Anda di halaman 1dari 9

Kumpulan Puisi Chairil Anwar.

Aku
Sajak Putih

Kalau sampai waktuku Bersandar pada tari warna pelangi


‘Ku mau tak seorang kan merayu’ Kau depanku bertudung sutra senja
Tidak juga kau Di hitam matamu
Tak perlu sedu sedan itu kembang mawar dan melati
Aku ini binatang jalang Harum rambutmu mengalun bergelut senda Sepi
Dari kumpulannya terbuang menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Biar peluru menembus kulitku Meriak muka air kolam jiwa
Aku tetap meradang menerjang Dan dalam dadaku memerdu lagu
Luka dan bisa kubawa berlari Menarik menari seluruh aku
Berlari hingga hilang pedih peri Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Dan akan lebih tidak perduli Selama matamu bagiku menengadah
Aku mau hidup seribu tahun lagi Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah

KEPADA KAWAN
DOA
Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat, Tuhanku Dalam termangu
selama masih menggelombang dalam dada darah serta Aku masih menyebut namaMu
rasa, iar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
belum bertugas kecewa dan gentar belum ada, CayaMu panas suci
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam, Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini: Tuhanku
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri! Aku hilang bentuk
Remuk
Jadi Tuhanku
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan, Aku mengembara di negeri asing
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu, Tuhanku
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju, Di pintumu aku mengetuk
Jangan tambatkan pada siang dan malam Aku tidak bisa berpaling
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
Lanjutkan Perjuangan.

TAUFIK ISMAIL
DENGAN PUISI AKU SYAIR ORANG LAPAR
(Taufiq ismail)
Lapar menyerang desaku
Dengan puisi aku bernyanyi Kentang dipanggang kemarau
Sampai senja umurku nanti Surat orang kampungku
Dengan puisi aku bercinta Kuguratkan kertas
Berbaur cakrawala Risau
Dengan puisi aku mengenang Lapar lautan pidato
Keabadian Yang Akan Datang Ranah dipanggang kemarau
Dengan puisi aku menangis Ketika berduyun mengemis
Jarum waktu bila kejam mengiris Kesinikan hatimu
Dengan puisi aku mengutuk Kuiris
Napas jaman yang busuk Lapar di Gunungkidul
Dengan puisi aku berdoa Mayat dipanggang kemarau
Perkenankanlah kiranya Berjajar masuk kubur
Kauulang jua
Kalau.
SEBUAH JAKET BERLUMUR DARAH
SALEMBA
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu Alma Mater, janganlah bersedih
Telah pergi duka yang agung Bila arakan ini bergerak pelahan
Dalam kepedihan bertahun-tahun. Menuju pemakaman
Siang ini.
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta Anakmu yang berani
Antara kebebasan dan penindasan Telah tersungkur ke bumi
Berlapis senjata dan sangkur baja Ketika melawan tirani.
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’ Memang Selalu Demikian, Hadi
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?. Setiap perjuangan selalu melahirkan
Sejumlah pengkhianat dan para penjilat
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu Jangan kau gusar, Hadi.
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Menunduk bendera setengah tiang. Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang
Jangan kau kecewa, Hadi.
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas Setiap perjuangan yang akan menang
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa Dan para jagoan kesiangan.
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata Memang demikianlah halnya, Hadi.
Semuanya berkata
NASEHAT-NASEHAT KECIL ORANG TUA
PADA ANAKNYA BERANGKAT DEWASA

Jika adalah yang harus kaulakukan


Ialah menyampaikan kebenaran
Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan
Ialah ang bernama keyakinan
Jika adalah yang harus kau tumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kezaliman
Jika adalah orang yang harus kauagungkan
Ialah hanya Rasul Tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati
Ialah syahid di jalan Ilahi.

