Anda di halaman 1dari 73

J.E.

Tatengkeng
SUKMA PUJANGGA

O, lepaskan daku dari kurungan,


Biarkan daku terbang melayang,
Melampaui gunung, nyebrang harungan,
Mencari Cinta , Kasih dan Sayang.

Aku ta’ ingin dipagari rupa!


Kusuka terbang tinggi ke atas,
Meninjau hidup aneka puspa,
Dalam ‘alam yang ta’ berbatas…

Ta’ mau diikat erat-erat


Kusuka merdeka mengabdi seni,
Kuturut hanya semacam syarat,
Syarat gerak sukma seni.

Kusuka hidup! Gerakan sukma,


Yang berpancaran dalam mata,
Terus menjelma
Ke-Indah-Kata.
J.E. Tatengkeng
PERASAAN SENI

Bagaikan banjir gulung-gemulung,


Bagaikan topan seruh-menderuh,
Demikian Rasa,
datang semasa,
Mengalir, menimbun, mendesak, mengepung,
Memenuhi sukma, menawan tubuh.

Serasa manis sejuknya embun,


Selagu merduh dersiknya angin,
Demikian Rasa,
datang semasa,
Membisik, mengajak, aku berpantun,
Mendayung jiwa ke tempat di ingin.

Jika Kau datang sekuat raksasa,


Atau Kau menjelma secantik juita,
Kusedia hati
Akan berbakti,
Dalam tubuh Kau berkuasa!

Catatan:

Jan Engelbert Tatengkeng lahir 19 Oktober 1907 di Sangihe, wafat 6 Maret 1969 di Makassar.
Karyanya Rindu Dendam (1934).
Sanusi Pane
SAJAK

O, bukannya dalam kata yang rancak


Kata yang pelik kebagusan sajak
O, pujangga buang segala kata
Yang ‘kan cuma mempermainkan mata
Dan hanya dibaca selintas lalu
Karena tak keluar dari sukmamu

Seperti matari mencintai bumi


Memberi sinar selama-lamanya
Tidak meminta sesuatu kembali
Harus cintamu senantiasa
Sanusi Pane
TERATAI
Kepada Ki Adjar Dewantara

Dalam kebun tanah airku


Tumbuh sekuntum bunga teratai;
Tersembunyi kembang indah permai,
Tidak terlihat orang yang lalu

Akarnya tumbuh di hati dunia,


Daun berseri Laksmi mengarang;
Biarpun ia diabaikan orang,
Seroja kembang gemilang mulia.

Teruslah, o Teratai Bahagia


Berseri di kebun Indonesia,
Biar sedikit penjaga taman.

Biarpun engkau tidak dilihat,


Biarpun engkau tidak diminat,
Engkau pun turut menjaga Zaman.
Sanusi Pane
DIBAWA GELOMBANG

Alun membawa bidukku perlahan


Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah ke mana aku tak tahu

Jauh di atas bintang kemilau


Seperti sudah berabad-abad
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi yang kecil amat

Aku bernyanyi dengan suara


Seperti bisikan angin di daun
Suaraku hilang dalam udara
Dalam laut yang beralun-alun

Alun membawa bidukku perlahan


Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah ke mana aku tak tahu

Catatan:

SANUSI PANE lahir 14 November 1905 di Muarasipongi, Tapanuli Selatan, wafat 2 Januari 1968
di Jakarta. Karyanya: Madah Kelana (1931), Pancaran Cinta (1926), Puspa Mega (1927).
M. Yamin

PERMINTAAN
Mendengarkan ombak pada hampirku
Debar-mendebar kiri dan kanan
Melagukan nyanyi penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku.

Sebelah Timur pada pinggirku


Diliputi langit berawan awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku.

Di mana laut debur menebur


Serta mendesir tiba di pasir
Di sanalah jiwaku, mulai tertabur.

Di mana ombak sembur-menyembur


Membasahi Barisan sebelah pesisir
Di sanalah hendaknya, aku berkubur.

Catatan:

MUHAMMAD YAMIN, lahir 23 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatra Barat. Ia wafat 26 Oktober
1962 di Jakarta. Karya: Tanah Air (1922, berupa manuskrip tersimpan di PDS H.B. Jassin) dan
Indonesia Tumpah Darahku (1928)
Marius Ramis Dajoh
PEREMPUAN PENUMBUK PADI

Blek-blok, blek-blok!
Berjam-jam menumbuk padi.
Ia menyanyi sedikit-sedikit,
supaya kuat menumbuk padi,
supaya lupa tulang sakit,
disakiti alu berat!

Blek-blok, blek-blok!
Tiap hari menumbuk padi,
Alu berat melompat-lompat,
Sangat lelah menumbuk padi,
menjadi beras amat lambat,
alu terlalu amat berat!

Blek-blok, blek-blok!
Tak berhenti menumbuk padi!
Anak masih minum susu,
Bungsu lahir tak lama lagi!
Hati hampir hancur luluh!
Kesusahan sangat berat!

Blek-blok, blek-blok!
Kekuatan menumbuk padi,
Kekuatan berkurang-kurang,
Kesusahan menumbuk hati,
Kesusahan menggarang-garang,

Aduhai!
Kemiskinan terlalu berat!
Sutan Takdir Alisjahbana
DI CANDI PRAMBANAN

Dari jauh angin mengombak padi, desir-membuai


daun ketapang di atas kepalaku.
Susunan batu tingkat-meningkat, indah berukir arca,
membangunkan candi tempat memuja.
Di mata kalbuku terbayang pendeta, menelutut-tunduk
di hadapan dewa memohonkan sempana:
Di dalam hati menyala bakti, menyerahkan badan
dan jiwa kepada batari sakti.
Datang bisikan dari jauh, sayup-sendu menyelapi
Sukmaku: Berabad-abad candi terlupa, masa baik
berganti buruk. Seni yang dilahirkan bakti-sukma
yang ikhlas muram tak mungkin!
Hatiku tiada rindu kepadamu masa, ketika pendeta
meniarap di hadapan Syiwa, ketika jiwa-berbakti
menjelma candi berarca.
Tidak, tidak! Tidak, tidak!
Ya Allah, ya Rabbani, kembalikan ketulusan
jiwa-berbakti pembentuk candi kepada umatmu!
Dan aku akan melahirkan seni baru, tidak serupa-sebentuk ini…,
abadi selaras dengan gelora sukma dan zamanku.
Sutan Takdir Alisjahbana
KEPADA KAUM MISTIK

Engkau mencari Tuhanmu di malam kelam


Bila sepi mati seluruh bumi
Bila kabur menyatu segala warna
Bila umat manusia nyenyak terhenyak
Dalam tilam, lelah lelap
Tahulah aku, Tuhanmu Tuhan dalam kesunyian!

