Aku
Sajak Putih
KEPADA KAWAN
DOA
Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat, Tuhanku Dalam termangu
selama masih menggelombang dalam dada darah serta Aku masih menyebut namaMu
rasa, iar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
belum bertugas kecewa dan gentar belum ada, CayaMu panas suci
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam, Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini: Tuhanku
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri! Aku hilang bentuk
Remuk
Jadi Tuhanku
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan, Aku mengembara di negeri asing
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu, Tuhanku
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju, Di pintumu aku mengetuk
Jangan tambatkan pada siang dan malam Aku tidak bisa berpaling
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
Lanjutkan Perjuangan.
TAUFIK ISMAIL
DENGAN PUISI AKU SYAIR ORANG LAPAR
(Taufiq ismail)
Lapar menyerang desaku
Dengan puisi aku bernyanyi Kentang dipanggang kemarau
Sampai senja umurku nanti Surat orang kampungku
Dengan puisi aku bercinta Kuguratkan kertas
Berbaur cakrawala Risau
Dengan puisi aku mengenang Lapar lautan pidato
Keabadian Yang Akan Datang Ranah dipanggang kemarau
Dengan puisi aku menangis Ketika berduyun mengemis
Jarum waktu bila kejam mengiris Kesinikan hatimu
Dengan puisi aku mengutuk Kuiris
Napas jaman yang busuk Lapar di Gunungkidul
Dengan puisi aku berdoa Mayat dipanggang kemarau
Perkenankanlah kiranya Berjajar masuk kubur
Kauulang jua
Kalau.
SEBUAH JAKET BERLUMUR DARAH
SALEMBA
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu Alma Mater, janganlah bersedih
Telah pergi duka yang agung Bila arakan ini bergerak pelahan
Dalam kepedihan bertahun-tahun. Menuju pemakaman
Siang ini.
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta Anakmu yang berani
Antara kebebasan dan penindasan Telah tersungkur ke bumi
Berlapis senjata dan sangkur baja Ketika melawan tirani.
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’ Memang Selalu Demikian, Hadi
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?. Setiap perjuangan selalu melahirkan
Sejumlah pengkhianat dan para penjilat
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu Jangan kau gusar, Hadi.
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Menunduk bendera setengah tiang. Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang
Jangan kau kecewa, Hadi.
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas Setiap perjuangan yang akan menang
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa Dan para jagoan kesiangan.
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata Memang demikianlah halnya, Hadi.
Semuanya berkata
NASEHAT-NASEHAT KECIL ORANG TUA
PADA ANAKNYA BERANGKAT DEWASA
1972
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu