Anda di halaman 1dari 22

Deru Campur Debu

Karya : Chairil Anwar

Ia masih mau hidup seratus tahun lagi

Tapi raga memang rapuh

Lebih seperempat abad lalu ia pergi

Hanya karya-karya-nya yang kini maasih tinggal dan juga

Semangatnya yang garang menggelegak...

Kita butuh semangat macam itu

Kejahatan, kadang harus ada dan memang,

Harus tetap ada..

Agar tinju bisa tetap terkepal

Dan lengan bisa tetap teracung....


Perahu Kertas
Karya : Sapardi Djoko Damono

Waktu masih kanak-kanak kau membuat

Perahu kertas dank au layarkan di tepi kali

Alirnya sangat tenang,dan perahumu

Bergoyang menuju lautan.

Ia akan singgah di bandar-bandar besar “kata seorang lalaki tua.

Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar

Warna-warni di kepala,

Sejak itu kau pun

Menunggu kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas

Dari rindu-mu itu.

Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu.

Nuh, katanya

“telah kupergunakan

Perahumu itu dalam sebuah banjir besar

Dan kini terdampar di sebuah bukit.”


Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Karya : Taufik Ismail

Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga

Ke Wisconsin aku dapat beasiswa

Sembilan belas lima enam itulah tahunnya

Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia

Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia

Terasa hebat merebut merdeka dari belanda

Sahabatku sekalas, Thomas Stone namanya,

Whitefish Bay kampung asalnya

Kagum dia pada revolusi Indonesia

Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya

Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama

Dan kecil-kecian aku nara-sumbernya

Dada ku busung jadi anak Indonesia

Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy

Dan mendapat Ph.D.dari Rice University

Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S.Army

Dulu dadaku tegap bila aku berdiri

Mengapa sering benar aku merunduk kini

II
Langit langit akhalak rubuh,di atas negeriku berserak serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard.Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kaca mata

Dan ku benamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia..


Senja Yang Merah
Karya : D.Zawawi Imron

Batu batu, rumputan gersang

Dan pohon siwalan di punggung bukit

Pada tengadh ke atas langit

Lalu sunyi di pecah terlalu salampar

Yang memantul ke ceruk lembah

Orang orang kampung seperti hapal

Seorang lelaki sedang memanjat pohon selawat

Penyedap nira

Buat diminum istri tercinta

Dan dua orang anaknya

Turun memanjat di bawah pangkal pelepah

Salampar putus,waktu pun tersentak

Doa terbang mengetuk surga


nira tergenang ditanah

Bercampur darah

Tanah pun jadi jingga

Dijilat lidah senja

Sampaikan kepada dua harapanku

Bahwa bulanku yang kini ungu

Buat mereka selalu


Jengkerik jengkerik seperti mengaji

Teriring sayup kejauhan

Melengkapi guram menjelang malam

Lancur ayam bersapuh bara

Bergantung di pipi senja

(pipi pilu’

Awal sebait kidung Madura

Barangkali maknanya

Berkeping keping hati yang pilu)

Sebatang pohon siwalan

Tegak dan diam,tugu alam yang memberi dahaga

Tapi nanti seorang ibu

Di bawah teratak beratap ilalang

Akan menunjuknya

Dengan jari ranting gaharu,

Anak ku tumpuan harapanku

Wangi hati ayahmu

Dimulai di pohon itu.

1974
Balada Orang orang Tercinta

Karya : W.S.Rendra

Kita bergantian menghirup asam

Batuk dan lemas terceruk

Marah dan terbaret baret

Cinta membuat kita bertahan

Dengan secuil redup harapan

Kita berjalan terseok seok

Mengira lelah akan hilang

Diujung terowongan yang terang

Namun cinta tidak membawa satu sam lain

Kadang kita merasa beruntung

Namun harusnya kita merenun

Akankah kita sampai di altar

Dengan berlari terpatah patah

Mengapa cinta tak mengajari kita

Untuk berhenti berpura pura?