PUISI MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA

Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga


Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernyaDadaku busung
jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Ro
Kegamangan. Kecurigaan.
W.S RENDRA : Ketakutan.
Kelesuan.
AKU TULIS PAMPLET INI
Aku tulis pamplet ini
Aku tulis pamplet ini karena kawan dan lawan adalah saudara
karena lembaga pendapat umum Di dalam alam masih ada cahaya.
ditutupi jaring labah-labah Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk, Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
dan ungkapan diri ditekan Dan di dalam air lumpur kehidupan,
menjadi peng – iya – an aku melihat bagai terkaca :
Apa yang terpegang hari ini ternyata kita, toh, manusia !
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela. Pejambon Jakarta 27 April 1978
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang BAHWA KITA DITANTANG SERATUS DEWA
PENGARANG: W.S RENDRA
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam Aku tulis sajak ini
Lembaga pendapat umum tidak mengandung untuk menghibur hatimu
pertanyaan. Sementara engkau kenangkan encokmu
Tidak mengandung perdebatan kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan Dan juga masa depan kita yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Aku tulis pamplet ini Kita tidaklah sendiri
karena pamplet bukan tabu bagi penyair dan terasing dengan nasib kita
Aku inginkan merpati pos. Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di Suka duka kita bukanlah istimewa
tanganku kerana setiap orang mengalaminya
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian. Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
Aku tidak melihat alasan bekerja membalik tanah
kenapa harus diam tertekan dan termangu. memasuki rahsia langit dan samodra
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar. serta mencipta dan mengukir dunia.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju. Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ? Bukannya demi sorga atau neraka.
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan. tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang kerana sesungguhnya kita bukanlah debu
merdeka. meski kita telah reyot,tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api. dan harga kita adalah kehormatan kita.
Rembulan memberi mimpi pada dendam. Tolehlah lagi ke belakang
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah ke masa silam yang tak seorang pun berkuasa
yang teronggok bagai sampah menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
sembilan puluh tahun yang selalu bangkit kecuali menyadari
melewatkan tahun-tahun lama yang porak peranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana dahulu kita tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi,dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerana bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan,manusia sesama,nasib dan
kehidupan.
Lihatlah! sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahawa kita telah selalu menolak
menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dr kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa hidup kita ditantang seratus dewa.

1972

Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa


Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti


sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku


adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
KUMPULAN PUISI TAUFIQ ISMAIL: rakyat kecil
mempertimbangkan protes itu,
LARUT MALAM SUARA SEBUAH TRUK Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di
TAUFIQ ISMAIL sini dan kita
1946 pelihara ternak sebagai pengganti
Sebuah Lasykar truk Bagaimana kalau sampai waktunya
Masuk kota Salatiga kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
Mereka menyanyikan lagu 1971
'Sudah Bebas Negeri Kita'
Di jalan Tuntang seorang anak kecil BAYI LAHIR BULAN MEI 1998
Empat tahun terjaga :
'Ibu, akan pulangkah Bapa, Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga
dan membawakan pestol buat saya ?' Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
(1963) Begitu lahir ditating tangan bidannya
Budaja Djaja Belum kering darah dan air ketubannya
Thn. VI, No. 61 Langsung dia memikul hutang di bahunya
Juni 1973 Rupiah sepuluh juta

