Di suatu perkampungan yang dipenuhi dengan sawah ada sebuah keluarga yang tinggal
secara harmonis. Mereka mempunyai dua orang anak perempuan yang bernama Ita dan Mita.
“Anak kita sudah besar ya bu,” kata Bapak Sutomo, Bapak paruhbaya ini bekerja sebagai
seorang petani di kampung mereka tinggal.
“Iya Pak anak kita sudah besar”, Sahut Hartati sambil tersenyum ke arah suaminya.
Tidak disangka Hartati Istri dari Bapak Sutomo ini orangnya pemarah, dia sering memarahi
anaknya sendiri dengan nada keras dan berkata kasar, karena emosi labil disebabkan
pernikahan muda yang sudah dialaminya membuatnya belum bisa berfikir dewasa sehingga
sering sekali dia memarahi kedua buah hatinya itu.
Berbeda dengan sifat Istrinya Sutomo seorang suami yang penyayang. Pria ini tidak pernah
marah sedikitpun terhadap kelakuan Istrinya yang kadang memarahinya jika dia tidak pergi
ke ladang. Karena Sutomo menyadari Istri yang sudah dinikahinya selama 10 tahun itu terlalu
muda untuk menjadi seorang Istri sekaligus Ibu dari dua anak mereka.
Pagi hari sebelum ke ladang untuk membantu suaminya Hartati harus terlebih dahulu
mengurus keperluan rumah tangga, tetapi semua pekerjaan rumah tangga itu bukan dia yang
mengerjakan melainkan mengandalkan tenaga dari putri sulungnya Ita.
“Ita!!! Ita!!! Kemana sih tu anak dipanggil ga nyahut”, dengan nada marah Hartati terus
berteriak memanggil anak sulungnya itu. Setelah membuka kamar emosi Hartati kembali
memuncak karena anak sulungnya itu masih tertidur dengan lelap.
“Heh bocah pemalas enak-enakan kamu tidur udah jam segini juga ga bangun.” Cepet kerjain
semua pekerjaan rumah ini bentak Hartati dengan nada tinggi.
Karena masih merasa mengantuk Ita kembali melanjutkan tidurnya, hingga Ibunya datang
lagi dan kembali memarahinya.
“Ita kamu ga mau bangun? mau kusiram dengan air? kamu enak ga nyari uang bisanya cuma
minta doang pengen ini itu tapi malas, bodoh kamu!! Cepat bangun!!” sambil menjambak
rambut anaknya.
“Iya bu Ita minta maaf”, sahut Ita dengan nada lirih.
“Maaf katamu? Maaf aja terus sampai mampus!! Cepet kerjain semua pekerjaan rumah ini,
kalau sampai aku pulang dari sawah masih belum beres jangan harap kamu makan hari ini!”
pergi berjalan menuju ladang.
Ita menangis menahan Amarah dalam hatinya dia berkata, “Ibu kamu malaikatku kamu sosok
panutanku tapi kenapa dirimu memarahiku setiap hari seperti ini, jikalau aku salah kamu
seharusnya memberikan aku nasehat dan menyuruhku dengan baik bukan dengan cara
memarahi dan mngeluarkan cacianmu, Ibu aku sangat menyayangimu!”.
Walaupun sang Ibu memarahinya setiap hari Ita tidak pernah merasa dendam kepada ibunya,
dia hanya bisa menangis menahan Amarah saja karena dia tau betapapun Ibu marah
kepadanya itu semua karena salahnya. Mita adiknya yang masih kecil pun kerap dihardik
Ibunya, karena kelakuan nakal yang tidak pernah mendengarkan perkataan ibunya.
Hari sudah Siang orang-orang di ladang sudah kembali satu persatu ke rumah mereka
masing-masing, begitupun dengan Bapak Sutomo dan Istrinya, Ita yang dibantu Adiknya
Mita tengah asyik di dapur memasak makanan untuk Bapak dan Ibunya sehingga tidak
mendengar Ibunya memanggil-manggil mereka di luar.
Benar saja apa yang ada dipikiran Sutomo terhadap kedua anaknya, mereka memang tengah
asyik memasak makanan sehingga tidak mendengar suara ibunya memanggil-manggil.
“Nak, (Ucap Sutomo) keluar sana, Ibumu dari tadi memanggil-manggil kalian berdua”.
Dengan Nada lirih Sutomo menyuruh kedua anaknya keluar karena terlalu lelah Sutomo
akhirnya merebahkan badannya dikasur dekat dapur.
“Baik Pak” Sahut kedua anaknya serempak.
Sebelum menghampiri Ibunya Ita berpesan kepada Adiknya agar jangan kesal kalau nanti
mereka dimarahi sang Ibu. Karena Ita tidak mau sampai Adik kecilnya ini menaruh dendam
kepada ibunya sendiri.
“Dek jangan kesal ya kalau ibu entar memarahi kita”, mengelus Adiknya dengan penuh kasih
sayang.
“Iya Mbak,” sembari menyempatkan senyum.
