Anda di halaman 1dari 75

Negeri Sampah

Kulihat jalanan kota

Ingar-bingar penuh sesak fatamorgana

Tanah-tanah yang basah tiada

Ditimpa gedung pencakar cakrawala

Tapi …

Cobalah lihat

Sekali lagi

Dengan mata hati

Di sana, di sudut kota

Ada banyak mulut menganga

Perih, tumpang-tindih menghujam diri

Baju kumal, dan perut yang menahan lapar tak hitung hari

Tapi ...

Di sini, di antara deretan kursi para pembuat kebijakan negeri

Uang rakyat menjadi perjudian elite berdasi

Wakil rakyat hanya jadi ilusi

Ke mana haluan negeri dibawa?

Ekasila, Trisila atau derita tiada jua?

Negeri penuh gurauan sampah


Membuang rakyat yang dianggap tak berguna

Sebuah Catatan untuk Para Bedebah

Sepuluh tahun silam lamanya

Sebelum hutan-hutan beton itu ada

Wajahnya sangat indah nan jelita

Tersusun gugusan paru-paru dunia

Fauna yang melanglang buana

Berdiam di atas bentala

Rantai habitat yang berputar bak roda

Dan produksi oksigen terus-menerus terjaga

Tapi semua perlahan-lahan sirna

Saat para kapitalis membabat tanpa rasa

Yang mendatangkan roda-roda bergerigi baja

Menyulapnya dengan beton-beton neraka

Kini ia tinggal kenangan belaka

Evolusi tak lagi ada

Flora dan fauna enyah begitu saja

Bersama tawa-tawa liar yang tak merasa berdosa


Gamang

Kini tak ada lagi temu

Ruang sela akhirnya memberi kesempatan pada rindu

Jelas, ini membuat jiwaku makin resah

Kabari aku banyak hal

Biar cemasku berubah menjadi doa

Pada bait-bait yang terangkum dalam bentuk harapan

Tetaplah menjadi kawan yang kukenali untuk hari ini dan selanjutnya

Jarak kini membentang tak terkira

Mari saling menjaga lewat sujud-sujud panjang.

Jangan lengah dengan keadaan

Tetap syukuri setiap hal

Berterimakasihlah pada apa yang disuguhkan

Kita hanya perlu belajar dari pengalaman

Lagi, janabijana mungkin sedang rindu kau kembali

Katanya Negara Adil

Di Indonesia, kata adil, ada di alinea ke 5 di Pancasila

Namun, sudahkah kita merasakan keadilan itu?

Seharusnya tidak ada lagi keadilan yang disuarakan, dituntut dan diperjuangkan
Masih ingatkah kalian tentang Novel yang tak berujung

Jangan dikira saya tangan kanannya sehingga menyuruh untuk mengingatnya

Negara dan ideologinya hanyalah menjadi bunga tidur bagi setiap anak bangsa

Keadilan dicuri, dikemas dan diberi harga

Padahal cita-cita luhur tertinggi pendiri bangsa adalah kita yang tak lagi tertindas

oleh negara manapun, termasuk negara kita sendiri.

Arti Sahabat

Sahabat, tidaklah seringan kata

Ia lahir dari sejuta rasa seribu warna

Terkadang, berjalan dengan narasi berbeda

Tidak hanya di meja makan ia tercipta

Di balik jeruji pun, ia setia.

Sahabat, dua hati satu debaran.

Senasib, sepenanggungan dalam gita kehidupan

Beda pandangan, bukanlah persoalan

Semua dalam kepedulian, pun keterikatan

Perbedaan, hanyalah kisi kehidupan dalam penyemarakan

Sahabat, mendendangkan harmoni dalam melodi

Langit-bumi jadi saksi


Menembangkan indah, alunan Surgawi

Perbedaan, tak ubahnya seni dalam berkreasi

Tangis dan tawa, adalah variasi bersimfoni

Sahabat, berpayungkan solidaritas

Memiliki loyalitas tanpa batas

Tak ada senioritas, semua satu dalam komunitas

Bersatu padu dalam integritas

Bersama, kedengkian diberantas

Matahari Mengalir Di Kulit Bapak

Matahari mengalir di kulit bapak

Dari tumit kaki yang muda

Bapak menginjak kesusahan yang mengepit asa

Matahari terus naik di kulit bapak

Merambat ke wajah yang pernah dihinggapi purnama

Bapak semakin tabah dan berserah

Inilah hidup yang harus dijalaninya

Matahari semakin liar menjelajahi kulit bapak

Di lengan dan telapak tangan

Di punggung yang setegar baja


Di dada tempat bapak berteduh

Telah sempurnalah ia atas tubuh bapak

Bapak abadi ditelan matahari

Parang, arit serta pacul menjadi saksi

Rindu Kalian Sahabat

Seperti lilin yang menyinari kegelapan malam


Seperti mentari di pagi hari yang menghantar sinar kehangatan
Bagaikan bintang yang bersinar dan tidak membiarkan rembulannya merasakan kesunyian di
malam hari
Selalu menemani rembulan yang membawa keceriaan dan kesetiaan

Bersama kalian ...


Kita bersama melalui hari-hari yang penuh liku
Bergenggam erat menepis duka dan suka bersama
Berbagi cerita
Tentang keinginan cita-cita tercapai bersama
Tentang cinta yang membuncah namun bertahan dengan kebodohan percintaan
Tentang harapan bahagia di masa kelak akan datang
Tentang keputusasaan karena kegagalan yang membuat runtuhnya keinginan untuk melangkah

Sahabat ...
Kita selalu bersama suka dan duka
Kalian selalu ada jika dibutuhkan
Kalian selalu mengingatkan jika salah satu dari kita khilaf
Aku berharap dan berdoa
Kita akan terus berjuang dan melangkah untuk menggapai ridha-Nya Sang Penguasa

Sahabat ...
Meski jarak membentang di antara kita
Tak kubiarkan benang kebersamaan kita terputus karena tak ada pertemuan

Terima kasih atas segalanya


Biarkan kisah persahabatan kita akan terukir kini, esok, dan hari ke depannya
Aku bangga mempunyai kalian
Kupikir pantaskah kalian kutemani?
Aku bahagia. Sungguh tiada kata-kata yang terurai selain bersyukur bisa mengenal kalian semua

Kesepakatan Semesta

Sebagian menjelma tulisan

Yang lainnya menetap dalam ingatan

Teruslah menginspirasi sajak-sajakmu yang kuanggap aku

Teruslah tertulis hingga aku bisa terus melotot membaca dengan tangan gemetar, hati menyahut
dan akal yang terus berkelana,

sampai kataku berhenti jadi anggukan kepala.

Harap dan Dosa


Saat hendak menulis,

Pasti terbayang ketakutan.

Puisiku ini hanya puisi biasa nan lusuh

Di dalam gemercik otak pikiranku tidak karuan

Seringkali sombong, congkak. Padahal ambisi yang menguasai

Punya sepeda ingin motor, punya motor ingin mobil, begitu terus sampai kita lupa

Kain kafanmu tak berkantong, tidak juga aku ataupun manusia lainnya.

Kaulari ke toko pakaian, kaubeli semua. Yang hanya menuruti nafsu mata dan juga rasa belaka.

Tak dengarkah kau? Puluhan anak menjerit, meminta, mengadah tangan

Dengan harap juga doa. Sungguh. Sangat sungguh. Kita telah berlebih, melampaui batas juga
berdosa.

