Anda di halaman 1dari 21

KEUMALAHAYATI

Aku perempuan badai

tubuhku adalah senjata

laut merah biru

yang memburumu

Aku perempuan badai

tentara terbaik Mahad Baitul Maqdis,

komandan utama pasukan istana

suamiku mati, anak-anakku terbunuh,

tapi air mataku cuma sunyi

Maka seratus kapal lepas dari rahimku

berlayar membawa seribu janda

seribu gadis pemberani.

jiwa-jiwa merah sagaku bertarung

ditempat paling karib itu; samudra

Aku perempuan badai

Gerard de Roy, James Lancaster kusiasati

di meja perundingan

Alfonso de Castro dan pasukannya

kuperangi hingga terbirit

Cornelis de Houtman kuhunus sendiri

di atas kapalnya

Aku yang membangun benteng Inong Balee,

seratus meter dari permukaan laut,

lubang-lubang meriam dengan moncong siaga

ke pintu teluk
Akulah yang melepas Dharmawangsa

dari penjara hingga berjaya

menjelma Sultan Iskandar Muda

yang paling raja di Darussalam

Aku perempuan badai sahabat laut

meski sejarah napasku lara,

aku tak sudi menangis

di hadapan manusia

Aku perempuan badai

tubuhku adalah senjata

laut merah biru yang memburumu

sampai jauh, sampai haru


SAJAK BUAT CUT NYAK

Lama sejak kau pergi, Cut Nyak

kami tak lagi mengenal cuaca kecuali yang bernama kebengisan,

hari-hari telah terbakar bersama rumah dan kenangan

airmata, darah nanah merembesi tanah yang retak meratap

ribuan tubuh terluka dan pecah berhamburan dalam jurang,

rencong-rencong kami patah

Di mana serambi kita, Cut Nyak,

kami mencarinya dalam peta dan sejarah yang koyak

tapi yang kami temukan hanya tempat penjagalan

wajah-wajah sepucat mayat menggigil dalam antrian,

ditemani irama igauan gadis-gadis,

kala mencari kehormatan mereka yang tercecer

lalu suara serak kyai yang tak henti membaca kitab suci

dan salawat nabi sebelum dieksekusi

Sekolah-sekolah terbakar setiap hari,

para cendekiawan tanah ini tak henti ditembaki,

dan bayi-bayi yatim piatu mengira tengkorak-tengkorak itu

sebagai ayah dan ibu

Sungguh mereka bukan Belanda, Cut Nyak

mereka bernama kebiadaban

dan hanya mengerti arti kesengsaraan yang purba

mereka bicara dengan bahasa senjata dan prahara


Maka seperti mendengar kembali suaramu

di abad yang lalu, Cut Nyak

Kami yang dimangsa senantiasa

telah memutuskan untuk menghadapi segala kebiadaban

meski dengan nyeri, airmata dan rencong patah

(April, 1998)
BERDIRI AKU

Berdiri aku di senja senyap


Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang

Angin pulang menyeduk bumi


Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas.

Benang raja mencelup ujung


Naik marak mengerak corak
Elang leka sayap tergulung
dimabuk wama berarak-arak.

Dalam rupa maha sempuma


Rindu-sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju.
Permainanmu

Kau keraskan kalbunya


Bagai batu membesi benar
Timbul telangkaimu bertongkat urat
Ditunjang pengacara petah pasih

Di hadapanmu lawanmu
Tongkatnya melingkar merupa ular
Tangannya putih, putih penyakit
Kekayaanmu nyata, terlihat terang

Kekasihmu ditindasnya terus


Tangan,tapi tersembunyi
Mengunci bagi paten
Kalbu ratu rat rapat
Kau pukul raja-dewa
Sembilan cambuk melecut dada
Putera-mula peganti diri
Pergi kembali ke asal asli

Bertanya aku kekasihku


Permainan engkau permainkan
Kau tulis kau paparkan
Kau sampaikan dengan lisan

Bagaimana aku menimbang


Kau lipu lipatkan
Kau kelam kabutkan
Kalbu ratu dalam genggammu

Kau hamparkan badan


Di tubir bibir pantai permai
Raja ramses penaka durjana
Jadi tanda di hari muka

Bagaimana aku menimbang


Kekasihku astana sayang
Ratu restu telaga sempurna
Kekasihku mengunci hati
Bagi tali disimpul mati.
MENUJU KE LAUT

Angkatan Baru

Kami telah meninggalkan engkau,

tasik yang tenang, tiada beriak,

diteduhi gunung yang rimbun

dari angin dan topan.

Sebab sekali kami terbangun

dari mimpi yang nikmat:

“Ombak ria berkejar-kejaran

di gelanggang biru bertepi langit.

Pasir rata berulang dikecup,

tebing curam ditantang diserang,

dalam bergurau bersama angin,

dalam berlomba bersama mega.”

Sejak itu jiwa gelisah,

Selalu berjuang, tiada reda,

Ketenangan lama rasa beku,

gunung pelindung rasa pengalang.

