Anda di halaman 1dari 26

ANTOLOGI PUISI

PEKAN OLAHRAGA dan SENI

POLITEKNIK NEGERI BANDUNG


2014
Puisi Untuk Ibu Pertiwi Khalil Gibran

Bukit-bukit di negeriku kini tenggelam

Oleh darah dan air mata

Apa yang dapat dilakukan oleh seorang anaknya yang merantau?

Untuk masyarakatnya yang sengsara?

Apa pula gunanya keluh-kesah

Seorang penyair yang sedang tidak di rumah?

Seandainya rakyatku mati dalam pemberontakan menuntut nasibnya,

Aku akan berkata Mati dalam perjuangan

Lebih mulia dari hidup dalam penindasan

Tapi rakyatku tidak mati sebagai pemberontak

Kematian adalah satu-satunya penyelamat mereka,

Dan penderitaan adalah tanah air mereka

Ingatlah saudaraku,

Bahawa syiling yang kau jatuhkan

Ke telapak tangan yang menghulur di hadapanmu,

Adalah satu-satunya jambatan yang menghubungkan

Kekayaan hatimu dengan cinta di hati Tuhan.


DI TELUK IKAN PUTIH Taufiq Ismail

Di Teluk Ikan Putih, telah terjangkar jasmaniku di pelabuhannya


Pada kapal-kapal yang masuk dan tertambat sehari-hari
Anak-anak camar bertebar atas arus melancar
Dan perbukitan dandan perlente pina-pina berduri

Di Teluk Ikan Putih menutup siang musim semi panjang


Pada langitnya keruh asap, bayang bangunan dan baja
Di perut kota bangkitlah malam sambil melenggang
Dan dermaganya hening lelap, berlelehan keristal kaca

Selamat jalan, malam-malam putih berhujan kapas


Lewati perairan alim dengan pipinya dingin
Masih ada yang berlinangan di sela gugusan karang
Ngenangkan musim mengandung belati dalam angin
Jabatlah teluk kami, persinggahan di tahun datang.

1957
DARI PENARI BUAT PELUKIS Acep Zamzam Noor

Lenganku mencapai inti angin

Dan rahasia gelombang. Lautan kurengkuh, kuurai-urai

Dalam gerak perasaan. Tarianku pergesekan bulan

Dan matahari. Persentuhan langit dan bumi

Akulah udara yang mengasuhmu

Akulah mega yang memayungi langkahmu

Akulah topan yang menghangatkan hidupmu

Akulah musim yang membukakan pintu

Akulah ular yang menawarkan khuldi

: Akulah ranjang

Nganga sunyi

Kubur yang menampungmu, duhai pelukisku sayang

Pinggulku bergoyang, dadaku naik turun

O, selendangku sayap burung

Aku melayang-layang

Roh dan badan berzikir panjang. Menarikan diam

1984
MENYERAP TINTA DI LAUTAN Acep Zamzam Noor

Akulah si miskin yang kaya

Dadaku berkilauan bukan oleh permata

Sebab cinta telah disodorkan kemurahan semesta

Padaku. Kini aku menyeret langkah ke segala penjuru

Dan menulis puisi di sudut-sudut malam

Di antara kesempitan bumi dan keluasan langit

Aku terus menggeliat dan menari

Sedih dan riangku menjadi tarian di udara

Lihatlah, langkahku berderap menyongsong matahari

Menempuh bukit demi bukit sepanjang rahasiamu abadi

Beribu penyair telah menyerap tinta di lautan

Pohon-pohon bergerak menuliskan kerinduan

Lihatlah, kain kafanku terus berkibaran

Memenuhi udara dengan bau keringat pengembara

Meskipun hatiku telah dilumuri lumpur hitam

Aku tahu cahaya masih akan terbit dari tatapan matamu

Setiap pagi. Kemudian kaubakar segala yang ada di bumi

Hingga gairahku menyala dan berkobar kembali

Siang dan malam akan terus berulang, seperti berulangnya

Hidup dan mati. Lihatlah, tidak ada lagi mahkota di kepalaku

Kemegahan hanya menganugerahiku sebatang pena:

Aku ingin menghabiskan semua tinta di lautan

Lalu bergerak bersama pohon-pohon menuliskan cinta


NAPAS GUNUNG Acep Zamzam Noor

Seperti senja yang bersimpuh di kaki langit

Kupuja bola matamu yang melelehkan cahaya redup

Serta hurup-hurup samar yang menuliskan

Keabadian. Senyummu yang tergantung di udara

Dinaungi gumpalan mendung yang kemerahan

Tuturmu yang menggulirkan butir-butir embun

Tak bisa kutampung dengan bibirku yang bergetar

Napas gunung yang dikibarkan kerudungmu

Menghijaukan sawah-sawah di hatiku

Selembar sajadah yang dihamparkan rindu

Membuatku tersungkur lagi. Kuhirup wangi tanah

Kucium akar rumputan dan dingin batu:

Seorang lelaki berlumuran darah

Ditikam sepasang alis matamu

Tariklah sedikit ujung kerudungmu, Dini

Agar langit menampakkan rahasia keindahannya

Pada bumi. Parasmu yang dipantulkan sinar bulan

Dengan bulu-bulu halusnya yang tersapu tiupan angin

Seakan menyibakkan yang selama ini tertutupi

Itulah sebabnya aku memuja bola matamu

Seperti seribu laron mengerumuni satu-satunya

Nyala lampu
KERINDUAN YANG ABADI Acep Zamzam Noor

Orang-orang dengan kecemasan di matanya


Mengundang kematian berulang-ulang
Seakan mengikuti kehendak angin tanpa arah
Atau menyerah pada daun-daun yang luruh
Ke haribaan tanah. Musim akan segera berganti
Cuaca terus berubah dan mereka tak tahu
Untuk mengatakan sekedar sunyi
Berjalan saja di atas perasaannya sendiri

Orang-orang dengan ketakutan yang melimpah


Melepaskan semua pakaian kebesarannya
Mungkin persembahan bagi langit atau kekosongan
Dalam gelap mereka terbang seperti kelelawar
Menangis dan tertawa tak henti-hentinya
Tak peduli akan jatuh atau terus membumbung
Sebab kehidupan yang tengah berlangsung
Atau kematian sama saja artinya

Orang-orang dengan kerinduan yang abadi


Semakin mabuk oleh anggur dan puisi
Menjadi budak naluri dan keliaran
Dihabiskannya seluruh malam tanpa sisa
Juga seluruh abad dan milenium sepi
Mereka tak kembali ke kuil, biara atau gua
Tak lagi menggembala di padang tandus dunia
Namun sibuk menerjuni lembah gelap dalam hatinya
JEJAK Acep Zamzam Noor
Undakan demi undakan terus kudaki
Seperti menapaki hari-hari tua yang runcing
Tiba-tiba seorang kawanku dari masa lalu datang
Rambutnya keriting dan bersayap seperti malaikat
Tubuhnya indah dan kepalanya dilingkari mahkota duri
Langkahnya pelan dan suaranya mirip seorang gembala
Kami bertemu di sebuah bukit, dan melihat ke bawah:
Bulan Juli berkilauan di atas jalan yang melingkar
Rumpun-rumpun cemara yang kebiruan serta atap-atap rumah
Di kejauhan. Sebuah gereja nampak tergantung di udara

Kawanku yang pendiam, matanya memancarkan cahaya


Udara siang memercikkan lentik-lentik api dari rambutnya
Napasnya menggetarkan tahun, meluruhkan daun-daun zaitun
Sedang dari pusat matanya burung-burung nazar menyeberang
Seperti para imigran. Kawanku bukanlah seorang nabi
Tapi dadanya adalah dinding tebal yang bernama ideologi
Sedang kakinya kokoh menyanggga abad-abad sunyi
Di masa lalu, kawanku mungkin sosok paling sentimentil
Senyumnya yang meluruhkan hati semua lelaki dan perempuan
Kini menuntunku memasuki sebuah terowongan gelap

Telah banyak altar-altar yang akhirnya kutinggalkan


Sebab kalimat-kalimatku sering menjadi suara lain
Bagi ruang pemujaan yang penuh keluhan dan teriakan
Kusalami para jemaah dan aku selalu merasa ingin muntah
Ketika semua percintaan harus berakhir dengan segera:
Suara pidato menggelegar di antara deru panser dan meriam
Kanal-kanal meluapkan darah dan orang-orang bergerak ke kanan
Kulihat kawanku di antara mereka, mengangkat mayat-mayat
Sambil meninggalkan jejak panjang bagi para pengikutnya
Tapi aku segera berbelok ke kiri dan bergegas pergi
AKU Ajip Rosidi
Tinju menghantam. Belati menikam.
Seluruh dunia bareng menyerang, menerkam.
Aku bertahan. Karena diriku
Dalam badai, gunung membatu.

Lengang sebatang pinang


Di padang pusaran topan.

Segala arah menyerang. Dari luar, dalam.