Muhasabah

Rintih menggema di langit semesta

Gejolak lara mulai menerka

Genangan air mata menitiskan luka


Pasrah tentang dosa-dosa

Sudah saatnya bahagia

Melepas rindu bersama

Menggulung jarak dalam do’a

Bermuhasabah dalam hati asa

Berpalun dengan Sang Pencipta

Berbisik dalam sujud kepada-Nya

Menenteng pasrah musnahkan jemawa

Menyambung erat dengan cinta

Memang, manusia sudah begitu tabiatnya

Saat memikul bebannya dosa

Ia akan kembali kepada pencipta

Mengadu untuk memohon ampunan-Nya


Aku rindu, Aku yang dulu

Aku rindu ...


Di mana aku bebas melangkahkan kakiku
Di mana aku merasakan kenyamanan disetiap aku berbuat apapun
Di mana aku berkumpul dengan teman-temanku
Di mana aku bercanda, bercerita bebas, bermain dengan siapa pun yang aku mau tanpa ada batas
kepuasan

Aku rindu ...


Di mana ada tatapan tulus penuh kasih sayang.
Kecintaan tiada bandingnya dengan segala apa pun.
Ketulusan hati tanpa ada rasa pamrih
Kerelaan akan rasa berkorban.
Yang semua itu tak akan kembali lagi semula.

Penghalang, kemarahan, tekanan seakan menghantui untuk setiap waktu


Selalu memerintahkan untuk menyerah
Dan membujukku untuk menerima keadaanku yang dulu

Hilang, memang hilang


Tak seorang pun yang bersamaku lagi
Lepas, bagaikan layang yang terlepas dari benangnya
Jatuh, jatuh terdampar di posisi yang sangat penuh dengan kekecewaan dan terabaikan
Memang dalam cerita hidupku kerabatku berlimpah ruah
Dan nyatanya aku hanya seorang diri di sini
Inilah aku ...
Yang telah berubah drastis
Yang aslinya tidak sama dengan sekarang, diriku di mata mereka sudah berbeda
Yang berubah dari rasa sakit yang terabaikan
Diriku yang seolah berbeda untuk selalu bertahan dari semua yang ada

Mungkin kalian rindu dengan aku yang dulu?

Aku pun sebaliknya, sangat merindukan aku yang dulu

Kota Tua

Kemarin kita bersama

Berjalan menelusuri ibu kota

Menjejaki kota tua di sana

Tak ada sedikitpun duka

Kau selipkan pesan cinta

Di setiap ruas jalan yang kita lalui

Hingga semesta, senja dan juga hujan

Ikut mengaminkan

Tapi, kisah itu terhenti pada kota tua


Kita kembali menjadi kenangan

Semesta, senja dan juga hujan

Tenggelam pada waktu gulita

Sementara aku

Masih termangu, pilu

Mencoba menjawab setiap bisikan rindu

Pada sunyi, juga pada hati yang patah

Aku Siapa

Aku siapa?

Hanya seorang manusia penuh dosa

Berkubang dalam lumpur maksiat

Meski sesekali terlihat seperti taat

Aku siapa?

Cuma sosok angkuh bak Rahwana

Membodohi orang-orang tak berdaya

Bertopeng keilmuan yang tak jelas sumbernya


Aku siapa?

Suka tersenyum manis penuh pesona

Menjerat mangsa demi kesenangan sesaat

Tanpa peduli kelak dapat kualat

Aku siapa?

Berkantong tebal tak terkira

Belasan kartu kredit tersedia

Harta melimpah di mana-mana

Aku siapa?
Hujan Dan Harapan Di Bulan Juli

Juli, namun hujan di bulan Juni, masih juga tabah

Menyusup, mengenali Juli sebagai induknya musim hujan

Aku lupa menanam bunga, padahal, ia akan tumbuh dengan baik

Saat tetes demi tetes air hujan jatuh menimpa tanah yang ditanami bunga itu

Tapi, aku tak pernah lupa.

Di Juli kemarin, aku pernah menanam harapan pada kecerdasanku sendiri, pada keuletanku
sendiri

Ego menguasaiku kala itu. Hingga benda cair asin tak lagi kukenali

ia menitik dikelopak mata, sempat kukira aku menangis

Sebab, rasanya yang asin dan langsung mengenai pipi tanpa singgah dulu di kepala

Cenderung, hampir sama waktu itu aku dengan seorang Rahib

Bertapa dalam biara. Memohon, hentikan dulu hujan ini!

Aku ingin melintas, melewati Masjid tua yang bertengger burung gereja di kubahnya

Aku mengerang dalam batin

Harapan menjadi orang sukses adalah doa yang teramat menyakitkan

Berhenti pada jalan yang hampir sampai adalah kebodohan


Lantas, harus kuiyakan langkah ini?

Jalan Tuhan memang selalu sunyi dan memilukan

Kupikir, aku adalah sosok yang sangat kuat hati (tabah)

Ternyata aku butuh teman. Bukankah inilah harapan itu?

Selembut Ibu

Dari kapas yang tabah

Kaujadikan kasur dan bantal yang empuk

Memberikan kenyamanan di dalam hati

Lantas membawamu dalam angan-angan dan mimpi

Selembut itulah Ibu

Dari benang yang mengulur panjang

Yang mengukur rasa hampir tiada putus-putusnya

Kaurajut selimut yang tebal

Lalu kauhangatkan tubuhmu dengannya di bawah rintik hujan

yang jatuh pelan diatas seng kamarmu

Kau menghamparkannya menutupi seluruh tubuh

Hingga tak lagi merasakan angin yang bertiup dingin


Kau berkata, "hangat ...."

Selembut itulah Ibu

Kamu Melangkah, Dia Berlari

Oleh: Cindrika Yusuf

Lama termenung tak jua mencipta tenang

Harap terpatri hancur beterbangan

Sesak menyapu menggoyahkan iman

Aku bertanya, masihkah tersisa untukku?

Kususuri langkah yang kian melemah rapuh

Di ulas getir menambah miris

Remuk jiwa digodam kala netra memburam

Koyak menyesakkan. Rapuh memilukan

Tertatih aku berusaha mengejar

Mengabaikan aral badai menerjang

Menagih janji. Memenangkan pinta.

Tawa dan tangis ada di setiap pijakan


Peluk kurasa kala tak lagi sanggup

Ditenangkan dari kalut dan takut. Kamu kuat, ujarnya.

Pagi menjelang dengan cepat berganti kelam

Bukankah semakin pekat malam, pertanda semakin dekat fajar?