Kita meleleh dan tergerus

Serut serut sinar matahari

Sementara kita sudah lupa

Rasanya mengalir bersama kehidupan

Melupakan hal hal kecil


Yang dulu termaafkan

Mengapa kita saling menyembunyikan

Mengapa marah dengan keadaan?

Mengapa lari ketika sesuatu

Membengkak jika dibiarkan?

Kita percaya pada cinta

Yang borok dan tak sederhana

Kita tertangkap jatuh terperangkap

Dalam belada orang orang tercinta.


Simfoni

Karya : Subagio Sastrowardoyo

Aku tidak bermain dengan babi-babi"

gerutu Beathoven.

Kita yang berdiri di tengah abad

di bintangan dua puluh

dan menyangka hari jadi

telah tertinggal jauh

makin samar:

mana asal, mana kejadian

mana jumlah, mana kadar

makin samar:

mana mulia, mana hina

mana kemajuan, mana kemunduran

katakanlah,

adakah kemajuan

kalau kita lebih banyak mendirikan bank dan ruang gudang

dari kuil atau masjid

kalau kita lebih menimbang kasih orang

dengan uang dari hati

kalau kita lebih percaya kepada barang

dari bayang -Atau kemunduran?-


katakanlah

mana lebih mulia:

kepala atau kaki

sifat Illahi atau alat kelamin

semua melata di bidang demokrasi

mana lebih dulu:

Tuhan atau aku

Dia tak terbayang

kalau aku tak berangan

Tuhan dan aku saling berdahulu

seperti ayam dan telur

siapa dulu?

siapa manusia pertama

Adam, Kayumerz, atau Manu

kitab mana yang harus dipercaya

Qur'an, Avesta atau Weda Hindu

kapan dunia ini bermula:

di Firdaus, di Walhalla atau Jambudwipa

mengapa tidak disini, di waktu ini

dan lahir seorang Adam di setiap detik dan tempat

dan terdengar kalam Tuhan di setiap sudut di darat?

Aku juga Adam

yang terusir dari firdaus


karena dosa, karena kelemahan

karena goda perempuan

dunia berhenti dan bermula lagi

mana lebih kekal:

Tubuh atau nyawa,

mana lebih haram

benda atau cita,

makna itu keramat

mana lebih keramat:

angka atau makna

juga angka

meski jarang lagi

yang bergetar melihat angka:

gasal : tiga, tujuh

atau tiga belas

yang tersurat pada dada tanda jasad

angka yang ganjil, angka keramat

ganjil seperti letak empu

terselit diantara jari

ganjil seperti puncak gereja

yang menunjuk ke arah mega

penglihatan itu makin samar

makin samar
Parikesit

Karya : Geonawan Mohamad

Pariksit menunggu hari segera lewat

Orang-orang pun menunggu batas waktu kutukan Crengi kepadanya berakhir,

hingga baginda bebas dari ancaman kebinasaan oleh Naga Taksaka. Saat

itu hari dekat senja. Raja muda yang disembunyikan di pucuk menara itu

tengah tegak, merapatkan diri ke tingkap. Angin bangkit.

Dari rahim waktu, aku tahu kutukan bangkit

ke arah dadaku. Angin masih juga menimpa

dinding menara, penjara dari segala penjara:

ia yang lahir dari busur langit

dan jatuh berpusar ke arah tubuhku yang sendiri.

Angin yang purba, yang

semakin purba: dingin dan asing

Jauh di bawahku terpacak rakyatku

menunggu. Mereka yang menyelamatkan, dan juga

menyiksa diriku. Mereka yang mendoa, sementara

aku tiada berdoa. Mereka kini yang punya angin-angin

sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita yang

sendiri. Mereka yang tak tahu

kita tak bisa berbagi


(Tapi siksa ini adalah siksa mereka, siksa

mereka yang kuwakili di atas kelemahan tangan-tanganku)

Kini kuhirup bau senja, bau kandil-kandil

dan pesta: pesta pembebasan, tapi juga serapah malu

akan kecut hatiku. Bau yang sunyi, teramat sunyi.