Tetapi aku bertemu Tuhanku di siang-terang


Bila dunia ramai bergerak
Bila suara memenuhi udara
Bila nyata segala warna
Bila manusia sibuk bekerja
Hati jaga, mata terbuka
Sebab Tuhanku Tuhan segala gerak dan kerja

Aku berbisik dengan Tuhanku


dalam kembang bergirang rona
Aku mendengar suara Tuhanku
dalam deru mesin terbang di atas kepalaku
Aku melihat Tuhanku
dalam keringat ngalir orang sungguh bekerja

II

Berderis decis jelas tangkas


Tangan ringan tukang pangkas
Menggunting ujung rambutku
Jatuh gugur bercampur debu

Aku melihat Tuhanku Akbar


Ujung rambut di tanah terbakar
Teman, aku gila katamu?
Wahai, kasihan aku melihatmu

Mempunyai mata, tiada bermata


Dapat melihat, tak pandai melihat
Sebab beta melihat Tuhan di mana-mana
Pada kelapa kering yang gugur ke tanah
Pada matahari yang panas membakar
Sutan Takdir Alisjahbana
MENUJU KE LAUT

Kami telah meninggalkan engkau,


tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat:

“Ombak ria berkejar-kejaran


di gelanggang biru bertepi langit.
Pasir rata berulang dikecup,
tebing curam ditantang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega.”

Sejak itu jiwa gelisah,


Selalu berjuang, tiada reda,
Ketenangan lama rasa beku,
gunung pelindung rasa pengalang.
Berontak hati hendak bebas,
menyerang segala apa mengadang.

Gemuruh berderau kami jatuh,


terhempas berderai mutiara bercahaya,
Gegap gempita suara mengerang,
dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti
pekik dan tempik sambut menyambut.

Tetapi betapa sukarnya jalan,


badan terhempas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut,
namun kembali tiadalah ingin,
ketenangan lama tiada diratap.
……………………………………………….
Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat.
Catatan:

SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA lahir 11 Februari 1908 di Natal. Bersama Amir Hamzah dan Armijn
Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru pada tahun 1933. Karyanya antara lain Tak Putus
Dirundung Malang (1929), Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), Anak Perawan di Sarang
Penyamun (1941), Layar Terkembang (1936), Tebaran Mega (1936), dan Lagu Pemacu Ombak
(1978).
Chairil Anwar
PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali


Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi

Bak kembang sari sudah terbagi


Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali

Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi


Chairil Anwar
KEPADA KAWAN

Sebelum Ajal mendekat dan mengkhianat,


Mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
Selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,


tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah terkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
Chairil Anwar
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Buat Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta


di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang


menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan


menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
Chairil Anwar
CATETAN TH. 1946
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.

Kita—anjing diburu—hanya melihat sebagian dari


sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.

Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu


Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu;
Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak
lahir sempat.
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu
asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering
sedikit mau basah!
Asrul Sani
ORANG DALAM PERAHU

Hendak ke mana angin


buritan ini membawa daku
sedang laut tawar tiada mau tahu
dan bintang, tiada
pemberi pedoman tentu

Ada perempuan di sisiku


sambil tersenyum
bermain-main air biru
memandang kepada panji-panji
di puncak tiang buritan
dan berkata
“Ada burung camar di jauhan!”

Cahaya bersama aku.


Permainan mata di tepi langit
akan hilang sekejap waktu.
Aku berada di bumi luas,
Laut lepas
Aku lepas.
Hendak ke mana angin
Buritan membawa daku.
Sitor Situmorang
ELANG DI ATAS LEMBAH
Tak ada orang di jalan setapak,
di jalan terjal menuju lembah,
jalan turun ke desa
di pinggir danau.

Di udara (desa belum tampak)


meluncur elang
seperti perahu
di air teluk tenang.

Foto kenangan
masa kanak
tujuan berkunjung sejenak,
masuk biara waktu

menimang rindu
bertahta di puncak karang
gunung batu,
seperti burung

di jalan berbatu-batu
jalan turun ke danau,
sebelum tikungan terakhir,
pandang mencari elang.

Tak tampak lagi.


Perahu pun sudah lenyap di balik tanjung.
Lalu terdengar suara kampak,
pohon rubuh ditebang—

anjing menyalak.
Segera aku akan menginjak gerbang lembah,
hilang resah,
masuk desa
seperti elang
pulang sarang.
Subagio Sastrowardoyo
MANUSIA PERTAMA DI ANGKASA LUAR

Beritakan kepada dunia


Bahwa aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin kembali.
Aku kini melayang di tengah ruang
Di mana tak terpisah malam dan siang.
Hanya lautan yang hampa dilingkung cemerlang bintang.
Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang.
Jagat begitu tenang. Tidak lapar
Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah.
Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah.
Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu
Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota
Dan raksasa, peri dan bidadari. Aku teringat
Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari.
Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa
Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya kepadaku
Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela
Dengan Alex dan Leo—itu anak-anak berandal yang kucinta—
Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap
Sekelumit dari pesawatku, seleret dari
Perlawatanku di langit tak berberita.
Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu
Kutinggalkan kemarin dulu?
Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita
Sebab semua telah terbang bersama kereta
ruang ke jagat tak berhuni. Tetapi
ada barangkali. Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi
Tetapi aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali.
Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku
Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang.
Jagat begitu dalam, jagat begitu diam.
Aku makin jauh, makin jauh
Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi
Makin gemuruh.
Bunda,
Jangan membiarkan aku sendiri.
Toeti Heraty
KE PELABUHAN

benarkah setiap senja

matahari masih terbenam juga


kasihku?

pernah kupelajari, sudah sekian waktu


yang lalu, bahwa bulan mengitari
dunia, dan dunia matahari –

bulan, yang bagai mangga kemuning


menyandarkan diri pada awan-awan
yang bergerigi
dan matahari terbakar merajai hati
sewaktu mobil menyusur kali dan kali
mengalir ke laut, lautan luas –

benarkah setiap senja?

karena sebelah kiri hanya tampak


nyala jingga langit merenggut-renggut lambaian bendera
dan cakrawala dirembeti gubuk-gubuk,
rapuh dan kelabu

benarkah begitu, - bahwa


suatu saat matahari dan lautan
akan bersentuhan, dan janji

bagai kedahsyatan yang menghilang


dan akan kembali lagi
WS Rendra
SAWOJAJAR 5, YOGYA

Memasuki pintu halamannya


kujumpai pohon-pohon yang kabur
kerna malam sudah turun.
Rumahnya bagai kotak
penuh cahaya dan jendela.
Ia duduk main piano
nampak punggungnya
dan rambutnya yang panjang
dua jalinan.