Merintih aku dalam ikhtiar. Demi menuntas rindu dalam dekap hangat

Menjumpai Tuhan dalam ketenangan

SAJAK KERETA DAN PELAYARAN

Jauh di dermaga khatulistiwa,

Di bawahnya terbentang istana-istana kediaman bapak

Dindingnya terbuat dari batu karang

Atapnya adalah ombak

Yang bersuara, menderu siang dan malam

Melayarkan nada-nada pilunya kehidupan

Menjamah daun telinga para nelayan

Kala mentari menelan putihnya rembulan

Menghapus kedinginan yang menyelimuti awan

Nyiur tetap setia melambaikan tangan, menanti kepulangan bapak

Mumbang kian berjatuhan di atas kereta pelayaran

Dayung dan tahang saling mendekap, bersalaman


Berucap perih sebelum kepergian,

“kepada sampah-sampah yang penuh kesialan, rumah bapak tak sanggup lagi bertahan”

Antara Harapan dan Rezeki

Malam yang kantuk kelindan

Burung-burung yang beristirahat di dahan

Manusia yang terbaring di peraduan

Dan cericip jangkrik yang bersahutan

Semuanya menanti fajar semesta

Mengharap rezeki pada-Nya

Berikhtiar dan tawakal menjadi hal utama

Agar berkah iring bersama

Harapan,

Selalu memberikan dorongan

Pada manusia yang semangat memilih jalan

Sehari-hari dalam mata pencarian

Perpaduan Asa

Di pengasingan, kau berdiri di antara sajak-sajak yang luntur


Mengepung kekesalan pada tindakan otoritas

Lambat bergerak hukum pincang dijalankan

Kau harus bangkit, menjadikan setiap kulit adalah perlindungan bukan pertandingan

Mengelupas amigdala untuk melantangkan merdeka

Kau harus bahagia, menjawab segala pertanyaan dengan apik, membuang resah di tengah
kelatahan yang menjelma menjadi penyair

Kau harus bisa, menggaruk peradaban yang tertanam

Sehingga, mampu menyuburkan generasi yang paham ajaran untuk mencintai dan mengagumi
bangsa sendiri

Bayang-Bayang Kelam

Oleh: Cindrika Yusuf

Di balik jelaga yang menatap nyalang, aku berlindung di tengah mimpi kelam

Berharap akan ada seberkas cahaya untuk sang malam, hingga pagi turut menjelang

Aku menemukan diri menggeliat di bawah sinar

Berusaha untuk tetap terlihat tegar

Di candu bayang yang selalu datang

Di semua gendala yang siap menerjang

Ah, satu yang terlupa olehku. Jejaka yang siap menemani, takkan kalah oleh siapa pun yang
menghakimi

Di sana, di tempat terakhir satu-satunya yang akan kudatangi, selalu terbuka peluk untukku
kembali

Riuh tawa memaksaku beranjak, dari apa yang disebut manja


Tertatih jatuh merangkak, disambut lengan siap mengangkat

Pada akhirnya, aku berhasil melawan ketakutan

Terbantu doa yang senantiasa terbang mengaminkan

Untuk satu keinginan perihal waktu kebersamaan

Pengalaman

Melangitkan doa. Melupakan dia.

Menghapus Memorabilia.

Jika ada yang datang, aku persilahkan.

Jika ada yang pergi, tak akan ditahan.

Sebab dia, adalah bagian dari contoh kehidupan yang tidak pantas diulang.

Nanti, Kita Adukan Pada Tuhan

Nak, masihkah kau kuat?

Tidak! kau harus kuat

Di atas hujaman lapar yang menganga

dan dingin yang menusuk raga

Ingatlah nanti!

Tentang wajah-wajah pengumbar janji


Menarikan ilusi tanpa hati nurani

Menipu rakyat kecil tiada pamrih

Mengais rezeki di jalanan kota

Kita dibilang sampah negara

Duduk bersila dibibir lampu merah

Kita dipungut penuh hina

Nak, lihatlah jelas wajah-wajah itu

Tikus berdasi yang kini duduk di gedung mewah itu

Menjual kekayaan bangsa

Mengundang malapetaka untuk rakyat jelata

Nanti, kita adukan pada Tuhan

Tentang bengisnya kezaliman

Tentang rusaknya peradaban

Tentang kacaunya sistem kehidupan

Nanti,

Saat kau

Aku dan mereka

Menghadap Tuhan Yang Maha Mengadili

Angkatan 20
Sorak-sorai tak lagi terdengar di tengah jalan

Seragam terpaksa harus di gantung ulang

Corat-coret hanya untuk tertawa

Tiada kesan mendalam di tahun ini

Kata lulus?

Di tahun ke dua puluh?

Terduduk lesuh di teras rumah

Sepuntung rokok menjadi saksi

Angkatan pahit telah terlahir

Bukan karena wabah mematikan

Atau Corona yang tak terlihat

Ini tentang sejarah yang akan terpampang

Begitu dekil lulusan ini

Ijazah tanpa ujian

Keluar tanpa hambatan

Jangan bertanya tentang cita-cita

Kalau aljabar saja tak engkau pecahkan

Hati Yang Gelisah

Malam ini begitu gelap


Bagaikan sepi tak kunjung ramai

Manakala hati sedang gelisah

Menuntut suatu yang ditunggu tak kujung datang

Mulailah untuk menjadi pertama

Menjadi seorang pertama yang menciptakan suasana baru

Dengan tujuan yang indah

Yakinkan hati untuk siap menerima

Menerima gapaian yang indah

Selimut meneduhkan seluruh tubuhku

Yang menghangatkan sekujur tubuhku yang meriang setengah mati

Dengan keadaan hati yang gelisah

Dan hatipun ingin ikut bersedih

Antara Kopi dan Kamu

Hitam

Pahit

Tapi melenakan

Teman terbaik kala mencari inspirasi

Tanpanya, seperti ada yang kurang

Seperti kamu

Semenjak kepergianmu
Hidupku tak lagi sama

Tak ada canda

Tak ada tawa

Tak ada tatapan sayu penuh bujuk rayu

Tanpa kopi aku tak bisa berpikir

Tanpa kamu aku kehilangan nalar

Cepat kembali

Aku rindu

Semesta Selalu Punya Cara

Aku dan kamu pernah menjadi cerita

Semesta selalu punya cara

Mempertemukan kita

Menghadirkan engkau sebagai penggalan bagian dari cerita di hidupku

Semesta juga punya cara

Memberi pelajaran, bahwa yang datang

Pasti punya hikmah

Entah menjadi bagian dari hidup atau hanya menjadi kisah

Yang kemudian membekas di ingatan atau dipaksa untuk melupa secara perlahan

Jua
Perihal kepergian,

Tak ada yang bisa menebak

Tak ada juga yang bisa mengelak

Tak ada yang benar-benar ingin

Perihal kepergian

Rasanya masih tetap sama

Perih, menjerit yang tak usai

Menikam ego, mencerca rasa

Perihal kepergian

Membumikan syukur usah

Untuk meredam sukar

Jangan lalai melangitkan permohonan

Detik Itu Berhenti

Anak-anak tangga

Kaki-kaki tua lontok, menapaki tiap anak tangga itu

Jeruji adalah bebas bagi mereka yang patuh

Jalan terjang, telanjang, lencun dihujani embun tiap malam

Aroma daun yang basah, dan kaki tua itu

Tabah. Menjahit luka yang menganga, mengaborsi keakuan


Meski harus terus menjerit, tiap kali benang dipintal

Detik itu berhenti, saat jahitannya berakhir dengan rapi

Usai dengan khusyuk, Kaki tua itu, bercerai dengan anak tangganya, menuju peraduan yang tak
berbilang material

Pun kesakitan menemukan hasilnya

Pulang.