Berontak hati hendak bebas,

menyerang segala apa mengadang.

 
Gemuruh berderau kami jatuh,

terhempas berderai mutiara bercahaya,

Gegap gempita suara mengerang,

dahsyat bahna suara menang.

Keluh dan gelak silih berganti

pekik dan tempik sambut menyambut.

Tetapi betapa sukarnya jalan,

badan terhempas, kepala tertumbuk,

hati hancur, pikiran kusut,

namun kembali tiadalah ingin,

ketenangan lama tiada diratap.

Kami telah meninggalkan engkau,

tasik yang tenang, tiada beriak,

diteduhi gunung yang rimbun

dari angin dan topan.

Sebab sekali kami terbangun

dari mimpi yang nikmat


DOA SEORANG SERDADU SEBELUM PERANG

 (W.S. Rendra) Mimbar Indonesia 18 Juni 1960.

Tuhanku,

WajahMu membayang di kota terbakar

dan firmanMu terguris di atas ribuan

kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa

Tanah sepi kehilangan lelakinya

Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini

tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti

sempurnalah sudah warna dosa

dan mesiu kembali lagi bicara

Waktu itu, Tuhanku,

perkenankan aku membunuh

perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku

adalah satu warna

Dosa dan nafasku

adalah satu udara.

Tak ada lagi pilihan

kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan

oleh bibirku yang terjajah ?

Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai

mendekap bumi yang mengkhianatiMu

Tuhanku

Erat-erat kugenggam senapanku

Perkenankan aku membunuh

Perkenankan aku menusukkan sangkurku


SAJAK PEPERANGAN ABIMANYU

(W.S. Rendra) Jakarta, 2 September 1977

Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru.

Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.

Hatinya damai,

di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,

karena ia telah lunas

menjalani kewjiban dan kewajarannya.

Setelah ia wafat

apakah petani-petani akan tetap menderita,

dan para wanita kampung

tetap membanjiri rumah pelacuran di kota ?

Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.

Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya

ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka.

Saat itu ia mendengar

nyanyian angin dan air yang turun dari gunung.

Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa.

Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan.

Di saat badan berlumur darah,

jiwa duduk di atas teratai.


Ketika ibu-ibu meratap

dan mengurap rambut mereka dengan debu,

roh ksatria bersetubuh dengan cakrawala

untuk menanam benih

agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas

 dari zaman ke zaman

SAJAK RAJAWALI
 (W.S. Rendra)

sebuah sangkar besi

tidak bisa mengubah rajawali

menjadi seekor burung nuri

rajawali adalah pacar langit

dan di dalam sangkar besi

rajawali merasa pasti

bahwa langit akan selalu menanti

langit tanpa rajawali

adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma

tujuh langit, tujuh rajawali

tujuh cakrawala, tujuh pengembara

rajawali terbang tinggi memasuki sepi

memandang dunia

rajawali di sangkar besi

duduk bertapa

mengolah hidupnya

hidup adalah merjan-merjan kemungkinan

yang terjadi dari keringat matahari

tanpa kemantapan hati rajawali

mata kita hanya melihat matamorgana


rajawali terbang tinggi

membela langit dengan setia

dan ia akan mematuk kedua matamu

wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka

Membaca Tanda-Tanda Kary Taufiq Ismail


Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya


tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merindukannya

Kita saksikan udara


abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau
yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil
tak lagi berkicau pagi hari

Hutan kehilangan ranting


Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan
hutan

Kita saksikan zat asam


didesak asam arang
dan karbon dioksid itu
menggilas paru-paru

Kita saksikan
Gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air

Air mata
Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?

Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu

Allah
Ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya


mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya


tak begitu jelas
tapi kini kami
mulai
merindukannya

KEPADA PEJUANG-PEJUANG LAMA


Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya.
Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya.
Dan datanglah kau manusia-manusia
Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu.
Dan kita, para pejuang lama
Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai
Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut)
(kau tentu masih ingat suara-suara di belakang… “mereka gila”)

Hai, kawan-kawan pejuang lama.

Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita


Buku-buku kita ataupun sisa-sisa makanan kita
Dan tinggalkan kenang-kenangan dan kejujuran kita
Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina
Kapal tua ini
Di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya)

Tempat kita, petualang-petualang masa depan akan pemberontak-pemberontak rakyat


Di sana…
Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru.
Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini
Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil
mendapatnya
Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya.

Ayo.
Laut masih luas. dan bagi pemberontak-pemberontak Tak ada tempat di kapal ini”.

AKU TULIS PAMPLET INI


Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi pengiyaan

Apa yang terpegang hari ini


bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,


maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini


karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan


kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?


Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.


Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah

yang teronggok bagai sampah


Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini


karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !

KARAWANG - BEKASI,
Karya Chairil Anwar
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa


Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan


Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan


atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami


Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat


Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami


yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

SEORANG TUKANG RAMBUTAN PADA ISTRINYA


“Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan datam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka

Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu


Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil

“Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutani”


Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju karni, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”

Mereka naik truk kembali


Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.

1966

Anda mungkin juga menyukai