Di situ ada sosok berjubah putih sedang beradu penantian dengan riang ria
Lalu turun ke Selatan, Barat, Timur, dan seluruh arah mata angin
Menghamburkan api untuk lilin- lilin jalanan yang pelan meredup, dan
mendekap tuan – tuan tidak bertuan
Jiwa bermain dengan khayalan, lalu binar pagi membuai sukma yang terlelap
“Permisi, pak”
Kami golongan jiwa berbalut hitam, serba kelam tapi bukan kegelapan
Melontarkan tetes- tetes bening satu persatu dari sudut pancaran sorotan
mata, bukan peluh keluh kesah
Mengapa ini terjadi? Karena dia terkapar berbalut kemurnian warna putih,
beralaskan rajutan keindahan pepulihan raga
Tapi tak sanggup, ya, sudah tak sanggup lagi, kami tahu itu
Dia lelah dengan keriuhan rumbai rumbai tujuh warna, serta rindu untuk
pulang melaui barisan kepastian kepada nirwana, dia ingin berjumpa
Seandainya bisa
“Lindhu..lindhu..gempa..gempa.. kiamat..kiamat!!”
Seratus, tujuh ratus, beribu raga letih lelah tertambat dalam kedamaian,
keabadian bersama dengan gubuk gubuk samar
Terlelap aku ke dalam dunia warna yang mewangi, yang menggelitik dan
membisik
Semakin bingar aku menantang laut, dan melukis kegelapan tanpa tembok
pencerahan
Larut terkikis melalui rangkaian daun yang membisu karena dia enggan
berpijar
Ya, kini aku tersandar pada kelembutan dan kedamaian yang dulu pernah
aku rindu
Ada wanita bersayap malaikat, hatinya begitu indah karena tersebar bunga-
bunga harum mewangi di sana, iramanya mengalir perlahan, bening, tanpa
hina
Mungkin raga ini tak pantas menari seindah rumput di hamparan ilalang
Kini, diri ini berpegang pada genggaman wanita bersayap malaikat itu
Email : valentokti@gmail.com
IG : valentokti