Kalau dia jadi petani di desa


BAGAIMANA KALAU Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Adam, Kalau dia bayar pajak
tapi buah alpukat, Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat, Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,
dan kepada Koes Plus kita beri mandat, Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, Mulutmu belum selesai bicara
dan ibukota Indonesia Monaco, Kau pasti dikencinginya.
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,
salju turun di Gunung Sahari, 1998
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo,
Ali Sadikin BUKU TAMU MUSIUM PERJUANGAN
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu Oleh :
pop, Taufiq Ismail
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia
dibayar dengan pementasan Rendra, Pada tahun keenam
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, Setelah di kota kami didirikan
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan, Sebuah Musium Perjuangan
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian Datanglah seorang lelaki setengah baya
sempurnanya sehingga di Berkunjung dari luar kota
kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik Pada sore bulan November berhujan
sejuta kaki dan menulis kesannya di buku tamu
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara- Buku tahun keenam, halaman seratus-delapan
suara
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan Bertahun-tahun aku rindu
margasatwa Afrika, Untuk berkunjung kemari
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan Dari tempatku jauh sekali
Bukan sekedar mengenang kembali PUISI-PUISI KH. MUSTOFA BISRI (GUS MUS)
Hari tembak-menembak dan malam penyergapan
Di daerah ini SURABAYA
Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan Jangan anggap mereka kalap
Dan potret-potret para pahlawan jika mereka terjang senjata sekutu lengkap
Mengusap-usap karaben tua jangan dikira mereka nekat
Baby mortir buatan sendiri karena mereka cuma berbekal semangat
Atau menghitung-hitung satyalencana melawan seteru yang hebat
Dan selalu mempercakapkannya Jangan sepelekan senjata di tangan mereka
atau lengan yang mirip kerangka
Alangkah sukarnya bagiku Tengoklah baja di dada mereka
Dari tempatku kini, yang begitu jauh Jangan remehkan sesobek kain di kepala
Untuk datang seperti saat ini tengoklah merah putih yang berkibar
Dengan jasad berbasah-basah di hati mereka
Dalam gerimis bulan November dan dengar pekik mereka
Datang sore ini, menghayati musium yang lengang Allahu Akbar !
Sendiri
Menghidupkan diriku kembali Dengarlah pekik mereka
Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya Allahu Akbar !
Di waktu kebebasan adalah impian keabadian Gaungnya menggelegar
Dan belum berpikir oleh kita masalah kebendaan mengoyak langit
Penggelapan dan salahguna pengatasnamaan Surabaya yang murka
Allahu Akbar
Begitulah aku berjalan pelan-pelan menggetarkan setiap yang mendengar
Dalam musium ini yang lengang Semua pun jadi kecil
Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga Semua pun tinggal seupil
Kesangkutan ikat-ikat kepala, sangkur-sangkur Semua menggigil.
berbendera Surabaya,
Maket pertempuran O, kota keberanian
Dan penyergapan di jalan O, kota kebanggaan
Kuraba mitraliur Jepang, dari baja hitam Mana sorak-sorai takbirmu
Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt yang membakar nyali kezaliman ?
mana pekik merdekamu
PENGOEMOEMAN REPOEBLIK yang mulai berdebu Yang menggeletarkan ketidakadilan ?
Gambar lasykar yang kurus-kurus mana arek-arekmu yang siap
Dan kuberi tabik khidmat dan diam menjadi tumbal kemerdekaan
Pada gambar Pak Dirman dan harga diri
Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali menjaga ibu pertiwi
Ke ruangan yang sepi dan dalam dan anak-anak negeri.
Jendela musium dipukul angin dan hujan Ataukah kini semuanya ikut terbuai
Kain pintu dan tingkap bergetaran lagu-lagu satu nada
Di pucuk-pucuk cemara halaman demi menjaga
Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan keselamatan dan kepuasan
diri sendiri
Deru konvoi menjalari lembah Allahu Akbar !
Regu di buki Dulu Arek-arek Surabaya
tak ingin menyetrika Amerika
melinggis Inggris
Menggada Belanda NEGERIKU
murka pada Gurka
mereka hanya tak suka mana ada negeri sesubur negeriku?
kezaliman yang angkuh merejalela sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan
mengotori persada jagung
mereka harus melawan tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung
meski nyawa yang menjadi taruhan perabot-perabot orang kaya didunia
karena mereka memang pahlawan dan burung-burung indah piaraan mereka
Surabaya berasal dari hutanku
Dimanakah kau sembunyikan ikan-ikan pilihan yang mereka santap
Pahlawanku ? bermula dari lautku
emas dan perak perhiasan mereka
digali dari tambangku
PUTRA-PUTRA IBU PERTIWI air bersih yang mereka minum
bersumber dari keringatku
Bagai wanita yang tak ber-ka-be saja mana ada negeri sekaya negeriku?
Ibu pertiwi terus melahirkan putra-putranya majikan-majikan bangsaku
Pahlawan-pahlawan bangsa memiliki buruh-buruh mancanegara
Dan patriot-patriot negara brankas-brankas ternama di mana-mana
(Bunga-bunga menyimpan harta-hartaku
kalian mengenalnya negeriku menumbuhkan konglomerat
Atau hanya mencium semerbaknya) dan mengikis habis kaum melarat
Ada yang gugur gagah dalam gigih perlawanan rata-rata pemimpin negeriku
Merebut dan mempertahankan kemerdekaan dan handai taulannya
(Beberapa kuntum terkaya di dunia
dipetik bidadari sambil senyum mana ada negeri semakmur negeriku
Membawanya ke sorga tinggalkan harum) penganggur-penganggur diberi perumahan
Ada yang mujur menyaksikan hasil perjuangan gaji dan pensiun setiap bulan
Tapi malang tak tahan godaan jadi bajingan rakyat-rakyat kecil menyumbang
(Beberapa kelopak bunga negara tanpa imbalan
di tenung angin kala rampok-rampok dibri rekomendasi
Berubah jadi duri-duri mala) dengan kop sakti instansi
bagai wanita yang tak ber-ka-be saja maling-maling diberi konsesi
Ibu pertiwi terus melahirkan putra-putranya tikus dan kucing
Pahlawan-pahlawan dan bajingan-bajingan bangsa dengan asyik berkolusi
(di tamansari (Mustofa Bisri 1414)
bunga-bunga dan duri-duri
Sama-sama diasuh mentari)
Anehnya yang mati tak takut mati justru abadi
Yang hidup senang hidup kehilangan jiwa
(mentari tertawa sedih memandang pedih
Duri-duri yang membuat bunga-bunga tersisih)
Karya : Sapardi Djoko Damono

Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah

Dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

Dari hujan bulan Juni

Dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif

Dari hujan bulan Juni

Dibiarkannya yang tak terucapkan

Diserap akar pohon bunga itu

AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana


dengan isyarat yang tak sempat
disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada.

Anda mungkin juga menyukai