah satunya adalah dari kitab puisi Barzanji yang
ditulis oleh syaikh Ja’far Al-Barzanji yang merupakan pemenang
sayembara penulisan riwayat Nabi SAW dengan karya puisi yang
diadakan oleh Sultan Salahuddin Al-Ayyubi untuk memperingati
maulid Nabi SAW.

Sejarah peradaban manusia selalu ditandai oleh perjuangan dan


peradabannya beriringan dengan puisi. Kerap sekali kita jupai
sajak-sajak puisi dan para penyair mengilhami perjuangan-

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


perjuangan perubahan besar dalam sejarah manusia seperti
sebuah lentera yang menerangi atau sebagai penghapus dahaga
dalam rumitnya zaman. Peradaban manusia mengenal pada 5000
tahun yang lalu sudah terukir dalam bongkahan lempung huruf
paku puisi Gilgamesh dalam bahasa sumeria puisi-puisi tentang
heroism pahlawan Gilgamesh dan raja Aruk. Pada zaman yunani
dikenal ada syair Iliad dan Odyssey karya Homerus yang
berisikan kejenuhan terhadapan perperangan yang tidak usai-
usai. Jhon F kennedy yang teringat akan puisi pada hari
pelantikan sebagai presiden Amerika Serikat sehingga
mengundang Robert Forst untuk membacakan puisi pada saat
pelantikannya dan kemudian kita kenal sebuah ungkapan yang
terkenal yang diungkapkan Jhon F Kennedy “ Jika politik itu
kotor, puisi yang akan membersihkannya”.

Di nusantara sendiri telah terdapat tradisi-tradisi sastra yang amat


kental sejak zaman dahulu, semisal La Galigo suku Bugis, pantun
pada masyarakat melayu, gurindam, seloka dan masih banyak
budaya kesusastraan yang terdapat hampir disetiap suku yang ada
di nusantara. Sudah sangat jelas bahwasanya terdapat peran besar
yang dimiliki oleh sastrawa dan penyair dalam menopang
peradaban Islam dan menjadi pembakar ruh jihad pada masa
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

Rasulullah SAW dan Khilafah Islamiyah.


Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

37
KAMMI sebagai organisasi pergerakan Islam memasuki dekade
kedua telah mengalami berbagai bentuk transformasi yang
berkesinambungan dengan baik. Pada mulanya KAMMI
dideklarasikan atau dibentuk hanya sebagai wadah untuk
menurunkan rezim orde baru, kemudian setelah runtuhnya orde
baru karena perlu adanya mengawal reformasi sehingga kami
bertransformasi menjadi sebuah wadah perjuangan yang
permanen dengan perangkat-perangkat yang semestinya ada
dalam sebuah organisasi pergerakan. Sekarang kita kenal adanya
visi, misi, kredo, yang kemudian kita mengenal 7 filosofi gerakan
sebagai landasan ideologi. Pemantapan dan kemapaman
organsasi juga bisa kita dapati dalam proses yang menjadi dasar
dari bergeraknya sebuah organisasi yaitu kaderisasi kita
mengenal adanya pemandu maupun instruktur.

Seiring berjalannya waktu dan zaman, nampaknya kebudayaan


secara umum khususnya sastra dan puisi belum menjadi hal yang
dianggap perlu dan penting untuk dijadikan sebagai wadah
Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

perjuangan. Padahal kita mengenal dan tahu persis kisah-kisah


heroik sastrawan dan penyair yang pernah ada mengiringi
tegaknya kalimat tauhid dimuka bumi ini sejak dari zaman
Rasulullah SAW, Khulafa’ur Rasyidin hingga kekhilafahan turki
utsmani. Salah satu contoh, Bagaimana heroiknya Ibnu Rawahah
yang membakar semangat jihad para sahabat ditengah-tengah
medan perang ketika 25.000 orang umat islam berhadapan
dengan 250.000 pasukan Romawi:

Aku telah bersumpah wahai diri, maju ke medan laga


Tapi kenapa kulihat engkau menolak syurga
Wahai diri, bila kau tewas terbunuh, kau kan pasti mati
Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti..
Tibalah waktunya apa yang engkau idam-idamkan selama ini
Jikau kau ikuti jejak keduanya, itulah ksatria sejati!
Jika kamu berbuat seperti keduanya itulah ksatria sejati

Ia pun berhasil mengorbankan semangat jihad para sahabat yang


sempat surut karena pemegang panji perang, Zaid dan Ja’far
telah terlebih dahulu syahid. Selagi pertempuran sengit sedang
berkecamuk di bumi Balqa’ di Syam, Rasulullah saw sedang
duduk beserta para shahabat di Madinah sambil
Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

mempercakapkan mereka. Tiba-tiba percakapan yang berjalan


Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

dengan tenang tenteram, Nabi terdiam, kedua matanya jadi


basah berkaca-kaca. Beliau mengangkatkan wajahnya dengan

38
mengerdipkan kedua matanya, untuk melepas air mata yang jatuh
disebabkan rasa duka dan belas kasihan. Seraya memandang
berkeliling ke wajah para shahabatnya dengan pandangan haru,
beliau berkata, “Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia
bertempur bersamanya hingga ia gugur sebagai syahid…
Kemudian diambil alih oleh Ja’far, dan ia bertempur pula
bersamanya sampai syahid pula…” Beliau berdiam sebentar, lain
diteruskannya ucapannya, “Kemudian panji itu dipegang oleh
Abdulah bin Rawahah dan ia bertempur bersama panji itu,
sampai akhirnya ia pun syahid pula. Kemudian Rasulullah
terdiam seketika, ketika itu pula mata beliau bercahaya,
menyinarkan kegembiraan, ketentraman dan kerinduan,
kemudian berkata, “mereka bertiga diangkatkan ketempatku
kesyurga.

Jurnal puisi ini patut kita sambut dengan gembira dan kita
sambut layaknya menuntaskan dahaga setelah berjalan ditengah
padang pasir yang gersang. Meskipun, sangat terlambat tapi

Teman Berjuang Orang-orang Jalanan


setelah kumpulan puisi sajak rumah cikoko jurnal puisi ini bisa
menjadi awalan yang sangat baik sebagai bentuk lain dari
perjuangan KAMMI melawan kebathilan dan sebagai teman
perjuangan kader-kader kammi dalam menegakkan kalimat
tauhid hingga dapat menguatkan tekad, lebih bergairah sdan
militant tidak seperti puisi-puisi yang melemahkan seperti yang
terdapat pada media social pada era milenial ini. Selanjutnya
adalah jur nal puisi ini jug a dapat menjadi wadah
mengintegrasikan penyair-penyair kammi agar dapat menjadi
kesatuan sehingga karya-karya yang dihasilkan bermuatan
ideologis dan terdapat ruh perjuangan yang kental. Sehingga
kemudian pelembagaan organisasi kebudayaan yang memayungi
sastrawan dan penyair sangat diperlukan, atas inisiasi kader-kader
kammi yang semula berkumpul berdasar hobi dan minat lalu
melembagakan pojok sastra sebagai wadah sastrawan dan
penyair kammi menjadi sublembaga kebudayaan KAMMI LSO
MARABUMI.

Wallahu a’lam Bishawwab. []

Jakarta 26 Januari 2018


Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

39
KISAH
YANG
TERDONGENG

Mawar Merah
Jurnal Puisi Marabumi Teman Berjuang Orang-orang Jalanan

Edisi 1 - Tahun 1 - 2018

Anda mungkin juga menyukai