Seperti sunyi ini yang menyilangkan kakinya

menantang padaku.

II

Menara penjara, dan penyelamat jasadku

Tinggi ia menghujat bumi, mendamik dada ke langit:

keangkuhan besar ke tengah maha alam yang besar.

Karenanya, langit yang sarat warna tiada lagi

tempatku. Dan bumi gemetar meninggalkanku.

Kini telah kupilih, sebab keluarga dan

rakyat yang kukasih, keselamatan jasadku.

Kini telah kupilih, karena takutku, hari-hari

yang tak memerdekakan hatiku.

Dan telah kuhindari Maut, mautku sendiri.

Barisan burung-burung yang kian jauh

seakan-akan menyingkirkan diri dari kotaku yang

sepi. Kotaku yang berbatas gurun, berbatas rimba serta

rumah-rumah pertapa. Kota yang melenguhkan hidup

bila musim pun rekah, dan yang juga melenguhkan hidup


bila tahun-tahun mengatupkan pintu-pintunya.

Aku telah lama bernafas dari kandungannya.

Telah lama.

Aswatama, mengapa tak kau bunuh dulu

bayi itu? Mengapa kau lepaskan aku?


Tadarus

Karya : KH.A.Mustofa Bisri

Bismillahirrahmanirrahim

Brenti mengalir darahku menyimak firman-Mu

Idzaa zulzilatil-ardlu zilzaalahaa

Wa akhrajatil-ardlu atsqaalahaa

Waqaalal-insaanu maa lahaa

(ketika bumi diguncang dengan dasyatnya

Dan bumi memuntahkan isi perutnya

Dan manusia bertanya-tanya:

Bumi itu kenapa?)

Yaumaidzin tuhadditsu akhbaarahaa

Bianna Rabbaka auhaa lahaa

Yaumaidzin yashdurun-naasu asytaatan

Liyurau a'maalahum

(Ketika itu bumi mengisahkan kisah-kisahnya

Karena Tuhanmu mengilhaminya

Ketika itu manusia tumpah terpisah-pisah

'Tuk diperlihatkan perbuatan-perbuatan mereka)

Faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarah

Waman ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarah

(Maka siapa yang berbuat sezarrah kebaikan

pun akan melihatnya


Dan siapa yang berbuat sezarrah kejahatan

pun akan melihatnya)

Ya Tuhan, akukah insan yang bertanya-tanya

Ataukah aku mukmin yang sudah tahu jawabnya?

Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi

Aduhai, akan kemanakah kiranya bergulir?

Diantara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat

Akankah kulihat sezarrah saja

Kebaikan yang pernah kubuat?

Nafasku memburu diburu firmanMu

Dengan asma Allah Yang Pengasih Penyayang

Wa'aadiyaati dlabhan

Falmuuriyaati qadhan

Fa-atsarna bihi naq'an

Fawasathna bihi jam'an

(Demi yang sama terpacu berdengkusan

Yang sama mencetuskan api berdenyaran

Yang pagi-pagi melancarkan serbuan

Menerbangkan debu berhamburan

Dan menembusnya ke tengah-tengah pasukan lawan)

Innal-insana liRabbihi lakanuud

Wainnahu 'alaa dzaalika lasyahied

Wainnahu lihubbil-khairi lasyadied

(Sungguh manusia itu kepada Tuhannya


Sangat tidak tahu berterima kasih

Sunggung manusia itu sendiri tentang itu menjadi saksi

Dan sungguh manusia itu sayangnya kepada harta

Luar biasa)

Afalaa ya'lamu idza bu'tsira maa fil-qubur

Wahushshila maa fis-shuduur

Inna Rabbahum bihim yaumaidzin lakhabier

(Tidakkah manusia itu tahu saat isi kubur dihamburkan

Saat ini dada ditumpahkan?