Inilah tempat yang damai


di mana gelora dosa diredakan.
Tempat membasuh kaki yang payah
yang telah berjalan dengan resah
menempuh kekosongan dan kebimbangan.
Di sini urat-urat ditenangkan
setelah menggelepar sia-sia
kerna gairah dan gelora remaja.
Melewati berlusin pemberontakan
berlusin kekalahan
dan berlusin kenakalan
yang menghadang bencana,
kutemuilah juga hiburan ini.
Segelas air dingin
dan kasih sepasang mata.
Piano menggemakan keindahan dan peradaban;
kursi-kursi, bunga-bunga, dan gambar-gambar menjinakkan darahku.
Pelan-pelan kudekati ia dari belakang.
Pelan-pelan kujamah kedamaianku.
WS Rendra
LAUTAN

Daratan adalah rumah kita


dan lautan adalah kebebasan.
Langit telah bersatu dengan samodra
dalam jiwa dan dalam warna.

Ke segenap arah
berlaksa-laksa hasta
di atas dan di bawah
membentang warna biru muda.
Tanpa angin
mentari terpancang
bagai kancing dari tembaga.

Tiga buah awan yang kecil dan jauh


Berlayar di langit dan di air.
bersama dua kapal layar.
bagai sepasang burung camar
dari arah yang berbeda.
Sedang lautan memandang saja
Lautan memandang saja

Di hadapan wajah lautan


nampak diriku yang pendusta
Di sini semua harus telanjang
bagai ikan di lautan
dan burung di udara.
Tak usah bersuara!
Janganlah bersuara!
Suara dan kata terasa dina

Daratan adalah rumah kita,


dan lautan adalah rahasia
WS Rendra
GUGUR

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya.
Tiada kuasa lagi menegak.
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
ke dada musuh yang merebut kotanya.

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya.
Ia sudah tua
luka-luka di badannya.

Bagai harimau tua


susah payah maut menjeratnya.
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya.

Sesudah pertempuran yang gemilang itu


lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya.
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya.

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya.
Belum lagi selusin tindak
maut pun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata:
“Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah:
tanah Ambarawa yang kucinta.
Kita bukanlah anak jadah
kerna punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mataairnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah jiwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa.

Orang tua itu kembali berkata:


“Lihatlah, hari telah fajar!
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan
buat selama-lamanya!
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menancapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun akan berkata:
--Alangkah gemburnya tanah di sini!”

Hari pun lengkap malam


ketika ia menutup matanya.
WS Rendra

SAJAK RAJAWALI

Sebuah sangkar besi


tidak bisa mengubah seekor rajawali
menjadi seekor burung nuri

Rajawali adalah pacar langit.


Dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti.

Langit tanpa rajawali


adalah keluasan dan kebebasan
tanpa sukma.
Tujuh langit, tujuh rajawali.
Tujuh cakrawala, tujuh pengembara.

Rajawali terbang tinggi


memasuki sepi
memandang dunia.
Rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya.

Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan


yang terjadi dari keringat matahari.
Tanpa kemantapan hati rajawali
mata kita hanya melihat fatamorgana.

Rajawali terbang tinggi


membela langit dengan setia.
dan ia akan mematuk kedua matamu.
Wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka!
BALADA TERBUNUHNYU ATMO KARPO
WS Rendra

Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi


Bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para
Mengepit kuat-kuat lutut menunggang perampok yang diburu
Surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang

Segenap warga desa mengepung hutan itu


Dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
Mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
Berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri
Satu demi satu yang maju terhadap darahnya
Penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.
Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa.
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa.
Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo tegak, luka tujuh liang.
Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Bedah perutnya tapi masih setan ia
Menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala

Joko Pandan! Di manakah ia!


Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
Segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
Ridla dada bagi derunya dendam yang tiba.
Pada langkah pertama keduanya sama baja.
Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka.
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
Pesta bulan, sorak sorai, anggur darah
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapanya.
JANTE ARKIDAM
: Ajip Rosidi

