Anda di halaman 1dari 8

PUISI ROSYID

Guru, Aku belum berani


“Assalamu ‘alaikum” Dengan membibit senyum beristiqomah
dengan sengaja mengasah kami
walau kadang memberat lautan yang kami hidangkan
kau terus beranjak pahlawan
Guru, sedikit aku rindu proklamasi-proklamasimu
bolehkah aku menghubungimu
meski hanya suaramu saja
membasahi danau hatiku yang mulai mengering retakku
sampai kapan kau berekreasi, guru
di singgasanamu, penuh debu mahkotamu
buku sejarah mulai melepas sayap
sudah lelah mengantarkanku mencari bintang bintang baru
aku tersiksa kata kafanmu
berapa waktu harus kuacak dadu?
Guru, aku belum berani menantang cakrawala dan matahari

Di dunia sajak
Di bawah lampu stopan
Di dunia sajak
Terhempas di jalan aspal itu
Panggang-memanggang tak tentu bara
Di sana,
Juta-berjuta penyair bersemi
Lalu bergugur bermuara sunyi , tak bermusim beku
Bahkan dongeng “Ethiopia”
Takkan pernah di lelang di sana
Di bawah lampu stopan
Di dunia sajak
Terpampang pamflet
Berkata:
“tak perlu membawa agama, di sini takkan bergumam
Tentang BBM bahkan pesta korupsi”
Di bawah lampu stopan
Di dunia sajak
Aku tersipu pada negriku
Tenggelam

Terima kasih kau sempat sudi berteduh di malamku


Membawa sekuntum kisah
Terbakar di kedalaman samudra
Sebuah kapal tenggelam di tapal kuda
Sirine tak mengabarkan kebakaran atau kebocoran,
Kapal itu telah pasrah
“mungkin di sinilah aku hanya sejarah” katanya
Memang bukan titanic juga van der wijck
Mengisahkan ribu romansa sejarah
Lama sekali ia mengeluh
Meski dedaunan tetap menghijau di batu-batu
Dan gemercik mata air tak jenuh
Tak perlu kau panggil pawang ekspedisi
Membuatnya opname dan alergi
Biarkan saja mengaji kedalaman samudra
Dan bersekolah tentang mekar bunga-bunga
Biarkan saja ia tertawa
Meski kau kubur di lautan menggila
“tubuh retak tak apa” ucapnya
Dan mata ombak menajam di dada

PUISI SHOLEH ABU BAKAR


PERTEMUAN SEPI

Sengaja tak kusematkan bunga


Di matahari yang mempertemukan kita
Sebab topan akan mengutuk serakan sampah
Yang memandang cakrawala

Jangan kau bakar wajahku di hatimu


Jadikan saja wajah gersang itu bait-bait puisi
Selimut dan bantal tidur malammu

Sekejap kupandang wajahmu


Butir-butir salju beku di batu-batu
Dan aku yakin malam nanti
Rindu akan merayap-rayap di dinding kamarku
Mengajakku kembali ke Banyuwangimu

Haruskah di Banyuwangimu lagi


Aku menjaring tatap matamu yang sepi

Banyuwangi, 15April 2009


HOM PIM PAH
(Mengenang Alm. WS. Rendra )

Hom pim pah


Tak ada yang tahu
Esok kecoa mati diinjak
Atau kambing mati dikurbankan

Hom pim pah


Tak ada yang tahu
Esok raja memangsa rusa
Atau berburu serigala

Hom pim pah


Tak ada yang tahu
Esok banjir bandang menyerbu
Atau di undian BCA keluar namamu

Hom pim pah


Tak ada yang tahu
Esok Indonesia lunas hutangnya
Atau tikus kembali gerogoti lumbung padi negara

Hom pim pah


Tak ada yang tahu
Esok kita masih solat maktubah
Atau sudah disolati jenazah

Hom pim pah


Tak ada yang tahu
Setelah Rendra
Siapa yang merdeka?

Meninggalkan Dinastimu

Dengan mata bertelaga duka


Kutinggalkan dinastimu
Menuju peradapan baru
Yang barangkali
Segala cinta angkat topi
Padaku
DEWI PEMBAJAK RUH
Subhanallah,
Seorang dewi dengan wajah kilau surga
Membajak ruhku
Digembalakan ke hutan-hutan rindu
Aku tersesat enggan kembali ke jasad

“Siapa namamu, dewi?”


Tak sempat kubertanya
Yang pasti eskalator langit itu masih ada
Memberiku tahu kau turun dari sana

Kalau jodoh, pertemuan diciptakan


Dari se-galaksi rindu yang merotasi jantungku

Jangan biarkan aku menangisimu, dewi


Mengemis cahaya pesonamu
Nyalakan lampu di gua dadaku

Aku tak mau pertemuan ini cukup jadi puisi


Tiap malam kubaca
Panen hujan airmata
Dan malam itu juga aku tenggelam
Dengan dada sesak oleh ribuan puzzle wajahmu yang berserak

Aku tak mau pertemuan ini habis di sini


Menantimu sampai rambut beruban
Ditertawakan matahari
Ditertawakan pohon-pohon yang menua
Ditertawakan cucu-cucu nyamuk yang menyaksikan pertemuan kita
Tapi Tuhan punya takdir
Juga Dia punya welas yang membanjir