Dia, Rindu, dan Doa yang Dilangitkan

Untukmu yang masih merangkum dalam doa

Jejak-jejak yang masih kuyup berwarna

Memoar yang bertengger di beranda

Pola senyuman yang samar mengembara

Sendu itu masih saja berbenam merona

Bunyi rindu yang menera

Nadi-nadi yang seirama

Bersama suasana menunggu lima purnama

Aku tahu, simpul senyum itu samar sedia

Bilah mimpi ditambah sunyi menyapa

Membuat bekas debaran gempita

Dalam gempuran yang dipinta pada semesta


Telah kuikuti langkah melangitkan doa

Dengan elegi sajak yang masih setia

Semoga nadi kita menyatu dengan cinta

Bersama dengan memapah usaha

Khilafku

Tanpa sadar

Telah banyak hal yang tak guna kulakukan dulu

Sungguh perihnya hati ini mengingatnya

Di mana jika mengingat kekhilafanku dulu

Wahai Tuhan yang membolak-balik hati

Bimbinglah diri ini

Untuk terus memperbaiki diriku yang penuh kesalahan

Tuhan yang Maha memberikan kesejukan

Berikan segala ampunan-Mu

Kepada hamba-Mu ini

Hamba yang penuh khilaf akan dahulu

Janji Pasti Semesta


Oleh: Cindrika Yusuf

Pada tetes embun pagi

Pada embus angin malam

Dijaga satu nama dalam doa

Diterbangkan harap dengan semoga

Bait-bait doa terlangitkan

Syair-syair yang sarat akan rindu didendangkan

Untuk sebuah nama hadiah semesta

Kelak di akhir penantian suatu masa

Pada langit yang tak pernah malu menangis

Untuk bumi yang tak pernah lelah menanti

Tak perlu untuk saling sibuk mencari

Namun sibuklah bagaimana untuk menjadi

Tangis akan mereda

Senyum akan merekah

Pada peluk yang senantiasa terbuka

Pada bahu untuk bermanja

Rain-du

Pada kelana malam tiada kesudahan


Di atas rona hitam yang tertawan

Di antara desir bayu

Debit rindu merayu

Mungkinkah kita bersua?

sementara spasi jarak memintal pisah

Bagaimana ku menyalami rahasia

sementara rindu memenuhi almanak asa

Diksi-diksiku telah patah

Dihujam batu karang ilusi

Rasaku bersimbah perih

Menelan sunyi

Kau dan sepenggal kenangan

Masih tersisa dalam dada

Turun bersama hujan

Kian mengantar rindu dan basah

Hujan dan Dia

Aku tak suka saat hujan turun

Meski kutahu itu berkah

Itu rahmat

Itu bermanfaat
Aku hanya tak suka akan kenangan yang ia ciptakan

Memori kelam yang mencabut seluruh kebahagiaan

Peristiwa pahit yang merampas orang yang kusayang

Mungkin itu bukan salah hujan

Aku pun tak ingin menyalahkannya

Meski setiap ia turun

Aku mendadak benci

Benci hujan

Benci dia

Di Sudut Kota

Aku terdiam di sini

Kurenungi diriku yang kini kian membisu

Memandang keadaan kota yang telah mati

Keadaannya pun kini berbeda

Tak seorang pun yang kukenal

Lalu-lalang keramaian kota pun kini telah tergantikan sebuah keterasingan

Di sudut kota ini

Ku melihat semua kenangan yang telah hilang

Kupandang mimpi yangtertinggal

Lalu diriku pun bertanya, "Kapankah semua akan pulih?"

Ah, mungkin tidak dan semua itu hanyalah harapan nan semu

Dan hanya anganlah yang kini terbesit dalam benak


Berhentilah Teman

Teman,

Masihkah kauingat janji kita?

Tertulis rapi di atas meja

yang kauukir dengan pisau baja

Sahabat,

40 tahun berlalu sudah

Sejak komitmen bodoh itu menjadi sumpah

Kelak tak ada antara kita yang jadi bedebah

Tapi kini kau ingkari itu, kawan

Aku terus menyaksikan berbagai kekejaman

Teriakan tak berdaya dari mereka yang kau tindas atas nama kekuasaan

Ayolah

Dengan posisimu kau harusnya jadi pahlawan

Mendapat berbagai macam pujian

Bukan makian

Saudaraku,

Kuyakin kau masih percaya Tuhan


Jadi berhentilah agar tak ada penyesalan

Hingga saat kau kembali ke kampung halaman

Kau akan disambut dengan penuh cinta dan sayang

Bukan kebencian

Meneguhkan Samar

Senja mengikis luka paling dalam

Lebam, merekah tak tahu arah

Menjumpai mimpi paling sendu

Menggores hingga mencuat empedu

Kau menatapku dengan syahda

Lalu menjelma menjadi beban

Di pelataran, kau memelihara lara

Kemudian mengambil janji peneguh

Jauh ke bawah, kau mencarik semu

Membuat luka menguak pilu

Melebur dalam keadaan parau

Mendikte rasa memang segamang itu

Di antara kening tak lupa kau mengirimkan pujian

Kukira kau labil dalam urusan terluka


Spekulasiku ternyata keliru

Kau meluhurkan Tuhan di atas pilu

Palestina

Pada dunia

Mungkin, dan benar saja

Namamu hilang

Tak kutemukan

Kulihat di sana

Bertebaran belasungkawa

Berlomba, seolah paling iba

Atas bumimu yang dijamah

Palestina dan Gaza

Masih ada

Di hati para panglimanya

Di jihad para pejuangnya

Mama

Ada perempuan paruh baya yang semakin tua


Wajahnya dahulu cantik sebab pernah menjadi kembang desa

Hari ini aku jengkel padanya, karena semakin dia tua

kelupaannya semakin menjadi

Namun sedetik aku berpikir bagaimana pada saat aku lahir

Menjadi anak-anak dan yang pasti membuat berantakkan rumah

Belajar mengingat sama halnya dengan mama yang mulai melupa

Aku pun pasti sering membuat jengkel mama.

Setiap kali aku jengkel, kududukkan diriku memikirkan kembali semuanya dan berIstigfar

Semoga Tuhan mengampuni dosanya dan menyayanginya

Sebagaimana Dia menyayangiku di waktu kecil

Kepulangan Mata Air Keilmuan

Cahaya itu mulai redup

Lidah yang masih kuyup tertatih

Zikir yang dirapal sayu berbisik halus

Tanda semakin dekat

Beranjak pergi berpindah tempat

Batinku mulai diguncang

Ragaku mulai terpaut

Akalku mulai menegun

Mutiara hatiku terasa berdenyut


Jiwaku seolah-olah mulai berkabut

Pesan itu seakan menjadi alarm

Mungkin masih tertancap gemintang do’a

Tali-temali yang mengikat kuat

Sambung menyambung menjadi hidup

Getar nadi yang semakin hebat

Wahai cahaya ilmu yang akan berpamit pulang

Do’a yang dipanjatkan terus-menerus dalam tulus

Yang senantiasa bersimpul senyum ceria

Semesta akan siap menyambut

Titipkan salam rinduku pada kekasih Allah, Baginda Rasulullah SAW

Begitu Pula Dirimu

Oleh: Cindrika Yusuf

Yang terjadi, kadang tak sesuai apa yang terlihat

Yang terlihat, kadang tak seperti yang seharusnya

Mata bisa menipu, pendengaran bisa keliru

Namun hati yang bersih akan selalu teguh tak terpengaruh

Tak hanya pedang tajam yang bisa menyayat

Bukan saja senapan laras panjang yang bisa melukai


Meski diam bukan satu jalan terbaik memahami

Jiwa yang suci tidak akan terbuai menghakimi

Jaga lidah, jaga kata

Sebab di sana ada hati yang selalu berusaha mengerti

Di balik gemercik-gemercik api tutur

Ada bulir bening yang meluruh jatuh

Tercengang Mengenang

Sehelai rambut disapu angin

Melayang bersama debu-debu jalanan

Kabut hari ini, menyelubungi Pertiwi

Menandakan kepergian seorang yang amat arif dalam tiap halaman puisinya

Raga tiada lagi berfungsi, namun jiwa menjelma puisi.