Dalam hati Ita berkata “ia harus sanggup menahan segala Amarah yang ada dalam dirinya
bagaimanapun juga yang memarahinya adalah Ibu mereka sendiri, Ibu yang sudah
mengandung dan berjuang untuk kelahirannya di dunia. Ya Allah lapangkan hatiku dan hati
Adikku agar tidak ada dendam sedikitpun terhadap Ibuku”.
Sesampainya di depan Ibu, Ita memberanikan diri memulai pembicaraan dengan nada tergetar
karena ada perasaan takut.
“Ibu… maaf, kami tidak mendengar Ibu sudah memanggil-manggil tadi.” Kata Ita.
“Iya Bu Maafin Mita sama Mbak Ita yaa..” Sahut sikecil.
“Kalian berdua memang sering sekali kalau Ibu memanggil lama untuk menjawabnya”
Sambil menjewer telinga kedua anaknya.
“Telinga kalian ini harus dibersihkan biar tidak tuli seperti ini lagi, andai saja Ibumu ini
meminta tolong, kalian lama untuk menjawabnya dan bahkan lama untuk menengok apa yang
sedang terjadi terhadap ibumu, apa kalian tega melihat Ibumu mati? Hah..!!!” Dengan Nada
keras sambil meneteskan Air mata.
“Ibu sangat menyayangi kalian anak-anakku tapi sifat Ibu yang pemarah inilah yang
menyebabkan kalian harus setiap hari terkena omelan Ibu”, Kata Hartati dengan suara lirih.
Melihat Ibu menangis Ita dan Mita lekas memeluknya.
“Ibu jangan menangis Ita tau kok Ibu menyayangi kami berdua, Ibu memarahi kami bukan
karena tak sayang tapi karena kelakuan kami sendiri,” Sahut Ita sambil terisak karena dia
juga menangis.
“Iya Bu, benar kata Mbak Ita Ibu jangan menangis lagi ya.” Pinta sikecil Mita.
Suasana yang menegangkan tadi perlahan berubah menjadi suasana haru, emosi Hartati pun
sudah menghilang, akhirnya mereka bertiga saling berpelukan dan berkasih sayang
sebagaimana biasanya sikap seorang Ibu terhadap anak-anaknya.
“Sudahlah anakku, Kalian jangan bersedih lagi Ibu sudah tidak marah dan Ibu ingin meminta
maaf kepada kalian berdua, karena Ibu sering sekali marah bahkan menjewer kalian seperti
tadi.” Sembari kembali memeluk kedua anaknya.
“Kalian sudah masak tadi?” Tanya Hartati mengembalikan suasana yang semula
mengharukan.
“Sudah kok Bu ayo kita makan sama-sama” Sahut Mita dengan wajah semeringah karena
bahagia sudah bisa merasakan kasih sayang sebenarnya dari sang Ibu.
“Ayoooooo…” Ucap Ita dan Hartati serempak.
Dengan riang mereka bertiga masuk kedalam rumah menuju dapur untuk makan siang
bersama-sama.
“Bapak ayo bangun, Kita makan sama-sama” Ucap Hartati kepada suaminya yang tengah
terlelap di kasur dekat dapur.
“Iya Istriku sayang” Sahut Sutomo sembari bangun dari tempat tidur dan melempar senyum
kepada istrinya.
Akhirnya mereka semua pun menikmati hidangan makan siang yang sudah disajikan kedua
anak mereka dengan penuh rasa syukur.
Dalam hati Ita berkata kembali, “Ya Allah terima kasih sudah memberikan kesempurnaan
dalam hidupku, aku mempunyai seorang Bapak yang penyayang dan penyabar mempunyai
seorang Ibu yang penuh kasih sayang, walaupun sering marah aku tetap sayang padanya.
Karena mereka Bapak Ibu aku bisa hadir di dunia ini. Terimakasih juga Ya Allah engkau
telah anugerahkan kepadaku seorang Adik yang lucu dan pintar seperti Mita, Ya Allah terima
kasih banyak atas semua ini aku merasa hidupku terasa sempurna karena hadirnya mereka di
sisiku”.
“Ibu Bapak semoga kalian sehat terus ya, Aku dan Adik sangat menyayangi dan mengormati
kalian berdua” Ucap Ita memecah suasana hening karena sekeluarga sedang menikmati
makan siang.
“Iya Anakku kalian berdua memang segalanya bagi Ibu dan juga Bapak” Sahut Hartati
sembari melempar senyum kearah suaminya.
Mereka hidup dalam keharmonisan dimana sifat Ayah dan Ibu mereka yang berbeda jelas
sangat menguji perasaan, apalagi sifat Ibunya yang pemarah kadang menyisakan emosi yang
menyesakkan dada. Tetapi meskipun begitu, tidak sedikitpun Ita dan Mita menaruh dendam
terhadap sang Ibu, karena mereka tahu Ibunya sangat menyayangi mereka berdua dan jika
Ibunya marah itu karena kesalahan mereka sendiri.