Anda di halaman 1dari 2

"Puisi Cinta Paling Terbuang"

Karya. Basori Mukhti

Jutaan tahun,
Saat Tuhan menciptakan bumi dan alam semesta ini
Atau saat Adam dijatuhkan ke tanah yang penuh elegi
Andai garis temu tak menakdirkan nama kita di buku kehancuran
Andai seorang Ibu yang mengandung sembilan bulan tak pernah sudi terengah-engah
melahirkan anak yang tak lain itu ialah aku.
Mungkin, aku tak akan pernah merasa hancur
;air mataku tak akan pernah melebur
;Karena itu, senyum di wajahku kini bebas menganggur dan enggan untuk dihibur
Dan kini harapan-harapan pun sengaja kukubur

Aku dulu mencintaimu dengan kebodohan yang tak pernah kausadarkan


Aku dulu mencintaimu mengalahkan kepercayaanku pada matahari yang Tuhan ciptakan

Kepercayaanku kuseluruhkan untukmu


Bakat-bakat yang tak pernah kucari sudah kuberi padamu

Rindu, pilu, biru, mata yang sayu,


Dengan kaki—tanganku terpasung kecewa
Mata—bibirku kelu sebab terluka
Namun kepalaku terus merdeka menerka kau kan pulang dengan cinta yang sama

Detik—berdetak
Harapan berserak
Dunia terus maju menuju kehancuran
Aku terus hancur menuju lubang penderitaan

Sayang, sebelum kau mati


Aku sudah lebih dulu merasa pahit dan panasnya api dari neraka matamu
Pada mata keAgungan cinta yang kau damba
Dan pada kearifan dusta yang kuterima
Menggigil aku pada setiap aamiin yang semakin Tua

Jutaan aksara sudah termaktub


Namun rahangmu masih tertutup
Diam-diam aku rajut lagi harapan tapi sengaja kau diamkan
Kupanjat lagi egomu yang tinggi
Tapi aku kaubiarkan terhempas ke dasar elegi

Tak lagi aku menapaskan namamu


Tak lagi menjadikanmu jantungku
Tak lagi mendewakan kenanganmu
Dan tak lagi aku menjadikanmu sebagai kekuatanku
Sebab sudah percuma.

Saat aku menyanggupi semuanya


Saat aku melawan dan menajamkan apa yang tak kupunya demi cinta
Kau seibuk pergi bertamasya mencari cinta-cinta yang lainnya yang katamu mereka
lebih berguna lalu aku bukanlah tandingannya

Aku masih mampu berjalan walau tanpa alas-alas harapan


Aku mampu berdiri dengan luka
Jika tak bisa, aku masih bisa merangkak dengan lebam di sekujur bilik dada yang
pernah kau hunus dalam-dalam di jantung doa.
Aku bukan seperti malam-malam yang kau tunggu
Yang mampu melelapkan mata dan memelukmu dengan keadaan bahagia

Aku bukan seperti senja kau puja


Bukan seorang kesatria, dengan gagah melindungimu dari marabahaya

Aku bukan titisan dari para Dewa


Namun aku juga bukan pencuri
Pilihlah kebahagiaan yang kaucari
Tapi jangan kau tinggalkan nyeri di sini
Aku seperti rahim puisi yang sudah kau gugurkan sebelum ia bisa dibacakan

Aku memang terlanjur menyeduh sedih


Meneguk segelas perih yang kau kasih
Dan di atas meja yang kau tinggalkan hanya ada hidangan penutup tanpa pencuci mulut

Lagi,
Aku seperti orang terbuang
Yang di balik angsana sengaja kau tinggalkan

Sayang, ini hadiah terakhir


Puisi cinta paling terbuang yang pernah kuukir
Wajah perasaan yang sekian musim mengalir lalu berakhir di ujung takdir
Sebab, percuma bila kau membacanya
;kau tak akan pernah mengerti apa-apa
Tahumu hanya mencaci
Kebaikanku kau tempa menjadi belati
Aku kau benci
Harapan kau kunci

Aku baru sampai di pelabuhan senyummu dan kau bilang ibu kota tak pernah
merindukanku
Maaf, katamu.
Kau usir aku selayak gelandangan yang tak pantas lagi hidup di setiap doa baikmu.
Diam-diam terlanjur kau hanyutkan aku pada khianat
Kuberi cinta kau bilang aku sesat
Kujanjikan kau sebuah tawa
Kaubilang aku pendusta
Aku beri kau jantungku
Kaubilang tak perlu
Kuberi lagi sejuta tawa
Namun kau hadiahi kecewa

Dulu saja, saat kau terluka dan butuh obatnya


Aku datang, pelan-pelan mengobati luka yang tak kasat mata di debar hatimu
Namun sekali lagi kau hadiahi aku kecewa
Dan kini aku—kauvonis tak berguna

Ya, ragaku masih utuh berfungsi


Tapi jiwaku yang setengah engkau, sudah kubaluti dengan kain putih lalu kukubur
sendiri
Sisa-sisa rinduku pun sudah kukafani

Duhai kasih yang pernah aku cintai


Yang kini jadi jutaan impi dalam puisi tak bernadi
Untukmu, perasaan yang mati
Dariku, yang telah wafat mewujud dalam puisi

Anda mungkin juga menyukai