Akhir hujan di bulan Juni, dia masih menunggu embusan nafas hujan di bulan Juli

Tak meronta, tetesan hujannya memberi damai, mengingat waktu tua dan segala karyanya

Tutup usia.

Cipta Senimu memberi goresan pekat,

bahwa kau hidup abadi didalamnya.

Meski, dada “Tercengang Mengenang”

Selamat Jalan, Eyang Sapardi Djoko Damono.


Rapuhnya Ibu Pertiwi

Desiran ombak yang menghantam mimpi, menuntun membelah harapan

Menenun cita-cita di atas pasir yang mudah terhapus, menjulang mengambil keputusan

Apakah engkau melihat orang-orang yang terhempas di luasnya dataran itu?

Menjerit, mengais-ngais di permukaan tanah kepunyaannya

Badan tertinggi di sini bersifat semaunya, yang dengan mudahnya menggerogoti setiap jelata

Mengadopsi tenaga yang lain demi kelangsungan hidupnya

Menuai pujian adalah kebanggaan bagi mereka

Hidup hanya sebatas sensasi kehebatan belaka

Lalu, meluapkan emosi pada mereka yang berorasi kebebasan

Di tengah kepelikan ibu Pertiwi

aku memilih mencintaimu

Walaupun rasa ini tak dapat melampaui kekagumanku pada indahnya negeri ini

Patah Hati Olehmu

Hujan bulan Juni, yang menjatuhkan tangis di bulan Juli


Jasadmu telah kembali, namun ruhmu tetap abadi

Bersama rangkaian puisi

Karya dan sajak-sajak yang takkan pernah mati

Kau berhasil meluluh lantakkan setiap insan

Membunuh perasaan lewat goresan

Hingga air mata jatuh karena sebuah kepergian

Tanpa sempat ada pertemuan

Olehmu hari ini diliputi nestapa

Dunia sastra sedang berduka

Selamat jalan sang Maestro

Kami tetap melangitkan jejakmu

Walau itu dengan kata atau rangkaian rasa

Dirimu tetap abadi meski dalam semu

Untukmu,

Pada suatu hari nanti

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Sang Motivator Sejatiku

Sang Kakak utusan Allah

Nasihat yang kau beri


Jadikannya sosok panduan yang berarti

Guna bagiku di masa depan

Motivator sejatiku ...

Jika aku melakukan kesalahan dalam berkata

Tanpa berfikir kau menasehatiku

Kau juga selalu menciptakan solusi

Dari perangkap kehidupan yang membelenggu pikiranku

Jadikan diri ini sebening air jernih

Semangat motivasiku yang tak pernah lelah

Dari nasihat yang kau beri

Ikhlas dan tulus nasihatmu

Tuk raih tujuan hidupku

Sang Motivator sejatiku ...

Janganlah kau berubah

Memberikan nasihat

Dari kehidupanku yang fana ini

Aku masih sangat membutuhkan

Sosok kakak yang menasehatiku

Sepanjang aku bersalah dalam setiap tuturku

Labirin
Oleh: Sri Vona Kasim

Lugu aku mengikuti arus kepalamu

Bersandar di dinding-dinding takdir

Merangkak di jalan-jalan sunyi

Memilah-milih tiap kejadian

Menggelandang dianggap sebagai anak kandung

Menggembala adalah lazim, sebagaimana tapak para utusan

Labirin.

Mengapa sepelik ini?

Padahal, dalam Ummul Qitab, jelas diajarkan meminta ditunjuki jalan yang lurus

Atau, bagaimanakah maknawi kalimatullah itu?

Ooh, yang Maha Agung?

Ternyata labirin yang sukar itu, bukanlah jalanmu

Melainkan jalan pikirku tanpa iman dan menaruh minat pada kelabilan

Peradaban Guyonan

Suara telah menjadi makam

Teriakan tak lagi menjadi distopia

Kepalan tangan telah berubah ke bawah

Tatap menatap seolah semiotika ketundukan


Kau rela menukar pahit kopi dengan sekepal ideologi

Berpangku tangan sembunyi-sembunyi senyuman

Setitik rasa bersalah pun kau tak pernah punya

Mau apalagi, jika semuanya telah menjadi kebengisan

Tuan!

Jeritan kecil itu memang lemah

Kubangan idealis telah kau injak

Peradaban guyonan sengaja kau besarkan

Sekali lagi, Tuan!

Jika mentari masih sama

Melepaskan teranganya di segala penjuru dunia

Tidak ada kata menyerah menghembuskan raung keadilan pada jagat raya

Kau Juga Harus Bahagia

Oleh: Cindrika Yusuf

Bulir bening tunduk di bawah senyum yang kauulas

Tercipta getir di sela cerita yang tengah kaulakoni

Tanah-tanah basah masih setia kaulangkahi

Tak ayal menyisa jejak yang nantinya akan melukai


Kau lemah, akuilah!

Jangan pongah dengan berlindung di balik kata setia

Jangan lukai diri dengan ucap janji yang sebatas kata

Tidak! Jangan sekali-kali!

Kau tahu, Anna!

Seikhlas daun jatuh yang tak pernah membenci angin

Setenang aroma petrikor hujan bulan Juli

Hatimu bisa sedamai itu ketika memilih melepaskan

Kelak, kan kupinta kau berbalik memunggungi

Meski penolakan adalah hal yang akan kudapati

Raih tanganku agar kita bisa bergandengan

Untuk proses yang lebih mendewasakan

Kelak, akan kuceritakan pada dia yang jadi duniaku

Antara Sandai dan Bumi Nyiur Melambai

Pernah tercipta peluk untuk berpulang

Meski dengan cerita berbeda yang selalu berulang

Meja Hijau

Aku,

Adalah pengembara
Menelusuri lembaran kertas

Mendekap tinta pena

Aku,

Adalah mimpi

Yang lari dari masa lampau

Nanti,

Akan kuceritakan

Tentang meja hijau

Dan pertarungan

Di sana,

Ada cinta

Dan air mata

Kehilangan yang Tak Semestinya

Bahu ayahku tidaklah sekuat dulu

Ia tak lagi bisa memikul semen, mencampurkannya dan mengaduknya

Membuatkan orang-orang sebuah rumah

Yang membuat mereka bahagia dan penuh cinta

Melindungi dari panas dan dinginnya hujan


Kini ia berbaring di rumah sakit

Tempat yang seharusnya tak kami kunjungi, apalagi di tengah pandemi

Tak hanya khawatir soal virus yang merajalela

Soal keuangan pun menjadi masalah

Aku tak sanggup melihat ringkihan wajah ayah yang kesakitan

juga tetesan air dari mata ibu yang terus berjatuhan

Aku hanya bisa berdoa dan juga membantu ibu dari rumah

sebab kehilangan yang paling menyakitkan adalah kehilangan mereka berdua

Tak bisa dibayangkan dan tak mau kubayangkan

Bestie & Twins

Kamu itu berarti untukku


Lukamu juga lukaku
Sakitmu juga sakitku
Bahagiamu juga bahagiaku

Buatku kalian lebih dari sahabat untukku


Kalian saudaraku
Walau kita belum pernah bertemu
Namun hati dan pemikiran kita telah menyatu

Kumohon jangan pernah pergi meninggalkanku


Kalian juga motivasiku
Motivasi ketika lelah menghampiriku
Bangkitkan kembali semangatku

Terima kasih telah hadir untukku


Menemani segala gundahku
Membantu selesaikan masalahku
Membuat senyuman terukir di wajahku

Aku sayang kalian


Tetap disini, ya, saling membahagiakan
Saling berbagi kesedihan
Saling berbagi pengalaman

Kalian takkan pernah terlupakan


Maaf bila selama ini aku ada kesalahan
Maaf telah menjadi beban
Aku di sini hanya bisa berharap yang terbaik untuk kalian

Harapku hanya satu


Semoga saja waktu
Mengizinkan kita untuk bertemu
Saling melepas rindu

Kita harus bisa

Sukses bersama

Kita harus berusaha

Tuk selalu bahagia


Kupu-Kupu Kehidupan

Pernahkah kau melihat kupu-kupu saat ia terbang?

