Anda di halaman 1dari 28

RATAPAN

Kutitipkan tatapanku pada rembulan walau sekejap pandangan sayu membayangkan kebekuan merasuk uratku semakin menyingsing dan membisu

semi yang tercuri hanya tinggal cerita dalam benak setiap raga

lamunan tak akan menggugah sebab kegelisahan tak lagi menerjang kehampaan tersapu badai menghantam sunyinya purnama seketika

TIA MURDIANINGSIH (QLC Pesisir Selatan), Panggul, 20 Maret 2011

SIMPONI PAGI

Kelam malam masih bersembunyi di balik awan berfikir sejenak untuk menghilang sayup-sayup lantunan kian terdengar menyambut asa kian gemilang

bertenggerlah sang rajawali beserta dayang-dayang menyenandungkan simponi pagi

gelembung-gelembung embun takkan menghilang dari peraduan antrian masal yang menjejali sangkar bersama kedamaian dalam jalan kehidupan

1. Panggul, 20 Maret 2011

PARASIT

Jauh di bawah sengatnya matahari tak lagi dirasakan geloranya tapi menguap membuat mutiara terbang menyerbu peraduan menyerupai tirai-tirai yang haus kebebasan menyerbu berbagai penjuru

Badai gelora tak mampu menyengat si tubuh lunglai

buliran pasir di semenanjung tak lagi memiliki harapan kelembapan tak tersentuh lagi kembali membakar berserakannya si tubuh lunglai tak bertanggungjawab dan tersesat dalam perasaannya

Badai kasar kembali merombak tak kenal apa dan siapa perkampungan mewah, gubuk, istana yang semakin mendekap menghujam si tubuh lunglai

yang tak bertanggungjawab dalam kesesatan perasaannya

2. Panggul, 21 Maret 2011

SIAPA KAU

Sejenak menghilang dari sangkar berpaling untuk sekejap melupakan goresan yang semakin melukai tak tertahankan semakin menusuk kalbu hilang seketika dalamnya perasaa tapi, noda yang menganga akibatnya

Apa yang kau dapat? kebebasan layaknya burung mengepakkan sayap tapi tidak menuju peraduan perantauan lalu lintas padat dimana jiwamu jangan biarkan kau tersesat dalam kubangan lumpur menjijikkan semakin menggerus jiwamu mengelupas hatimu

Itukah dirimu?

3. Panggul, 20 Maret 2011

ELEGI KAMPUNGKU

Embusan badai datang dari selatan membawa berita yang tak pernah kutulis dalam syair embusan lumrah dan terjangan yang menyengat orang-orang berjalan bebas lepas bak air bah

Kampung ini adalah bagian dari kekuasaan layaknya relief pada candi kehidupan Ingin ku ungkapkan relief-relief pada candi kehidupan yang tinggal nama dalam sebuah lukisan tapi tak disini

Syair-syair melodi tak mampu lagi kehampaan semakin menghujam yang terbungkus kain kafan hanya sebatas asa yang tertinggal di batu nisan kuburan-kuburan jail tak Nampak lagi dalam peraduan menmbulkan sesak yang kian menghantam meluluhlantakkan segala daya dalam jalan kehidupan

Peraduan tak lagi beradu

hanya sebuah lirikan tajam menghujam seluruh jagad

Diluar, radiasi nuklir tengah melahap puluhan padi Perjalanan dini menggerus kaca-kaca dalam sangkar

Durja yang melonglong mengendus menjilati setiap tetesan darah kematian

Dengingan syair ambulan tak lagi menundukkan malah semakin mencekik setiap keheningan Dedaunan yang meronta disambut ceria musim gugur Terlalu payahkah syair nyanyian lukisan patung sehingga hanya ditonton dalam hati mereka

Hasrat-hasrat munafik menampakkan keramahan kaedilan pertanggungjawaban yang keras dan mudah harus dengan apa membersihkan jilatan durja darah terlanjur mengalir deras yang mengajari kisah kehidupan yang menodai kafan suci yang siap mengantar menuju batu nisan

Seharusnya bukan disini tempatku

Memandang lepas samudra dari bilik rahim seorang wanita yang terus menggerus sumsumnya dari setiap helai rambutnya desahan nafas yang mengganjal kerongkongannya

Kampung ini adalah bagian dari kekuasaan yang membawa keonaran setiap langkah yang menjunjung amarah dalam hasrat-hasrat munafik mereka dalam membangun sebuah istana dengan bertumbal puluhan, ratusan bahkan ribuan padi jiwa manusia dalam hasrat kemunafikan mereka

4. Panggul, Maret 2011

MENGGAPAI ASA

Embusan angin samudra tak mampu menggores tinta tak mampu meluluhlantakkan buliran-buliran pasir

Lembayung senja mulai beranjak dari peraduan Peraduan singgasana sang dewi malam tanpa dayang Pagi menggoreskan senyum pada mentari

