Anda di halaman 1dari 36

2020/VOL.

5/#SUF

Surat Untuk
Februari
SEBUAH KUMPULAN KARYA

KOMUNITAS PECANDU BUKU


2020/VOL.5/#SUF

Surat Untuk
Februari
SEBUAH KUMPULAN KARYA

KOMUNITAS PECANDU BUKU


SURAT UNTUK FEBRUARI Vol. 5
©Komunitas Pecandu Buku, 2020

Kurator:
Thesa Nurmanarina
Janti Safrudin
Nurul Fadhilah Yaumil
Winda Amelia
Utamy Ningsih

Penyunting:
Annisa Fitrianda Putri
Launa Rissadia
Nurul Fadhilah Yaumil

Proofreader:
Anna Monalisa
Aulia Angesti

Perancang sampul/penata letak:


Anna Monalisa

E-mail:
komunitaspecandubuku@gmail.com
Surat-menyurat atau berkorespondensi adalah salah satu bentuk
komunikasi yang kini jarang dilakukan. Selain karena bertambah
mudahnya orang bertukar kabar melalui aplikasi pengirim pesan
secara  real-time, mengirim surat menjadi hal yang dianggap kuno.
Maka dari itu kami mengajak orang-orang untuk kembali menulis
surat melalui takarir Instagram.
Tahun 2020 menjadi tahun kelima Komunitas Pecandu Buku
menyelenggarakan Surat Untuk Februari. Tema kali ini kami ambil
karena bagi sebagian orang, tahun 2020 diawali dengan hal-hal yang
kurang menyenangkan. "Mewarnai Kembali Langit Kita" menjadi
tema yang dirasa pas untuk mengingat banjir besar, kehilangan, dan
hal lain yang tak biasa. Kami harap dengan membaca beberapa surat
ini kalian bisa menemukan setitik kebahagiaan, atau secercah
harapan di tengah kerasnya hidup.
Kami segenap tim penyusun memohon maaf apabila terdapat
beberapa hal yang kurang berkenan di hati pembaca. Semoga di
Surat Untuk Februari edisi selanjutnya kami dapat terus
memperbaiki kekurangan yang ada.

Selamat membaca, dan Salam Aksara,

(Tim Penyusun)
OLEH

MUHAMMAD NOOR FAUZAN

@bijoyoo

Februari, semenjak kemarin aku menatap berbagai kontras pada lekuk tubuh
kakakmu, Januari. Ia meragi hari demi hari.
Kini hijau tak lagi menggambarkan sesuatu yang teduh. Ia telah menjadi benih-
benih ketamakan yang bergairah fakir. Udara perlahan-lahan memanas menjadi
jingga. Mewabah mengelilingi Tanjungnagara seraya awan abu bertebaran
merongrong pada tenggorokan hingga menjadikanku semakin letih. Seperti zaman
yang selalu berubah, aku menatapi langit, tetapi ia tak lagi identik dengan biru dan
putih.
Atas nama suaka, kita berpesta pora mengumpulkan batu mulia melukisi
perampasan dan menggurui yang lirih. Senyatanya, warta tak lagi menafikan bahwa
1
menjadi berwarna bukanlah alasan untuk berselisih. Kita berbondong-bondong
membenarkan pada satu pandangan pink adalah feminin dan hitam adalah
maskulin.
Semenjak kapan kita menghubungkan antara mejikuhibiniu dan
bombasterwerwit? Apakah semenjak kita menciptakan prisma yang dapat
menggiring pelangi menjadi seloka berwarna tunggal, lalu diterbangkan menuju
padang sahara sebagai upaya untuk memerangi corak yang berbeda? Maka aku
hanya ingin buta warna, pergi meninggalkan pernyataan bahwa musibah
merupakan sebuah azab dan bias merupakan sebuah kebodohan berpikir.
OLEH

SYNTIANI DEVI

@sshinss

Surat untuk Kita,


Untuk yang merasa terpinggirkan oleh dunia maupun pikiran sendiri.
Akhir-akhir ini aku memahami sesuatu. Kehilangan paling bencana selain
kehilangan iman ialah kehilangan diri sendiri.
Hitam pekat yang mewarnai hari-hari, kelabu yang menggantung di langit tempat
menepi, bumi yang kuyup oleh badai tiada henti, anak-anak sungai yang mengalir
deras dari pelupuk hingga pipi. Semua adalah bagian dari setiap hela napas yang
berembus dan makna dari yang masih berdenyut pada nadi.
Tak mudah. Tak pernah mudah, dan adil takkan pernah muncul di sini. Yang
terang akan terus bersinar. Yang gelap akan terus meredup. Yang berwarna akan
2
terus menerima cinta. Yang tak berwarna akan semakin tak kasatmata. Yang
mengetuk akan lelah menyakiti jemarinya yang terus dipukul-pukul ke pintu
tertutup. Yang meringkuk di ruang-ruang paling senyap akan menyerah pada
penantian sia-sia.
Hingga titik ini. Di nadir yang berteman curamnya jurang kenyataan, lihatkah
bayangan di bawah sana? Yang meminta uluran kasih, yang melambai dengan
senyum meski setiap langkahnya tersisih?
Di bawah sana, adalah jiwa yang terendapkan terabaikan. Sisi paling dalam dari
tubuh, yang dibiarkan melawan dunia hingga tak bersisa secuil pun tenaga.
Lihatkah? Itulah aku, kamu, dia, pun mereka. Bagian tersembunyi yang
menyelundup di balik gumpalan awan letih berselimut peluh.
Sedetik saja. Dengarkan bahasa sunyi yang lirih dari bawah sana. Sentuhlah
hampa yang terbata-bata ingin diberi rasa. Coretkan setitik saja warna pada
gelapnya kanvas yang mungkin tak berarti apa-apa di hamparan semesta.
Siapa pun. Siapa pun yang rela berbagi arti pada yang kehilangan separuh,
bahkan seluruh warnanya. Sedikit saja. Warnamu takkan hilang, tetapi hitam yang
telanjur legam setidaknya karenamu ia mengenal setitik terang.
OLEH