Tikaman tiada henti. Siang, malam.
Aku bertahan. Karena hidup
Muatan duka nestapa
Yang kuterima ganda ketawa

1963
KUCARI MUSIK Ajip Rosidi
Kucari musik
Yang brisik
Yang berontak
Memberangsang

Kucari musik
Yang sejuk
Yang mengalun
Tenteram

Kucari musik. Setiap saat kucari musik.

Musik yang menggairahkan


Mengendap dalam hati.

Musik menyelinap dalam celah-celah waktu


Merasuk dalam jiwa
Mengusap luka-luka hidup yang nyeri
Dan menidurkan tangan-tangan durhaka yang lelah
Dalam pangkuanMu.

Maka kasihMu
mengalir abadi.

1968
PANORAMA TANAH AIR Ajip Rosidi
Di bawah langit yang sama
manusia macam dua : Yang diperah
dan setiap saat mesti rela
mengurbankan nyawa, bagai kerbau
yang kalau sudah tak bisa dipekerjakan, dihalau
ke pembantaian, tak boleh kendati menguak
atau cemeti'kan mendera;
dibedakan dari para dewa
malaikat pencabut nyawa, yang bertuhan
pada kemewahan dan nafsu
yang bagai lautan : Tak tentu dalam dan luasnya
menderu dan bergelombang
sepanjang masa
Di atas bumi yang sama
Manusia macam dua : Yang menyediakan tenaga
tak mengenal malam dan siang,
mendaki gunung, menuruni jurang
tak boleh mengenal sakit dan lelah
bagai rerongkong-rerongkong bernyawa selalu digiring
kalau bukan di kubur tak diperkenankan sejenak pun berbaring
dipisahkan dari manusia-manusia pilihan
yang mengangkat diri-sendiri dan menobatkan
ipar, mertua, saudara, menantu dan sahabat
menjadi orang-orang terhormat dan keramat
yang ludah serta keringatnya
memberi berkat
Di atas bumi yang kaya
manusia mendambakan hidup sejahtera
Di atas bumi yang diberkahi Tuhan
Manusia memimpikan keadilan

(1962)
DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG W.S. Rendra
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Mimbar Indonesia
Th. XIV, No. 25
18 Juni 1960
HAI, KAMU! - W.S. Rendra

Luka-luka di dalam lembaga,

intaian keangkuhan kekerdilan jiwa,

noda di dalam pergaulan antar manusia,

duduk di dalam kemacetan angan-angan.

Aku berontak dengan memandang cakrawala.

Jari-jari waktu menggamitku.

Aku menyimak kepada arus kali.

Lagu margasatwa agak mereda.

Indahnya ketenangan turun ke hatiku.

Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku.

Jakarta, 29 Pebruari 1978

Potret Pembangunan dalam Puisi


ORANG DALAM PERAHU Asrul Sani
Hendak ke mana angin buritan ini
membawa daku
sedang laut tawar tiada mau tahu
dan bintang, tiada
pemberi pedoman tentu

Ada perempuan di sisiku


sambil tersenyum
bermain-main air biru
memandang kepada panji-panji
di puncak tiang buritan
dan berkata
"Ada burung camar di jauhan!

Cahaya bersama aku


Permainan mata di tepi langit
akan hilang sekejap waktu

Aku berada di bumi luas,


Laut lepas
Aku lepas
Hendak ke mana angin buritan
membawa daku
M A N T E R A Asrul Sani

Raja dari batu hitam,


di balik rimba kelam,
Naga malam,
mari kemari !

Aku laksamana dari lautan menghantam malam hari


Aku panglima dari segala burung rajawali
Aku tutup segala kota, aku sebar segala api,
Aku jadikan belantara, jadi hutan mati

Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa


Budak-budak tidur di pangkuan bunda
Siapa kenal daku, aku kenal bahagia
tiada takut pada pitam,
tiada takut pada kelam
pitam dan kelam punya aku

Raja dari batu hitam,


Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari kemari !

Jaga segala gadis berhias diri,


Biar mereka pesta dan menari
Meningkah rebana
Aku akan menyanyi,
Engkau berjaga dari padam api timbul api.
Mereka akan terima cintaku
Siapa bercinta dengan daku,
Akan bercinta dengan tiada akhir hari

Raja dari batu hitam


Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari kemari
Mari kemari,
Mari !
SURAT DARI IBU Asrul Sani

Pergi ke dunia luas, anakku sayang


pergi ke dunia bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau

Pergi ke laut lepas, anakku sayang


pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau

Jika bayang telah pudar


dan elang laut pulang ke sarang

angin bertiup ke benua


Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku!