Jalan setapak yang kian terjal tak pernah tampak mulus walau sekejap dimana mata memandang disitu letak kemunafikan gengsi semua bisa dibeli

tapi, tidak segalanya

senyuman doa lantunan dzikir bulatnya tekad

menghapus segala noda yang menganga

walau badai dari utara menghantam takkan mampu meluluhlantakkan biarpun singgasana telah lenyap tapi tidak jiwa dan raga karena asa yang kian cemerlang menggapai semua angan

5. Panggul, Maret 2011

LIHATLAH IBU

Keheningan rembulan yang enggan bersinar Kehampaan Kesepian kerkadang merasuk tulang malam

Dipuja Dimanja terkurung dalam peta melayang tanpa batas sanubari jiwa

Bu, lihatlah impian itu Impian lahir dari hatimu Lahir dari darahmu mengalir semburat warna kelabu

Bu, rasakan keteduhan kesejukan kedamaian menusuk tulang malam

Mata batin ini tak lagi seperti dulu

tak lagi berlumur tak lagi tercecer

Lihatlah bu Rasakan bu bersama aliran dari dalam hatimu ibu untuk menapaki jalan yang kian terjal ibu

6. Panggul, Januari 2011

CATATAN JAWABAN

Maaf jika kusentuh hatimu kutatap matamu kuenggan menyapamu

tak kusangka dirimu ada keadaan adalah jawaban dalam catatan histori kala itu

rangkaian ketulusan takkan buat ubah dalam kemaafan semu yang menembus batas keadilan

Jika hatimu bertanya kuberhak menjawab jika lukamu tak juga sembuh maka kan kucoba menggores obat merah dalam histori catatan jawaban yang terukir di bangku rajah

7. Panggul, Januari 2011

HATIKU DERITAKU, LIDAHKU SAKITKU

Teriakan malam teriakan siang seolah selalu terngiang teriakan yang selalu menggema selalu berdenting tiap langkah pijakan yang tak lagi kokoh akan tetap terbayang sampai nanti jalanan sepi hampa akan selalu terlintas dijalan ini kadang kelikuan jalan tak terpikirkan terjalan yang menyayat sudah tak terasa lagi

Pernah terbesit impian yang telah tertanam untuk sedikit mengecup mata air kehidupan

8. Panggul, Januari 2011

PUISI RINDU UNTUK ADIKKU

Kegelapan menyelimuti malamku Detik-detik air kembali mengalir kembali deras mengalir menganak sungai mata memang tak memandang tapi hati peka karena ia ada

Maaf jika kubuatmu pilu Maafkan diriku kesucianmu ketulusanmu dekapan hatimu akan selalu ada di relungku

tenanglah tenanglah disana

9. Panggul, Januari 2011

LUAPAN IBU PERTIWI

Tetesan embun bumi Tertumpah dari bak penampungan luapan dahsyat jeritan tangisan pilu lari tunggang langgang tak ada kesempatan habislah semua

percikan kobaran api disetiap sudut kota mereka menangis rindu akan dusun mengais rejeki pada lahar meminta rejeki pada penguasa bah,

mana keadilanmu dimana janji-janji manis mana sumpah serapahmu habiskah itu?

10. Panggul, Januari 2011

ADA APA ISTANA TERAKHIR?

Masih kurangkah punggung ini kau bebani belum puaskah hati ini kau goresi setitik darah yang tak bermassa setetes tinta yang tak tersapa

tertutup mana janji apa tinggal seni obral penumpang kereta api menyahut dalam dekapan sejati

Ada apa? belum adakah datu pembawa kedamaian sejati dalam istana terakhir kami

11. Panggul, Pebruari 2011

DIBAWAH KIDUNG

Nyaringnya nyanyian malam kemerduan suara yang tak hilang seraya tersapu kabut yang bersekat dikeningku

Rasa ini tak sebanding setitik codet di dahi tapi laksana lukisan codet yang menghiasi

Kala perbandingan nyata kan tetap ada apa selalu bisa? yang diharap takkan habis apa mungkin? dalam bayangan semu

Sangkar bagaikan penyamun merindukan surga tapi bisa lalu bagaimana?