Sepasang mata biji saga


Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang
Arkidam, Jante Arkidam
Dinding tembok hanyalah tabir embun
Lunak besi di lengkungannya
Tubuhnya lolos di tiap liang sinar
Arkidam, Jante Arkidam
Di penjudian, di peralatan
Hanyalah satu jagoan
Arkidam, Jante Arkidam
Malam berudara tuba
Jante merajai kegelapan
Disibaknya ruji besi pegadaian
Malam berudara lembut
Jante merajai kalangan ronggeng
Ia menari, ia ketawa
‘mantri polisi lihat ke mari!
Bakar mejajudi dengan uangku sepenuh saku
Wedana jangan ketawa sendiri!
Tangkaplah satu ronggeng berpantat padat
Bersama Jante Arkidam menari
Telah kusibak ruji besi!’
Berpandangan wedana dan mantripolisi
Jante, Jante; Arkidam!
Telah dibongkarnya pegadaian malam tadi
Dan kini ia menari!’
‘Aku, akulah Jante Arkidam
Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya
Batang pisang,
Tajam tanganku lelancip gobang
Telah kulipat rujibesi’
Diam ketakutan seluruh kalangan
Memandang kepada Jante bermata kembang
Sepatu
‘mengapa kalian memandang begitu?
Menarilah, malam senyampang lalu!’
Hidup kembali kalangan, hidup kembali
Penjudian
Jante masih menari berselempang selendang
Diteguknya sloki kesembilanlikur
Waktu mentari bangun, Jante tertidur
Kala terbangun dari mabuknya
Mantripolisi berada di sisi kiri
‘Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!’
Digisiknya mata yang sidik
‘Mantripolisi, tindakanmu betina punya!
Membokong orang yang nyenyak’
Arkidam diam dirante kedua belah tangan
Dendamnya merah lidah ular tanah
Sebelum habis hari pertama
Jante pilin ruji penjara
Dia minggat meniti cahya
Sebelum tiba malam pertama
Terbenam tubuh mantripolisi di dasar kali
‘Siapa lelaki menuntut bela?
Datanglah kala aku jaga!’
Teriaknya gaung di lunas malam
Dan Jante berdiri di atas jembatan
Tak ada orang yang datang
Jante hincit menikam kelam
Janda yang lakinya terbunuh di dasar kali
Jante datang ke pangkuannya
Mulut mana yang tak direguknya
Dada mana yang tidak diperasnya?
Bidang riap berbulu hitam
Ruastulangnya panjang-panjang
Telah terbenam beratus perempuan
Di wajahnya yang tegap
Betina mana yang tak ditaklukkannya?
Mulutnya manis jeruk Garut
Lidahnya serbuk kelapa puan
Kumisnya tajam sapu injuk
Arkidam, Jante Arkidam
Teng tiga di tangsi polisi
Jante terbangun ketiga kali
Diremasnya rambut hitam janda bawahnya
Teng kelima di tangsi polisi
Jante terbangun dari lelapnya
Perempuan berkhianat, tak ada di sisinya
Berdegap langkah mengepung rumah
Didengarnya lelaki menantang:
‘Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga!’
‘Datang siapa yang jantan
Kutunggu di atas ranjang’
‘Mana Jante yang berani
Hingga tak keluar menemui kami?’
‘Tubuh kalian batang pisang
Tajam tanganku lelancip pedang’
Menembus genteng kaca Jante berdiri di atas atap
Memandang hina pada orang yang banyak
Dipejamkan matanya dan ia sudah berdiri di atas tanah
‘hei, lelaki matabadak lihatlah yang tegas
Jante Arkidam ada di mana?’
Berpaling seluruh mata kebelakang
Jante Arkidam lolos dari kepungan
Dan masuk ke kebun tebu
‘Kejar jahanam yang lari!’
Jante dikepung lelaki satu kampung
Dilingkung kebun tebu mulai berbunga
Jante sembunyi di lorong dalamnya
‘Keluar Jante yang sakti!’
Digelengkannya kepala yang angkuh
Sekejap Jante telah bersanggul
‘Alangkah cantik perempuan yang lewat
Adakah ketemu Jante di dalam kebun?’
‘Jante tak kusua barang seorang
Masih samar, di lorong dalam’
‘Alangkah Eneng bergegas
Adakah yang diburu?’
‘Jangan hadang jalanku
Pasar kan segera usai!’
Sesudah jauh Jante dari mereka
Kembali dijelmakannya dirinya
‘Hei lelaki sekampung bermata dadu
Apa kerja kalian mengantuk di situ?’
Berpaling lelaki ke arah Jante
Ia telah lolos dari kepungan
Kembali Jante diburu
Lari dalam gelap
Meniti muka air kali
Tiba di persembunyiannya.
Taufiq Ismail:
BUKU TAMU MUSEUM PERJUANGAN
Pada tahun keenam
Setelah di kota kami didirikan
Sebuah museum perjuangan
Datanglah seorang lelaki setengah baya
Berkunjung dari luar kota
Pada sore bulan November berhujan
Dan menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam, halaman seratus delapan

Bertahun-tahun aku rindu


Untuk berkunjung kemari
Dari tempatku jauh sekali
Bukan sekedar mengenang kembali
Hari tembak-menembak dan malam penyergapan
Di daerah ini
Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan
Dan potret-potret para pahlawan
Mengusap-usap karaben tua
Baby mortIr buatan sendiri
Atau menghitung-hitung satyalencana
Dan selalu mempercakapkannya

Alangkah sukarnya bagiku


Dari tempatku kini, yang begitu jauh
Untuk datang seperti saat ini
Dengan jasad berbasah-basah
Dalam gerimis bulan November
Datang sore ini, menghayati museum yang lengang
Sendiri
Menghidupkan diriku kembali
Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya
Di waktu kebebasan adalah impian keabadian
Dan belum terpikir oleh kita masalah kebendaan
Penggelapan dan salah guna pengatasnamaan
Begitulah aku berjalan pelan-pelan
Dalam museum ini yang lengang
Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga
Kesangkutan ikat-ikat kepala, sangkur-sangkur berbendera
Maket pertempuran dan penyergapan di jalan
Kuraba mitraliur Jepang, dari baja hitam
Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt
PENGOEMOEMAN REPOEBLIK yang mulai berdebu
Gambar laskar yang kurus-kurus
Dan kuberi tabik khidmat dan diam
Pada gambar Pak Dirman
Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali
Ke ruangan yang sepi dan dalam
Jendela museum dipukul angin dan hujan
Kain pintu dan tingkap bergetaran
Di pucuk-pucuk cemara halaman
Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan
Deru konvoi menjalari lembah
Regu di bukit atas, menahan napas
Di depan tugu dalam museum ini
Menjelang pintu keluar di tingkat bawah
Aku berdiri dan menatap nama-nama
Dipahat di sana dalam keping-keping aluminia
Mereka yang telah tewas
Dalam perang kemerdekaan
Dan setinggi pundak jendela
Kubaca namaku di sana…
GUGUR DALAM PENCEGATAN
TAHUN EMPAT PULUH DELAPAN
*
Demikianlah cerita kakek penjaga
Tentang pengunjung lelaki setengah baya
Berkemeja dril lusuh, dari luar kota
Matanya memandang jauh, tubuh amat kurusnya
Datang ke museum perjuangan
Pada suatu sore yang sepi
Ketika hujan rinai tetes-tetes di jendela
Dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-pucuk cemara
Lelaki itu menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam, halaman seratus delapan
Dan sebelum dia pergi
Menyalami dulu kakek Aki
Dengan tangannya yang dingin aneh
Setelah ke tugu nama-nama dia menoleh
Lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan
Ke tengah gerimis di pekarangan
Tetapi sebelum pagar halaman
Lelaki itu tiba-tiba menghilang
Taufiq Ismail
LONCENG TINJU

Setiap kali lonceng berkleneng


Tanda putaran dimulai
Setiap kali mereka bangkit
Dan mengepalkan tinju
Setiap teriakan histeria
Bergemuruh suaranya
Aku kelu
Dan merasa di pojok
Sendirian

Setiap lonceng berklenengan


Dan tinju mulai berlayangan
Meremuk kepala lawan
Terkilas dalam ingatan
Nenekku dulu berkata
“Jangan kamu mengadu ayam”
Dan bila aku menuntut ilmu
Di Kedokteran Hewan
Guruku menasihatkan
“Jangan kamu mengadu hewan”