YOSEP IRFAN HILMI

@yosepirfanhilmi

Surat untuk Kita

3
Kepada Kita yang punya banyak cerita.
Apa kabar, Kita? Semoga baik-baik saja. Kudengar banyak kejadian yang menimpa
Kita. Kudengar banyak peristiwa yang datang kepada Kita. Kudengar banyak hal
yang ingin Kita bicarakan bersama. Kudengar banyak hal yang mau Kita diskusikan
bersama. Jangan ragu untuk mengungkapkan. Jangan pendam terlalu dalam. Kita
berhak mengutarakan.
Kudengar langit biru selalu melihat Kita. Melihat Kita yang tak pernah berhenti
berjuang. Di tengah segala kekurangan dan ketidaksempurnaan, ia tak pernah bosan
memperhatikan. Di tengah semua kekalutan dan ketidaknyamanan, ia tak pernah pergi
meninggalkan. Di antara semua kehilangan dan kesedihan, ia tak pernah tidak ada untuk
Kita. Jangan malu untuk menangis, jika beban sudah terasa berat. Jangan ragu merasa
sedih, jika ujian sudah terasa sulit. Langit masih menaungi Kita. Langit masih memayungi
Kita. Langit masih setia memeluk Kita.
Kudengar angin berbisik kepada Kita. Ia bilang jangan terlalu khawatir. Ia bilang
jangan terlalu cemas. Ia bilang jangan terlalu gundah. Ia bilang jangan terlalu gelisah.
Bukan hanya Kita yang punya banyak kisah. Bukan hanya Kita yang penuh dengan cerita.
Bukan hanya Kita yang punya segudang drama. Semuanya punya riwayat. Semuanya
punya sejarah. Jangan sungkan Kita berbagi kisah. Jangan segan Kita berbagi cerita.
Kita bukanlah satu. Kita adalah semua. Sudah sepantasnya Kita selalu bersama.
Bersama mengarungi perjalanan kisah dan cerita.
Salam hangat selalu untuk Kita.
OLEH

AKHMAD SYAHRONI

@syahroni23as

Perihal: Surat untuk Kita


(Senja Menghilang Berganti Bintang)
Sore itu langit begitu indah dengan cahaya jingganya yang terhampar di
cakrawala. Saat itu, aku teringat dan termenung memikirkan sesuatu tentang apa
yang pernah kamu tanyakan saat kita bertemu.
"Mas, apakah cahaya senja itu ibarat sebuah harapan yang perlahan akan
menghilang dan apakah sebuah harapan yang indah itu akan menjadi gelap?"
tanyamu lirih seolah-olah ada perasaan hati yang berat.
"Dik, memang benar sebuah harapan itu seperti cahaya senja. Dengan cahaya
jingganya yang indah, ia perlahan akan menghilang. Namun, sebuah harapan tidak
4
akan menghilang menjadi gelap pekat. Ia akan ditemani oleh bintang-bintang kecil
yang membuat harapan tak akan hilang dari cahayanya," jawabku untuk
menenangkan.
Saat itu aku tahu perasaanmu dipenuhi ketakutan apakah semua ini akan
berakhir menjadi cerita dan menjadi sejarah kita. Aku pun sama. Aku juga
merasakan ketakutan seperti itu. Dalam batinku, "Ah, ini hal yang manusiawi.”
Memang, semua orang pasti mempunyai ketakutan-ketakutan dalam hidup, tetapi
kita tak boleh menyuburkan ketakutan itu. Kita harus mematikannya.
Aku tahu jarak menjadi penghalang kita. Aku tahu waktu menjadi penghambat
kita. Aku tahu harapan menjadi angan-angan kita, tetapi kita tak boleh terlarut
oleh semua itu. Yakin saja jika Tuhan menciptakan kita untuk bersatu, kita akan
tetap jadi satu.
Jika suatu saat kamu terjatuh, tangan ini selalu siap membantumu berdiri lagi.
Jika langkahku nanti sudah lelah, izinkan aku pulang hanya pada pelukmu.
Mengingatkan, menguatkan, dan mendoakan adalah peran kita sekarang. Senja
menghilang akan digantikan bintang-bintang.
Bali, 15 Februari 2020
OLEH

AVRELINA YOLANDASARI

@avrelinayoland_

Surat untuk Kita


Tabik,
Teruntuk penerima yang namanya mulai samar di telinga,
namun sering tak sengaja terbaca saat kuselancari dunia maya.
Bolehkan kucuri waktumu sebentar saja?
Karena kutahu untuk mencuri hatimu sudah bukan lagi kemahiranku.
Aku hanya ingin menyampaikan bekas rasa culas yang ingin kuretas hingga tuntas.
Terkasih dalam kisah yang sudah,
mendekap imaji hingga pengap sendiri.

5
Februari kali ini kurang terkendali, kadang gerimis, kadang terik, kadang mendung namun
menyejukkan, kadang deras diiringi guntur, kadang juga rindu meskipun tidak tahu ke mana
harus digugu. Menceritakanmu tidak cukup hanya dalam satu waktu, mungkin jika dijabarkan
akan menghabiskan banyak lembar dan membuat orang lain yang membacanya dirundung
kecemburuan.
Diawali dengan cerahnya langit pada bulan-bulan sebelumnya, tawa-tawa yang tercipta di
antara kita dibalas sengit. Warna-warna yang belum pernah kutemui wujudnya hadir mengiringi
kedatanganmu yang tiba-tiba. Berharap menjadi pelipur lara, namun sekejap terlena
membawaku pada pusara nestapa.
Letupan mengatup, selaksa meredup. Goresan rikuh mendayu-dayu menyukseskan gejolak
hingga merapuh. Temaram, perlahan memadam. Hilang dari pandangan juga perasaan yang
pernah dikumandangkan. Sekelumit pamit berhasil ciptakan kernyit yang menuntun lenyapnya
bait. Kukira kelak kamulah yang akan melengkapinya, cerita panjang yang tak ‘kan usang. Tapi
kamu lebih memilih pulang sebelum bertandang, membangkitkan gamang dalam diriku yang
acap kali terngiang.
Mungkin aku yang terlalu gegabah, tapi bukan berarti momen ini tidak boleh dirayakan dengan
sumringah. Dibelai rinai-rinai berjatuhan pada bulan ini, rasanya sangat egois jika hanya
memikirkan perasaan sendiri.
Hujan yang terus berjatuhan bukan berarti harus dimaknai dengan kesedihan, menyapu
linangan pilu dan menggantinya dengan gelora baru. Mari bersamaku menghapuskan sedu-sedu
yang pernah menyebabkan marcapadamu, marcapada kita semua yang pernah terjebak dalam
perasaan sama pada subjek, waktu, dan tempat berbeda.

Menuju dini hari, 16 Februari 2020.


OLEH

URIPA

@uripa35

10 Februari 2020
Untuk Februari yang basah dan dingin.

Aku ingin merdeka dari segala apa pun, kecuali cinta.


Biarkan stigma, prasangka, dan segala hal berkeliaran. Hal yang paling melelahkan adalah
berpura-pura.
Malam ini hujan mengguyur tanpa jeda sejak sore.
Waktu terasa melambat, juga begitu cepat. Akhir-akhir ini.
Aku tidak mengerti, dunia diliputi tanda tanya dan lorong gelap. Tidak, barangkali bukan dunia
yang kita tempati, tetapi dunia dalam diriku sendiri. 6
Muskil bagiku terbangun dari gelap ketiadaan,
sedang kau selangkah semakin menjauh.
Dunia yang kita tempati penuh dengan kata-kata
atau barangkali tanpa kata.

Kau ingat, aku pernah berkata, "Barangkali, kesepian lebih nyata ketimbang Tuhan." Jalan itu
semakin jauh, tak berujung.
Ada yang hilang, kabur dari pandangan.
Terbata dan sakit, di ruang yang hampa berkabut resah.
Dialog panjang penuh haru, serta gelak tawa kemunafikan menghiasi dinding kenyataaan.
Keraguan adalah kebenaran yang tertunda,
sedang keyakinan berubah menjadi jebakan.