Entah melati entah batu


Dibariskan di kitab cintaku

Sukorejo, 14 oktober 2009


KEMATIAN
Andai bisa
Aku ingin sepertimu
Sahid dalam perjalanan ini
Dilepas dengan tangisan kehilangan
Dirindukan
Tapi aku belum siap hari ini
Belum sempat menguras kolam Lumpur di bak mandi

Andai bisa aku ingin sepertimu


Benar benar wangi menyengat
Dinantikan serombongan malaikat
Tapi aku belum siap hari ini
Kutoleh kanan dan kiri
Masih berhektar hektar jurang menganga
Belum direnovasi jadi vila vila

Biarkan aku iri padamu


Pulang di jalan jalan yang dilukis dengan warna warni kembang api
Dan dipayungi semiliar doa orang orang suci

Biarkan aku iri padamu


Yang begitu permata
Disaat menutup mata

Perlahan kulambaikan tangan pada jenazahmu


Sambil memfajarkan senyum dan mataku

Dik
Tunggu aku disurga
Amin.
SELAMAT ULANG TAHUN, DIAH
Selamat ulang tahun, Diah
Entah yang ke berapa
Aku tak sempat menghitungnya
Aku kurang tekat mencarimu ke lubang-lubang ngengat
Hingga hari ini
Kabarmupun sunyi di telingaku

Walau tak kau dengar ucap selamat ulang tahun dariku


Tapi aku yakin
Sedetik hari ini
Ketika namamu larut dalam penaku
Pasti kau ingat aku
Yang sekarung lumpur di matamu
Pasti kau ingat aku
Yang memberimu melati kau tolak dengan diam diri

Wajahmu fajar menyala


Aku tak bisa memadamkannnya
Berkali-kali datang
Mengajak aku beternak rindu
Berkali-kali menggoda
Untuk berpaling dari selainmu

Selamat ulang tahun, Diah


Jejakmu yang asing
Tak lagi membuatku sinting
Aku percaya jodoh di kuasa-Nya
Jika harus tak denganmu
Aku takut unjuk rasa pada Tuhan
Menangis-nangis iba
Agar jodoh aku yang menggarisnya
Aku sudah bisa pasrah melepasmu
Walau sakitnya mengaspal di jantungku

Tapi jika Tuhan memberikan engkau kepadaku


Aku yakin yang lumpur di matamu itu
Bisa jadi baju zirahmu

Selamat ulang tahun, Diah


Walau mataku tak sampai padamu
Walau tanganku tak sampai padamu
Walau rinduku tak sampai padamu
Walau sajakku tak sampai padamu
Tetap kuucap selamat ulang tahun
Mungkin airmata paling permata ini yang jatuh ke bumi
Akan meresap ke laut, menguap jadi hujan
Lalu mengguyur tubuhmu
Sukorejo, 10 Oktober 2008
GURU MISKIN PERAHU

Jangan panggil aku guru


Di rawa-rawa aku juga miskin perahu
Panggil saja aku petani
Yang meramu gubuk dari rambut jerami

Bila bertemu
Tak usah kau tundukkan kepala atau menjabat tangan gulmaku
Cukup lempar doa dengan senyum hujan bekukan magma
“Assalamualaikum wahai saudaraku”

Bila aku tumbuhkan jamur di hatimu


Menjelma naga ingin membakarku
Bakarlah aku hingga hangus
Dengan caci maki paling keji dalam kamus
Agar nanti di padang penantian
Tak kau suruh aku cium lukamu di depan Tuhan

Saudaraku,
Tak pantas aku mencegahmu bermain api
Sedang aku tak mentas-mentas dari pembakaranku
Tak pantas aku merakitkanmu tangga ke langit
Sedang aku khawatir dengan hujan dan petir

Pantasnya aku diam


Membuang satu demi satu ulat yang berkemah di bajuku
Tapi aku tak bisa membiarkanmu
Menjadikan jejak lumpurku
Sebagai sandi menuju matahari

Maafkan aku
Sorbanku gagal menaungimu

November 2009
ISTIGFAR COMPANG-CAMPING

Entah sudah yang ke berapa


Istigfar compang-campingku kupaketkan padamu
Berkali-kali
Sehabis opname di rumah api

Tapi
Esok tetap saja
Serigala kudandani cinderella

Entah sudah yang ke berapa


Kau hujani aku dengan cintamu
Berkali-kali
Walau sehabis bergulung-gulung di kandang babi

Tapi
Esok tetap saja
Kulebur sajadah di mulut kawah

Aku malu padamu


Menukar secawan comberan dengan madumu

Aku
Terlalu sampah
Menerima kasihmu

Menuju Talkinku

Aku takut tiba-tiba kau datang


Mengajakku pergi
Ke tempat sepi jadi batu api
Aku tak punya air sekendi
Bekal perjalanan nati

Aku takut kau datang


Mengapak dada tiba-tiba
Hingga cecer darah mengalir ke muara
Dan usus-ususku berenang-renang di sana
Aku takut tiba-tiba kau datang
Menumpahkan amuk gelombang
Dan batu karang berbilang-bilang

Aku pohon tumbang


Siap kau tebang
Kapan saja

Sukorejo, 15 Januari 2007

Anda mungkin juga menyukai