Kini lagi, bel itu berklenengan


Aku tersudut, bisu
Dan makin merasa
Sendirian
Taufiq Ismail
MEMBACA TANDA-TANDA

Ada sesuatu yang rasanya


mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita
Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merindukannya
Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau
yang semakin surut jadinya

Burung-burung kecil
tak lagi berkicau pagi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan

Kita saksikan zat asam didesak asam arang


dan karbon dioksid itu menggilas paru-paru
Kita saksikan gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air
Air mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda


Bisakah kita membaca tanda-tanda?
Allah, kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah, ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda
Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari
Karena ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kami
mulai merindukannya.
Taufiq Ismail
BERI DAKU SUMBA

Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu


Aneh, aku jadi ingat pada Umbu

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka


Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga

Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput


Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas dikipas dari sana

Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba

Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda


Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka


Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.

Kirdjomuljo
DI BAYANG MATA PAK DIRMAN

Saat kutatap adamu di masa silam


Kulihat adamu di masa datang dan lebih menyala
Meyakinkan generasiku
Harus menyelesaikan yang telah dimulai

Kutemukan di bayangan matamu


Jiwa yang bangkit dan mesti kusetiai
Kutemukan di bayangan matamu
Jiwa yang tenggelam karena harus tenggelam

Kuperingatkan padamu perjalanan yang panjang


Saat kebangsaanku merayap mencari dirinya
Menggenggam hutang dan pihutang sejarah
Untuk satu hal yang berhak dicintai

Kini aku hanya bisa menundukkan kepala


Tidak tahu janji apa hendak diucapkan
Tidak tahu jalan mana menuju ke sampingmu
Tetapi aku merasa akan sampai di bayangmu
Sapardi Djoko Damono
SAAT SEBELUM BERANGKAT

mengapa kita masih juga bercakap


hari hampir gelap
menyekap beribu kata di antara karangan bunga
di ruang semakin maya, dunia purnama

sampai tak ada yang sempat bertanya


mengapa musim tiba-tiba reda
kita di mana. Waktu seorang bertahan di sini
di luar para pengiring jenazah menanti

Sumber:
Sapardi Djoko Damono, Dukamu Abadi . Ciputat: Editum, 2012; halaman 9.
Sapardi Djoko Damono:
BENIH

“Cintaku padamu, Adinda,” kata Rama, “adalah laut yang pernah


bertahun memisahkan kita, adalah langit yang senantiasa
memayungi kita, adalah kawanan kera yang di gua Kiskenda.
Tetapi…” Sita yang hamil itu tetap diam sejak semula.
“… kau telah tidur di ranjangnya, kau bukan lagi rahasia
baginya.”

Sita yang hamil itu tetap diam: pesona. “Tetapi, si Raksasa itu
ayahandamu sendiri, benih yang menjadikanmu, apakah ia
juga yang membenihimu, apakah…” Sita yang hamil itu tetap
diam, mencoba menafsirkan kehendak para dewa.
Sapardi Djoko Damono
SEPASANG SEPATU TUA

sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang,


berdebu
yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat
jalan berlumpur sehabis hujan—keduanya telah jatuh
cinta kepada sepasang telapak kaki itu
yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat
sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan
mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu
dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa
sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya
bisa mereka pahami berdua
Sapardi Djoko Damono
TIGA SAJAK KECIL

/1/

Pada suatu hari


seorang gadis kecil
mengendarai selembar daun
meniti berkas-berkas cahaya.

“Mau ke mana, Wuk?”


“Ke Selatan situ.”
“Mau apa, Wuk?”
“Menangkap kupu-kupu.”

/2/

Pada suatu siang hari


seorang gadis kecil
belajar menggunting kertas,
gorden, taplak meja;

“Guntingan-guntingan ini
indah sekali, akan kujahit
jadi perca merah, hijau, dan biru
bahan baju untuk ibu.”

/3/

Pada suatu malam hari


seorang gadis kecil
menodong ibunya membaca cerita
nina-bobok sebelum tidur;

“Malam ini putri salju,


kemarin Bawang Putih,
besok Sinderela, ya Bu
biar Pangeran datang menjemputku.”
Sapardi Djoko Damono
DALAM DOAKU

dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman


tak memejamkan mata, yang meluas bening siap
menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara

ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam


doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau
senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan
pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entah
dari mana

dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja


yang mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis, yang
hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga
jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap
di dahan mangga itu

magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun


sangat pelahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan
kecil itu, menyusup di celah-celah jendela dan pintu,
dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di
rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang
dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang
entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi
rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi
kehidupanku

aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai


mendoakan keselamatanmu

Hartojo Andangdjaja
PAKANSI

Di sini hanya bening sinar mentari


landai tanah berumput hijau
dan deru air jauh mengimbau

keluasan langit yang berikan


sebagian birunya dalam hati
dan angin berseruling dari selatan
lahir dari lubuk bulan Mei

di sini bertakhta alam yang ramah


daerah burung dan hijau lembah

dan kota berlutut nun di bawah


tiada lagi dinding sekolah
tiada guru berikan ceramah

di sini
sendiri bermandi di bening mentari
sendiri mengulai di dada bumi
jauh buku, pencarian arti dan rizki

Abdul Hadi W.M.


TUHAN, KITA BEGITU DEKAT

Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya

Kita begitu dekat

Dalam gelap
kini aku nyala
pada lampu padammu

Abdul Hadi WM
LAGU DALAM HUJAN
 
Merdunya dan merdunya
Suara hujan
Gempita pohon-pohonan
Menerima serakan
Sayap-sayap burung
 
Merdunya dan merdunya
Seakan busukan akar pohonan
Menggema dan segar kembali
Seakan busukan daungladiola
Menyanyi dalam langsai-langsai pelangi biru
Memintas-mintas cuaca
 
Merdunya dan merdunya
Nasib yang bergerak
Jiwa yang bertempur
Gempita bumi
Menerima hembusan
Sayap-sayap kata
 
Ya, seakan merdunya suara hujan
Yang telah menjadi kebiasaan alam
Bergerak atau bergolak dan bangkit
Berubah dan berpindah dalam pendaran warna-warni
Melintas dan melewat dalam dingin dan panas
 