12. Panggul, Pebruari 2011

JENDELA

Gerbang kembali terbuka setelah sekian lama menutup segala kemungkinan tak ada kata tak ada makna merangkai dalam kalimat mana ungkapan ungkapan keberhasilan di atas batas kesuksesan di atas garis semu yang membumbung melengking tapi tak berbelok kembali ke sudut pandang berbeda dan mengungkap segala makna makna yang tersirat tapi tak terungkap

garis khayal pengungkap mimpi merajalela dalam simponi penebar alam sukma dan cakrawala lembaran tabir alam tak lagi tersenyum butiran-butiran senyum telah mati seiring lagu kesedihan yang kian padam memadamkan gelora yang mencekam

kelamnya siang tak terhiraukan malah mencekik kematian hidup, tapi sudah mati kadang sesekali bernafas atau bahkan hilang tanpa bekas

Mana hak Mana kewajiban gaya glamor lenggak-lenggok bak tarian pewayangan

seharusnya bukan kita para anak bangsa yang berpendidikan meninggalkan kesan bukan kesesatan mana ajaran tapi yang ada malah melahirkan durja-durja penghancur bangsa bandit-bandit penghancur negara cukong-cukong penjajah betapa laknat

berhentilah pelaknat bangsa berhentilah memabukkan pendidik pelahir tunas bangsa berpendidikan

13. Panggul, Maret 2011

LEMBARAN PERADABAN

Rintikan sukarela kesuma menantang badai tersapu jagad dalam malam kelam menantang gelayut badai gelombang

kikira tak dapat merana tapi malah menderita mengangkat sukma tak dapat berkata-kata Coretan tinta kumpulan syair melodi tak mampu lagi merangkai dalam lembaran suci peradaban

14. Panggul, Maret 2011

GORESAN KEHIDUPAN

terlarut aku dalam sepi lewat syair ini yang kutitipkan pada radar angin mereka tak menyangka ku bisa terluka mencoba memahami ku tau itu

Angin, sampaikan padanya keindahan yang lahir membelah peradaban memulai sejarah agar dia tau walau ku tak tau kapan dia akan mengerti aku tak pernah menginginkan merasakan peradaban ini

coba kau pahami lihatlah kemungkinan dan keindahan ini apa kau sanggup aku tak menginginkan hati yang terluka sungguh tega

sudah cukup salahkah takdir atas sejarah

angin, biarkan kulari lari menembus sejarah dalam goresan kehidupan

15. Panggul, April 2011

AKU TAK BISA

bila kutak bisa ku tak memaksa telah di berikan kepadaku berbagai keajaiban keajaiban atas hatimu kebimbangan hati yang indah atas kesetiaan dan tanggungjawabmu

sungguh aku tak bisa sebentar nampak sebentar tenggelam hingga tiba pada saat ini dimana masih muram dan kelam bersama hari-hari yang suram

biarkan aku memuja biarkan hatiku menggelora biarkan api cinta membara lewat goresan senja rona jingga

biarkan aku melukismu dengan kuas merah jambu walau hanya semburat dalam kegelapan yang melengkapi kepergian surya kala bulan datang

16. Panggul, April 2011

YANG TELAH MATI

lenyap mati sesekali bernafas lalu hilang tak ada daya bukan maya tapi nyata kenyataan dari goresan lama tak dapat menggugah jiwa

goresan-goresan tiada guna melayang termakan badai khatulistiwa terkadang mendung melukisnya melukis kematian duka menyelubungi pintu hati memakan korban dari penghuni hati merampas segala daya

belum cukupkah hak terampas terpenjara dalam lautan kematian semakin membabibuta malam bersaksi dari bintang

sekecil cahaya dari embun cakrawala penerang segala daya dari alam sukma 17. Panggul, 20 April 2011 SAJAK MALAM ITU

sisa kabut senja di malam itu membawa butiran-butiran salju lokal tak dingin memang tapi sungguh menusuk tulang memanah kebimbangan hati menjadi pasti

sayub-sayub lantunan burung camar malah terdengar kian berjarak memastikan butiran salju sampai di hadapan

goresan pelangi malam tak lagi membuat gempar bagai cincin sang dewi menerbitkan pita pita berwarna dan debu putih jelita

18. Panggul, 24 April 2011

BUAT APA

buat apa kita bertanya kepada bulan tentang matahari jika mereka tidak pernah bertemu buat apa kita bertanya kepada hujan tentang halilintar jika mereka bertemu selalu membuat dilema buat apa kita bertanya kepada tanah tentang air jika tanah selalu menyimpannya buat apa kata bertanya kepada pohon tentang daun jika pohon selalu menggugurkannya buat apa kita bertanya kepada bintang tentang malam jika mereka hanya sesaat saja buat apa kita bertanya kepada awan tentang siang jika awan selalu melarikan diri dari siang buat apa kita bertanya kepada dermaga tentang perahu jika dermaga hanya menjadi persinggahan belaka buat apa kita bertanya kepada lautan tentang karang jika lautan selalu kehilangan karang buat apa bertanya kepada jalan tentang persimpangan jika persimpangan selalu membuat cobaan buat apa kita bertanya kepada hati jika kita tidak pernah memahaminya buat apa kita bertanya tentang cinta

jika cinta hanya fatamorgana

buat apa itu semua apa hanya jadi bahan cerita atau gagasan melodi drama

19. Panggul, 08 Mei 2011

Anda mungkin juga menyukai