Anda di halaman 1dari 6

Aku kira:

Beginilah nanti jadinya


Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padami


Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka

Februari 1943, Chairil Anwar

Sahabat baik seperti belajar naik sepeda


Walaupun lama tak bersua,
Jarak dan waktu memisahkan,
Saat bertemu Kembali, tetap sama
Mungkin sedikit kaku diawalnya, tapi sama menyenangkan

Sahabat baik laksana lukisan bersejarah


Walaupun muncul teman baru, pekerjaan baru
Selalu ada tempat meletakkan lukisan tersebut
Di ruangan terbaik, dan semakin bernilai

Sahabat baik seperti hujan


Yang menyiram lembut tanah gersang nan tandus
Agar tumbuh benih benih manfaat
Besok lusa tinggi menjulang karena kepedulian
Selalu begitu, tak pernah berubah

Aduhai,
Sahabat baik bagai waker, dia mengingkatkan
Sahabat baik bagai helm, dia melindungi
Pun bagai sapu lidi, tiada guna sapunya kalua hanya sehelai lidi
Sahabat baik adalah segalanya

Dan tentu saja


Dia lebih Istimewa dibanding HP, laptop, gadget kita
Yang pasti dibuang saat rusak atau ketinggalan jaman
Sahabat baik selalu sebaliknya; semakin lama, semakin Istimewa
Selalu spesial
Pagiku hilang sudah melayang,
Hari mudaku sudah pergi
Kini petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi

Aku lalai di hari pagi


Beta lengah di masa muda
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu, miskin harta

Ah, apa guna kusesalkan


Menyesal tua tiada berguna
Hanya menambah luka sukma

Kepada yang muda kuharapkan


Atur barisan di hari pagi
Menuju arah padang bakti.

Ali Hasjmy

Kau bilang aku burung?


Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah
tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu

Tolong tafsirkan aku


sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam

Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat


untuk bisa lebih lama bersamamu
Tolong ciptakan makna bagiku
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.
Sapardi Djoko Damono

Kala itu tamparan duri kau pisaukan


Janji manis membuatku terbelengu buta olehmu
Kau tahu? Aku menunggu janjimu itu tuan
Katanya kita akan mengajakku melihat senja
Katanya kau akan mengajakku menerka isi dunia
Katanya katanya kapan nyatanya?
Kini aku tau posisiku tak begitu berarti
Kau lupa, saat jatuh tangan siapa yang kau sentuh?
Saat kau terluka olehnya, Pundak sapa yang kau sandari
Saat titik terendahmu, siapa yang membantumu bangkit
Ingat tuan goresan ini ujung karma abadi untukmu

Bodohnya aku
Selalu mengaggapnya seperti sang senja
Dimana aku bisa merasa tenang
Ya kentenangan yang sekilas terbawa angin
Padahal aku tau senja tak selalu sama
Bolehkah, mengharapkan senja yang sama terulang Kembali?

Amanda rahma

Sorot matamu itu penuh cemas dan ragu


Kau mahir menyembunyikan lara itu
Membungkus rapi dengan canda dan gelak tawamu
Kau memang pandai berpura-pura
Tapi salah jika denganku

Dimatamu itu aku melihat setumpuk kepedihan


Sepertinya kau butuh cerita, yang ku lihat hanya sunyi
Terlalu lama kau mengendap lara itu
Kau butuh pelukan, kau butuh dihangatkan
Kau pantas untuk diterima dan dicintai tanpa alasan
Di bait bait puisi ini aku sematkan doa untukmu
Semoga laramu kian mereda terbawa lonceng waktu
Aku iri, tuhan sesayang itu padamu
Dari lara yang membawamu pada sang pencipta
Diam diam menulis harapan dari doa doa yang tengah mengantri di
semesta
Ingat bumi selalu adil pada semestanya

Amanda rahma

Anda mungkin juga menyukai