Merdunya dan merdunya
Merdu yang tiada bosan-bosannya
Melulung dan tiada kembali
Seakan-akan memijar api
 
1970
Sutardji Calzoum Bachri
WALAU

walau penyair besar


takkan sampai sebatas allah

dulu pernah kuminta tuhan


dalam diri
sekarang tak

kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak

tujuh puncak membilang bilang


nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu

walau huruf habislah sudah


alifbataku belum sebatas allah
Sutardji Calzoum Bachri
TANAH AIRMATA

tanah airmata tanah tumpah dukaku


mata air airmata kami
airmata tanah air kami

di sinilah kami berdiri


menyanyikan airmata kami

di balik gembur subur tanahmu


kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedunggedungmu
kami coba sembunyikan derita kami

kami coba simpan nestapa


kami coba kuburkan dukalara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak ke mana-mana

bumi memang tak sebatas pandang


dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke mana pun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke mana pun terbang
kalian kan hinggap di airmata kami
ke mana pun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman airmata kami
Djawastin Hasugian
FAJAR PUN TELAH MENYINGSING

Ciumlah bumi kekasih


ciumlah pantai, dengar indah syair di pasir putihnya
Hiruplah udara, rasa nikmat suling angin di rumput hijaunya
Ialah bumi tempat kita menggenangkan air mata
Ialah bumi tempat kita menangiskan segala tangis
Tempat aliran segala duka dan sengsara.

Sinar matahari kan tiba


Bersama pagi cerah yang gembira
Datanglah ia harapan lama
Datanglah ia idaman lama
Lihat, langit telah memerah
Dan kita bukakan fajarnya.

Nelayan-nelayan pada berdendang turun ke lautan


Bapak-bapak tani setia pada turun ke ladang
Ternak-ternak merumput di luas hijau rumputan
Buruh-buruh angkat barang sibuk di pelabuhan
Ibu-ibu berdendang sayang, tidurlah anak tidurlah intan
Tidurlah sayang tidurlah biji mata, pagi cerah kan tiba

(Kehidupan yang sibuk


Kehidupan yang hidup)

Pagi cerah, pagi yang indah hidup menggelora


Semua kita bekerja, bekerja! Untuk kedamaian kelurga-keluarga
Tetaplah cium bumi kekasih
Tetaplah hirup cinta hidup di udaranya
Pagi cerah, pagi yang manis kan tiba
Pagi yang untuknya segala tangis
Pagi yang untuknya kita tahankan kegelapan panjang.

Akan datang juga pasti ia tiba


Pagi di mana hidup benar-benar sibuk
Pagi di mana hidup benar-benar hidup.
Umbu Landu Paranggi
MELODIA

Cintailah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan


karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan
baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara dunia luar sana
sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja

Karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati pengembara


dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya
membukakan diri, bergumul dan menyeri hari-hari tergesa berlalu
meniup deras usia, mengitari jarak dalam gempuran waktu

Takkan jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi
dalam kerja berlumur suka-duka, hikmah pengertian melipur damai
begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh coretan
selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam manja bujukan

Rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia sederhana


di rumah kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan dan berjiwa
kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja harapan dan impian
yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan
D. Zawawi Imron
IBU

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau


sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mata air airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau


sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

ibu adalah gua pertapaanku


dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudera


sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal


Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala


sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku
D. Zawawi Imron
DIALOG BUKIT KEMBOJA

Inilah ziarah di tengah nisan-nisan tengadah


di bukit serba kemboja. Matahari dan langit lelah

Seorang nenek, pandangannya tua memuat jarum cemburu


menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu

“Aku anak almarhum,” jawabku dengan suara gelas jatuh


pipi keriput itu menyimpan bekas sayatan waktu

“Lewat berpuluh kemarau


telah kubersihkan kubur di depanmu
karena kuanggap kubur anakku.”

Hening merangkak lambat bagai langkah siput


Tanpa sebuah sebab senyumnya lalu merekah
Seperti puisi mekar pada lembar bunga basah

“Anakku mati di medan laga, dahulu


saat Bung Tomo mengibas bendera dengan takbir
Berita itu kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap
Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap.”

Jadi di lembah membias rasa syukur


Pada hijau ladang sayur, karena laut bebas debur

“Aku telah lelah mencari kuburnya dari sana ke mana


Tak kutemu. Tak ada yang tahu
Sedangkan aku ingin ziarah, menyampaikan terimakasih
atas gugurnya: Mati yang direnungkan melati
Kubur ini memadailah, untuk mewakilinya.”

“Tapi ayahku sepi pahlawan


Tutur orang terdekat, saat ia wafat
Jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat
Tapi ia tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu”

“Apa salahnya kalau sesekali


kubur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh
dendamku kepada musuh jadi luruh”

Sore berangkat ke dalam remang


Ke kelepak kelelawar

“Hormatku padamu, nenek! Karena engkau


menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
beri aku apa saja, kata atau senjata!”

“Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku cuma minta:


Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu!”

Kelam mendesak kami berpisah. Di hati tidak


Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga ilalang
memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tak jijik menyeka nanah
pada luka anak-anak desa di bawah
Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak sekedar untuk sebuah palu

1995
Isma Sawitri
UBUD

yang emas adalah padi


yang hijau adalah padi
yang bernas sesungguhnya padi
yang bergurau kiranya padi
inilah kebenaran pertama sebelum yang lain lain
karena laparlah yang pertama sebelum yang lain lain
sebelum berdirinya pura
sebelum tersusun doa
sebelum raja raja bertahta
Dewi Sri membenihkannya di atas bumi
di sinilah tempatnya ke mana ia harus datang
di sinilah manusianya kepada siapa ia harus datang
setiap musim berganti setiap musim beralih
Dewi Sri tetaplah pelindung pengasih
bagi mereka yang tabah dan tahu berterimakasih
yang emas adalah padi
Dewi Sri membenihkannya di atas bumi
sepanjang usia bumi
sepanjang hidup khayali
yang bernas sesungguhnya padi
Dewi Sri adalah warisan abadi
maka tercipta dongeng atas kenyataan
tercipta keyakinan pada kehidupan
Piek Ardijanto Soeprijadi
LAGU TANAH AIRKU

sudahkah kaudengar lagu berjuta nada


lagu tanah airku menggema seluruh dunia
dengarkanlah merdu suaranya
dengarkanlah indah iramanya

tukang sepatu berlagu mengiring palu mematuk paku


tukang batu berdendang senyampang semen memeluk bata
tukang kayu menyanyi meningkah gergaji makan papan
penebang pohon senandung di sela gema kapak di hutan
nakhoda berlagu menyanjung ombak menelan haluan
ahli mesin berdendang menyibak gemuruh pabrik
petani nembang atas bajak berjemur di lumpur

betapa merdunya lagu tanah airku


meletus nyanyi di pagi hari
menegang di rembang siang
melenyap di senja senyap

bila malam mengembang ibu nembang


tidurlah berlepas lelah anakku sayang
lampu bumi bawa mimpi damai dunia
esok masih ada kerja untuk nusa bangsa
LK Ara
TAK ADA LAGI
Tak ada lagi yang kucari di sini
Kecuali merasakan sinar bulan
Yang dingin oleh rindu