Orang bijak pernah mengatakan bahwa tidak apa-apa mempertanyakan dirimu, keinginanmu,
atau pilihan paling ambisiusmu. Semua orang dipenuhi keraguan dan sebagian dari mereka
pandai dalam berpura-pura. Selalu pertanyakan agar kamu tidak menebak-nebak dirimu sendiri.
Kolong langit semakin menebal. Hitam. Satu episode dalam hidup terlewati.
Malam yang gelap, di sudut matamu yang temaram.
Kenangan muncul menggurita tanpa jeda.
Kau kembali pergi dengan seribu kebisuan, sedang aku diam dengan seluruh pertanyaan.
Selamat malam. Selamat merayakan hujan.
Dariku, untuk Februari.
OLEH

DHEA

@dheamusa

Surat untuk Kita


Halo, Februari.

Di sini aku ingin mengucapkan selamat datang. Mungkin ke depannya akan jadi
hari-hari terberat untuk beberapa orang—yang merasa patah oleh sumpah serapah
dan yang menyesal telah memutuskan hal yang tak mendasar. Terima kasih untuk
merelakan waktumu yang terbuang oleh rasa sakit hati di luar sana. Awalnya, aku
pun merasakan hal yang sama seperti mereka. Dikhianati, ditinggalkan, dan tidak
diacuhkan oleh orang-orang yang kuharap bisa memberi warna indah setelah hati
ini hampir patah. Aku masih di sini, dengan 'aku' yang sama. Tak ada satu pun yang
7
bersama, berjalan beriringan. Namun, aku bisa berdiri sendiri tanpa harus
mendorong yang lain jatuh.

Halo, Kamu.

Hari ini kamu luar biasa. Bisa melewati waktu terberatmu dengan tenang dan tawa
yang masih mengembang. Aku percaya, suatu saat apa yang kamu inginkan akan
tercapai. Memang berat pada awalnya. Aku ikut senang kalau kamu selalu bahagia.
Jangan pernah beri bulan lahirmu dengan kekecewaan yang masih mendalam.
Kamu hebat. Kamu kuat. Jangan biarkan 'lampu merah' di hadapanmu membuat
langkahmu terhenti begitu saja. Aku berharap kamu bisa selalu sehat tanpa ada
kekurangan apa pun. Selamat bulan lahir.
OLEH

ANGGIE RIZKI

@ayambauang

Badai datang seenaknya tanpa tahu nadir sedang menjelma di kehidupan masing-
masing kita. Petir menyambar sana sini dan fondasi yang kita bangun dengan
pelangi luruh perlahan.
Kurapal kesempatan surat hari ini untuk kita yang genggamannya tak lagi erat;
yang sekatnya menjadi seluas Atlantis; yang egonya sedang meraja.
Aku paham, aku pergi terlalu jauh; kita pergi terlalu jauh, bahkan tanpa sedikit
pemikiranku untuk pulang. Maaf hanya menjadi sebuah kata tanpa nyawa, tak ada
makna di sana. Berdamai dengan kita adalah satu cara untuk berdamai dengan diri
sendiri.
Tahun yang baru, baru saja dimulai. Kenapa kita malah hampir usai?
8
Rumahku hilang, pulangku jangan. Kita memang sering berselisih pada setiap
temu berkesempatan mampir, tetapi selalu berakhir dengan gelak tawa yang
mengikat. Kali ini, saat selisih mampir dengan keseriusannya, apa gelak tawa itu tak
mau mengikat lagi? Tak maukah panjang umur kita?
Pikiranku pernah berkelana tentang setiap kepala memang akan punya hidupnya
masing-masing, tetapi kelanaku berujung pada kalian adalah kehidupanku juga.
Badai mungkin datang lagi, tetapi badai kali ini adalah warna baru di pelangi milik
kita. Semoga hari ini, kita mulai lagi mewarnai langit yang abu kemarin.

Tertanda kawanmu,
Anggi
OLEH

DJO

@jsarjono07

Teruntuk, Aznur.

Februari datang bersamaan dengan engkau yang pergi untuk menuntaskan rasa
yang berbeda.
Terima kasih, engkau berkenan dekat, sedekat fajar menjelang subuh; engkau
berkenan ada, sesayang matahari di ujung cakrawala; juga peduli, seperti kabut
menyelimuti pagi.

Maaf, jika suatu saat kedua tangan puih ini tak sanggup merangkulmu ketika letih;
jejak kaki yang tercipta dari langkahku tak mampu menuntun untuk menunaikan
9
hajat malammu.
Kelak, jika tangan dan kakiku yang tak ada di hadapanmu saat kau memuliakan
Tuhan.

Aku harap dia adalah seorang imam hadiah kesabaran.

Namun, jika yang kau dengar saat lafal Takbiratul Ikhram itu adalah suaraku. Saat
itu aku berusaha mengangkat derajatmu, derajatku, orang tua kita, keluarga juga
saudara. Aku ingin kau mengamini dengan khidmat, meski mungkin suaraku
sedikit tersendat.

Terakhir, apa pun kehendak-Nya, semoga Tuhan memberi tanda titik terindah di
akhir kalimat 'kita'. – Djo
OLEH

VANNY ANNISA

@vanny_annisa

Surat untuk Kita

Aku kembali di bulan Februari tapi tidak dengan kita. Tentang kesalahan yang lalu, 10
sepertinya kian nestapa berharap ada celah untuk kembali memulai, terlalu
berharap sepertinya pantas sekali bersanding bersama, meminta kesempatan
namun ada kisah lain.

Secepat itu? Tidak perlu mengingat yang lalu namun hari-hari yang dilalui tak
sebentar, lantas lupamu singkat sekali sedangkan sedihku berlanjut di hari-hari
esok.

Masih di tempat yang sama, masih pekat terasa, lelah meminta kembali, aku tahu,
hati sudah banyak mengecam buruknya isi kepala atau hanya aku yang merasa
sedangkan kamu dengan riang melangkah pasti tanpaku. Begitu sulit rasanya
mengucap salam jika tidak mampu bertatap kirim saja surat, jika sudah tidak ada
lagi yang menulis surat perpisahan temui saja di malamku.
Jika menghilang bisa melupakanmu ajari aku cara menghilang tanpa harus tiada.
OLEH

DWIKY MEIDIAN

@@__dwk__

Surat untuk Kita

Kamis kembali datang. Membawakan perangai luka yang telah hilang. Menyadur
lapisan kata, akibat semakin runyamnya cinta tanpa rasa kecewa.

Mencoba di tiap terjalnya hati yang terus berlari, agar segera termiliki. Sampailah
pada cinta yang merangkak pada rasa kebosanan, mematahkan hati seseorang, lalu
kembali melanjutkan perjalanan.

Angin sore bersenandung dengan gemulai, sementara rindu masih bingung mencari
11
pemiliknya.

