Anda di halaman 1dari 13

Naskah Visualisasi Puisi

1. Aku Ingin Seorang Teman


(Karya Eka Budianta)
Aku ingin seorang teman
Yang senyumnya bertahan
dalam gemuruh kota dan sunyi desa.

Aku ingin seorang teman


Yang tidak putus asa di musim kemarau
dan tidak sombong di musim hujan.

Aku ingin seorang teman


Yang nafasnya tetap teratur
dalam keributan dan keheningan.

Aku ingin seorang teman


Yang bisa memisahkan urusan pribadi
Dan kepentingan banyak orang.

Kalau boleh aku ingin memilih teman...


Yang tetap berpikir jernih di dalam keruhnya zaman
Yang sanggup mendengar pujian maupun ejekan
Yang tetap punya harapan pada saat orang lain ketakutan
Yang tetap bersih dan sehat pada saat semua jadi jorok dan sakit-sakitan.

Tapi aku tahu semua teman bisa pergi


Untuk sementara atau selamanya,
Seorang teman bisa berkelit,
Bisa jadi pikun atau pura-pura lupa.
Sementara aku sendiri juga bisa mati
Sebelum rumah persahabatan
Selesai kubangun untuknya.

Karena itu aku ingin seorang teman


Yang bersedia tinggal di hati kecilku dan memberiku ruang di dalam hatinya.

2. PUISI TERIMA KASIH


(Karya Eka Budianta)

Bagaimana lumba-lumba berterima kasih


Dengan menari secantik-cantiknya
Bagaimana bunga-bunga bersyukur?
Berkembang dan beraroma sekuat tenaga
Bagaimana manusia berterima kasih
Dengan bekerja sebaik-baiknya, setulus hati

Kalau aku permanen menjadi buta


Untuk siapakah kecantikanmu?
Aku tidak melihatnya –
dan belum puas memandangnya.
Seadil inikah kehidupan?

Yang tampak adalah wajahmu


Misalnya aku jadi buta
Yang tampak terakhir adalah wajahmu
Di seberang puisi, ketika kata tidak berfungsi
Ada negeri tanpa basa-basi, tanpa politik
Tanpa kampanye, pertikaian dan dusta
Tanpa koran, tanpa internet, tanpa berita.
Benarkah – kudengar suaramu yang terakhir
Tangan terakhir yang kugenggam
dan aroma terakhir yang kucium?
Kutunggu jawabanmu
Meskipun kutahu engkau telah membisu
dan seluruh dunia melarangmu bicara,
termasuk berbisik dan mengerdipkan mata kepadaku.

3. Aku Ingin
(Oleh Sapardi Djoko Damono)

Aku ingin mencintaimu


Dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
Diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu..

Aku ingin mencintaimu


Dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat
Disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada

4. Derai-derai Cemara
(Chairil Anwar)
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan


sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan


tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah.

5. Doa
(Chairil Anwar)
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
CayaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
Aku hilang bentuk remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
6. Ibu
(Fiersa Besari)
Engkau adalah ruang tamu.
di mana segala tentangmu kubanggakan pada dunia,
Engkau adalah atap,
yang melindungi bumi dari hujan dan terik.

Engkau adalah pekarangan,


yang tak membiarkan jahatnya dunia luar memburuku,
Tanpa terlebih dahulu melewatimu...

Engkau adalah kamar,


tidur tempat aku merebah lelah,
Engkau bahkan tidak protes jika harus menjadi toilet,
tempatku memuntahkan keluh dan kesah...

Engkau bahkan tetap tersenyum jika harus menjadi garasi,


Tempat uap kemarahanku,
Menjadi karbon yang mematikan.

Ibu, engkau adalah rumah,


Tanpamu,
Aku tunawisma,
tanpa tempat pulang.

7. Perantau
(Fiersa Besari)

Teruntuk Ibuku sayang,


Maaf, aku belum bisa pulang,
Mengadu nasib di negeri orang,
Kerap bergadang demi peluang...
Iya, aku masih ingat kau pernah bilang bahwa,
yang terpenting bukanlah uang,
Namun,
aku tak ingin hari tuamu serba kurang,
Hanya karena aku tidak cukup keras berjuang.

Bertanding kasih denganmu,


Aku takkan menang,
karena demi aku,
maut pun rela kau tantang...

Tapi Ibu,
izinkan anakmu membanting tulang,
Seberes urusan,
aku akan secepatnya datang...

Karena di punggung tanganmu yang tenang,


adalah tempat keningku berpulang,
Dan jemaah denganmu kala sembahyang,
adalah kebahagiaan yang tak pernah Lekang...

Naskah Musikalisasi Puisi

1. "Hujan Bulan Juni"


(Sapardi Djoko Damono)

Tak ada yang lebih tabah


dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif


dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

2. Gugur
karya: W.S. Rendra
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya

Ke dada musuh yang merebut kotanya


Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya

Bagai harimau tua


susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya

Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya

Belum lagi selusin tindak


maut pun menghadangnya
Ketika anaknya memegang tangannya,

ia berkata:
”Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.

Bumi yang menyusui kita


dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.

Bumi kita adalah jiwa dari jiwa.


Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”

Hari pun berangkat malam


Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata:

“Lihatlah, hari telah fajar!


Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya!
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menancapkan bajak
di bumi tempatku berkubur

kemudian akan ditanamnya benih


dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata:
“Alangkah gemburnya tanah di sini!”

Hari pun lengkap malam


ketika menutup matanya

3. AYAH
Karya: Rinto Harahap

Dimana, akan ku cari


Aku menangis seorang diri
Hatiku slalu ingin bertemu
Untukmu aku bernyayi
Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata
Di pipiku

Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam
Mimpi..

Lihatlah, hari berganti


Namun tiada seindah dulu
Datanglah, aku ingin bertemu
Untukmu, aku bernyanyi

Untuk ayah tercinta


Aku ingin bernyanyi
Walau air mata
Di pipiku

Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam
Mimpi..

4. AKU
Oleh: Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku


‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang


Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku


Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari


Berlari

Hingga hilang pedih peri


Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

5. SURAT SEORANG ANAK PULAU


Karya: Diah Hadaning

Seorang anak menulis surat kepada


malaikat yang pernah ditemui dalam mimpi
penyelamat pernah diceritakan gurunya yang penyakitan:

Pulau ini kian sepi hari ke hari


sejak guru tambah sakit
segala apa terus membelit
ketika senja hilang nuansa
laut dan ombak tak menyapa
angin mengoyak udara
sekolah kami roboh
sisakan kenangan pahit dan senyum bodoh
anak-anak kembali melaut ikut bapaknya
perempuan merajut jala di teritis rumah.

Guru rindu pulang tanah kelahiran


di daratan, namun tak apa pun dia punya
sesiang aku menangis panjang di sisi baringnya
doa apa lagi harus kulantunkan.

6. SAJAK PUTIH
(Chairil Anwar)
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba


Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah..

7. Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang

Karya: W.S. Rendra

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa


Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti


sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku


adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan


oleh bibirku yang terjajah?
Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu

Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Anda mungkin juga menyukai