Tak ada lagi yang kucari di sini


Kecuali mendengar rintih angin
Di air danau

Tak ada lagi yang kucari di sini


Kecuali memandang kuburan tua
Tempat istirahat nenek moyangku

Tak ada lagi yang kucari di sini


Kecuali menyaksikan embun turun
Membasuh wajah rakyatku

Tak ada lagi yang kucari di sini


Kecuali merasakan gema doa
Dari orang yang menderita
Doa yang membubung ke langit
Bersatu dengan awan
Bersatu dengan matahari
Lalu turun ke bumi
Mendatangi rumahmu
Memberi salam padamu
Masuk ke hatimu
Bicara tentang keadilan

Tak ada lagi yang kucari di sini


Tak ada lagi
Kecuali bekas masa kanak-kanak
Yang tertutup debu

Tak ada lagi yang kucari di sini


Kecuali melihat bayang sejarah
Perlahan tenggelam
Tak tertulis

Tak ada lagi yang kucari di sini


Tak ada lagi
Selain menyaksikan kasih-Mu
Yang terus menyirami bumi

Takengon, Januari 1986


Toto Sudarto Bachtiar
PAHLAWAN TAK DIKENAL

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang peran g

Dia tidak ingat bilamana dia datan g


Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

Wajah sunyi tengadah


Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November , hujan pun mulai turun


Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda
Aspar

SANG KERIKIL

apa lagi yang harus dilakukannya


selain memilih sikap bijak dan tabah
betapapun ia tetap sebutir kerikil
berabad ia terjepit di bawah batu gunung

ia pernah mengharap terjadi ledakan


membayangkan batu-batu beterbangan
ini bisa terjadi, harapnya
lantas ia akan bebas melayang

mungkin butirannya kian kecil


tapi ia tak peduli
mungkin ia bakal terlempar di halamanmu
anakmu yang bungsu suatu ketika memungutnya
melambungkannya lagi ke tengah belukar
sekedar obat kesal karena tak jadi pesiar

pasti lebih baik begitu, pikir sang kerikil


daripada butir dan nasib kian kerdil
tergenggam di tangan mungil kanak-kanak
masih lebih terbebas, dibanding tertindih batu gunung
Suminto A. Sayuti
MARI, MARI BELAJAR LAGI

Sudah terlampau lama mata kita yang terbuka


Selalu gagal membaca
dan rabun pada isyarat-isyarat Cinta
Kita membaca gelombang hanya ketika pasang
Kita membaca laut hanya tatkala hati susut
Kita membaca angin hanya ketika suasana dingin
Kita membaca badai hanya ketika hati sangsai

Lembaran-lembaran hikayat
yang ditulis tangan-tangan agung
hanya kita buka
ketika hati linglung dan bingung
Senandung ayat-ayat bergema
dan menggeliat
hanya ketika kita merasa hampir tamat
kita selalu gagal menyelam di telaga hikmat
kerna kita hampir selalu lupa sangkan-paran alamat

Mari kembali kita belajar membaca


Membaca diri, membaca untingan kata hati
Mari kita maknai surat-surat Cinta
Yang dikirim lewat berbagai cuaca
Tanpa perangko, kecuali jiwa selalu berjaga
Mari bangkit berdiri sambil berkaca
Di keluasan Cakrawala
Merajut hari, melangkahi pematang senja
Merambah malam, menyongsong fajar pagi!
Acep Zamzam Noor
AMANAT GALUNGGUNG

Kuikuti langkah kabut yang samar di antara deretan pinus


Daun-daun yang runcing nampak berserakan di atas tanah
Siang terasa lain dengan bulir-bulir embun yang masih lekat
Pada kulit pohon. Galunggung bagai lemari es yang terbuka

Dinding-dinding di sekeliling kepundan gunung seakan


Menunjukkan bahwa magma adalah rindu yang disimpan
Dan akan terus disimpan waktu. Ketika menengok ke bawah
Permukaan telaga nampak hijau di tengah putihnya belerang

Di sini aku ingin belajar pada kelembutan kabut yang bergerak


Tanpa mengusik. Aku ingin berguru pada gunung yang tahan
Menyimpan dan merawat kerinduannya bertahun-tahun

Aku ingin belajar pada kesabaran magma yang tahu kapan


Saatnya harus bicara. Aku ingin berguru pada ketulusan rindu
Yang tak pernah berontak pada waktu yang memendamnya

Sumber:
Harian Kompas, Sabtu 4 Februari 2017; halaman 26 .
Isbedy Stiawan ZS:
POHON DI DEPAN RUMAH
Pohon yang kutanam semasa kecil
di depan rumahku, masih melambai
daun-daunnya bagi pulangku
setelah lama kutinggalkan

halaman yang penuh runtuhan


daun dan ranting, jadi tanda
kerinduanku seperti
masa kanak-kanak dulu

pohon di depan rumah


masih menandai jalan
pulangku. menyapu halaman,
menyerpihi runtuhan daun:
mengecup kerinduan

seperti masa kanak-kanak


aku menulis lagi kenangan
ke dalam anganku
tentang pohon yang kini
selalu melambai setiap kali
aku lupa jalan pulang

pohon di depan rumah


selalu memanggilku
setiap kali aku terbenam
entah di kota mana
seperti rinduku padamu
yang menungguku
meski berkali-kali
aku selalu lupa membawa
kenangan
--juga ciuman

sebab pohon
--juga kau—
muara ciuman
setiapkali rindu
yang membuatku
ingin pulang!
D. Kemalawati

NEGERI LADANG SEMU

Petakan olehmu negeri ini


dengan skala waktu
pohon-pohon dan luas sungai
pantai digerus ombak
bukit-bukit dan gunung-gunung
dengan pasak yang retak

tajam dan hitamkan garis batas


pejamkan matamu
rasakan bagaimana gerakannya
seperti siput di kulit tua
atau seperti laju kereta
di jalan raya

mengapa bersiteru
bila tak mampu menghitung
dengan jitu
negeri ini ladang semu
selamanya hanya di halaman buku
di saku pemilik yang maha tahu

hari ini ada negeri dibakar


akar-akarnya ikut meranggas mati
abunya beterbangan jauh
burung-burung tak lagi berkicau
tak ada titik dalam skala abu

Banda Aceh, 30 April 2016


Joko Pinurbo
JENDELA IBU
 
Waktu itu saya sedang mencari taksi untuk pulang.
Entah dari arah mana munculnya, seorang sopir taksi
tahu-tahu sudah memegang tangan saya,
meminta saya segera masuk ke dalam taksinya.
 