Tiada lagi kekasih, hati tertusuk belati yang telah dibubuhi puisi. Hati-hati pada
hati yang tak mempunyai rumah singgah. Ia bebas pergi tanpa merasa bersalah.
OLEH

HERVAN

@hervanisme

Bandung, 13 Februari 2020


Surat untuk Kita

Saat sedang sendirian di kamar atau balkon rumah, aku duduk melamun, asap yang
keluar dari mulut aku keluarkan pelan. Rasanya banyak sekali yang sudah kulewati,
ribuan jalan telah berhasil kulalui. Hingga akhirnya aku sampai di titik ini.
Jika aku punya 1 permintaan, aku ingin punya kekuatan untuk pergi ke masa lalu,
untuk pergi ke versi lebih mudaku. Aku ingin pergi mengunjunginya, aku akan
banyak bercerita dan menemaninya saat ia ada di titik terendahnya. Memberinya
wejangan dan beberapa petuah yang akan dipegangnya.
12
Aku mengerti betul saat itu mungkin ia sedang kesusahan dan pusing bukan
kepalang. Aku akan menyemangatinya, memeluknya, dan memberikan apresiasi
juga ucapan terima kasih karena mampu bertahan sampai di titik itu. Tak lupa aku
akan memberi tahu bahwa banyak sekali masalah yang akan dihadapinya, tapi ia
akan mampu bertahan walau sedikit hancur seluruh badan tapi ia akan berhasil
selamat sampai sekarang.
Terkadang aku pun memikirkan masa depan, dua atau lima tahun dari sekarang.
Saat itu aku sedang duduk sendirian dan memikirkan lamunanku yang sekarang,
mungkin aku di masa depan juga ingin kembali pada masaku yang sekarang untuk
memelukku dan memberi tahu padaku bahwa aku akan baik-baik saja.
Sekali lagi aku akan berhasil dan itu akan cukup dan selalu cukup.
OLEH

ENGGAR MELATI

@enggarmsw

Surat untuk kita,


di bulan penuh cinta.

Februari, yang katanya dipercaya sebagai bulan penuh cinta. Namun, apa iya hal itu
berlaku padamu?
Februari, adalah waktu di mana orang-orang merayakan kasih sayang. Tapi kau
justru malah merasa kehilangan.
Februari, ia juga tentang datang dan pergi. Seperti mentari senja yang
13
meninggalkan langit, hingga ia lenyap digantikan oleh gelap malam.
Kini Februari-ku dan Februari-mu tidak lagi sama, kita sudah berjalan dengan
masing-masing tujuan. Bila dulu bertukar tawa dan bernyanyi bersama, sekarang
berubah menjadi seonggok kenangan yang entah kau masih mengingatnya atau
tidak.
Sebab pada dasarnya hidup ini tentang perjalanan. Bagaimana awal mula
kaumulai menjalani hingga waktu terus bergulir menjadi sesuatu yang nantinya
akan dirindukan. Semua tentang pertemuan dan perpisahan. Begitu juga hal
tersulit untuk memilih adalah meninggalkan atau ditinggalkan. Aku yakin tiada
orang yang menginginkannya. Tetapi itu semua seakan sudah menjadi bumbu
kehidupan dan kau cuma bisa merelakan.
Tak apa, perpisahan bukan akhir dari segalanya. Kita telah sampai pada titik
penghabisan. Kita ini sebenarnya sedang singgah atau sedang menyiapkan sebuah
perpisahan? Sebenarnya tidak yang benar-benar berpisah setelah ini. Kita hanya
sedang mempersiapkan sesuatu yang baru untuk digapai ke depannya.
Tetaplah menjadi kau yang seutuhnya. Jangan mau kalah dengan langit kelabu,
karena kau juga bisa cerah seperti langit yang mencintai matahari.
OLEH

IKA FERADILLA

@ikaferadilla

Surat untuk Kita

Pagi itu cuaca yang cerah berganti mendung.


Bukan karena akan turun hujan.
Melainkan bendungan air mata yang telah siap untuk tumpah di pipiku.

Pagi itu aku melepasmu.


Kembali ke penciptamu.
Kau yang telah usai menjalani tugas.
Aku yang mau tak mau melanjutkan hidup tanpa kasih sayangmu.

Pagi itu kali terakhir aku melihatmu. 14


Salam perpisahan kelu terucap dari mulutku.
Hati ini hancur ketika kain putih menutup wajahmu.

Pagi itu tak pernah terbayang dalam hidupku.


Seakan ingin ku hentikan waktu.
Agar kau tetap selamanya di sisiku.

Pagi ini selayaknya pagi sebelumnya.


Sudah ku tambal sulam hati agar tak nampak lukanya.
Tertutup rapat agar tak tampak rapuhnya.

Pagi ini berbeda.


Meskipun di tanggal yang sama seperti waktu aku kehilanganmu.
Kini ada dia, seseorang yang lebih awal menyapaku.
Dan meyakinkan semua akan baik-baik saja tanpamu.

Pagi ini aku telah siap memulai hari baru.


Bersama dia yang menjanjikan harapan baru.
Karena dia yang akan mengubah awan mendung menjadi awan putih yang berarakan
menjelang hari baru.
Dan dia pun bersedia mewarnai kembali langit kita yang pernah kelabu.
OLEH

ARDANIA INDAH

@ardaniaindahc

Surat untuk Kita

Bagian dua dari dua belas.


Pikiranku kalang kabut, dijejali berbagai macam frasa dari mulut yang berbeda. Seolah-
olah berusaha mencampuri kehidupanku di masa yang akan datang. Namun, diri ini
mempunyai mimpi dan sesuatu yang disukai. Lucunya, mereka bilang hal itu tak berarti
sama sekali, padahal beberapa langkah lagi diri ini dituntut, bukan dituntun.
Selama ini aku bersembunyi. Menumpahkan jutaan kata yang tak terucap di lembaran
kertas. Melibatkan diksi-diksi indah dengan makna tersirat. Merasa hidup di tanah
antah-berantah dengan hak bicara di tepian jurang.
Kini, aku akan menjadi tuli untuk saran yang tak sesuai. Menjadi bisu akan hal yang
15
tak harus ditanggapi. Namun, tak akan buta hanya karena sesuatu yang tampak berharga.
Teruntuk dini hari dan Februari, terima kasih telah membuatku sadar setelah sekian
lama mencurahkan harapan. Memilih keluar dari persembunyian agar tidak melewati
waktu yang akan datang dengan terkekang. Berusaha melangkahkan kaki di kala fajar dan
senja tanpa dasar keterpaksaan.
Wahai jiwa, mengeluhlah secukupnya.
Wahai raga, kuatlah di tengah terpaan.
Wahai hati, bersabarlah sebentar lagi.