Betapa cantik dan indahnya

Pernahkah kau menatap langit di musim layang-layang?

Beraneka warna menentramkan jiwa

Pernahkah kau sejenak merenungi hakikat penciptaan?

Untuk apa engkau dilahirkan

Pernahkah sebentar kau pikirkan jalannya kehidupan?

Penuh riak godaan dan cobaan

Hidup ini sederhana

Seperti proses metamorfosis ulat menjadi kupu-kupu

Jalani saja

Sampai datang waktu yang telah dijanjikan untukmu

Melepas Lara Menyapa Luka

Oleh: Cindrika Yusuf

Ya, seperti waktu itu

Kau berbalik pergi

Aku selalu saja peduli


Mencari kata kita dalam luka

Menakar candu kita dalam sendu

Setiap waktu terbuang percuma

Memanja perih tuk dekap mesra

Meski luka adalah akhir dari segala

Nanti, akan kuceritakan pada dia

Ada rasa yang pernah terbiar

Tentu dengan senyum meyakinkan

Agar tak lagi ditinggalkan

Nanti, takkan kubiarkan ia terluka

Sedikit menepi untuk memeluk sapa

Meraih cinta hilangkan nestapa

Dalam harap diuntai semoga

Aksara Pseudo

Di saat mentari melepaskan kuningnya

Dalam gedung bertema pancasila

Berdesakan petitih dari gelegar suara

Bergelora menusuk dada

Mengeraskan kepalan tangan dera


Dengan lantang menenteng jemawa

Raut wajah garang memerah distopia

Liur yang berdesakan liar gempita

Sajak yang dirobek suara

Seolah membela kebenaran nyata

Ternyata bermuatan nostalgia

Yang dikecam sejarah lama

Keluh

Kita pernah bersua sampai akhirnya mengucap sumpah

Lalu menjelma menjadi sepasang yang asing

Meluluh lantakkan ikrar yang dijaga

Mengoyak kisah yang dibuat atas dasar rasa

Di penghujung cerita yang terangkai

Kau melukis rias dengan bagus

Menembus ruang dalam tatap

Lantas menaburi racun di rongga yang berbatas

Dewasa ternyata tak melulu bentuk tubuh

Pun tak harus hidup lebih lama

Tapi, tentang bagaimana engkau mensyukuri segala sebab


Jeritan di Penutup Juli

Rembulan tenggelam di matamu

Mencuri tatap yang meredup

Bersimpuh pada hari-hari penuh sesak

Di penghujung Juli, rintik hujan tak juga reda

Menerima setiap tumpahan hari penuh luka

Menemukan setiap sudut ruang hampir semu

Pada jingga yang selalu indah ketika beradu dengan awan,

dan pada jiwa yang mulai lelah untuk berjuang

Tatkala engkau kembali pada Sang pemberi waktu

Hari itu benar-benar syahdu, namun tetap

Harapan di Penghujung Kelabu

Tetesan embun itu, jatuh tepat di bawah bibir buas

Nanar menatap penuh penyesalan

Hari ini benar-benar berat.

Mentari yang kini malu lantas kembali ke peraduan

Di sudut kota, gugusan air mata berderai,


ada janji yang tidak ditepati,

ada ucapan yang diindahkan lantas dilupakan dengan mudah

Di ujung tanduk,

Kau mulai merayu dengan gemulai,

seolah ingin bertakhta kembali, padahal melihat sekeliling saja renggang

Di pinggiran jalan,

Ada setumpuk tangan yang mulai menyebarkan selebaran

lalu lalai merangkul kegagalan

Bukan untuk berjuang menjadi, malah menjanji

Di raga yang mulai resah, ada asa yang mulai rentan

Semangat yang dibangun tidak lagi berkobar

Lagi, yang tahu jangan diam, ketimpangan tidak untuk dilestarikan

Penyair Berjilbab

Lewat lisan penuh makna

Sang penyair sedang berkata


Berjilbablah dengan niat tanpa paksaan

Agar kelihatan penuh sinar keimanan

Benar memang ...

Indah kemilau jika dipandang

Bagaikan bunga sedang mekar di pagi hari

Tetapi itu semua sangatlah sedikit

Jilbab mereka sekarang kotor

Langkah keji, maksiat dimana-mana

Sedih, sangat sedih

Sekarang mereka hanya menganggap jilbab hanya trending saja

Rupanya penyair tertarik

Karena jilbabku tetap suci

Potret Belakang Sahabat

Oleh: Cindrika Yusuf

Kisah indah yang kita torehkan, biarlah menjelma dongeng yang hanya bisa dikenang
Harap yang pernah kita bingkai bersama, biarlah jadi tetes bening yang luruh dengan semoga

Tak perlu kaugambarkan luas langit, agar aku berbalik menggamit

Tak harus kaupadamkan api, agar ikhlas memenuhi hati

Dusta yang kaugaungkan, fitnah yang kausebarkan, biar menjadi abu untuk kehidupan yang telah
lalu

Kembali jalin persahabatan

Kembali bingkai potret harapan

Saling bergandeng riang

Menuju jannah tempat pulang

Kebanggaan Seorang Anak Gorontalo

Gorontaloku,

Belasan tahun telah berlalu

Sejak para pejuang provinsi mendeklarasikanmu

Berdiri sendiri untuk kemaslahatan rakyatmu

Demi cita-cita luhur, mensejahterakan masyarakatmu

Gorontaloku,
Pesonamu membentang dari ujung Gorut sampai Pohuwato

Taman Olele, Pulau Saronde, Benteng Otanaha, sampai Danau Limboto jadi obyek wisata
andalanmu

Binte Biluhuta, Perkedel duwo, tumiti lo manggaba’i juga ilabulo

Siap memanjakan lidah wisatawan yang mencari kuliner khasmu

Gorontaloku,

Adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah jadi mottomu

Bendi, Bentor, dan Karawo jadi ciri khasmu

Nani Wartabone pahlawan nasional kebanggaanmu

Keindahan tak terkira membuat para tamu ingin selalu mengunjungimu

Gorontaloku,

Aku bersyukur menjadi bagianmu

Aku bahagia tinggal di wilayahmu

Dan dengan bangga kukatakan pada setiap orang yang bertanya dari mana asalku

Gorontalo kampung halamanku

Puisi Untuk Tuhan


Lama aku mengembara

Pada belantara tak bermuara

Tersesat, sesak menyisakan noktah

Setiap jejak terjarah nista

Ke manakah lagi netra bersua

Di persimpangan penuh bimbang

Menghitung denyut dosa tak berasa

Menepi, meraba pinta

Aku mematung dalam kaca yang gulita

Ingar bingar dunia kelabu dalam tatap mata

Tiada yang tersisa

Apalah lagi jiwa yang hanya titipan-Nya

Tuhan ...