Kembali pulang, anakku sayang


kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
Tentang cinta dan hidupmu pagi hari"
KUMPULAN PUISI

PUISI WAJIB :

KITA ADALAH PEMILIK SYAH REPUBLIK INI


Karya : Taufiq Ismail dari Tirani dan Benteng, 1993

Tidak ada lagi pilihan


Kita harus berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
berarti hancur

apakah akan kita jual keyakinan kita


dalam pengabdian tanpa harga
akan maukah kita duduk satu meja
dengan para pembunuh tahun yang lalu
dalam setiap kalimat yang berakhiran
Duli Tuanku!

Tidak ada lagi pilihan


Kita harus berjalan terus

Kita adalah manusia bermata sayu,


Yang di tepi jalan mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahan hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka
Kita yang tak punya dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan
Kita harus berjalan terus

PUISI PILIHAN :

KEPADA SEORANG AYAH YANG BERBAHAGIA


Karya Ida at DeKalb, DeKalb, June 10, 1999

Kubayangkan butir air mata memenuhi pelupuk matamu


saat kau membacakan baris-baris kasih sayang
kepada buah hatimu
Kusapa, ada beberapa butir air mata menggantung di sukmaku
hendak menyeruak ke dunia menemani keharuanmu

Tak ada yang dapat kuucapkan hari ini


seperti hari kemarin, aku hanya bisa membisu
coba kutulis beberapa kata ungkapan kehormatan
kepadamu yang kini duduk menyaksikan ilham Allah
merasuki tulang-tulang tuamu.
Adakah aku akan melihat orang tuaku
sebahagia lantunan nyanyian hatimu
yang hendak menempuh tahap tertinggi kodrat manusia?
aku merenung menggores bayangan butiran air matamu
yang terdorong keluar oleh kebahagiaan
aku berusaha menutupi jalan untuk air mataku
yang tak sanggup menahan keharuan
menuntut jalan keluar,
mungkin hendak berteman dengan air matamu

DOA
Karya: Puisi oleh Chairil Anwar

Tuhanku
dalam termanggu
ku sebut namu Mu
biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

Tuhanku
cahaya Mu panas suci
bagai kerdip lilin
di kelam sunyi

Tuhanku
aku hilang bentuk
kembara di negeri asing

Tuhanku
dipintuMu ku ketuk
aku tak bisa berpaling.
DISERANG RASA
Karya: Usmar Ismail

Apa hendak dikata


Jika rasa bersimaharajalela
Di dalam batin gelisah saja
Seperti menanti suatu yang hendak tiba
Pastilah harapan berkelap-kelip
Tak hendak padam, hanyalah lemah segala sendi
Bertambah kelesah hati yang gundah
Sangsi, kecewa, meradang resah
Benci, dendam..rindu, cinta
Ah, hujan rinai di waktu angin
Bertiup kencang memercik muka
Kemudian redatenang..
di dalam air mata bergenang
kembali harapan, kekuatan semakin nyata
dari yang sudah-sudah,
sebelum jiwa diserang rasa
JALAN RAYA IBU KOTA
Karya : Leon Agusta

Kudengar topan menggertak dan angin menerjang


Apakah belum lagi siap; aku tak akan pernah siap
Bahkan untuk tidur
Tapi aku tertidur juga
Diayunkan deru cemas
Dinyanyikan jeritan badai
Sampai pagi yang pucat
Membangunkanku
dalam tidur, mimpi buruk selalu mengejarku
Pagi hari
Musim tampak memanjang oleh cahaya yang rebah
Dari timur
Dan kabut masih kental mendekap jendela
Kutatap Koran pagi yang terhantar lemas di atas meja
Cinta kekaksihku lenyap di jalan raya
Dendam kekasihku berkeliaran di jalan raya
Aku cemas sebab aku belum kemas untuk menyempatnya
Di senja penghabisan; di jaringan jalan raya ibu kota
Berdebaran aku menunggu begitu gairah
Mendengar nyanyian dan bisikannya
Walau mimpi buruk selalu mengejar

KEPADA KI HAJAR DEWANTARA


Karya: Sanusi Pane, 1957

Dalam kebun di tanah airku


Tumbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai
Tiada terlihat orang yang lalu
Akhirnya tumbuh di hati dunia
Daun bersemi, laksmi mengarang
Biarpun dia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia
teruslah, o, teratai bahagia
berseri di kebun Indonesia
biarkan sedikit penjaga taman
biarpun engkau tidak terlihat
biarpun engkau tidak diminat
engkau turun menjaga taman

SAJAK PUTIH
Oleh : Rachmat Djoko Pradopo

Bersandar pada tari warna pelangi


Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam noda tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka


Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka


Antara kita mati datang tidak membelah..