Jumat, 14 Februari 2020


OLEH

PRITA MEIDA

@pritameida

14 Februari 2020
Surat untuk Kita, yang sedang berusaha berdamai dengan luka.

Apa yang kaurasakan ketika memandang langit sore yang cerah? Setiap orang tentu
memiliki perasaan yang berbeda. Bagiku, hangat. Seperti aku menemukan kembali
serpihan bahagiaku yang hancur di masa lalu.
Beberapa orang memandang masa lalu dengan rasa sakit dan kesedihan. Aku pun
terkadang begitu, dan bila dua perasaan itu hadir, aku segera menemui sahabatku
sejak dulu; langit.
Seperti kataku sebelumnya, perasaan hangat akan datang kemudian memberi
16
tenang. Entahlah apakah ini bekerja untuk setiap orang, atau hanya karena aku
telah lama mengenal langit. Aku terbiasa memandangnya, dalam keadaan apa pun.
Aku terbiasa berbicara dengannya. Sedihku, sakitku, bahagiaku, langit tahu
semuanya.
Ada hal-hal yang terkadang tidak bisa kau bagi dengan sesama makhluk berakal,
bukan? Ada hal-hal yang terkadang ingin kauceritakan tanpa butuh jawaban.
Setiap orang pasti memiliki caranya sendiri untuk menyembuhkan luka. Ah,
mungkin aku salah. Bukan menyembuhkan luka, tetapi meredakan rasa sakit
karena sesekali rasa sakit akan kembali muncul tanpa kita duga, meski kita
menganggap telah sembuh dari luka.
Tak perlu khawatir. Seperti yang selalu orang bilang, "Luka ini akan membuatmu
kuat di masa depan. Luka ini akan membantumu tumbuh menjadi dewasa." Semoga
luka ini kelak kau nikmati dalam rasa damai bersama secangkir teh hangat dan
langit sore yang jingga.
OLEH

ALPIN MAULANA

@@apiinnnnnnn

Surat untuk Kita

Duduklah sejenak, ini tahun yang sulit. Surat ini aku tuliskan dengan segala
penderitaan. Dua puluh empat purnama seseorang lari dari kota ke kota, cinta dan
luka ada dalam tubuhnya. Kau berpikir aku bodoh, kau berpikir aku buta, kau
berpikir aku gila. Apa kau pernah sedikit memikirkanku? Tidak. Kau tidak perlu
memikirkanku. Sulit untuk seseorang melihat cinta dari isi kepala.
Kau tahu, mencintai tanpa diakui adalah keberanian yang salah, tetapi darimu
aku menemukan warna cinta; tidak hanya hitam dan memar. Aku mencintaimu
17
setiap bulan, setiap hari, dan setiap kali kau menyakiti. Aku tidak menangis
ataupun pergi karena mencintaimu adalah sakit yang tak ingin kutemui sembuh.
Apakah ada hal yang lebih buruk dari mencintai tanpa memiliki? Apakah ada hal
yang lebih menyedihkan dari perpisahan? Aku mencintaimu dan aku tahu
semuanya. Apa aku mampu melihatmu menangis sendirian dalam keramaian? Apa
aku mampu melihatmu tersenyum dengan orang-orang asing? Itu menyakitkan,
tetapi aku tak pernah tahu penyebabnya.
Terlalu banyak hal-hal bodoh yang membuatku belajar. Terlalu banyak pelarian
yang membuat aku tahu bahwa pulang adalah hal yang paling dirindukan. Terlalu
banyak yang mematahkan sampai akhirnya aku tumbuh dan luka-luka. Aku tidak
akan membawamu pada hari-hari baru.
Sekarang aku pergi, dan aku tidak ingin menjadi tanah luas yang ditumbuhi
rumput-rumput subur tanpa ada bunga yang tumbuh. Aku tidak ingin menjadi
gelas pecah yang alangkah mudah diisi. Namun, mustahil penuh.
Aku akan menemukan mata-mata baru di mana kata-kata akan tumbuh dengan
begitu subur, dan cinta, dia selalu memberikan warna-warna baru bagi
pemeluknya. Terima kasih. Jaga dirimu baik-baik. Sebagaimana aku menjaga
dirimu dengan baik.
OLEH

NURDIN FAISAL

@id.catatankecil

Surat untuk (Semesta) Kita

Aku kembali melangkah dari satu kota ke kota lainnya, dari pulau satu ke pulau lainnya,
dari tempat satu ke tempat lainnya. Semua hal yang kutemui hanya kembali membawaku
mengingat tentangmu; tentang langkah pertama yang kupaksakan untuk menjauh. Tak
ubahnya hanya sebuah kesia-siaan jika di langkah yang sejauh ini kau masih saja menjadi
apa yang pertama kali kuingat sebelum tidur dan selepas bangun.
Aku tak mau menyalahkan keadaan, siapa pun, atau apa pun perihal takdir yang
sekarang menjadikan kita asing. Aku pun takkan mempermasalahkan apa pun, perihal
bagaimana semua ini terjadi. Namun, di sini, pada kesempatan ini berilah waktu
untukmu melihat dan membaca surat ini dengan hati.
Bagiku, pertemuan kita adalah sebuah takdir yang paling kusuka saat mengingatnya.
18
Perihal kau yang tiba-tiba menjauh, aku hanya mampu berjuang sekuat itu. Sekuat yang
aku bisa sekalipun di akhir aku diam, mengalah, dan mencoba mengambil langkah
menjauh. Yang perlu kau tahu bahwa langkah itu adalah langkah yang kupaksa. Yang juga
harus kau tahu bahwa pilihan diamku ini adalah caraku untuk meneriakkan namamu
dalam sunyi yang terbalut doa.
Kelak jika kautemukan surat ini dan tahu tentang sekeras apa aku memperjuangkanmu,
percayalah bahwa masih ada hati yang tetap menjaga namamu untuk tetap ada di
dalamnya; masih ada hati yang merindukan segala hal tentangmu; masih ada hati yang
tetap melangitkan doa dan harapan baik untuk semestamu.
Dengan senja di sebuah pantai di pulau ini kutulis surat. Tersemat semua ingatan dan
kenangan baik tentang kita, juga beberapa rindu yang selalu saja kupaksa untuk bisu. Di
akhir semua kata ini, ada maaf untuk ketidakmampuanku merawat hal-hal baik di antara
kita dulu. Juga terima kasih telah memberiku kenangan baik. Semoga aku pun mampu
memberi kenangan baik dalam hidupmu.
Pada bulan Februari, bulan kasih sayang ini, aku hanya berharap semua takdir di
semesta kita dihiasi hal-hal baik. Jika kelak kita dipertemukan lagi, selalu ada lengan yang
sangat dan teramat sangat ingin memberimu peluk kembali.

Dari aku, yang pernah ada di semestamu.