Sungguh Tuhan mereka

Terhadap mereka saat itu tahu belaka!)

Ya Tuhan, kemana gerangan butir debu ini 'kan menghambur?

Adakah secercah syukur menempel

Ketika isi dada dimuntahkan

Ketika semua kesayangan dan andalan entah kemana?

Meremang bulu romaku diguncang firmanMu

Bismillahirrahmaanirrahim

Al-Quaari'atu

Mal-qaari'ah

Wamaa adraaka mal-qaari'ah

(Penggetar hati

Apakah penggetar hati itu?

Tahu kau apa itu penggetar hati?)

Resah sukmaku dirasuk firmanMu


Yauma yakuunun-naasu kal-faraasyil-mabtsuts

Watakuunul-jibaalu kal'ihnil-manfusy

(Itulah hari manusia bagaikan belalang bertebaran

dan gunung-gunung bagaikan bulu dihambur-terbangkan)

Menggigil ruas-ruas tulangku dalam firmanMu

Waammaa man tsaqulat mawaazienuhu

Fahuwa fii 'iesyatir-raadliyah

Waammaa man khaffat mawaazienuhu faummuhu haawiyah

Wamaa adraaka maa hiyah

Naarun haamiyah

(Nah barangsiapa berbobot timbangan amalnya

Ia akan berada dalam kehidupan memuaskan

Dan barangsiapa enteng timbangan amalnya

Tempat tinggalnya di Hawiyah

Tahu kau apa itu?

Api yang sangat panas membakar!)

Ya Tuhan kemanakah gerangan belalang malang ini 'kan terkapar?

Gunung amal yang dibanggakan

Jadikah selembar bulu saja memberati timbangan

Atau gunung-gunung dosa akan melumatnya

Bagi persembahan lidah Hawiyah?

Ataukah, o, kalau saja maharahmatMu

Akan menerbangkannya ke lautan ampunan

Shadaqallahul' Adhiem
Telah selesai ayat-ayat dibaca

Telah sirna gema-gema sari tilawahnya

Marilah kita ikuti acara selanjutnya

Masih banyak urusan dunia yang belum selesai

Masih banyak kepentingan yang belum tercapai

Masih banyak keinginan yang belum tergapai

Marilah kembali berlupa

Insya Allah Kiamat masih lama.

Amien.
Buah Rindu

Karya : Amir Hamzah

Dikau sambur limbur pada senja

Dikau alkamar purnama raya

Asalkan kanda bergurau senda

Dengan adinda tajuk mahkota.

Di tuan rama – rama melayang

Di dinda dendang sayang

Asalkan kanda selang menyelang

Melihat adinda kekasih abang.

Ibu, seruku laksana pemburu

Memikat perkutut di pohon ru

Sepantun swara laguan rindu

Menangisi kelana berhati mutu

Kelana jauh duduk merantau

Dibalik gunumg dewala hijau

Diseberang laut cermin silau

Tanah jawa mahkota pulau…

Buah kenangku entah kemana

Lalu mengembara kesini sana

Haram berkata sepatah jua

Ia lalu meninggalkan beta.

Ibu lihatlah anakmu muda belia


Setiap waktu sepanjang masa

Duduk termenung berhati duka

Laksana Asmara kehilangan seroja.

Bunda waktu tuan melahirkan beta

Pada subuh kembang cempaka

Adakah ibunda menaruh sangka

Bahwa begini peminta anakda ?

Wah kalau begini naga – naganya

Kayu basah dimakan api

Aduh kalau begini laku rupanya

Tentulah badan lekaslah fani.


Aku

Karya : Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku

'Ku mau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih perih

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Anda mungkin juga menyukai