SENJATA
Karya : Oleh : Abdul Wahid Situmeang

Keringat mengucur darah memancur


Dari dada pahlawan yang gugur
Panji perjuangan pantang mundur
Merebut tampuk hari
Serta menggenggamnya dalam kepalan
Dalam arus waktu yang menghapus kesabaran
Senjata kita adalah keringat
Senjata kita adalah darah
Keringat dan darah dari jiwa yang luhur

SURAT DARI IBU


Karya : Asrul Sani

Pergi ke dunia luas anakku sayang


Pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
Dan matahari pagi menyinar daun-daunan
Dalam rimba dan padang hijau
Pergi ke laut lepas anakku sayang
Pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
Dan warna senja belum kemerah-merahan
Menutup pintu waktu lampau
Jika bayang telah pudar
Dan elang laut pulang ke sarang
Angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
Dan nahkoda sudah tahu pedoman
Boleh engkau datang padaku!
Kembali pulang anakku sayang
Kembali ke balik malam!
Jika kapalmu sudah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
Tentang cinta dan hidupmu pagi hari
ANTARA TIGA KOTA - Emha Ainun Najib

Di yogya aku lelap tidur


Angin disisiku mendengkur
Seluruh kota pun bagai dalam kubur
Pohon-pohon semua mengantuk
Di sini kamu harus belajar berlatih,
tetap hidup sambil mengantuk

kemanakah harus kuhadapkan muka


agar seimbang antara tidur dan jaga?

Jakarta menghardik nasibku


Melecut menghantam pundakku
Tiada ruang bagi diamku.
Matahari melototiku
Bising suaranya mencampakkanku,
Jatuh bergelut debu

Kemanakah harus kuhadapkan muka


Agar seimbang antara tidur dan jaga?

Surabaya seperti di tengahnya


Tak tidur seperti kerbau tua
Tak juga membelalakkan mata
Tapi di sana ada kasihku,
Yang hilang kembangnya.
Jika aku mendekatinya
Kemanakah harus kuhadapkan muka
Agar seimbang antara tidur dan jaga?

dari Sajak-Sajak Sepanjang Jalan


KITA ADALAH PEMILIK SYAH REPUBLIK INI - Taufiq Ismail

Tidak ada lagi pilihan


Kita harus berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
berarti hancur

apakah akan kita jual keyakinan kita


dalam pengabdian tanpa harga
akan maukah kita duduk satu meja
dengan para pembunuh tahun yang lalu
dalam setiap kalimat yang berakhiran
Duli Tuanku!

Tidak ada lagi pilihan


Kita harus berjalan terus

Kita adalah manusia bermata sayu,


Yang di tepi jalan mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahan hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka
Kita yang tak punya dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan
Kita harus berjalan terus

dari Tirani dan Benteng, 1993


JEMBATAN - Sutardji Calzoum Bachri

Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata


bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yangberdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu !
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita ?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu
mengucapkan kibarnnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air


BAYANGKAN - Sutardji Calzoum Bachri

direguknya
wiski
direguk
direguknya
bayangkan kalau tak ada wiski di bumi
sungai tak mengalir dalam aortaku katanya
di luar wiski
di halaman
anak-anak bermain
bayangkan kalau tak ada anak-anak di bumi
aku kan lupa bagaimana menangis katanya
direguk
direguk
direguknya wiski
sambil mereguk tangis
lalu diambilnya pistol dari laci
bayangkan kalau aku tak mati mati katanya
dan ditembaknya kepala sendiri
bayangkan

1977

sajak-sajak: Sutardji Calzoum untuk Salim Said


DI LERENG SALAK Sanusi Pane

Gunung berleret, mulanya hijau,


Lenyap membisu jauh di sana.
Padi menguning bagai kencana,
Sampai di lereng redam berkilau.

Sebelah Selatan dapat ditinjau


Sebagian kecil Lautan Hindia
Laksana tasik dipandang dia
Di bawah perak membiru silau.

Di rumput halus bagai beledu,


Aku guling memandang sorang,
Bagai minum keindahan alam.

Teringat kota aku tersedu;


Takut kembali ke tempat orang,
Tak mengenal perasaan dalam.
Sebuah Jaket Berlumur Darah Taufiq Ismail

Sebuah jaket berlumur darah


Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.

Sebuah sungai membatasi kita


Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan Selamat tinggal perjuangan
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?.

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu


Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang.

Pesan itu telah sampai kemana-mana


Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
Lanjutkan Perjuangan.

Anda mungkin juga menyukai