Anda di halaman 1dari 8

Gembala Tanpa Rupa

Menyelami gambar usang yang mengintip malu di sudut kamar bawah


jendela pada suatu fajar

Di situ ada sosok berjubah putih sedang beradu penantian dengan riang ria

Tegak menjulang tidak bersandar menapaki batu-batu yang tak beraturan

Terpaku, terpana sembari menggenggam Janji dari si Bapak

Berbaur mesra semilir udara dengan dada terbentang

Matanya berbinar memancar tajam mengusik kehampaan

Dan senyum itu membingkai keraguan, merebak luas harum mewangi

Untaian butir – butir pengharapan terhampar apik, terdampar pada nurani


sang gembala, kuat mengikat erat

Kemudian angan – angan melebarkan sayapnya, hinggap rapi menanti bayu


lembut berhembus

Ketika roda-roda ketenangan bergulir, berputar memanggul sang gembala


tanpa rupa

Lalu membiarkannya bercengkerama warna warni dunia, menyambut pagi


halus memanggil, matahari lantang berteriak, sayup hujan gembira bersorak,
dan gelap damai merasuk

Mereka dari kumpulan pejuang yang tertanam di barisan Utara

Yang selalu membuyarkan pagi dengan melodi lembut berdendang

Lalu turun ke Selatan, Barat, Timur, dan seluruh arah mata angin

Menghamburkan api untuk lilin- lilin jalanan yang pelan meredup, dan
mendekap tuan – tuan tidak bertuan

Bintangpun bersuka karena sang gembala tanpa rupa menebar barisan


kidung sajak tanpa batas

Berkedip, berdendang kemudian terpuruklah gundah

Dialah gembala tanpa rupa


Cerita Pagi

Jiwa bermain dengan khayalan, lalu binar pagi membuai sukma yang terlelap

Sejenak manusia terbenam layu menembus gombal kusam, garis abu-abu


putih lusuh

Sambil menggapai separuh nyawa yang hilang menanti pulang

Terbalut langkah sendu merantau, gontai arah tanpa tentu

Kemudian di atas dingklik raga tertaut

Ditemani daun-daun yang masih malas tertunduk malu

Di situ embunpun masih tejaga

Lalu kembali cemara bersiul bersama semilir termangu

Aku lempar jauh pancaran hasrat yang terjerat jeruji kekelaman

Malah tersambut segerombolan gerobak reot menari nari

Menyeret onggokan sesegaran untuk beradu nasib di pasar

“Permisi, pak”

Bapak tua bernada menampilkan gurat senyum sepuh berlalu

Tubuh rapuhnya, kaki layunya mengayuh rasa, mengolah asa

Ada air berisik menyeringai di pelataran pondok

Menyapa kuping – kuping sunyi tanpa setitik bunyi

Menyapa kalbu yang letih terbuai manja

Di waktu ini semesta beriringan dengan kepakan sayapnya berlagu

Di atas sana bersama mega putih yang berarak- arakan

Mengumbar senyum pelangi yang tersumbul indah pada cerita pagi


Tanpa Detak

Kami golongan jiwa berbalut hitam, serba kelam tapi bukan kegelapan

Melontarkan tetes- tetes bening satu persatu dari sudut pancaran sorotan
mata, bukan peluh keluh kesah

Mengapa ini terjadi? Karena dia terkapar berbalut kemurnian warna putih,
beralaskan rajutan keindahan pepulihan raga

Tergolek pasrah tanpa detak

Senyumnya terbelenggu di antara benteng-benteng keangkuhan, kaku,


dingin, pudar

“Tidak, bukan, bukan seperti itu!”