OLEH

NOVI MASYANTI

@nmasyanti

Ada haru yang tak bisa dibagi


Begitu pun rindu yang bercengkerama sendiri
Setelah pisah yang berlarut menenggelamkan banyak kenangan
Berbagai dukungan berganti menyapa di setiap sudut jalan
Terima kasih banyak orang-orang baik
Berbahagia untuk apa pun yang sedang kalian usahakan

Kata mereka, yang silih berganti menguatkan


Entah besok siapa pun yang akan pamit lebih dulu
Tetaplah berhati besar
Karena diri sendiri yang melahirkan tegar
19
Kata mereka lagi, berbagi bukan berarti berkeluh kesah setiap hari
Tetapi sambut untuk mendengar dan didengar selalu jadi topik hangat untuk mengulang hari
Dan lagi, selalu ada usap tangan yang siap menenangkan pundak
Jika deru napas sudah tak lagi tegak

Jangan lupa berterima kasih pada Tuhan


Atas segala yang semesta beri padamu hari ini

Meski sekarang, segalanya yang pernah takkan terulang


Menyambut tangan-tangan hangat setiap menuntaskan petualangan
Menatap mata paling teduh yang hanya mereka punya
Bercengkerama sedari temaram hingga malam menggerayang
Bertukar cerita paling biasa. Namun, menenangkan seisi jiwa
Aku pernah, dan kini tidak lagi

Biar waktu yang sembuhkan, dengan pertemuan-pertemuan baru setelahnya


Dan semoga kutemukan kamu
yang tahu bagaimana riuh ditenangkan tulus
Direngkuh dalam-dalam, diberi ketenangan
Meski aku diseret banyak jeratan luka
Tetapi sediamu menuntun tanpa paksa
Aku mau kamu.
OLEH

MASLUHAH JUSLI

@lukjsly

Kepada kita,
yang menunggu di bawah pohon belimbing wuluh yang kita tanam Agustus lalu

Kau pernah bertanya suatu kali,


Bagaimana wajah Indonesia jika dilihat dari dekat?
Apa ia seperti yang dikisahkan nenek moyang kita dahulu?
Apa ia sama seperti yang kita bayangkan ketika melihat tayangan televisi?

Indonesia adalah darah, Sayangku. 20


Ia berwarna merah.
Merah melambangkan keberanian, orang bilang seperti itu.
Dan kita tetap memercayainya sampai sekarang.
Merah adalah darah, merah adalah perlawanan, merah adalah cinta.
Apa ada hal lain yang lebih penting dari cinta?

Pernah kaudengar, Sayang?


Kita adalah salah satu bangsa paling ramah di dunia.
Orang-orang akan bercerita kepada kita.
Seakan kita adalah satu-satunya perempuan di dunia yang membuatnya jatuh cinta.
Lalu, kita lupa seperti apa?
Kita lupa pada wajah kita sendiri.

Kadang aku berpikir, apa hari esok akan lebih baik dari kemarin?
Dan tiap kali begitu, seperti biasa kau akan menceramahiku,
“Seorang teman pernah berkata, mengutip kalimat dari L.M. Montgomery, penulis
Anne of Green Gables, “Bukannya indah kalau kita pikir besok adalah hari baru
yang belum ada kesalahan apa pun di dalamnya.”.”
Aku akan jatuh cinta lagi kepadamu. Setiap pagi, setiap hari.
OLEH

NURUL ULYA

@___nuya

Surat untuk Kita

Maaf. Salam sapaan seakan hilang dalam memori ingatan. Satu-satunya yang ingat dan
ingin aku tuliskan pada pembukaan surat ini hanya 'maaf'.

Teruntuk ayahku di masa lalu, masa kini, dan kelak di masa depan.

Mungkin aku memang tidak tahu perihal beban pada pundakmu yang seminggu lalu
baru kusadari kian hari tampak tak lagi sekuat dulu. Entah beban macam apa yang saat
ini tengah kaupikul dengan penampakan yang begitu kuat. Entah sebanyak apa praduga,
pertanyaan, dan ketakutan yang kini sedang bersarang dalam kepalamu.
21
Sedang aku, sibuk dengan segala ingin yang setiap hari dengan susah payah harus
kauwujudkan. Mengantarkanku pada langkah yang amat jauh dari rumah tanpa kau
pernah ikut dalam langkah-langkah ini, kecuali dalam bentuk doa dan materi yang setiap
hari berusaha kaucari. Sudah banyak tahun berlalu, dan membawaku pada titik ini. Sadar
bahwa aku masih saja anak kecil yang tidak bisa apa-apa tanpa peluhmu di sana.
Maaf untuk segala inginmu yang harus ditahan karena keinginanku. Maaf untuk segala
sabarmu yang tidak akan pernah bisa aku bayar. Maaf untuk segala letihmu yang tidak
bisa aku uraikan. Maaf untuk banyak hal yang masih aku lakukan padahal sudah
kaularang.
Dalam surat yang tidak akan pernah kaubaca ini, aku hanya ingin mengatakan bahwa
aku teramat menyayangimu. Sangat.
OLEH

AMALIA NUR AZIZAH

@amalianurza

Pesan ini bagi kita, bagiku, juga bagimu.

Untuk diri yang sedang berjuang dalam rapuh, mungkin sangat berat bagimu untuk
bangkit dari luka dan duka yang saat ini menjengukmu.
Didera pilu yang tiada habisnya, menyita keceriaan yang selama ini kamu rawat
baik-baik dan menyamarkan canda dan tawa yang selama ini kamu jaga.

Dan saat ini, bahkan rasanya sangat kepayahan untuk sekadar berdiri.
22
Tiada yang mampu dirasa selain sesak dan perih yang datang kapan saja, terutama
dini hari ketika jasad dan jiwa sedang ringkih-ringkihnya.

Rasanya hanya terlelap dalam tidur yang mampu jadi tempat pelarian terbaik,
meskipun sementara hingga pagi menyapa lagi.
Bangun, dan berusaha menyadari bahwa keadaan tak bisa terus seperti ini.

Bangkit, meskipun sakit.


Bangkit, meskipun tertatih.
Bangkit, meskipun sedikit demi sedikit.
Berjalan terus, langkah demi langkah.
Meskipun kita tak kunjung tahu akan ujungnya.