Di titik nadi kepulangan

Izinkan aku menyeka air mata pertaubatan

Di atas raga yang hina-dina


Alegi Negeri Lima Dimensi

Aku rapuh, tapi kau lebih layu

Engkau lihat bibirku

Yang dilanda kemarau berkepanjangan

Ususku menjalar liar ke otak dan tangan

Aduhai, betapa sengsaranya diriku

Sedang bibirmu, penuh retak dengan pahitnya kenyataan

Juga badanmu

Terlalu banyak cacing-cacing bengis yang mulai menggerogoti perlahan

Sungguh sekarat lagi dirimu

Wajahku pucat kerut

Tapi lihat wajahmu

Lebih pucat dan lebih kisut

Seperti daging kelapa masak yang diparut

"Hah, kamu terlalu tua, Pak!"

Alihkan pandanganmu dariku

Lihatlah apa yang terjadi di negerimu!


Garudamu yang dulu gagah perkasa

Kini dalam ambang kematian

Terbaring lemah tak berdaya

Hanya menanti datangnya keajaiban

O, sungguh malangnya dia ...

Dikerumuni oleh para algojo berdasi

Dengan bibir yang manis mengemulsi

Sesekali pisau dan tumbak-tumbak besi

mencongkel bagian dadanya yang paling suci

Kutegaskan padamu, Pak!

Banteng kita tak lagi gagah bertanduk

Sebab Beringin telah habis dibakar

Rantai suci tak mampu lagi mengikat persatuan antara Padi dan Kapas

Bintang-bintang enggan untuk turun kebumi

Jemu dengan tingkah laku para petinggi

Semesta dalam dadaku bergemuruh

Semesta dalam dada garudamu juga bergemuruh


Maukah engkau kembali?

Sekadar monolong sang Garuda Hati?

Ah! Itu berita basi

hanyalah dongeng tanpa isi

Semoga tentaramu yang baik hati

belum semuanya mati

Biar kami saja yang mengurusi

Dalam negeri lima dimensi

Alibi Korupsi

Di sini ...

Di sudut warung kopi

Segelintir kawula muda dan kaum berdasi

Berkumpul dengan sejawat sendiri

Semuanya bercanda dengan segala imajinasi

Ada yang sekadar membincangkan literasi


Jua berceloteh lantang tentang negeri

Memainkan kata dan kalimat opini

Tapi ...

Semuanya berubah bermain mata saat topiknya birokrasi

Saling lempar dadu dan sembunyi-sembunyi

Seakan merencanakan untuk korupsi

Sebagai anak emas bangsa ini

Korupsi harus kita basmi

Walaupun harus mati-matian berjuang diri

Demi negeri dan anak cucu kita nanti

Selesai

Oleh: Qomariah Abusama

Coba lihat

Detak jarum meniti saat

Menghitung waktu kepulangan

Adakah yang dapat menghentikan?


Apa yang dibanggakan?

Sedang tempat terakhir adalah kuburan

Adakah amal jadi perbekalan?

Saat raga lengah dalam kenistaan

Saat diberi jatah dunia

Hati lupa kepada Tuhannya

Saat nyawa dikerongkongan

Meraung meminta ampunan

Sayang ...

Kita terlambat

Kala waktu berhenti berdetak

Kita selesai

Gorontalo, 18 Januari 2021

Yang Baik, Yang Pergi

Oleh: Qomariah Abusama

Januari dua ribu dua puluh satu

Aku kau dan kita semua tau

Ada duka yang membiru

Tangis yang membeku


Jangan tanya mengapa

Apakah Tuhan sengaja?

Tentu tidak, jawabnya

Kita terlalu bangga menumpuk dosa

Negeri ini sedang diuji

Pun sedang diberi sanksi

Sebab Tuhan tak lagi ditakuti

Sedang pemimpin negeri semakin menjadi-jadi

Yang Baik, yang lebih dulu pergi

Sebab bumi ini akan segera usai

Sedang kita masih saja terbuai

Dalam tobat yang terus saja lalai

Gorontalo, 20 Januari 2021

Nikmat dunia

Oleh: Qomariah Abusama

Degup reranting, sematkan cinta

Semesta bukti kebesaran-Nya

Tapi manusia masih saja terlena


Nikmat dunia

Di sana-sini merajut tawa

Pantai, gunung dan bukit jadi wisata

Seolah rumah-Nya hanya pelarian kala duka

Syair alam dianggap becanda

Haruskah kita diberi bencana

Agar netra sadar terbuka

Lupakah kita takkan lama

Helaian kafan siap membungkus raga

Gorontalo, 26 Januari 2021

Pergilah Kasih

Oleh: Annisa Inayah

Menikah itu berat

Bersiap sekuat hati

Untuk kehilangan diri

Tapi ...

Berjuang dengan segenap jiwa

Agar berkumpul di surga

Selamanya
Bahagia

Oleh: Annisa Inayah

Kau tahu Hayati?

Ada seorang manusia

Yang paling bahagia

Siapa dia? Adalah orang

Yang tidak pernah melupakan rasa syukurnya

Semangat bertemu Allah

Oleh: Annisa Inayah

Hujan yang akan turun malam ini

Menjadi butiran kenangan di matamu

Lalu, rasa malasmu menyelimuti

Begitu pula dengan kaki

Enggan beranjak

Menunaikan salat

Bertemu pencipta

Untuk malam ini, kopiku boleh surut

Tapi semangat salatmu jangan


Januari

Oleh: Annisa Inayah

Belum 17 hari di bulan Januari

Indonesia telah berduka

Dari udara, tanah, gunung, bahkan laut seakan murka

Sedikit memarahi manusia, bumi mungkin lelah menampung segala keserakahan kita

Sebagai manusia, tidak sepatutnya kita juga menyerah, tetap perbaiki diri dan mawas diri

Januariku di tahun 2021 tidak baik-baik saja

Semoga esok akan lebih baik lagi

Kopi Pahit

Oleh: Ika Budianti

Kopi di pagi ini rasanya pahit

Sangat menggigit sampai sembelit

Apakah ini bertanda aku sakit

Atau racikannya yang kurang sedikit

Oh, tidak! Kopi ini memang pahit

Seperti kisahku yang amat rumit


Penuh dengan jerit dan rasa sakit

Namun tetap berjalan tanpa pamit

Hei, kopi! Aroma dan rasamu unik

Semua penggemarmu begitu asik

Menikmatimu santai dan tidak panik

Memberikan inspirasi dengan baik

Terimakasih kopiku,

Pahitmu buatku bangkit

Hitammu membuat aku tentram

NEGERIKU BERCANDA

Oleh: Ika Budianti

Negeriku banyak becanda

Bekerja seperti kelalawar

Memutuskan keputusan di malam hari

Siang bekerja sambil tertidur

Membiarkan orang asing mengendap memasuki negeri ini

Tanpa mengusut masyarakat untuk tahu

Kurang apa lagi negeri ini?

Urusan politik, bahkan dalam keputusan saja becanda


Apakah para pejabat, dan Bapak Presiden semuanya pelawak?

Mereka menyalahkan rakyat untuk menutupi kesalahannya sendiri?

Mengemban dan menumpas hak para rakyat?

Seperti itukah yang namanya negeri damai?

Seperti itukah namanya negeri solidaritas?

Jika mereka hanyalah mementingkan perut sendiri

Tanpa memperhatikan perut rakyat?

Adilkah negeriku?

Pantaskah aku pertahankan pemimpin negeriku?