Teriak kami masih ingin mengukir tawa bersamamu

Teriak kami masih ingin merajut senja bersamamu

Tapi tak sanggup, ya, sudah tak sanggup lagi, kami tahu itu

Dia lelah dengan keriuhan rumbai rumbai tujuh warna, serta rindu untuk
pulang melaui barisan kepastian kepada nirwana, dia ingin berjumpa

Seandainya bisa

Kami beranjak meninggi menuju pintu gerbang keabadian untuk


mempersembahkan lorong bagi mimpimu

Lantunan sesembahan bertebaran memenuhi ruang tanpa batas waktu,


abadi bersama selalu
Selamat Tinggal Sabtu Pagi

Ketika raga terlelap menggapai setengah nyawa yang terbang di luasan


semesta

Bukan gelak tawa yang merangkul asa

Melainkan nyanyian pagi yang sunyi tenang menghanyutkan

Tiba-tiba genderang selatan menggebu, menghempas barisan gubuk


perhentian raga

Lalu lenyaplah seketika, senyaplah, merayaplah, kemudian kalaplah

Kaki-kaki rapuh merangkai tanah tanah gersang menuju ketidakpastian tanpa


tentu arah

Ocehan sumbang mulai berdendang nyaring tanpa batasan, bebas, lepas

“Lindhu..lindhu..gempa..gempa.. kiamat..kiamat!!”

Sejenak jiwa jiwa jauh tertunduk ke lorong bumi

Menderaikan tetes-tetes bening dari sudut mata orang-orang tak berdosa

Mereka meratapi setitik karya sangar dari Sang Pencipta

Betapa elok nuansa suram pada pagi yang kelam

Seratus, tujuh ratus, beribu raga letih lelah tertambat dalam kedamaian,
keabadian bersama dengan gubuk gubuk samar

“Simbok, Pak Lik, Kang Wiryo, Mbak Sri!”

Mengapa kalian membeku?

Mengapa kalian mempersembahkan nyawa yang terukir rapi bertebaran


dimana mana?

Berserakan entah kemana memenuhi semuanya

Betapa panorama buaian alam mencekam membuat tercekat, terpana,


terpaku kaku

Pulanglah, kami belum siap melepaskanmu yang terbebas melayang layang


Nanti saja, atau esok, atau kapan lusa tak mau kami ingat

Masih ada desah nafas menderu menantimu di sini

Selamat tinggal Sabtu Pagi

(Mengenang gempa Yogyakarta, 27 Mei 2006)


Wanita Bersayap Malaikat

Sabda alam mengubur keangkuhan raga jauh merebah ke bawah sadar

Terlelap aku ke dalam dunia warna yang mewangi, yang menggelitik dan
membisik

Betapa elok bayangan ini karena jemariku seolah tak bertuan

Semakin bingar aku menantang laut, dan melukis kegelapan tanpa tembok
pencerahan

Larut terkikis melalui rangkaian daun yang membisu karena dia enggan
berpijar

Bagaimana aku harus menjejalkan serangkaian tapak-tapak semangat?

Sedangakan aku sembunyi tanpa rajutan kasih?

Aku di sini rapuh, lenyap, kelam, sendiri, sepi, sunyi

Apakah suara hati bergerak ketika ada sesuatu yang mendapati?

Ya, kini aku tersandar pada kelembutan dan kedamaian yang dulu pernah
aku rindu

Ada wanita bersayap malaikat, hatinya begitu indah karena tersebar bunga-
bunga harum mewangi di sana, iramanya mengalir perlahan, bening, tanpa
hina

Tapi aku mendua, tidak bergeming, kemudian perlahan menyingkir terbuang

Mungkin raga ini tak pantas menari seindah rumput di hamparan ilalang

Aku tak tampak, kutundukkan penat yang berdiam di pelataran benak

Kemanakah bintang ketika diri melintang?

Dimana lantang ketika raga membentang?

Mereka, kamu, dia, aku, terserak, mengembara dan menepi

Kesenyapan tanpa permisi bertaburan dengan sinar pendar, kini padam,


hitamlah
Sampai pada akhirnya aku melihat wanita bersayap malaikat kembali,
menghembuskan jiwa dan menggapai keletihanku

Kini, diri ini berpegang pada genggaman wanita bersayap malaikat itu

Karena dia selalu berkidung, berbagi ketenangan dan mendaraskan nyanyian


surgawi
Data Diri

Nama : Okti Rahmawatilistyaningrum

Tanggal Lahir : 20 November 1985

Alamat : Kasihan RT 01 Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta

Nomor Rekening : 004221018447

Bank : BPD DIY

Nama Rekening : Okti Rahmawatilistyaningrum

Email : valentokti@gmail.com

IG : valentokti

Anda mungkin juga menyukai