Anda di halaman 1dari 3

Cerpen : Permukaan Cangkir dan Senja

Permukaan Cangkir dan Senja

Pada senja yang membawaku padamu. Dan rintik hujan yang menjadi lagu terlalu
merdu pada pendengaranku. Bersama dengan desiran yang menerbangkan aroma tubuhmu
padaku. Hingga satu tatapan dua pasang mata saling beradu dan mencari tahu. Antara dua
sosok asing, tak saling mengenal satu sama lain. Lalu tatapan pertamaku padamu berlalu tanpa
berharap bertemu kembali. Karena bukan kita yang merancang jalan kehidupan. Jika memang
waktu berputar membawaku bertemu denganmu. Suatu saat kita akan kembali bertemu. Dan
pada senja yang terang – terangan melukis langit dengan indah. Menyempurnakan tatapan mata
teduh itu. Saat awal aku bertemu denganmu. Laki – laki yang bahkan tak sekalipun aku tahu
namamu. Dan hati yang masih sepi, terjebak terlalu lama dalam ragaku.

Pada rintik hujan yang menghiasi senja, kembali membawaku padamu. Ketika langkah
kakiku terlalu riuh berkecipak pada tiap genangan. Dan tubuhku yang terlalu sibuk mencari
peneduh. Tak kuasa ikhlas menerima tiap rintik yang membasahi tubuhku. Hingga sampailah
pada tempat dimana aku bisa membunuh waktu bersama secangkir cokelat panas.
Kuhempaskan tubuhku pada kursi kayu ditepi ruangan sambil mulai menata bait kata hingga
menjadi puisi. Sebelum tatapan mataku kembali terjatuh padanya. Pada dia yang kutemui saat
senja terlukis tegas mengindahkan tatapan mata teduh itu. Pada senja dan nada rintik hujan.
Kita berdua mulai mengulum senyum, melempar nama, menarik kisah, dan menyusun cerita
yang tak pernah berpagut.

Pada dua cangkir yang berbeda. Tempat aku dan kamu mencari kehangatan yang tak
menjadi abadi. Panas itu menguap tertiup hembusan angin yang terlalu angkuh. Saat ia datang
bersama titik hujan dan menjadikan semua basah dan dingin. Bahkan sepasang tangan inipun,
tidak akan pernah mampu untuk saling menghangatkan. Sepercik barapun tak kita temukan
pada telapak tangan yang berusaha kusebut dengan kita. Meski mata kita saling menangkap
bayangan, yang memenjarakannya dalam ingatan. Tapi hati kita tetap diam ditempat, seperti
tidak memiliki cukup tenaga untuk menggerakkannya. Untuk mengukir seuntai nama. Hanya
karena alasan, tak ingin kembali terluka oleh pisau yang kita pakai untuk mengukir.

Pada rasa yang mendingin. Rasa yang terlalu fasih untuk ku kecap. Tak lagi hangat,
sama seperti sepasang sosok yang selalu diam ditempat. Tak ada yang berusaha memulai.
Hingga kisah itu tak akan pernah sampai pada akhir yang diharapkan. Sama seperti sepasang
cangkir. Yang membiarkan seduhannya mendingin, membiarkan uap hilang entah kemana.
Dan dibiarkannya hujan membawa panas tanpa menunggu persetujuan. Seperti waktu yang
membiarkan kita berjalan saling membelakangi tanpa ada cerita yang dimulai.

Pada dua tatapan mata. Yang saling berkata tanpa ada yang mendengar. Saling
melempar pandangan berharap menemukan arti. Tapi tak saling mendekat. Tatapan dua
pasang mata yang terlalu mahir bersembunyi dibalik sudut mata. Tetapi terlalu bodoh untuk
menyembunyikan binarnya masing – masing. Sama seperti suara yang tercekat diujung
tenggorokan. Hingga lidah menjadi kelu dan bingung berkata apa. Semua hanya kisah yang
bisu. Tanpa ada yang menyadari, tatapan itu tidak akan pernah berarti jika tidak ada satupun
yang mengungkapkannya. Perasaan itu akan menjadi embun yang datang sebentar. Lalu
menguap entah kemana pada hempasan matahari terik. Dan semua akan hilang.

Pada paragraf perkenalan yang terlalu singkat. Dan detik tidak membiarkan kami
berlama – lama saling menarik. Dipermukaan tanganmu, aku menulis ribuan rencana
pertemuan yang tak pernah mampu kau genggam. Dipermukaan tanganku, kamu menulis bait
filosofi tentang banyak hal tanpa berusaha membuatnya nyata. Hingga tanganku terlalu lemah
untuk terus kurentangkan. Dan semua tulisan itu hanya jatuh berserakan, Tanpa ada satupun
dari kita yang ingin memungut tulisan itu. Lalu masing – masing dari kita saling melupakan
tentang kata yang pernah kita tulis dengan tinta tanpa warna.

Pada harapan yang menguap dan habis. Sama seperti rasa yang terjebak dalam cangkir.
Yang semula panas dan memberi kesan hangat. Seperti harapan yang berhias sepercik bara.
Kini dingin dan habis. Pada harapan yang menguap. Dan cerita tak lagi akrab dengan detik
yang bergerak maju. Sedangkan kedua raga kita bergerak mundur. Seperti lagu tanpa bait,
menjadikannya tak pernah lengkap. Seperti hujan tanpa pelangi, menjadikannya selalu sendu.
Seperti senja yang tak memberi warna, menjadikannya gelap tanpa mengenal terang. Dan
ketika malam hadir dengan pekatnya. Kisah kitapun berakhir. Ditelan bulat – bulat oleh
kelamnya malam. Seakan tak memberi kesempatan bagi embun untuk hadir menyejukkan
bumi.

Sama seperti permukaan cangkir yang sudah terlanjur dingin. Tanpa ada seduhan yang
menghangatkan dan mempertahankan bara dalam hati. Permukaan cangkir yang hanya mampu
meninggalkan bekas bibir kita berdua. Dengan meninggalkan ribuan kata – kata yang
membeku. Tanpa ada satupun dari kita memahami arti tatapan yang berusaha memenjarakan
bayang. Bekas bibir yang terlalu lama diam dan membiarkan kisah ini berlalu tanpa ada satu
katapun yang kita pahami sebagai alasan untuk saling bertahan. Atau mungkin menggenggam
kisah indah. Tapi semua terlanjur pergi. Tenggelam bersama malam, tanpa mengahapkan pagi.

Puisi Karya Bernard Batubara


“Di Permukaan Cangkir”

Ada kerut kenangan terukir di dasar cangkir


Mengundang bibirmu yang memang bersikeras mencium ampas
Sementara masa lalu tak patut lagi kita gali
Dan percakapan perlahan menjadi mahal
Didepanmu aku menyusun kemungkinan
Tapi kamu membuang semua kepastian
Tak ada jarak terkauh antara dua luka
Kecuali perasaan tak ingin mempertahankan
Dalam hening ruang dengan dua cangkir minuman
Didepan kita sunyi telah mengubah diri
Menjadi lebam di masing – masing dada
Didepanku kau menyusun kebohongan
Dan aku terlalu lihai untuk tak percaya
Ada aroma kenangan di permukaan cangkir
Yang belum kau minum
Tetapi wajahmu telah menolak mengingat apapun
Sebab yang sudah tak perlu kembali
Sebab yang luka tak perlu lagi
Sebab dirimu tak ingin pergi ….

Diposkan 1 week ago oleh Gistii Riza Adistie

Anda mungkin juga menyukai