Kami mohon,

Tegakkan keadilan

Tetapkan pesangon para buruh

Tetapkan hukuman yang semestinya

Kami bukan boneka

Kamu punya akal dan hati nurani

Kami bisa membedakan mana yang benar dan yang salah

Kami juga bisa membedakan, pendusta atau bukan

Kami menjerit

Dengan hati yang terasa sakit.


Gorontalo, 13 Oktober 2020

Bulan Pahit

Oleh: Ika Budianti

Di bulan ini aku banyak kehilangan

Orang-orang yang kusayang

Yang kurasakan hanyalah kesedihan

Tak pernah kusangka kematian itu datang

Memang di tanggal yang berbeda tapi di bulan yang sama

Walau bukan tepat di hari kelahiranku

Tetap saja semua itu buat tawaku sirna

Karena semua terjadi tepat setelah hari bahagiaku

Apakah masih pantas aku bahagia?

Bila di bulan ini aku banyak rasakan kehilangan

Masih pantaskah aku tertawa?

Di saat kuharus menerima kepahitan

Hatiku rasanya hampa

Di saat harapanku musnah

Harapan bertemu sebelum mereka menutup mata


Namun jarak tak mampu kutempuh

Air mata pun banyak terjatuh

Ketika aku mengingat sebuah momen

Yang buat hatiku tersentuh

Walau kini tak bisa lagi kurasakan

Kini kurasakan sepi yang menerpa

Hari-hariku pun jadi kacau balau

Fokusku pun tersita

Ketenanganku pun terganggu

Kini aku juga rasakan rindu

Yang hinggap di hati

Akankah kita dapat bertemu

Di keabadian nanti

Aku memilih jalan sepi

Oleh: Idris S. R. Hambrita

Aku memilih jalan sepi

Jika banyak keramaian yang hanya ikut-ikutan, karena tak kuat menahan beban

Aku memilih jalan sepi


Di sana, aku bisa bercakap ria dengan alam dan ketenangan

Aku memilih jalan sepi

Berjalan dengan kedua kaki, dan menemukan banyak misteri

Dan Aku memilih jalan sepi

Mengais-ngais sisa cinta dan kasih sayang tak berperi

Gorontalo, 1 Februari 2020

Simpul-simpul Eufemisme

Oleh: Idris S. R. Hambrita

Aku mengais sisa-sisa kenikmatan

Di setiap kuluman hipotesis yang menyaji selembar fenomena

Menerangkan dengan seksama garis waktu

Beriring dengan musim semi yang menggugurkan bunga Hortensia

Barangkali, tak akan lagi sama

Seperti dahulu

Saat fajar masih terang-bersinar

Ketika bertukar budi mengikat imaji

Lekas
Terbang bebas

Meninggalkan bekas

Tapi tak bisa dilepas

Gorontalo, 8 Februari 2020

Sekuntum Doa di Bulan Juli

Oleh: Nur Ainun Hulawa

Bukan dengan sebuah kue yang dihiasi oleh lilin.

Atau balon berwarna-warni yang terpajang di sebuh dinding.

Apalagi diiringi lagu selamat

Dan bukan juga sebuah kado yang mahal meriah

Hanya sebuah kata yang kuharapkan

Kata yang penuh makna

Diucapkan dengan ikhlas

Di-Aamiikan oleh semesta

Dan segera tersampaikan pada sang Pencipta

Dia adalah Sebuah sekuntum doa yang terbaik dari kalian di bulan Juli ini.

Doa yang penuh dengan ikhlas.

Doa yang bermakna terucapkan.

Doa harapanku enggan menjadi baik.


Tabiat Manusia

Oleh: Kak Vona

Manusia buntu kerap menipu.

Jika memang imannya yang lumpuh.

Mereka gampang putus asa. Ingin segera, tapi enggan berusaha.

Menipu gaya andalan, berdogma “aku lemah” padahal malas saja.

Tak Benar-benar Pergi

Oleh: Kak Odi

Jangan mengira mereka pergi

Tidak

Kamu salah mengerti

Jangan mengira mereka mati

Tidak

Kamu harus lebih memahami

Mereka tak pernah mati

Mungkin jasadnya tak lagi di sisi

Namun karyanya akan selalu abadi


Mereka akan selalu menebar inspirasi

Bahkan bertahun-tahun setelah berakhir jatah hidupnya di dunia ini

Nama mereka akan tetap disebut berulangkali

Bahkan meski kita takkan pernah bersua walau hanya di alam mimpi

Penulis tetap akan abadi

Kemarin

Sekarang

Dan nanti

Mendengar Dengan Hati

Oleh: Kak Odi

Dengarkan kicauan burung di pagi hari

Meski tak tahu apa yang mereka nyanyikan

Kita akan tetap merasa nyaman

Terbuai larut sembari menyeruput secangkir kopi

Dengarkan suara jangkrik di persawahan

Walau tak paham apa yang mereka suarakan

Kita tetap merasa terhibur

Seperti saat sakit dan dipaksa menyantap bubur

Mendengar
Terkadang tak cukup hanya dengan telinga

Hati perlu terlibat meski secara samar

Karena rasa yang kadang bertentangan dengan logika

Untuk memahami butuh lebih dari sekedar pengetahuan

Karena ilmu yang terbatas tak dapat kita pungkiri

Beberapa hal tercipta tak butuh penjelasan

Cukup dirasakan dengan hati

Apa yang Kau Pinta?

Oleh: Kak Odi

Saat kau merasa susah

Hidup terasa tak baik-baik saja

Masalah membuat semakin payah

Apa yang kau pinta?

Kala hutang terus menumpuk

Kekuatanmu semakin lapuk

Musibah terus menerpa

Apa yang kau pinta?

Hidup memang takkan pernah seideal impian

Kadang harapan tak sesuai kenyataan


Menyerah tak lagi jadi sekedar kata

Apa yang kau pinta?

Apakah kau meminta keajaiban semesta?

Atau kau meminta Tuhan mencabut nyawamu saja?

Pernahkah kau berdoa?

Apa yang kau pinta?

Hidup memang kadang tak menyenangkan

Lalu apa yang kau pinta?

Takdir kadang terlihat menyakitkan

Lantas apa yang kau pinta?

Yang Terjaga

Oleh: Cindrika Yusuf

Di antara garis putih fajar yang merangkak naik,

Syukur tak henti-hentinya menguap lebar.

Lantunan ayat-ayat mengudara

Lisan-lisan basah dengan zikir dan doa

Menggetarkan setiap hati yang mengeja

Menggelora bersama kabut-kabut pagi merona


Sudah semestinya dijaga baik-baik

Mempertahankan tak semudah mendapatkan

Tak boleh meremehkan

Sebab ia menetap hanya pada hati-hati yang tunduk pada ketentuan-Nya

Bidadari Tercantikku

Oleh: Cindrika Yusuf

Entah berapa banyak kata yang harus kutuliskan

Berapa banyak syair yang harus kudendangkan

Juga berapa banyak syukur yang harus kupanjatkan

Untuk menggambarkan betapa beruntungnya aku memilikimu

Perputaran waktu seolah melaju saat bersamamu

Melambat saat jauh darimu

Laksana angin yang berembus menyejukkan

Begitu pula kala melihat senyummu yang menenangkan

Tetaplah cantik meski makin menua seiring waktu

Tetaplah bertahan walau kadang rasa tak mampu

Jangan berhenti menyayangiku

Juga jangan berkecil hati memaafkanku

Semua boleh hilang


Semua boleh pergi

Asal jangan dirimu

Yang selalu ada untukku

Gorontalo, 4 Maret 2021

Anda mungkin juga menyukai