Saya duduk di jok belakang membelakangi kenangan.
Harum rindu membuat saya ingin lekas tiba di rumah,
minum kopi bersama senja di depan jendela.
 
Ia sopir yang periang. Saat taksi dihajar kemacetan,
ia bernyanyi-nyanyi sambil menggoyang-goyangkan
kepalanya yang gundul. Tambah parah macetnya
tambah lantang nyanyinya, tambah goyang kepalanya.
 
Sopir taksi tentu tak tahu, saya tak punya jendela
yang layak dipersembahkan kepada senja. Jendela saya
seperti hati saya: dingin, muram, ringkih, takut
melihat senja tersungkur dan terkubur di cakrawala.
 
Lama-lama saya mengantuk, kemudian tertidur.
Taksi memasuki jalanan mulus dan lengang, melintasi
deretan bangunan tua dengan jendela-jendela
yang tertawa. Di tepi jalan berjajar pohon cemara.
Di ranting-ranting cemara bertengger burung gereja.
 
Laju taksi tiba-tiba melambat. Taksi berhenti
di depan kedai kopi. “Mari ngopi dulu, Penumpang,”
ujar sopir taksi. “Baiklah, Sopir,” saya menyahut,
“aku berserah diri menuruti panggilan kopi.”
 
Di kedai kopi telah berkumpul beberapa sopir taksi
beserta penumpang masing-masing. Mereka dilayani
seorang perempuan tua yang keramahannya membuat
orang ingin datang lagi ke kedainya. “Urip iki mung
mampir ngopi,” ucapnya seraya menghidangkan
secangkir kopi di hadapan saya, lalu menepuk-nepuk
pundak saya. Wajahnya yang damai dan matanya
yang hangat segera mengingatkan saya pada ibu.
 
Saya terbangun setelah sopir taksi menepuk-nepuk
pundak saya. Ah, taksi sudah sampai di depan rumah.
Setelah saya membayar ongkos dan mengucapkan
terima kasih, Sopir tersenyum dan berkata, “Selamat
bertemu senja di depan jendela, Penumpang.”
 
Saya berterima kasih kepada ibu yang diam-diam
telah mengirimkan sebuah jendela kecil untuk saya.
Paket jendela saya temukan di beranda. Saya tidak
pangling dengan jendela itu. Jendela tercinta
yang kacanya bisa memancarkan beragam warna.
 
Ibu suka duduk di depan jendela itu malam-malam.
Cahaya langit memantul biru pada kaca jendela.
Ketika malam makin mekar dan sunyi kian semerbak,
ibu melantunkan tembang Asmaradana dan mata ibu
sesekali terpejam. Ibu menyanyikan tembang itu
berulang-ulang sampai anak-anaknya tertidur lelap.
 
Saya pasang jendela kiriman ibu di dinding kamar.
Cahaya hitam pekat membalut kaca jendela. Perlahan
muncullah cahaya remang diiringi suara burung
dan gemercik air sungai. Jendela saya buka, lalu saya
duduk tenang ditemani secangkir kopi. Saya dan kopi
terperangah ketika cahaya berubah terang. Tampaklah
di seberang sana sungai kecil yang mengalir jernih
di bawah langit senja. Di tepi sungai ada batu besar.
Saya lihat sopir taksi saya sedang duduk bersila di atas
batu besar itu, mengidungkan tembang Asmaradana
kesukaan ibu. Kepalanya yang gundul berkilauan.
 
2016
Soni Farid Maulana
RENUNGAN JANTE ARKIDAM
DI USIA 70 TAHUN
- untukAjip Rosidi
 
malam belum begitu gelap
ketika anjing melolong panjang
di bawah remang cahaya bulan
 
"ternyata hidup butuh agama!"
ujar Jante Arkidam seperti gumam
ketika maut menaksir detik jam
dalam detak jantungnya
 
kini kesepian
menampakkan dirinya
di hadapan Jante
yang dilanda batuk
dan sakit kepala
 
"ke mana nyi ronggeng
yang dulu hadir dalam hidupku,
yang dari meja ke meja perjudian
aku rajai dunia malam," tanya Jante.
 
sesekali didengarnya
bunyi tiang listrik dipukul orang
juga lolong anjing tengah malam
sehabis mupukembang
lalu angin dingin kembali meraja
menghajar raga Jante dekat jendela
di sebuah rumah pinggir kota
yang dulu dijadikan tempat sembunyi
dari kejaran lelaki satu kampung
dan kini di mana lebat kebun tebu
setelah dengus zaman
menyulapnya jadi perumahan
yang dibuat asal jadi?
 
“betapa tanganku berlumur darah,
Betapa hidupku salah arah. Mengapa
cahayaMu terlambat aku kenal?”
batin Jante. Detik jam
bergeser lagi
 
sesaat, Jante menarik napas
dalam-dalam. Lalu dihembuskannya
pelan-pelan. Dari hari ke hari
ia buron sudah diburu bayang-bayang hidup
yang kelam, yang ingin dihapusnya
seperti menghapus sebuah tulisan
di papan tulisMu yang kekal
 
“masihkah terbuka celah ke Baitullah?”
tanya Jante saat ia berkaca
melihat wajahnya sendiri dalam cermin
seperti batu retak di dasar sumur tua
yang absen disapa timba
tanpa ikan dan lumutan
 
siit incuing ngear di batin Jante
“Beri aku kesempatan meneguk
anggur cintaMu!” tangis Jante
di atas sajadah yang basah
oleh airmata

2007

Anda mungkin juga menyukai