Berjalan, sekuatnya.
Hingga Tuhan menyampaikan maksud-Nya.
OLEH

WAHYU PANGESTUTI LESTARI

@waylestari

Surat untuk Kita

Untuk seseorang yang kehilangan dirinya sendiri, aku pernah mengatakan padamu bahwa aku
sedang mencari rumah.
Ketika kau berbiak di dalam kepalaku, lalu teriak menjelma jadi bisik yang lebih menyesakkan
dari pekik, aku tetap sibuk memikirkan cara menemukan rumah. Ketika kita tersentak, sadar
telah mendekati maut, gemetar melangkah mundur takut-takut, mataku justru menerawang
membayangkan rumah.
Lalu, saat kau menghilang, meninggalkan kepalaku dalam lengang, aku pura-pura menikmati
kekosongan yang meringkusku. Meski sebetulnya kau tahu, aku masih saja merindukan rumah
yang keras kepala kucari-cari itu. Tapi sekarang, tidak ada lagi jarak yang perlu diarak, sakit
yang perlu dirakit, atau ketidakacuhan yang perlu diributkan. Kau tidak lagi sendiri, aku tidak 23
lagi pura-pura tuli.
Bila nanti kau ingat lagi laki-laki tak berwajah yang memotretmu di atas sofa, lalu
mempertanyakan lagi kesucian yang tak diingat sebab usiamu saat itu pun belum genap lima,
aku di sini memelukmu.
Bila suara lelaki yang kau cinta, terngiang lagi memintamu menutup bekas luka di kedua
lenganmu, aku di sini membantumu menutup telinga. Mengingatkanmu tentang kekuatan yang
disimpan luka-luka itu.
Bila jerit perempuan berambut merah menghancurkan lagi sisa kepercayaan diri yang kau
punya, aku akan menggenggam erat tanganmu. Menceritakan pencapaian-pencapaian kita tiga
tahun berlalu.
Mari kita rengkuh jalan hidup kita sendiri. Semua ekspektasi-ekspektasi yang dijejalkan orang
di masa lalu itu, mari kita cerabut sampai ke akar, lalu kita biarkan habis terbakar.
Sebab, meskipun hidup kita seperti mimpi buruk tanpa usai, yang berputar-putar dalam
lingkaran tak berujung yang tidak pernah selesai, kau telah mengusahakan segala yang paling
baik.
Kita telah begitu lama kehilangan diri sendiri, tapi akhirnya aku menemukan rumah.
Rumahku. Rumah yang begitu frustrasi kucari-cari.
Prosesku mencintaimu adalah rumah, yang padanya kepulanganku telah kutunda berpuluh
tahun lamanya.
Terima kasih, Sayangku. Diriku di masa lalu. Beristirahatlah dalam rona senja itu. Aku sudah
mencintaimu.
OLEH

DYAH AYU MARETA NURAINI

@deeayu28

Surat untuk Kita


Halo semesta,
Februari tanggal enam belas, surat ini kutulis dengan tulus, teruntuk kita yang sedang
berserah.
Halo, apa kabar? Kita yang pernah saling menatap namun tak pernah berani menetap,
masih mampukah kita saling tersenyum ketika bertemu nanti.
Bagaimana dengan sisa-sisa luka yang pernah kita tancapkan ke hati kita masing-
masing. Masih berbekaskah? Atau lukanya sudah mulai memudar. Ah, kita memang
selalu pandai perihal mengobati, apalagi luka sendiri. Kita tahu kalo nyaman itu tercipta
karena saling terbiasa, sedangkan kita terbiasa untuk apa? Saling bertemu? Sudah pasti
jawabannya jarang sekali bisa dihitung pakai jari, kalau bukan semesta yang selalu
menuliskan skenario pertemuan-pertemuan tak terduga kita, sudah bisa dipastikan kalau 24
kita tak mungkin bisa saling bertemu, karena apa mencuri waktu kita amatlah sulit.
Bagaimana kabar rindu itu? Apakah kita akan saling memecahkannya Bersama? Kita
saling merindu tapi tak pernah berani untuk mengaku. Lagi-lagi ego kita terlalu besar
untuk sekadar bilang rindu. Tapi kita saling percaya doa-doa yang sering kita sematkan
seusai salat menjadi pengobat rindu itu sendiri.
Kita beberapa kali pernah mendiskusikan, bagaimana jika kita nanti akhirnya tak
bersama? Jawaban yang sulit untuk kita jawab. Tapi ada yang selalu menenangkan,
“Kalau nanti kita tak bisa Bersama, tak apa yang penting kita sekarang sudah bersama,
tak perlu kita risaukan yang nanti-nanti.Biar Tuhan kita yang ambil alih perihal itu.” Doa
kita masih sama, bukan? Semoga kita terus bersama sampai surga.
Hari ini, kita sama-sama sedang berserah. Berserah bukan menyerah. Kita sedang
menjeda, bukan perihal rasa tapi lebih ke perihal arah. Setelah jeda ini usai apa yang akan
kita lakukan? Memulai hal baru dengan orang baru? Atau melanjutkan yang sudah
pernah ada?
Di antara jutaan doa orang lain di pengujung malam, semoga doa-doa kita saling
bertemu bukan sekadar saling bersinggungan. Meskipun kita tahu, kita hanya mampu
berencana, Tuhan kita yang menetapkan.

Rembang,
Tertanda pemilik tawa receh.
OLEH

RILAN DARI

@rilandari_

Surat untuk Kita

Untuk aku dan kamu yang sama-sama sering menghela napas panjang perihal
kehidupan. Yang diberi jalan terjal penuh rintangan. Dan akhirnya sadar bahwa
kita ditakdirkan menjadi seorang pejuang.
Ini untuk peluhmu yang terkuras utuh, dengan jerit bersimpuh keluh. Tentang
kata menyerah yang sudah di ujung lidah, tapi yang bisa dilakukan hanyalah tabah.
Tuhan mengamati di teras bumi, katanya kita orang terpilih yang bisa mencecap
poros bumi. Bukan tak cinta, tapi proses panjang agar langit memiliki makna.
Abu hitam sudah menjadi dasar, kelana ini harus tetap ada. Patah ranting bukan
25
hal jatuh kemuning, itu hanya penyelarasan riuh angin.
Semesta tak ingin distereotipi, dia sengaja membisu agar tak ada spekulasi saru
apalagi seru. Berjalan dan nikmati itu yang dia ingini, karena janji pelangi sebelum
ilalang kering tak akan ia ingkari.

Alam Semesta, 16 Februari 2020


Rilan Dari
OLEH

NAWANG RIZKY

@nawangrizky

Surat untuk Kita

Tahun baru. Cuma Netflix, selimut, dan aku yang tak punya rencana. Sementara
pacarku sedang bersama teman-temannya. Mungkin bakar ayam malam-malam,
mungkin bersenang-senang menghitung mundur waktu.
Aku yang iri mengonfirmasi, kamu sedang apa? Evakuasi warga, katanya.
Hujan seharian. Tanggul jebol. Rumah warga disapu banjir beberapa jam sebelum
terompet ditiup, sebelum teriakan tiga dua satu selamat tahun baru. Ada pacarku
yang malam itu memakai celana pendek dan sandal jepit, menghabiskan malam
26
tahun baru tidak dengan terompet, tetapi sirene. Sibuk evakuasi warga.
Tahun baru sekaligus anniversary kami, dan ucapanku cuma sepatah kata, hati-
hati, ya. Kalau besok santai, kita jalan-jalan, balasnya. Ucapan yang lebih banyak
berisi mimpi ketimbang janji. Ingin yang tak jadi, tanggal satu di tahun baru ia
mesti pergi ke Bekasi. Di sana banyak warga yang butuh bantuan juga. Untuk
kemanusiaan, katanya.
Barangkali keliru, tetapi aku punya segudang syukur setelah mendengar ceritanya
bekerja. Ternyata bisa tidur nyenyak, berselimut hangat, punya tempat tidur dan
atap adalah karunia. Punya tubuh sehat, punya baju dan sepatu, bisa tertawa, tanpa
khawatir besok makan apa adalah harta. Bisa menjadi orang yang menolong dan
bukan butuh ditolong ternyata hak istimewa.
Betapa kita, orang Indonesia, yang saat ini baik-baik saja dan dianugerahi darah
ulung bersyukur ternyata pusaka.
OLEH

ZUHR

@zuhr_

Masih ingatkah engkau tentang riak, ia kini telah menjelma menjadi ombak. Yang
pasang, bergelombang, silih datang, membawa ke tepian. Namun, tetap mampu
menenggelamkan.
Engkau yang telah lama terbang, mungkin sudah lupa. Tak mengapa. Dengan
surat ini aku hanya sekadar mengingatkan, bagaimana aku bertahan: menahan
napas, tersedak, terapung, terombang-ambing, timbul tenggelam, taktentu tujuan,
tanpa haluan.
Jika aku telah mati, kuharap jasadku terurai, menyaru bersama biota dan asinnya
air laut. Terhirup dalam insang tiap ikan mungkin akan lebih menyenangkan.
Lebih baik ketimbang menjadi bangkai busuk di bibir pantai atau ditemukan
27
nelayan tersangkut di celah-celah karang.
Kuharap engkau menerima bagaimana aku mengetahui akhirku dan
menjadikannya nyata. Bukan salah siapa-siapa. Hanya saja supaya engkau tak perlu
bersusah payah menggali dan menguburku kembali.
Karena awalku bukan debu, aku tak ingin akhirku menjadi hanya sekadar
tumpukan abu.
OLEH

R. RAMA RIYAN JAZULIA

@ramariyaan

Surat untuk Kita

Bacalah surat kecil ini ketika kau sedang mengaso merebahkan tubuhmu di atas
kasur setelah seharian lelah mengurusi rutinitasmu.
Perkataan adalah doa, maka aku buat tulisan ini untuk kita baca bersama-sama.
Kata per kata yang menjadikannya mantra, yang tak akan usang dan abadi sampai
di kemudian hari.
Karena jarakmu yang jauh denganku, yang terbentuk oleh takdir, orang-orang
sampai jatuh karena lelah tertawa tergelak-gelak tak percaya. Mengira bahwa
ikatan yang kita cipta hanyalah salah satu kelakar buatan dariku atau darimu.
28
Padahal kita tak pernah sebercanda itu dalam hal mencintai. Kita tak akan pernah
roboh hanya karena bualan kosong tak bermakna.
Jangan kau pernah hilang harap kepada kita di esok lusa. Karena aku masih ingin
menikmati sedapnya mie kuah telor bersamamu di warung favorit kita,
menuntaskan film-film terbaru di dalam bioskop, menemanimu menyelesaikan
kumpulan target yang harus kau selesaikan dan mewujudkan perjalanan-perjalanan
luar biasa yang pernah kita rencanakan berdua.
Tanggalkan cemas, takut, dan ragu di langit-langit bumantara agar tak terjamah
oleh tangan-tangan kita. Dan kelak, aku akan terbang berdua denganmu, menuju
rumah ibu dan ayahmu memberi sekotak impian, juga satu kardus oleh-oleh untuk
adikmu. Lalu menikmati sore di depan teras rumahmu, duduk berdua saja,
berbincang tentang masa depan dan hari-hari tua.
Kau mencintaiku. Aku mencintaimu. Keyakinan kita takkan pernah mampus.
OLEH

NURJIHAN

@nurjihansyah

Surat untuk Kita

Al, saat kau membaca tulisan ini, kuharap ragamu terbuka lebar, pikiranmu jernih
seperti air hujan jatuh tepat di atas kepalamu, hatimu, semoga berisi namaku, satu.
Al, telah banyak kekhawatiran yang kurasakan lalu kupendam dalam diam.
Menemanimu tumbuh, memupuk cinta di antara dua isi kepala yang berbeda,
melewati banyak warna yang tentu saja tidak melulu cerah, mewujudkan impian-
impian sederhana yang nyatanya tidak sesederhana harapan kita.
29
Al, warna yang kita rangkai bersama kini sudah berbeda. Siapa yang lebih dulu
merusak rangkaiannya? Tanganmu yang menggenggam pilihan lain, atau aku yang
melarikan diri dari resah-resah yang paling pasrah?
Al, aku entah memikirkan apa, sebab kepalaku seolah memutar banyak
ketakutan, dan pemeran utama atas ketakutanku adalah kau. Aku tak tahu apa
yang terus berputar di dalam kepalaku, yang kutahu pasti sangkut pautnya adalah
kau di hidupku.
Al, bolehkah kupinjam kuas yang telah kaubuang dengan kejam? Aku ingin
mewarnai kembali langit kita. Masih dengan jingga, atau kau ingin menambah
ornamen merah? Tentu boleh saja. Tapi, Al, aku tidak ingin merusaknya, kau boleh
saja meninggalkanku, mencari tempat singgah baru yang kau hadiahi janji-janji
palsu. Kau boleh saja tidak melanjutkan mimpi-mimpi kita, berhenti lalu memilih
ke kiri, sebab di sana jalanmu mungkin lebih lengang daripada bersamaku. Tapi,
aku ingin memberimu satu kalimat dari video yang kulihat petang lalu; kau,
perjalanan terjauh yang pernah kupunya.
OLEH

MARTA OKTAVIA PURBA

@martapakpak

Surat untuk Kita

Ditemani kicau burung yang merdu aku menulis surat ini. Sesekali aku mendongak,
menatap hijau pepohonan di hadapanku. “Apakah anak cucu kita nanti masih bisa
menikmati semua ini?” tanyaku pada diri sendiri. “Persetan soal nanti, hiduplah
hari ini!” Angin membisikkannya kepadaku.
Aku menatap lagi kertas di tanganku sambil menyeruput kopi panas pesananku.
Pahit.
“Rasa pahit kopi selalu bisa mengambil alih hidup kita yang pahit.” Aku ingat kau
mengucapkan itu dulu. Tapi itu tak lagi berlaku bagiku, sejak kau pamit pergi
untuk menghiasi langit.
30
Waktu itu aku tersenyum saat kau mengatakan bahwa kau akan pergi menghias
langit agar indah untuk kutatap. “Kenapa kau tidak tinggal saja agar kita
menatapnya bersama-sama?” tanyaku waktu itu. Kau hanya tersenyum penuh arti.
Namun, hingga kini aku tak mengerti.
Bersama dengan sejuk angin semilir, aku menuliskan tentang kita di hari tua
yang tak sempat kaubaca. Aku berharap kau tertawa melihatku terluka. Kau tahu
persis penyebabnya.
Kau membiarkan aku menatap langit sendirian saja sementara kau pergi
mewarnainya.

Dari, aku saja.


SURA T U NTUK FEBR UARI Vol. 5

©KOMUNITAS PECANDU BUKU

"Membaca buku adalah bukti


hebatnya imajinasi kita
membentuk ruang dan waktu."

@pecandubuku (Instagram)
@pecandu_buku (Twitter)
Pecandu Buku (Facebook)

Anda mungkin juga menyukai